Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia, dan seyogianya baik pemerintah maupun
masyarakat menjalankan perikehidupannya dengan berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila.
Prinsip-prinsip dasar tersebut dewasa ini seringkali terlupakan oleh pemerintah sehingga
tidak sedikit kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat, terutama
masyarakat kecil. Jika dilihat dari kesejahteraan, masih banyak masyarakat yang tingkat
kehidupannya jauh dari sejahtera dan kemakmuran.

Pekerjaan rumah pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran rakyat masih banyak salah
satunya yaitu dalam penataan tanah. Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
mencapai tujuan kemakmuran rakyat. Banyak kegiatan manusia berkaitan dengan tanah
seperti untuk tempat tinggal, tempat untuk berusaha, sarana perhubungan, rekreasi,
pendidikan, peribadatan, dan lain sebagainya. Hal ini berdampak bahwa pengaturan tanah
menjadi sangat penting karena setiap perikehidupan manusia bersinggungan dengan tanah,
sehingga sangat berpotensi terdapat gesekan kepentingan dan tumpang tindih status tanah.
Peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam penataan tanah menjadi utama karena
diharapkan pemerintah dapat memberi kepastian hukum bagi masyarakat sehingga
masyarakat dapat memperoleh ketenangan dalam menjalani kehidupannya.

Tetapi yang terjadi sebaliknya, sebagai gambaran dalam data BPN (Badan Pertanahan
Nasional) menunjukkan hingga tahun 2012, ada 4.005 kasus sengketa lahan di seluruh
Indonesia. Jumlah ini merupakan akumulasi dari konflik yang belasan tahun belum
terselesaikan.1 Sejak 2000-Juni 2010, terdapat 1.012 kasus yang melibatkan petani dan
nelayan. Sebanyak 630 kasus terkait penguasaan lahan. Akar masalahnya tidak meratanya
penguasaan lahan. Petani hanya menguasai rata-rata 0,3 hektar.2

1
Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria,
Logoz Publishing Bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013, hlm. 2.
2
Elita Rahmi, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia, dalam
Jurnal Dinamika Hukum Volume 10 Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2010, hlm. 349.
2

Penguasaan lahan tidak dapat terlepas dari konsep hak menguasai negara. Walauapun negara
memilki hak menguasai, tapi pemerintah tidak boleh lupa bahwa seluruh wilayah Indonesia
bersama rakyat merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Sehingga semestinya selalu
menjadi patokan bagi pemerintah dalam menyelenggarakan penyelenggaraan negara terutama
dalam mengelola kekayaan alam Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam pasal 4 UUPA,
hak menguasai negara menjadikan negara menentukan berbagai macam hak atas permukaan
bumi yang dapat diberikan kepada orang lain baik perseorangan maupun badan hukum.

Dari berbagai hak atas tanah yang ada, dikenal istilah Hak Pengelolaan (HPL). Maria S.W.
Sumardjono3 berpendapat bahwa HPL merupakan “bagian” Hak Menguasai Negara yang
(sebagian) kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Tanah HPL ada yang
dipergunakan untuk kepentingan sendiri dan ada yang dipergunakan oleh pihak lain atas
persetujuan pemegang HPL. Menurut pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan (PMA/KBPN No. 9/1999) pemegang HPL yaitu instansi
pemerintah termasuk pemerintah daerah, BUMN, BUMD, PT Persero, Badan Otorita, dan
badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Di atas HPL dapat
diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik kepada pihak ketiga yang
memerlukannya.

Terlihat bahwa HPL sangat bersinggungan dengan masyarakat, baik perorangan maupun
badan usaha. Hal ini mengakibatkan sangat rawan timbul permasalaan dalam praktik HPL.
Berbagai permasalahan yang terjadi antara lain HPL yang lahir ternyata berada di lahan yang
berada dalam penguasaan masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Pejarakan, Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Selain itu terdapat permasalahan HPL lainnya yaitu4 :
1. Pada prakteknya terdapat kerancuan apakah HPL merupakan bagian dari Hak Menguasai
Negara atau merupakan Hak Atas Tanah karena HPL diberikan dalam bentuk sertipikat
hak;

3
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2008, hlm. 204.
4
Keynote Speech Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Pembukaan Seminar Hukum
Pertanahan “Eksistensi Hak Pengelolaan Tanah dalam Hukum Pertanahan Nasional” Jakarta, 26 Agustus
2013, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 2013, diakses melalui http://www.bpn.go.id/Publikasi-
Original/Pidato-Kepala-BPN-RI/keynote-speech-kepala-badan-pertanahan- \nasional-republik-indonesia-3519,
pada 27 Maret 2017.
3

2. Bahwa banyak HPL yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga dan oleh pihak ketiga
dipergunakan untuk membangun tempat tinggal yang kemudian dijual kepada
konsumen. Akan tetapi banyak konsumen yang tidak mengetahui bahwa tempat tinggal
tersebut berada diatas HPL yang untuk perpanjangan haknya tergantung pada
persetujuan dari pemegang hak pengelolaan;
3. Tidak jelas ketentuan mengenai besarnya uang pemasukan yang diserahkan oleh pihak
ketiga yang akan memanfaatkan HPL kepada pemegang HPL.

B. Identifikasi Masalah
Dari permasalahan di atas diperoleh identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan HPL dalam sistem hukum tanah nasional?
2. Bagaimana status HPL yang berada di atas lahan yang dikuasai oleh masyarakat?
4

BAB II
STUDI PUSTAKA

A. Hak Menguasasi Negara


Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini bermakna bahwa tujuan utama pengunaan
bumi, air, dan kekayaan alam merupakan kemakmuran rakyat. Sebagai identitas dan dasar
filosofi, Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
landasan bagi pemerintah dalam melaksanakan pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Hal ini tertuang
dalam pasal 1 ayat (1) sampai dengan (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Notonagoro dalam buku “Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia”


(Sumardjono, 1982: 12) menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara
negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut:
1. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi sebagai negara.
Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan, badan yang publiekrechtelijk. Dalam
bentuk ini negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan peorangan.
2. Negara sebagai subjek, yang dipersamakan dengan perorangan sehingga hubungan antara
negara dengan bumi dan lain sebagainya itu “sama” dengan hak perorangan atas tanah.
3. Hubungan antara negara “langsung” dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai subjek,
peroangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki, tetapi sebagai
negara yang menjadi personifikasi dari seluruh rakyat sehingga dalam konsep ini negara
tidak lepas dari rakyat. Negara hanya menjadi pendiri dan pendukung kesatuan-kesatuan
rakyat.5

Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan antara negara dengan
bumi, air, dan ruang angkasa, yang sesuai dengan makna hak menguasai negara adalah
bentuk hubungan yang ke-3. Hubungan tersebut, menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA adalah
hubungan yang abadi. Dalam arti, bahwa selama bangsa Indonesia masih ada dan selama

5
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 55-56.
5

bumi, air, dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan terputus oleh
kekuasaan apapun.6

Hak menguasai negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum
dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan
tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA.7
Pasal 2 UUPA
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal
ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.

Dalam memahami hak menguasai negara, Bagir Manan memaknai pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dengan dua aspek kaidah yang terkandung di dalamnya yaitu “hak menguasai negara”
dan kaidah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena merupakan kesatuan yang sistemik.8 Keterkaitan antara
6
Id.
7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2013, hlm. 268.
8
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, Op.Cit., hlm. 62.
6

kaidah “hak menguasai negara” dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan


menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut9 :
1. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam dan di atas bumi,
air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dapat dihasilkan
secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak
mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dengan berkembangnya hukum tanah nasional lingkup pengertian tanah-tanah yang di dalam
UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang semula disingkat
dengan sebutan tanah-tanah negara itu, mengalami perkembangan. Semula pengertiannya
mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, di luar apa yang disebut tanah-tanah hak.
Sekarang ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, ada kecenderungan untuk lebih
memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara itu
menjadi10, tanah wakaf, tanah-tanah hak pengelolaan, tanah-tanah hak ulayat, tanah-tanah
kaum, tanah-tanah kawasan hutan, tanah-tanah sisanya atau tanah negara. Dengan demikian
kita jumpai pengertian tanah-tanah negara dalam arti luas dan tanah-tanah negara dalam arti
sempit.

B. Pengertian dan Pengaturan Hak Pengelolaan


Sejarah HPL telah ada sejak Pemerintahan Belanda dengan menggunakan istilah “in beheer”,
yang kemudian oleh pemerintah Indonesia diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1953 (PP No. 8/1953) tentang Penguasaan Tanah Negara. Filosofi penjajah terhadap
eksistensi HPL adalah ingin menguasai tanah jajahan sedangkan pada masa pemerintah
Indonesia eksistensi HPL adalah jawaban terhadap kebutuhan pembangunan dan kondisi
obyektif bangsa dan negara Indonesia.11 Konsep penguasaan atas tanah-tanah negara yang

9
Ibid, hlm. 63.
10
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 272.
11
Elita Rahmi, Op.Cit., hlm. 350.
7

pada awalnya dimuat dalam PP No. 8/1953 dilandasari oleh asas domein tidak sesuai lagi
dengan asas negara menguasi dalam UUPA.12

Penyebutan HPL tidak secara eksplisit tercantum dalam UUPA. Secara implisit, pengertian
itu diturunkan dari Pasal 2 ayat (4) UUPA. 13 Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum II (2)
UUPA disebutkan bahwa “Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan
sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu
Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4))”.

Istilah HPL secara eksplisit pertama kali dimuat dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan
Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (PMA No. 9/1965), terutama dalam
pasal 2 dan 5 yang menyebutkan bahwa :
Pasal 2
“Jika tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan
instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak
pengelolaan sebagai dimaksud dalam pasal 5 dan 6, yang berlangsung selama tanah tersebut
dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.”
Pasal 5
“Apabila tanah-tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 4 di atas, selain dipergunakan
oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tesebut akan diberikan dengan
hak pengelolaan.”

HPL merupakan fungsi/ kewenangan publik sebagaimana Hak Menguasai Negara dan tidak
tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak
atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. Akan tetapi, karena kebutuhan praktis yakni
untuk memberikan hak atas tanah di atas HPL kepada pihak ketiga lebih mengemuka, maka
12
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hlm. 198.
13
Ibid, hlm. 199.
8

pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga melalui perjanjian antara pemegang HPL
dengan pihak ketiga itu pada akhirnya lebih menonjolkan aspek keperdataan dari HPL itu.14

Hak Pengelolaan menurut Boedi Harsono yaitu selain kepada pemerintah daerah dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara
tersebut dapat juga dilakukan kepada apa yang disebut Badan-Badan Otorita, perusahaan-
perusahaan Negara, dan perusahaan-perusahaan Daerah, dengan pemberian penguasaan
tanah-tanah tertentu.15

Hak Pengelolaan menurut R. Atang Ranoemihardja adalah hak atas tanah yang dikuasai
negara dan hanya dapat diberikan kepada badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah
baik dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga.16 Ramli
Zein memberi pengertian HPL sebagai suatu hak atas permukaan bumi yang disebut dengan
tanah yang merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada suatu lembaga
pemerintah, atau pemerintah daerah, badan hukum pemerintah, atau pemerintah daerah
untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b. Menggunakan tanah tesebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang
ditentukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut, yang meliputi segi peruntukan,
penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian ha
katas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.17

Berdasarkan pasal 6 (1) PMA No. 9/1965 Pemegang HPL mempunyai kewenangan untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai
yang berjangka waktu 6 (enam) tahun;
14
Ibid, hlm. 204.
15
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 275.
16
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 53.
17
Ibid, hlm. 58.
9

d. Menerima uang pemasukan/ ganti rugi dan/ atau uang wajib tahunan.

Pasal 6 ayat (2) memberi pembatasan penyerahan tanah kepada pihak ketiga sebagai berikut :
a. Tanah yang luasnya maksimum 1.000 m2 (seribu meter persegi) ;
b. Hanya kepada warganegara Indonesia dan badan-badan hukum yang dibentuk
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia ;
c. Pemberian hak untuk yang pertama kali saja, dengan ketentuan bahwa perubahan,
perpanjangan dan penggantian hak tersebut akan dilakukan oleh instansi agraria yang
bersangkutan, dengan pada azasnya tidak mengurangi penghasilan yang diterima
sebelumnya oleh pemegang hak.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan
(PMA/KBPN No 9/1999) memberi pengertian HPL adalah Hak Pengelolaan adalah hak
menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa dalam praktik terdapat berbagai jenis Hak
Pengelolaan yaitu18 HPL Pelabuhan, HPL Otorita, HPL Perumnas, HPL Pemerintah Daerah,
HPL Transmigrasi, HPL Instansi Pemerintah, HPL Industri/ Pertanian/ Pariwisata/
Perkeretaapian.

Dinyatakan oleh Maria S.W. Sumardjono, HPL yang disertai dengan syarat-syarat dalam
Surat Keputusan pemberiannya, yang antara lain memuat butir-butir19 :
1. Jika di atas tanah yang dimohonkan HPL masih terdapat bidang tanah yang masih
dikuasai orang lain, hrus diselesaikan oleh pemohon.
2. Tanah HPL harus didaftarkan
3. Bila syarat-syarat yang termuat tidak dilaksanakan, Keputusan pemberian HPL menjadi
batal dengan sendirinya.

18
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hlm. 208.
19
Ibid, hlm. 214.
10

BAB III
KASUS POSISI

Para petani di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
sebanyak 77 KK telah menggarap tanah di Batu Ampar secara turun temurun dimanfaatkan
menjadi lahan pertanian palawija dan tambak garam sejak tahun 1958.20 Dasar pemanfaatan
lahan yaitu Petok D yang dikeluarkan tahun 1959.21

Pada tanggal 22 September 1981, petani penggarap mengajukan surat permohonan hak milik
kepada Kepala Kantor Agraria Kabupaten Buleleng. Surat Permohonan Petani Penggarap ini
juga diperkuat dengan lampiran Surat Keterangan Perbekel Desa Pejarakan yang menjelaskan
bahwa pemohon memang benar-benar menguasai dan menggarap tanah tersebut. Sebagai
tindak lanjut, Bupati Tingkat II Buleleng cq. Kepala Kantor Agraria mengirimkan surat
kepada Menteri Dalam Negeri, kemudian dipertegas kembali oleh surat Gubernur Tingkat I
Bali cq. Kepala Direktorat Agraria yang juga ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri. 22 Pada
tahun 1982, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan nomor:
SK.171/HM/DA/82 tanggal 9-12-1982 yang mengabulkan permohonan pemohon..23

Pada tahun 1990 petani diminta untuk meninggalkan tanah dengan alasan bahwa Pemerintah
Kabupaten Buleleng memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seluas 45 hektar dengan Nomor
1 Tahun 1976. Tanah Batu Ampar seluas 45 hektar telah tercatat sebagai aset daerah
Pemerintah Kabupaten Buleleng. Pada tahun 1989 Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui
Perusahaan Daerah (PD) Swatantra selaku pengurus dan pengelola lahan memberikan
pengelolaan tanah tersebut kepada empat investor yaitu PT Prapat Agung Permai 16 hektar,
PT Bali Coral Park, 20 hektar, PT Aditya Raya Citra Lestari 4,5 hektar dan PT Bumi Cendana
Sentosa 4,5 hektar.24

20
Kasus Tanah Batu Ampar di DPRD Buleleng, diakses http://www.kpa.or.id/news/blog/kasus-tanah-batu-
ampar-di-dprd-buleleng/ pada 25 Maret 2017
21
https://beritadewata.com/2017/03/20/tanah-di-ambil-alih-warga-batuampar-buleleng-nglurug-kejaksaan/
diakses 25 Maret 2017
22
http://www.kompasiana.com/iboy/kronologis-permasalahan-tanah-negara-di-kawasan-pertambakan-
batuampar-buleleng-bali_55bb28966523bd660c9b48f2 diakses 26 Maret 2017
23
Id.
24
Kasus Tanah Batu Ampar di DPRD Buleleng, Op.Cit.
11

BAB IV
ANALISA

Hak Pengelolaan (HPL) tidak dapat terlepas dari konsep Hak Menguasai Negara. Jika
merujuk kepada pengertian HPL dari berbagai ahli maupun peraturan perundang-undangan,
maka terlihat bahwa HPL merupakan bagian dari Hak Menguasai Negara yang
kewenangannya dapat dialihkan sebagian. Hal ini mengakibatkan tujuan dari Hak Menguasai
Negara tidak dapat dilepaskan dari HPL yaitu mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menurut Urip Santoso25, kewenangan yang terdapat dalam Hak Pengelolaan dapat bersifat
publik yaitu, kewenangan untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,
mempergunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas dan usahanya (internal). Ada
kewenangan yang bersifat privat, kewenangan dalam hal menyerahkan bagian-bagian tanah
Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan/ atau bekerja sama (eksternal). Tanah HPL tidak
dapat diperjualbelikan/ dialihkan, tetapi dapat dilepaskan (kembali kepada Negara) untuk
kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.26

Pemegang HPL memiliki hak untuk mengatur pemanfaatan tanah HPL. Sehingga kegiatan
yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang mendapat peralihan Hak Pakai atau Hak Guna
Bangunan di atas HPL semestinya mengikuti perencanaan pemegang HPL dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika masa perjanjian telah berakhir, maka tanah kembali
kepada pemegang HPL. Maka dari itu, HPL tidak sama dengan hak atas tanah lainnya, karena
HPL merupakan bagian dari Hak Menguasai Negara dengan tujuan utama untuk
kesejahteraan rakyat.

Dalam memperoleh HPL, pemohon HPL harus memperhatikan persyaratan sebagaimana


tercantum dalam pasal 68 ayat (2) PMA/KBPN No 9/1999 berikut :
1. Keterangan mengenai pemohon: Nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau
peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

25
Urip Santoso, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, Mimbar Hukum Volume 24 Nomor
2, Juni, Surabaya, Universitas Airlangga, 2012, hlm. 283.
26
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hlm. 214.
12

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. Bukti pemilikan dan bukti perolehan tanah berupa sertpikat, penunjukan atau
penyerahan dari pemerintah, pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang,
akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan
tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
4. Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki oleh
pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pada permasalahan tanah di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgok, Kabupaten Buleleng,


Provinsi Bali, masyarakat setempat telah memiliki Petok D pada tahun 1959. Sebelum
diberlakukannya UUPA, Petok D diakui sebagai bukti hak atas tanah. Tetapi setelah UUPA
lahir, maka Petok D bukan merupakan bukti kepemilikan atas tanah, namun dapat digunakan
sebagai bukti awal untuk mendapatkan hak atas tanah. Buku Petok D berfungsi sebagai27 :
1. Buku pedoman yang berfungsi untuk mengetahui status tanah, keadaan tanah dan siapa
pemiliknya
2. Alat bukti tentang asal-usul kepemilikan dan dapat juga ditentukan mengenai pemberian
hak, apabila tanah tersebut dimohonkan haknya di Kantor Pertanahan;
3. Bukti awal untuk mendapatkan hak atas tanah.

Maka dari itu Petok D tersebut menjadi salah satu bukti awal bagi Menteri Dalam Negeri
dalam mengeluarkan SK.171/HM/DA/82. Menjadi permasalahan ketika Pemerintah
Kabupaten Buleleng juga memiliki sertifikat HPL Nomor 1 tahun 1976. Jika mengacu kepada
PMA No. 9/1965 maka pelaksanaan konversi tanah ke HPL dilakukan setelah ada
pendaftaran dan dilakukan dengan objek merupakan tanah negara. Berdasarkan PP No.
8/1953 maka pengertian tanah negara yaitu tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Maka jika
27
Sutomo, Petok D Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah di Desa Tlogosadang, Kecamatan
Paciran, Kabupaten Lamongan, hlm. 6-8, diakses melalui http://m-notariat.narotama.ac.id/wp-
content/uploads/2016/05/PETOK-D-SEBAGAI-DASAR-PENDAFTARAN-HAK-MILIK-ATAS-TANAH-DI-
DESA-TLOGOSADANG-KECAMATAN-PACIRAN-KABUPATEN-LAMONGAN.pdf pada 27 Maret 2017.
13

tanah telah memiliki Petok D yang pada saat itu (tahun 1959) merupakan bukti kepemilikan
tanah, maka dapat dikatakan bahwa tanah tersebut bukanlah tanah negara. Walaupun dengan
berlakunya UUPA semestinya pemilik tanah mengajukan pendaftaran hak atas tanah dengan
Petok D sebagai salah satu bukti. Tetapi jika terdapat bukti awal hak atas tanah didukung
dengan memperhatikan keberadaan masyarakat di Desa Pejarakan, semestinya Pemerintah
Kabupaten Buleleng tidak dapat begitu saja mengajukan Hak Pengelolaan pada tahun 1976
tanpa sepengetahuan masyarakat. Dalam pengajukan harus melihat bukti perolehan tanah dan
bagaimana penguasaan tanah secara fisik di saat diajukan HPL, kecuali Pemerintah
Kabupaten Buleleng telah menyelesaikan permasalahan pemanfaatan tanah oleh masyarakat.

Didukung dengan telah keluarnya SK Mendagri pada tahun 1982 mengenai pengabulan
permohonan hak milik, maka berdasarkan pasal 10 Permendagri Nomor 5 tahun 1973 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, setelah menerima SK
Menteri Dalam Negeri, Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya
memberitahukan kepada pemohon agar segera memenuhi kewajiban-kewajiban yang
ditentukan dalam surat keputusan tersebut. Setelah semua syarat dipenuhi maka atas
permintaan penerima hak oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah yang bersangkutan segera
dilakukan pendaftarannya dalam buku tanah dan penerbitan sertifikat haknya menurut
ketentuan PP No. 10/ 1961. Sehingga semestinya ketika SK Mendagri pada tahun 1982 terbit,
Kantor Agraria Kabupaten/ Kota menerbitkan sertifikat hak atas tanah setelah dipenuhi
kewajiban-kewajiban pemohon.

Menurut Maria S.W. Sumardjono, bila masyarakat telah ada sebelum lokasi itu ditetapkan
sebagai lokasi HPL, maka hal itu dapat diselesaikan oleh pemohon melalui dua alternatif,
yaitu28:
1. Memberikan ganti kerugian dengan cara musyawarah, sehingga lokasi sepenuhnya bersih
dari tuntutan masyarakat
2. Tetap membiarkan keberadaan mereka, terutama bila mereka juga sudah mempunyai
sertifikat, dengan demikian “mengeluarkan”/ enklave areal yang dikuasai pihak lain
tersebut dari area HPL.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. Btu 3/692/3/77 tentang Penyampaian
PMDN No. 1 Tahun 1977, HPL bertujuan untuk menata sesuai dengan asas-asas tata guna
28
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hlm. 214.
14

tanah, sehingga setiap jengkal tanah harus dimanfaatkan secara efisien. Kembali lagi ke Hak
Menguasai Negara, maka HPL bertujuan untuk kepentingan publik. Sehingga semestinya
Pemerintah Kabupaten Buleleng pada tahun 1976 dalam mengajukan permohonan HPL
melihat berbagai aspek antara lain kondisi fisik tanah yang telah dimanfaatkan selama 18
tahun (sejak tahun 1958-1976) oleh 77 KK, bukti administratif yaitu Petok D, serta rencana
tata ruang wilayah. Sehingga jika dimungkinkan secara penataan ruang, maka masyarakat
Desa Pejarakan tetap dapat mengelola tanah mereka bahkan dengan pendaftaran sertifikat
yang semestinya dilakukan pada tahun 1982. Sebagaimana dinyatakan oleh Maria S.W.
Sumardjono diatas bahwa sebelum melakukan permohonan HPL seharusnya diselesaikan
terlebih dahulu jika terdapat bidang tanah yang masih dikuasai orang lain. Jika syarat tidak
terpenuhi maka HPL yang diberikan batal dengan sendirinya.

Sehubungan dengan HGB yang telah dikeluarkan Pemkab Buleleng kepada empat
perusahaan, semestinya Pemkab Buleleng tidak memberikan HGB terhadap perusahaan
dengan lokasi yang bertepatan dengan tanah yang dikuasai oleh masyarakat. HGB yang
bersinggungan dengan wilayah sengketa dapat dikenakan pembatalan karena dianggap cacat
hukum administratif yaitu kesalahan prosedur berdasarkan pasal 107 PMA/ KBPN No.
9/1999. Kesalahan prosedur berawal dari pendaftaran HPL dari Pemkab Buleleng yang
melakukan pendaftaran HPL di atas tanah yang dimanfaatkan selama puluhan tahun oleh
masyarakat. Sehingga jika Pemkab Buleleng mengajukan HPL sehubungan dengan penataan
lahan untuk kepentingan publik, maka sebelum dilakukannya permohonan diperlukan
alternatif penyelesaian sebagaimana disebutkan diatas.

Sehingga jika sertifikat HPL lahir diatas tanah yang dikuasai oleh orang lain, maka sertifikat
tersebut dibatalkan karena cacat hukum administrasi. Cacat hukum administrasi salah satunya
yaitu kesalahan prosedur dan terdapat tumpang tindih hak atas tanah. Pembatalan sertifikat
dapat dilakukan dengan permohonan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa adanya
permohonan. Dalam hal sertifikat HPL dibatalkan maka berdampak kepada pembatalan HGB
yang diberikan kepada pihak ketiga.
15

BAB V
KESIMPULAN

Penyebutan HPL tidak secara eksplisit tercantum dalam UUPA. HPL merupakan bagian dari
Hak Menguasai Negara yang kewenangannya dapat dialihkan sebagian. Hal ini
mengakibatkan tujuan HPL sejalan dengan tujuan Hak Menguasai Negara yaitu mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, negara tidak
dapat melakukan secara sendiri keseluruhan pengelolaan sumber daya alam, maka dari itu
HPL dapat dilakukan peralihan Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan di atas HPL.

Terdapat pembatasan-pembatasan dalam peralihan tersebut antara lain, (1) pemanfaatannya


harus sesuai dengan rencana pemanfaatan pemegang HPL, dalam arti mendukung tujuan dari
pemegang HPL yaitu kesejahteraan rakyat sehingga harus memberi manfaat bagi publik, (2)
HPL tidak dapat dijaminkan, dipindahtangankan, atau diperjual belikan, (3) Ketika habis
masa perjanjian, maka hak penguasaan kembali kepada negara, sehingga dapat dikatakan
bahwa hak menguasai negara tidak hilang dengan adanya peralihan hak. Maka dari itu, HPL
tidak sama dengan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, karena HPL merupakan bagian
dari Hak Menguasai Negara dengan tujuan utama untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam permohonan HPL terdapat persyaratan yang diatur dalam pasal 68 ayat (2)
PMA/KBPN No 9/1999. Salah satu yang utama yaitu bukti pemilikan dan bukti perolehan
tanah berupa sertpikat, penunjukan atau penyerahan dari pemerintah, pelepasan kawasan
hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti
perolehan tanah lainnya, status tanah, dan keterangan lainnya. Dari bukti kepemilikan dapat
terlihat bagaimana status tanah dan kondisi fisik pemanfaatan tanah, sehingga dapat
meminimalisir permasalahan sengketa tanah di kemudian hari.

Jika sertifikat HPL lahir diatas tanah yang dikuasai oleh orang lain, maka sertifikat tersebut
dibatalkan karena cacat hukum administrasi. Cacat hukum administrasi salah satunya yaitu
kesalahan prosedur dan terdapat tumpang tindih hak atas tanah. Pembatalan sertifikat dapat
dilakukan dengan permohonan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa adanya permohonan.
Dalam hal sertifikat HPL dibatalkan maka berdampak kepada pembatalan HGB yang
diberikan kepada pihak ketiga.
16

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2013.
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2009.
Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan
Keadilan Agraria, Logoz Publishing Bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum
Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,
2013.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008.
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Makalah, Jurnal
Elita Rahmi, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan
Indonesia, dalam Jurnal Dinamika Hukum Volume 10 Nomor 3, Fakultas Hukum
Universitas Jambi, Jambi, 2010.
Urip Santoso, Eksistensi Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, Mimbar Hukum
Volume 24 Nomor 2, Juni, Surabaya, Universitas Airlangga, 2012, hlm. 283.
Sutomo, Petok D Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah di Desa Tlogosadang,
Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, hlm. 6-8, diakses melalui http://m-
notariat.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/PETOK-D-SEBAGAI-DASAR-
PENDAFTARAN-HAK-MILIK-ATAS-TANAH-DI-DESA-TLOGOSADANG-
KECAMATAN-PACIRAN-KABUPATEN-LAMONGAN.pdf.

Internet
Keynote Speech Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Pembukaan
Seminar Hukum Pertanahan “Eksistensi Hak Pengelolaan Tanah dalam Hukum
Pertanahan Nasional” Jakarta, 26 Agustus 2013, Badan Pertanahan Nasional,
Jakarta, 2013, diakses melalui http://www.bpn.go.id/Publikasi-Original/Pidato-
17

Kepala-BPN-RI/keynote-speech-kepala-badan-pertanahan-\nasional-republik-
indonesia-3519.
Kasus Tanah Batu Ampar di DPRD Buleleng, diakses http://www.kpa.or.id/news/blog/kasus-
tanah-batu-ampar-di-dprd-buleleng/
Kompasiana,https://beritadewata.com/2017/03/20/tanah-di-ambil-alih-warga-batuampar-
buleleng-nglurug-kejaksaan/http://www.kompasiana.com/iboy/kronologis-
permasalahan-tanah-negara-di-kawasan-pertambakan-batuampar-buleleng-
bali_55bb28966523bd660c9b48f2 diakses 26 Maret 2017

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya
Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan

Anda mungkin juga menyukai