Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam ruang lingkup hukum agraria, diketahui bahwa tanah merupakan bagian
dari bumi, tak terlepas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) yakni “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah,(dicetak miring tebal oleh penulis) yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan-badan hukum”. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak.1

Telah disebutkan bahwa hak atas permukaan bumi sebagaimana bersumber dari
hak menguasai dari negara disebut juga hak atas tanah, maka dapat diketahui bahwa hak
atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk
menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.2

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka


didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir


seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka,

1
Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprenhensif, Kencana Prenadamedia, Jakarta, 2012 (selanjutnya
disingkat Urip Santoso I), h. 9.
2
Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenadamedia, Jakarta, 2015
(selanjutnya disingkat Urip Santoso II), h. 49.
negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru
sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal
berkembang menjadi kepemilikan individual. UUPA memberikan penjelasan mengenai
unsur – unsur.
Agraria dalam arti luas (Bumi, Air, Ruang Ankasa, dan Kekayaan Alam) sebagai berikut:
1. Pengertian Bumi meliputi: (a) permukaan bumi; (b) tubuh bumi di bawahnya; (c)
tubuh bumi yang berada di bawah air (Pasal 1 Ayat (4) UUPA).
2. Pengertian Air meliputi: (a) perairan pedalaman; (b) laut wilayah Indonesia. (Pasal
1 Ayat (4) UUPA).
3. Pengertian Ruang Angkasa adalah ruang di atas Bumi, dan Air (Pasal 1 Ayat (4)
dan (5) UUPA).3
4. Pengertian Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan yang
terkandung dalam bumi yang disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-
mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan mulia yang
merupakan endapan alam (Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan). Sedangkan kekayaan alam yang terkandung di
dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan yang berada di dalam perairan
pedalaman dan laut wilayah Indonesia (Undang - undang No. 9 TAhun 1985
tentang Perikanan).4
Ruang lingkup Agraria menurut UUPA sebagaimana dijelaskan di atas pada dasarnya
sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/ sumber daya alam menurut
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaaan
Sunber Daya Alam.5
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya
terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang
berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah


sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
3
Boedi Harsono, Op Ci.t, 6.
4
Urip Santoso, Hukum Agraria&Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2006), 4.
5
Ibid., 3.
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1) Apa arti dari sengketa Tanah ?
2) Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer
dengan warga masyarakat di jawa timur ?
3) Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian
sengketa tanah ?

1.3 TUJUAN
Adapun beberapa tujuan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam
penyelesaian sengketa tanah.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang
dijadikan obyek sengketa tersebut .
3. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai cara
menangani suatu sengketa atas tanah .
4. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana proses
penguasaan tanah, jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa
tanah bagi para mahasiswa.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu
bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan
peraturan pemerintah. Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak atas tanah yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat menurut ketentuan Pasal 19 Ayat (2)
UUPA. Sebagai catatan penting yang perlu diketahui, kata kuat dalam pengertian
Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA mempunyai arti bahwa sertifikat tanah yang
diberikan itu adalah bukan sesuatu yang bersifat mutlak, dan membawa akibat hukum
bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanahnya adalah dianggap benar
sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan keadaan sebaliknya bahwa
sertifikat tersebut tidak benar, dengan perkataan lain alat pembuktian berdasarkan
Pasal 19 Ayat (2) UUPA dapat digugurkan. Hal demikian berarti bahwa pemilikan
suatu bidang tanah yang tercatat atas nama seseorang tidak berarti mutlak adanya,
sebab dapat saja dipersoalkan siapa pemiliknya melalui pengadilan. Sebagai bahan
perbandingan berikut dikemukakan beberapa yurisprudensi yang berbeda dalam
menyikapi mengenai peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT,
sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 Mei 1971 No.
1363/K/SIP/1972 menyatakan:
“ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tidak
bermaksud mengesampingkan Pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata atau ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual beli”.6
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 14 Maret 1973 No. 601
K/SIP/1973 menyatakan:
“syarat-syarat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang
jual beli tanah bukan menentukan syarat sah tidaknya jual beli tetapi hanya
suatu syarat yang harus diikuti setelah terjadi perjanjian jual beli yang sah”.7
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 12 Juni 1975 No.
952/K/SIP/1974 menyatakan:
“jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat dalam KUH Perdata atau
hukum adat, jual beli dilakukan menurut hukum adat secara riil, dan tunai serta
diketahui oleh kepala desa, syarat-syarat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
No. 10 tahun 1961 tidak mengabaikan syarat-syarat jual beli dalam KUH
Perdata/hukum adat melainkan hanya merupakan syarat bagi Pejabat Agraria”8
4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 16 Juni 1976 No.
1082/K/SIP/ 1973 menyatakan:
“pembuatan akta di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) tidak
merupakan syarat mutlak untuk sahnya jual beli, Peraturan Pemerintah tersebut
hanya merupakan ketentuan administratif saja yaitu khusus bagi pendaftaran
pemindahan hak pada kadaster”.9
5. Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Juni 1980 No. 665 /K/SIP/1979
menyatakan:

6
Soebekti, Hukum Adat di Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung:
Alumni,1991), 85. lihat pula AP. Parlindungan, Beberapa Masalah dalam UUPA,
(Bandung: Mandar Maju, 1993), 81.
7
Ibid., 80.
8
Ibid., 81.
9
Sudargo Gautama, Himpunan Yuriprudensi Indonesia yang Penting Untuk Praktek Seharihari
(Landmark Decision) Berikut Komentar, Jilid 13, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1995), 197.
“Dengan telah terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli yang diketahui
oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi
serta diterimanya harga pembelian oleh penjual, maka jual beli itu sudah sah
menurut hukum, sekalipun belum dilaksanakan di hadapan Penjabat
Pembuat Akta Tanah”.10

B.      HAL – HAL YANG MENYEBABKAN TERJADINYA SENGKETA TANAH


Status kepemilikan property merupakan hal yang penting, yang umumnya
dibuktikan dengan bukti fisik, misalnya saja surat tanda kepemilikan. Suatu site tanah
dapat dipercaya menjadi milik seseorang atau suatu badan serta sah di mata hukum
bila memiliki bukti berupa surat kepemilikan atas tanah tersebut. Namun, pada
beberapa kasus terdapat permasalahan tanah yang sering dijumpai, yaitu sengketa
tanah.

Lalu apa itu sengketa tanah? Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Indonesia No. 3 Tahun 2011 sengketa tanah atau yang biasa dikatakan sengketa
adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau
lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Secara singkat, masyarakat
umumnya mengenal sengketa merupakan permasalahan kepemilikan antar dua pihak,
yang umumnya terjadi karena kedua pihak mengklaim kepemilikan atas suatu tanah.

Penyebab adanya sengketa tanah ini sangat beraneka ragam, bisa karena proses
sertifikasi tanah yang kurang jelas, adanya rasa abai administrasi pada properti sendiri
sehingga mudah diklaim oleh pihak lain, dan kelalain lain yang menyebabkan
terjadinya tidak tertib administrasi. Untuk menyelesaikan masalah ini, biasanya
masyarakat melakukan pengaduan kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis
yang melalui loket pengaduan, kotak surat ataupun website Kementerian yang langkah
selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Pengaduan yang masuk akan disampaikan ke Kantor Wilayah BPN atau
Kementerian dan berkasnya diteruskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
2. Isi dari pengaduan memuat identitas pengadu seperti fotokopi identitas
pengadu, fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila
dikuasakan, serta data pendukung berupa bukti terkait pengaduan. Jangan lupa
untuk menyertakan uraian singkat dari kasus yang diadukan. Bila memenuhi

10
Soebekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditiya, 1995), 197.
syarat pihak pengadu mendapat tanda penerimaan pengaduan dan bila tidak
memenuhi berkas akan dikembalikan dengan pemberitahuan secara tertulis.
3. Berkas diperiksa oleh petugas pemeriksaan berkas dan bila memenuhi syarat
akan menyampaikan berkas tersebut pada pejabat yang bertanggung jawab
dalam menangani sengketa, konflik dan perkara di Kantor Pertanahan.
4. Pejabat yang bertanggungjawab akan mengadministrasikan pengaduan yang
dimaksud ke dalam register penerimaan pengaduan. Setelah itu pejabat
melakukan pengumpulan data, validasi dan keterangan saksi. Setelah kegiatan
itu maka analisis dilakukan untuk menentukan kewenangan pengaduan berupa
kewenangan kementerian atau bukan.
5. Bila sesuai kewenangan kementerian maka hasilnya akan dilaporkan pada
Kepala Kantor Pertanahan, namun bila di luar kewenangan kementerian
berdasarkan beberapa ketentuan, maka akan diberi penjelasan tertulis pada
pihak pengadu, dan kementerian dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi
penyelesaian sengketa atau konflik melalui mediasi.
Kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang disampaikan
kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (“Kementerian ATR”) /Badan
Pertanahan Nasional (“BPN”), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
(“Kanwil BPN”), kantor pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan
penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kasus pertanahan dibedakan menjadi:
. Sengketa pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan
hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
. Konflik pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan,
kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah berdampak luas.
. Perkara pertanahan, yakni perselisihan tanah yang penanganan dan
penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
Kemudian sengketa dan konflik tanah itu digolongkan ke dalam 3 klasifikasi:

. Kasus berat, yang melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang
kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan
keamanan;
. Kasus sedang, meliputi antar pihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya
cukup jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan
administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan;
. Kasus ringan, yakni pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis
administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk penyelesaian ke
pengadu atau pemohon.

Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah
memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari
kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat
diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang
menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah
ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.

C.     KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT


1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai
tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas
tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah
dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka
sidang pengadilan.
BAB  III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

B.    Saran
Sebagai saran, agar kita bias mempelajari hokum agraria di Indonesia  terutama mengenai
pengertian dari sengketa tanah, bagaimana penyelesaiakan terhadap sengketa tanah, sertifikat
sebagai kekuatan alat nukti dalam penyelesaian sengketa tanah.

Anda mungkin juga menyukai