Anda di halaman 1dari 9

PENCABUTAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM

ADAT UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Oleh
DEWA GEDE TRI DHARMA DUTA
0225010121

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
DEBPASAR
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum ,amanat konstitusi Undang Undang dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 tahun 1945 pasal 1 ayat 3 yaitu Negara Indonesia
adah Negara hukum. Konsekuensi dari bentuk Negara hukum ini bahwa dalam
segala bentuk tindakan pemerintahan haruslah berdasar atas hukum termasuk
dalam memberikan hak dan mencabut hak masyarakatnya, hak ulayat adalah suatu
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ini lazim di miliki
oleh masyarakat adat di indoensia sebagai konsekuensi konstritusi Undang undang
dasar republik indoensia tahun 1945 pasal 18 b yang mengakui kesatuan
masyarakat hukum adat. Penghapusan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat
menjadi suatu hal yang harus di kaji secara mendalam karena berhubungan dengan
persatuan bangsa indoensia secara umum. Latar belakang masyarakat yang
berbeda beda tentu akan menimbulkan polemic dari penjabutan hak ini.
Pengaturan perundang undangan yang ada dirasa harus sejalan dengan kebutuhan
masyarakat termasuk masyarakat hukum adat. Penghapusan hak ulayat ini menjadi
suatu pertentangan dalam masyarakat, di salah satu sisi menyatakan bahwa
penghapusan hak ulayat ini adalah hak pemerintah guna kepentingan yang lebih
luas dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa penghapusan hak ulayat adalah
kemunduran dari sisi penghormatan Negara terhadap masyarakat adat. lalu
berdasarkan pancasila dan konstitusi Undang undang dasar Negara Indoensia 1945
serta tinjauan peraturan lainnya sebenarnya seperti apa mekanisme
penghapusan hak ulayat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sebenarnya penerapan penghapusan hak atas tanah di indonesia?
2. Seperti apa perundang undangan memandang penghapusan hak ulayat ?
3. Apakah mungkin penghapusan hak ulayat dilakukan dalam masyarakat hukum adat ?

C. Tujuan Artikel :
1. Untuk mengetahui bagaimana Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Untuk Kepentingan Umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pencabutan Hak Atas Tanah


Pencabutan tanah bukan hal baru yang tiba-tiba muncul dalam Perpres No. 36/2005.
Praktek ini sudah lama dikenal, bahkan mendapatkan payung hukum dalam
konstitusi. Pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan Pasal 27 UUD
Sementara 1950 memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi
kepentingan umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu
dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan
pencabutan hak atas tanah itu, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 20
Tahun 1961. Isinya mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah oleh Pemerintah untuk
Kepentingan Umum. Perbedaannya, peraturan ini memperlihatkan langkah hati-hati
dari pemerintah. Terbukti, sebagaimana dikutip Kalo dari pakar hukum pertanahan
Prof. AP Parlindungan(almarhum)bahwa sejak diundangkan hingga tahun 1995,
undangundang No. 20 Tahun 1961 tidak pernah in action, dalam arti belum pernah
dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah. Meskipun demikian, keberadaan
pijakan hukum bukan berarti menyelesaikan masalah dalam pembebasan tanah.
Keberadaan peraturan demi peraturan di bidang pertanahan tidak menjamin
perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu
membawa jargon "pembangunan dan kepentingan umum". Dalam praktik
pembebasan tanah, perangkat hukum pertanahan cenderung diterapkan secara
silogisme dengan logika deduktif semata tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor
dan proses sosial yang ada. Ini merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam
sistem hukum Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undangundang
harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar dan adil,
atau malah sebaliknya. Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah,
para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa akan ditunjukkan
pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah
tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah
cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan masyarakat. "Tidak jarang
dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa
meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak".Sementara, perkara
pertanahan yang berujung ke pengadilan tidak membawa hasil baik bagi rakyat kecil.
Dimana, hakim cenderung mementingkan "fakta atau peristiwa" ketimbang
"hukumnya".1

1
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,(Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,
2011),Cet. Kedua, hlm. 1
2
M.P. Siahan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori Praktek, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.1.
B. Pandangan undang undang mengenai hak ulayat dan pencabutannya
Negara indonesia mengakui segala hak dan keberadaan satu kesatuan masyarakat
hukum adat yang di tegaskan dalam pasal 18 B yang berbunyi Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-
undang dengan di akuinya masyarakat hukum adat ini maka juga di akui salah satu
hak mereka yaitu salah satunya hak ulayat, yang dalam Peraturan menteri Agraria
dan kepala pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999 dinyatakan bahwa :
“Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya
disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adattersebut dengan
wilayah yang bersangkutan”.
Bahwa menurut Prof Maria Sumardjono dalam bahasa sederhananya untuk melihat
kriteria penentu diakui dan dihormatinya masyarakat hukum adat dan identitas serta
hak haknya adalah dari :
1. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak
ulayat;
2. adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup)
yang merupakan objek hak ulayat;
3. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan Tindakan-tindakan
tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alamlain serta perbuatan
perbuatan hukum;

Dalam hal ini hak ulayat dapat berdiri dalam suatu bidang tanah yang dimana tanah itu
dinamakan tanah ulayat, tanah ulayat dapat berbentuk tanah ulayat yang bersifat
ekonomis dan tanah ulayat yang bersifat penggunaan komunal atau kebudayaan.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 P Bahwa yang menjadi objek dari
hak masyarakat hukum adat adalah hak atas wilayah adatnya (hak ulayat) yang meliputi
air, tumbuh-tumbuhan (pepohonan), dan binatang, bebatuan yang memiliki nilai
ekonomis (di dalam tanah), bahan galian, dan 2 juga sepanjang pesisir pantai, juga di atas

2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penertbit Djambatan,
Edisi Revisi 1999, hlm.5, 8, 17, 23, dan 26
permukaan air, di dalam air, maupun bagian tanah yang berada dialamnya. Kekuasaan
atas tanah ulayat ini sepenuhnya adalah kekuasaan kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Dalam hal bahwa timbulnya keuntungan dan kerugian terhadap
tanah ulayat ini adalah milik masyarakat hukum adat tersebut. Lalu bagaimana dengan
jika suatu ketika di atas tanah ulayat ini pemerintah ingin mendirikan suatu yang
sifatnya untuk kepentingan umum.
Dalam pasal 5 undang undang pokok agrarian di sebutkan bahwa Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa,dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-
Undang ini, konsekuensinya bahwa sesungguhnya setiap hal mengenai tanah dan
pertanahan termasuk tanah ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara. Kepentingan umum selanjutnya dapat di lihat pada Pasal 1 ayat 6 undang
undang 2 tahun 2012 yaitu bahwa Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa,
negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka landas yuridis dari pencabutan hak ulayat
atas sebidang tanah harus menggunakan alasan ini. Mekanisme penggantian dari pada
tanah ulayat ini sebenernya juga telah di akomodir dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, karena dalam penjelasan umum Undang
undang ini di cantumkan bahwa Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam
bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tanah pengganti yaitu tanah dengan luasan
yang sama dengan tanah yang dipergunakan, selanjutnya pemukiman dalam di
maksudkan untuk komunitas hukum adat tersebut, sedangkan untuk fungsi ke luar
adalah untuk masyarakat secara luas, maka fungsi ke luar ini lah yang enjadi salah satu
landasan dasar dari dapat di cabutnya hak atas tanah ulayat dari masyarakat hukum adat.
Sebenarnya pencabutan hak ulayat atas tanah ulayat ini juga sejalan secara
konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijalaskan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar keakmuran rakyat.” Dengan tegas pasal ini mengatur bahwa segala
bumi dan air serta SDA harus di pergunakan untuk sebesar besarnya kepentingan
rakyat. Maka jika suatu masyarakat hukum adat tidak memberikan tanah ulayatnya
untuk pembangunan yang bersifat umum maka secara tidak langsung ia telah melawan
kostitusi. Sejalan dengan UUD 1945 Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat
Bismark Sanusi menyatakan tak dapat dibenarkan, jika di masa kini sesuatu masyarakat
hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak,
Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanian, (Bandung: CV.Mandar Maju, 2017),
Cet.Kesatu, hlm. 1
seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah
lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam prakteknya menghambat
usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya. Korelasi yang tidak
dapat terpisah dari kesatuan masyarakat hukum adat dengan masyarakat secara umum
ini lah yang juga menjadi suatu dasar dari pencabutan hak ulayat atas suatu tanah.
Salah satu contoh pencabutan hak ulayat masyarakat adat terhadap tanah ulayatnya di
sampaikan oleh I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan K., S.H. dalam tesisnya
mengambi contoh kasus di provinsi bali yaitu di kecamatan dawan kabupaten
klungkung provinsi bali tentang Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba
yang mengakibatkan digusurnya tanah ulay milik warga yang dalam hal ini adalah pura,
masyarakat adat di sana dalam menyerahkan tanah ulayatnya tidak keberatan dan tidak
menterjadi suatu masalh, dan sampai pada akhirnya pemberian ganti rugi juga tidak
menimbulkan polemik di dalam masyarakat, hal ini disebabkan karena tanah yang
dilepaskan adalah tanah milik Pura atau masyarakat adat keseluruhan dan menurut
mereka pertanggung jawabannya ada kepada yang diatas (Ida Sang Hyang Widi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa). Jadi masyarakat tidak mempersoalkan terlalu panjang selama
diberi lahan pengganti. Kasus ini jelas memberikan suatu contoh keberhasilan dan
penerapan dari undang undang 2 tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuk
kepentingan umum.

C. Hubungan tanah ulayat dan masyarakat adat dan pencabutannya


Dalam pengertian hak ulayat jelas di katakana bahwa hak ini timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Suatu syarat dari di akuinya suatu hak
ulayat adalah adanya hubungan lahiriyah dan batiniah antar tanah tersebut dan dengan
masyarakat adat itu. Jika kita tinjau dari sini makan pengaturan dalam undang undang 2
tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuk kepentingan umum tentang mekanisme
pencabutan hak ulayat serta mekanisme penggantiannya adalah tidak tepat, karena
hanya memikirkan penggantian yang sifatnya lahiriyah yaitu dengan tanah pengganti
dan pemukiman pengganti, tetapi melupakan keterkaitan secara Batiniah. Hubungan
batiniah masyarakat ini tidaklah dapat di putus bagaimana pun caranya. Nilai hubungan
batiniah ini berkaitan dengan kaitan masyarakat itu dengan nilai historis tempat yang
bersangkutan, contohnya pada masyarakat hukum adat badui dan hak ulayatnya yang di
pertegas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, masyarakat adat baduy ini percaya
bahwa 3tanah ulayat yang merak tinggali adalah tanah yang dimana manusia pertama
dalam hal ini mereka meyakini nabi adam menginjakan kakinya pertama di bumi.

36
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: PT.Fajar Interpratama Mandiri,
2017), cet. Keenam, hal. 1 dan 2
Dalam hal ini dapat di bayangkan keterikatan batin ini tidak lah mungkin bias sekalipun
di gantikan adalah sutu hal yang mustahil jika harus mengulang suatu kejadian masa
lalu, terlebih suatu kejadian itu bersifat magis, perlu di ingat masyarakat hukum adat ini
memiliki bentuk masyarakat yang bersifat magis relegius, bukan manusia modern
seperti kebanyakan masyarakat di perkotaan. Kembali dalam substansi mendasar dari
hak ulayat, bahwa tidak lah mungkin suatu hukum dapat menghapuskan hak ulayat dari
masyarakat adat ini jika di korelasikan dengan hubungan yang bersifat magis religious
tadi. Selain hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya tadi yang
bersifat magis religious kita juga harus mempertimbangkan aspek yang sifatnya social
kebudayaan, sutu tanah ulayat yang notabennya adalah tanah yang telah di turun
temurunkan memiliki kemungkinan besar untuk menyimpan benda yang bersifat
kebudayaan masa lampau, mana mungkin kita dapat menggadikan sebuah kebudayaan
dan kebesaran abngsa di masa lalu jika untuk suatu yang di sebut kepetingan umum,
lalu di mana kepetingan kita sebagi penurus kebudayaan bangsa kita. Sebuah tanah
ulayat yang ingin di bangun sebuah banguna di atsnya tentu juga harus memperhatikan
aspek ini. Lalu perlu menjadi suatu pertimbangan lain ialah bahwa tanah ulayat ini
biasanya adalah suatu lahan yang keberadannya masih asri dan terjaga secara
lingkungan dimana ini juga di tegaskan dalam Undang undang pelingdungan dan
pengelolaan lingkungan hidup Pasal 1 Angka 31 yaitu Masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup. Dalam pasal ini jelas di kemukakan bahwa masyarakay
hukum adat dan wilah tempat tingganya dalam hal ini tanah ulayat adalah hal yang
dekat dengan lingkungan hidup. Dapat di bayangkan jika nantinya tanah ulay ini yang
notabennya adalah tanah dengan korelasi lingkungan di alih fungsi pastinya akan
menjadi masalah yang cukup serius.4

BAB III
4
Opcit, hal 1 Nurhasan Ismail, 2012, Arah Politik Hukum Pertanahan Dan Perlindungan Kepemilikan Tanah
Masyarakat, vol.1 No.1.
PENUTUP

KESIMPULAN.
Hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam UUPA diakui sepenuhnya dan dalam
eksistensinya masih menunjukkan jatidirinya sebagai ciri khas hukum adat dalam
keagrariaan yang memandang komunalisme dan kebersamaan dalam rangka
kesejahteraan anggota masyarakat adat setempat dengan segala konsekuensinya. Ini
berarti keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat sepenuhnya dijamin dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri adanya
perubahan yang revolutif dari kepemilikan bersifat komunal dalam masyarakat hukum
adat bias berubah kepada kepemilikan yang bersifat perorangan atau privat.
Mendaftarkan tanah adat berdasar peraturan perundangan dengan memperhatikan
hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya hal ini merupakan suatu
penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, serta mana yang bisa
diwariskan. Dengan kata lain, pendaftaran tanah adat sesuai ketentuan BPN merupakan
upaya untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang
berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan
tanah kesimpulkan beberapa aspek dari sebuah gagasan utama penghapusan hak ulayat
untuk kepentingan umum yaitu,:
1. Bahwa pengaturan mekanisme pencabutan hak ulayat yang terdapat pada tanah ulayat
adalah telah di atur dalam undang undang 2 tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuK
kepentingan umum. Yang mekanismenya dilakukan dengan musyawarah dan diberikan
penggantian dengan tanah sebanding, pemukiman kembali atau hal yang di sepakat. Dan
jika di pandang dengan undang undang pokok agraria yang memiliki asas kepentingan
umum maka hal mengenai pencabutan hak ulay untuk kepentingan umum dapat di
lakukan.
2. Jika di tanjau dari aspek social kemasyarakatan dengan di haruskannya terdaoat sebuah
hubungan secara lahiriah dan batiniah dari masyarakat hukum adat dan tanah ulayat
maka pencabutan hak ulayat tidak lah dapat di lakukan, karena sifat keterikatan tanah
adat tidak lah dapat di putus da di gantikan, di tambah lagi bagimana dengan kearifan
local yang juga akan terlanggar dari pencabutan hak ulayat ini. Dengan ini kami dapat
simpulkan bahwa pencabutan hak ulayat seyogjanya masih dapat dilakukan dengan
mekanisme UU No. 2 tahun 2012 tapi harus dengan mekanisme yang ketat dan juga
harus memerhatikan hak dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan juga
mempertimbangkan nilai nilai budaya serta lingkungan hidup. Tetapi sebelum itu kami
memberi saran bagi pemrintah agar jika merencanakan suatu pembangunan untuk
kepentingan umum sebisa mungkin tidak melewati tanah ulayat.
DAFTAR PUSTAKA

Dharmawan, I Dewa gede putra joni,2012 hak ulayat masyarakat adat Studi Kasus

Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba tesis dalam magister kenotariatan universitas

dipengoro.

Kalo S., 2004, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

Jakarta: Pustaka Bangsa Press

Purnadi, Purbacaraka, Ridwan Halim 1993, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta:

Ghalia Indonesia, ,

Sumardjono, maria, 2001, kebijakan pertanahan, Jakarta, Kompas media nusantara,

Peraturan perundang undangan

Undang Undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945

Peraturan menteri Agraria dan kepala pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999

undang undang 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum

undang undang nomer 32 tahun 2009 tentang pelindungan dan pengeolaan lingkungan hidup

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak

Ulayat Masyarakat Baduy

Anda mungkin juga menyukai