Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian hak guna bangunan

Dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 diatur mengenai pengertian hak guna bangunan. Pasal 35 ayat (1) UUPA
menentukan bahwa:

“Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun.”

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemeritah Nomor 40 tahun 1996, pengertian


hak guna banguan yaitu:

“Hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai adalah hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.”

Dalam hal ini, pemilik bangunan berbeda dari penguasa atas tanah dimana bangunan
tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang hak guna bangunan adalah berbeda
dari pemegang hak milik atas sebidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan; atau
dalam konotasi yang lebih umum, pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang
hak milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan.[1]

Dari penjelasan III/3 dalam UUPA maka hak yang dipunyai oleh pemegang hak sangat
terbatas oleh karena didirikan di atas tanah yang bukan haknya, jadi hanya terjadi
sepanjang waktu tertentu. Tidak seperti halnya dengan hak milik yang haknya adalah
terpenuh di antara hak-hak atas tanah.[2] Setelah jangka waktunya berakhir hak guna
bangunan dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang
hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunan. Hal tersebut
ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa:

“Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu
paling lama 20 tahun.”

2. Subjek hak guna bangunan

Pada prinsipnya yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah warga Negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, serta
berkedudukan di Indonesia pula.[3] Hal tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 36
ayat (1) UUPA jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang
menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah:

1)    warga negara Indonesia


2)   badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa yang dapat menjadi subjek hak guna bangunan
adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dalam hal badan hukum asing ingin memiliki
hak guna bagunan maka dua unsur, yakni didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, harus ada. Jadi hanya Warga Negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hak guna bangunan ini, dan di sini terlihat bahwa prinsip nasionalitas
tetap dipertahankan, sehingga orang yang bukan warga negara Indonesia hanya dapat
mempunyai hak seperti yang ditentukan pada huruf b pasal di atas yaitu badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.[4]

Apabila orang atau badan hukum pemegang hak guna bangunan tidak  memenuhi
syarat sebagai pemegang hak guna bangunan, maka orang atau badan hukum tersebut
dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak guna
bangunan yang dikuasainya kepada orang atau badan hukum yang memenuhi
persyaratan sebagai pemegang hak guna bangunan. Jika hak guna bangunan yang
dikuasainya tidak dilepaskan atau dialihkan maka hak guna bagunan tersebut akan
hapus secara hukum. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA,
yang menentukan bahwa:

“Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna
bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak
itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Pengaturan lebih lanjut mengenai hal di atas diatur dalam Pasal 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menentukan bahwa:

“(1)  Pemegang hak guna bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

(2)     Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak
dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum”

3. Pendaftaran hak guna bangunan


Hak guna bangunan merupakan salah satu objek dari pendaftaran tanah sehingga
pemberian, peralihan, pembebanan dan hapusnya hak guna bangunan harus
didaftarkan. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) UUPA jis Pasal 23 ayat (1),
Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
Pasal 38 ayat (1) UUPA menentukan bahwa:

“Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap


peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam pasal 19”

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menentukan bahwa pemberian hak guna
bangunan yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1), perpanjangan atau pembaharuan hak
guna bangunan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) serta peralihan hak guna
bangunan yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) wajib dicatat dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian, peralihan dan hapusnya hak guna
bangunan bertujuan agar terwujudnya tujuan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal
19 ayat (1) UUPA dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu
memberikan kepastian hukum.

4. Terjadinya hak guna bangunan

Terjadinya hak guna bangunan diatur dalam Pasal 37 UUPA jo Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Berdasarkan Pasal 37 UUPA ditentukan terjadinya
hak guna bangunan. Ditentukan bahwa:

“Hak guna bangunan terjadi:

1. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan


Pemerintah;

2. mengenai tanah hak milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak
guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.”

Berdasarkan Pasal 37 UUPA hak guna bangunan terjadi karena:

1)   penetapan pemerintah apabila tanah yang dikuasai adalah tanah Negara

2)   perjanjian otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak guna bangunan itu apabila mengenai tanah milik.

Kemudian dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ditentukan


bahwa terjadinya hak guna bangunan di atas tanah Negara dan di atas tanah hak
pengelolaan. Pasal tersebut menentukan bahwa:
(1) Hak guna bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan diberikan  keputusan pemberian
hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak
pengelolaan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian hak guna
bangunan atas tanah Negara dan atas tanah hak pengelolaan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden

Mengenai terjadinya hak guna bangunan di atas tanah hak milik diatur juga dalam
Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menentukan
bahwa:

“Hak guna bangunan atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang
hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah”

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa tanah yang dikuasai oleh Negara dapat diberikan
kepada pemegang hak atas tanah atau suatu badan hukum dengan adanya
permohonan yang diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan oleh pemegang haknya. Hak
guna bangunan terjadi kerena penetapan pemerintah/Negara jika tanah tersebut
dikuasai oleh Negara dan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan jika hak guna bangunan
tersebut di atas tanah hak pengelolaan.  Hal ini sesuai dengan maksud pelimpahan
wewenang melalui pemberian hak pengelolaan maka pemberian hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan dilakukan oleh Menteri kepada calon pemegang hak yang
ditunjuk oleh pemegang hak guna bangunan. Bagi tanah yang dikuasai perseorangan
maka hak guna bangunan terjadi karena perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak
yang mengajukan hak guna bangunan tersebut yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.

5. Peralihan hak guna bangunan

Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sesuai dengan
syarat atau perjanjian yang jelas dan benar menurut hukum.[5] Hal tersebut diatur
dalam Pasal 35 ayat (3) UUPA yang menentukan bahwa hak guna bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kata beralih dan dialihkan memiliki arti bahwa
berpindahnya hak guna bangunan dari subjek hak guna bagunan kepada subjek hak
guna bangunan lain mengakibatkan hapus atau tidaknya hak guna bangunan tersebut
karena adanya peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Hal tersebut seperti yang telah
ditentukan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa:
“Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna
bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak
itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa orang atau badan hukum yang tidak memenuhi
syarat sebagai subjek hak guna bangunan wajib melepaskan atau mengalihkan hak
guna bangunan yang dikuasainya kepada pihak lain dalam jangka waktu satu tahun
dan ketentuan ini berlaku pula bagi pihak yang menerima hak guna bangunan. Jika hal
tersebut tidak dilakukan maka hak guna bangunan tersebut akan hapus karena hukum.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.

Peralihan hak guna bangunan wajib didaftarkan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38
ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa:

“Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap


peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19”

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa setiap pemberian, peralihan dan hapusnya hak
guna bangunan wajib didaftarkan menurut Pasal 19.

Peralihan hak guna bangunan diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan. Hal tersebut
ditentukan dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang
menentukan bahwa hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Peralihan hak guna bangunan dapat terjadi karena beberapa hal. Hal ini diatur dalam
Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menentukan
bahwa:

“Peralihan hak guna bangunan terjadi karena:

1. Jual-beli;

2. Tukar-menukar;

3. Penyertaan modal;

4. Hibah;
5. Pewarisan.”

Kemudian apabila terjadi peralihan hak guna bangunan maka peralihan tersebut wajib
didaftarkan di Kantor Pertanahan agar peralihan tersebut sah. Mengenai hal tersebut
secara tegas diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 yang menentukan bahwa peralihan hak guna bangunan sebagimana yang diatur
dalam ayat (1) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Mengenai peralihan hak guna bangunan dengan jual beli, kecuali melalui lelang, tukar
menukar, penyertaan dalam modal dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 34 ayat
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Jika jual beli tersebut dilakukan
dengan lelang maka dibuktikan dengan berita cara lelang seperti yang telah ditentukan
dalam Pasal 34 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Dalam hal
peralihan hak guna bangunan karena pewarisan maka peralihan tersebut harus
dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi
yang berwenang seperti yang telah diatur dalam Pasal 35 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Mengenai hak guna bangunan di atas tanah hak
pengelolaan dan tanah hak milik maka peralihannya diatur dalam Pasal 34 ayat (7) dan
ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Peralihan hak guna bangunan di
atas tanah hak pengelolaan diatur dalam Pasal 34 ayat (7) menentukan bahwa
peralihan hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Peralihan hak guna bangunan di atas tanah
hak pengolaan di Kota Batam harus memiliki izin peralihan (IP) dari Otorita
Pengembangan daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) selaku pemegang hak
pengelolaan di Kota Batam. Peralihan hak guna bangunan di atas tanah hak milik diatur
dalam Pasal 34 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan
bahwa peralihan hak guna bangunan atas tanah hak milik harus dengan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

6. Pembebanan hak guna bangunan

Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan/agunan dalam hal pengajuan permohonan
kredit di bank dengan dibebani hak tanggungan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 39
UUPA yang menentukan bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengenai pembebanan hak guna
bangunan diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang
menentukan bahwa:

“(1) Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
(2) Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya
hak guna bangunan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan serta hak tanggungan tersebut akan hapus
dengan hapusnya hak guna bangunan yang dibebani hak tanggungan tersebut. Hak
guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan dapat dibebani dengan hak tanggungan
akan tetapi pembebanan hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan dengan
hak tanggungan harus dengan izin persetujuan pemegang hak pengelolaan
berdasarkan Surat Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 17-09-
1998 Nomor 630.1-3433 yang menentukan bahwa: [6]

a. Sesuai dengan ketentuan dalam UUPA maupun undang-undang hak tanggungan


(Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan dapat dibebani dengan hak tanggungan;

1. Dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah ditentukan bahwa
pengalihan hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan memerlukan
persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Sehubungan dengan itu
mengingat kemungkinan diaihkannya hak guna bangunan tersebut dalam rangka
eksekusi hak tanggungan maka pembebanan hak tanggungan atas hak guna
bangunan itu juga memerlukan persetujuan tertulis dari pemegang hak
pengelolaan yang akan berlaku sebagai persetujuan untuk pengalihannya
apabila kemudian diperlukan dalam rangka eksekusi hak tanggungan.

Selain itu, pembebanan hak guna bangunan dengan hak tanggungan juga diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 yang menentukan bahwa:

Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah:

a. Hak milik;

b. Hak guna usaha;

c. Hak guna bangunan.

Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa hak guna bangunan merupakan salah satu hak
atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan selain hak milik dan hak guna usaha.

Dalam hal hak guna bangunan akan dibebani dengan hak tanggungan maka pemberian
hak tanggungan tersebut didahului dengan perjanjian untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang yang perjanjiannya merupakan satu
kesatuan dengan perjanjian utang-piutang tersebut serta pemberian hak hak
tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT. Hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menentukan bahwa:

“(1) Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

(2) Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

7. Hapusnya hak guna bangunan

Pasal 40 UUPA jo Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
mengatur mengenai hapusnya hak guna bangunan. Hak guna bangunan hapus karena:

1)   Jangka waktu berakhir;

2)  Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau


pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

(a)      Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya


ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, sampai Pasal 32
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996; atau

(b)      Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam


perjanjian pemberian hak guna bangunan antara pemegang hak guna bangunan dan
pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan; atau

(c)      Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemengan haknya sebelum jangka        waktu


berakhir;

4)   Dicabut untuk kepentingan umum;

5)   Ditelantarkan;

6)   Tanahnya musnah;

7)  Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA dan Pasal 20 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa orang atau badan hukum yang
mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan hak guna bangunan
tersebut;

8)    Dicabut berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan


Hak-Hak Atas Tanah dan Berserta Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Dengan hapusnya hak guna bangunan maka tanah tersebut akan menjadi tanah
Negara, jika hak guna bangunan tersebut diberikan di atas tanah Negara. Jika yang
memberikan hak guna bangunan tersebut adalah pemegang hak milik maka kembali
kepada penguasaan penuh dari pemegang hak milik atas tanah tersebut atau dengan
kata lain hak miliknya menjadi penuh kembali.

Anda mungkin juga menyukai