Anda di halaman 1dari 54

KONSTRUKSI HUKUM TENTANG PRINSIP PENGHORMATAN HAK ATAS

TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK


KEPENTINGAN UMUM

A. Latar Belakang Masalah


Tanah adalah salah satu karunia Tuhan yang telah diberikan kepada kita yang
merupakan hal terpenting yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Di mana di atas
tanah tersebut aktivitas kehidupan manusia, yang berkaitan langsung dengan kebutuhan
pokok manusia. Kebutuhan tersebut mulai dari kebutuhan papan, sandang, dan pangan tidak
terlepas dari kebutuhan tanah. Di atas tanah manusia dapat mendirikan rumah atau bangunan
untuk tempat tinggal, menggarap tanah tersebut sebagai lahan pertanian, perkebunan, dan
ladang untuk diambil manfaatnya ekonominya.
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti penting karena
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset,
tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk
hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam
pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus
sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi (Achmad Rubaeie, 2007:1).
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan magis religius
selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu dengan tanah tetapi juga
antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di
dalam hubungan dengan hak ulayat (Mohammad Hatta, 2005:40).
Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara lahir, batin, dan merata, di sisi lain perlu
dijaga kelestariaannya. Tanah merupakan karunia Tuhan yang dapat digunakan untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bangsa Indonesia, maka perlu adanya
campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945)
yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat “. Dari bunyi

1
Pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang
terkandung didalam harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu penjabaran dari Pancasila, maka
dengan sendirinya kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin, adil, dan
merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Melihat materi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di
atas maka tujuan negara di sini merupakan tujuan dari negara Republik Indonesia yang
bersifat mendasar dan abadi, juga bersifat filosofi dan keadilan (Mohamad Hatta, 2005:1).
Dengan demikian, antara dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya,
dikuasainya bumi (tanah), air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara,
semata-mata dimaksudkan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan
untuk kepentingan kelompok atau golongan elit tertentu dari instansi pemerintah yang
memerlukan tanah tersebut (Achmad Rubaei, 2007:2).
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA) menegaskan, bahwa kewenangan negara
terkait hak menguasai tanah dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau
pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian (bagian dari) bumi,
air dan ruang angkasa itu; dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, segala
sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur.

Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam Pasal 2 ayat (3)


UUPA diartikan sebagai kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil, dan makmur. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, maka penggunaan tanah tidak hanya untuk kepentingan individu
saja tetapi juga kepentingan masyarakat luas di Indonesia. Bunyi Pasal tersebut tersirat
bahwa penggunaan tanah juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan
sosial.

2
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi dalam konsepsi hukum tanah
nasional mengandung unsur kebersamaan (Boedi Harsono, 2005: 231). Unsur kebersamaan
atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena semua hak atas
tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan
hak bersama. Pasal 6 UUPA, menyatakan : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.” Dari ketentuan tersebut berarti penggunaan tanah tidak hanya menyangkut
kepentingan individu atau golongan pemegang hak atas tanah tersebut, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebab, kepentingan pribadi sudah termasuk juga
di dalam kepentingan masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan individu
dan kepentingan umum (masyarakat) dalam pemanfaatan serta penggunaan tanah.
Menurut Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 2 ayat (3) Juncto Pasal
6 UUPA, maka terkait hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, negara perlu melakukan
berbagai ragam kebijakan dan kegiatan yang memerlukan berbagai macam ketrampilan dan
keahlian, termasuk mengatur penggunan tanah bagi kepentingan umum dalam pengadaan
tanah untuk pembangunan, di mana tujuan utamanya tetap harus untuk kemakmuran rakyat
secara adil dan merata. Sebagaimana dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak
dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah yang membutuhkan tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaanya harus mempertimbangkan
banyak hal. Argumentasinya, menurut Imam Koeswahyono yang mengutip pendapat
Soemarjono dan Oloan Sitorus, bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan atau mencangkup
prinsip (Imam Koeswahyono, 5:2008) :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada
landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak
bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Juncto Pasal 1 dan 2 UUPA);
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dimiki haknya oleh seseorang atau badan
hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ( selanjutnya ditulis
UU HAM)); dan

3
4. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden
memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (selanjutnya ditulis UU No 20 Tahun 1961).

Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA
sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan
umum. Adapun di lain pihak sebagian dari masyarakat memerlukan tanah sebagai tempat
pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana hal tersebut diambil begitu saja dan
dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka dapat berdampak mengesampingkan
kepentingan perseorangan yang dikhawatirkan akan menghilangkan hak perseorangan untuk
hidup secara layak. Secara tegas Hak Milik telah mendapatkan perlindungan yang kuat dalam
pasal 28H UUD 1945, dinyatakan “Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan Hak
Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Pasal 36
ayat (1) dan (2) UU HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,
bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun
boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan pelaksanaan
kepentingan umum adalah menentukan keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan pribadi pemegang hak atas tanah. Pembangunan yang tengah dilaksanakan oleh
pemerintah seringkali berbenturan berbagai masalah pengadaan tanah yang mengabaikan hak
atas tanah yang dimiliki masyarakat. Permasalahan ini muncul baik dalam tahap awal,
pelaksanaan maupun pemberian ganti rugi yang kurang layak yang tanpa melibatkan
masyarakat pemegang hak atas tanah, sehingga pengadaan tanah yang berdalih untuk
kepentingan umum sering kali melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, persoalan yang paling disorot adalah kriteria pembatasan “kepentingan
umum” yang membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh
Pemerintah. Pengertian kepentingan umum dikhawatirkan akan diartikan secara luas
sehingga dapat melanggar hak milik atas tanah di Indonesia yang belum sepenuhnya
dilindungi sistem hukum (Mohammad Hatta, 2005:157). Demikian juga selain perangkat
aturan yang ada saat ini dilihat belum mengakomodasi keperluan kepentingan pembangunan.

4
Wadahnya pun disorot tidak layak, lantaran persoalan tanah yang terkait hak asasi manusia
tidak dihimpun dalam undang-undang.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diadakan oleh Pemerintah, apabila
melalui pembebasan tanah tidak bisa tercapai maka melalui pencabutan hak milik. Hal
demikian diatur dalam Pasal 1 UU No 20 Tahun 1961, menyatakan bahwa: “Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang
memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.
Terkait dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah, terkadang organ Pemerintah
melakukan perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad) publik, seperti
dalam hal pelaksanaan pencabutan Hak Milik. Pelanggaran hukum tersebut seperti dalam hal
(Marmin M.Roosadijo. 1979: 31) :
1. Penetapan ganti rugi oleh panitia penaksir telah ditetapkan dengan tidak mengindahkan
dasar-dasar pertimbangan yang layak, sehingga dirasa sangat mustahil untuk diterima
oleh yang bersangkutan;dan/atau
2. Daerah penampungan yang ditunjuk Pemerintah ternyata tidak memenuhi persyaratan
hidup untuk dihuni berhubung tiada sumber air atau air yang terdapat di daerah itu tidak
berfungsi sebagaimana mestinya karena adanya pencemaran lingkungan.

Apabila kita ikuti kasus-kasus seputar pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
yang kebanyakan pemicunya terkait dengan pemberian ganti rugi, baik dalam bentuk,
pelaksanaan pembayarannya maupun besarnya ganti rugi. Pembayarannya terkadang tidak
langsung tunai dan diundur-undur dan besarnya ganti rugi tidak layak. Guna menghindari
konflik terkait pemberian ganti rugi baik mengenai bentuk maupun besarnya harus ditetapkan
berdasarkan musyawarah antara kedua belah pihak yang mempunyai kedudukan sama dan
sederajad, sehingga antara pihak pemerintah dengan pemegang hak atas tanah terjadi
keseimbangan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah harus memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan
dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pemerintah tidak boleh

5
mengambil atau mencabut hak atas tanah sewenang-wenang dengan berdalih untuk
kepentingan umum tanpa mempertimbangkan prinsip penghormatan hak atas tanah.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi pokok kajian adalah :


1. Bagaimana konstruksi hukum pengertian kepentingan umum dalam pengadaan tanah
yang dihasilkan dari peraturan perundang-undangan ?
2. Apakah tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah?
3. Bagaimana konstruksi hukum pengertian ganti rugi yang layak dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum yang dihasilkan dari asas fungsi sosial hak atas tanah?

C. Pembahasan
1. Konstruksi Hukum Pengertian Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah yang
Dihasilkan dari Peraturan Perundang-Undangan
Sebagai makluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai berbagai macam
hak untuk menjamin dan mempertahankan kehidupannya di tengah-tengan masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya ‘Ilmu Hukum”, menyebutkan hak merupakan
alokasi kekuasaan oleh hukum (Satjipto Raharjo, 1991:53). Hukum melakukan alokasi
kekuasaan secara terukur sehingga oleh hukum kekuasaan ditentukan keluasan dan
kedalamannya (Yusriyadi, 2010:134). Berbagai macam hak tersebut salah satunya adalah
hak milik. Hak ialah peranan bagi seseorang atau suatu pihak (pemegangnya) untuk
bertindak atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain.
Berdasarkan rumusan di atas, Purnadi dan A. Ridwan menyatakan, hak milik adalah
peranan seseorang atau suatu pihak untuk memiliki sesuatu dan bertindak atas sesuatu
yang menjadi miliknya itu. Kata “milik” adalah unsur dalam hak ini, yang menjadi obyek
hak ini berupa sesuatu yang bersifat materiil atau kebendaan. Hak milik itu merupakan
hak kebendaan, yakni hak yang obyeknya adalah benda atau yang dipersamakan dengan
benda (Purnadi P.dan A. Ridwan H., 10:1982).

6
Hak milik ini harus mendapat perlindungan dalam sebuah peraturan perundang-
undangan. Menurut Louis Kaplow dan Steven Shavell, penegakan perlindungan hak
milik dapat melindungi pemegangnya dari sebuah resiko, seperti kemungkinan adanya
pengambilalihan hak tersebut oleh pihak lain. Dalam tulisannya “Economy Analysis of
Law”, Louis Kaplow dan Steven Shavell menyatakan: “A related benefit of enforcing
property rights is that it protects people against risk. In the absence of protection of
property rights, individuals would face the possibility that their property would be taken
from them (even though they might also enjoy the possibility that they would be able to
take property from others)” (Louis Kaplow and Steven Shavell, 1999:15).
Hak atas tanah merupakan hak, dimana salah satunya hak milik atas tanah.
Konsep hak milik menurut Lili Rasjidi adalah hubungan antara seseorang dengan suatu
benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini merupakan suatu
himpunan hak-hak yang kesemuanya merupakan hak-hak in rem. Hak ini terdiri dari (Lili
Rasjidi, 1988:85) :
1. Hak untuk memiliki sesuatu. Pemilik berhak untuk memiliki suatu benda yang
dimikinya;
2. Hak untuk menggunakan dan menikmati. Pada dasarnya pemilik dapat menggunakan
dan menikmati barang miliknya sesuka hatinya;
3. Hak untuk memakai, mengasingkan atau bahkan membinasakan;
4. Waktu yang tak terbatas, pemilikan ini tak terbatas waktunya;dan
5. Pemilik juga mempunyai sifat sisa dalam arti bahwa walaupun hak penguasaan telah
diserahkan kepada pihak lain karena kontrak sewa, misalnya, hak-hak yang tersisa
terhadap benda tersebut melekat pada pemilik. Namun, kekuasaan yang dimiki
pemilik tidak bersifat mutlak, yaitu penggunaannya dibatasi oleh hukum yang
berlaku.

Di samping hak milik tanah merupakan hak, yang berarti mengandung fungsi
fasilitas, hak milik atas tanah juga mengandung kewajiban yang berarti sebagai kontrol
terhadap pemilik tanah. Sunarjati Hartono menyebutkan hak-hak perseorangan
merupakan akibat daripada pengembangan kewajiban-kewajiban masyarakat tertentu
(Sunarjati Hartono, 1978:28). Dalam hak atas tanah, Yusriyadi menyebutkan bahwa
terdapat berbagai kewajiban yang harus diaktualkan pemilik tanah, yakni (Yusriyadi,
2010:12) :

7
1. Kewajiban untuk menggunakan tanah miliknya sesuai dengan keadan tanahnya, sifat,
dan tujuan pemberian haknya sehingga pemilik tidak diperbolehkan menelantarkan
tanahnya;
2. Kewajiban untuk menggunakan atau memanfaatkan tanah miliknya sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan pemerintah;
3. Kewajiban untuk menggunakan atau memanfaatkan tanah miliknya secara
berkeseimbangan antara kepentingan individualnya sebagai pemilik dengan
kepentingan di luarnya yakni kepentingan masyarakat; dan
4. Kewajiban bagi pemilik tanah menganggap tanah miliknya bukan sebagai barang
komoditas perdagangan sehingga wajib untuk menjadikan tanahnya bukan sebagai
objek spekulasi.

Dalam falsafah dan ideologi yang bersumber pada titik tengah antara paham
liberalisme dan sosialisme, bidang pemilikan diusahakan untuk sedapat mungkin mencari
keserasian antara kebebasan perseorangan untuk memiliki sesuatu dan pembatasan
pemilikan tersebut demi kepentingan umum, dengan pangkal pikiran “kebebasan demi
kepentingan individu sejauh mungkin, pembatasan demi kepentingan umum sebanyak
yang diperlukan”. Pangkal pikiran ini mengandung arti bahwa (Purnadi P.dan A. Ridwan
H., 1982:34-35):
1. Hak milik perseorangan atas segala sesuatu yang memang menjadi hak miliknya,
diakui dihormati dan dilindungi oleh hukum yang berlaku sepanjang perolehan hak
milik tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;
2. Kebebasan untuk memiliki segala sesuatu dijamin penuh oleh hukum sepanjang:
a. Kebebasan tersebut tidak disalahgunakan sehingga merugikan kepentingan orang
lain atau kepentingan umum; dan
b. Benda yang menjadi obyek pemilikan tersebut bukanlah benda-benda yang
manfaat dan penggunaannya peka bagi kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan
agar jangan sampai kepentingan umum itu tergantung pada perorangan atau suatu
pihak tertentu sehingga hal ini dapat disalahgunakan oleh yang bersangkutan.
3. Kebebasan hak milik perorangan baru dibatasai oleh negara dalam hal pemilikan
tersebut berkenaan dengan benda-benda yang menyangkut kepentingan orang banyak
atau kebutuhan vital masyarakat;
4. Pada dasarnya negara memang berhak menyelenggarakan kepentingan umum tetapi
meskipun demikian negara masih pula berkewajiban untuk mencegah atau setidak-
tidaknya memperkecil timbulnya kerugian orang-perorangan karena pengadaan dan
penyelenggaraan kepentingan umum tersebut;
5. Kebebasan perorangan dalam memegang hak milik atas suatu benda tertentu itu dalam
beberapa hal tertentu (sepanjang diperlukan untuk kepentingan umum) diimbangi pula
oleh kewajiban-kewajiban yang harus dipikul sebagai beban pemilikan benda tersebut
sendiri; dan

8
6. Demikian pula haknya dengan acara atau prosedur perolehan hak milik tersebut, yang
sering kali pula menuntut adanya pengorbanan dan pembebanan khusus demi
kepentingan umum yang harus dipikul oleh calon pemegangnya itu.

Meskipun falsafah di atas mempunyai kesejajaran dengan falsafah Negara


Indonesia dalam hal kebijaksanaan-kebijaksanaan yang timbul sebagai pelaksanaan dan
pengejawantahannya. Namun, makna hakekat falsafi yang jauh lebih tinggi dan makna
hakekat keaslian atau kelestarian jiwa bangsa Indonesia menyebabkan falsafah negara
kita Pancasila mengandung kadar kebijaksanaan dan kecocokan yang jauh lebih
mendalam pula bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia (Purnadi Purbacaraka dan A.
Ridwan Halim, 1982:39). Apabila falsafah atau ideologi yang bersifat moderat
mengutamakan titik keseimbangan yang harus dicapai antara paham liberalisme dan
sosialisme, maka Pancasila sebagai landasan ideologi Indonesia menuntut tidak hanya
keseimbangan, melainkan juga keserasian antara keduanya.
Negara kita adalah negara hukum (rechstaat) yang berdasar konstitusi UUD 1945
dan berdasarkan ideologi Pancasila, dimana Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 menyatakan
bahwa hukum yang berlaku di Indonesia harus bersumber dari Pancasila. Indonesia
sebagai negara hukum menempatkan dan memberikan perlindungan hak asasi bagi
rakyatnya. Salah satu hak asasi yang harus mendapatkan perlindungan adalah hak milik.
Hak milik tidak boleh dicabut secara sewenang-wenang oleh siapapun termasuk oleh
negara. Hak milik telah mendapat pengakuan yang kuat dalam Pasal 28H ayat (4) UUD
1945, secara implisit mengakui hak milik (kepemilikan tanah) sebagai hal yang bersifat
asasi. Hak yang bersifat asasi, yakni hak yang harus ada atau melekat pada setiap orang
untuk hidup secara wajar sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat.
Hak-hak asasi manusia menurut ajaran pancasila adalah hubungan antara
pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang
profesional antara kekuasaan negara, penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir. Sehingga Indonesia sebagai negara hukum
pancasila mempunyai ciri-ciri, yaitu (Like Lianadevi, 2010:176):
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir; dan
9
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Menurut penulis, untuk memeratakan keadilan masyarakat dan membawa


keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan, perataan
keadilan dan keseimbangan dalam berbagai kepentingan itu tidak akan dapat ditimbulkan
dengan lebih lagi memberi tekanan kepada kepentingan umum sambil mengabaikan
kepentingan perseorangan. Keseimbangan dan keadilan yang merata tidak akan tercapai
apabila kita telah terpukau pada penyelenggaraan kepentingan umum semata-mata dan
mengabaikan penyelenggaraan hak asasi manusia Indonesia yang dijamin oleh UUD
1945.
Jadi, eksistensi atau kehadiran hak milik pribadi (hak milik atas tanah) dalam
dunia hukum harus tetap dihormati dan dilindungi serta tidak boleh diganggu atau
ditiadakan semena-mena, bahkan sedapat mungkin harus diusahakan agar ada hasil atau
keuntungan bagi kepentingan umum yang dapat ditarik dari manfaat pemilikan tersebut.
Dengan demikian, hal pemilikan harus dicapai keserasian yang bermakna keadilan antara
perlindungan kepentingan pribadi orang-perorangan dengan penyelenggaraan
kepentingan umum masyarakat di mana mereka berada.
Salah satu yang sering dipermasalahkan di dalam pengadaan tanah, adalah definisi
mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum sebagai konsep tidak sulit dipahami
tetapi tidak mudah didefinisikan. Kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk
keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas.
Kepentingan umum menurut John Salindeho, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik,
psikologis, dan hankamnas (pertahanan, keamanan nasional) atas dasar asas-asas
pembangunan nasional yang mengidahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara
(John Salindeho, 1993:40).
Kepentingan negara dalam keteraturan publik adalah suatu batasan yang
didapatkan dari prinsip kepentingan umum, yaitu kepentingan warga negara yang setara
(John Rawls, 2006:268). Akan tetapi, dalam hal pengadaan tanah, ketentuan tersebut
tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan

10
harus saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran,
keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3) UUPA). Jadi,
kepentingan umum tidak meniadakan kepentingan pribadi/perorangan/badan, tetapi
kepentingan umum adalah lebih tinggi derajadnya, ditinjau dari segi kepentingan pribadi
dan kegunaannya.
Pembahasan mengenai prinsip-prinsip kepentingan umum dalam pengadaan
tanah menjadi penting karena (Adrian Suteji, 2008:48-49):
1. Dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di kota
maupun di desa banyak memerlukan tanah, misalkan pelebaran jalan, pasar inpres,
sekolah inpres, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya. Pemilikan
tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-
waktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan
umum. Adapun di lain pihak sebagian dari masyarakat juga memerlukan tanah
sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya. Bilamana tanah
tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka
jelas akan mengorbankan hak asasi warga masyarakat;
2. Sebagai titik tolak di dalam pembebasan tanah, pengadaan tanah, dan pencabutan hak
atas tanah. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau untuk
keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang
bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum atau
untuk kepentingan yang dapat menunjang kepentingan umum atau untuk kepentingan
yang dapat menunjang pembangunan; dan
3. Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi
masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus disesuaikan
dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial
memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara
menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaaan maupun kepentingan
masyarakat perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan di dalam
masyarakat di daerah, maka sesuai prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah
masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum.

Berikut secara rinci kepentingan umum dalam pencabutan hak atas tanah (Adrian
Suteji, 2008:99) :
1. Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan
umum apabila kegiatan tersebut menyangkut kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau
kepentingan pembangunan;
2. Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum
sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang pertahanan,
pekerjaan umum, perlengkapan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan dan
11
sosial budaya, kesehatan, olahraga, keselamatan umum terhadap bencana alam,
kesejahteraan sosial, makam/kuburan, pariwisata dan rekreasi, dan usaha-usaha
ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum; dan
3. Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya.

Maria S.W. Soemardjono dalam Oloan Sitorus dan Dayat Limbong menyatakan
bahwa UUPA, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, Inpres Nomor 9 Tahun 1973
sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, belum menegaskan
esensi kriteria kepentingan umum secara konseptual. Di dalam UUPA dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961, kepentingan umum dinyatakan dalam arti
“peruntukannya” yaitu: kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat,
dan kepentingan pembangunan. Sedangkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1973 dalam
Pasal 1 ayat (1), kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut empat
macam kepentingan, yaitu :
1. Kepentingan bangsa dan negara;
2. Masyarakat luas;
3. Kepentingan bersama; dan
4. Kepentingan pembangunan.
Konsep kepentingan umum dalam pengadaan tanah di perjalanan politik hukum
Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut, yaitu:
1. Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya;
3. Pasal 1 dan Pasal 2 lampiran Inpres No 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya
4. Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
5. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Perpres
Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

12
Adapun lebih jelasnya konsep kepentingan umum dalam peraturan perundang-
undangan tersebut dan kostruksi kepentingan umum, akan diuraikan pada subbab
berikutnya.
1. Kepentingan umum dalam Pasal 18 UUPA, UU No 20 Tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang di Atasnya, dan Inpres No 9
Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Diatasnya
Pasal 18 UUPA menyebutkan, “untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang”. Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai
hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-
syarat, misalnya harus disertai ganti kerugian yang layak. Pemahaman kepentingan
umum ini kemudian menurut Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961, adalah kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan. Jadi dari ketentuan Pasal 1 ini, dalam hal kepentingan umum ada
penambahan “kepentingan pembangunan”.
Pada dasarnya kewengan negara mencabut hak pemilikan atas tanah seseorang
bersumber dari dua hal, yaitu (Ari Purwadi, tanpa tahun).:
a. Pengertian hak milik (eigendom) sebagaimana yang diatur dalam pasal 570
Burgelijk Wetboek (BW), dan beberapa ketentuan agraria di jaman Hindia
Belanda; dan
b. Prinsip "fungsi sosial " dari hak atas tanah.
Pasal 570 BW menyatakan:

"hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk
menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya asal tidak dipergunakan bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap
hak-hak orang lain. Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya
pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti
kerugian yang layak dan ketentuan undang-undang".

13
Oleh Philipus M. Hadjon negara hukum Indonesia dirumuskan sebagai negara
hukum Pancasila yang jiwa dan isinya tidak begitu saja mengalihkan konsep "rule of
law" atau konsep"rechtsstaat" menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak
dasar sebagai titik sentral, sedangkan untuk negara Republik Indonesia, pada waktu
pembahasan UUD 1945, tidak dikehendaki masuknya hak-hak asasi manusia ala
Barat yang individualistis sifatnya. Bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi
titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan
asas keturunan (Hadjon, 1988:265). Bertitik tolak dari pemahaman negara hukum
yang esensi pokok adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia, termasuk hak dasar yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah,
maka persoalan pencabutan hak atas tanah tentu harus memperhatikan perlindungan
hak dasar seseorang yang terkait.
Dengan Inpres Nomor 9 Tahun 1973 sebagai pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 ditetapkan
“bentuk kegiatan” yang dikategorikan sebagai kepentingan umum, Pasal 1
menyebutkan bentuk kegiatan tersebut yaitu meliputi:
a. Pertahanan;
b. Pekerjaan umum;
c. Perlengkapan umum;
d. Jalan umum;
e. Keagamaan;
f. Ilmu pengetahuan dan seni budaya;
g. Kesehatan;
h. Olahraga;
i. Ketertiban umum;
j. Makam;
k. Pariwisata; dan
l. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

14
Selain bidang di atas, Presiden mempunyai hak untuk menentukan bentuk-bentuk
kegiatan pembangunan lainnya apabila diperlukan bagi kepentingan umum (Pasal 1 ayat
(1) lampiran Inpres No.9 Tahun 1973).
Dari daftar kegiatan tersebut masih memuat judulnya saja tanpa memberikan
rincian yang lebih jelas, misalnya pekerjaan umum, perlengkapan umum, pariwisata.
Tidak adanya rincian yang lebih lanjut akan memunculkan penafsiran yang berbeda atau
penafsiran yang lebih luas dalam implementasinya.
Pasal 2 lampiran Inpres No 9 Tahun 1973, menyatakan bahwa suatu
pembangunan mempunyai bentuk kerangka kepentingan umum apabila sebelumnya
proyek tersebut harus sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah
diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan, termasuk dalam Rencana Induk
Pembangunan yang harus bersifat terbuka untuk umum dari daerah yang bersangkutan
dan yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.
Selain hal tersebut, harus diperhatikan juga proses yang harus dilalui sebelum
suatu proyek dimasukkan dalam rencana pembangunan daerah. Mekanisme perencanaan
dimaksudkan untuk dapat menampung aspirasi masyarakat mulai dari tingkat bawah:
masyarakat desa-kecamatan-kabupaten-provinsi sampai pada tingkat pusat (Maria S.W.
Soemardjono, 2008:246). Peran serta masyarakat dalam suatu kebijakan yang
menyangkut kepentingan masyarakat luas terus diupayakan untuk mencegah tindakan-
tindakan yang bersifat spekulatif maupun manipulatif dan hal ini sebagai salah satu ciri
pelaksanaan asas-asas pemerintah yang baik (good governance).

2. Kepentingan Umum dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dengan dikeluarkannya Keppres No.55 Tahun 1993, tidak dikenal lagi pembebasan
tanah, istilah pembebasan tanah telah diganti dengan pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah dan dinyatakan tidak berlaku tiga peraturan pokok yang mengatur tentang
pembebasan tanah, yaitu Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 15 Tahun 1975
(Permendagri No.15 Tahun 1975), Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 2 Tahun 1976

15
(Permendagri No.2 Tahun 1976), dan Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 2 Tahun
1985 (Permendagri No.2 Tahun 1985).
Pengertian kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55 Tahun
1993 adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pengertian ini sangat abstrak
sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Keadaan
ini tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat, karena pemerintah melepaskan hak atas
tanah masyarakat demi kepentingan umum yang kabur sesuai dengan maksud dan
kehendak pemerintah, yang dalam kenyataanya bertentangan dengan kepentingan
masyarakat. Kriteria kepentingan umum ini menampakkan sifat yang sepihak dan tidak
aspiratif, karena kepentingan pemilik tanah kurang bahkan tidak mendapat perhatian
(Lieke Lianadevi, 2010:182). Padahal seharusnya pemilik tanahlah yang paling pokok
untuk mendapat perlindungan sesuai fungsi daripada hukum untuk mengayomi demi
tercapainya ketertiban dan rasa keadilan.
Jadi, pendefinisian kepentingan umum telah menimbulkan interpretasi yang
berbeda oleh pihak-pihak yang membutuhkan tanah. Oleh karena itu, definisi kepentingan
umum ini harus diperjelas dan diperketat agar tidak disalahgunakan. Di samping itu,
kewenangan presiden untuk menetapkan suatu kegiatan masuk dalam kategori kepentingan
umum, meskipun harus dalam bentuk Keputusan Presiden, perlu juga diatur sejauh mana
kewenangan tersebut bisa dipergunakan karena hal ini menyangkut masalah hak asasi
manusia yang dijamin dengan UUD 1945 (Adrian Suteji, 2008:155).
Pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 menyebutkan bahwa pembangunan untuk
kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk:
a. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta
tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1) Jalan umum, saluran pembuangan air;
2) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
3) Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat;
4) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;
5) Peribadatan;
6) Pendidikan atau sekolahan;

16
7) Pasar umum atau pasar Inpres;
8) Fasilitas pemakaman umum;
9) Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar dan lain-lain bencana;
10) Pos dan telekomunikasi;
11) Sarana olah raga;
12) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
13) Kantor Pemerintah; dan
14) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
b. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud di atas (dalam
Jangka satu) yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Jelaslah bahwa Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tidak sekedar memperhatikan
kemanfaatan dari kepentingan umum, tetapi juga membatasi siapa yang menjadi
pelaksana pembangunan kepentingan umum, yaitu dilakukan dan selanjutnya dimiliki
Pemerintah dan sifat pembangunan kepentingan umum tidak digunakan untuk mencari
keuntungan.
Menurut Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Keppres No. 55 Tahun 1993 lebih
cenderung memakai pendekatan ketentuan-ketentuan daftar (list provisiont). Hal ini jelas
terlihat dari ketentuan Pasal 5 Keppres 1993 diatas, selain membatasi apa yang dimaksud
dengan pembangunan untuk kepentingan umum, juga secara eksplisit menentukan bidang-
bidang yang termasuk sebagai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum (Oloan
Sitorus Dayat Limbong, 2004:8).
Pengertian pembangunan untuk kepentingan umum yang tercantum dalam Pasal 5
angka 1 tersebut, walaupun sesungguhnya bermaksud membatasi apa yang termasuk dalam
pengertian pembangunan untuk kepentingan umum, akan tetapi sifat limitatif tersebut
menjadi kabur ketika ada tambahan istilah “dalam beberapa bidang, antara lain.........”.
Kemudian angka 2-nya juga membuka kemungkinan bentuk kegiatan pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, selain yang dimaksud dalam angka 1 ditetapkan
dengan keputusan presiden. Hal ini pula yang membuka peluang terjadinya penafsiran
yang beragam atas istilah “kepentingan umum”. Penulis sependapat dengan Abdurrahman,

17
dalam Oloan Sitorus. Abdurrahman menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 angka 2 Keppres
No. 55 Tahun 1993 dapat menimbulkan kesan negatif, bahwa ruang lingkup dari apa yang
disebut kepentingan umum itu dapat diatur dan dapat dipermainkan sedemikian rupa
sehingga percuma saja ditentukan dalam satu daftar sebagaimana yang tertera dalam dalam
ketentuan Pasal 5 angka 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut (Oloan Sitorus dan Dayat
Limbong, 2004:10-11). Jadi peluang yang dibuka dari Pasal 5 angka 2 tersebut, yakni
melalui Keppres, harus juga diartikan bahwa kegiatan tersebut harus memenuhi tiga
kriteria pokok dalam angka 1 tersebut di atas secara kumulatif.
Pasal 4 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 juga menegaskan bahwa penetapan
rencana pembangunan untuk kepentingan umum harus sesuai dan berdasarkan kepada
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang ditetapkan terlebih dahulu. Bagi daerah yang
belum menetapkan RUTR harus didasarkan kepada perencanaan ruang wilayah atau kota
yang sudah ada. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
tidak sesuai dengan RUTR dapat dinyatakan sebagai bukan kepentingan umum. Keppres
Nomor 55 Tahun 1993 kemudian digantikan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan
diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Istilah Keputusan Presiden diganti menjadi
Peraturan Presiden dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya
(selanjutnya disebut UU No 10 Tahun 2004).

3. Kepentingan Umum Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 5 Perpres No.36 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006, adalah kepentingan
sebagian besar masyarakat. Kepentingan umum menurut Perpres ini semakin mengalami
ketidakjelasan, sehingga dimungkinkan suatu kegiatan yang sebenarnya bukan untuk
kepentingan umum dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yang dapat
menimbulkan konflik. Kriteria kepentingan umum pun dalam Perpres ini juga tidak ada
pembatasan yang jelas dan rinci, padahal berdasarkan peraturan sebelumnya yaitu Keppres

18
No. 55 Tahun 1993, kategori pembatasan kepentingan umum adalah kegiatan
pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak untuk
mencari keuntungan. Kategori kepentingan umum ini tidak lagi dicantumkan dalam
Perpres No 36 Tahun 2005 Jo Perpres No 65 Tahun 2006. Jadi makna kepentingan umum
dalam Perpres ini justru mengalami kelemahan dan kemunduran.
Sama dengan peraturan presiden sebelumya, Perpres No 65 Tahun 2006 tidak
disertai dengan naskah akademik sehingga tidak dapat diperoleh kejelasan tentang falsafah,
orientasi, dan prinsip dasar yang melandasinya. Komentar dibuat dengan catatan, materi
dalam Perpres harus dimuat dalam undang-undang (Kompas 29/4/2005, 11/5/2005, dan
16/6/2005). Perubahan pembatasan kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu
dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan
dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Perpres ini lebih baik daripada Perpres yang
terdahulu yang tidak memberi pembatasan sama sekali, tetapi apabila dibandingkan dengan
Keppres No 55 Tahun 1993, Perpres No 65 Tahun 2006 memperluas pembatasan
kepentingan umum dengan memuat kata “atau akan” dimiliki oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, serta dalam perpres ini juga tidak memuat kriteria “tidak untuk
mencari keuntungan”. Menurut Maria S.W. Soemardjono dalam bukunya Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Perpres ini utamanya dimaksudkan untuk
menjadi landasan hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam
proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaanya sulit dipenuhi pemerintah
sendiri (Maria S.W. Soemardjono, 2009:112).
Pasal 5 No 36 Tahun 2005 Perpres menyebutkan, pembangunan untuk kepentingan
yang dilakukan oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah, meliputi bidang-bidang
sebagai berikut:
a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b. Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan perairan lainnya;
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

19
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolah;
g. Pasar umum;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas keselamatan umum;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olahraga;
l. Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-
Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p. Rumah susun sederhana;
q. Tempat pembuangan sampah;
r. Cagar alam dan cagar budaya;
s. Pertamanan;
t. Panti sosisal;
u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Penafsiran kepentingan umum berdasarkan bidang-bidang di atas membuka
peluang masuknya perusahaan dan modal swasta ke dalam proyek-proyek yang
dikategorikan termasuk kepentingan umum. Proyek jalan tol, kelistrikan, telekomunikasi,
penyiaran, hingga tempat pembuangan sampah merupakan segi-segi penafsiran
kepentingan umum yang dituding sudah dirambah swasta demi profit (Adrian Suteji,
2008:199). Pergeseran makna kepentingan umum, misalnya dengan dimasukkannya “jalan
tol”. Padahal jalan tol ini berbeda dengan jalan umum (jalan provinsi, kabupaten/kota,
desa), karena apabila menggunakan jalan tol, pengguna dikenakan kewajiban membayar
pemakaian sedangkan dalam jalan umum tidak dikenai kewajiban membayar. Jadi dari
jalan tol ini terdapat orientasi profit, padahal pemahaman publik mengenai kepentingan

20
umum terkait dengan beberapa hal mendasar, yakni adanya keuntungan sosial berupa
masyarakat umum yang akan menikmati tujuan pembebasan lahan, dilakukan oleh
pemerintah dan tidak berorientasi profit.
Pasal 5 tersebut dalam Perpres No 65 Tahun 2006 mengalami perubahan yang
termasuk bidang kepentingan umum, dimana yang 21 jenis bidang menjadi 7 jenis bidang,
yaitu:
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
ruang bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Revisi yang hanya mengenai jumlah kategori bidang bangunan untuk kepentingan umum
dalam pasal ini tidak cukup, karena yang paling mendasar adalah definisi “kepentingan
umum”. Dari perubahan jumlah kategori tersebut, Perpres No. 65 Tahun 2006 masih
membuka ruang lebar masuknya kepentingan bisnis dengan berdalih untuk kepentingan
umum. Pengurangan kategori bidang pembangunan untuk kepentingan umum tersebut
belum jelas dasar pengurangannya. Berdasarkan perubahan tersebut terjadi pengurangan
kategori bidang yang termasuk kepentingan umum yang seharusnya tidak dihapuskan,
yaitu meliputi bidang:
a. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
b. Tempat peribadatan;
c. Tempat pendidikan atau sekolah;
d. Lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan;
e. Kantor Pemerintah atau pemerintah daerah; dan
f. Pasar umum tradisional.

21
Sebagai contoh penghilangan kategori kepentingan umum “tempat pendidikan atau
sekolah” merupakan hal yang tidak berdasar hukum. Padahal, pendidikan adalah hak setiap
warga negara Indonesia, dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat menyebut salah
satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi dengan dihapuskannya
kategori kepentingan umum “tempat pendidikan atau sekolah” merupakan hal yang
bertentangan dengan Konstitusi negara Indonesia.
Menurut Maria S.W. Soemardjono berpendapat bahwa kedepannya ada dua
alternatif yang perlu dipikirkan terkait konsep kepentingan umum, yaitu (Maria S.W.
Soemardjono, 2009:103):
a. Tetap membedakan antara kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dan bukan
kepentingan umum. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah, dan swasta sama sekali tidak dimungkinkan dengan cara
apapun menggunakan fasilitas pemerintah; dan
b. Tidak perlu membedakan antara kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dan
bukan kepentingan umum, tetapi terhadap setiap kegiatan pembangunan yang
memerlukan tersedianya tanah yang berdampak terhadap kesejahteraan sosial ekonomi
pemegang hak atas tanah, tata caranya diatur dalam undang-undang.
Penulis berpendapat makna kepentingan umum dalam Perpres ini cenderung di
orientasikan atau difokuskan untuk pertumbuhan ekonomi sehingga makna maupun
definisi kepentingan umum dalam perpres ini diperluas dan tidak ada kriteria pembatasan
makna kepentingan umum, sehingga dalam implementasinya dapat menimbulkan
permasalahan. Jadi, apabila dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yaitu Keppres No
55 Tahun 1993, Perpres ini mengalami maju-mundur.

4. Konstruksi Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah


Prinsip dasar kepentingan umum sebagaimana didefinisikan oleh Theo Hujbers
dalam buku Maria S. W. Sumardjono, yaitu: “kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan
yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu
sebagai warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik, dan
pelayanan kepada publik” (Maria S.W. Soemardjono, 2009:107).

22
Roscoe Pound dalam Bernard, dkk, mengajukan tiga kategori kepentingan, yaitu
kepentingan umum, sosial, dan kepentingan pribadi. Kepentingan-kepentingan yang
tergolong kepentingan umum terdiri atas dua, yaitu (Bernard L. Tanya, 2010: 159) :
a. Kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan
kepribadian dan hakikatnya; dan
b. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial.
Kepentingan umum menurut Soetandyo dalam Lieke Lianadevi, pada hakikatnya
tidak dapat mengabaikan kepentingan pribadi, bahkan harus mencirikan hal-hal sebagai
berikut (Lieke Lianadevi, 2010:183):
a. Kepentingan pemilik tanah tidak terabaikan;
b. Tidak menyebabkan pemilik tanah mengalami kemunduran dalam kehidupan
selanjutnya baik sosial maupun ekonomi;
c. Pemilik tanah memperoleh manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung
penggunaan tanahnya yang dilepaskan haknya; dan
d. Ada kelayakan ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik tanah.
Menurut Michael G. Kitay dalam Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, doktrin
kepentingan umum di berbagai negara diekspresikan dengan dua cara,yakni (Oloan Sitorus
Dayat Limbong, 2004:8) :
a. Pedoman umum (general public purpose doctrine guide)
Di sini negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk
kepentingan umum. Istilah “public purpose” bisa saja berubah. Misalnya, “public”
menjadi social, general, common atau collective. Sementara “purpose” diganti
menjadi need, necessity, interest, fuction, utility atau use. Negara yang menggunakan
“pedoman umum” ini biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan dalam peraturan
perundang-undangan tentang bidang kegiatan apakah yang disebut sebagai
“kepentingan umum”. Pengadilanlah yang secara kausatis menentukan apakah yang
disebut “kepentingan umum”.
Di India misalnya, pada awalnya peraturan tentang pengadaan tanah tidak
secara tegas merinci bidang-bidang kegiatan yang termasuk sebagai kepentingan
umum. Namun, sesuai dengan perkembangan pembangunan, akhirnya berbagai bidang

23
kegiatan pembangunan, seperti: ladang pembibitan (seed multiplicatian farm), kanal
irigasi (contruction of kuhl irrigation channal). Pusat pendidikan dan pelatihan
(educational and vocational training center), pusat-pusat (pendidikan dasar, taman
bermain perbelanjaan), bagi pemerintah daerah (quarters for municipial servant), jalan
(raods), tapak rumah untuk orang miskin (house sites for poor people), serta untuk
rumah-rumah pegawai pemerintahan (house for government officials), ditetapkan oleh
putusan-putusan pengadilan sebagai bidang-bidang pembangunan untuk kepentingan
umum.
b. Ketentuan-ketentuan daftar (list provisions)
Daftar ini secara eksplisit mengidentifikasi kepentingan itu. Penyebutan
kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan
tujuannya (list provisions) (Lieke Lianadevi, 2010:214). Misalnya, sekolah, jalan,
pembangunan pemerintah dan semacamnya. Kepentingan yang tidak ditemukan dalam
daftar tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengadaan tanah. Namun demikian, kerapkali
kedua pendekatan diatas dikombinasikan dalam satu rencana pengadaan tanah.
Berdasarkan hal di atas, maka konstruksi hukum makna kepentingan umum dalam
pengadaan tanah di Indonesia harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Harus dijelaskan secara rinci kepentingan yang termasuk kategori kepentingan umum,
yaitu harus memenuhi persyaratan: kepentingan tersebut adalah kepentingan sebagian
besar masyarakat sebagai keseluruhan, perlindungan hak-hak individu sebagai warga
negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik, dan pelayanan
kepada publik; dan
b. Harus ada pedoman umum (general guide) makna kepentingan umum dan
diidentifikasikan dalam ketentuan-ketentuan daftar bidang kegiatan yang ternasuk
dalam kegiatan kepentingan umum serta harus ada pembatasan-pembatasan sebagai
berikut: kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta digunakan
tidak untuk mencari keuntungan. Selanjutnya kegiatan yang termasuk dalam kategori
kepentingan umum dan pembatasannya harus mendapatkan putusan pengadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum.

24
2. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Pranata hukum pengadaan tanah akan lebih utuh dipahami apabila tetap
berpegang pada konsepsi hukum tanah nasional. Konsepsi hukum tanah nasional itu
kemudian lebih dikonkretkan dalam asas-asas hukum pengadaan tanah. Menurut Boedi
Harsono paling tidak ada enam asas-asas hukum yang harus diperhatikan dalam
pengadaan tanah, yaitu (Boedi Harsono, 2005:342-343) :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus
ada landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak
bangsa;
3. Cara memperoleh tanah yang haknya dimiliki seseorang harus melalui kesepakatan
antara para pihak yang bersangkutan, menurut ketentuan yang berlaku. Tegasnya,
dalam keadaan biasa, pihak yang mempunyai tanah tidak boleh dipaksa untuk
menyerahkan tanahnya;
4. Dalam keadaan memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata
sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa (dalam hal ini Presiden Republik
Indonesia) diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan
secara paksa, tanpa persetujuan yang empunya tanah, melalui pencabutan hak;
5. Baik dalam acara perolehan tanah atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara
pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan
imbalan yang layak, berupa uang, fasilitas dan/atau tanah lain sebagai gantinya,
sedemikian rupa hingga keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi
mundur;
6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek-proyek pembangunan
berhak untuk memperoleh pengayoman dari Pejabat Pamong Praja dan Pamong Desa.

Menurut Maria S.W. Sumardjono, dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut


kepentingan dua pihak yakni instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat
yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Karena tanah sebagai kebutuhan
dasar manusia merupakan perwujudan hak ekomomi, sosial dan budaya maka pengadaan
tanah harus dilakukan melalui suatu proses yang menjamin tidak adanya “pemaksaan
kehendak” satu pihak terhadap pihak lain.
Di samping itu, mengingat bahwa masyarakat harus merelakan tanahnya untuk
suatu kegiatan pembangunan, maka harus dijamin bahwa kesejahteraan sosial
ekonomimya tidak akan menjadi lebih buruk dari keadaaan semula, paling tidak harus
setara dengan keadaan sebelum tanahnya digunakan oleh pihak lain. Oleh karena itu,

25
pengadaan tanah harus dilakukan sesuai dengan asas-asas berikut (Maria S.W.
Soemardjono, 2008:282):
1. Asas Kesepakatan, yakni bahwa seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas
tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan apabila telah terjadi
kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan;
2. Asas Kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi
pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas.
Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat
sebagai keseluruhan;
3. Asas Keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan ganti kerugian
yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan
semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik;
4. Asas Kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajiban
masing-masing;
5. Asas Keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak
berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti
kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti
(bila ada), dan hak masyarakat untuk menyampaikan keberatannya;
6. Asas Keikutsertaan/Partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan
penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan;
7. Asas Kesetaraan, asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang
memerlukan tanah dan pihak yang terkena dampak secara sejajar dalam proses
pengadaan tanah; dan
8. Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi.

Konsideran huruf c Keppres 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa pengadaan tanah


untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara seimbang dan untuk tingkat pertama
ditempuh dengan cara musyawarah secara langsung dengan para pemegang hak atas
tanah. Pengadaan tanah menurut Pasal 1 ayat (1) Keppres No.5 Tahun 1993, adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti kerugian kepada yang
berhak atas tanah tersebut. Pengadaan tanah dalam Keppres ini semata-mata hanya
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum. Prosedur yang ditempuh adalah dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah merupakan kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang

26
dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Berdasarkan hal
ini maka dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diperlukan
adanya suatu kegiatan yang intinya dilakukan melalui musyawarah dengan pemilik tanah
untuk melepaskan hubungan hukum antara ia dengan tanah yang dikuasainya.
Musyawarah didefinisikan sebagai proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap
saling menerima pendapat atau keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak
pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi (Pasal 1 ayat 5).
Musyawarah diutamakan dalam pengadaan tanah sebagai asas menurut hukum
adat Indonesia. Tanpa musyawarah berarti ada paksaan, sedangkan Pemerintah dan rakyat
Indonesia membangun bukan atas dasar paksaan, melainkan atas dasar “bersama-sama”
alias “gotong-royong” yang dilandasi kepada “musyawarah mufakat” di dalam sfeer
hukum adat (John Salindeho, 1993:95). Asas musyawarah sebagai ciri khas bangsa
Indonesia dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapinya, tampak antara lain
dalam pengaturan tata cara memperoleh tanah kepunyaan rakyat yang diperlukan bagi
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Musyawarah dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu perwujudan prinsip
penghormatan terhadap pemegang hak-hak yang sah atas tanah (Boedi Harsono,
2005:225).
Untuk dapat menghasilkan kesepakatan musyawarah harus dilandasi dengan asas
kesejajaran antara para pihak yang bermusyawarah dan dilaksanakan tanpa tekanan
berupa apa pun, baik verbal maupun nonverbal berupa suasana ataupun tindakan
penekanan dalam berbagai gradasinya, baik yang terjadi di dalam pertemuan maupun di
luar pertemuan (Maria S.W. Soemardjono, 2008:260). Hal demikian sesuai dengan
pendapat Supriadi dalam jurnal “Reformasi Hukum”, mengenai perlindungan yang
diberikan oleh hukum tanah nasional kepada pemegang hak atas tanah terkait pengadaan
tanah, antara lain (Supriadi S., 2007:25-26):
1. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, juga
untuk proyek-proyek kepentingan umum, perolehan tanah yang haknya dimiliki
seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai
penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya,
berupa pemberian harga tanahnya dalam jual beli ataupun ganti kerugian dalam hal
27
pembebasan tanah, yang merupakan hak atas tanah yang bersangkutan untuk
menerimanya;
2. Keadaaan biasa kedudukan pihak yang mempunyai tanah dan pihak yang memerlukan
tanah adalah sama, maka tidak dapat dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk
apapun, baik mengenai penyerahan tanahnya maupun mengenai imbalannya;
3. Keadaan yang memaksa, dalam hal tanah yang bersangkutan diperlukan untuk suatu
proyek kepentingan umum dan tidak berhasil diperoleh kesepakan melalui
musyawarah, dapat dilakukan pengambilan tanah yang bersangkutan secara paksa
dengan Keputusan Presiden, dalam arti tidak diperlukan persetujuan dari pihak yang
mempunyai tanah, dengan menggunakan acara pencabutan hak yang diatur dalam UU
No. 20 Tahun 1961;
4. Untuk pengambilan tanahnya dalam acara pencabutan hak, pihak yang mempunyai
tanah tidak dimungkinkan mengajukan keberatan, tetapi mengenai ganti kerugiannya
masih terbuka baginya kemungkinan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi,
sungguhpun ganti kerugian yang diajukan tersebut yang menetapkan presiden;
5. Penyerahan tanahnya, baik melalui pembebasan tanah maupun pencabutan hak,
pemegang hak atas tanah memperoleh imbalan yang bukan hanya meliputi harga tanah
yang bersangkutan; dan
6. Bentuk dan jumlah imbalan tersebut haruslah sedemikian rupa hingga bekas pemegang
hak atas tanah keadaan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.

Hakim Asikin dalam putusan kasasi perkara Kedung Ombo No: 2263
K/PDT/1991, dalam pertimbangan putusannya sangat menekankan adanya suatu asas
musyawarah dan mufakat dalam suatu pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Musyawarah dalam hal ini harus tidak ada tekanan.
Dalam pertimbangannya majelis Asikin, menyatakan tidak adanya musyawarah
dalam arti sebenar-benarnya. Dalam pertimbangan putusan tersebut, soal musyawarah ini
Hakim Asikin menjelaskan sangat rinci dan jelas yang mencapai beberapa halaman dari
putusannya. Majeli Asikin memberikan alasan yang sangat rasional soal tidak adanya
asas musyawarah dan mufakat dalam pembebasan tanah Kedung Ombo. Salah satu
pertimbangannya yang menyangkut musyawarah dan mufakat, yaitu:

pengadaan tanah dilakukan dengan memberikan ganti rugi serta musyawarah (disepakati
secara sukarela), baik mengenai ganti rugi serta musyawarah (disepakati secara sukarela),
baik mengenai ganti rugi tersebut untuk pembangunan maupun untuk Kepentingan
Umum........................pembebasan tanah dalam pembangunan proyek irigasi Kedung Ombo
mutlak dan wajib dilakukan secara sepakat dan musyawarah baik mengenai motivasi
kepentingan umum, dan tidak dapat dilakukan dengan paksaan.................... mengenai
masalah pelaksanaan pembebasan tanah/pengadaan tanah perlu diperhatikan apakah benar
telah terlaksana berdasarkan azas musyawarah dan mufakat (berita acara sidang ke 10 dan
28
11) secara keadilan kebenaran materiil. Sesuai saksi-saksi yang diajukan oleh para
Penggugat ( a charge) dan secara terperinci memberikan keterangan dibawah sumpah,
secara hukum diberikan kesimpulan bahwa belum ada perundingan mengenai proyek
irigasi Kedung Ombo, tegasnya tidak ada kata sepakat dan musyawarah.......................
Majelis Kasasi menganggap perlu untuk mengulang tegaskan hal pengertian secara hukum
mengenai kata sepakat dan mufakat seperti yang diuraikan didalam pasal 8 (2) tentang
keputusan Gubernur KDH Tingkat I yang bersifat mengukuhkan putusan panitia
pembebasan tanah yang berarti “cara memperoleh tanah diatur atas dasar kata sepakat
melalui musyawarah maka apa yang diputuskan oleh Gubernur tidak mempunyai kekuatan
untuk dipaksakan pada pihak yang mempunyai tanah”.

Berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim Asikin tersebut, S. Raharjo dalam


Adi Sulistiyono menganggap keputusan majelis Asikin merupakan suatu putusan
konstruktif yang monumental yang tidak kalah dengan putusan Hoge Raad Belanda (Adi
Yulistiyono, 2006:174).
Untuk mencapai musyawarah secara sukarela dan bebas, diperlukan beberapa
persyaratan, antara lain:
1. Ketersediaaan informasi yang jelas dan menyeluruh tentang kegiatan pengadaan tanah
tersebut (dampak dan manfaat, bentuk dan besarnya ganti kerugian, rencana
permukiman kembali bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan bantuan-
bantuan lain, dan lain-lain);
2. Suasana yang kondusif untuk melaksanakan musyawarah;
3. Keterwakilan para pihak;
4. Kemampuan para pihak untuk melakukan negosiasi; dan
5. Jaminan bahwa tidak ada tipuan, paksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.
Prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana
Perpres No 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No 65 Tahun 2006.
Adapun prosedur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, adalah sebagai berikut:
1. Tahap perencanaan (Pasal 2 dan Pasal 3)
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diawali dengan, Instansi yang
memerlukan tanah menyusun proposal rencana pembangunan paling lambat satu tahun

29
dan dapat meminta pertimbangan badan pertanahan Republik Indonesia (BPN), yang
sebelumnya memuat:
a. maksud dan tujuan pembangunan;
b. letak dan lokasi pembangunan;
c. luasan tanah yang diperlukan;
d. sumber pendanaan;
e. analisis kelayakan lingkungan perencanaan pembangunan, termasuk dampak
pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendaliannya.
Proposal rencana pembangunan ini tidak diperlukan apabila dalam hal
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dipergunakan untuk fasilitas
keselamatan umum dan penanganan bencana yang bersifat mendesak.
2. Tahap penetapan lokasi (Pasal 4 sampai Pasal 13)
Berdasarkan Proposal rencana pembangunan, maka instansi yang
membutuhkan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi untuk kepentingan
umum yang diajukan kepada Bupati/Walikota setempat. Apabila tanah yang
dibutuhkan terletak di dua atau lebih wilayah kabupaten/kota, atau di wilayah Daerah
Khusus Ibukota (DKI), maka permohonan diajukan kepada Gubernur, dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Penetapan lokasi
yang lokasinya terletak di dua provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Setelah menerima permohonan penetapan lokasi, Bupati/Walikota atau
Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang didasarkan atas
rekomendasi instansi terkait dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melakukan
pengkajian kesesuaian rencana pembangunan dari aspek :
a. tata ruang;
b. penatagunaan tanah;
c. sosial ekonomi;
d. lingkungan; serta
e. penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah.

30
Berdasarkan rekomendasi instansi terkait dan kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta menerbitkan keputusan penetapan lokasi. Keputusan penetapan lokasi
disampaikan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah yang tembusannya
disampaikan kepada Kantor Pertanahan setempat dan instansi terkait.
Keputusan penetapan lokasi yang berlaku juga sebagai izin perolehan tanah itu
diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun untuk luas tanah sampai dengan 50 ha
sampai dengan 25 ha, 2 (dua) tahun untuk luas tanah sampai dengan 50 ha dan 3 (tiga)
tahun untuk luas tanah lebih dari 50 ha. Perpanjangan lokasi wajib dipublikasikan 14
(empat belas) hari setelah diterimanya keputusan tersebut.
Pihak ketiga yang bermaksud memperoleh tanah di lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum wajib memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota/Gubernur
DKI, kecuali perolehan tanah karena pewarisan, putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau karena peraturan undang-undang.
3. Tata cara pengadaan tanah
a. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) (Pasal 14 sampai dengan Pasal 18)
Kegiatan dan tugas P2T dirinci masing-masing untuk:
1) P2T Kabupaten/Kota yang dibentuk dengan Keputusan
Bupati/Walikota/Gubernur DKI, dengan anggota paling banyak sembilan
orang.
2) P2T Provinsi, jika tanah terletak di dua kabupaten/Kota atau lebih dalam satu
provinsi yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur.
3) P2T Nasional, jika tanah terletak di dua provinsi atau lebih yang dibentuk
dengan Keputusan Mendagri.
b. Penyuluhan (Pasal 19)
P2T bersama instansi yang memerlukan tanah melaksanakan penyuluhan
untuk menjelaskan manfaat, maksud, dan tujuan pembangunan kepada
masyarakat dalam rangka memperoleh kesediaan dari pemilik tanah. Dari hasil
penyuluhan, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu:
1) Bila diterima oleh masyarakat, maka kegiatan pengadaan tanah dilanjuti.

31
2) Bila tidak diterima masyarakat, maka dilakukan penyuluhan ulang. Hasil
penyuluhan ulang membuka adanya dua kemungkinan, yaitu:
a) Tetap ditolak oleh 75 persen pemegang hak atas tanah. Jika lokasi dapat
dipindahkan, dicari alternatif lokasi lain.
b) Tetap ditolak pemegang hak atas tanah, dan lokasi tidak dapat dipindah,
maka P2T mengusulkan kepada Bupati/Walikota/Gubernur DKI untuk
menggunakan acara pencabutan hak atas tanah menurut UU No 20 Tahun
1961. Hasil penyuluhan dituangkan dalam berita acara hasil penyuluhan.
Penyuluhan menurut Pasal 19 lebih mengesankan komunikasi satu arah,
dan materinya terbatas pada penyampaian tentang manfaat, maksud, dan tujuan
pembangunan. pada tahap awal yang demikian krusial, seharusnya yang
dilakukan adalah konsultasi publik yang merupakan sarana untuk berbagi
informasi dengan masyarakat (Maria S. W. Soemardjono, 2008:295).
c. Identifikasi dan Inventarisasi (Pasal 20 sampai Pasal 24)
Jika rencana pembangunan diterima oleh masyarakat, dilakukan
identifikasi dan inventarisasi tanah yang meliputi kegiatan:
1) penunjukkan batas;
2) pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan;
3) pemetaan bidang tanah dan/atau bangunan keliling batas bidang tanah;
4) penetapan batas-batas bidang tanah dan/atau bangunan;
5) pendataan penggunaan dan pemanfaatan tanah;
6) pendataan status tanah dan/atau bangunan;
7) pendataan penguasaaan dan pemilikan tanah dan/atau bangunan dan/atau
tanaman;
8) pendataan bukti-bukti penguasaan dan pemilikan tanah dan/atau bangunan
dan/atau tanaman; dan
9) lainnya yang dianggap perlu.
Hasil pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi berkenan dengan
pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan dan pemetaan bidang tanah dan/atau
bangunan dan keliling batas bidang tanah. Hasil pelaksanaan identifikasi dan

32
inventarisasi terkait 6 (enam) aspek lainnya dituangkan dalam bentuk daftar yang
memuat berbagai keterangan berkenaan dengan subyek dan obyek. Peta bidang
tanah dan daftar tersebut diumumkan selama tujuh hari di kantor desa/kelurahan,
kantor peratanahan kabupaten/kota melalui website selama tujuh hari, dan/atau
melalui mass media dalam dua kali penerbitan.
Mengenai batas waktu ini perlu diinformasikan kepada masyarakat, untuk
mengantisipasi mereka yang mempunyai keberatan terhadapnya karena batas
waktunya relatif singkat (Maria Sumardjono, 2008:296).
Sengketa atau perkara terkait pemilikan/penguasaan yang tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah disarankan untuk diselesaikan melalui lembaga
peradilan. P2T mencatat sengketa atau perkara tersebut dalam peta bidag tanah
dan daftar yang disahkan oleh seluruh anggota.
d. Penunjukkan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah (Pasal 25 sampai Pasal 27)
Penilaian harga tanah dilakukan oleh lembaga penilai harga tanah. Jika di
kabupaten/kota belum ada lembaga penilai harga tanah, penilaian dilakukan oleh
tim penilai harga tanah yang keanggotaannya terdiri dari lima unsur yang
dibentuk Bupati/Walikota/Gubernur DKI.
e. Penilaian (Pasal 27 sampai Pasal 30)
Penilaian harga tanah oleh tim penilai harga tanah didasarkan pada NJOP
atau nilai nyata dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat
berpedoman pada enam variabel yakni lokasi, letak tanah, peruntukkan tanah,
kesesuaian penggunaan tanah dengan RTRW, sarana dan prasarana, dan faktor
lainnya.
Penilaian harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain
yang dilakukan oleh instansi terkait. Hasil penilaian diserahkan kepada P2T untuk
digunakan sebagai dasar musyawarah.
f. Musyawarah (Pasal 31 sampai Pasal 38)
Musyawarah pada asasnya dilaksanakan secara langsung dan bersama-
sama antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemilik
yang sudah terdaftar dalam Peta dan Daftar yang telah disahkan. Musyawarah

33
rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut mencapai
kesepakan apabila 75 persen dari luas tanah yang diperlukan untuk pembangunan
telah diperoleh atau jumlah pemilik telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya
ganti rugi.
Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari
kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama. Apabila jangka
waktu telah berakhir maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah
menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan dibuatkan berita acara penyerahan
ganti rugi atau berita acara penawaran penyerahan ganti rugi. Bagi yang menolak
ganti rugi dititipkan oleh instansi pemerintah di Pengadilan Negeri setempat
berdasarkan berita acara penyerahan ganti rugi.
Penitipan secara konsep Pasal 1404 KUHPerdata adalah hubungan utang
piutang yang bersifat keperdataan sedangkan hubungan pemerintah dengan
pemegang hak atas tanah bukanlah hubungan utang piutang yang bersifat
keperdataan. Jadi, penggunaan lembaga penitipan ganti kerugian pada Pengadilan
Negeri itu secara konsep adalah keliru.
g. Putusan P2T tentang bentuk dan/atau besarnya ganti rugi (Pasal 40 sampai Pasal
42)
Pemilik yang keberatan terhadap keputusan P2T dapat menganjukan
keberatan disertai alasannya kepada dalam waktu paling lama empat belas hari.
Putusan penyelesaian atas keberatan diberikan dalam waktu paling lama tiga
puluh hari.
Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri memberikan putusan dalam jangka
waktu paling lama tiga puluh hari yang mengukuhkan atau mengubah bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi. Sebelum memberikan putusan,
Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri dapat meminta pertimbangan atau pendapat
pemilik tanah yang berkeberatan, P2T dan/atau instansi pemerintah yang
memerlukan tanah. Apabila pemilik tetap berkeberatan dan lokasi pembangunan

34
tidak dapat dipindahkan, Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri mengajukan usul
pencabutan hak atas tanah menurut UU No 20 Tahun 1961.
h. Pembayaran ganti rugi (Pasal 43 sampai Pasal 47)
Pembayaran ganti rugi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
tanggal keputusan tersebut ditetapkan apabila bentuk ganti rugi berupa uang atau
yang disepakati pemilik dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah
apabila ganti rugi dalam bentuk selain uang. Dari ketentuan tersebut tidak
disebutkan sanksi apabila adanya keterlambatan pembayaran ganti rugi.
i. Pelepasan hak (Pasal 49 sampai Pasal 52)
Pada saat ganti rugi dalam bentuk uang diterima, yang berhak menerima
membuat surat pernyataan pelepasan/penyerahan hak, diikuti dengan pembuatan
berita acara pembayaran ganti rugi dan pelepasan hak atas tanah atau penyerahan
tanah oleh P2T. Penerima ganti rugi menyerahkan dokumen asli yang diperlukan.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mencatat hapusnya hak atas tanah
yang dilepaskan/diserahkan berdasarkan surat pernyataan penyerahan/pelepasan
hak dan/atau Penetapan Pengadilan Negeri.
j. Pengurusan hak atas tanah (Pasal 63 sampai Pasal 66)
P2T melaksanakan pemberkasan dokumen pengadaan tanah untuk setiap
bidang tanah yang dilampirkan pada berita acara pelaksanaan pengadaan tanah
untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berita acara
pembayaran ganti rugi dan berita acara hasil pelaksanaan musyawarah lokasi
pembangunan dan penetapan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi berlaku juga
sebagai pemberian kuasa dari pemegang hak atas tanah kepada instansi
pemerintah yang memerlukan tanah untuk melepaskan/menyerahkan hak atas
tanah atau menyerahkan tanah menjadi tanah negara.
k. Pelaksanaan pembangunan fisik dapat dimulai setelah pelepasan hak atas tanah
dan/atau bangunan dan/atau tanaman atau telah dititipkannya ganti rugi di
Pengadilan Negeri setempat (Pasal 67).

35
Ketentuan ini mengesankan pemaksaan kehendak secara sepihak yang
terpaksa ditempuh karena jadwal kegiatan pembangunan tidak dapat ditunda-
tunda. Seyogyanya upaya menitipkan ganti rugi di Pengadilan Negeri dihindari.
l. Evaluasi dan supervisi (Pasal 68 sampai Pasal 69).
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memberikan bimbingan teknis
pelaksanaan pengadaan tanah di wilayahnya dan menyampaikannya kepada
Kepala kantor wilayah BPN Provinsi setiap triwulan tahun berjalan. Kepala
kantor BPN Provinsi membuat laporan pelaksanaan pengadaan tanah kepada
Kepala BPN pusat setiap semester tahun berjalan. Kepala kantor wilayah BPN
Provinsi melakukan pembinaan, bimbingan, memberikan petunjuk teknis, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan pengadaan tanah di wilayahnya.
Berdasarkan uraian prosedur pelaksanaan pengadaan tanah yang diatur di
dalam Perka BPN No 3 Tahun 2007 tersebut masih belum optimal memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum karena dalam peraturan tersebut masih terdapat beberapa
kelemahan.

3. Konstruksi Hukum pengertian Ganti Rugi yang Layak dalam Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum yang Dihasilkan dari Asas Fungsi Sosial Hak Atas
Tanah
Dasar pemikiran pengadaan tanah untuk kepentingan umum juga berasal dari
konsep fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa “semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa semua hak
atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya tetapi penggunaan tanah tersebut harus juga memberikan
kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat dan negara. Semua hak atas tanah mempuyai
fungsi sosial, artinya penggunaannya selain ditujukan untuk kepentingan pemegangnya
harus pula tidak mengganggu kepentingan umum atau kepentingan sosial atau dengan
perkataan lain penggunaan hak tersebut oleh pemegangnya tidak boleh disalahgunakan.

36
Hal ini sesuai dengan pendapat Filsuf Prancis yakni Leon Duguit dalam Lili
Rasjidi yang menyatakan bahwa hak adalah fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan
yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kepentingan masyarakatnya. Hak milik harus
mempunyai fungsi sosial, tetapi tidak hanya hak milik saja melainkan semua hak pada
dasarnya juga berfungsi sosial. Menurut kata-kata Leon Duguit, “Perseorangan tak
mempunyai hak, tetapi tiap-tiap orang mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat,
fungsi sosial yang harus dipenuhi” (Lili Rasjidi, 1988:83-84).
Fungsi sosial hak atas tanah dapat terpenuhi dengan menggunakan tanah sesuai
rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi sosial hak milik atas tanah
dianggap berhasil menjadi “wadah” antara kedua kepentingan, yakni kepentingan
individu pemilik tanah dan kepentingan di luar individu pemilik tanah, bahkan fungsi
sosial dipandang mampu menjadi kepastian hukum (Yusriyadi, 2010:8). Kepentingan
umum harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas hukum
yang berlaku bagi terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat (Achmad
Rubaei, 2007:18). Meskipun demikian, kepentingan individu juga tidak dapat diabaikan
karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum. Apabila
kepentingan umum mendesak kepentingan individu sehingga kepentingan individu
tersebut mengalami kerugian maka dia harus diberi ganti rugi secara layak.
Fungsi sosial hak atas tanah telah mendapat kedudukan yang kuat dalam
Konstitusi Ris 1950, yakni :
1. Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena; dan
2. Pencabutan hak milik (onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda
atau hak tidak dibolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan
undang-undang.
Dalam UUD Sementara 1950, juga telah mendapatkan kedudukan yang kuat
sebagaimana telah ditegaskan, yakni :
1. Seorang pun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena;
2. Hak milik itu adalah salah satu fungsi sosial; dan

37
3. Pencabutan hak milik (onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda
atau hak tidak dibolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan
undang-undang.
Hak milik secara tegas mendapatkan perlindungan yang kuat dalam Pasal 28H
UUD 1945, dinyatakan “setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang”. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU
HAM, menyatakan: “(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan
masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh
dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”. Kedua
ketentuan ini merupakan amanat adanya larangan bagi siapapun melakukan tindakan
pencabutan/pengurangan hak atas tanah, pengambilan tanah hak milik secara sewenang-
wenang. Menurut Adrian Suteji, pengurangan atau pencabutan hak milik atas tanah hanya
dapat dilakukan bila sesuai dengan norma-norma hukum, kepatutan kewajaran,
kebutuhan yang sangat urgen atau mendesak untuk kepentingan umum disertai dengan
suatu ganti rugi yang layak, dan/atau pemindahan lokasi lain yang layak dimana tempat
tujuan pemindahan itu telah tersedia sarana/fasilitas umum dan sarana/fasilitas sosial,
seperti tersedianya tempat pendidikan bagi anak-anak sekolah, pasar, lokasi hiburan,
masjid, rumah sakit, jalan aspal, dan sarana lalu-lintas (Adrian Suteji, 2008:54).
Dengan memperhatikan sejarahnya, pelaksanaan fungsi sosial tanah dalam hukum
adat telah berlangsung lama, dimana fungsi sosial hak milik sangat kuat dan menjiwai.
Menurut Keosno, nilai fungsi sosial sebenarnya inheren pada hak milik (Adrian Suteji,
2008:50). Perkembangan konsep fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia mengikuti
sejarah hak atas tanah yang tidak terlepas dari politik hukum penguasa. Politik hukum
adalah hukum yang tertulis yang dituangkan bentuk peraturan perundang-undangan yang
berisikan rumusan kebijakan penguasa yang berkuasa pada waktu dibuatnya peraturan
bersangkutan (Lieke Lianadevi, 2010:50). Oloan Sitorus menyatakan bahwa imbalan
(ganti kerugian) yang layak merupakan implementasi prinsip penghormatan terhadap hak
atas tanah (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004:13). Maka dari politik hukum
tersebut, penulis pada pembahasan berikutnya akan menguraikan fungsi sosial hak atas

38
tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di mana dikaitkan dengan ganti
kerugian, sebagai salah satu perwujudan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam setiap pengadaan tanah hampir selalu muncul tidak puas, disamping tidak
berdaya, di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut. Proyek
tersebut adalah proyek untuk kepentingan umum, yaitu proyek yang dilakukan
pemerintah, selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, dan tidak digunakan untuk mencari
keuntungan. Masalah ganti kerugian merupakan isu sentral yang paling rumit
penanganannya dalam upaya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan
memanfaatkan tanah-tanah hak.
Dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan, disertai dengan
upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak sehingga
kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran. Karena pada hakekatnya
seseorang akan menghindari penderitaan dalam hal ini adalah kemunduran dalam
kehidupannya. Menurut teori Jeremy Bentham, “manusia akan bertindak untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan”.
Selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan
undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan
berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan
kebahagiaan yang terbesar bagi kebahagiaan besar masyarakat (the greates happines for
the greatest number) (Lili Rasjidi, 1988:51).
Di dalam hukum perdata, ganti rugi diartikan pembayaran kerugian yang diderita
oleh seseorang karena adanya perbuatan wanprestasi atau ingkar janji (Subekti, 1979:45).
Di dalam hukum perdata ada tiga macam pembayaran kerugian yang termasuk dalam
istilah ganti rugi, yaitu:
1. Biaya yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan;
2. Rugi yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang milik seseorang yang diakibatkan
oleh kelalaian pihak lain;dan
3. Bunga yaitu berupa kehilangan keuntungan yang sudah dihitung atau dibayangkan
akan diperoleh.

39
Di dalam pembebasan tanah, ganti rugi tidak berkaitan dengan adanya kerugian
yang disebabkan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dengan demikian
teori ganti rugi dalam hukum perdata tidak dapat dipergunakan dalam pelaksanaan
pembebasan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Karena di
dalam pembebasan hak atas tanah terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan umum dan
kepentingan perseorangan. Dalam hal ini Pemerintah harus menyeimbangkan dan
menserasikan dua kepentingan tersebut untuk memenuhi rasa keadilan dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum.
Ganti kerugian merupakan hak mutlak dari pemegang hak atas tanah yang telah
melepaskan atau menyerahkan tanahnya. Ganti kerugian adalah imbalan yang diterima
oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah, termasuk di atasnya
yang telah dilepaskan atau diserahkan (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004:33).
Dengan demikian, tidak ada suatu kewenangan bagi siapapun, termasuk oleh Pemerintah
(negara) untuk mengambil tanah rakyat tanpa dengan suatu ganti kerugian. Pemberian
ganti kerugian dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah merupakan wujud
konkret dari penghormatan terhadap hak atas tanah, sebagai bagian dari hak asasi
manusia di bidang ekonomi (property right) (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,
2004:31). Hal demikian sesuai dengan pendapat Maria Soemardjono bahwa keadilan
dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan penghormatan kepada
seorang yang haknya dikurangi dengan keadaan sebelum hak tersebut dikurangi atau
diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan (Maria
Soemardjono, 2009:180).
Maria S.W. Soemardjono berpendapat prinsip penghormatan ini diberikan kepada
pemegang hak atas tanah (subyek), karena konstitusi menjamin hak seseorang atas tanah
yang merupakan hak ekonominya. Harry Stephan, dkk, dalam tulisannya, berpendapat
hak ekonomi itu, seperti dalam hal para petani yang telah melepaskan hak atas tanahnya
(lahan persawahan) untuk pengadaan tanah, akan kehilangan akses sumber makanan dan
sumber mata pencahariannya. Harry Stephan, dkk, mengatakan, “acquisitions can (and
often do) result in the local population being dispossessed of their land and in their
losing access to resources that are crucial for their food security and their livelihoods”

40
(Harry Stephan, dkk., 2010:80). Jadi, diberikannya ganti kerugian dalam pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah di negara kita memang peraturan perundang-undangan di
negara Indonesia tidak mengenal perolehan tanah berdasarkan penyitaan dan lebih dari
itu bahwa setiap pengandaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan harus menghormati
hak atas tanah sebagai hak asasi manusia di bidang ekonomi (property right).
Menurut Adrian Suteji, pedoman yang harus diperhatikan dalam prinsip-prinsip
dasar ganti rugi dalam pencabutan hak, yaitu:
1. Harga pasar yang layak (fair market valeu), yakni pemanfaatan yang tertinggi dan
terbaik;
2. Doktrin fasilitas pengganti, yakni memberikan tanah pengganti apabila pemilik tanah
sukar memperoleh tanah pengganti karena harga tanah mahal. Pada prinsipnya harga
pasaran tetap menjadi ukuran, bukan fasilitas pengganti yang lebih mahal. Namun
demikian, dalam penentuan ditentukan pula bahwa pemakaian standart fasilitas
pengganti dapat dibenarkan jika penentuan harga pasar sangat sulit, atau penentuan
harga pasar tersebut akan mengakibatkan ketidakadilan terhadap pemilik atau
masyarakat; dan
3. Prinsip keadilan.
Dalam Pasal 18 UUPA yang dimaksud dengan ganti rugi yang layak akan diatur
dalam Undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor
20 Tahun 1961, yang diuraikan dalam penjelasan undang-undang tersebut angka 5,
bahwa ganti rugi yang layak itu akan didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah
atau benda yang bersangkutan. Harga yang didasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya
itu, tidak mesti sama dengan harga umum, harga umum bisa merupakan harga “catut”,
tetapi sebaliknya harga tersebut tidak berarti harga murah. Tidak hanya orang berhak atas
tanah atau yang haknya dicabut itu saja akan mendapatkan ganti kerugian tetapi orang-
orang yang menempati rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan akan
diperhatikan pula. Misalnya, mereka akan diberi ganti tempat tinggal atau tanah garapan
lainnya atau jika tidak mungkin dilaksanakan, akan diberi ganti kerugian berupa uang
atau fasilitas-fasilitas tertentu, misalnya transmigrasi.

41
Inpres Nomor 9 Tahun 1973 sebagai peraturan pelaksana undang-undang Nomor
20 Tahun 1961, dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa Panitia Penaksir dalam menetapkan
besarnya ganti rugi harus menaksir secara objektif dengan tidak merugikan kedua belah
pihak dan dengan menggunakan norma-norma serta memperhatikan harga-harga
penjualan tanah/bangunan/tanaman di sekitarnya yang terjadi dalam tahun yang sedang
berjalan. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, mengenai
besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan
para pemilik atau pemegang hak atas tanah dan atau benda tanaman yang ada di atasnya
berdasarkan harga umum setempat. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi diantara
para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran
masing-masing anggota (Pasal 6 ayat (3)). Ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau
fasilitas-fasilitas lain. Apabila pembebasan tanah meliputi areal yang luas, yang
mengakibatkan pemindahan penduduk, maka pemberian izin pembebasan tanah disertai
pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat
penampungan pemukiman baru. Kewajiban untuk menyediakan penampungan tersebut
merupakan keharusan disamping kewajiban pembayaran ganti rugi (Pasal 13 ayat (1) dan
ayat (2)).
Apabila pemilik tanah tidak bersedia menerima ganti kerugian sekalipun dianggap
tidak layak, Pasal 8 UU No 20 Tahun 1961 menentukan pemilik dapat mengajukan
banding kepada Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggi akan memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. Acara penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi, diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti
Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda di Atasnya.
Pengadaan tanah menurut Keppres No.55 Tahun 1993 adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak
atas tanah tersebut. Dari pasal ini berarti setiap kegiatan pengadaan tanah harus
memberikan ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang telah melepaskan
menyerahkan tanah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan ganti kerugian menurut
Keppres ini, yaitu penggantian atas nilai tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan

42
hak atas tanah. Ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk
ganti kerugian dalam penyerahan atau pelepasan tanah ini dapat berupa uang, tanah
pengganti, pemukinan kembali, gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian uang,
tanah pengganti, dan pemukiman kembali, dan bentuk lain yang disepakati oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Sedangkan penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai
dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bermanfaat bagi masyarakat setempat ( Pasal 14). Dasar dan cara perhitungan ganti
kerugian ditetapkan atas dasar:
1. Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan
nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang
bersangkutan;
2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung
jawab di bidang bangunan; dan
3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian.
Bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah yang dimaksud dalam
Keppres ini harus ditetapkan melalui musyawarah secara langsung antara pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Ganti
kerugian diserahkan langsung kepada pemegang hak atas tanah atau ahli warisnya yang
sah dan bagi tanah wakaf diberikan kepada nadzirnya.
Kelemahan Keppres ini terkait dengan ganti kerugian, yaitu (Achmad Rubaie, 2007:83):
1. Tidak adanya batas akhir penyelesaian perkara jika terjadi penolakan ganti kerugian
oleh para pemegang hak atas tanah;
2. Tidak memberikan tempat yang sama bagi para pemegang dalam mengambil
keputusan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi. Hal ini terlihat dari susunan
panitia pengadaan tanah (pengadaan hak bukan objek hukum, tetapi juga sekedar
dianggap objek hukum, namun subyek hukum);
3. Tidak adanya penyelesaian akhir terhadap ganti rugi akibat pemegang hak belum
ditemukan. Walaupun menurut Pasal 17 ayat (2) telah dikonsinyasikan pada
pengadilan negeri setempat; dan
4. Tidak adanya sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan penyimpangan (dalam
ganti rugi).

43
Ganti rugi menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005, adalah penggantian terhadap
kerugian baik fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan
sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Penetapan besarnya ganti rugi yang
menyebabkan si pemegang hak sah atas tanah kehilangan atau terlepas haknya dilakukan
secara musyawarah, yaitu mengenai besar dan bentuk ganti rugi serta masalah lain yang
berkaitan dengan hal tersebut atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan.
Pasal 12 menentukan bahwa ganti rugi untuk pengadaan tanah diberikan untuk :
hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Bentuk ganti rugi dapat berupa :
1. Uang; dan/atau
2. Tanah pengganti; dan/atau
3. Pemukiman kembali.
Perpres No 65 Tahun 2006 mengenai bentuk ganti kerugian terjadi perubahan, yaitu:
1. Uang; dan/atau
2. Tanah pengganti; dan/atau
3. Pemukiman kembali; dan/atau
4. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c;
5. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Mengenai bentuk ganti rugi dalam Perpres ini terdapat penambahan bentuk ganti
rugi dari ketentuan Perpres sebelumnya, yaitu “bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak
yang bersangkutan”.
Dalam Perpres No 36 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Perpres No 65
Tahun 2006, menyebutkan adanya ganti kerugian nonfisik, tetapi tidak menjelaskan lebih
lanjut secara jelas dan rinci mengenai jenis ganti rugi nonfisik. Mengenai ganti rugi majelis
hakim Asikin dalam putusan kasasi perkara Kedung Ombo telah memberikan putusan yang
menunjukkan keadilan dan prinsip penghormatan hak atas tanah, yaitu ganti rugi fisik

44
maupun nonfisik (imateriil). Dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim Asikin,
menyatakan:

...tanah yang digunakan adalah milik warga berekonomi lemah yang ditempati turun
temurun, sehingga setelah mereka rela melepaskan tanahnya seharusnya diberi ganti rugi
yang mendekati realitas agar mereka bisa memperoleh tanah pengganti. Perbuatan
pemerintah dalam kasus ini adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehingga
akibat semua ini, warga telah kehilangan kenikmatan hidup (nilai imaterial) yang
seharusnya ditambahkan pada nilai ganti rugi.... uang ganti rugi yang ditetapkan dalam
surat keputusan tersebut di atas sangat minim dan tidak manusiawi, sebab uang ganti rugi
tersebut di bawah harga umum dan tidak dapat digunakan untuk membeli barang yang
sejenis/kualitas/kwantitas yang sama.... uang ganti rugi yang diperoleh dari para
Termohon Kasasi tidak dapat/bisa untuk membeli tanah dan rumah sebagaimana yang
dimiliki semula.

Pasal 15 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi
didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian
Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia. Ketentuan dalam pasal ini
menunjukkan bahwa ada sisi positif dibanding peraturan yang sebelumnya, yaitu adanya
Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang profesional dan independen. Inilah itikad baik
yang harus diperhatikan oleh banyak pihak, ketika memahami pengadaan tanah. Sudah
saatnya dibangun sinergi antar komponen bangsa, dalam rangka pembangunan
infrastruktur. Saatnya pula menumbuhkan saling percaya semua pihak, dengan mengikis
habis pandangan sinis, curiga dan menghakimi berlebihan, pada upaya yang sedang
dilakukan.
Namun, seharusnya ganti kerugian dapat juga dipertimbangkan tidak hanya
sebatas berdasar NJOP/nilai nyata, harga bangunan, dan harga tanaman yang ditetapkan
oleh instansi pemerintah, melainkan juga harus berkaitan dengan hal lain, seperti: dampak
sosial dan keuntungan atau nilai ekonomi dari tanah yang didapat dikemudian hari.
Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan ganti kerugian pengadaan
tanah di Indonesia, selain NJOP bumi dan bangunan tahun terakhir, sekiranya adalah
(Maria S.W. Soemardjono, 2009: 81) :
1. Lokasi atau letak tanah (strategis atau kurang strategis);
2. Status penguasaan tanah (pemegang hak yang sah atau penggarap);
3. Status hak atas tanah (hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak-hak lain);
45
4. Kelengkapan sarana dan prasarana;
5. Keadaan pengguna tanahnya (terpelihara atau tidak);
6. Kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang;
7. Biaya pindah tempat atau pekerjaan; dan
8. Kerugian terhadap penurunan penghasilan si pemegang hak atas tanah.

Sedangkan hal-hal yang tidal perlu dipertimbangkan dalam menentukan ganti


kerugian, antara lain adalah (Maria S. W. Soemardjono, 2008:254) :
1. Keuntungan yang akan didapatkan karena perubahan penggunaan tanah tersebut
dikemudian hari, mengingat bahwa menurut Keppres No 55 Tahun 1993, kegiatan
pembangunan yang memanfaatkan tanah perseorangan ini tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan;
2. Urgensi pengambilan tanah oleh pemerintah;
3. Keengganan meninggalkan tempat semula karena hal ini sangat subjektif; dan/atau
4. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan setelah dikeluarkannya pengumuman tentang
pengambilan tanah oleh pemerintah, kecuali dengan maksud melakukan perbaikan
yang wajar untuk pembangunan.
Perka BPN Nomor 3 Tahun 2007 sebagai pelaksana Perpres No.36 Tahun 2005 Jo
Perpres No.65 Tahun 2006, mengenai pembayaran ganti rugi diatur dalam Pasal 43
sampai 47. Pasal 44 menyebutkan, berdasarkan keputusan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi, Panitia Pengadaan Tanah memerintahkan kepada instansi yang
memerlukan tanah untuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas
ganti rugi :
1. paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal keputusan tersebut ditetapkan apabila
bentuk ganti rugi berupa uang; atau
2. yang disepakati pemilik dengan instansi pemerintah yang memerlukan tanah apabila
ganti rugi dalam bentuk selain uang.
Ganti rugi dalam bentuk selain uang diberikan dalam bentuk (Pasal 45) :
1. tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali, sesuai yang
dikehendaki pemilik dan disepakati instansi pemerintah yang memerlukan tanah;
2. tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang sama
dengan harta benda wakaf yang dilepaskan, bagi harta benda wakaf;

46
3. recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi
kesejahteraan masyarakat setempat, untuk tanah ulayat; atau
4. sesuai keputusan pejabat yang berwenang, untuk tanah Instansi Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Dari uraian diatas, muncul beberapa kelemahan peraturan perundang-undangan
(Keppres dan Perpes) yang pernah/berlaku di Indonesia terkait ganti kerugian dalam
pengadaan tanah. Penulis sependapat dengan Maria S.W. Soemardjono, bahwa terdapat
kelemahan dalam ketentuan Perpres dan Keppres terkait pemberian ganti kerugian dalam
pengadaan tanah, yaitu:
1. Ganti rugi atas kerugian yang bersifat fisik dan nonfisik. Keppres tidak memuat ganti
kerugian yang bersifat nonfisik. Perpres tidak menjabarkan lebih lanjut bentuk ganti
kerugian nonfisik itu. Sebagai catatan, kerugian yang bersifat nonfisik meliputi
hilangnya pekerjaan, bidang usaha, sumber penghasilan, dan sumber pendapatan
yang lain yang berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang.
Alternatif ganti kerugiannya antara lain meliputi penyediaan lapangan kerja
pengganti, bantuan pelatihan, dan fasilitas kredit. Ganti kerugian nonfisik bersifat
komplementer terhadap ganti kerugian yang bersifat fisik;
2. Perpres dan Keppres tidak menjabarkan permukiman kembali sebagai alternatif
bentuk ganti kerugian. Ketentuan tentang pemukiman kembali seyogianya memuat
ketentuan: siapa yang berhak atas relokasi, syarat kelengkapan lokasi permukiman
kembali, dan hak-hak peserta relokasi;
3. Peran panitia dalam menetapkan ganti kerugian. Dalam Perpres disebutkan, bila tidak
tercapai kesepakatan, Panitia menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian dan
menitipkannya pada Pengadilan Negeri. Dalam Keppres disebutkan, bila
musyawarah tidak tercapai Panitia memutuskan bentuk dan besarnya ganti kerugian
dengan sejauh mungkin memerhatikan pendapat, keinginan, saran, dan pertimbangan
yang berlangsung dalam musyawarah. Karena Perpres tidak memuat klausula seperti
Keppres; dan
4. Penitipan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri berdasarkan dua alasan, yakni
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dipindahkan secara

47
teknis tata cara ke lokasi lain dan musyawarah telah berjalan selama 90 hari kalender
(menurut ketentuan Perka BPN No 3 Th 2007 diganti 120 hari kalender) namun tidak
tercapai kata sepakat. Keppres tidak memuat ketentuan serupa itu. Perpres ini telah
keliru menerapkan konsep penitipan ganti kerugian pada pengadilan yang
dianalogkan dengan konsep penitipan yang terkait utang-piutang dalam Pasal 1404
KUHPerdata. Pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
Pembatasan jangka waktu musyawarah mengesankan, Perpres ini mementingkan segi
formalitas atau prosedural daripada esensi musyawarah. Jika belum ada kata sepakat
tetapi ganti kerugian ditetapkan oleh panitia dan dititipkan di pengadilan, dapat
dikatakan selain keliru, hal ini merupakan pemaksaan kehendak oleh satu pihak dan
mengabaikan prinsip kesetaraan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang
memerlukan tanah.

D. Penutup .
1. Kesimpulan
Dari penelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Konstruksi hukum pengertian kepentingan umum dalam pengadaan tanah yang
dihasilkan dari peraturan perundang-undangan tercermin pada kejelasan makna
kepentingan umum. Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia sekarang ini, makna kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan
sebagian besar masyarakat, dengan pembatasan pembangunan yang dilakukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Makna kepentingan umum dalam peraturan
perundang-undangan ini belum mewujudkan prinsip penghormatan hak atas tanah
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Konstruksi hukum pengertian kepentingan umum dalam peraturan perundang-
undangan dapat mewujudkan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1) Dijelaskan secara rinci kepentingan yang termasuk kategori kepentingan umum,
yaitu harus memenuhi persyaratan: kepentingan tersebut adalah kepentingan

48
sebagian besar masyarakat sebagai keseluruhan, perlindungan hak-hak individu
sebagai warga negara, menyangkut pengadaan dan pemeliharaan sarana publik,
serta pelayanan kepada publik; dan
2) Terdapat pedoman umum (general guide) makna kepentingan umum dan
diidentifikasikan dalam ketentuan-ketentuan daftar bidang kegiatan yang ternasuk
dalam kegiatan kepentingan umum serta harus ada pembatasan-pembatasan
sebagai berikut: kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah
serta digunakan tidak untuk mencari keuntungan. Selanjutnya kegiatan yang
termasuk dalam kategori kepentingan umum dan pembatasannya harus
mendapatkan putusan pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum.
b. Bahwa dalam tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
saat ini belum sepenuhnya dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah. Hal ini disebabkan masih adanya beberapa kelemahan yang timbul
dari peraturan perundang-undangan tersebut yang masih mengabaikan beberapa asas
yang dapat mewujudkan prinsip penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Salah satu kelemahan tersebut adalah belum
terwujudnya asas musyawarah dan mufakat yang optimal dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
c. Konstruksi hukum pengertian ganti rugi yang layak dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang dihasilkan dari asas fungsi sosial hak atas tanah dapat
terwujud dengan memberikan ganti rugi yang dapat menjamin bahwa pemegang hak
atas tanah tidak akan mengalami kemunduran dalam hal kehidupan sosial dan
ekonominya setelah melepaskan hak atas tanahnya.
Pelaksanaan dan penentuan ganti kerugian harus ditetapkan berdasarkan
musyawarah untuk mencapai kesepakatan secara langsung antara pemegang hak atas
tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah, yang setara atau seimbang posisinya.
Pemberian ganti kerugian harus diberikan baik untuk kerugian fisik (materiil)
maupun nonfisik (imateriil) yang mampu menjamin dan/atau meningkatkan
kesejahteraan subyek hukum yang telah melepaskan hak atas tanahnya tersebut.

49
Jadi konstruksi hukum prinsip penghormatan hak atas tanah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud melalui:
1) Kejelasan dan pembatasan konsep kepentingan umum;
2) Musyawarah dalam tahap-tahap maupun pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum; dan
3) Pemberian ganti kerugian yang layak, baik ganti kerugian fisik (materiil) maupun
nonfisik (imamateriil) yang mampu menjamin dan/atau meningkatkan
kesejahteraan subyek hukum yang telah melepaskan hak atas tanahnya tersebut.

2. Rekomendasi
Dengan adanya uraian di atas makakami meekomendasikan sebagai berikut:
a. Untuk menghindari penafsiran kepentingan umum secara luas yang dapat menimbulkan
permasalahan dalam implementasinya maka penafsiran kepentingan umum kedepannya
perlu dibatasi dengan kriteria-kriteria seperti yang telah disampaikan penulis dalam
pembahasan serta penafsiran dan pembatasan makna kepentingan umum dalam
pengadaan tanah tersebut perlu dimintakan putusan pengadilan.
b. Mengingat selama ini pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan sesuatu
yang urgen yang menyinggung kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka
dari itu Pemerintah Indonesia perlu mencabut Perpres No 36 Tahun 2005 sebagaimana
telah diubah dengan Perpres No 65 Tahun 2006 dan segera menggantinya dengan
mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, serta yang mengatur mengenai ganti kerugian
yang layak baik fisik maupun nonfisik yang mampu memberikan keadilan bagi pihak
yang telah melepaskan hak atas tanahnya.

50
DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Adrian Sutedi. 2007. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang :
Bayumedia Publishing.

Ari Purwadi. “Implikasi Pencabutan Hak Atas Tanah terhadap Perlindungan Hak Asasi
Manusia” Dimuat dalam Jurnal Legality.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/295

Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.
Yogyakarta: Genta Publising.

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.

Citorejo Waciman dan Kawan-Kawan v. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah,
Menteri Pekerjaan Umum, Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 2263 K/Pdt/1991
tanggal 20 Juli 1991 (Perkara Kedungombo).

Imam Koeswahyono. “Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk


KepentinganPembangunan Bagi Umum”, dimuat dalam Artikel Jurnal Konstitusi. Vol.1
Halm 5. Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI.

Hadjon, Philipus M.. 1988. “Hak-Hak dan Kewajiban Dasar” Yuridika. No. 5 Th. III November
1988 Halm 251-266.

Harry Stephan, dkk. 2010. “Land Acquisitions in Africa: A Return to Franz Fanon?”. Tawarikh:
International Journal for Historical Studies. 2(1) 2010. http://www.tawarikh-
journal.com/files/File/Harry.pdf

John Salindeho. 1993. Masalah Tanah dalam Pembangunan. Jakarta : Sinar Grafika.

John Rawls. 2006. Teori Keadilan (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maria S.W. Sumardjono. “Perpres No 36/2005, Langkah Maju atau Mundur?” Kompas, 11 Mei
2005.

. . 2008. Tanah dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta:


PT.Kompas Media Nusantara.
51
. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implentasi (Edisi Revisi +).
Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.

Marmin M. Roosadijo. 1979. Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang
Ada di Atasnya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan.
Yogyakarta : Media Abadi.

Kartini Muljadi,dkk. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

Lili Rasjidi. 1988. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?. Bandung: Remaja Karya.

Louis Kaplow and Steven Shavell. 1999. “Economy Analysis of Law”.


www.law-economis.cn/book/pdf

Oloan sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim. 1982. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran
Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Adtya Bakti.

Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta: Karunia-Universitas


Terbuka.

Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermedia.

Sunarjati Hartono. 1978. Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah. Bandung:
Alumni.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Supriadi S,. 2005. “Pembaharuan Pengaturan Pertanahan Nasioanal sebagai Wujud Gerakan
Sosial”., Jurnal Reformasi Hukum. Vol.VII No. 1. Jakarta: Jurnal Mimbar Universitas
Islam Jakarta.

Tukgalii, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum. Jakarta: Kertas Putih Communication.

Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah. Yogyakarta:
Genta Publishing.

52
Urip Santosa. 2010. Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana.

Undang-Undang Dasar Republik Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksananya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-
Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Diatasnya.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

53
54

Anda mungkin juga menyukai