Anda di halaman 1dari 89

A.

Judul : TINJAUAN YURIDIS KELEMAHAN UNDANG-


UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN
TANAH BAGI PEMBANGUNAN DALAM HAL PENGADAAN
TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

B. Latar Belakang Masalah


Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, yaitu karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat
dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan
memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.
Manusia akan hidup senang serba kecukupan kalau mereka dapat
menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang
berlaku, dan manusia akan dapat hidup tenteram dan damai kalau
mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan
batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku untuk mengatur
kehidupan manusia itu dalam masyarakat.

Tanah memiliki hukumnya sendiri yaitu keberadaannya tak


dapat di tambah namun sebaliknya kebutuhan atas tanah selalu
meningkat seiring dengan jumlah penduduk. Betapa pentingnya arti
sebuah tanah sehingga sesuai dengan falsafah atau kultur masyarakat
Jawa ”Sedumuk bathuk senyari bumi”. Tersedianya tanah merupakan
kunci eksistensi manusia dan pengaturan serta penggunaannya
merupakan kebutuhan yang sangat penting. Tanah dalam pembangunan
nasional merupakan salah satu modal dasar yang strategis. Hal ini
untuk menopang tujuan nasional sesuai yang termaktub dalam
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu memajukan
kesejahteraan umum, sehingga akan terwujud suatu masyarakat adil
dan makmur baik dalam materiil maupun spirituil berdasarkan
Pancasila dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia

1
yang merdeka dan berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa
bernegara yang tertib, aman dan dinamis untuk mewujudkan
kesejahteraan yang adil dan merata bagi segenap rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan
suatu program pembangunan yang terpadu dan menyeluruh dan
berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan.

Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga


diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan
ketentuan tersebut kita mengetahui bahwa kemakmuran masyarakat
adalah tujuan utama dalam pemanfaatan sumber daya alam di
Indonesia.

Sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada


tanggal 24 September 1960 pemerintah mengundangkan Undang-
Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA yang termuat dalam
Lembaran Negara No.104 tahun 1960.

Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah


mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai
social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan
sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia
untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah
merupakan faktor modal dalam pembangunan dan tanah telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan
perniagaan dan objek spekulasi1.

1
Achmad Rubaeie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ,
Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 1

2
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai
hubungan magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak
hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota
masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di
dalam hubungan dengan hak ulayat2.
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir,
batin, dan merata, di sisi lain perlu dijaga kelestariaannya. Tanah
merupakan karunia Tuhan yang dapat digunakan untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bangsa Indonesia, maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hal
ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945) yang berbunyi : “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
“. Dari bunyi Pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi
(tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung didalam harus dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran
dari Pancasila, maka dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud
adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas
maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara Republik
Indonesia yang bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan
keadilan3 . Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan

2
Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan.
Media Abadi. Yogyakarta, 2005, hlm.40
3
Ibid, hlm.1

3
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-
mata dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu
dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah tersebut4.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA)
menegaskan, bahwa kewenangan negara terkait hak menguasai tanah
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan atau pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian
(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat
adil dan makmur.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA diartikan sebagai kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk
kepentingan individu saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di
Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat bahwa penggunaan tanah juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan sosial.

4
Achmad Rubaei, Op. Cit. hlm. 2

4
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan5.
Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap
hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun
tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak
bersama. Pasal 6 UUPA, menyatakan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan
tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan
pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi
sudah termasuk juga di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum
(masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2
ayat (3) Juncto Pasal 6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, negara perlu melakukan berbagai ragam kebijakan dan
kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan keahlian,
termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap
harus untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Sebagaimana
dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang
membutuhkan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-


5

Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.
231

5
dalam pelaksanaanya harus mempertimbangkan banyak hal.
Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono yang mengutip
pendapat Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah harus
berdasarkan atau mencangkup prinsip6:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh
seseorang atau badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak
yang bersangkutan (kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis UU
HAM)); dan
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh
gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan
pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20
Tahun 1961).
Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena
berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di
lain pihak sebagian dari masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat
pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana hal tersebut
diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan,
maka dapat berdampak mengesampingkan kepentingan perseorangan

6
Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk
KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008. Hlm. 5

6
yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak perseorangan untuk hidup
secara layak. Secara tegas Hak Milik telah mendapatkan perlindungan
yang kuat dalam pasal 28H UUD 1945, dinyatakan “Setiap orang berhak
mempunyai milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Pasal 36 ayat (1) dan (2)
UU HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara
yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas
miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan
pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi pemegang hak atas
tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah
seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang
mengabaikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini
muncul baik dalam tahap awal, pelaksanaan maupun pemberian ganti
rugi yang kurang layak yang tanpa melibatkan masyarakat pemegang
hak atas tanah
(http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-
sosial.html, 3 April 2014), sehingga pengadaan tanah yang berdalih
untuk kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria
pembatasan “kepentingan umum” yang membuka kemungkinan
pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh Pemerintah. Pengertian
kepentingan umum dikhawatirkan akan diartikan secara luas sehingga
dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia yang belum
sepenuhnya dilindungi sistem hukum7. Demikian juga selain perangkat
aturan yang ada saat ini dilihat belum mengakomodasi keperluan
7
Mohammad Hatta, Op. Cit, hlm 157

7
kepentingan pembangunan. Wadahnya pun disorot tidak layak, lantaran
persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia tidak dihimpun dalam
undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh
Pemerintah, apabila melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka
melalui pencabutan hak milik. Hal demikian diatur dalam Pasal 1 UU No
20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden
dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang
organ Pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum
(onrechmatige overheidsdaad) publik, seperti dalam hal pelaksanaan
pencabutan Hak Milik. Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal8:
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan
tidak mengindahkan dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga
dirasa sangat mustahil untuk diterima oleh yang
bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak
memenuhi persyaratan hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air
atau air yang terdapat di daerah itu tidak berfungsi sebagaimana
mestinya karena adanya pencemaran lingkungan.
Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yang kebanyakan pemicunya terkait dengan
pemberian ganti rugi, baik dalam bentuk, pelaksanaan
pembayarannya maupun besarnya ganti rugi. Pembayarannya
8
Marmin M.Roosadijo. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya. Ghalia Indonesia, Jakarta,1979, hlm. 31

8
terkadang tidak langsung tunai dan diundur-undur dan besarnya ganti
rugi tidak layak. Guna menghindari konflik terkait pemberian ganti
rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya harus ditetapkan
berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang mempunyai
kedudukan sama dan sederajad, sehingga antara pihak pemerintah
dengan pemegang hak atas tanah terjadi keseimbangan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah harus memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia
dan dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah. Pemerintah tidak boleh mengambil atau mencabut hak atas
tanah sewenang-wenang dengan berdalih untuk kepentingan umum
tanpa mempertimbangkan prinsip penghormatan hak atas tanah.
Termasuk pengadaan tanah untuk kepentinganm umum yang terjadi
di Wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk
mempelajari dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam
sebuah penulisan penelitian hukum dengan judul : TINJAUAN
YURIDIS KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN DALAM HAL PENGADAAN TANAH
UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan Pasal 18 UUPA, maka dalam pengadaan tanah bagi


pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus berdasarkan
prinsip penghormatan hak atas tanah, yang mencangkup untuk
kepentingan umum, ganti rugi yang layak dan tata caranya yang diatur

9
dengan undang-undang. Adapun permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah :
a. Kelemahan apakah yamg terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
khususnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum?
b. Bagaimana tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah?
c. Bagaimana Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
d. Permasalahan apakah yang dihadapi Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori
Hukum Pembangunan

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai
dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam
pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dapat
memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah.
b. Mengetahui Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

10
untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunan.
c. Untuk Mengetahui Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Wonosobo dalam
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif penelitian ini adalah :
a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analitis
penulis mengenai Hukum Agraria, terutama menyangkut prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
Pembangunan demi kepentingan umum;
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu
hukum, mengembangkan, dan memperluas wacana pemikiran
serta pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna
menganalisis permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
hal prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum; di lihat dari sisi teeori hukum
pembangunan.
c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap
sebagai bahan untuk menyusun Tesis, guna memenuhi
persyaratan akademis dalam mencapai Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

11
Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan
hanya bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-
pihak lain. Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
Manfaat Teoretis dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama
mengenai masalah Pengadaan Tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum.
b. Untuk mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam
penulisan ilmiah di bidang hukum terutama hukum agraria.
a. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum
Agraria tentang prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah:
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna
bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat
untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.

F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh,

12
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di
antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah9.
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang
memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk
menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa
hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan,
misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “
mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan10.
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas
dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik
sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi.

9
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 283
10
Urip Santosa, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 49

13
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam
Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3
bidang, yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini
belum ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut
Emelan Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa
pembentukan UUPA menyadari bahwa dalam
perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya
hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya
perkembangan masyarakat, hanya saja pengaturannya harus
dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu
yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-
sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini adalah Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Sewa
Tanah Pertanian.
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu:11
11
Ibid, hlm. 52-53

14
1) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-
macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap
mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi
sosial (Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak
yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan
kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain
di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut
(dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan
pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama
kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberi hak
atas tanah kepada warganya12.
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak
dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih

12
Kartini Muljadi,dkk., . Hak-Hak Atas Tanah. Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm.30

15
memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya
tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka
hak milik tersebut menjadi hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat,
dan terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:
a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan,
jangka waktunya tertentu.
b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak
milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang
mempunyai diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang
empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan
hak lain.
b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak
lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa
memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak
yang kurang daripada hak milik: menyewakan,
membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah
itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau
hak pakai.
c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas.
Hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja,

16
hak guna usaha terbatas hanya untuk pertanian
sedangkan hak milik dapat digunakan untuk usaha
pertanian maupun untuk bangunan.13
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan
hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2)
UUPA yang menyatakan bahwa oleh pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dengan syarat-syarat. Pemberian landasan
hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk
medapatkan hak milik atas tanah, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah14. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang
disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya
disebut bank negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun
1958;
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
dan

13
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Alumni, Bandung, 1989, hlm.
236-237
14
Supriyadi, Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 66

17
d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang
menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(1)Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
UUPA;
(2)Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(3)Karena ditelantarkan; dan
(4)Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
b) Tanahnya musna.

2) Hak Guna Usaha (HGU)


Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU
merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan
terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya
berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak
lain15. Penjelasan UUPA telah diakui dengan sendirinya
bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap
tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi, tidak
dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu hak
milik dengan orang lain.
15
Ibid, hlm 110

18
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk
jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan
cara: jual beli, tukar-menukar, penyertaan dalam modal,
hibah, dan pewarisan (Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun
1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun
1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
a) Warga Negara Indonesia;
b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih
menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi
berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)
telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status HGU-
nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat
Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan
hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing
control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan16 :
16
Ibid, hlm. 111

19
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang
Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah
berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan
HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan
Pasal 3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan
pelepasan ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan
status dari pemegangnya, maka karena hukum HGU
bersangkutan menjadi hapus dan tanh menjadi tanah
negara (ayat (2) dari Pasal 3).

HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini


sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa,
HGU hapus karena:
a) Jangka waktunya berakhir;
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuai syarat tidak dipenuhi;
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d) Dicabut untuk kepentingan umum;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17
PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum
jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

20
c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;
d) Ditelantarkan;
e) Tanahnya musnah; dan
f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka
waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.

3) Hak Guna Usaha (HGB)


Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang
haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan
bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan
dengan pemilik tanah dapat diperbaharui haknya.
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah:
warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP
No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar
menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34
ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).
HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996
dinyatakan bahwa, HGB hapus karena:
a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;

21
b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya
berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau
(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara
pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian
penggunaan tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum yang
tetap;
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum janghka waktu berakhir;
d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;
e) Ditelantarkan;
f) Tanahnya musnah;
g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak
lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak
melepaskan atau mengalihkan haknya).

4) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan

22
ketentuan undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-
58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak
pengelolaan harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu
pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik
tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas
kesepakatan dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui
haknya.

5) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka
waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam
ketentuan perjanjian sewa-menyewa dalam Kitap Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

2. Tinjauan Tentang Fungsi Sosial Hak Atas Tanah


Konsep fungsi sosial baru timbul sekitar abad ke-19 sebagai
reaksi daripada penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak
dan formalistis di dalam masa puncak perkembangan kapitalis (Hoch
kapitalismus) dan industrialisme di Eropa. Menurut Wolfgang
Friedman yang dikutip Sunarjati Hartono, menyatakan bahwa di
dalam masyarakat yang sederhana (pra-industri) hak milik
mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan seseorang, sesuai dengan

23
pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah. Di dalam masyarakat
pra-industri yang sederhana, seperti di dalam hukum adat Indonesia,
apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaan, maka yang
dimaksud olehnya adalah barang yang dikuasai sepenuhnya dan yang
dapat dinikmati sepenuhnya pula17.
Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang
mempunyai berbagai macam hak untuk menjamin dan
mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat, dimana
salah satunya adalah hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan hak
yang dipunyai seseorang yang menurut sifatnya termasuk hak yang
secara wajar boleh dimiliki oleh suatu pihak karena hubungannya
yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat dan
waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat. Hak ini
masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena adanya
suatu atau beberapa kepentingan yang memaksa 18. Artinya hak atas
tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat
diganggu gugat melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa
kepentingan sebagai sebabnya yang lebih memaksa, yang antara lain
adalah kepentingan umum.
Bangsa Indonesia yang sejak semula hidup dalam suasana
kekeluargaan dan hukum adat tidak pernah memberi tekanan kepada
kepentingan perseorangan, manusia Indonesia selamanya hanya
berarti dalam lingkungan suatu kelompok masyarakat yaitu sebagai
warga masyarakat. Boedi Harsono merumuskan bahwa konsepsi
hukum adat adalah komunalistik-religius, yang juga memungkinkan
penguasaan tanah secara individual sekaligus mengandung unsur

17
Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah.
Alumni, Bandung, 1978, hlm. 16-17
18
Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan, 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 7-8

24
kebersamaan19. Ini berarti bahwa hak atas tanah yang dikuasai secara
individual tidak dibenarkan penggunaan tanah tersebut untuk
kepentingan pribadi, melainkan penggunaannya harus disesuaikan
dengan manfaat bagi masyarakat dan negara. Hak milik atas tanah
dalam hukum adat yang berkembang sebelum bangsa barat datang
adalah hukum adat yang merupakan hukum asli golongan pribumi,
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa “semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial”. Di dalam penjelasan umum fungsi sosial
hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa:

ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada
itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan
seseorang akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan
pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya. (Penjelasan Pasal 2 ayat 3 UUPA).

Dari ketentuan di atas berarti hak atas tanah bukanlah bersifat


pribadi semata-mata. Penggunaannya juga harus memperhatikan

19
Boedi Harsono, OP. Cit, hlm. 79

25
kepentingan bersama yaitu kepentingan umum, karena bidang tanah
yang dikuasai itu adalah sebagian dari tanah bersama.
Dalam konsep hukum barat, pengertian fungsi sosial pada
hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu
bagi kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam
hukum adat dan hukum tanah nasional merupakan bagian dari alam
pikiran asli orang Indonesia. Bahwa manusia Indonesia adalah
manusia pribadi yang sekaligus makhluk sosial, yang mengusahakan
terwujudnya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, kepentingan
masyarakatnya20.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah salah satu dari tiga
kewajiban dalam UUPA yang bersifat umum yang dibebankan pada
setiap pemegang hak atas tanah, yakni:
a. Kewajiban menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6);
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 52 ayat (1));dan
c. Kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah
pertanian (Pasal 10)21.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan
antara lain22:
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum
tanah nasional;
b. Tanah seseorang tidak mempunyai fungsi sosial bagi yang punya
hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Sebagai

20
Ibid, hlm. 302
21
Ibid, hlm. 42-43
22
Ibid, hal. 299

26
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman,
tetapi juga kepentingan masyarakat; dan
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya, dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta
kondisi tanah sehingga dapat dinikmati tidak hanya pemilik tanah
saja tetapi juga masyarakat lainnya. Oleh karena itu kewajiban
memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang hak yang bersangkutan, melainkan juga beban dari
setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu
hubungan hukum dengan tanah.
Maria S.W. Soemardjono yang mengemukakan bahwa
interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah, di samping
mengandung makna bahwa hak atas itu harus digunakan sesuai
dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si
pemegang hak dan bagi masyarakat, juga berarti bahwa harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan diakui dan
dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan23. Maka jika kepentingan umum menghendaki
didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini
mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan ganti rugi24.

3. Tinjauan Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum


a. Pengertian Pengadaan Tanah
23
Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implentasi (Edisi Revisi +). PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm. 79
24
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 298-299

27
Menurut John Salindeho pengadaan tanah adalah
menyediakan tanah atau mengadakan tanah untuk kepentingan
atau keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek
atau pembangunan sesuatu sesuai program pemerintah yang telah
ditetapkan25.
Pada dasarnya pengertian di atas dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau
keperluan Pemerintah, dalam rangka proyek atau pembangunan
infrastruktur negara sesuai program pemerintah yang telah
ditentukan. Bukan tidak ada tanah yang tersedia, tetapi tanah
bebas dari hak orang atau badan hukum yang justru dibutuhkan
oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan sesuai strategi
pembangunan nasional, diperlukan (tanah) demi terlaksananya
program bertalian dengan proyek yang telah direncanakan26.
Sementara menurut Keputusan Presiden No. 55 tahun
1993 dikatakan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tesebut”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65
Tahun 2006, menyebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang No.
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

25
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta,
1993, hlm. 31
26
Ibid, hal. 31-32

28
untuk Kepentingan Umum, menyebutkan bahwa Pengadaan
adalah kegiatanh menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
rugi yang layak adan adil kepada pihak yang berhak. Dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dengan mendasarkan pada asas: Kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan serta kesetaraan.

b. Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah


1) Pengertian Kepentingan Umum :
Istilah kepentingan umum, pertama kali bermula dari
ketentuan Pasal 18 UUPA, “...kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat,,,,”. Selanjutnya Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961
sebagai pelaksana Pasal 18 UUPA, menyatakan
“ ,,,kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersamadari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan,,,”. Pasal 1 butir 5 Peraturan
Presiden No 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No 36
Tahun 2005), menyatakan, “ Kepentingan umum adalah
kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Hakikat
Kepentingan Umum dapat dikatakan untuk keperluan,
kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial
yang luas. John Salindeho telah merumuskan bahwa
kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar

29
asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional serta wawasan nusantara27.
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dimaksud
kepentingan umum dalah kepentingan bangsa, negara dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Ketentuan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 (sudah tidak berlaku), menyebutkan apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum, yakni :
a) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan
tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara,
dan/atau kepentingan masyarakat luas dan/atau
kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
kepentingan pembangunan.
b) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai
sifat kepentingan umum meliputi bidang-bidang
pertahanan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan,
ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesejahteraan
olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam,
kesejahteraan sosisal, makam/kuburan, pariwisata dan
rekreasi, usaha-isaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Pasal 5 Perpres No 65 tahun 2006, menyatakan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau pemerintah daerah, yang selanjutnya dimiliki

27
Ibid, hal. 40

30
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di
ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran
air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain
bencana;
e) tempat pembuangan sampah;
f) cagar alam dan cagar budaya; atau
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

2) Karakteristik Kepentingan Umum ;


Menurut Adrian Suteji, ada tiga prinsip suatu kegiatan
benar-benar untuk kepentingan umum, yaitu :
a) Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.
Bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki
oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan
perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan
kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan
tanah-tanah hak maupun negara.
b) Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah.
Bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan
untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh
pemerintah.

31
c) Tidak mencari keuntungan.
Bahwa Fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta
yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga
terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum
sama sekali tidak boleh mencari keuntungan.
Adrian Suteji, juga berpendapat bahwa kriteria sifat,
kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik dari kegiatan untuk
kepentingan umum, yaitu :28
a) Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar memiliki kualifikasi untuk
kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat dari
beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat
kepentingan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961, yaitu untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula
kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat
mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya;
b) Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk
kepentingan umum agar mempunyai kualifikasi sebagai
kegiatan untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat
bentuk kepentingan umum sebagaimana Pasal 2 lampiran
Instruksi Presiden 1973 (bahwa sebelumnya proyek tersebut
sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah

28
Adrian Suteji, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 75

32
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, sudah
termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah
yang bersangkutan dan yang telah mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat) dan Pasal 5
Perpres No. 36 Tahun 2005; dan
c) Penerapan untuk kriteria ciri-ciri suatu kegiatan untuk
kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan
bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri-
ciri kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut
benar-benar dimiliki pemerintah, dikelola oleh pemerintah
dan tidak untuk mencari keuntungan.
c. Tata Cara Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual
beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara
sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No. 65 tahun 2006
mengatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (tiga ) macam,
yakni: Pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Kedua, jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati
secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah yang dilakukan dengan yang pertama
dan kedua di atas masuk dalam katagori pengadaan tanah secara
sukarela (voluntary land acquisition). Dalam klasifikasi teoritis

33
cara pengadaan dengan jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati secara suka rela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan ini disebut sebagai pemindahan hak, dengan cara
pemindahan hak tersebut, hak atas tanah langsung berpindah dari
pihak yang empunya kepada pihak yang membutuhkan. Jika yang
ditempuh adalah cara pelepasan atau penyerahan hak, maka
setelah tanah “dilepaskan” atau “diserahkan” status tanah
menjadi tanah negara, yang selanjunya dilakukan permohonan
hak oleh pihak yang membutuhkan tanah29. Cara pengadaan yang
dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah, yang telah diatur
sebelumnya dalam UU No. 20 tahun 1961 merupakan pengadaan
tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah
(compulsory acquisition of land).
Jelaslah bahwa hukum tanah di negara Republik
Indonesia sesungguhnya sudah mengatur berbagai cara
pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum, usaha maupun
pribadi. Cara yang digunakan tergantung pada (Boedi Harsono,
2005: 5):30
1) Status hukum tanah yang diperlukan;
2) Status hukum pihak yang memerlukan tanah;
3) Peruntukan tanah yang diperlukan;
4) Ada atau tidaknya kesediaan pemilik tanah untuk
menyerahkan tanah yang bersangkutan.
Meskipun ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan
dalam menentukan cara pengadaan tanah, namun untuk
menetapkan sistem tata cara pengadaan tanah sekarang ini cukup
jika sudah diketahui31 :
29
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia. Yogyakarta, 2004, hlm. 14
30
Boedi Harsono, Op. Cit. hlm. 5
31
Ibid, hal. 5-6

34
1) Status (hukum) tanah yang tersedia, apakah merupakan tanah
negara, tanah ulayat masyarakat hukum adat atau tanah hak;
2) Ada-tidaknya kesediaan yang empunya tanah. Artinya, kalau
yang tersedia tanah hak, apakah yang empunya tanah:
a) Bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak atas
tanah yang dipunyainya,atau
b) Tidak bersedia menyerahkan tanah atau melepaskan hak
atas tanah yang dipunyainya;
3) Status hukum yang memerlukan tanah
kalau yang tersedia tanah hak dan pihak yang mempunyai
bersedia menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah yang
dipunyainya, apakah yang memerlukannya:
a) Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang
diterimanya, atau
b) Tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak yang akan
diperolehnya.
Berdasar kreteria di atas, maka cara pengadaan tanah
dapat disusun dalam suatu sistem sebagai berikut32:
1) Jika tanah yang tersedia/diperlukan berstatus tanah negara,
maka tanah yang harus digunakan adalah acara permohonan
dan pemberian hak atas tanah;
2) Jika tanah yang tersedia berstatus tanah ulayat, maka
acaranya adalah meminta kesediaan Penguasa Masyarakat
Hukum Adat yang bersangkutan untuk melepaskan hak
ulayatnya, dengan pemberian ganti-rugi atas tanam tumbuh
rakyat yang ada diatasnya.
Tanah tersebut kemudian dimohonkan hak atas tanh sesuai
dengan status pihak yang akan menggunakannya melalui
cara permohonan pemberian hak tersebut di atas.
32
Ibid, hlm. 6-7

35
3) Jika tanah yang dimohon berstatus tanah hak, maka acara
yang digunakan, tergantung pada ada atau tidaknya
kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan kepada
yang memerlukan, dengan ketentuan:
a) Jika ada kesediaan untuk menyerahkan secara suka rela,
maka ditempuh:
(1)Acara perpemindahan hak, melalui jual-beli, tukar-
menukar atau hibah, yaitu jika yang memerlukan
memenuhi syarat sebagai subyek hak tanah yang
dipindahkan itu;
(2)Acara penyerahan atau pelepasan hak, diikuti dengan
permohonan hak baru yang sesuai, yaitu jika pihak
yang memerlukan tidak memenuhi syarat sebagagi
subyek hak yang semula menentukan status tanah
tersebut.
b) Jika yang empunya tanah tidak bersedia
menyerahkannya dengan suka rela, apabila syarat-syarat
telah terpenuhi, maka dapat ditempuh acara pencabutan
hak, sebagai cara pengambilan tanah secara paksa33.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No 65 Tahun 2006, bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di wilayah Daerah Istimewa/kota
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah Daerah
Istimewa/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota, sedangkan
untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh
Gubernur. Panitia pengadaan tanah bertugas (Pasal 7):

33
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 14

36
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,
bangunan, tanaman dan benda –benda lain yang ada
kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang
haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang
mendukungnya;
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat
yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak
atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah
tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap
muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas
tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi;
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para
pemegang hak atas tanah,bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang ada di atas tanah;
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah; dan
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang
berkompeten.

37
Pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan
musyawarah, sehingga didapat kesepakatan baik mengenai
pelaksanaan pembangunannya dan juga mengenai ganti ruginya.
Berdasarkan Pasal 12, ganti rugi diberikan untuk: hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Pasal 20 mengatur mengenai pengadaan tanah skala kecil,
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan
cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah
memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara
independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan
digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini
telah memperkenalkan pembatasan waktu (120 hari) dan
konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri
setempat). Perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan
waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan
berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk
menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Secara garis besar dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah,
yaitu: pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah dan
pengadaan tanah untuk kepentingan swasta. Pengadaan tanah
yang dilakukan Pemerintah dibagi atas pengadaan tanah bagi

38
kepentingan umum dan pengadaan tanah bukan untuk
kepentingan umum (misalnya: kepentingan komersial).
Selanjutnya pengadaan tanah bagi kepentingan swasta bisa pula
digolongkan menjadi kepentingan komersial dan bukan
komersial, yakni yang bersifat menunjang kepentingan umum
termasuk pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial
lainnya34.

d. Prinsip Penghormatan Hak Atas Tanah dan Ganti Kerugian


dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Di dalam diktum pertimbangan Perpres No. 36 tahun
2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun
2006, menyatakan “bahwa dengan meningkatnya pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka
pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-
hak yang sah atas tanah”. Pasal 4 menyatakan “Pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah.”. Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip
penghormatan ini diberikan kepada pemegang hak atas tanah
(subyek), karena konstitusi menjamin hak seseorang atas tanah
yang merupakan hak ekonominya.
Kebijakan pengambilalihan tanah dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum harus bertumpu pada prinsip
demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut35:

34
Ibid, hlm. 5
35
S.W. Soemardjono, Op. Cit. hlm. 90-91

39
1) Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang
berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang
bersifat fisik maupun non-fisik, dan hilangnya harta benda
untuk sementara waktu atau selama-lamanya, tanpa
membedakan bahwa mereka yang tergusur tetap tinggal di
tempat semula atau pindah ke lokasi lain;
2) Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan
kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah
dikorbankan untuk kepentingan umum36, maka ganti
kerugian yang diberikan harus memperhitungkan:
(3) Hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya;
(5) Bantuan untuk pindah ke lokasi lain, dengan
memberikan alternatif lokasi baru yang dilengkapai
dengan fasilitas dan pelayanan yang layak; dan
(6) Bantuan pemulihan pendapatan agar tercapai keadaan
yang setara dengan keadaan sebelum terjadi pengambil
alaihan. Besarnya ganti kerugian untuk tanah dan
bangunan seyogyanya didasarkan pada biaya
pengggantian nyata. Bila diperlukan dapat diminta jasa
penilai independent untuk melakukan taksiran ganti
kerugian.
3) Mereka yang tergusur karena mengambilalihan tanah dan
harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus
diperluas, mencangkup:
a) Pemegang hak atas tanah yang bersertifikat;
b) Mereka yang menguasai tanah tanpa sertifikat dan bukti
pemilikan lain;
36
Ibid, hlm. 80

40
c) Penyewa bangunan;
d) Buruh tani atau tunawisma yang akan kehilanagan
pekerjaan;
e) Pemakai tanah tanpa hak yang akan kehilangan lapangan
kerja atau penghasilan; dan
f) Masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional yang
akan kehilangan tanah dan sumber penghidupannya.
4) Untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang
terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian, mutlak
dilaksanakan survei dasar dan survei sosial ekonomi;
5) Perlu ditetapkan instansi yang bertanggung jawab untuk
pelaksanaan pengambilalihan tanah dana permukiman
kembali, dengan catatan bahwa keikutsertaan masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan
sungguh-sungguh terjamin;
6) Cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus
ditumbuhkembangkan dalam hal terjadi pemukiman kembali,
integrasi dengan masyarakat setempat perlu disiapkan
semenjak awal untuk menghindari hal-hal yang diharapkan
oleh kedua belah pihak;dan
7) Perlu adanya sarana untuk menampung keluhan dan
menyelesaiakan perselisihan yang timbul dalam proses
pengambilalihan tanah dan permukiman kembali, beserta
tatacara penyampaiannya.
Ganti kerugian merupakan bukti terhadap pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan
dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai
mewujudkan penghormatan kepada seorang yang haknya
dikurangi dengan memberikan imbalan berupa sesuatu yang

41
setara dengan keadaannya sebelum hak tersebut dikurangi atau
diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi
kesejahteraan. Karena setidaknya kerugian yang akan terjadi itu
meliputi37 :
1) Kehilangan tanah (tanah pertanian, pekarangan, akses ke
hutan dan sumber-sumber alam lain, kehilangan tanah
kepunyaan bersama);
2) Kehilangan bangunan (untuk rumah atau bangunan fisik
lain);
3) Kehilangan penghasilan dan sumber penghidupan (karena
ketergantungannya kepada hutan dan sumber-sumber alam
lainnya); dan
4) Kehilangan pusat-pusat kehidupan dan budaya masyarakat
(tempat-tempat religius, tempat ibadah, kuburan, hak atas
sumber daya alam).
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik
bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Bentuk ganti rugi dapat berupa (Pasal 13 Perpres No 65 tahun
2006) :
1) Uang; dan/atau
2) Tanah pengganti; dan/atau
3) Pemukiman kembali; dan/atau
4) Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

37
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op. Cit, hlm. 33

42
5) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas
(Pasal 15 ayat (1) Perpres No.65 tahun 2006):
1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan
berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
yang ditunjuk oleh panitia;
2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;dan
3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian.

4. Teori Hukum Pembangunan

Teori hukum pembangunan yang berkembang di Indonesia tak


bisa dilepaskan dari nama Mochtar Kusuma Atmadja. Pengadiannya
di kampus dan di birokrat telah ikut membantu penyebaran
pandangan-pandangannya tentang hukum. Dikenal sebagai pakar
hukum internasional, Mochtar pernah diangkat menjadi Menteri
Kehakiman (1974-1978) dan Menteri Luar Negeri (1978-1988).
Gagasan-gagasan Mochtar telah dimasukkan sebagai materi hukum
dalam Pelita I (1970-1975). Pada intinya teori hukum pembangunan
menegaskan hukum harus bisa didayagunakan untuk kepentingan
pembangunan. Pemikiran Mochtar sedikit banyak mengenalkan
mahasiswa hukum di Indonesia dengan sebutan law is a tool of
social engineering.

Pokok-pokok pikiran Mochtar terkait dengan fase kedua dari


Teori Hukum Pembangunan dapat dideskripsikan sebagai berikut:

43
a. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk
menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti
Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya
diakui Mochtar sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai
menulis dan menggunakan istilah cita hukum Pancasila, filsafat
hukum Pancasila, dan Negara hukum Pancasila.
b. Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hukum pada umumnya
adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan
Mochtar dengan tujuan hukum dalam suatu Negara hukum
Pancasila. Dalam setiap Negara hukum, kekuasaan diatur dan
oleh karena itu, harus pula tunduk pada hukum. Tujuan keadilan
ini mencakup di dalamnya keadilan social (sila kelima dari
Pancasila)
c. Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan
kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam
hukum. Hal ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam
Pancasila (asas persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara
pancasila pada analisis di atas adalah keadilan social, maka
fungsi hukum jadinya adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-
cita dalam kenyataan.
d. Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak
akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak
ditegakkan. Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi
pelanggaran hukum, yaitu ketika hukum yang mengatur tidak
berhasil atau terganggu dalam menjalankan fungsinya. Instansi
terakhir dalam penegakkan hukum ini dijalankan oleh hakim.
Hakim memeriksa perkara dan memberi keputusannya
berdasarkan hukum dan demi keadilan.

44
e. Penegakkan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi
terkait terakhir juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri.
Untuk itulah perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa berpekara itu
adalah demi menegakkan hukum dan keadilan, tidak semata-mata
demi memenangan perkara.
f. Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya.
Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur
tindakan manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan
hukum mengatur aspek tindapan lahiriah manusia dalam
masyarakat. Khusus bagi aparat penegak hukum, etika ini
berhubungan dengan etika profesi, yang dijalankan demi
penegakkan undang-undang dan hukum, demi
melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi
memegang kerahasiaan profesi.
g. Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan
yang diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization)
pada usaha-usaha besar pembinaan bangsa (a great nation
building effort). Pada tahap pertama memang tekanan diberikan
pada pelembagaan usaha-usaha atau proses ini, sehingga orang
perorangan mungkin terdesak, namun hal ini tidak berarti
individualitas dari orang perorangan tersebut tidak boleh diberi
kesempatan untuk berkembang, mengingat analisis terakhir
terhadap satua-satuan masyarakat itu akan berujung pada
individu juga.
h. Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut
didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan UUD 1945

45
sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan bertindak
manusia Indonesia.
i. Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagi berikut:
1) Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus
percaya pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan
Indonesia yang lebih baik;
2) Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik
Negara yang pada titik puncaknya telah menerima pancasila
sebagai asas tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
3) Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang
perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga
pengertian individu tidak bisa dilepaskan dari pengertian
masyarakat tempat individu itu mendapat kesempatan
berkembang sepenuhnya.
j. Manusia Indonesia “masa kini” yang terlibat dalam pembangunan
tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan
modern, yang mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:
1) Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan “asal saja”;
2) Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk
Negara, pikiran, dan waktu) untuk tujuan-tujuan produktif;
3) Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan
persaingan;
4) Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk
mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha,
terlepas dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini
dalam agama atau norma-norma etika;

46
5) Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati
rekan pergaulan dan hal ini juga menjadi modal dasar yang
penting dalam usaha dana perdagangan;
6) Tegas tetapi bijaksaja, mengingat tegas penting untuk
menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam
berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait
dengan pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan
tersebut;
7) Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi resiko
demi perubahan dan perbaikan serta berhati-hati agar resiko
tersebut dilandasi perhitungan yang matang;
8) Teguh memegang prinsip (prinsipiil), yakni sifat untuk tidak
mudah goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang
baik dan menjerumuskan.38
Mochtar memang belum sempat menuliskan secara detail
perkembangan dari fase pertama pemikirannya tentang Teori
Hukum Pembangunan ini. Cukup banyak prinsip-prinsip pokok
dari fase pertama pemikiran tersbeut yang masih dipertahankan,
misalnya, konsep tentang fungsi hukum sebagai law as a tool of
social engineering, tetap dipertahankan.39
Perhatian Mochtar terhadap hukum kebiasaan juga masih
cukup menonjol. Tampaknya ia melihat hukum kebiasaan ini
lebih cocok dengan kondisi Indonesia dalam iklim globalisasi
dewasa ini. Mochtar memang tidak lari kea rah penekanan hukum
adat gaya lama, tetapi lebih ke konsep hukum adat dalam
masyarakat modern Indonesia sebagaimana dapat di baca dalam
tulisan-tulisan M.B.Hooker.40
38
Shidarta, dkk, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan:
Eksistensi dan Implikasi. HuMa, Jakarta, 2012, hlm. 124-128
39
Ibid, hlm. 29-30
40
Ibid, hlm. 30

47
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh
Mochtar ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli
hukum Indonesia. Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal
sebagai ciri-ciri hukum adat di Indonesia, yakni kongkret, kontan,
dan komunal, seiring dengan perjalanan zaman telah mengalami
pergeseran-pergeseran tajam. Saat ini, misalnya, di desa-desa jual
beli sepeda motor telah dilakukan dengan sistem kredit. Sikap-
sikap individualistic juga terlihat makin menonjol. Artinya,
temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional tersebut
perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna
sebagai hipotesis.41
Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran
Mochtar dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli
hukum Indonesia agar mau menukik kepada pencarian teori dan
filsafat hukum Indonesia yang lebih membumi. Pada fase kedua
ini Mochtar telah beranjak dari seorang pemikir teoretikan
menuju pemikir filosofikal. Apabila seseorang ilmuwan
mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya ia sedang
bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua
pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik,
dan sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar
filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi
Mochtar, sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari
sudut filsafat hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangan yang
menyeluruh tentang aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini,
maka filsafat Pancasila (termasuk filsafat hukum Pancasila) ala
Mochtar akan berbeda dengan filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh
hukum lainnya. Dalam konteks ini, Teori Hukum Pembangunan
dari Mochtar Kusuma Atmadja bias didekati pada fase kedua ini
41
Ibid, hlm. 30

48
dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat Pancasila,
sehinggan hasil analisis kita terhadap Teori Hukum
Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan
berkembang menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan.42

5. Teori Implementasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :43

a. Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang


dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana,
teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Penerapan, Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa
to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the
means for carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap
sesuatu). Kalau pandangan ini diikuti, maka implementasi
kebijaksanaan keputusan dapat dipandang sebagai suatu proses
melaksanaan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan,
pemerintah eksekutif atau dekrit persiden).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi
diberi batasan : berlakunya suatu hukum atau peraturan
perUndang-Undangan di dalam masyarakat.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses implementasi adalah


keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun
dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Pada
umumnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah

42
Ibid, hlm. 30-31
43
Kanus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319

49
yang ingin diatasi dengan menyebutkan secara tegas tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur
atau mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung
setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya diawali
dengan kebijakan dalam bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan
keputusan oleh badan pelaksananya.

Memperhatikan pendapat tersebut di atas maka dapat


diambil kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah
suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber-sumber
didalamnya termasuk manusia, dana, kemampuan organisional,
baik oleh pemerintah maupun oleh swasta (individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pembuat kebijakan).

Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan,


yang memperhitungkan baik keputusan yang fundamental
maupun keputusan yang inkramental dan memberikan urutan
teratas bagi proses pembuatan kebijakan fundamental yang
memberikan arahan dasar dan proses-proses pembuatan
kebijaksanaan dan inkramental yang melapangkan jalan bagi
keputusan-keputusan itu tercapai.44

6. Penelitian yang Relevan.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

a. Penelitian skripsi (2008) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret


Surakarta, oleh Malikhah Rusdiyati dengan judul Pelaksanaan
Pengadaan tanah untuk Pembangunan Pelebaran jalan Perintis
Kemerdekaan Jakarta Utara. Penelitian tersebut membahas masalah
hukum yang dihadapi oleh masyarakat Jakarta Utara sehubungan
44
Ibid, hlm. 193

50
dengan Pembangunan Pelebaran jalan Perintis Kemerdekaan Jakarta
Utara.
b. Penelitian Skripsi (2011) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Oleh Ahmad Akbar Risantyo tentang Prinsip Penghormatan Hakk Atas
tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Solo –
Ngawi di Kabupaten Karanganyar.
Kedua Penelitian tersebut lebih mengarah pada proses pemberian ganti
rugi dalam melindungi Masyarakatnya terhadap masalah hukum yang
dihadapi terkait Pembebasan Tanah.
c. Penelitian Tesis Wahyu Candra Alam (2010), Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Kurang dari satu
hektar dan penetapan ganti kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran
Jalan Gatot Subroto di Kota Tangerang). Penelitian ini meneliti
tentang pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum yang Luasnya Kurang Dari Satu Hektar dan Penetapan
Ganti Kerugiannya dalam pembangunan Pelebaran Jalan Gatot
Subroto dan pembuatan Over Pass di Kota Tangerang apakah
sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat yang terkena pembangunan tersebut.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tesis ini


meneliti tentang Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan dan
juga untuk Mengetahui Permasalahan yang dihadapi Kantor Badan
Pertanahan Kabupaten Wonosobo dalam Pengimplementasian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunan.

51
G. Kerangka Pemikiran
Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang manyatakan “Bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Melalui hak menguasai dari negara ini
maka negara akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan
pengelolaan fungsi tanah sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada.
Hal ini memberikan hak bagi negara untuk campur tangan, dengan pengertian
bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak akan terlepas dari hak menguasai
negara tersebut, karena kepentingan nasional diatas kepentingan individu atau
kelompok. Atau dengan kata lain, setiap pemegang hak atas tanah tidak boleh
mengabaikan fungsi sosial dari tanah tersebut (Pasal 6 UUPA).

Alur pemikiran Penulis tentang Implementasi Undang-Undang


No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
di tinjau dari Teori Hukum Pembangunan yang terjadia di kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo dapat digambarkan bahwa
pengadaan tanah untuk Pembangunan demi kepentingan umum
bermula dari konsep dalam UUPA dan konsep fungsi sosial hak atas
tanah. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Dari ketentuan tersebut, penggunaan hak
tanah tidak hanya menyangkut kepentingan individu atau golongan
pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan harus memperhatikan
kepentingan masyarakat luas (kepentingan umum). Interpretasi asas
fungsi sosial hak atas tanah, disamping mengandung makna bahwa hak
atas itu harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya,
sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, juga
berarti bahwa harus terdapat keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum dengan berdasarkan asas
kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan,

52
kesepakatan, keikutsertaan,kesejahteraan, keberlanjutans serta asas
keselarasan.

Dalam hal ini penulis menganalisis penjabaran prinsip


penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dengan ajaran teori Theo Hujbers, ajaran Michael
G. Kitay, pengiterpretasikan peraturan perundang-undangan yang
terkait, dan putusan pengadilan serta mengkaitkan dengan teori-teori,
doktrin-doktrin maupun asas-asas yang berkaitan dengan prinsip
penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Prinsip penghormatan hak atas tanah tersebut dapat
tercemin melalui interpretasi konsep kepentingan umum, musyawarah
dalam pelaksanaannya, dan ganti kerugian bagi pemegang hak atas
tanah. Konsep kepentingan umum dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia harus dapat menyeimbangkan antara
kepentingan umum (Pemerintah) dengan kepentingan pribadi
pemegang hak atas tanah. Musyawarah dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian maupun
masalah lain yang timbul dari kegiatan pengadaan tanah tersebut, atas
dasar kedudukan yang setara dan sederajad antara pihak yang
membutuhkan tanah dalam hal ini pemerintah dengan pemegang hak
atas tanah. Pemberian ganti rugi sebagai penghormatan dari segi
ekonomi dari pemegang hak atas tanah supaya tidak mengalami
kemunduran kondisi ekonomi maupun sosialnya.
Dari analisis konsep kepentingan umum, musyawarah dan
pemberian ganti kerugian pengadaan tanah dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia maka dapat ditarik kesimpulan mengenai
konstruksi hukum prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

53
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :

1. Konsep fungsi sosial hak


atas tanah
2. Kepentingan umum
menurut
3. UUPA (UU No.5 Th 1960)
4. UU No. 20 Th 1961
5. UU No 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah
Teori Hukum Pembangunan
Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
6. Keppres No. 55 Th 1993
7. Perpres No. 36 Th 2005
Sebagaimana telah diubah
dengan Perpres No. 65 Th
2006 terakhir dengan
Perpres No. 71 Tahun 2012
54 8. Putusan Mahkamah Agung
Teori Implementasi Hukum
Fakta Hukum: Prinsip Penghormatan hak atas
Prinsip penghormatan hak atas tanah :
1. Konsep Kepentingan
tanah dalam pengadaan tanah
Umum
untuk Pembangunan demi
2. Musyawarah
kepentingan umum:
3. Ganti kerugian

Prinsip penghormatan hak atas


tanah dalam pengadaan untuk
Pembangunan demi kepentingan
umum

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar


yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan
dalam bidang-bidang tertentu. Metode Penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi45. Penelitian hukum
45
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta,
2005, hlm. 35

55
dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul
dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan 46.
Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan
digunakan, maka terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat
mengenai metode, demikian pula penelitian.

Metode menurut Setiono47 adalah suatu alat untuk mencari


jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau
alatnya harus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian
dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau
non doktrinal serta di dukung dengan data sekunder, sedangkan
dilihat dari sifatnya termasuk penelitian yang deskriptif kualitatif,
yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan tentang
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Wonosobo .

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai


suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang
dihadapi. Akan tetapi, dengan mengadakan klarifikasi yang
berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya
alur yang runtut dan baik untuk mencapai maksud 48. Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten 49. Penelitian dapat diartikan pula suatu usaha untuk
menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

46
Ibid, hlm. 41
47
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta:
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
48
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito, Yogyakarta,
1990, hlm. 131
49
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 42

56
pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan
metode ilmiah50.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode


penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik
dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran
maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.
Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka diperlukan metode
penelitian yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian.
Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa “penelitian
merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi”. Hal demikian disebabkan penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sistematis, metodologi
dan konsisten.51

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan


penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti
harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi
penelitian disiplin ilmunya.52 Penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan
metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran
yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya.53

Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian diagnostik


yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan
mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala 54.
Selain itu dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5
(lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto55 adalah
sebagai berikut:

50
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Hukum. UNS Press, Surakarta, 1989,
hlm. 4
Soejono Soekarno dan Sri Mamdji, Penelitian Hukum Normatif, CV.
5129

Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.1


52
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, 2006, hlm.26
53
Ibid, hlm. 28
54
Ibid, hlm. 57
55
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta:
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS 2002, hlm. 5

57
1. Hukum adalah asas kebenaran dalam keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan
tersistematisasi sebagai judge made low
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variable sosial yang empiris
5. Hukum adalah menifestasi makna-makna simbolik para perilaku
sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka.

Konsep hukum dalam penelitian ini adalah konsep yang ketiga


yaitu Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan
tersistematisasi sebagai judge made low. Berdasarkan konsep hukum
tersebut diatas maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :

A. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini
termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian
hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-
bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.56

B. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu
sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif,
artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum

56
Johni Ibrahim, Teori dan Metodogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2006, hlm.44

58
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum.57

Dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif


mengenai Putusan hakim dalam memberikan pertimbangannya
terhadap kasus Penyimpnan Bahan Bakar Minyak tanpa izin usaha
penyimpanan.

C. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini
hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang.
Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari
lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu
pengkajian yang dilakukan, hanyalah ”terbatas” pada putusan
pengadilan dilingkungan peradilan umum, khususnya untuk perkara-
perkara pidana terkait dengan Putusan tentang Penimbunan Bahan
bakar Minyak Tanpa Izin Pen yimpanan. . Dari berbagai jenis metode
pendekatan yuridis normatif yang dikenal, peneliti memilih bentuk
pendekatan normatif yang berupa, penemuan hukum in-conreto.

D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pascasarjanan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan studi kasus.

E. Jenis Data

Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok


yaitu data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang
diteliti, maka akan disempurnakan dengan penggunaan data
pelengkap yang berguna untuk melengkapi data pokok. Penelitian ini
menggunakan jenis data Sekunder. Data sekunder, adalah data yang
57
Peter mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hlm. 22

59
berasal dari data-data yang sudah tersedia misalnya, dokumen resmi,
surat perjanjian atau buku-buku. Data Sekunder dapat berupa bahan
hukum Primer, Sekunder maupun Tertier58.

Adapun yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini


adalah meliputi buku-buku kepustakaan, laporan, buku harian, arsip-
arsip, dan lainnya. Data sekunder utama dalam hal ini adalah Putusan
hakim yaitu Putusan Hakim yang ada di Pengadilan Negeri Boyolali
No.211/Pid.Sus/2013/PN.BI, Putusan Hakim Pengadilan negeri
Unaaha No. 130/Pid.B/2013/PN.Unh Putusan Hakim Pengadilan
Negeri Gunung Sugih No. 249/Pid.B/2013/PN.GS dalam Perkara
Penyimpanan Bahan Bakar Minyak tanpa Izin Usaha Penyimpanan.

F. Sumber Data
Sumber data yang akan diperlukan dalam penelitian adalah
Sumber data Sekunder. Sumber Data Sekunder merupakan sumber
data yang didapatkan secara tidak langsung berupa keterangan yang
mendukung data primer. Sumber data sekunder merupakan pendapat
para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan
literatur-literatur serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang
terkait.

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :


1. Bahan-bahan hukum Primer :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
dan memahami bahan hukum primer adalah :
58
Setiono. Loc. Cit. hlm. 6

60
(1) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Bahan bakar Minyak.
(2) Buku-buku hukum.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
(2) Kamus Umum Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia-
Inggris
(3) Kamus Hukum.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam


penelitian ini adalah dengan metode studi pustaka. Dalam studi ini
penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, memahami dan
mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti, yaitu dengan
membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi
atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
H. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam


suatu penelitian. Agar data yang terkumpul dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat
dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknis analisis data yang
tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah
hasil penelitian menjadi suatu laporan.

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan


data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat
ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan
oleh data. Dengan kata lain analisis data adalah proses
pengorganiosasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan
uraian dasar, sehigga akan dapat ditemukan jawaban terhadap

61
permasalahan yang diteliti dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, yang
dalam hal ini analisis dilakukan secara logis, sistematis dan yuridis
normatif dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang
dimaksud dengan logis adalah pemahaman data dengan menggunakan
prinsip logika baik deduksi maupun induksi. Dalam penelitian ini
menggunakan prinsip logika deduksi yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi59.

Permasalahan dalam hal ini adalah yang bersifat makro


atau umum yaitu tentang perbandingan putusan hakim terkait
penimbunan bahan bakar Minyak, sedangkan permasalahan yang
bersifat mikro atau khusus yaitu petimbangan hakim dalam memutus
perkara tindak pidana penyimpanan Bahan Bakar Minyak (BBM)
tanpa ijin usaha penyimpanan.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif,


yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif-
analitis. Data diskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh60.

Metode penelitian kualitatif dikembangkan untuk mengkaji


kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya,
namun mendalam, total menyeluruh, dalam arti tidak mengenal
pemilihan-pemilihan gejala secara konseptual ke dalam aspek-
aspeknya yang eksklusif (disebut variabel). Metode kualitatif
59
Setiono Op. Cit. hlm 8
60
Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 250

62
dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi
oleh peneliti atau naturlistik61

Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5


(lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto
seperti dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut:62

1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan


yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut
bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam)
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di
dalam sistem perundang-undangan;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam
penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang
diputuskan oleh hakim;
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variable sosial yang empiric ;
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai
tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono
disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia).

Penelitian ini mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5,


yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang
dikembangkan oleh Setiono63 yaitu hukum yang ada dalam benak
manusia. Penelitian ini akan menggali pendapat-pendapat, ide-ide,
pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa secara langsung dan mendalam
sehingga diperoleh informasi dan data-data yang akurat, yang
penulis perlukan dalam penulisan ini.

61
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001,
hlm. 54

Setiono. OP. Cit. hlm. 3


62

Setiono, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS.


63

2005, hlm. 7

63
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke
dalam bentuk penelitian evaluatif. Menurut Setiono64, yang
dimaksud dengan penelitian yang berbentuk evaluatif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk menilai program-program yang
dijalankan

Penelitian hukum empiris ini dilakukan melalui observasi


dan wawancara mendalam (in depth interview) dengan para
responden dan narasumber yang berkompeten dan terkait dengan
masalah yang diteliti (objek yang diteliti), untuk mendapatkan data
primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.

2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum65. Tujuan dari penelitian ini untuk
mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya mengenai prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah :

a. Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.


b. Perpustakaan Pascasarjana UNS
c. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
64
Ibid, hlm. 6
65
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media, Jakarta,
2005, hlm. 22

64
d. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
Alasan pemilihan lokasi adalah:

a. Kasus yang diteliti relatif baru


b. Data tersedia Lengkap dan layak untuk diteliti.
c. Tersedia akses internet
d. Mudah membandingkan literatur yang satu dengan literatur
lainnya

4. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu
data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti,
maka akan disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang
berguna untuk melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut
adalah sebagai berikut:

1) Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat


atau data dasar66. Adapun yang termasuk dalam data primer
dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam
pengambilan tentang Pengimplementasian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditinjau dari Teori
Hukum Pembangunan di Kantor Pertanahan Kabupaten
Wonosobo. .
2) Data sekunder, adalah data yang berasal dari data-data yang sudah
tersedia misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-
buku. Data Sekunder dapat berupa bahan hukum Primer, Sekunder

66
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 12

65
maupun Tertier67. Adapun yang termasuk Bahan Hukum Primer
dalam penelitian ini meliputi :
(a) Undang-Undang Dasar 1945
(b) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria;
(c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(d) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(e) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
(f) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
(g) Perpres No. 71 Tahun 2012
(h) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012
(i) Permendagri No. 72 Tahun 2012
(j) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013
(k) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013
(l) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Tentang
Ketentuan Pelaksanaam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(m) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
(n) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Standar
Pelayanan dan Pengaturan pertanahan

67
Setioo, Op. Cit. hlm. .6

66
b. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:

1) Sumber Data Primer


Sumber Data Primer adalah sumber data yang
diperoleh secara langsung dari lapangan yang meliputi
keterangan atau data hasil wawancara kepada pejabat yang
berwenang dalam hal Pengimplementasian
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum
Pembangunan di Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
Sumber data primer adalah data atau keterangan yang
diperoleh semua pihak terkait langsung dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini,
bertindak sebagai informan adalah pejabat dan staf di
lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo.
2) Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang
didapatkan secara langsung berupa keterangan yang
mendukung data primer. Sumber data sekunder merupakan
pendapat para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam
buku ilmiah, dan literatur-literatur yang mendukung data.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a) Bahan-bahan hukum Primer :
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
(2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria;

67
(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(4) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
(5) Peraturan presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
(6) Keputusan Presaiden No. 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
(7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,
Tentang Ketentuan Pelaksanaam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah

(8) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional


Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan

(9) Perpres No. 71 Tahun 2012

(10) Per.Ka. BPN No. 5 Tahun 2012

(11) Permendagri No. 72 Tahun 2012

(12) Per.Menkeu No. 13 Tahun 2013

(13) Per.Gub. Jateng No. 18 Tahun 2013

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat


hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum
primer adalah :

68
(3) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Kewenangan
Pertanahan di Indonesia;
(4) Buku-buku terkait dengan Hukum Agraria
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
bahan sekunder, misalnya :
(4) Kamus Besar Bahasa Indonesia
(5) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia,
Indonesia- Inggris
(6) Kamus Hukum

5. Teknik Pengumpulan data

Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara

Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan


wawancara, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara
mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan
bercakap-cakap secara langsung. Wawancara ini bertujuan untuk
mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat-
pendapat mereka68. Secara umum ada dua jenis teknik wawancara, yaitu
wawancara terpimpin (terstruktur) dan wawancara dengan teknik bebasa
(tidak terstruktur) yang disebut wawancara mendalam (in-depth
interviewing)69. Dalama wawancara ini dilakukan dengan cara
mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang dapat
mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan atas sejumlah
data yang diperlukan.
68
Burhan Ashofa, Op. Cit. hlm. 95
69
HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif. UNS Press. Surakarta, 2002, hlm. .
58

69
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin
(terstruktur) dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara,
penulis membuat pedoman wawancara dengan pengembagan secara
bebas sebanyak mungkin sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh.
Metode wawancara ini dilakukan dalam rangka memperoleh data primer
serta pendapat-pendapat dari para pihak yang berkaitan dengan
Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Wonosobo. Selain itu juga mempergunakan
metode Observasi yaitu dengan cara mengamati suatu obyek yang
diteliti, setelah itu mencatat dan mencocokkan dengan teori agar tercapai
sasaran penelitian. Cara ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan
adanya beberapa hal yang tidak sempat poneliti tanyakan ataupun tidak
terjawabnya pertanyaan pada saat wawancara dilakukan, sehingga
peneliti bisa mendapatkan data yang lengkap.

b. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara
membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang
akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi
untuk mencatat informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang
diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan
terhadap:

1) Buku-buku literatur.
2) Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
3) Dokumen

6. Teknik Analisis Data

70
Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus
dianalisis. Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan
dimanfaatkan sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan
penelitian. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif karena data yang diperoleh bukan angka atau yang akan di-
angkakan secara statistik. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data
kualitatif adalah suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan
dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh70.

Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang


diteliti dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu
dijawab dalam penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah
diperoleh disusun sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti
kemudian data tersebut diolah dalam bentuk sajian data. Setelah
pengumpulan data selesai, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau
verifikasi berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data
maupun sajian datanya. Misalnya untuk mengetahui jawaban, tentang
bagaimana Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum ditinjau dari Teori Hukum Pembangunan di
Kantor Pertanahan Kabupaten Wonosobo, maka penulis menanyakan
langsung ke pokok permasalahannya. Kemudian dari jawaban yang
diperoleh tersebut diolah menjadi sajian data untuk kemudian dianalisis.
Setelah data tersebut selesai dianalisis kemudian disimpulkan. Apabila di
dalam kesimpulannya dirasa kurang mantap, maka penulis kembali
melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus dan juga
pendalaman data.

Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis


interaktif yaitu model analaisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan
70
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hal. 154

71
tiga tahap/komponen berupa reduksi data, sajian data serta penarikan
kesimpulan/verivikasi dalam suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut
sehingga data terkumpul akan berhuibungan satu dengan lainnya secara
oromatis71.

Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses


pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak di antara tiga
komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama proses data terus
berlangsung. Setelah proses pengumpulan data selesai, peneliti bergerak
diantara tiga komponen analisis dengan menggunakan waktu penelitian yang
masih tersisa..

Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat


digambarkan sebagai berikut:72

Gambar : 2

Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)

Pengumpulan Data

I II

Reduksi Data Sajian Data

III

Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

71
HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 86
72
Ibid, hlm. 87

72
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data
berlangsung terus-menerus bahkan sebelum data benar-benar
terkumpul sampai sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir
lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah merupakan suatu hal yang
terpisah dari analisis dan merupakan bagian dari analisis.

b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif
mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola,
penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan
proposisi. Kesimpulan-kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar,
tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-
mula belum jelas meningkat lebih terperinci dan mengakar dengan
kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di verifikasi selama penelitian
berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus
diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni
merupakan validitasnya73

73
Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hal. 18-19

73
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif.
Seorang peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu
selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara
kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi
selama sisa waktu penelitiannya. Kemudian komponen-komponen
yang diperoleh adalah komponen-komponen yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah
analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data-data yang diperoleh.

I. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan
dimulai bulan April 2014 sampai dengan Juni 2014, dengan rincian
sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN

Bulan
No Kegiatan April 2014 Mei 2014 Juni 2014

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I Persiapan Penelitian
1. Literatur

2. Proposal

3. Seminar

4. Perijinan

5. Questioner

II Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan Data

74
2. Analisis Data

3. Pembuatan Laporan Penyusunan


Thesis
III Revisi dan Penggandaan Thesis

75
DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta:


UNS Press.

Adrian Suteji. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam


Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan


Umum. Malang : Bayumedia Publishing.

Ari Purwadi. “Implikasi Pencabutan Hak Atas Tanah terhadap Perlindungan


Hak Asasi Manusia” Dimuat dalam Jurnal Legality.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/295

Bambang Sadono. 3 April 2014. Hambatan Fungsi Sosial. Sosiologi


Pertanahan.
http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2014/04/hambatan-fungsi-
sosial.html. [26 Februari 2014 pukul 12:17 WIB].

Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.

Burhan Ashofa, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi).
Jakarta : Djambatan.

Citorejo Waciman dan Kawan-Kawan v. Gubernur Kepala Daerah Tingkat


I Jawa Tengah, Menteri Pekerjaan Umum, Putusan Kasasi
Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991
(Perkara Kedungombo).

H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS


Press.

Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No.
5 Th. III November 1988

76
Harry Stephan, dkk. 2014. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz
Fanon?”. Tawarikh: International Journal for Historical Studies.
2(1) 2014. http://www.tawarikh-journal.com/files/File/Harry.pdf

Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah


untuk KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam
Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1 Halm 5. Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI.

John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar


Grafika.

Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif


(edisi Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.

John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk


Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau


Mundur?” Kompas, 11 Mei 2005.

. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan


Budaya. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.

. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan


Implentasi (Edisi Revisi +). Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.

Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah


dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara


Kesatuan. Yogyakarta : Media Abadi.

Kartini Muljadi,dkk. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja
Karya.

Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk


Kepentingan Umum. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

77
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media.

Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Adtya Bakti.

Setiono. 2002. Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad).


Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS.

________. 2005. Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana


UNS.

Shidarta, dkk, 2012, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum


Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: HuMa.

Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta:


Karunia-Universitas Terbuka.

Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika


Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologi (HuMa)

Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermedia.

Sunarjati Hartono. 1978. Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan


Hukum Tanah. Bandung: Alumni.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Supriadi S,. 2005. “Pembaharuan Pengaturan Pertanahan Nasioanal sebagai


Wujud Gerakan Sosial”., Jurnal Reformasi Hukum. Vol.VII No. 1.
Jakarta: Jurnal Mimbar Universitas Islam Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.

_______.2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.

Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih
Communication.

78
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas
Tanah. Yogyakarta: Genta Publishing.

Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana.

Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang


Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak


Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan
Pelaksananya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang


Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang


Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
di Atasnya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang


Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik
atas tanah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang


Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang


Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

79
Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang


Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Diatasnya.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3


Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun


1975 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

Dua Kelemahan UU Pengadaan


Tanah
News » Law

Kamis, 02 Agu 2012 - 16.29 WIB

4 Share on emailEmail Print

Sidang MK. Foto: Antara

80
RELATED NEWS

 Janji Beber Korupsi PLTA Sungai Membero-Urumka di Pengadilan


 Desak Pemkot Surabaya Tertibkan Minimarket
 Sosialisasikan SNMPTN ke SMA dan SMK se-Surabaya

Jakarta - Pengamat kebijakan publik Andrinof A Chaniago menilai,


pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, lebih cenderung untuk
kepentingan bisnis.

Hal itu diungkapkan Andrinof saat memberi keterangan sebagai ahli dalam
sidang pengujian UU Pengadaan Tanah di Mahkamah Konstitusi (MK),
Jakarta, Kamis (2/8/2012).

Menurut dosen FISIP UI ini, ada dua kelemahan yang mendasar dalam UU
Pengadaan Tanah, yakni dihilangkannya hak warga negara untuk
menentukan mana jenis-jenis pembangunan untuk kepentingan umum dan
mana yang bukan.

"Kedua, pada saat mengoperasionalisasikan konsep proyek kepentingan


umum di dalam bagian isi dari UU ini sangat jelas pembuatnya memiliki
bias dengan kepentingan bisnis atau investor," katanya.

Andrinof mengatakan bahwa UU Pengadaan Tanah jelas berfungsi


mengamankan kepentingan para investor atau pengusaha yang ingin
berinvestasi pada proyek-proyek pembangunan, yang sebetulnya masuk
kategori proyek komersial atau untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak
tertentu.

Permohonan pengujian UU Pengadaan Tanah ini dimohonkan oleh


Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat
Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), dkk.

Para pemohon ini menguji Pasal 2 Huruf g, Pasal 9 Ayat (1), Pasal 10, Pasal
14, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1), dan Pasal 40 dan Pasal 42 yang
dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan pengadaan


tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Menurut pemohon
bahwa definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat
dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Pengadaan Tanah itu tidak secara jelas dan
tegas dijelaskan.

81
Sementara itu, di dalam Pasal 10 dijelaskan bahwa tanah yang digunakan
untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan antara lain jalan
tol dan pelabuhan. Pemohon menilai bahwa jalan tol itu tidaklah relevan
dijadikan untuk kepentingan umum karena tidak bisa diakses oleh semua
pihak.

Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang diajukan


untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan
tidak mempunyai kekuataan hukum yang mengikat dengan segala akibat
hukumnya. (ant)

Tinjauan Kritis Atas UU No.2


Tahun 2012
Posted by imam koeswahyono on March 17, 2012

SUATU CATATAN
KRITIS ATAS  UNDANG-UNDANG
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN
No.2 TAHUN 2012

Oleh
Imam Koeswahyono

A.    Pengantar

Salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet
Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan No.2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat dengan UU
PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan
oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan,
argumentasi. Salah satu di antara pendapat yang menolak saat RUU PTUP
ini dibahas di DPR-RI adalah Idham Arsyad yang intinya menyatakan

82
pembahasan RUU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur
agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria .
Sebelumnya, harian Kompas juga mewartakan bahwa RUU PTUP
merupakan ancaman hak atas tanah karena rawan diselewengkan untuk
kepentingan bisnis yang justru meminggirkan akses publik terhadap hasil
pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat .
Dalam makalah ini penulis menelaah materi UU PTUP No.2 Tahun 2012
ini dari perspektif disiplin hukum lebih khusus telaah dari sisi struktur atau
format peraturan perundangan menurut Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 tahun
2011 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial (social justice).
Mengapa nilai keadilan sosial menjadi alasan sebagai pengarusutamaan
karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya ketimpangan struktur sosial
yang tidak adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah:
keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi,
pada kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah brsifat struktural.
Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung kepada
penciptaan struktur sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti
harus dilakukan melalui perjuangan memperbaiki struktur-struktur sosial
yang tidak adil tersebut .

Dengan demikian setidaknya terdapat permasalahan atau isu hukum penting


yang diketengahkan berkenaan dengan kehadiran rancangan undang-
undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
sebagaimana ditetapkan sebagai topik tulisan ini mempersoalkan mengenai
sinkronisasi dan harmonisasi rancangan undang-undang pengadaan tanah
dengan peraturan perundangan yang terkait yakni Undang-undang No.5
Tahun 1960, Undang-undang No.20 Tahun 1961 berdasarkan kajian
normatif menurut Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
peraturan perundang-undangan.
B.Permasalahan:
Apa kelemahan pada substansi UU No.2 Tahun 2012 jika dikaji
sinkronisasi dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan harmonisasinya dengan Undang-undang No.5 Tahun 1960
berikut implikasi hukumnya?

C.Pembahasan: Struktur, Filosofi, Nomenklatur, Prinsip/Azas


C.1. Struktur
Perlu diketahui bahwa sebelum disusunnya UU PTUP, maka wujud
pengaturan aktifitas PTUP secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.15 Thn 1975, Keputusan Presiden No.55 Thn 1993,
Peraturan Presiden No.36 Thn 2005 serta terakhir Peraturan Presiden No.65
Thn 2006 sebagai realisasi dari amanat: pertama Pasal 6, 27, 34,40
UUPA.Kedua sebagai amanat dari UU No.39 Thn 1999 tentang HAM yang
mengamanatkan bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah merupakan

83
salah satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya
(Sumber Daya tanah) harus diatur dengan undang-undang.
Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal dalam Undang-
undang No.5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta 40
mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan hukum
pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah.
Disamping itu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan
hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana
subyek hak atas tanah mendapatkan permintaan dari negara yang dilakukan
oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang menghendaki hak atas tanah
untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (public interests)
berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.
Sedangkan penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain
hak milik diserahkan oleh subyek haknya kepada negara (pemerintah)
sebelum jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.
Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah
maupun pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari
subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya
menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo
Pasal 4 Undang-undang No.5 tahun 1960. Disamping itu hal terpenting dari
aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:”
setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun ”

C.2.Filosofi
Dasar filosofi yang harus menjadi basis UU PTUP sebagaimana pula halnya
dengan UUPA adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima
sebagaimana telah termaktub pada konsiderans UU PTUP huruf a dan b.
Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus
mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya
diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana,
serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila–sila Pancasila
sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984)

merupakan pengisi dan pengarah serta menjiwai setiap norma-norma yang


hendak dirumuskan   Tulisan Notonagoro yang sama menyatakan bahwa:
“segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat
berdirinya merupakan suatu tertib hukum, ialah tertib hukum Indonesia.
Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkhis.
Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan
penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang

84
seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian
kesatuan dengan sila-sila yang lainnya ”

Pada setiap tertib hukum esensi utamanya adalah sinkronisasi dan


harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam tata urutan berjenjang
sebagaimana dirumuskan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, sebagai
sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam kerangka suatu tertib
hukum. Jika secara seksama ditelaah, pada bagian konsiderans termaktub
politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut:
a.    bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan
pembangunan;

b.    bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk


kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan
dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil;

c.    bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi


pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan
tanah untuk pelaksanaan pembangunan;

d.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf


a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka undang-undang No.2 Tahun


2012 seolah hendak menjalankan amanat yang terkandung pada silasila
Pancasila berpedoman pada prinsip kemanuasiaan, demokratis serta
keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi.
Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepentingan swasta dalam
undang-undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.
C.3. Nomenklatur
Nomenklatur yang dimaksud adalah penamaan suatu produk hukum yang
dalam ini adalah UU harus jelas sekalipun didefinisikan pada Pasal 1,
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 
Namun agar tidak menimbulkan interpretasi yang beragam harus dituliskan
secara jelas kegiatan pembangunan yang dimaksud meliputi aktifitas apa,
bagaimana hal demikian dilaksanakan.Nampaknya UU No.2 Thn 2012
tentang PTUP dapat dikatakan identik dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.15 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1
Tahun 1976 yang mengedepankan pada pengkaburan makna kepentingan
umum, sebagai kepentingan rakyat banyak.

85
Sementara itu, UU PTUP malah tidak memberikan definisi sama sekali apa
yang dinamakan kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu
munculnya kasus-kasus pengadaan tanah. Memasukkan kepentingan swasta
sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran dari aspek hukum
karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah oleh
swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata
bahwa kepentingan swasta tidak lain adalah kepentingan yang berorientasi
pada keuntungan semata.

C.4. Prinsip/Azas
Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo
dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas
hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau
harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada
umumnya merupakan suatu persangkaan ”.
Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya dalam
kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi
dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal-
hal berikut:

1.pengambilalihan  tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat


terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik
dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya;

2.ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: 1.hilangnya hak


atas tanah, bangunan, tanaman, 2.hilangnya pendapatan dan sumber
kehidupan lainnya,3 bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan
memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang
layak, 4.bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan
keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan;

3.mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan


dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.

4.untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena


penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar
& sosial ekonomi;

5.perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan


pengambilalihan dan pemukiman kembali;

6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus


ditumbuhkembangkan

86
7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah

Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono


di muka, maka dalam kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip agar
bilamana di dalam sistem hukum terjadi sengketa, maka azas bertugas
untuk menyelesaikan.
Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono
terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni:
1.    Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun harus ada landasan haknya;
2.    Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa;
3.    Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui
kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;
4.    Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat
menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal
ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang
diperlukan secara paksa;
5.    Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam
acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya
wajib diberikan imbalan yang layak;
6.    Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek
pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi

Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat (4) Undang-undang


Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan
untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif untuk
kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati
hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual
merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara
khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang
tanah tersebut.  Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah
berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas
Tanah tidak saja memiliki karakter hukum sebagai sebuah produk hukum
yang cacat dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang No.5 Tahun 1960.
Disamping itu merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang
dinyatakannya:
“hal itu tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum pada
Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Dalam paham negara hukumini diutamakan adalah hukum sebagai suatu
kesatuan sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi kekuasaannya

87
bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum. Hukumlah
yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang.Artinya dalam faham
kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi
yang sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah
hukum, yang pengaturannya pada tingkat puncak atau tertinggi tercermin
dalam konstitusi negara yaitu “the rule of constitution”. Dalam kaitan itu di
negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengannya ”

Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka, dikaitkan


dengan  produk hukum peraturan perundang-undangan mengenai
pengadaan tanah sejak diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.15 Tahun 1975 sampai Keputusan Presiden No. 65 Tahun 2006
mengingkari hakikat negara hukum sebagaimana telah disepakati telah
termaktub pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
D. Perdebatan Soal Nilai dan Harga Benda Pada Aktifitas Pengadaan Tanah
Perbincangan perihal nilai dan harga benda yang terkena atau menjadi
obyek kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan acapkali
menjadi salah satu akar masalah sengketa pertanahan, antara subyek hak
atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk kegiatan
pembangunan.   Menurut Hidayati dan Haryanto nilai adalah makna/ arti
(worth) suatu barang/ benda, sehingga benda mempunyai nilai bila benda
memiliki arti/makna bagi seseorang yang sering dipertautkan dengan nilai
pasar .Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang dibayar dalam sebuah
transaksi untuk mendapatkan hak milik suatu benda. Dengan demikian
dapat dirumuskan harga = biaya + faktor kepentingan & pasaran . Nilai dan
harga bisa sama dapat pula berbeda tergantung pada kewajaran dengan
ukuran:
a.    Penjual yang berkelayakan dan mempunyai hak bersedia menjual
hartanya;
b.    Pembeli yang mampu dan berkelayakan bersedia membeli harta;
c.    Ada waktu yang cukup untuk tawar-menawar
d.    Ada waktu yang cukup untuk menunjukkan harta yang dijual kepada
pasaran;
e.    Harga yang tidak berubah/ mengalami fluktuasi dalam jangka waktu
tertentu;
f.    Tidak mempertimbangkan penawaran istimewa .
Nilai dan harga memiliki makna penting dalam melakukan kegiatan
penilaian yakni penganggaran/ estimasi nilai dari suatu kepentingan atas
suatu properti/ harta untuk suatu tujuan tertentu antara lain untuk
menghitung kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah yang harus
mengikuti prinsip betterment yaitu prinsip yang menekankan pada

88
pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan
kepada kedua belah pihak . Menurut pandangan saya secara ekonomis
barangkali demikian, namun dari perspektif hukum nampaknya
implementasi prinsip ini menimbulkan ketidakadilan ditinjau dari sisi
subyek hak atas tanah yang biasanya sebagai pihak yang sedang tidak
diuntungkan

89

Anda mungkin juga menyukai