Anda di halaman 1dari 6

Usaha-usaha yang Dilakukan dalam Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya pada tanggal 17


Agustus 1945, maka terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu bangsa
yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara yuridis formal,
proklamasi kemerdekaan merupakan momentum untuk tidak memberlakukan hukum kolonial
dan momentum untuk mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis proklamsi
kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa terbebas dari penjajahan bangsa asing dan
memiliki kedaulatan untuk menentukan nasib sendiri. Proklamasi kemerdekaan Menurut Urip
Santoso (2013: 31) mempunyai dua arti penting bagi penyusunan hukum agraria nasional yaitu:
1) Bangsa Indonesia melakukan pemutusan hubungan dengan hukum agraria kolonial, dan;
2) Bangsa Indonesia sekaligus menyusun hukum agraria nasional.

diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan. Oleh karena itu sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria nasonal, dan menghidari terjadinya kekosongan hukum, maka
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka tentu segala badan negara dan
peraturan-peraturan hukum termasuk hukum agraria sebelum Indonesia merdeka masih tetap
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diadakan yang baru berdasarkan
Undang-undang Dasar ini.

Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan hukum kolonial yang masih dinyatakan masih
berlaku, maka perlu dilakukan penyesuaian dengan Pancasila dan tujuan sebagai yang
ditegaskan di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, Negara Republik Indonesia telah
meletakkan dasar politik agraria nasional, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945, yang berbunyi, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Ketentuan ini bersifat imperatif, karena mengandung perintah kepada negara agar bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, tujuan dari penguasaan
oleh negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum


Agraria Kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah proklamasi kemerdekaan, adalah
menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru, penghapusan hak hak konversi, penghapusan
tanah partikelir, perubahan peraturan persewaan tanah rakyat, peraturan tambahan untuk
mengawasi pemindahan hak atas tanah, peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah
perkebunan, peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian), dan peralihan tugas wewenang
agraria.
1. Menggunakan Kebijaksanaan dan Tafsir Baru
Pelaksanaan Hukum Agraria Kolonial yang dinasionalisasikan harus didasarkan atas
kebijaksanaan dengan memakai tafsir yang baru yang sesuai denganya Pancasila dan Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945. Tafsir baru misalnya mengenai hubungan antara negara dengan tanah
lagi menerapkan konsep Domein Verkloring yaitu negara tidak sebagai pemilik tanah, akan
tetapi negara hanya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang hanya
mempunyai hak menguasasi atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal Ayat 3 UUD
1945, yang kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UUPA.

2. Penghapusan Hak-hak Konversi

Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakya adalah lembaga konversi yang
berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta, dulu disebut "Vorstenlonden" (R.M.
Sudikno Mertokusumo, 1988: 3.5). Di daerah-daerah tersebut, semua tanah dianggap sebagai
milik raja. Rakyat hanya sekedar memakainya saja (anggaduh). Mereka diwajibkan untuk
menyerahkan sebagian, seperdua atau sepertiga, dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah
yang dikuasainya itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, dan atau jika tanahnya
pekarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau setia pada
raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan hak
raja atau hasil tanah tersebut di atas. Mereka pun berhak menuntut stelsel; ini "stelsel
apanage" (R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988: 3.5), (Boedi Harsono, 1999: 91).

Tanah-tanah tersebut oleh raja atau oleh pemegang apanage diserahkan kepada
pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian, berikut hak untuk memungut sebagian
dari hasil tanaman rakyat yang mengusahakan tanah tertentu. Berdasarkan Stb. 1918 Nomor
20, para pengusaha asing tersebut memperoleh hak atas tanah dari Raja yang disebut dengan
dengan hak Konversi (beschikking konversi). Keputusan Raja (beschikking Raja), pada
hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan mengusahan tanah
tertentu (Boedi Harsono, 1999: 91).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb. 1918 Nomor 20,
dan ditambah dengan Undang undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan
bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypoteek yang membebaninya
menjadi hapus.

2. Penghapusan Tanah Partikelir


Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda terdapat kebijakan pertanahan berupa tanah
partikelir. Tanah Pertikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak
istimewa. Yang mem bedakan dengan tanah-tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-
hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau
hak pertuanan, hak pertuanan itu, misalnya:
1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-
kepala kampung/desa;
2) Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
3) Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
4) Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
5) Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
6) Hak untuk mengharuskan penduduk setiap tiga hari sekali memotong rumput bagi
keperluan tuan tanah, serta sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-
gudangnya dan lain sebagainya (R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988: 3.9).
Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir tersebut merupakan
negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang sedemikian
besar tersebut banyak yang menyalahgunakan haknya sehingga banyak menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat yang berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Republik Indonesia melakukan pembelian tanah-
tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan dikarenakan tidak tersedianya dana yang
cukup bagi negara karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut harga yang terlalu
tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 Penghapusan Tanah-tanah Partikelir,
hak-hak pemilik partikelir atas tanahnya beserta hak-hak dan tanah bekas tanah partikelir itu
secara hukum seluruhnya serentak menjadi tanah negara. Pada hakekatnya Undang Nomor 1
Tahun 1958 adalah merupakan suatu dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan Menurut
undang-undang ini, semua tanah partikelir dihapus secara serentak pada saat mulai
berlakunya undang-undang tersebut. Suatu tanah partikelir harus dihapus jika pembayaran
kerugiannya telah diselesaikan.

4. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat


Peraturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusak perkebunan besar
khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 51 (8) IS untuk Jawa dan Madura diatur di dalam dua perature yaitu Grondhuur
Ordonnantie Stb. 1918 Nomor 88 untuk daerah pemerintahan langsung dan Vorstenlands
Grondhuurreglement 1918 Nomor 20 untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daera
Swapraja). Menurut ketentuan ini, persewaan tanah dimungkink berjangka waktu paling lama
21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah dengan ditambahkan
Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951.
Undang-undang Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun
1952. Dengan ditambahkan pasal-pasal tadi, maka persewaan tanah rakyat untuk tanaman
tebu dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama
satu tahun atau satu tahun tanaman. Adapun jumlah sewanya ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena
besar dan jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan
waktunya hanya untuk satu tahun tanaman.

5. Peraturan Tambahan untuk Mengawasi Pemindahan Hak Atas Tanah


Pada tahun 1952, dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang
Pemindahan Hak Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap lainnya yang tunduk pada Hukum
Eropa. Undang-undang Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 25
Tahun 1954.
Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa sambil menunggu
peraturan yang lebih lanjut untuk sementara setiap serah pakai untuk lebih dari satu tahun dan
perbuatan perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai tanah-tanah dan barang-
barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat
ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 1957 ijinya dari
Menteri Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri tersebut dengan sendirinya batal
menurut hukum, artinya tanah/rumahnya kembali kepada penjual, uangnya kembali kepada
pembeli, yaitu jika perbuatannya berbentuk jual beli. Peraturan mengenai per izinan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-
tanah Eropa, termasuk rumah dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-
orang dan badan-badan hukum asing. Ketentuan ini dilengkapi dengan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Per
kebunan, yang berlaku khusus untuk tanah-tanah perkebunan erfpacht, eigendom, dan lain-
lain hak kebendaan. Dikeluarkan juga Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang
Pengawasan terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Perkebunan Konsesi, yang
kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan tersebut di atas, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak
dan setiap serah pakai untuk lebih dari satu tahun mengenai tanah-tanah erfpacht, eigendom,
dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah perkebunan, demikian juga tanah-tanah konsesi
untuk perkebunan dari bangsa Belanda dan bangsa asing lainnya serta badan-badan hukum
hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang undang Nomor
76 Tahun 1957 dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud peraturan tersebut di atas, adalah untuk mengadakan pengawasan serta
adanya jaminan kepastian hukum bahwa penerima haknya mampu untuk mengusahakan
perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik dan tidak akan dijadikan sebagai
objek spekulasi belaka.

6. Peraturan dan Tindakan Mengenai Tanah-tanah Perkebunan

Pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang


Peraturan dan Tindakan Mengenai Tanah tanah Perkebunan. Berdasarkan undang-undang ini,
menteri agraria dan menteri pertanian diberikan wewenang untuk mengadakan tindakan-
tindakan agar tanah-tanah perkebunan, yang mempunyai fungsi sangat penting dalam
perekonomian negara, diusahakan dengan baik. Di dalam undang-undang ini, diatur juga
bahwa para pemegang hak erfpacht, eigendom, dan hak kebendaan lainnya yang sudah
mengusahakan kembali per usahaan kebunnya, wajib melakukan segala sesuatu yang perlu
untuk memulai atau meneruskan penguasaan perusahaan kebunnya itu secara layak, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh menteri pertanian.
Jika pemegang hak itu belum memenuhi kewajibannya, maka atas pertimbangan menteri
pertanian, hak erfpacht atas tanah perkebunan yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh
Menteri Agraria. Hak erfpacht dapat juga dibatalkan, jika menurut pertimbangan Menteri
Pertanian dan Menteri Agraria sikap perbuatan pemegang hak selama waktu yang telah
ditentukan tidak berniat untuk mengusahakan perusahaan perkebunannya sebagaimana
mestinya.
Tanah-tanah perusahaan perkebunan yang hak erfpacht-nya dibatalkan itu menjadi tanah
negara, dan bebas dari semua hak hak pihak ketiga yang membebaninya. Selain itu juga
tanaman dan bangunan yang ada di atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri
Pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai
oleh negara dengan pemberian ganti kerugiaan.
7. Peraturan Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian)

Perjanjian bagi hasil adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah karena
suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, tetapi ingin mendapatkan hasil atas
tanahnya (Muchsin, dkk, 2007: 33). Sedangkan Urip Santoso (2013: 38) menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk penjanjian antara pemilik
tanah pertanian dengan pihak lain sebagai penggarap, yang dalam hal ini penggarap
diperkenankan mengusahakan tanah itu dengan pembagian hasilnya menurut imbangan yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil merupakan suatu
perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah pertanian dengan penggarap. Penggarap
diperkenankan untuk melakukan pengusahaan atas tanah karena suatu sebab si pemilik tanah
tidak dapat mengerjakan tanah miliknya, dengan pembagian hasil menurut kesepakatan yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Perjanjian bagi hasil semula diatur menurut hukum adat setempat. Menurut hukum
adat, imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak.
Pembagian imbangan tersebut pada umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap,
karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani yang
memerlukan tanah garapan. Mengingat bahwa golongan penggarap bagi hasil itu biasanya
golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, maka, dalam rangka melindungi mereka,
dikeluarkanlah Undang undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Undang-
undang ini mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara
tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap
perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
8. Peralihan Tugas Wewenang Agraria
Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1955 urusan Agraria tetap berada di
lingkungan Departemen Dalam Negeri. Ber dasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1955, dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri terpisah dari Kementerian Dalam
Negeri. Dengan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan
Pendaftaran Tanah (semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman) dialihkan
dalam lingkungan tugas Kementerian Agraria.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan
wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri (Pamong Prajo) kepada Menteri Agraria, serta
pejabat pejabat agraria di daerah. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, maka lambat
laun terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karesidenan, dan kabupatan/kotamadya.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyusun Hukum Agraria
Nasional diarahkan kepada tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai