Anda di halaman 1dari 45

PERAN KANTOR PERTANAHAN DALAM KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH

SISTEMATIS LENGKAP (PTSL)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Administrasi Publik

DISUSUN OLEH:

MEIRZA NAUROH MAWADAH

21813223

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI (STIA) MALANG

MALANG

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................9\

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................9

1.4 Kerangka Berpikir.....................................................................................9

1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................10

1.5.1 Manfaat Teoritis...............................................................................10

1.5.2 Manfaat Praktis................................................................................11

BAB II....................................................................................................................12

KAJIAN PUSTAKA..............................................................................................12

2.1 Kebijakan Publik.....................................................................................12

2.2 Proses Kebijakan Publik..........................................................................13

2.3 Implementasi Kebijakan Publik..............................................................16

2.4 Kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasioal.........19

2.4.1 Tugas dan Fungsi BPN....................................................................21

2.5 Hak-Hak Atas Tanah...............................................................................22

2.5.1 Pendaftaran Tanah............................................................................24

2.6 Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).....................................25

2.6.1 Pembuktian Hak...............................................................................26

2.6.2 Ruang Lingkup dan Tujuan PTSL...................................................28

2.6.3 Obyek dan Tahapan PTSL...............................................................29

i
BAB III..................................................................................................................31

METODE PENELITIAN.......................................................................................31

3.1 Jenis Penelitian........................................................................................31

3.2 Lokasi Penelitian.....................................................................................32

3.3 Fokus Penelitian......................................................................................33

3.4 Sumber Data............................................................................................33

3.5 Jenis Data................................................................................................33

3.6 Teknik Pengumpulan Data......................................................................34

3.7 Metode Analisis Data..............................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pada hakekatnya manusia memiliki kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh manusia yang
terdiri dari sandang, pangan dan papan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan
yang sifatnya melengkapi kebutuhan primer, contohnya yaitu hiburan, olahraga,
dan rekreasi. Kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang dipenuhi setelah
kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi contohnya, mobil atau motor,
peralatan rumah tangga, dan perhiasan.

Tanah merupakan faktor ekonomi penting dan memiliki nilai strategis dari
mana pun baik sosial, politik atau kultur. Tanah tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat dari dulu sampai sekarang. Kebutuhan manusia terhadap
tanah semakin tahun semakin meningkat, hal tersebut disebabkan semakin
bertambahnnya jumlah penduduk yang semakin tinggi, disamping itu tanah
adalah aset yang berharga yang dipunyai oleh suatu negara.

Tanah adalah salah satu komponen terpenting dalam kehidupan manusia dan
tanah masuk dalam golongan papan atau artinya kebutuhan primer karena
manusia itu sendiri membutuhkan tempat untuk tinggal. Selain sebagai untuk
tempat tinggal tanah juga difungsikan sebagai tempat mata pencaharian oleh
seseorang. Seperti di Indonesia yang merupakan Negara Agraris sebagian besar
mata pencaharian penduduknya yaitu bertani dan berkebun.

Fungsi lain dari tanah yaitu sebagai tumbuh kembang dari social masyarakat
politik, dan berkembangnya suatu budaya di dalam masyarakat. Karena tanah
merupakan salah satu perekat Kesatuan Negara dan tanah juga yang sifatnya
tetap dalam pertumbuhannya, untuk itu tanah perlu dikelola dan di atur secara
nasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanah adalah permukaan

1
bumi atau lapisan bumi yang paling atas. Di Indonesia tanah sering menjadi
objek perselisihan atau sengketa di masyarakat, salah satu contoh penyebab

2
2

konflik yang berkaitan dengan tanah adalah jual beli tanah yang sering terjadi
di masyarakat ataupun tanah yang menjadi jaminan di Lembaga Keuangan
yaitu Bank, dan pada akhirnya ahli warislah nantinya yang akan terlibat dalam
permasalahan yang terjadi. Permasalahannya yaitu akan ada pihak – pihak yang
akan membuktikan hak – hak atas tanah tersebut, dengan demikian maka perlu
adanya kepastian hak atas kepemilikan tanah yang diatur pada dasar

hukum pasal 4 ayat (1) Undang – Undang pokok agraria, yang berbunyi :

“Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud
dalam pasal 2 di tentukan adanaya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat di berikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum”.

Didalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar


Pokok – pokok Agraria, atau yang sering disebut dengan Undang – Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan dasar di dalam pemberian jaminan
hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu pengertian Agraria dan Hukum Agraria dalam Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok – pokok Agraria di artikan
sangat luas, pengertian Agraria meliputi Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah, maka masyarakat harus mendaftarkan tanah tersebut
dan memperoleh sertifikat hak atas tanah. Fungsi dari sertifikat tanah salah
satunya adalah untuk sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan
tanah.

Pada Undang – Undang Pokok Agraria di atur bahwa hak – hak untuk tanah
yang dapat di daftarkan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa untuk bangunan yang tidak wajib untuk di
daftarkan. Pada perkembangannya amanat dari pasal 19 Undang – Undang
Pokok Agraria pada pelaksanaannya, di bentuklah Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 dari perubahan peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang pendaftaran tanah, yang didalamnya di atur tentang objek pendaftaran
3

tanah yaitu berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun, Hak Tanggungan Dan Tanah Negara. Perubahan peraturan pemerintah
ini di anggap mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan menentukan,
bukan hanya sebagai pelaksana akan tetapi di harapkan juga sebagai tulang
punggung yang menjadi berjalannya administrasi pertanahan sebagai salahsatu
program tertib pertanahan dan Hukum pertanahan di Indonesia.

Pembangunan yang sifatnya untuk memenuhi kepentingan pribadi,


contohnya pembangunan rumah, dan perumahan. Kesemuanya, baik untuk
pembangunan yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan publik, maupun
pribadi, tentu saja memerlukan tanah. Tanah-tanah tersebut di Indonesia
pengelolaannya ada pada Badan Pertanahan Nasional.

Asas merupakan fundamental yang mendasari terjadinya sesuatu dan


merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran
tanah. Oleh karena itu dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus
menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah. Dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran
tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana,aman, terjangkau, mutakhir dan
terbuka. Sejalan dengan asas yang terkandung dalam Pendaftaran Tanah, maka
tujuan yang ingin dicapai dari adanya pendaftaran tanah tersebut diatur lebih
lanjut pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan
pendaftaran tanah bertujuan :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada


pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar;
4

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi di bidang pertanahan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 Pasal


1 ayat (3) menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”
Negara hukum (konstitusional) yang memberikan jaminanan dan
memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak
warga negara untuk mendapatkan, mempunyai dan menikmati hak
miliknya.

Dengan usaha yang terus-menerus dan terprogram, pembangunan di


bidang pertanahan diharapkan dapat mewujudkan kondisi pemanfaatan dan
pemilikan tanah yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan ketentraman
serta keamanan warga masyarakat, bangsa dan negara. Sesuai dengan
konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang
memberikan landasan bahwa “bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar
besarnya untuk rakyat.

Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, yang sangat
penting bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat
agraria yang sedang membangun kearah perkembangan industri dan lain
sebagainya.

Di Indonesia negaralah yang mempunyai peranan kuat dalam menguasai


hak atas tanah, dengan negara menguasai hak atas tanah negara dapat
meminimalisir sengketa pertanahan. Sengketa yang terkait tanah merupakan
sengketa yang timbul dan menyangkut masyarakat dalam hak atas tanah
yang dimiliki oleh setiap individu yang memerlukan suatu kepastian hukum
dan jaminan atas sebuah tanahnya, dengan itu maka pemerintah perlu
adanya suatu pemerataan pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan
pendataan atas sebuah tanah, pemanfaatan sampai dengan pengendalian
hingga proses pendaftaran tanah oleh pemerintah yang berwenang dengan
pendaftran tanah secara serentak.
5

Pemerintah telah mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Nomor 5


tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Argaria, (UUPA).4
Setelah berlakunya UUPA, tentang pendaftaran tanah di atur dalam UUPA
Pasal 19 yang sebagaimana berbunyi :

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan


pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan


Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta
kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) diatas, dengan
ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran-pembayaran tersebut. Pemberian jaminan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia,
yang menjadi salah satu tujuan di undangkan UUPA dapat terwujud
melalui dua upaya, yaitu:
1. Tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas
yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan
ketentuan- ketentuannya.
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi
pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan
hak atas tanah yang dikuasainya, dan bagi pihak yang
berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor,
6

untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai


tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum akan dilakukan,
serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan
pertanahan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia atau PP nomor 24 Tahun 1997


tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka
rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan
alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut
berupa Buku Tanah dan Sertifikat yang terdiri dari Salinan Buku Tanah
dan Surat Ukur.

Peraturan Pemerntah Nomor 24 tahun 1997 merupakan langkah oprasional


untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematis didasarkan pada
suatu rancangan kerja yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek
pendaftaran tanah dan dilaksanakan di wilayah desa atau/ kelurahan.

Pendaftaran tanah pertama kali di laksanakan melalui pendaftaran


sistematik dan sporadik. Dimana pendaftaran sistematik itu di laksanakan
atas ide Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang di dasarkan
pada rencana kerja jangka panjang dan berkesinambungan. Untuk
pendaftaran tanah secara sporadik di laksanakan atas permintaan dari
pihak yang membutuhkan, yaitu pihak yang berhak atas tanah atau
masyarakat yang membutuhkan. Kemudian pendaftaran tanah akan
menghasilkan dua macam data, yang pertama data fisik dan yang kedua
data yuridis. Data fisik ini adalah data yang berkaitan dengan keterangan
letak tanah, batas – batas dan luas bidang tanah dan untuk yang kedua data
yuridis adalah keterangan soal status hukum pada bidang tanah, serta
beban lain – lain yang membebaninya.

Agar dapat menjalankan amanah reformasi agraria hingga kesetiap


daerah, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mulai melakukan
7

tindakan yang mewajibkan pada seluruh kantor wilayah pertanahan di


Indonesia agar wajib melaksanakan reformasi agraria. Pada Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok - pokok
Agraria yang menjelaskan bahwa semua masyarakat yang memiliki
sebidang tanah agar wajib memiliki sertifikat tanah, akan tetapi
penyelenggaraan dari Undang – Undang tersebut tidak sepenuhnya
berjalan secara lancar sebagaimana yang di harapkan. Hal ini di karenakan
untuk masayarakat desa yang belum banyak mengetahui pentingnya akan
sertifikat tanah.

Pendaftaran tanah yang memerlukan biaya tinggi, berbanding


terbalik dengan pendapatan masyarakat yang masih rendah menyebabkan
kendala bagi masayarakat ekonomi lemah untuk mensertifikatkan
tanahnya. Masalah lain yang terjadi yaitu, birokrasi yang terkesan berbelit
– belit, keterlambatan atau lamanya waktu penerbitan sertifikat dari yang
berbulan – bulan hingga ada yang tahunan, serta jarak pusat pelayanan
administrasi pertanahan di Desa Gerbo yang jauh membuat masayarakat
itu sendiri enggan untuk melegalisasikan tanah yang dimiliki.

Masalah - masalah yang selama ini ada di masyarakat wajib untuk di


selesaikan di carikan solusinya. Melatar belakangi hal – hal tersebut, guna
untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan kepada masyarakat pada
bidang pertanahan, maka Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
membuat terobosan – terobosan baru untuk memecahkan masalah yang
ada di masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran tanah atas seluruh
bidang tanah di Indonesia. Adapun bentuk nyata keseriusan Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia di dalam menangani masalah
yang timbul pada masyarakat melalui kebijakan reformasi agrarian
khususnya bagi masyarakat yang perekonomian lemah adalah menciptakan
program – program yang strategis. Program – program strategis ini di
harapkan sebagai alat untuk mengurangi dan memecahkan masalah yang
ada di masyaarakat. Program – program ini misalnya seperti
8

program Sertifikasi Tanah Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria),


Sertifikasi Tanah UKM (Sertifikasi Tanah Usaha kecil dan Usaha Mikro),
Sertifikasi Tanah MBR (Sertifikasi Tanah Masyarakat Berpenghasilan
Rendah), Sertifikasi Tanah Pertanian, Sertifikasi Tanah Nelayan, dan
Sertifikasi Tanah Transmigrasi.

Pelaksanaan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Indonesia


didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pelaksanaan pendaftaran tanah diselengarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Pasal
11).17 Pendaftaran tanah untuk pertama kali merupakan kegiatan
pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendfataran tanah yang belum
terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui


pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu Desa/Kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik
diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana
kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.

Dalam hal suatu Desa/Kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah


pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sporadik
merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu
atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu Desa/Kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah
secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan,
9

yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan
atau kuasanya.

Pada tahun 2017 secara Nasioanal, Kementerian Agraria dan Tata


Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional mengusulkan 5 juta bidang
tanah yang akan didata selanjutnya dibuatkan sertipikat gratis oleh masing
– masing BPN setempat di daerah – daerah.

Di Desa Gerbo sendiri telah mencapai 4088 sertifikat tanah yang sudah
diterbitkan, penerbitan tersebut melalui beberapa gelombang, yaitu
gelombang I – Vll. Desa Gerbo adalah salah satu Desa yang mempunyai
wilayah paling luas di Kabupaten Pasuruan, yang terdiri dari 70 RT/ 15
RW dan mempunyai 6 Dusun yang terdiri dari 2759 KK dan 10.195 warga

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis ingin meneliti
tentang. “PERAN KANTOR PERTANAHAN DALAM KEGIATAN
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL)”
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran kantor pertanahan dalam kegiatan pendaftaran
tanahsistematis lengkap (PTSL) ?

I.3 Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah :

Adanya penelitian ini yaitu bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran


kantor pertanahan dan model dengan variabel – variabel yang dikaitkan
penelitian, sehingga dapat mengetahui dan menganalisis implementasi
kebijakan pendaftaran tanah sistematis lengkap.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi


berbagai pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.

I.4 Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir adalah suatu model konseptual yang digunakan
sebagai landasan teori yang terkait dengan faktor-faktor dalam penelitian.
10

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir

I.5 Manfaat Penelitian


Dari hasil sebuah penelitian pada dasarnya mempunyai manfaat atau
kegunaan baik bagi peneliti maupun orang lain. Maka dari itu kegunaan
penelitian ini sebagai berikut :

I.5.1 Manfaat Teoritis


1.Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

2.Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang lain

sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

3.Memberikan sumbangan pemikiran untuk keperluan pengetahuan

ilmu administrasi publik pada umumnya dan dalam pelaksanaan

pelayanan publik.
11

4.Sebagai sarana memperluas pengetahuan, pengalaman, sebelum

terjun ke dunia kerja sesungguhnya.

5.Memberikan masukan pada para akademisi untuk memberikan

kontribusi terhadap pengembangan literatur Ilmu Administrasi

Publik di Indonesia terutama dalam pelaksanan perumusan

kebijakan, dan dapat digunakan sebagai acuan peneliti

selanjutnya.

I.5.2 Manfaat Praktis


1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh program gelar
proses sarjana strata satu (S1) pada jurusan Ilmu Administrasi
Publik, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Publik


Kebijakan itu ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan
tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan. Rose dalam Muchlis Hamdi (2014: 36)
mengartikan kebijakan lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dan akibatnya bagi mereka yang berkepentingan,
dari pada hanya sekedar suatu keputusan. Pendapat lain dikemukakan oleh
Friedrich dalam Muchlis Hamdi (2014: 36) yang memandang kebijakan
sebagai suatu tindakan yang disarankan mengenai perorangan, kelompok
atau pemerintahan dalam suatu lingkungan tertentu yang berisikan
hambatan dan kesempatan yang akan diatasi atau dimanfaatkan melalui
kebijakan yang disarankan dalam upaya mencapai suatu tujuan atau
mewujudkan suatu maksud. Anderson dalam Muchlis Hamdi (2014: 36)
mengartikan kebijakan sebagai suatu rangkaian tindakan bertujuan yang
diikuti oleh seseorang atau kelompok aktor berkenaan dengan suatu masalah
atau suatu hal yang menarik perhatian.

Anderson dalam Subarsono (2005: 2) mendefinisikan kebijakan


publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat
pemerintah.Kebijakan publik menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2005:
2) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan.

Eystone dalam Muchlis Hamdi (2014: 36) secara umum, kebijakan


pemerintah merupakan hubungan antara suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya. Demikian pula menurut Wilson (2006: 154) yang

12
merumuskan kebijakan publik adalah tindakan – tindakan, tujuan – tujuan
dan pernyataan – pernyataan pemerintah mengenai masalah – masalah
tertentu,

13
13

langkah – langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk


diimplementasikan, dan penjelasan – penjelasan yang di berikan oleh
mereka mengenai apa yang telah terjadi atau tidak terjadi.

Harrold Laswell dan Abraham Kaplan (dikutip dari Dye, 1981) dalam
Subarsono (2005: 3) berpendapat bahwa lebijakan publik hendaknya berisi
tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.
Selain itu menurut Anderson dalam Muchlis Hamdi (2014: 36) mengartikan
kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh lembaga
atau pejabat pemerintah. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli
tentang kebijakan publik diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa
kebijakan publik adalah suatu tindakan yang sengaja dibuat kemudian
dilaksankan ataupun tidak oleh pemerintah untuk tercapainya tujuan
kebijakan tersebut.

II.2 Proses Kebijakan Publik


Proses analisis kebijakan publik dalam Subarsono (2005:8) adalah
serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang
bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian
kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Menerut
William N.Dunnn (1994:17) proses kebijakan publik meliputi :

1. Penyusunan agenda
2. Formulasi kebijakan
3. Adopsi kebijakan
4. Implementasi kebijakan
5. Penilaian kebijakan

Menurut Ripley dalam Subarsono (2005: 11) dalam proses kebijakan


meliputi tiga kegiatan yaitu:

1. Penyusunan Agenda
14

Dalam penyusunan agenda kegiatan ada empat kegiatan yang perlu


dilakukan yakni :
1) Membangun persepsi dikalangan steakholders bahwa sebuah
fenomena benar – benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa
jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu
dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarkat yang lain
atau elite politik bukan dianggap masalah.
2) Membuat batasan masalah, dan
3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk
dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat
dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok – kelompok
yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan – kekuatan politik,
publikasi melalui media massa dan sebagainya.
2. Formulasi dan Legitimasi Kebijakan Pada tahap formulasi dan
legitimasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan
menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang
bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-
alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan
negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.
3. Implementasi Kebijakan Pada tahapan ini perlu dukungan
sumberdaya, dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.
Dalam proses implementasi sering ada mekanismen insentif dan
sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik.
Evaluasi dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan
dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap
18 implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini
bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru dimasa yang akan
datang lebih baik dan lebih berhasil.

James Anderson dalam Subarsono (2005: 12) sebagai pakar kebijakan


publik menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut :
15

1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa


yang membuat masalah tersebut menjadi masalah kebijakan?
Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda
pemerintah?
2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan
pilihan -pilihan atau alternatif - alternatif untuk memecahkan
masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi
kebijakan?
3. Penentuan kebijakan (adaption): bagaimana alternatif ditetapkan?
Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa
yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau
strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan
yang telah ditetapkan?
4. Implementasi (implementation): siapa yang terlibat dalam
implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak
dari isi kebijakan?
5. Evaluasi (evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak
kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa
konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan
untuk melakukan perubahan atau pembatalan?

Michael Howlet dan M. Ramesh dalam Subarsono (2005:13)


menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai
berikut :

1. Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu


masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan
pilihan – pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika
pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak
melakukan sesuatu tindakan.
16

4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses


untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

Berdasarkan beberapa pendapat menurut para ahli diatas, maka penulis


menarik kesimpulan bahwa pendapat yang paling tepat adalah menurut
Michael Howlat dan M. Ramesh yang menyatkan proses kebijakan itu
terdiri dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan, pembuatan kebijakan,
implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Berdasarkan beberapa
pendapat menurut para ahli diatas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa
pendapat yang paling tepat adalah menurut Michael Howlat dan M. Ramesh
yang menyatkan proses kebijakan itu terdiri dari penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan dan
evaluasi kebijakan.

II.3 Implementasi Kebijakan Publik


Implementasi menurut Prof. H. Tachjan adalah proses yang kompleks,
melibatkan dimensi organisasi, kepemimpinan, bahkan manajerial dari
pemerintah sebagai pemegang otoritas. Implementasi memegang nilai-nilai
kepercayaan (trust) dan tanggung jawab (responsibility).

Guntur Setiawan menjelaskan bahwa implementasi adalah perluasan


aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan
tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana birokrasi
yang efektif.

Implementasi kebijakan publik tidak hanya mencakup operasionalisasi


kebijakan publik ke dalam mekanisme birokratis, tapi juga terkait dengan
bagaimana agar kebijakan publik tersebut dapat diterima, dipahami, dan
didukung oleh kelompok sasaran. Hal ini merupakan bagian dari proses
politik. Sebagai Bagian dari proses politik, maka implementasi kebijakan
publik juga perlu memperhatikan berbagai jaringan kekuatan politik,
17

ekonomi, dan sosial yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang
terlibat, sehingga kebijakan publik tersebut dapat mencapai harapan yang
diinginkan. Perspektif birokratis memandang implementasi kebijakan publik
sebagai proses yang cenderung bersifat linier, patuh pada rangkaian
mekanisme, dan cenderung mekanistis. Padahal, kenyataannya,
implementasi kebijakan publik tidak bersifat linier apalagi mekanistik.
Keberhasilan implementasi kebijakan publik lebih banyak ditentukan
melalui proses negosiasi, tawar-menawar, atau lobby untuk menghasilkan
kompromi. Namun, kapasitas lembaga pelaksana tetap diperlukan untuk
mengelola beragam kepentingan tersebut.

Pada praktiknya, implementasi kebijakan publik tidak selalu sejalan


dengan apa yang sudah direncanakan dalam tahap formulasi kebijakan
publik, atau antara visi dengan realitas. Hampir selalu terjadi distorsi antara
hal-hal yang ingin dicapai dengan hal-hal yang tercapai atau terealisasikan.
Banyak faktor yang dapat menimbulkan distorsi tersebut, misalnya sumber
dana minimal yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia, sementara
pelaksanaan kebijakan publik itu tidak bisa ditunda. Demikian pula dengan
kualitas pelaksana yang sebetulnya tidak memenuhi kriteria minimal yang
dibutuhkan. Karena itu, Grindle (1980) menyebutkan 3 (tiga) hambatan
besar yang acapkali muncul dalam pelaksanaan suatu kebijakan publik,
yakni :

1) ketiadaan kerjasama vertikal, antara atasan dengan bawahan;


2) hubungan kerja horisontal yang tidak sinergis; dan
3) masalah penolakan terhadap perubahan yang datang dari publik
maupun kalangan birokrasi sendiri. Untuk mengatasi hambatan ini,
maka pelaksana kebijakan publik perlu memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan kondisi yang berkembang. Berbeda dengan
formulasi kebijakan publik yang mensyaratkan rasionalitas dalam
membuat suatu keputusan, keberhasilan implementasi kebijakan
publik kadangkala tidak hanya memerlukan rasionalitas, tapi juga
18

kemampuan pelaksana untuk memahami dan merespon harapan-


harapan yang berkembang di masyarakat, di mana kebijakan publik
tersebut akan dilaksanakan. implementasi merupakan fungsi yang
terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari
akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari
implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator,
Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan
itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh
implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan


realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan
pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan
kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

Dengan demikian, keberhasilan implementasi kebijakan publik


memerlukan pendekatan top-down dan bottomup sekaligus. Pendekatan top-
down terutama berfokus pada ketersediaan unit pelaksana (birokrasi);
standar pelaksanaan; kewenangan; koordinasi; dll. Pendekatan bottom-up
menekankan pada strategi-strategi yang digunakan oleh pelaksana saat
menentukan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik
publik sebagai dasar untuk memahami kebijakan publik itu secara
keseluruhan.

Pada suatu aktivitas, implementasi mengacu pada suatu tindakan


untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
keputusan. Tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan – keputusan
tersebut menjadi pola – pola operasional serta berusaha mencapai perubahan
– perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya, implementasi juga merupakan langkah yang sangat penting di
dalam proses kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Wahab
19

(2012: 135) merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan


yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijakan .Menurut Daniel dan Paul A.
Sabatier dalam Wahab (2012: 135) menjelaskan makna implementasi ini
dengan mengatakan bahwa, memahami apa yang senyata terjadi sesudah
suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijakan.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas maka penulis


menarik kesimpulan bahwa, implementasi kebijakan ialah suatu aktivitas
yang dilaksanakan setelah di keluarkan pengarahan yang sah dari suatu
kebijakan yang meliputi upaya input untuk menghasilkan output atau
outcome bagi masyarakat.

II.4 Kementrian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasioal


Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo fungsi dan tugas dari
organisasi Badan Pertanahan Nasional dan Direktorat Jenderal Tata Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum digabung dalam satu lembaga kementerian yang
bernama Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sejak 23 Oktober 2019 jabatan
Kepala BPN dipangku oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto.

Pada era 1960 sejak berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria


(UUPA), Badan Pertanahan Nasional mengalami beberapa kali pergantian
penguasaan dalam hal ini kelembagaan. tentunya masalah tersebut berpengaruh
pada proses pengambilan kebijakan. ketika dalam naungan kementerian agraria
sebuah kebijakan diproses dan ditindaklanjuti dari struktur Pimpinan Pusat sampai
pada tingkat Kantah, namun ketika dalam naungan Departemen Dalam Negeri
hanya melalui Dirjen Agraria sampai ketingkat Kantah. disamping itu secara
kelembagaan Badan Pertanahan Nasional mengalami perubahan struktur
kelembagaan yang rentan waktunya sangat pendek.
20

Untuk mengetahui perubahan tersebut di bawah ini adalah sejarah


kelembagaan Badan Pertanahan Nasional:

a) 1960, Pada awal berlakunya UUPA, semua bentuk peraturan tentang


pertanahan termasuk Peraturan Pemerintah masih dikeluarkan oleh
Presiden dan Menteri Muda Kehakiman. kebijakan itu ditempuh oleh
pemerintah karena pada saat itu Indonesia masih mengalami masa transisi.
b) 1965, Pada tahun 1965 agraria dipisah dan dijadikan sebagai lembaga
yang terpisah dari naungan menteri pertanian dan pada saat itu menteri
agraria dipimpin oleh R.Hermanses. S.H
c) 1968, Pada tahun 1968 secara kelembagaan mengalami perubahan.pada
saat itu dimasukan dalam bagian departemen dalam negeri dengan nama
direktorat jenderal agraria. selama periode 1968 – 1990 tetap bertahan
tanpa ada perubahan secara kelembagaan begitupula dengan peraturan
yang diterbitkan.
d) 1988–1990, Pada periode ini kembali mengalami perubahan. lembaga
yang menangani urusan agraria dipisah dari departemen dalam negeri dan
dibentuk menjadi lembaga non departemen dengan nama badan
pertanahan nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono dengan
catur tertib pertanahannya. pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan
karena merupakan awal terbentuknya badan pertanahan nasional.
e) 1990, Pada periode ini kembali mengalami perubahan menjadi menteri
Negara agraria/badan pertanahan nasional yang masih dipimpin oleh
Ir.Soni Harsono. pada saat itu penambahan kewenangan dan tanggung
jawab yang harus diemban oleh badan pertanahan nasional. 1998
f) Pada tahun ini masih menggunakan format yang sama dengan nama
Menteri Negara agraria/badan pertanahan nasional.perubahan yang terjadi
hanya pada puncuk pimpinan saja yakni Ir.Soni Harsono diganti dengan
Hasan Basri Durin.
21

g) 2002–2006, tahun 2002 kemudian mengalami perubahan yang sangat


penting.pada saat itu badan pertanahan nasional dijadikan sebagai lembaga
Negara.kedudukannya sejajar dengan kementerian.pada awal terbentuknya
BPN RI dipimpin oleh Prof.Lutfi I.Nasoetion, MSc.,Ph.D

h) 2006–2012, pada tahun 2006 sampai 2012 BPN RI dipimpin oleh Joyo
Winoto, Ph.D. dengan 11 agenda kebijakannya dalam kurun waktu lima
tahun tidak terjadi perubahan kelembagaan sehingga tetap pada format
yang sebelumnya.
i) 2012–2014, Pada tanggal 14 Juni 2012 Hendarman Supandji dilantik
sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)
menggantikan Joyo Winoto.
j) 2014–sekarang, Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dibuat
Kementerian baru bernama Kementerian Agraria dan Tata Ruang
Indonesia, sehingga sejak 27 Oktober 2014, Badan Pertanahan Nasional
berada di bawah naungan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Jabatan Kepala
BPN dijabat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan
Baldan hingga 24 Juli 2016. Saat ini Kepala BPN dijabat oleh Hadi
Tjahjanto.

II.4.1 Tugas dan Fungsi BPN


BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas, BPN menyelenggarakan fungsi:

1. penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;


2. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan;
3. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
22

4. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan


pengendalian kebijakan pertanahan;
5. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
6. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan
penanganan sengketa dan perkara pertanahan;
7. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
8. pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
9. pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
10. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
11. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

II.5 Hak-Hak Atas Tanah


Hak – hak atas tanah termasuk salah satu hak perseorangan atas tanah, hak
perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama – sama,
badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan,
dana/atau mengambil manfaat dari tanah tertentu. Hak – hak perseorangan
atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak tanggungan,
dan hak milik atas satuan rumah susun.Tanah dalam pengertian yuridis
menurut UUPA adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah
hak atas permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung
pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan
(nonpertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung
pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan
23

mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan,


peternakan dan perkebunan.

Dasar hukum pemberian hak atas tanah kepada perseorangan


dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam –
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersama –
sama dengan orang – orang lain serta badan – badan hukum”.

Adapun hak-hak atas tanah yang wajib didaftarkan tersebut adalah


hak milik (Pasal 23 UUPA), hak guna usaha (Pasal 32 UUPA), hak guna
bangunan (Pasal 38 UUPA), dan hak pakai (Pasal 43 PP Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah). Kewajiban yang menjadi beban pemegang hak atas tanah ini lazim
disebut dengan pendaftaran hak atas tanah.

1. Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang


tanah yang bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang
ada bukan hanya bersifat kepemilikan saja, melainkan bersifat
psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah berhak milik
yang dapat diwakafkan. Hak ini adalah model hak atas tanah yang
terkuat dan terpenuh.
2. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah yang
dikuasai oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau
peternakan. Hak guna usaha dapat diperoleh oleh perorangan
Indonesia atau perusahaan Indonesia. Jangka waktu hak guna usaha
adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi perusahaan.
Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun.
3. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling
24

lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat diperoleh oleh perorangan


Indonesia atau badan hukum Indonesia. Hak guna bangunan dapat
diletaki di atas tanah negara atau tanah hak milik.
4. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain.
Namun, hak tersebut muncul bukan karena perjanjian sewa atau
perjanjian pengolahan tanah. Baik warganegara Indonesia maupun
warganegara asing dapat memiliki hak pakai. Begitu pula badan
hukum Indonesia dan badan hukum asing.
5. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk
memanfaatkan sumber daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa
hutan tersebut dimiliki oleh si penerima hak.

II.5.1 Pendaftaran Tanah


Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang – bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang –
bidang tanah yang sudah ada haknya, dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.

Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria dan ditegaskan


kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah
untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.
Kepastian hukum yang dapat dijamin meliputi kepastian mengenai
letak batas dan luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas
tanah dan pemberian surat berupa sertipikat.

Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan


kepastian hukum dikenal dengan sebutan rechts cadaster/legal
cadaster. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam
25

pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status hak yang didaftar,


kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini
menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Kebalikan dari
pendaftaran tanah yang rechts cadaster, adalah fiscaal cadaster,
yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang
wajib membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah ini
menghasilkan surat tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, yang
sekarang dikenal dengan sebutan Surat Pemberian Pajak Terhutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).

Menurut Boedi Harsono, ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran


tanah yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan
sistem pendaftaran hak (registration of titles). Dalam sistem
pendaftaran hak, setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan
hukum yang menimbulkan perubahan, kemudian juga harus
dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan
pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya
yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta hanya
merupakan sumber datanya. Sistem pendaftaran hak tampak dengan
adanya Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan
data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat
sebagai surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar.

II.6 Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)


Pendafataran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat
PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak bagi semua objek Pendaftaran Tanah di seluruh
Wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah Desa/Kelurahan atau nama
lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fi sik
dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
untuk keperluan pendaftarannya.
26

Di dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan


Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 pada Pasal
1 menyebutkan bahwa, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang
setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran
data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran
tanah untuk keperluan pendaftarannya.

II.6.1 Pembuktian Hak


Pembuktian hak dalam pelaksanaan PTSL diatur dalam Pasal 22
Peraturan Menteri/Ka. BPN No. 6 Tahun 2018. Persoalannya terkait
surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik
bidang tanah dengan itikad baik dalam hal bukti kepemilikan tanah
tidak lengkap atau tidak ada sama sekali.

Ketentuan Pasal 22 ini mensyaratkan adanya surat


pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dan
dengan itikad baik. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah
harus disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari
lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dan
dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana.
Apabila di kemudian hari terdapat unsur ketidakbenaran dalam
pernyataannya, bukan merupakan tanggung jawab Panitia Ajudikasi
PTSL. Ketentuan ini dapat diartikan sebagai berikut :

a. Penguasaan fisik bidang tanah yang dimaksud adalah selama


20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut tidak
boleh kurang dari 20 tahun dan atau diselinggi oleh jeda waktu
misalnya penguasaan baru 10 tahun karena peristiwa tertentu
beralih ke pihak lain, kemudian genap mau 20 tahun kembali
ke penguasaan semula, serta penguasaan tanahnya tidak
27

digangu gugat oleh pihak


lainsesuaidenganPasal24ayat(2)PPNo. 24 Tahun 1997.
b. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah harus
disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi. Ketentuan
ini berpotensi adanya pemalsuan surat penyataan seharusnya
dapat diperkuat kesaksian orang yang dapat dipercaya,
misalnya disaksikan oleh 2 orang saksi dan diketahui oleh RT,
RW, dan desa/kelurahan. Adanya akibat hukum apabila
ditemukan memalsukan isi dan penandatanganan surat
pernyataan yaitu bersedia dituntut dimuka hakim secara pidana
maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
c. Apabila adanya unsur ketidakbenaran surat pernyataan bukan
merupakan tanggung jawab Panitia Ajudikasi PTSL. Ini
merupakan bentuk perlindungan diri dari jerat hukum Panitia
Ajudikasi PTSL dan hal ini dapat dibenarkan karena dalam
aspek pembuktian tidak mempuyai kewenangan hak uji materil
tentang kebenaran surat pernyataan, hanya hak uji formal saja
mengenai syarat-syarat adminsitasi. Misalnya, mengecek surat
pernyataan sudah ditandatangani oleh para pihak, kebenaran
tentang kesesuaian antara orang yang menandatangani bukan
merupakan kewenangan Panitia Ajudikasi.

Di sisi lain, pengaturan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang


Tanah harus juga memperhatikan peraturan lain seperti Peraturan
Daerah (Perda). Karena ada daerah-daerah tertentu mengatur Surat
Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah tersediri dalam bentuk
Perda. Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu No. 13
Tahun 2016 tentang Registrasi Surat Pernyataan Penguasaan Fisik
Bidang Tanah, yang mengatur atau mensyaratkan kewajiban
registrasi, adanya prosedur, larangan dan pengawasan, pelaporan dan
sanksi dalam hal pendaftaran atau pencatatan dari pemohon guna
mendapatkan Nomor Register Surat Pernyataan Penguasaan Fisik
28

Bidang Tanah dari desa/lurah untuk mewujudkan tertib administrasi


pertanahan di desa/kelurahan.

Untuk meminimalisir terjadinya kasus sengketa tanah,


peran dan koordinasi desa/kelurahan tidak diabaikan dalam membuat
Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai bukti
formal penguasaan atas tanah dengan itikad baik harus ada
pengakuan dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan.

Selanjutnya, unsur itikad baik dari kenyataan secara fisik


menguasai, menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara tanah
secara turun temurun dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh
dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pada dasarnya itikad baik dimaknai dengan kejujuran,


kejujuran pemegang hak dalam perolehan tanahnya, jujur dalam
memenuhisyarat-syaratyangtelahditentukan. Ketentuan itikad baik
merupakan lawan dari itikad buruk atau ketidakjujuran. Sulit untuk
mengindentifikasi itikad baik karena mempuyai makna yang abstrak
sehingga menimbulkan makna yang berbeda-beda. Itikad baik dalam
pengertian Pasal 22 jujur dalam mengusai fisik atas tanah dan jujur
dalam memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ukuran telah
melakukan itikad baik dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam
bentuk pengiraan-pengiraan dalam hati bahwa pemohon telah
memenuhi syarat-syarat administrasi yang telah ditentukan.

II.6.2 Ruang Lingkup dan Tujuan PTSL


Ruang lingkup peraturan menteri ini adalah percepatan
pelaksanaan program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL)
yang dilaksanakan desa demi desa di wilayah kabupaten dan
29

kelurahan demi kelurahan di wilayah perkotaan yang meliputi semua


bidang tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)


meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang tanah
yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah yang
memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran
tanah,21 yang meliputi bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya
maupun yang akan ditetapkan tanda batasnya dalam pelaksanaan
PTSL.

Tujuan dari pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL)


adalah untuk percepatan pemberian kepastian hukum dan
perlindungan hukum Hak atas tanah masyarakat secara pasti,
sederhana, cepat, lancar, aman, adil, merata dan terbuka serta
akuntabel sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat dan ekonomi negara, serta mengurangi dan
mencegah sengketa dan konflik pertanahan.

II.6.3 Obyek dan Tahapan PTSL


Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dilaksanakan
untuk seluruh obyek pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia. Obyek PTSL ini sendiri meliputi seluruh bidang tanah
tanpa terkecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas
tanahnya maupun bidang tanah hak, baik merupakan tanah aset
Pemerintah/Pemerintah daerah, Tanah Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Tanah Desa, Tanah Negara,
Tanah Masyarakat Hukum Adat, Kawasan Hutan, Tanah Obyek
Landrefrom, bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun
yang akan ditetapkan tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan
PTSL. Tanah Transmigrasi, dan Tanah bidang lainnya. Obyek PTSL
sebagai mana yang dimaksud diatas adalah baik untuk bidang tanah
30

yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan tanda
batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL.

Sesuai dengan Ketentuan Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri


Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
6 Tahun 2018 pelaksanaan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) dilakukan dengan tahapan:

a. Perencanaan;
b. Penetapan Lokasi;
c. Persiapan;
d. Pembentukan dan penetapan panitia ajudikasi PTSL dan satuan
tugas;
e. Penyuluhan;
f. Pengumpulan data fi sik dan pengumpulan data yuridis;
g. Penelitian data yuridis untuk pembuktian hak;
h. Pengumuman data fi sik dan data yuridis serta pengesahannya;
i. Penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak;
j. Pembukuan hak;
k. Penerbitan sertifi kat hak atas tanah;
l. Pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan; dan
m. Pelaporan
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian


Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2015:5) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Pendekatan kualitatif adalah
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha
mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang.
Penelitian deskriptif memusatkan perhatian pada masalah aktual sebagai mana
adanya pada saat penelitian berlangsung.

Penelitian deskriptif sesuai karakteristiknya memiliki langkah-langkah


tertentu dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah ini sebagai berikut: diawali
dengan adanya masalah, menentukan jenis informasi yang diperlukan,
menentukan prosedur pengumpulan data melalui observasi atau pengamatan,
pengolahan informasi data, dan menarik kesimpulan penelitian.

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
dikumpulkan dengan wawancara terstruktur, yakni wawancara dengan
menggunakan kuesioner kepada responden.

Untuk memecahkan masalah yang di hadapi secara jelas baik arah dan
ruang lingkupnya maka perlu terlebih dahulu menentukan langkah-langkah

31
32

dalam metode penelitian yang digunakan agar ejala penelitian ini dapat di
ungkapkan , di rumuskan secara efektif , rasional dan sistematis.

Langkah-langkah dalam memecahkan masalah tersebut merupakan


metode untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini sesuai dengan apa yang
ditemukan oleh Ismani dan Suyadi (1993:9) ,bahwa “penelitian deskriptif
adalah membuat pencatatan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
situasi dari daerah tertentu”.

Menurut Sukarahmad (1996:140) bahwa metode deskriptif mempunyai


ciri-ciri berikut:

1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa


sekarang,pada masalah-masalah aktual.
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun,dijelaskan dan kemudian
dianalisa (karena metode ini sering pula disebut metode analitik).

Dengan demikian penelitian ini berupaya mendeskripsikan,


menguraikan, menginterprerstasikan permasalahan serta kemudian mengambil
kesimpulan dari permasalahan tersebut.

III.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Gerbo Kecamatan Purwodadi
Kabupaten Pasuruan, pada dasarnya penulis mengambil tempat ini karena
Desa Gerbo Sedang Melaksanakan Program Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL). Sesuai dengan penjabaran diatas dan untuk mengetahui fenomena
yang terjadi secara praktis dan kenyataannya peneliti mengambil lokasi pada
Kabupaten Pasuruan.
33

III.3 Fokus Penelitian


Fokus penelitian merupakan inti yang didapatkan dari pengalaman
peneliti atau melalui pengetahuan yang diperoleh dari studi kepustakaan
ilmiah., adapun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pelaksanaan kebijakan publik di bidang kesejahteraan


masyarakat

III.4 Sumber Data


Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini antara lain data
primer yang merupakan data yang di dapat dari sumber pertama atau sumber
asli dan data sekunder yang adalah data pendukung yang berasal dari
dokumen – dokumen, catatan, laporan serta arsip – arsip yang berkaitan
dengan fokus yang ada pada Kantor Desa Gerbo.

III.5 Jenis Data


Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini sebagai berikut :

a. Data Primer
Merupakan data yang di dapat dari sumber pertama atau sumber asli
(langsung dari fenomena). Data ini merupakan data mentah yang
nantinya akan di proses untuk tujuan tertentu sesuai dengan
kebutuhan. (Usman dan Abdi, 2008 :212)
Adapun informan yang bersedia untuk dilakukan wawancara yaitu
Sekretaris Desa Bapak Subari S.AP
b. Data Sekunder
Data pendukung yang berasal dari dokumen – dokumen, catatan,
laporan-laporan serta arsip-arsip yang berkaitan dengan fokus yang
ada pada Kantor Desa Sukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten
Malang
34

III.6 Teknik Pengumpulan Data


Alat yang digunakan dalam pengumpulan data tidak dapat dipisahkan
dengan teknik pengumpulan data. Oleh karena itu, pembahasan tentang alat
penelitian tidak dipisahkan dari teknik sebab antara keduamya saling
ketergantungan satu sama lain (Usman dan Abdi, 2008 :213).

Disini peneliti menggunakan beberapa cara untuk mengumpulkan data


diantaranya adalah :

1. Observasi
Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan
yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap fenomena yang dijadikan objek
pengamatan dan pengamatan adalah alat pengumpulan data yang di
lakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik
gejala – gejala yang di selidiki. Ciri – ciri pengamatan adalah
sebagai berikut :
a) Mempunyai arah khusus.
b) Sistematik.
c) Bersifat Kualitatif
d) Menuntut keahlian.
e) Hasilnya dapat di cek dan dibuktikan.

Peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan data secara

sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala

pada objek penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh selama

observasi, selanjutnya penulis mendalami dan mengkaji data lebih

dalam lagi, sehingga apabila masih terdapat kekurangan-

kekurangan data dapat dicari dan diperoleh serta diperjelas kembali


35

dalam proses wawancara untuk menguatkan data hasil yang

diperoleh selama observasi.

2. Wawancara
Wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan,
sepihak, berhadapan muka, dan dengan arah tujuan yang telah
ditentukan dan kegiatan mencari bahan (keterangan dan pendapat)
melalui Tanya Jawab lisan dengan siapa saja yang di perlukan.
Peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat pengguna
layanan Kantor Desa, Kepala Bagian Umum dan Sekretaris Desa
Diharapkan hasil dari wawancara dapat mengungkapan latar
belakang, motif – motif yang ada dalam pelayanan publik.
3. Dokumentasi

Dokumentasi dalam hal ini berarti cara mengumpulkan data


dengan mencatat data yang sudah ada dalam dokumen atau arsip.
Dokumentasi sebagai data untuk membuktikan penelitian karena
dokumen merupakan sumber yang stabil, dapat berguna sebagai
bukti untuk pengujian dan mempunyai sifat yang alamiah.
Dokumentasi yang dibutuhkan berupa foto-foto pada saat proses
saat melakukan observasi maupun wawancara, dokumentasi ini
dilakukan untuk memperjelas data yang dikumpulkan sebagai bukti
dari faktor-faktor yang diteliti. Penulis mengambil dokumen dengan
menggunakan kamera foto pada saat menjelang ataupun selama
proses penelitian.
36

III.7 Metode Analisis Data


Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi,

dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam

unitunit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang

penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah

difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2014: 244).

Menurut Miles dan Huberman dalam Sugioyono (2016: 337), aktivitas

dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung

secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga data sudah jenuh. Aktivitas

dalam analisis data antara lain:

1. Data Collection (Pengumpulan Data).

Tahap pengumpulan data yaitu proses memasuki lingkungan

penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian, melalui

wawancara beberapa Stakeholder pemerintahan maupun wawancara

beberapa wartawan media masa, mengumpulkan dokumen-dokumen

yang dapat membantu peneliti dalam membahas permasalahan yang

ada.

2. Data Reduction (Reduksi Data)


37

Pada saat penelitian, data yang didapat peneliti di lapangan sangat

banyak dan kompleks. Oleh sebab itu peneliti perlu menganalisi data

melalui reduksi data. Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif

yang memerlukan kecerdasan, keluasan, dan kedalaman wawasan

yang tinggi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal

yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema

dan polanya. Seletah data yang peneliti dapatkan, peneliti memisah-

pisahkan data dari spesifik pembahasan yang terdapat didalam fokus

penelitian. Pemisahan data dapat membantu peneliti dalam

membahas permasalahan yang ada didalam fokus penelitian.

3. Data Display (penyajian data)

Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk uraian.

Dengan melakukan penyajian data, struktur antara data – data yang

telah direduksi dapat dipahami. Selain itu, penyajian data akan

memberikan gambaran kepada peneliti mengenai tindakan yang harus

dilakukan selanjutnya. Setelah data yang di peroleh oleh peneliti, data

tersebut dipisahkan sesuai dengan rumusan masalah maupun fokus

penelitian. Setelah data dipisahkan, peneliti menggambarkan secara

luas dari umum ke khusus sesuai dengan urutan dan spesifik

golongan data yang diperoleh dan disajikan data tersebut didalam

pembahasan maupun penyajian data yang ada di skripsi tersebut.

4. Conclusion Drawing/verification (kesimpulan)


38

Menarik kesimpulan merupakan kegiatan analisis data yang terakhir,

dengan menyajikan data – data yang kita dapat dan analisis

menggunakan teori-teori yang dicantumkan penulis. Miles and

Huberman sebagaimana di kutip oleh Sugiyono (2008:99)

mengatakan bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih

bersifat sementara, akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti

pendukung yang kuat pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Apabila kesimpulan awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

konsisten, merupakan kesimpulan yang kridibel. Setelah data yang di

peroleh oleh peneliti, data tersebut dipisahkan sesuai dengan rumusan

masalah maupun fokus penelitian. Setelah data dipisahkan, peneliti

menggambarkan secara luas dari umum ke khusus sesuai dengan

urutan dan spesifik golongan data yang diperoleh dan disajikan data

tersebut didalam pembahasan maupun penyajian data yang ada di

skripsi tersebut. Data yang sudah disajikan kedalam pembahasan

sesuai dengan permasalahan yang ingin dibahas, maka penulis dapat

mengambil sebuah kesimpulan dari data-data yang didapatkan, Pada

saat penelitian data dari pernyataan para nara sumber yang dapat

peneliti sebagai bervariatif. Untuk itu selanjutnya peneliti mereduksi

data dengan Data Collection, Data Display Conclusion Drawing /

Verifying Data Reduction memilah data yang pokok-pokok saja agar

penelitian dapat melaksanakan dengan lebih fokus dan terarah pada


39

data-data yang penting-penting. Setelah data-data disajikan kemudian

di analisis menggunakan teori yang digunakan peneliti selanjutnya

dapat di tarik kesimpulan.

Gambar 3.1 Analisis Data Kualitatif

Sumber : Qualitatvie Data Research (Mills & Hobberman)

Anda mungkin juga menyukai