1
yang merdeka dan berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa
bernegara yang tertib, aman dan dinamis untuk mewujudkan
kesejahteraan yang adil dan merata bagi segenap rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan
suatu program pembangunan yang terpadu dan menyeluruh dan
berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan.
1
Achmad Rubaeie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ,
Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 1
2
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai
hubungan magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak
hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota
masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di
dalam hubungan dengan hak ulayat2.
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir,
batin, dan merata, di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah
merupakan karunia Tuhan yang dapat digunakan untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bangsa Indonesia, maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hal
ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) yang berbunyi : “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
“. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi
(tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam harus dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran
dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud
adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas
maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara Republik
Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan
keadilan3 . Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan
2
Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan.
Media Abadi. Yogyakarta, 2005, hlm.40
3
Ibid, hlm.1
3
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-
mata dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu
dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah tersebut4.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat
adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk
kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.
4
Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 2
4
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan5.
Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap
hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak
bersama. Pasal 6 UUPA, menyatakan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan
tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan
pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi
sudah termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum
(masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2
ayat (3) Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan dan
kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap
harus untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana
dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang
membutuhkan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.
231
5
dalam pelaksanaanya harus mempertimbangkan banyak hal.
Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono yang mengutip
pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah harus
berdasarkan atau mencangkup prinsip6:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh
seseorang atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak
yang bersangkutan (kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU
HAM)); dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh
gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan
pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20
Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena
berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di
lain pihak sebagian dari masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat
pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana hal tersebut
diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan,
maka dapat berdampak mengesampingkan kepentingan perseorangan
6
Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk
KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. Hlm. 5
6
yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak perseorangan untuk hidup
secara layak. Secara tegas Hak Milik telah mendapatkan perlindungan
yang kuat dalam pasal 28H UUD 1945, dinyatakan “Setiap orang berhak
mempunyai milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan (2)
UU HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara
yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas
miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas
tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah
seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang
mengabaikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini
muncul baik dalam tahap awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti
rugi yang kurang layak yang tanpa melibatkan masyarakat pemegang
hak atas tanah
(http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-
sosial.html, 3 April 2014), sehingga pengadaan tanah yang berdalih
untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria
pembatasan “kepentingan umum” yang membuka kemungkinan
pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian
kepentingan umum dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga
dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia yang belum
sepenuhnya dilindungi sistem hukum7. Demikian juga selain perangkat
aturan yang ada saat ini dilihat belum mengakomodasi keperluan
7
Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 157
7
kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot tidak layak, lantaran
persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak dihimpun dalam
undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh
Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka
melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur dalam Pasal 1 UU No
20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden
dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang
organ Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum
(onrechmatige overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan
pencabutan Hak Milik. Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal8:
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan
tidak mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga
dirasa sangat mustahil untuk diterima oleh yang
bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak
memenuhi persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air
atau air yang terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena adanya pencemaran lingkungan.
Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan
pemberian ganti rugi, baik dalam bentuk, pelaksanaan
pembayarannya maupun besarnya ganti rugi. Pembayarannya
8
Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31
8
terkadang tidak langsung tunai dan diundur-undur dan besarnya ganti
rugi tidak layak. Guna menghindari konflik terkait pemberian ganti
rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya harus ditetapkan
berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang mempunyai
kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak pemerintah
dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah harus memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia
dan dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah. Pemerintah tidak boleh mengambil atau mencabut hak atas
tanah sewenang-wenang dengan berdalih untuk kepentingan umum
tanpa mempertimbangkan prinsip penghormatan hak atas tanah.
Termasuk pengadaan tanah untuk kepentinganm umum yang terjadi
di Wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk
mempelajari dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam
sebuah penulisan penelitian hukum dengan judul : TINJAUAN
YURIDIS KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN DALAM HAL PENGADAAN TANAH
UNTUK KEPENTINGAN UMUM.
C. Rumusan Masalah
9
dengan undang-undang. Adapun permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah :
a. Kelemahan apakah yamg terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum?
b. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah?
c. Bagaimana Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
d. Permasalahan apakah yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori
Hukum Pembangunan
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai
dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam
pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat
memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah.
b. Mengetahui Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
10
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunan.
c. Untuk Mengetahui Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Wonosobo dalam
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif penelitian ini adalah :
a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analitis
penulis mengenai Hukum Agraria, terutama menyangkut prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum;
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu
hukum, mengembangkan, dan memperluas wacana pemikiran
serta pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna
menganalisis permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
hal prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum; di lihat dari sisi teeori hukum
pembangunan.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi
persyaratan akademis dalam mencapai Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
11
Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan
hanya bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-
pihak lain. Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
Manfaat Teoretis dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum.
b. Untuk mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum
Agraria tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna
bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat
untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh,
12
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di
antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah9.
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang
memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk
menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa
hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan,
misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “
mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan10.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik
sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.
9
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 283
10
Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 49
13
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam
Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3
bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini
belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut
Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa
pembentukan UUPA menyadari bahwa dalam
perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya
hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya
perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus
dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu
yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini adalah Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu:11
11
Ibid, hlm. 52-53
14
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap
mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi
sosial (Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak
yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan
kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain
di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut
(dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan
pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama
kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberi hak
atas tanah kepada warganya12.
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak
dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih
12
Kartini Muljadi,dkk., . Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm.30
15
memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya
tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka
hak milik tersebut menjadi hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat,
dan terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:
a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan,
jangka waktunya tertentu.
b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak
milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang
mempunyai diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang
empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan
hak lain.
b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak
lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa
memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak
yang kurang daripada hak milik: menyewakan,
membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah
itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau
hak pakai.
c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas.
Hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja,
16
hak guna usaha terbatas hanya untuk pertanian
sedangkan hak milik dapat digunakan untuk usaha
pertanian maupun untuk bangunan.13
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan
hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)
UUPA yang menyatakan bahwa oleh pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dengan syarat-syarat. Pemberian landasan
hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk
medapatkan hak milik atas tanah, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah14. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang
disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya
disebut bank negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun
1958;
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
dan
13
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hlm.
236-237
14
Supriyadi, Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 66
17
d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang
menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(1)Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
UUPA;
(2)Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(3)Karena ditelantarkan; dan
(4)Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
b) Tanahnya musna.
18
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk
jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan
cara: jual beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal,
hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun
1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun
1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih
menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi
berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)
telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status HGU-
nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat
Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan
hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing
control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan16 :
16
Ibid, hlm. 111
19
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang
Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah
berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan
HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan
Pasal 3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan
pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan
status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU
bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah
negara (ayat (2) dari Pasal 3).
20
c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;
d) Ditelantarkan;
e) Tanahnya musnah; dan
f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka
waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
21
b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya
berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau
(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara
pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian
penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang
tetap;
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum janghka waktu berakhir;
d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak
lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak
melepaskan atau mengalihkan haknya).
4) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
22
ketentuan undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-
58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak
pengelolaan harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu
pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik
tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas
kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui
haknya.
5) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka
waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam
ketentuan perjanjian sewa-menyewa dalam Kitap Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
23
pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam masyarakat
pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat Indonesia,
apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka yang
dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang
dapat dinikmati sepenuhnya pula17.
Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang
mempunyai berbagai macam hak untuk menjamin dan
mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat, dimana
salah satunya adalah hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan hak
yang dipunyai seseorang yang menurut sifatnya termasuk hak yang
secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak karena hubungannya
yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat dan
waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat. Hak ini
masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena adanya
suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa 18. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat
diganggu gugat melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa
kepentingan sebagai sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain
adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya
berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai
warga masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi
hukum adat adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan
penguasaan tanah secara individual sekaligus mengandung unsur
17
Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah.
Alumni, Bandung, 1978, hlm. 16-17
18
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-8
24
kebersamaan19. Ini berarti bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara
individual tidak dibenarkan penggunaan tanah tersebut untuk
kepentingan pribadi, melainkan penggunaannya harus disesuaikan
dengan manfaat bagi masyarakat dan negara. Hak milik atas tanah
dalam hukum adat yang berkembang sebelum bangsa barat datang
adalah hukum adat yang merupakan hukum asli golongan pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa “semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi sosial
hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:
ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada
itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan
seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan
pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 UUPA).
19
Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79
25
kepentingan bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah
yang dikuasai itu adalah sebagian dari tanah bersama.
Dalam konsep hukum barat, pengertian fungsi sosial pada
hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu
bagi kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam
hukum adat dan hukum tanah nasional merupakan bagian dari alam
pikiran asli orang Indonesia. Bahwa manusia Indonesia adalah
manusia pribadi yang sekaligus makhluk sosial, yang mengusahakan
terwujudnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kepentingan
masyarakatnya20.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga
kewajiban dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada
setiap pemegang hak atas tanah, yakni:
a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6);
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1));dan
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah
pertanian (Pasal 10)21.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan
antara lain22:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum
tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya
hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai
20
Ibid, hlm. 302
21
Ibid, hlm. 42-43
22
Ibid, hal. 299
26
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman,
tetapi juga kepentingan masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya, dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta
kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah
saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu kewajiban
memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari
setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu
hubungan hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa
interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai
dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si
pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan diakui dan
dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan23. Maka jika kepentingan umum menghendaki
didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi24.
27
Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah
menyediakan tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan
atau keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek
atau pembangunan sesuatu sesuai program pemerintah yang telah
ditetapkan25.
Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau
keperluan Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan
infrastruktur negara sesuai program pemerintah yang telah
ditentukan. Bukan tidak ada tanah yang tersedia, tetapi tanah
bebas dari hak orang atau badan hukum yang justru dibutuhkan
oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan sesuai strategi
pembangunan nasional, diperlukan (tanah) demi terlaksananya
program bertalian dengan proyek yang telah direncanakan26.
Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun
1993 dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65
Tahun 2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No.
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
25
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta,
1993, hlm. 31
26
Ibid, hal. 31-32
28
untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan
adalah kegiatanh menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
rugi yang layak adan adil kepada pihak yang berhak. Dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dengan mendasarkan pada asas: Kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan serta kesetaraan.
29
asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional serta wawasan nusantara27.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dimaksud
kepentingan umum dalah kepentingan bangsa, negara dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 (sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan
tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara,
dan/atau kepentingan masyarakat luas dan/atau
kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai
sifat kepentingan umum meliputi bidang-bidang
pertahanan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan,
ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesejahteraan
olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam,
kesejahteraan sosisal, makam/kuburan, pariwisata dan
rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki
27
Ibid, hal. 40
30
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di
ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain
bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
31
c) Tidak mencari keuntungan.
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta
yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga
terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum
sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat,
kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk
kepentingan umum, yaitu :28
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk
kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat dari
beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat
kepentingan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat
mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai
kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat
bentuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 lampiran
Instruksi Presiden 1973 (bahwa sebelumnya proyek tersebut
sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah
28
Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75
32
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, sudah
termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah
yang bersangkutan dan yang telah mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat) dan Pasal 5
Perpres No. 36 Tahun 2005; dan
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk
kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan
bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri-
ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut
benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah
dan tidak untuk mencari keuntungan.
c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual
beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara
sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 tahun 2006
mengatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam,
yakni: Pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Kedua, jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati
secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama
dan kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara
sukarela (voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis
33
cara pengadaan dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan ini disebut sebagai pemindahan hak, dengan cara
pemindahan hak tersebut, hak atas tanah langsung berpindah dari
pihak yang empunya kepada pihak yang membutuhkan. Jika yang
ditempuh adalah cara pelepasan atau penyerahan hak, maka
setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan” status tanah
menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan permohonan
hak oleh pihak yang membutuhkan tanah29. Cara pengadaan yang
dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang telah diatur
sebelumnya dalam UU No. 20 tahun 1961 merupakan pengadaan
tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah
(compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik
Indonesia sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara
pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum, usaha maupun
pribadi. Cara yang digunakan tergantung pada (Boedi Harsono,
2005: 5):30
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan
dalam menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk
menetapkan sistem tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup
jika sudah diketahui31 :
29
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
30
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 5
31
Ibid, hal. 5-6
34
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau
yang tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:
a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya,atau
b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak
atas tanah yang dipunyainya;
3) Status hukum yang memerlukan tanah
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai
bersedia menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang
dipunyainya, apakah yang memerlukannya:
a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, atau
b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah
dapat disusun dalam suatu sistem sebagai berikut32:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara,
maka tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan
dan pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka
acaranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat
Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak
ulayatnya, dengan pemberian ganti-rugi atas tanam tumbuh
rakyat yang ada diatasnya.
Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai
dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui
cara permohonan pemberian hak tersebut di atas.
32
Ibid, hlm. 6-7
35
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara
yang digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya
kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan kepada
yang memerlukan, dengan ketentuan:
a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela,
maka ditempuh:
(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-
menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan
memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang
dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak
yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi
subyek hak yang semula menentukan status tanah
tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia
menyerahkannya dengan suka rela, apabila syarat-syarat
telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan
hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa33.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah
Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan
untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh
Gubernur. Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):
33
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14
36
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda –benda lain yang ada
kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang
haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat
yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak
atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah
tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap
muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas
tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah; dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.
37
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah, sehingga didapat kesepakatan baik mengenai
pelaksanaan pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya.
Berdasarkan Pasal 12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan
cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini
telah memperkenalkan pembatasan waktu (120 hari) dan
konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri
setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan
waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan
berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk
menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah,
yaitu: pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan
pengadaan tanah untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah
yang dilakukan Pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi
38
kepentingan umum dan pengadaan tanah bukan untuk
kepentingan umum (misalnya: kepentingan komersial).
Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa pula
digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan
komersial, yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum
termasuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial
lainnya34.
34
Ibid, hlm. 5
35
S.W. Soemardjono, Op. Cit. hlm. 90-91
39
1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang
berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang
bersifat fisik maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda
untuk sementara waktu atau selama-lamanya, tanpa
membedakan bahwa mereka yang tergusur tetap tinggal di
tempat semula atau pindah ke lokasi lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan
kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah
dikorbankan untuk kepentingan umum36, maka ganti
kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:
(3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya;
(5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan
memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapai
dengan fasilitas dan pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan
yang setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil
alaihan. Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan
bangunan seyogyanya didasarkan pada biaya
pengggantian nyata. Bila diperlukan dapat diminta jasa
penilai independent untuk melakukan taksiran ganti
kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan
harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus
diperluas, mencangkup:
a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat;
b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain;
36
Ibid, hlm. 80
40
c) Penyewa bangunan;
d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan
pekerjaan;
e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan
kerja atau penghasilan; dan
f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang
akan kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.
4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang
terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak
dilaksanakan survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman
kembali, dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan
sungguh-sungguh terjamin;
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus
ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali,
integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan
semenjak awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan
oleh kedua belah pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan
menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses
pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta
tatacara penyampaiannya.
Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan
dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai
mewujudkan penghormatan kepada seorang yang haknya
dikurangi dengan memberikan imbalan berupa sesuatu yang
41
setara dengan keadaannya sebelum hak tersebut dikurangi atau
diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi
kesejahteraan. Karena setidaknya kerugian yang akan terjadi itu
meliputi37 :
1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke
hutan dan sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah
kepunyaan bersama);
2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik
lain);
3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena
ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam
lainnya); dan
4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat
(tempat-tempat religius, tempat ibadah, kuburan, hak atas
sumber daya alam).
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik
bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No 65 tahun
2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
37
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 33
42
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas
(Pasal 15 ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
yang ditunjuk oleh panitia;
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.
43
a. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk
menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti
Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya
diakui Mochtar sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai
menulis dan menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat
hukum Pancasila, dan Negara hukum Pancasila.
b. Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada umumnya
adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan
Mochtar dengan tujuan hukum dalam suatu Negara hukum
Pancasila. Dalam setiap Negara hukum, kekuasaan diatur dan
oleh karena itu, harus pula tunduk pada hukum. Tujuan keadilan
ini mencakup di dalamnya keadilan social (sila kelima dari
Pancasila)
c. Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan
kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam
hukum. Hal ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam
Pancasila (asas persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara
pancasila pada analisis di atas adalah keadilan social, maka
fungsi hukum jadinya adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-
cita dalam kenyataan.
d. Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak
akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak
ditegakkan. Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi
pelanggaran hukum, yaitu ketika hukum yang mengatur tidak
berhasil atau terganggu dalam menjalankan fungsinya. Instansi
terakhir dalam penegakkan hukum ini dijalankan oleh hakim.
Hakim memeriksa perkara dan memberi keputusannya
berdasarkan hukum dan demi keadilan.
44
e. Penegakkan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi
terkait terakhir juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri.
Untuk itulah perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa berpekara itu
adalah demi menegakkan hukum dan keadilan, tidak semata-mata
demi memenangan perkara.
f. Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya.
Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur
tindakan manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan
hukum mengatur aspek tindapan lahiriah manusia dalam
masyarakat. Khusus bagi aparat penegak hukum, etika ini
berhubungan dengan etika profesi, yang dijalankan demi
penegakkan undang-undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi
memegang kerahasiaan profesi.
g. Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan
yang diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization)
pada usaha-usaha besar pembinaan bangsa (a great nation
building effort). Pada tahap pertama memang tekanan diberikan
pada pelembagaan usaha-usaha atau proses ini, sehingga orang
perorangan mungkin terdesak, namun hal ini tidak berarti
individualitas dari orang perorangan tersebut tidak boleh diberi
kesempatan untuk berkembang, mengingat analisis terakhir
terhadap satua-satuan masyarakat itu akan berujung pada
individu juga.
h. Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut
didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan UUD 1945
45
sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan bertindak
manusia Indonesia.
i. Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagi berikut:
1) Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus
percaya pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan
Indonesia yang lebih baik;
2) Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik
Negara yang pada titik puncaknya telah menerima pancasila
sebagai asas tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
3) Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang
perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga
pengertian individu tidak bisa dilepaskan dari pengertian
masyarakat tempat individu itu mendapat kesempatan
berkembang sepenuhnya.
j. Manusia Indonesia “masa kini” yang terlibat dalam pembangunan
tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan
modern, yang mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:
1) Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan “asal saja”;
2) Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk
Negara, pikiran, dan waktu) untuk tujuan-tujuan produktif;
3) Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan
persaingan;
4) Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk
mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha,
terlepas dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini
dalam agama atau norma-norma etika;
46
5) Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati
rekan pergaulan dan hal ini juga menjadi modal dasar yang
penting dalam usaha dana perdagangan;
6) Tegas tetapi bijaksaja, mengingat tegas penting untuk
menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam
berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait
dengan pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan
tersebut;
7) Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi resiko
demi perubahan dan perbaikan serta berhati-hati agar resiko
tersebut dilandasi perhitungan yang matang;
8) Teguh memegang prinsip (prinsipiil), yakni sifat untuk tidak
mudah goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang
baik dan menjerumuskan.38
Mochtar memang belum sempat menuliskan secara detail
perkembangan dari fase pertama pemikirannya tentang Teori
Hukum Pembangunan ini. Cukup banyak prinsip-prinsip pokok
dari fase pertama pemikiran tersbeut yang masih dipertahankan,
misalnya, konsep tentang fungsi hukum sebagai law as a tool of
social engineering, tetap dipertahankan.39
Perhatian Mochtar terhadap hukum kebiasaan juga masih
cukup menonjol. Tampaknya ia melihat hukum kebiasaan ini
lebih cocok dengan kondisi Indonesia dalam iklim globalisasi
dewasa ini. Mochtar memang tidak lari kea rah penekanan hukum
adat gaya lama, tetapi lebih ke konsep hukum adat dalam
masyarakat modern Indonesia sebagaimana dapat di baca dalam
tulisan-tulisan M.B.Hooker.40
38
Shidarta, dkk, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan:
Eksistensi dan Implikasi. HuMa, Jakarta, 2012, hlm. 124-128
39
Ibid, hlm. 29-30
40
Ibid, hlm. 30
47
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh
Mochtar ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli
hukum Indonesia. Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal
sebagai ciri-ciri hukum adat di Indonesia, yakni kongkret, kontan,
dan komunal, seiring dengan perjalanan zaman telah mengalami
pergeseran-pergeseran tajam. Saat ini, misalnya, di desa-desa jual
beli sepeda motor telah dilakukan dengan sistem kredit. Sikap-
sikap individualistic juga terlihat makin menonjol. Artinya,
temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional tersebut
perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna
sebagai hipotesis.41
Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran
Mochtar dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli
hukum Indonesia agar mau menukik kepada pencarian teori dan
filsafat hukum Indonesia yang lebih membumi. Pada fase kedua
ini Mochtar telah beranjak dari seorang pemikir teoretikan
menuju pemikir filosofikal. Apabila seseorang ilmuwan
mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya ia sedang
bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua
pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik,
dan sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar
filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi
Mochtar, sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari
sudut filsafat hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangan yang
menyeluruh tentang aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini,
maka filsafat Pancasila (termasuk filsafat hukum Pancasila) ala
Mochtar akan berbeda dengan filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh
hukum lainnya. Dalam konteks ini, Teori Hukum Pembangunan
dari Mochtar Kusuma Atmadja bias didekati pada fase kedua ini
41
Ibid, hlm. 30
48
dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat Pancasila,
sehinggan hasil analisis kita terhadap Teori Hukum
Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan
berkembang menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan.42
5. Teori Implementasi
42
Ibid, hlm. 30-31
43
Kanus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319
49
yang ingin diatasi dengan menyebutkan secara tegas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur
atau mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung
setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya diawali
dengan kebijakan dalam bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan
keputusan oleh badan pelaksananya.
50
dengan Pembangunan Pelebaran jalan Perintis Kemerdekaan Jakarta
Utara.
b. Penelitian Skripsi (2011) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Oleh Ahmad Akbar Risantyo tentang Prinsip Penghormatan Hakk Atas
tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Solo –
Ngawi di Kabupaten Karanganyar.
Kedua Penelitian tersebut lebih mengarah pada proses pemberian ganti
rugi dalam melindungi Masyarakatnya terhadap masalah hukum yang
dihadapi terkait Pembebasan Tanah.
c. Penelitian Tesis Wahyu Candra Alam (2010), Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Kurang dari satu
hektar dan penetapan ganti kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran
Jalan Gatot Subroto di Kota Tangerang). Penelitian ini meneliti
tentang pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum yang Luasnya Kurang Dari Satu Hektar dan Penetapan
Ganti Kerugiannya dalam pembangunan Pelebaran Jalan Gatot
Subroto dan pembuatan Over Pass di Kota Tangerang apakah
sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat yang terkena pembangunan tersebut.
51
G. Kerangka Pemikiran
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang manyatakan “Bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui hak menguasai dari negara ini
maka negara akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan
pengelolaan fungsi tanah sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada.
Hal ini memberikan hak bagi negara untuk campur tangan, dengan pengertian
bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak akan terlepas dari hak menguasai
negara tersebut, karena kepentingan nasional diatas kepentingan individu atau
kelompok. Atau dengan kata lain, setiap pemegang hak atas tanah tidak boleh
mengabaikan fungsi sosial dari tanah tersebut (Pasal 6 UUPA).
52
kesepakatan, keikutsertaan,kesejahteraan, keberlanjutans serta asas
keselarasan.
53
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
55
dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul
dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan 46.
Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan
digunakan, maka terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat
mengenai metode, demikian pula penelitian.
46
Ibid, hlm. 41
47
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta:
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
48
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito, Yogyakarta,
1990, hlm. 131
49
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 42
56
pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan
metode ilmiah50.
50
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Hukum. UNS Press, Surakarta, 1989,
hlm. 4
Soejono Soekarno dan Sri Mamdji, Penelitian Hukum Normatif, CV.
5129
57
1. Hukum adalah asas kebenaran dalam keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan
tersistematisasi sebagai judge made low
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variable sosial yang empiris
5. Hukum adalah menifestasi makna-makna simbolik para perilaku
sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka.
A. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini
termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian
hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-
bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.56
B. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu
sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif,
artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum
56
Johni Ibrahim, Teori dan Metodogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2006, hlm.44
58
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum.57
C. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini
hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang.
Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari
lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu
pengkajian yang dilakukan, hanyalah ”terbatas” pada putusan
pengadilan dilingkungan peradilan umum, khususnya untuk perkara-
perkara pidana terkait dengan Putusan tentang Penimbunan Bahan
bakar Minyak Tanpa Izin Pen yimpanan. . Dari berbagai jenis metode
pendekatan yuridis normatif yang dikenal, peneliti memilih bentuk
pendekatan normatif yang berupa, penemuan hukum in-conreto.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pascasarjanan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan studi kasus.
E. Jenis Data
59
berasal dari data-data yang sudah tersedia misalnya, dokumen resmi,
surat perjanjian atau buku-buku. Data Sekunder dapat berupa bahan
hukum Primer, Sekunder maupun Tertier58.
F. Sumber Data
Sumber data yang akan diperlukan dalam penelitian adalah
Sumber data Sekunder. Sumber Data Sekunder merupakan sumber
data yang didapatkan secara tidak langsung berupa keterangan yang
mendukung data primer. Sumber data sekunder merupakan pendapat
para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan
literatur-literatur serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang
terkait.
60
(1) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Bahan bakar Minyak.
(2) Buku-buku hukum.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
(2) Kamus Umum Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia-
Inggris
(3) Kamus Hukum.
61
permasalahan yang diteliti dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, yang
dalam hal ini analisis dilakukan secara logis, sistematis dan yuridis
normatif dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang
dimaksud dengan logis adalah pemahaman data dengan menggunakan
prinsip logika baik deduksi maupun induksi. Dalam penelitian ini
menggunakan prinsip logika deduksi yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi59.
62
dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi
oleh peneliti atau naturlistik61
61
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001,
hlm. 54
2005, hlm. 7
63
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke
dalam bentuk penelitian evaluatif. Menurut Setiono64, yang
dimaksud dengan penelitian yang berbentuk evaluatif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk menilai program-program yang
dijalankan
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum65. Tujuan dari penelitian ini untuk
mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya mengenai prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
3. Lokasi Penelitian
64
d. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
Alasan pemilihan lokasi adalah:
a. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu
data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti,
maka akan disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang
berguna untuk melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut
adalah sebagai berikut:
66
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 12
65
maupun Tertier67. Adapun yang termasuk Bahan Hukum Primer
dalam penelitian ini meliputi :
(a) Undang-Undang Dasar 1945
(b) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria;
(c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(d) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(e) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
(f) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
(g) Perpres No. 71 Tahun 2012
(h) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012
(i) Permendagri No. 72 Tahun 2012
(j) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013
(k) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
(l) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang
Ketentuan Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(m) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
(n) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan pertanahan
67
Setioo, Op. Cit. hlm. .6
66
b. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
67
(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(4) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
(5) Peraturan presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
(6) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
(7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,
Tentang Ketentuan Pelaksanaam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
68
(3) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Kewenangan
Pertanahan di Indonesia;
(4) Buku-buku terkait dengan Hukum Agraria
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
bahan sekunder, misalnya :
(4) Kamus Besar Bahasa Indonesia
(5) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia,
Indonesia- Inggris
(6) Kamus Hukum
69
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin
(terstruktur) dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara,
penulis membuat pedoman wawancara dengan pengembagan secara
bebas sebanyak mungkin sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh.
Metode wawancara ini dilakukan dalam rangka memperoleh data primer
serta pendapat-pendapat dari para pihak yang berkaitan dengan
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Selain itu juga mempergunakan
metode Observasi yaitu dengan cara mengamati suatu obyek yang
diteliti, setelah itu mencatat dan mencocokkan dengan teori agar tercapai
sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan
adanya beberapa hal yang tidak sempat poneliti tanyakan ataupun tidak
terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, sehingga
peneliti bisa mendapatkan data yang lengkap.
b. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara
membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang
akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi
untuk mencatat informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang
diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan
terhadap:
1) Buku-buku literatur.
2) Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
3) Dokumen
70
Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus
dianalisis. Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan
dimanfaatkan sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan
penelitian. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif karena data yang diperoleh bukan angka atau yang akan di-
angkakan secara statistik. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data
kualitatif adalah suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan
dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh70.
71
tiga tahap/komponen berupa reduksi data, sajian data serta penarikan
kesimpulan/verivikasi dalam suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut
sehingga data terkumpul akan berhuibungan satu dengan lainnya secara
oromatis71.
Gambar : 2
Pengumpulan Data
I II
III
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
71
HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 86
72
Ibid, hlm. 87
72
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data
berlangsung terus-menerus bahkan sebelum data benar-benar
terkumpul sampai sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir
lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah merupakan suatu hal yang
terpisah dari analisis dan merupakan bagian dari analisis.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif
mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar,
tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-
mula belum jelas meningkat lebih terperinci dan mengakar dengan
kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di verifikasi selama penelitian
berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni
merupakan validitasnya73
73
Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hal. 18-19
73
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif.
Seorang peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu
selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara
kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi
selama sisa waktu penelitiannya. Kemudian komponen-komponen
yang diperoleh adalah komponen-komponen yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah
analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data-data yang diperoleh.
I. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan
dimulai bulan April 2014 sampai dengan Juni 2014, dengan rincian
sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN
Bulan
No Kegiatan April 2014 Mei 2014 Juni 2014
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I Persiapan Penelitian
1. Literatur
2. Proposal
3. Seminar
4. Perijinan
5. Questioner
II Pelaksanaan Penelitian
1. Pengumpulan Data
74
2. Analisis Data
75
DAFTAR PUSTAKA
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No.
5 Th. III November 1988
76
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz
Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies.
2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf
Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja
Karya.
77
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih
Communication.
78
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas
Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana.
79
Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
80
RELATED NEWS
Hal itu diungkapkan Andrinof saat memberi keterangan sebagai ahli dalam
sidang pengujian UU Pengadaan Tanah di Mahkamah Konstitusi (MK),
Jakarta, Kamis (2/8/2012).
Menurut dosen FISIP UI ini, ada dua kelemahan yang mendasar dalam UU
Pengadaan Tanah, yakni dihilangkannya hak warga negara untuk
menentukan mana jenis-jenis pembangunan untuk kepentingan umum dan
mana yang bukan.
Para pemohon ini menguji Pasal 2 Huruf g, Pasal 9 Ayat (1), Pasal 10, Pasal
14, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1), dan Pasal 40 dan Pasal 42 yang
dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
81
Sementara itu, di dalam Pasal 10 dijelaskan bahwa tanah yang digunakan
untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan antara lain jalan
tol dan pelabuhan. Pemohon menilai bahwa jalan tol itu tidaklah relevan
dijadikan untuk kepentingan umum karena tidak bisa diakses oleh semua
pihak.
SUATU CATATAN
KRITIS ATAS UNDANG-UNDANG
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN
No.2 TAHUN 2012
Oleh
Imam Koeswahyono
A. Pengantar
Salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet
Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan No.2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU
PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan
oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan,
argumentasi. Salah satu di antara pendapat yang menolak saat RUU PTUP
ini dibahas di DPR-RI adalah Idham Arsyad yang intinya menyatakan
82
pembahasan RUU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur
agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria .
Sebelumnya, harian Kompas juga mewartakan bahwa RUU PTUP
merupakan ancaman hak atas tanah karena rawan diselewengkan untuk
kepentingan bisnis yang justru meminggirkan akses publik terhadap hasil
pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat .
Dalam makalah ini penulis menelaah materi UU PTUP No.2 Tahun 2012
ini dari perspektif disiplin hukum lebih khusus telaah dari sisi struktur atau
format peraturan perundangan menurut Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 tahun
2011 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial (social justice).
Mengapa nilai keadilan sosial menjadi alasan sebagai pengarusutamaan
karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya ketimpangan struktur sosial
yang tidak adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah:
keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi,
pada kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah brsifat struktural.
Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung kepada
penciptaan struktur sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti
harus dilakukan melalui perjuangan memperbaiki struktur-struktur sosial
yang tidak adil tersebut .
83
salah satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya
(Sumber Daya tanah) harus diatur dengan undang-undang.
Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal dalam Undang-
undang No.5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta 40
mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan hukum
pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah.
Disamping itu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan
hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana
subyek hak atas tanah mendapatkan permintaan dari negara yang dilakukan
oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang menghendaki hak atas tanah
untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (public interests)
berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.
Sedangkan penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain
hak milik diserahkan oleh subyek haknya kepada negara (pemerintah)
sebelum jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.
Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah
maupun pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari
subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo
Pasal 4 Undang-undang No.5 tahun 1960. Disamping itu hal terpenting dari
aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:”
setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun ”
C.2.Filosofi
Dasar filosofi yang harus menjadi basis UU PTUP sebagaimana pula halnya
dengan UUPA adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima
sebagaimana telah termaktub pada konsiderans UU PTUP huruf a dan b.
Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus
mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya
diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana,
serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila–sila Pancasila
sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984)
84
seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian
kesatuan dengan sila-sila yang lainnya ”
85
Sementara itu, UU PTUP malah tidak memberikan definisi sama sekali apa
yang dinamakan kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu
munculnya kasus-kasus pengadaan tanah. Memasukkan kepentingan swasta
sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran dari aspek hukum
karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah oleh
swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata
bahwa kepentingan swasta tidak lain adalah kepentingan yang berorientasi
pada keuntungan semata.
C.4. Prinsip/Azas
Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo
dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas
hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau
harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada
umumnya merupakan suatu persangkaan ”.
Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya dalam
kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi
dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal-
hal berikut:
86
7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah
87
bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum. Hukumlah
yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang.Artinya dalam faham
kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi
yang sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah
hukum, yang pengaturannya pada tingkat puncak atau tertinggi tercermin
dalam konstitusi negara yaitu “the rule of constitution”. Dalam kaitan itu di
negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengannya ”
88
pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan
kepada kedua belah pihak . Menurut pandangan saya secara ekonomis
barangkali demikian, namun dari perspektif hukum nampaknya
implementasi prinsip ini menimbulkan ketidakadilan ditinjau dari sisi
subyek hak atas tanah yang biasanya sebagai pihak yang sedang tidak
diuntungkan
89