diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan. Oleh karena itu sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria nasonal, dan menghidari terjadinya kekosongan hukum, maka
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka tentu segala badan negara dan
peraturan-peraturan hukum termasuk hukum agraria sebelum Indonesia merdeka masih tetap
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diadakan yang baru berdasarkan
Undang-undang Dasar ini.
Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan hukum kolonial yang masih dinyatakan masih
berlaku, maka perlu dilakukan penyesuaian dengan Pancasila dan tujuan sebagai yang
ditegaskan di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, Negara Republik Indonesia telah
meletakkan dasar politik agraria nasional, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945, yang berbunyi, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Ketentuan ini bersifat imperatif, karena mengandung perintah kepada negara agar bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, tujuan dari penguasaan
oleh negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakya adalah lembaga konversi yang
berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta, dulu disebut "Vorstenlonden" (R.M.
Sudikno Mertokusumo, 1988: 3.5). Di daerah-daerah tersebut, semua tanah dianggap sebagai
milik raja. Rakyat hanya sekedar memakainya saja (anggaduh). Mereka diwajibkan untuk
menyerahkan sebagian, seperdua atau sepertiga, dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah
yang dikuasainya itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, dan atau jika tanahnya
pekarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau setia pada
raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan hak
raja atau hasil tanah tersebut di atas. Mereka pun berhak menuntut stelsel; ini "stelsel
apanage" (R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988: 3.5), (Boedi Harsono, 1999: 91).
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau oleh pemegang apanage diserahkan kepada
pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian, berikut hak untuk memungut sebagian
dari hasil tanaman rakyat yang mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Stb. 1918 Nomor
20, para pengusaha asing tersebut memperoleh hak atas tanah dari Raja yang disebut dengan
dengan hak Konversi (beschikking konversi). Keputusan Raja (beschikking Raja), pada
hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan mengusahan tanah
tertentu (Boedi Harsono, 1999: 91).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb. 1918 Nomor 20,
dan ditambah dengan Undang undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan
bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypoteek yang membebaninya
menjadi hapus.
Perjanjian bagi hasil adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah karena
suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, tetapi ingin mendapatkan hasil atas
tanahnya (Muchsin, dkk, 2007: 33). Sedangkan Urip Santoso (2013: 38) menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk penjanjian antara pemilik
tanah pertanian dengan pihak lain sebagai penggarap, yang dalam hal ini penggarap
diperkenankan mengusahakan tanah itu dengan pembagian hasilnya menurut imbangan yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil merupakan suatu
perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah pertanian dengan penggarap. Penggarap
diperkenankan untuk melakukan pengusahaan atas tanah karena suatu sebab si pemilik tanah
tidak dapat mengerjakan tanah miliknya, dengan pembagian hasil menurut kesepakatan yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagi hasil semula diatur menurut hukum adat setempat. Menurut hukum
adat, imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak.
Pembagian imbangan tersebut pada umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap,
karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani yang
memerlukan tanah garapan. Mengingat bahwa golongan penggarap bagi hasil itu biasanya
golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, maka, dalam rangka melindungi mereka,
dikeluarkanlah Undang undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Undang-
undang ini mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara
tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap
perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
8. Peralihan Tugas Wewenang Agraria
Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1955 urusan Agraria tetap berada di
lingkungan Departemen Dalam Negeri. Ber dasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1955, dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri terpisah dari Kementerian Dalam
Negeri. Dengan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan
Pendaftaran Tanah (semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman) dialihkan
dalam lingkungan tugas Kementerian Agraria.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan
wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri (Pamong Prajo) kepada Menteri Agraria, serta
pejabat pejabat agraria di daerah. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, maka lambat
laun terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karesidenan, dan kabupatan/kotamadya.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyusun Hukum Agraria
Nasional diarahkan kepada tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945.