Anda di halaman 1dari 36

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AKIBAT

KEPEMILIKAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH


YANG TUMPANG TINDIH
(Studi Kasus Putusan No. 279/Pdt.G/2017/PN.DPK)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

EDI ANTONI GINTING


NPM 5620220045

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN


PROGRAM MAGISTER UNIVERSITAS PANCASILA
GASAL 2020/2021
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................

A. Latar Belakang .................................................................................


B. Rumusan Masalah ............................................................................
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penlitian .............................................................................

BAB II TINJAUAN TENTANG PENDAFTARAN TANAH .......................

A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah ..................................


1. Pengertian Pendaftaran Tanah ..........................................................
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah ....................................................
3. Tujuan Pendaftaran Tanah ...............................................................
4. Asas-Asas Pendaftaran Tanah ..........................................................
5. Sistem Pendaftaran Tanah ................................................................
6. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah .......................................................
7. Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah ...........................

BAB III PENCEGAHAN TIMBULNYA ALAS HAK ATAS TANAH


YANG TUMPANG TINDIH (OVERLAPPING) ..............................

A. Penyelesaian Atas Tanah Yang Bersengketa ...................................


1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Jalur Pengadilan
(Litigasi) .....................................................................................
2. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Jalur Di Luar
Pengadilan (Non Litigasi) ..........................................................
B. Upaya-Upaya Pencegahan Timbulnya Alas Hak Atas Tanah Yang
Tumpang Tindih (Overlapping) .......................................................
1. Upaya pencegahan timbulnya alas hak atas tumpang
tindih (overlapping) oleh BPN selaku instansi penerbit
sertipikat .....................................................................................
2. Upaya pencegahan timbulnya alas hak atas tumpang
tindih (overlapping) oleh masyarakat selaku pemilik
tanah ...........................................................................................

BAB IV PENYELESAIAN KASUS SERTIFIKAT GANDA DI BADAN


PERTANAHAN NASIONAL DI KOTA DEPOK ..........................
A. Wewenang Badan Pertanahan Nasional ...........................................

BAB V PENUTUP .............................................................................................

A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran .................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah
sebutan lain dari undang- undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-
undang disahkan dan diundangkan pada tanggal 24
September 1960 di Jakarta. Tujuan dikeluarkannya UUPA
adalah untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di
Indonesia pada saat itu. Dalam kurun waktu lebih dari satu
dasawarsa sejak proklamasi, sebagian masyarakat Indonesia
masih memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum
barat (kolonial) dan sebagian lainnya berdasarkan hukum
adat. Hukum agraria yang berdasarkan hukum barat jelas
memiliki tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan.
Hal ini dapat dipastikan bahwa pemberlakuan hukum
agrarian tersebut jelas tidak akan mampu mewujudkan cita-
cita Negara sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3), yaitu Bumi air
dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang
sangat penting di dalam kehidupan masyarakat, karenaa
tanah identik dengan kelangsungan hidup masyarakat. Tak
hanya sekedar tanah untuk bermukim, tetapi dapat juga
menajadi tempat mata pencaharian masyarakat. Hak atas
tanah merupakan hak untuk menguasai sebidang tanah
yang dapat diberikan kepada perorangan sekelompok
orang atau badan hukum. Jenis hak atas tanah bermacam-
macam, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai dan lain sebagainya. Tanah berfungsi
untuk memberikan pengayoman agar tanah dapat dijadikan
saran bagi rakyat untuk mencapai penghidupan yang layak
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD
1945.
Tanah memiliki nilai ekonomis, karenaa tanah
merupakan elemen yang tidak dapat dikesampingkan dalam
era pembangunan nasional maupun guna menunjang
pertumbuhan ekonomi. Disamping mempunyai nilai
ekonomis, tanah juga memiliki nilai sosial, yang berarti hak
atas tanah tidak mutlak, namun negara menjamin dan
menghormati hak atas tanah yang diberikan kepada warga
negaranya, sehingga dibutuhkaan kepastian hukum dalam
penguasaan tanah yang dilindungi oleh Undang-undang.
Peraturan hukum perdata mengenai benda/harta kekayaan
dituangkan dalam beberapa undang-undang, misalnya
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1960 tentang Pokok-
pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan lain sebagainya.1
Tanah merupakan obyek yang paling mudah
terkena sengketa, baik sengketa antar individu, antar
individu dan badan hukum, bahkan sengketa yang
melibatkan pemerintah, sehingga peraturan hukum terkait
penguasaan/pemberian hak atas tanah harus dapat
dimaksimalkan untuk menjamin perlindungan terhadap
pemegang hak atas tanah.
Hak milik adalah hak turun termurun, yang terkuat
dan terpenuh, yang dapat dipunyai oleh orang atas sebidang
tanah. Hak milik merupakan hak terkuat, terutama dalam
mempertahankan hak ats tanahnya. Hak milik ini dpat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan hanya boleh
1
Soetami, Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT. Refika Aditama,
Bandung, 2008
dimiliki oleh Warga Negara Indonedia (WNI).2
Masalah pertanahan memerlukan perhatian dan
penanganan yang khusus dari berbagai pihak, karean
pembangunan yang terjadi sekarang meluas di berbagai
bidang, sehingga harus ada jaminan kepastian hak-hak atas
tanah. Untuk menghindari terjadinya perselisihan antara
tiap-tiap manusia yang membutuhkan tanah tersebut, maka
dibuat peraturan-peraturan tentang pertanahan yang
berguna untuk mengatur segala aktifitas penggunaan tanah
di Indonesia yaitu peraturan Nomor 5 Tahun 1960
(Lmbaran Negara 1960 Nomor 104) telah menetukan
bahwa tanah-tanah di seluruh Indonesia wajib
diinventarisassikan.
Ketentuan tentang kepastian hukum hak atas tanah
ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah. Kemudian sesuai dengan
dinamika dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah
tersebut disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam
Peraturan pemerinttah yang baru ini memang banyak
dilakukan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk
penyelenggaraan pendaftaran tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah. Kemudian sesuai dengan
dinamika dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah
tersebut disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam
Peraturan pemerinttah yang baru ini memang banyak
dilakukan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk
2
Goenawan, Kian. Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti
Yogyakarta: Pustaka Grahatama, Yogyakarta, 2008
penyelenggaraan pendaftaran tanah.
Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah
berupa sertipikat hak atas tanah, mempunyai banyak fungsi
bagi pemiliknya, dan fungsinya itu tidak dapat digantikan
dengan benda lain. Pertama, sertipikat hak atas tanah
berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi
yang utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu
bidang tanah, apabila telah jelas namanya tercantum dalam
sertipikat itu. Kedua, sertipikat hak atas tanah memberikan
kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan
pinjaman uang kepada pemiliknya. Ketiga, bagi
pemerintah, adanya sertipikat hak atas tanah juga sangat
menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak
langsung. Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan
bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor
Agraria. Data tentang tanah yang bersangkutan secara
lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila
sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah diketemukan.3
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 bahwa kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
sebagaimana yang di amanatkan UUPA mengandung dua
dimensi yaitu kepastian obyek hak atas tanah dan kepastian
subyek hak atas tanah. Salah satu indikasi kepastian obyek
hak atas tanah ditunjukan oleh kepastian letak bidang tanah
yang terkordinat geo-referensi dalam suatu peta pendaftaran
tanah, sedangkan kepastian subyek diindikasikan dari
nama pemegang hak atas tanah tercantum dalam buku

3
Adrian Sutedi, Sertifkkat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
pendaftaran tanah pada instansi pertanahan. Secara ringkas,
salinan dari peta dan buku pendaftaran tanah tersebut
dikenal dengan sebutan Sertipikat Tanah. Namun demikian,
dalam prakteknya, kepastian hukum hak atas tanah ini
kadangkala tidak terjamin sebagaimana yang diharapkan.
Praktek di lapangan tidak jarang terjadi beredarnya
sertipikat palsu, sertipikat asli tapi palsu atau sertipikat
ganda/overlapping di masyarakat sehingga pemegang hak
atas tanah perlu mencari informasi tentang kebenaran data
fisik dan yuridis atas bidang tanah tertentu di Kantor
Pertanahan setempat. Pada umumnya masalah baru muncul
dan diketahui terjadi penerbitan sertipikat tanahnya saling
tumpang tindih, ketika pemegang sertipikat yang
bersangkutan akan melakukan suatu perbuatan hukum atas
bidang tanah yang dimaksud.
Sebagai salah satu contoh kasus tentang penerbitan
sertipikat tanah yang saling tumpang tindih (overlapping)
yang terjadi di Kota Depok yang diangkat dihadapan sidang
pengadilan, yaitu sengketa dengan no register No.
279/Pdt.G/2017/PN.DPK yang terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Kota Depok pada tanggal 30 Desember
2009.
Berkaitan dengan adanya bidang tanah yang
mempunyai lebih dari satu sertipikat tersebut dimana
disebutkan dalam perkara No. 279/Pdt.G/2017/PN.DPK
yang telah mempunnyai kekuatan hukum tetap maka dalam
skripsi ini penulis tertarik untuk mengangkat sebuah kasus
tentang sertipikat ganda/overlapping di Kabupaten
Sukoharjo yang telah diangkat ke pengadilan dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dengan merujuk pada
satu putusan pengadilan No. 279/Pdt.G/2017/PN.DPK,
dengan pihak Penggugat I AGUNG PAMBUDI sebagai
pemilik Sertipikat Hak Milik Desan Telukan No. 468 atas
Penggugat I (Agung Pambudi) tanggal 26 Maret 2002.
Surat Ukur tanggal 24 Oktober 1979 No. 3144/1979, seluas
±3510 m2, yang terletak di Kelurahan Telukan, Kecamatan
Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Dan pihak Penggugat II
EKO PRASETYO sebagai pemilik Sertipikat Hak Milik
Desa Telukan No. 968 atas Penggugat II (Eko Prasetyo)
tanggal 25 September 2002, Surat Ukur tanggal 9 Mei 1981
No. 1259/1981, seluas ±7310 m2, yang terletak di
Kelurahan Telukan, Kecamatan Grogol, Kabupaten
Sukoharjo. Dan Badan Pertanahan Nasional yang
berwenang menerbitkan sertipikat sebagai pihak Tergugat
kemudian FITRIA HANDAYANI HAYU UTAMI sebagai
Tergugat II Intervensi 1 dan PT. Bank Mandiri (Persero)
Tbk, CBC Semarang sebagai Tergugat II Intervensi 2.
Para Penggugat membeli tanah-tanah
perkarangan SHM. Desa Telukan No. 968 dan 468
tersebut diatas dalam keadaan kosong dan telah diadakan
pengecekan dan dan dinyatakan tidak ada masalah,
sehingga tanah-tanah tersebut bisa balik nama kepada Para
Penggugat, setelah tanah-tanah perkarangan tersebut
menjadi milik Para Penggugat, Para Penggugat merasa
terkejut, karenaa dibagian sebelah utara tanah perkarangan
milik Penggugat I SHM No. 468 telah dipagari seluas ±400
m2, dan begitu juga tanah perkarangan milik Penggugat II
SHM no. 968 dibagian sebelah utara telah dipagari seluas
±400 m2. Dengan adanya peristiwa pemagaran tersebut
Para Penggugat melaporkan hal ini kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo, kemudian pihak Kantor
Pertanahan Sukoharjo mengundang para Penggugat untuk
melakukan mediasi, dan saat mediasi Para Penggugat baru
mengetahui bahwa telah terjadi tumpang indih
(Overlapping) sertipikat, diatas tanah milik Para Tergugat.
Jelas terbukti bahwa Tergugat telah melanggar Pasal 19
ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Pasal 3 ayat 2
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tantang
Pendaftaran Tanah. Dalam kasus tersebut telah terbukti
bahwa adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan
sertipikat oleh BPN Kota Depok, pembatalan hak atas tanah
karenaa cacat hukum administrasi di atur dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 106.
Berawal dari uraian diatas dan ketentuan-ketentuan
yang ada, serta karenaa sertipikat merupakan produk
instansi Pemerintah yang dikeluarkan melalui proses yang
cermat dan teliti, maka peenulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul:
“Penyelesaian Sengketa Tanah Akibat Kepemilikan
Sertipikat Hak Atas Tanah Yang Tumpang Tindih (Studi
Kasus Putusan No.279/Pdt.G/2017/PN.DPK)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan


masalah- masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terbitnnya sertipikat
yang tumpang tindih /overlapping di Kantor Pertanahan Kota
Depok?
2. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa tanah terhadap
sertipikat tumpang tindih/Overlapping ?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendalami
berbagai aspek tentang permasalahan-permasalahan yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah. Melihat uraian dari latar belakang
diatas, maka tujuan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagi
berikut:
1. Untuk menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan diterbitkannya
sertipikat yang tumpang tindih oleh Kantor Pertanahan Kota Depok.
2. Untuk mengetahui proses-proses apa saja yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa tanah sertipikat tumpang tindih.
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kebutuhan

yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna

untuk kepentingan yang bersifat praktis.

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian dapat menambah wawasan dan pengetahuan di

bidang karya ilmiah, serta dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan khususnya dalam ilmu agraria;

b. Secara Praktis

Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang

Penyelesaian Sengketa Tanah Akibat Kepemilikan Sertipikat

Hak Atas Yang Tumpang Tindih, serta Mendeskripsikan

Hambatan dan upaya Kepastian Hukum Terhadap Sertifikat Hak

Milik atas Tanah yang tumpang Tindih.

BAB II
TINJAUAN TENTANG PENDAFTARAN TANAH

A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah


1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa belanda Kadaster) suatu
istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai
dan kepemilikan terhaadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari
bahasa latin capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit
yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Copotatio Tarrens). Dalam
artian yang tegas cadaster adalah record (rekaman dari lahan-lahan, nilai
dari tanah dan pemegang haknya dan unuk kepentingan perpajakan).4
Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut PP 24/1997 dijelaskan
mengenai pngertian pendaftaran atanah, yaitu:
Rangkaian kegiatan dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesimnambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
biidang-bidang tanah yang sudah ada hakya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Data fisik menurut Pasal 1 angka 6 PP 24/1997 adalah keterangan,
mengenai letak, batas dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di
atasnya.
Sedangkan data yuridis menurut Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 adalah
keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
Pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah Suatu rangkaian

4
A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung: mandar
Maju, hlm. 18.
kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus
dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertenatu mengenai
tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah- wilayah tertentu, pengelolaan,
penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka
memberikan jaminan kepastina hukum di bidang pertanahan, termasuk
tanda bukti dan pemeliharaannya.5
Berdasarkan pngertian diatas pendaftaran tanah merupakan tugas
Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat
dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan.
Sedangkan penyelenggaraan tanah meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta
pendaftaran dan surat ukur, dari peta dan pendaftaran surat ukur dapat
diperoleh kepastian luas dan batas tanah yang bersangkutan.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut termasuk
dalam hal ini pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain (baik hak
atas tanah maupun jaminan) serta beban-beban lainnya yang membebani
hak-hak atas tanah yang didaftarkan tersebut.
c. Pemberian surat-syurat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Mengenai sertipikat hak atas tanah tentunya tidak akan terlepas dari
bahasan mengenai pendaftaran tanah, karenaa sertipikat merupakan hasil
dari kegiatan akhir dari pendaftaran tanah yng bertujuan untuk menjamin
dan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan.
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah.
Pemerintah menjamin kepastian hukum hak atas tanah
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang
berbunyi:
Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut

5
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang- Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Jakarta : Djambatan,
hlm. 72.
ketentuan- ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan laim ada pada pasal-pasal dalam UUPA yang ditunjukan
kepada pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud aar mereka
memperoleh kepastian hukum tentang haknya, yaitu Pasal 23 ayat (1)
UUPA yang berbunyi Hak milik, demikian pula setiap peralihan,
hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 32 ayat (1) UUPA yang berbunyi Hak Guna Usaha, termasuk
sayrat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut,, harus didaftarkan menurut ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 38 ayat (1) UUPA yang berbunyi Hak Guna Bangunan,
termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
Pelaksanaan pendaftaran tanah juga diatur dalam PP nomor: 10
tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan PP nomor: 24
Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional nomor: 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
nomor: 24 Tahun 24 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Jaminan kepastian hukum dapat diperoleh bagi pemegang hak atas
tanah dengan dilakukan inventarisasi data-data yang berhubungan
dengan setiap peralihannya. Terselenggaranya pendaftaran tanah
secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di
bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap
bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan,
pembebanan dan hapusnya wajib di daftar.6
3. Tujuan Pendaftaran Tanah.
Kalangan ahli menyebutkan bahwa pendaftaran tanah bertujuan

6
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang- Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan,
hlm 474.
untuk memberi kepastian hak seseorang dan juga untuk menetapkan
suatu perpajakan. Namun dalam garis besar tujuan pendaftaran tanah
dinyatakan dalam Pasal 3 PP nomor 24 Tahun 1997, yaitu:7
a. Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan untuk itu kepada haknya diberikan sertipikat
sebagai tanda buktinya.
b. Untuk menyediakan informaasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah
dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan
rumah susun yang terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan.
Tujuan pendafaran tanah yang tercantum pada huruf a merupakan
tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh pasal 19
UUPA. Disampimg itu terselenggaranya pendaftaran tanah juga
dimaksudkan untuk tercapainya pusat informasi mengenai bidang-
bidang tanah sehinga pihak- pihak yang berkepintangan termasuk
pemerintah dapat dengan mudah memerpoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah
yang sudah terdaftar. Dengan demikian terselenggaranya pendafatarn
tanah yang baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi
di bidang pertanahan.
4. Asas Pendaftaran Tanah
Dalam Pasal 2 PPno. 24 Tahun 1997 disebutkan asas-asas dalam
pendaftaran tanah adalah, asas aman, asas terjangkau, asas mutakhir,
dan asas terbuka. Kelima asas tersebut dengan jelas diuraikan dalam

7
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,
Surabayam : Arkola, hlm. 157
Pasal 2 PP no. 24 Tahun 1997 yaitu:8
c. Asas Sederhana
Yaitu ketentuan pokok dan prosedur dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah
d. Asas Aman
Yaitu pendaftaran tanah dilakukan secara teliti dan cermat
sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum
sesuai tujuaan pendaftaran tanah itu sendiri.
e. Asas Terjangkau
Yaitu keterjangkauan para pihak untuk memperhatikan
kebutuuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang berikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah harus disa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
f. Asas Mutakhir
Yaitu kelengkapan yang memadai dalam pelaksanannya
dan kesinambungan dakam pemeliharaan data pendaftaran
tanah. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang
mutakhir sehingga perlu diikuti kewajiban mendaftar dan
pencatatan perubahan yang terjangkau di kemudian hari.
g. Asas Terbuka
Yaitu berate data pendartaran tanah harus dipelihara secara terus
menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan nyata di
lapangan dan masyarakat dapat memperolehketerangan
mengenai data yang benar setiap saat.
5. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah memuat tentang apa yang didaftar,

8
A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia,
Bandung : Mandar maju, hlm 76-77.
bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda
bukti haknya. Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran akta
(regristration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (regristration of
title). Baik dalam sistem pendaftaran atau maupun pendaftaran hak,
setiap pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta
pembebanannya dengan hak lain, harus dibuktikan dengan suatu akta.
Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan
oleh pejabat pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabat bersifat pasif
sehingga ia tidak melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam
akta yang didaftar. Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta
sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini data yuridis yang diperlukan
harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Untuk memperoleh
data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa yang disebut title
search yang dapat memakan waktu lama dan biaya yang mahal.9
Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar,
melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya
kemudian. Akta merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak
dan perubahan-perubahan yang terjadi disediakan suatu daftar isian
(register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di
Kantor Pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat
pertanahan bersifat aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan
sertipikat yang merupakan Salinan register (certificate of title).10
6. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan
data pendaftaran tanah. Kegiatan pelaksanaan pendaftaran
tanah diatur dalam PP 10/1961 yang telah disempurnakan
dengan PP 24/1997 dan peraturnan pelaksana lain no.
3/1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali

9
Boedi harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Jakarta, Djambatan, hlm.76
10
Ibid, hlm. 77
berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 24 tahun 2007,
meliputi:11
a. Pengumpulan dan penglolaan data fisik
b. Pengumpulan dan pengelolaan data yuridis serta
pembukuan haknya
c. Penerbitan sertipikat
d. Penyajian data fisik dan data yuridis
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen
Untuk keperluan dan pengumpulan data fisik pertama-
tama dilakukan kegiatan pengkuran dan pemetaan, yang
meliputi:12
a. Pembuatan data dasar pendaftaran
b. Penetapan dasar-dasar batas bidang tanah
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah
dan pembuatan peta pendaftaran
d. Pembuatan daftar tanah dan
e. Pembuatan surat ukur
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan
melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan
pendafataran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau baguan
wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah
berdasarkan pada suatu renaca kerja jangka panjang dan
tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang
ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

11
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 491.
12
Ibid
Pertanahan Nasional.13
Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadic yaitu
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai
satu atau beberapa obyek pendaftaran dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual
atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadic
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan
yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah
yang bersangkutan atau kuasanya.14
Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk menyeseuaikan data fisik dan
data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat dengan
perubahan yang terjadi kemudian. Para pemegang hak
yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
tersebut kepada Kantor Pertanahan.29
Perubahan pada data fisik dapat terjadi karenaa
pemisahan atau pemecahan satu bidang tanah yang
bersangkutan dipecah atau dipisah menjadi beberapa
bagian yang masing-masing merupakan suatu bidang
tanah baru dengan sattus yang sama dengan bidang-
bidang tanah yang berbatasan menjadi satu bidang tanah
yang baru. Perubahan tersebut diikuti dengan
pencatatannya pada peta pendaftaran dan dan pembuatan
surat ukur yang baru.30
Perubahan data yuridis terjadi bisa mengenai haknya
dan pemegang/subyek haknya. Perubahan mengenai
haknya dapat terjadi karenaa berakhirnya jangka waktu
berlakunya, dicabut atau dibebaani hak lain. Sedangkan
perubahan Karena subyek hak dapat terjadi karenaa

13
Ibid, hlm, 460
14
Ibid, hlm. 78
perwarisan, pemindahan hak atau penggantian nama.
Perubahan itu dicatat pada buku tanah dan sertipikat hak
yang bersangkutan berdasarkan data yang dimuat dalam
akta perubahannya.15
7. Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah.
Pasal 19 UUPA menetukan bahwa pendaftaran tanah
diselenggarakan oleh Pemerintan dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah lembaga
pemerintah non departemen yang mempunyai tugas di
bidang pertanahan dengan unit kerja yaitu Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor
Pertanahan dan Kota/Kabupaten.16
Tugas pokok BPN adalah melaksanakan tugas
pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional
dan sectoral, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Perpes
10/2006.
Pelakasanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh
Kepala Kantor Pertanahan kecuali, mengenai kegiatan-
kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain
yaitu kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau
melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan dibantu
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat
lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tertentu menurut PP No. 24/1997 dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
Pasal 9 ayat (1) menyebutkan, bahwa dalam
melaksanakan pendaftaran secara sistematik Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi, yang
dibentuk oleh Menteri Agraris/Kepala BPN atau pejabat
yang ditunjuk.

15
Ibid, hlm. 78
16
Irawan Soerojo, op.Cit. hlm. 165
Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran tanah untuk peretama kali,
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik
dan data yuridis mengenai suatu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya (Pasal
1 angka 8 PP 24/1997).
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara
sistematik diperlukan bantuan suatu panitia ajudikasi,
karenaaa\ pada umumnya pendafataran secara sistematik
bersifat masal dan bersar-besaran, sehingga dengan
demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak akan
terganggu.
Susunan panitia Ajudikasi menurut Pasal 8 ayat 2 PP
no. 24 Tahun 1997, terdiri dari:
a. Seorang ketua panitia, merangkap anggota yang
dijabat oleh seorang pegawai Badan Pertanahan
Nasional.
b. Beberapa orang atau anggota terdiri dari :
1. Seorang pegawai BPN yang
mempunyai kemampuan pengetahuan di
bidang pendaftaran tanah.
2. Seorang pegawai BPN yang mempunyai
kemampuan pengetahuan di bidang hak-hak
atas tanah.
3. Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan
dana tau seorang Pamong Desa/Kelurahan
yang ditunjuk.
Keanggotaan Panitia Ajudikasi dapat ditambah dengan
seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian
kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah di
wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan (pasal 8
ayat (3) PP no 24 tahun 1997). Ketentuan ini
memungkinkan ketua adat yang mengetahui benar
riwayat/kepemilikan bidang bidang tanah setempat,
dimasukan kedalam panitia, kususnya di daerah hukum
adatnya yang masih kuat.
Dalam melaksankan tugasnya panitia Ajudikasi
dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan,
satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan
administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya yang
diatur oleh mentri (pasal 8 ayat (4) PP no 24 tahun 1997).
Adapun tugas dan wewenang panitia Ajudikasi
berdasarkan pasal 52 PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP no 24 tahun 1997,
yaitu:
1. Menyiapkan rencana kerja panitia Ajudikasi
secara terperinci
2. Mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data
yuridis semua bidang tanah yang ada di wilayah
yang bersangkutan serta memberikan tanda
penerimaan dokumen kepada pemegang hak
atau kuasanya.
3. Menyelidik riwayat tanah dan menilai kebenaran
alat bukti kepemilikan atau penguasaan tanah.
4. Mengumumkan data fisik dan data yuridis yang sudah
dikumpulkan.

5. Membantu menyelesaikan ketidak keseatakan


atau segketa antara pihak-pihak yang
bersangkutan mengenai data yang diumumkan.

6. Mengesahkan hasil pegumuman sebagimana


dimaksud pada angka 4 yang akan digunakan
sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan
pemberian hak.
7. Menerima uang pembayaran, mengumpulkan
dan memlihara setiap kwintansi bukti
pembayaran dan penerimaan uang yang
dibayarkan oleh mereka yang berkepentingan
sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Menyampaikan laporan secara periodic dan
menyerahkan hasil kegiatan panitia Ajudikasi
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
9. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan
secara khusu kepadanya, yang berhubungan
dengan pendaftaran tanah secara sistematik
dilokasi yang bersangkutan.
BAB III
PENCEGAHAN TIMBULNYA ALAS HAK ATAS TANAH
YANG TUMPANG TINDIH (OVERLAPPING)
A. Penyelesaian Atas Tanah Yang Bersengketa
1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Jalur Pengadilan (Litigasi)
Lembaga peradilan atau sering disebut sebagai lembaga
yudikatif merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat manakala lembaga tersebut
digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa atau konflik.
Lembaga peradilan merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat yang mendambakan keadilan. Pengadilan merupakan
tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada
masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif,
antara lain:
a) Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan
b) Memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi
pencari keadilan.
c) Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final
sehingga memuaskan semua pihak dan masyarakat.
2. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Jalur Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Alternatif penyelesaian sengketa atau sering popular disebut
sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan ekspresi
responsif atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa
(tanah) melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig
(bertele-tele).
Thomas J. Harron bertutur : "...masyarakat sudah jemu mencari
penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan), mereka tidak
puas atas sistem peradilan (dissatisfied with the judicial system),
disebabkan cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem
peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a system) dengan
cara-cara yang sangat merugikan, antara lain: buang-buang waktu (a
waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa
lalu, bukan menyelesaikan masalah masa depan, membuat orang
bermusuhan (enemy) dan juga melumpuhkan para pihak (paralyze
people)".
Meskipun hasil penyelesaian yang diambil dalam proses ADR
bukan res judicata (putusan pengadilan), akan tetapi diungkapkan oleh
Robert N. Codey dan O. Lee Reed pada karyanya Fundamentals of the
Environment of Business, ternyata masyarakat cenderung memilihnya
atas alasan lebih cepat, tidak bertelebertele dan juga lebih murah
dibandingkan jalur litigasi.
Eksistensi dan fungsi ADR pun nampak pada pengertian
konseptual yang menerapkan mekanisme penyelesaian (sengketa
perkebunan) dengan mengutamakan upaya-upaya yang "creative
compromise" dan ditempatkan sebagai "the first resort", sedangkan
pengadilan dijadikan sebagai "the last resort".
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya
minat dan perhatian terhadap ADR, yaitu :
a) Perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih
fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa;
b) Untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian
sengketa; dan
c) Memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap
sengketa perkebunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang
tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan
bentuk penyelesaian yang lain, sehingga para pihak dapat memilih
mekanisme yang terbaik.
James E. Crowloot dan Julia M. Wondolleck memaparkan keberagaman
istilah yang digunakan untuk ADR, seperti "conflict management, conflict
settlement, and conflict intervention dan lain sebagainya83. Perkembangannya
pun ternyata sangat pesat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Jepang dan Kanada. Seksi 5 adalah sebuah divisi yang dibentuk oleh BPN
sebagai divisi khusus Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan.
Seksi 5 merupakan seksi yang bertugas menerima pengaduan dan menangani
permasalahan pertanahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh
Dhani, anggota Seksi 5 BPN Kota Depok, bahwa Seksi 5 selaku divisi BPN
yang dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan pengaduan masyarakat,
akan terjun langsung dan berhadapan dengan para pihak yang bersengketa.
Dalam hal penyelesaian sengketa pertanahan, Dhani menyatakan bahwa BPN
akan selalu berupaya menyelesaiakan permasalahan di antara para pihak
dengan cara memediasi kemauan para pihak agar para pihak dapat mengetahui
apa saja keinginan dari pihak lawan. Selain memediasi, Seksi 5 BPN juga
bertugas memfasilitasi pertemuan para pihak yang bersengketa. Hal ini
dimaksudkan agar para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah
yang terjadi dengan jalan bermusyawarah dan bermufakat, sehingga sengketa
tersebut tidak perlu diselesaikan melalui jalur litigasi. Hal senada juga
disampaikan oleh Jamaludin, hakim di Pengadilan Negeri Depok. Jamal
menyampaikan bahwa penyelesaian sengketa pertanahan selayaknya
diselesaikan melalui jalur musyawarah dan bermufakat agar keputusan yang
diambil dapat memuaskan para pihak dan dapat menjadi sebuah penyelesaian
dengan win-win solution. Menurut Jamal, pada awal persidangan dimulai,
Majelis Hakim akan berupaya menyarankan para pihak agar menyelesaikan
sengketa tersebut dengan jalur perdamaian terlebih dahulu baru kemudian
melanjutkan proses persidangan setelah para pihak tidak menemui
kesepakatan untuk berdamai. Demikian pun sebelum Majelis Hakim memutus
suatu perkara, Hakim akan kembali menanyakan kepada para pihak apakah
permasalahan yang terjadi tersebut tidak dapat diselesaikan dengan jalan
perdamaian. Namun apabila para pihak telah bersepakat bahwa sengketa di
antara mereka tidak menemui jalur perdamaian, maka Majelis Hakim akan
melanjutkan pembacaan putusan atas perkara para pihak yang bersengketa.\

Penyelesaian sengketa secara non litigasi dihadapkan pada proses yang


dijalani oleh para pihak tanpa dibantu oleh pihak-pihak lain yang tidak
mempunyai kepentingan terhadap kontinuitas sengketa yang terjadi. Menurut
teori dari Cochrane yang mengatakan bahwa yang mengontrol hubungan-
hubungan sosial itu adalah masyarakat itu sendiri, yang artinya bahwa pada
dasarnya masyarakat itu sendiri yang aktif menemukan, memilih, dan
menentukan hukum sendiri.

Namun adakalanya diselesaikan oleh pihak lain di luar sengketa secara


damai, jika tidak teratasi melalui proses di luar pengadilan, maka sengketa ini
dilakukan melalui proses litigasi di lembaga peradilan. Adapun mengenai
penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui kerjasama (kooperatif) di
luar pengadilan biasanya disebut juga dengan Alternatve Dispute Resolution
(ADR). Penyelesian sengketa di luar pengadilan ini pertama kali muncul
dengan istilah Alternatve Dispute Resolution (ADR) ini di Amerika Serikat.
Hal ini muncul karena masyarakat Amerika Serikat merasa penyelesaian
sengketa melalui proses litigasi (badan peradilan) tidak dapat memenuhi rasa
keadilan dan juga munculnya rasa ketidakpuasan atas sistem peradilan
(dissatisfied with the judicial system) bagi masyarakat yang menjadi para
pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
bahwa “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsilisasi, atau penilaian ahli.
B. Upaya-Upaya Pencegahan Timbulnya Alas Hak Atas Tanah Yang
Tumpang Tindih (Overlapping)
Timbulnya alas hak atas tumpang tindih (overlapping) tentu
menimbulkan kerugian bagi pemilik yang sah atas suatu bidang tanah.
Kerugian tersebut seminimal-minimalnya adalah ketidakpastian hukum
dan rasa ketidakadilan atas objek tanah yang menjadi miliknya tersebut.
Guna menghindari timbulnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
tersebut, BPN dan pemilik bidang tanah hendaknya bersama-sama
melakukan upaya-upaya pencegahan. Meski demikian, BPN selaku
penerbit sertipikat terus melakukan upaya agar dalam perolehan hak atas
tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ada beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan, baik
oleh BPN selaku instansi penerbit sertipikat alas hak atas tanah, maupun
oleh masyarakat selaku pemilik dari tanah. Upaya-upaya tersebut, antara
lain :
1. Upaya pencegahan timbulnya alas hak atas tumpang tindih (overlapping)
oleh BPN selaku instansi penerbit sertpikat
Upaya pencegahan terjadinya alas hak yang tumpang tindih
(overlapping) sebenarnya telah dilakukan BPN sejak lama, akan
tetapi hingga saat ini upaya tersebut masih belum dapat memberi
hasil yang optimal apabila masyarakat selaku pemilik tanah tanah
tidak turut melakukan upaya penguasaan dan pencegahan dari
penyerobotan oleh pihak yang beritikad tidak baik, baik secara fisik
maupun yuridis, Upaya yang dilakukan oleh BPN dalam mengatasi
timbulnya tumpang tindih alas hak (overlapping) atas tanah hingga
saat ini, antara lain :
a. BPN terus berupaya melengkapi peta dasar pendaftaran atas tanah
yang telah bersertipikat namun belum terdata dalam peta dasar yang
telah dapat tersebut. BPN juga mengharapkan masukan dari
masyarakat agar membantu percepatan dari penyempurnaan peta dasar
pendaftaran tanah ini.
b. BPN terus meningkatkan kinerjanya dalam pendaftaran tanah dengan
melakukan penertiban administrasi. Dengan melakukan penertiban
administrasi ini, BPN bermaksud menghindari terjadinya kesalahan
dalam penerbitan sertipikat yang tidak sesuai dengan data yuridis yang
sebenarnya dan juga menghindari oknum mafia tanah dari tubuh BPN
sendiri.
c. BPN terus meningkatkan koordinasi antar seksi dalam tubuh BPN
dalam penerbitan sertipikat dan juga dengan perangkat Kelurahan agar
tidak terjadi kesalahan, baik dalam pengukuran batas-batas tanah
maupun kesalahan data yuridis lainnya sehingga akurasi data atas
tanah lebih terjamin kebenarannya.
2. Upaya pencegahan timbulnya alas hak atas tumpang tindih (overlapping)
oleh masyarakat selaku pemilik tanah
Dalam pencegahan timbulnya alas hak atas tanah yang tumpang
tindih (overlapping), masyarakat sebagai pemilik tanah justru yang
dituntut lebih proaktif menjaga hak-haknya agar tidak direbut oleh
oknum mafia tanah melalui cara-cara yang melawan hukum.
Hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat dalam mencegah
timbulnya alas hak atas tanah yang tumpang tindih (overlapping),
antara lain :
a. Masyarakat hendaknya menduduki, menguasai dan memelihara
tanahnya masing-masing agar terhindar dari kondisi tidak terawat dan
terabaikan;
b. Masyarakat sebaiknya memberi patok batas atas tanahnya sendiri
secara jelas;
c. Masyarakat hendaknya mendaftarkan tanahnya yang belum memiliki
alas hak ke BPN; d. Pada tanah yang belum maupun sudah memiliki
alas hak berupa sertipikat, hendaknya setiap perbuatan hukum atas
tanah tersebut dicatatkan, seminimalnya adalah dengan akta pejabat
yang berwenang (notaris).
Berdasarkan penjabaran di atas mengenai tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat guna
mencegah terjadinya alas hak yang tumpang tindih
(overlapping), WN telah melakukan beberapa di antaranya,
antara lain memasang patok batas berupa pilar di atas tanahnya
tersebut. WN juga rutin mengunjungi dan memelihara tanahnya
tersebut. Akan tetapi, terjadinya tumpang tindih alas hak atas
tanah terperkara pada tanah miliknya tetap tidak dapat
terhindarkan.
BAB IV
PENYELESAIAN KASUS SERTIFIKAT GANDA DI BADAN
PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN TAPANULI TENGAH
A. Wewenang Badan Pertanahan Nasional
Pada umumnya kewenangan diartikan sebagai kekuasaan, yang
dimana istilah kewenangan ini digunakan didalam konsep hukum publik.
Dengan demikian Badan Pertanahan Nasional menjadi pihak yang wajib
berwenang mengatur, mengurus dan mengawasi tanah-tanah di Indonesia.
Dilihat dari Pasal 3 Peratruan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 2015
Lembaga Kementerian Agraria dan Tata Ruang Memiliki fungsi: 17
a. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata
ruang, infrastruktur, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan,
pentaan agraria/pertanahan, pegadaan tanah, pengendalian
pemanfaatan ruangan dan penguasaan tanah, serta penanganan
masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanah.
b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara menjadi tanggung
jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas dilingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang.
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
unsuran Kementerian Agaria dan Tata Ruang di daerah dan.
f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi dilingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang.

17
Website, http://atrbpn.go.id . diunduh 3 Maret 2019
Badan Pertanahan Nasional juga mempunyai tugas unutk
menyelesaikan konflik pertanahan dan juga menerima pengaduan
terhadap masalah pertanahan dimasyarakat. Jika dilihat dari Pasal 3
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011:
a. Pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan;
b. Pengkajian kasus pertanahan harga;
c. Penanganan kasus pertanahan;
d. Penyelesaian kasus pertanahan;dan
e. Bantuan hukum dan perlindungan hukum Didalam Pasal 362
Peratruan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2006. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas Badan
Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
1. Masalah-masalah yang berkaitan dengan Konversi Hak atas Tanah
Milik Rakyat atau Adat.
2. Masalah Okupasi Ilegal
3. Masalah Pelaksanaan Landform
4. Masalah Pembebasan Tanah, meliputi:
a. Pembebasan tanah untuk instansi Pemerintah, dalam hal ini
biasanya dilakukan pengadaan tanah untuk fasilitas umum.
b. Penyediaan tanah untuk keperluan swasta yang digunakan
untuk kawasan industri baik yang menggunakan fasilitas
PMA/PMDN maupun yang tidak menggunakan fasilitas.
5. Masalah Sertifikasi Tanah, yang meliputi:
a. Sertifikat Palsu
Sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti atau alat
pembuktian mengenai pemilikan tanah sehingga merupakan
Surat/barang bernilai dengan kecenderungan untuk
memalsukan surat/barang yakni sertifikat.
c. Sertifikat Asli tapi Palsu
Surat bukti sebagai alas dasar hak untuk penerbitan Sertifikat
tersebut ternyata tidak benar atau dipalsukan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Indonesia pada tanah yang belum
bersertifikat di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang meliputi: penetapan lokasi kegiatan PTSL, pembentukan
dan penetapan Panitia Ajudikasi PTSL, penyuluhan, pengumpulan data
fisik dan data yuridis bidang tanah, pemeriksaan tanah, pengumuman data
fisik dan data yuridis bidang tanah serta pembuktian hak, penerbitan
keputusan pemberian atau pengakuan hak atas tanah, pembukuan dan
penerbitan sertipikat hak atas tanah serta penyerahan sertifikat hak atas
tanah.
2. Faktor – faktor penyebab terjadinya sertifikat ganda adalah sebagai berikut:
a) Kesalahan dari pemilik tanah itu sendiri yang tidak memperhatikan tanah
miliknya dan tidak memanfaatkanya dengan baik sehingga di ambil alih
oleh orang lain dan kemudian di manfaatkan karna merasa bahwa tanah
tersebut tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya.
b) Badan pertanahan Nasional tidak mempunyai basis data mengenai
bidang-bidang tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum
terdaftar.
c) Pemerintah setempat, kelurahan atau desa yang tidak mempunyai data
mengenai tanah-tanah yang sudah disertifikatkan dan sudah ada
penguasaannya atau data yang tidak valid.
3. Akibat hukum dengan adanya sertifikat ganda hak atas tanah adalah :
a) Menimbulkan ketidakpastian hukum karena terdapat lebih dari satu
status hukum dalam satu bidang tanah.
b) Kerugian kedua belah pihak yang bersengketa terutama bagi yang
dinyatakan kalah dalam persidangan.
c) Pembatalan atau pencabutan sertifikat berdasarkan Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
B. Saran
1. Walaupun Pendaftaran tanah di Indonesia sudah diatur oleh peraturan
perundang-undangan. Tetapi dalam pelaksanaanya terkadang dilaksanakan
secara tidak tertib dalam pemetaan dan pengukuran. Seharusnya Badan
Pertanahan Nasional melakukan pengawasan lebih terhadap kinerja dan
tanggung jawab aparat pelaksana pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Indonesia.
2. Badan Pertanahan Nasional seharusnya memiliki teknologi yang tinggi di
dalam bidang pengukuran dan pemetaan terhadap tanah. Harapannya
dengan teknologi tersebut dalam mengurangi permasalahan sengketa
sertfikat ganda akibat tumpang tindihnya kepemilikan suatu tanah yang
menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
3. Untuk mencegah terjadinya sertifikat ganda dikemudian hari, masyarakat
harus memperhatikan apa saja faktor yang menimbulkan terjadinya
sertifikat ganda. Masyarakat harus teliti dalam bertransaksi jual beli tanah,
setelah melakukan transaksi jual beli tanah, diusahakan melakukan balik
nama dengan mendaftarkan ke kantor pertanahan. Karena kelalaian
mengurus balik nama akan memperbesar peluang seseorang melakukan
pengklaiman sertifikat tanah di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Andrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta
Elza Syarif, 2012, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan, Gramedia, Jakarta.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Supriadi, 2008, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Wawancara dengan Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara Katah Kota
Pontianak. Drs. Z.A Marwan Fidia, SH, MSi

Anda mungkin juga menyukai