Anda di halaman 1dari 9

PERLINDUNGAN HUKUM PADA PEMASARAN PROPERTI PERUMAHAN DENGAN

SISTEM PRE PROJECT SELLING


M Zulmi Tafrichan
Yudho Taruno Muryanto
tafrichanzulmi@gmail.com
yudho_fhuns@yahoo.com
Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis dan menyimpulkan upaya
perlindungan hukum terkait kepada konsumen dalam sistem pre project selling perumahan
dan menganalisis kepatuhannya terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang datanya
diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan pada beberapa sumber baik dalam bentuk
legislasi, buku, dan jurnal yang berkaitan dengan sistem pre project selling perumahan pra
proyek, tetapi juga melakukan penelitian lapangan dengan metode wawancara ke responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen dalam sistem
sistem perumahan pra penjualan di PT Menara Santosa Surakarta apabila dilihat sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat
kontradiktif, yang diketahui bahwa di PT. Menara Santosa Surakarta terlalu banyak
melakukan spekulasi, bahkan mengabaikan etika dalam berbisnis, termasuk juga hal-hal yang
berkaitan dengan pemberian perlindungan hukum kepada konsumen. Konsep pre project
selling sebenarnya bukan hanya pasar uji untuk mengetahui bagaimana reaksi konsumen.
Konsumen atau pasar telah mencatat dalam catatan pengembang, terutama terhadap siapa
saja yang merugikan dan mengecewakan pengembang, yang kemudian akan menjadi basis
kekuatan konsumen properti dalam memilih pengembang.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Sistem Pre Project Selling, Perumahan, Konsumen.
Pendahuluan
Perkembangan dunia bisnis di sektor perumahan atau properti saat ini berkembang sangat
pesat. Setelah penurunan di sektor properti beberapa waktu lalu akibat krisis dunia pada
2007, sektor properti mulai tumbuh kembali seiring dengan pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Meningkatnya permintaan untuk perumahan dengan lahan terbatas, terutama di
daerah perkotaan, menyebabkan sektor bisnis ini menghadapi tantangan yang semakin berat
untuk mendapatkan tempat-tempat strategis. Tak bisa dipungkiri daerah perkotaan semakin
berkembang jika masih memungkinkan perluasan lahan untuk kebutuhan properti yang
semakin dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan. Para pengembang didasarkan pada sejumlah
besar permintaan konsumen untuk kebutuhan properti yang juga jumlah yang relatif besar
bersaing satu sama lain untuk untuk menemukan solusi secara efisien, dengan proyek-proyek
yang sedang direncanakan untuk pengembangan, tetapi masih berkewajiban untuk mematuhi
aturan hukum yang dirancang sebagai bingkai. Tingginya tingkat aktivitas masyarakat dan
populasi padat di daerah perkotaan merangsang bentuk-bentuk baru bisnis di sektor
perumahan dan properti, yaitu sistem pre project selling. Untuk pengembang konsep pasar
dengan cara penjualan pra-proyek menjadi tren saat ini, terutama proyek pengembang
biasanya dilakukan oleh pengembang dengan menjual atau pemasaran sebelum produk
properti direalisasikan, bahkan ada pengembang proyek yang melakukan konsep pre project
selling sebelum dilengkapi dengan persyaratan seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin
konstruksi dan izin lainnya. Indonesia menghadapi kendala untuk keberadaan sistem pre
project selling karena Hukum Tanah Nasional terlalu kental nuansa hukum admisistrasi
sehingga sulit mengikuti perkembangan bisnis seperti halnya pre project selling. Justru yang
terjadi seolah olah masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri, meskipun separalel tetapi
belum dapat menciptakan sinergitas yang komprehensif. Pihak konsumen terlalu bernafsu
mengejar kebutuhan papan, di sisi lain pengembang berupaya mencari dana guna membangun
properti yang sedang digarap, padahal regulasi dari pemerintah sendiri masih sepotong-
sepotongyang penerapannya dirasa nyaris tanpa pengawasan.
Konsep pre project selling pada awalnya bertujuan sebagai test pasar untuk mengetahui
bagaimana reaksi konsumen terhadap produk properti yang dipasarkan. Dalam
perkembangannya, test pasar yang semula tertutup, kemudian dalam praktek dibuat
terbuka dan dimanfaatkan langsung oleh pengembang, dengan maksud agar penjualan
produk properti dapat dilakukan secepat da n seba nya k mungki n. Daya tarik konsep
pemasaran pre project selling ini sangat besar jika dilihat dari banyaknya konsumen atau
orang-orang yang mengunjungi acara pre launching atau pre sale produk perumahan.
Biasanya para calon konsumen tergiur potongan harga yang cukup besar yang diberikan
oleh pengembang kepada calon konsumen. Di samping potongan harga tersebut diberikan
juga bonus-bonus lainya apabila calon konsumen tersebut berminat dengan produk yang
ditawarkan.
Para calon konsumen haruslah teliti terlebih dahulu sebelum membeli sesuai dengan
nasihat yang terkesan klise, terutama bagi calon pembeli rumah, nasihat ini harus
diperhatikan sehingga mereka harus mengetahui dengan benar mengenai siapa pengembang,
kualitas bangunan dan sebagainya, sehingga tidak menyesal dikemudian hari. Konsumen
hanya diyakini melalui brosur, maket, rumah contoh dan penawaran staf pemasaran yang
berpenampilan menarik, padahal jelas sekali produknya masih berupa konsep. Daya tarik yang
diberikan tersebut bukan hanya berkisar pada bonus ataupun potongan harga yang diberikan
namun banyak digunakan para masyarakat konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan penulis untuk menulis penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana kepastian hukum dan perlindungan dalam pemasaran produk properti
apabila terjadi penjualan rumah fiktif oleh pengembang proyek.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kepastian perlindungan hukum konsumen Pre Project Seling
perumahan di PT Menara Santosa Surakarta?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa konsumen apabila terjadi sengketa dalam
transaksi Pre Project Seling perumahan di PT Menara Santosa Surakarta ?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
studi hukum empiris adalah studi yang didasarkan pada metode, sistem, dan penalaran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa fenomena sosial dengan
menganalisanya. Selain itu, pengamatan mendalam terhadap fakta sosial tersebut juga
dilakukan untuk menetapkan solusi bagi suatu isu yang muncul karena fenomena tersebut.
Dalam studi hukum empiris, data yang sedang dipelajari awalnya data sekunder, kemudian
diikuti oleh studi pada data primer di lapangan atau masyarakat.1
Teknik pengumpulan data penelitian adalah studi lapangan dalam bentuk wawancara dan
studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data penelitian adalah analisis data kualitatif.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman menegaskan bahwa hal-hal dalam analisis
kualitatif adalah, data muncul dalam bentuk kata-kata dan tidak numerik. Data-data tersebut
mungkin telah dikumpulkan melalui berbagai metode (observasi, wawancara, abstrak
dokumen, rekaman tape), dan biasanya diproses sebelum siap digunakan (melalui perekaman,
pengetikan, pengeditan, atau penerjemahan). Namun, analisis kualitatif masih menggunakan
kata-kata, yang biasanya diatur ke dalam teks yang diperluas. Analisis terdiri dari tiga
kegiatan simultan yaitu reduksi data, tampilan data, dan penarikan kesimpulan / verifikasi.

PEMBAHASAN

1
Soerjono Soekanto, 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta,
hlm. 5-6.
Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun di mana properti yang
dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. 2 Dalam pelaksanaannya di Indonesia
dilakukan penyesuaian sehingga ada pengembang proyek yang melaksanakan pre project
selling sebelum prasarana dan sarana dibangun, tetapi ada juga yang memasarkan setelah
sarana dan prasarana tersebut telah dibangun. 3
Sistem penjualan semacam pre project selling ini sudah dikenal lama di Eropa, salah satunya
di Perancis. Sejak tahun 1967, hukum Perancis telah berurusan dengan penjualan unit
dari suatu rencana pembangunan menggunakan tipe perjanjian yang khusus, yang dikenal
sebagai penjualan sebuah bangunan yang akan dibangun (a sale of a building to be
constructed/vente d’immeuble a`construire).4 Berdasarkan perjanjian tersebut, pembeli
akan membayar sejumlah uang awal kepada pengembang diikuti dengan pembayaran yang
berturut-turut secara berrtahap selama proses masa pembangunan, kemudian pembeli akan
menjadi pemilik bangunan secara bertahap, dan pembeli dilindungi oleh hukum apabila
bangunan tidak selesai dibangun oleh pengembang. Pengembang diperbolehkan menerima
uang dan angsuran dari pembeli sebelum bangunan selesai adalah untuk memastikan bahwa
pengembang dalam posisi dapat membiayai pembangunan gedung. Pengembang dapat
meminjam lebih mudah dari lembaga keuangan dan pengembang kemudian dapat membayar
kontraktor bangunan dengan uang yang diperolehnya dari pembeli.5
Secara yuridis formal di Indonesia pola penjualan perumahan dengan sistem Pre Project
Selling tidak dilarang meskipun belum ada ketentuan yang mengaturnya. sehingga landasan
utama sebagai penentuan hak dan kewajiban para pihak terletak pada kebebasan
berkontrak, sedangkan mekanisme penentuan hak dan kewajiban para pihak dituangkan
dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).6
PPJB adalah kesepakatan dari dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di
kemudian hari, yakni pelaksanaan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
bila bangunan telah selesai, bersertifikat, dan layak huni.7 PPJB dibuat sebagai perjanjian
pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak sebelum dibuatnya Akta Jual Beli
(AJB) di hadapan PPAT. AJB ini merupakan suatu akta otentik yang dibuat oleh PPAT
sebagai bukti untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan.8 AJB inilah yang nantinya akan
digunakan untuk pengajuan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan setempat atau
yang lebih dikenal dengan istilah balik nama. Dengan selesainya proses balik nama, maka
hak yang melekat pada tanah dan bangunan telah berpindah dari penjual kepada pembeli.
Menurut Pasal 42 (1) UU Perumahan dan Permukiman, “Rumah tunggal, rumah deret,
dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan
melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.” Kemudian dalam pasal 42 ayat (2) UU Perumahan dan Permukiman,
“Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan kepastian atas:
a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Pengembang dan Proses Transaksi

2
Yohanes Sogar Simamora, Penegakan Hukum Pada Bisnis Properti Dengan Pola Pre project selling, Jurnal
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2017,Hal.1.
3
Purbandari, Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre project selling,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular, 2012, Hal. 13.
4
Cornelius Van Der Merwe, European Condominium Law, Cambrige University Press, 2 0 1 4 , hal. 98.
5
Ibid, 2013, hal. 100.
6
Yohanes Sogar Simamora, Penerapan Prinsip Caveat Vendor Sebagai Sarana Perlindungan Bagi Konsumen
Perumahan Di Indonesia , Universitas Airlangga Surabaya, 1996, hal.13.
7
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya , Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000,
hal.78.
8
Pasal 95 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dari hasil wawancara dengan staf pemasaran salah satu pengembang yang menggunakan
konsep pre project selling, diperoleh tahapan tahapan umum sebagai berikut:
1. Pre launching; adalah suatu tahapan awal di mana peluncuran suatu Produk yang
dilaksanakan sebelum launching atau grand launching. Hal-hal yang perlu diketahui oleh
konsumen pada saat pre launcing adalah:
a. Pembagian brosur.
b. Daftar harga
c. Site plan.
d. Uang tanda jadi, dimana uang tersebut hangus apabila pembelian batal.
Pada saat pre launching tersebut pengembang hanya menampilkan contoh rumah dalam
bentuk maket disertai brosur-brosur gambar rumah dan daftar harga dari setiap unit.
2. Launching atau grand launching ini justru merupakan penjualan sebenarnya yang
dilakukan oleh pengembang yang diadakan setelah tiga sampai dengan tujuh hari pre
launching. Biasanya menghadirkan aneka hiburan yang didukung oleh artis-artis Ibu kota
ternama yang diselenggarakan di hotel yang berbintang. Pada saat launching ini para
calon konsumen yang hendak membeli rumah dengan konsep pre project selling para
calon konsumen disodorkan oleh pengembang selembar formulir baku yang disebut
dengan formulir pemesanan yang mencantumkan ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi oleh calon konsumen.
Mengenai pembangunan perumahan, pengembang mengatakan bahwa rumah baru akan
dibangun setelah realisasi pembayaran dari konsumen. Realisasi pembayaran adalah dengan
melakukan pembayaran uang muka. Jadi dapat dikatakan bahwa pembangunan perumahan
ini belum mencapai 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan tempat tinggal
yang dipasarkan karena rumah baru akan dibangun setelah realisasi pembiayaan dari
konsumen. Dari sini dapat disimpulkan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian dari
Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi, yang merupakan alasan yang sah, karena pasar
pengembang perumahan sebelum perumahan dibangun 20% yang merupakan ketentuan Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman. Dengan adanya syarat kausa yang halal sebagaimana syarat tersebut
merupakan syarat objektif tetapi tidak dipenuhi atau dilanggar, maka perjanjian yang
dimaksud tidak sah karena melanggar syarat objektif dari suatu perjanjian dan secara
otomatis berakibat batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1335 jo. 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya adalah bahwa suatu perjanjian tanpa
sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan dan suatu sebab adalah terlarang, apabila undang-undang melarang atau
berlawanan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya persyaratan yang
disebutkan dalam Pasal 42 ayat (2) UU Perumahan dan Permukiman, Perjanjian Jual Beli
(PPJB) tidak berlaku dan batal demi hukum karena persyaratan ini merupakan sebab atau
tujuan utama agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
Hak Dan Kewajiwan Konsumen
Secara umum hak dan kewajiban dari konsumen ada sebagai berikut :
1. Hak konsumen
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi atau
menggunakan barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan.konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
2. Kewajiban konsumen
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dari/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
3. Hak pelaku usaha
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Mendapatkan perlindungan hukum dan tindakan konsumen yang beritikat tidak
baik.
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
4. Kewajiban pelaku usaha
a. Beritikat baik dalam melakukan kegiatan usaha.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan .
c. pemeliharaanMemperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
g. Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, pengertian Konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang
dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Istilah konsumen berasal
dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika atau consument/konsument (Belanda).
Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang menggunakan
barang, tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi
kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.9
Az.Nasution mengartikan konsumen adalah:
“Setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga,
dan tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali
(konsumen akhir)”.10
Sementara pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 UUPK adalah “Segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada
konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

9
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika.Jakarta, 2008, hal. 22.
10
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas lampung, Bandar
Lampung, 2007, hal. 54.
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 11
Menurut Az. Nasution hukum perlindungan konsumen adalah hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen.12 Pengertian Pelaku Usaha menurut pasal 1 angka 3 UUPK
adalah “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’.
Perlindungan konsumen dalam Pasal 3 UUPK bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses
negative pemakai barang dan/ atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Menurut Dedi Harianto tujuan perlindungan konsumen adalah melindungi konsumen dari
dampak negatif kekuatan pasar yang cenderung dapat merugikan konsumen serta untuk
melindungi hak-hak konsumen.13
Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan
penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen disusun
secara bertahap, mulai dari penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian tujuan
perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi
dengan melihat urgensinya. Misal, tujuan meningkatkan kualiatas barang, pencapaiannya
tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah meningkatkan kesadaran konsumen.
Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara serempak.14
Jenis-jenis Perlindungan Hukum ditinjau UUPK adalah bahwa perlindungan konsumen dapat
dilakukan pada saat sebelum terjadi transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat
setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase). Perlindungan Hukum terhadap
konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase)
dapat dilakukan dengan cara :
1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan
pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberi perlindungan kepada
konsumen, melalui peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan
konsumen memperoleh hukum sebelum terjadi transaksi, karena telah ada batasan-
batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku
usaha.
2. Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan
pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini konsumen diharapkan
secara suka rela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih hati-hati dan waspada
sebelum melakukan transaksi dengan pelaku usaha.

Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat
setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur

11
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Bandung,
2004, hal. 1.
12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 9.
13
Edi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2010, Hal.19.
14
Wahyu Sasongko, Op Cit., hlm 40-41.
Pengadilan Negeri atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.15

Sengketa Konsumen dan Penyelesaian Sengketa Konsumen


1. Sengketa konsumen
Sengketa konsumen oleh Az. Nasution diartikan sebagai keadaan atau peristiwa reaksi
konsumen terhadap pengusaha dengan demikian sengketa konsumen muncul dalam
relasi antara konsumen dan pelaku usaha. Selama ini, penyelesaian sengketa konsumen
yang terjadi dilakukan melalui penyelesaian secara damai atau melalui lembaga atau
instansi yang berwenang.
Sengketa konsumen dapat dilihat dari jenis pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen
atau pelaku usaha. Walaupun konsumen juga berpotensi melakukan pelanggaran, tetapi
tidak menjadi (subject matter). Pelaku usahalah yang justru menjadi pusat perhatian
(focus of interst). Setidaknya ada tiga jenis pelanggaran yang potensial dilakukan oleh
pelaku usaha,yaitu:
a. Perbuatan atau tindakan pelaku usaha melanggar kepentingan dan hak-hak
konsumen.
b. Produk yang dipasarkan oleh pelaku usaha melanggar ketentuan larangan UU.
c. Tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK bahwa “Penyelesaian sengketa konsumen dapat di
tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa”.
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyediakan
fasilitas penyelesaian sengketa konsumen melalui:
a. Penyelesaian sengketa secara damai
Yang dimaksud penyelesaian secara damai adalah apabila para pihak yang
bersengketa dengan atau tanpa kuasa/ pendamping memilih cara-cara damai untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Cara damai tersebut berupa perundingan secara
musyawarah dan atau mufakat antar para pihak yang bersangkutan. Dengan cara
penyelesaian sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan bentuk
penyelesaian yang mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat. Dasar hukum
penyelesaian tersebut terdapat pula dalam Kitab Undang - Undang Hukum
Perdatadata Indonesia (Buku Ke-III, Bab 18, pasal 1851- pasal 1858 tentang
perdamaian/dading) dan dalam Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47 UUPK.
b. Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang.
1) Di luar Pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Penyelesaian di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen
(Pasal 47 UUPK). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 47 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Konsumen
yang ingin menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara di luar pengadilan
maka bisa melakukan alternative resolusi masalah ke Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Hal tersebut diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen.
2) Di Pengadilan
Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen secara damai dan penyelesaian di luar

15
Indra Setya Budhi , Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perumahan Atas Konstruksi Bangunan Rumah
Ditinjau Dari Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik
Soegijapranata, Fakultas Hukum, Semarang, <www.hukum.unika.ac.id>, diakses pada 20 April 2018.
pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maka gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Sistem Pre Project Selling yang dilakukan oleh PT.
Menara Santosa Solo, ada banyak spekulasi yang dilakukan oleh pengembang, bahkan
mengabaikan etika dalam bisnis, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan
perlindungan hukum kepada konsumen. berdasarkan penelitian di atas Validitas Perjanjian
Jual Beli dalam Pre Project Selling penjualan unit perumahan dituangkan dalam bentuk
Nomor Urut Pesanan (NUP) oleh PT Menara Santosa Solo selaku pengembang terhadap calon
pembeli adalah tidak sah dan batal demi hukum karena perjanjian tersebut melanggar syarat
objektif dari syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
yaitu mengenai suatu kausa yang halal. Kemudian, dalam hal pengembang (developer)
sebelum membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam penjualan satuan unit
apartemen Meikarta ini juga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 42
ayat (2) Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman maka perjanjian tersebut batal
demi hukum dikarenakan persyaratan tersebut merupakan sebab atau tujuan utama agar
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dapat dibuat.
Salah satu kendala dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian serupa yang masih
sangat jarang untuk dijadikan referensi dalam memperkaya penulisan penelitian ini.

Saran
Pengembang harus memperhatikan nilai-nilai etika berbisnis, dan perlu dibentuk suatu
lembaga yang mengatur secara rinci tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan perusahaan pengembang dan individu-individu perusahaan pengembang. Misalnya;
suatu proyek properti tidak dapat dipasarkan sebelum hak kepemilikan dan penguasaan
tanahnya belum jelas secara hukum; draft perjanjian harus terbuka dan fair; tidak
menjadikan fasum atau fasos yang tidak akan dibuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
Edward W. Clindiff. 1998. Terjemahan, Dasar-Dasar Marketing Modern, Yogyakarta: Liberty.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
J a k a r t a : Gramedia Pustaka,Jakarta Utama.
Harianto, Edi. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan. Bogor:
Ghalia Indonesia.

Kristiyanti, Celiana Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: PT Raja Grafindo
Persada.

Purbandari. 2012. Kepastian Dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre
project selling. Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular.

Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar


Lampung: Universitas lampung.

Setya, Budhi Indra. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Perumahan Atas Konstruksi Bangunan Rumah
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Universitas Katolik Soegijapranata, Fakultas Hukum, Semarang, <www.hukum.unika.ac.id>,
diakses pada 20 Januari 2018.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo.

Shofie, Yusuf . 2000. Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Jakarta: Citra
Aditya Bakti.

Simamora, Yohanes Sogar. 1996. Penerapan Prinsip Caveat Vendor Sebagai Sarana Perlindungan Bagi
Konsumen Perumahan Di Indonesia , Surabaya: Universitas Airlangga Press.

__________________. 2017. Penegakan Hukum Pada Bisnis Properti Dengan Pola Pre project selling,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

Van Der Merwe, Cornelius. 2014. European Condominium Law, Cambrige University Press.

Anda mungkin juga menyukai