Anda di halaman 1dari 33

“PENGADAAN TANAH DI INDONESIA SEBAGAI WUJUD PENCAPAIAN

KEPENTINGAN UMUM DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN”

DISUSUN OLEH :

OSCAR JIBRIL RIFKI


Kelas : F2
NPP : 33.0035

PROGRAM STUDI KEUANGAN PUBLIK

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkatnya
penulis mampu menyusun dan menyelesaikan tulisan makalah ini.

Makalah dengan judul “pengadaan tanah di indoensia sebagai wujud pencapaian


kepantingan umum dalam pelaksanaan pembangunan” ini disusun dengan tujuan
menambah ilmu pengetahuan, wawasan serta pengalaman yang diharap memperkaya para
pembaca, juga dikemudian hari makalah ini dapat diperbaiki agar menjadi lebih baik lagi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatsan ilmu pengetahuan dan juga
pengalaman baik dari segi bahasa maupun struktur kalimatnya. Maka dari itu penulis
sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari pembaca agar menjadi
lebih baik selanjutnya.

Demikianlah makalah ini disusun, akhir kata semoga makalah ini mampu memberi
manfaat bagi banyak orang, khususnya bagi anggota kelompok

Jatinangor, 7 Mei 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover Makalah ..................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2

BAB I ................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 10

BAB II................................................................................................................................ 11

PEMBAHASAN ................................................................................................................ 11

A. Sejarah Perkembangan Pengadaan Tanah di Indonesia .................................. 11

B. Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan


Umum ............................................................................................................................ 21

C. Contoh Implementasi Pengadaan Tanah Di Indonesia Sesuai UU No.2 Tahun


2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
24

BAB III .............................................................................................................................. 31

PENUTUP.......................................................................................................................... 31

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 31

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah mempunyai peranan penting dalam hidup dan kehidupan
masyarakat, diantaranya sebagai prasarana dalam bidang perindustrian,
perumahan, dan jalan.Tanah merupakan tempat pemukiman dari sebagian besar
umat manusia, di samping sebagai sumber penghidupan bagi manusia untuk
mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan, yang akhirnya tanah juga yang
dijadikan persemayaman terakhir bagi seseorang yang meninggal dunia1. Tanah
juga merupakan modal dasar dalam mewujudkan pembangunan demi kepentingan
umum. Mengingat tanah sebagai salah satu unsur penting dalam pembangunan
maka tindakan pemerintah dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas
tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang
berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang
penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia harus dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 kemudian
pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih dikenal UUPA.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUPA, Negara hanya memberi wewenang kepada
negara untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,

1
Abdurrahman,”Masalah Hak Hak Atas Tanah dan pembebasan tanah di Indonesia”,cetakan ke-
2, (Bandung: Alumni, 1983), hlm 1
4
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pelaksanaan
pengadaan tanah merupakan persoalan yang kompleks karena terdapat berbagai
tahapan dan proses yang harus dilalui serta adanya kepentingan pihak-pihak yang
saling bertentangan.
Menurut Soedharyo Soimin, yang mengungkapkan bahwa : Persoalan
perolehan tanah milik masyarakat untuk keperluan pembangunan guna
kepentingan umum menjadi suatu persoalan yang cukup rumit. Kebutuhan tanah
baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah tanpa diikuti
dengan pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial.Masalah timbul
karena adanya berbagai bentrokan kepentingan. Di satu sisi pemerintah
membutuhkan lahan untuk pembangunan fisik, disisi lain masyarakat
membutuhkan lahan untuk pemukiman maupun sebagai sumber matapencaharian
dan Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak2.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu
manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah yang telah diamanatkan dalam Pasal 6
UUPA.Berdasarkan filosofi fungsi sosial hak atas tanah tersebut, ditetapkan dasar
pembentukan Undang-Undang Pengadaan Tanah, yakni untuk
menjamintersedianya tanah untuk penyelenggaraan pembangunan dengan
mendasarkan pada penghormatan hak rakyat atas tanah.3
Pemerintah dalam upaya menyelenggarakan pembangunan, maka setiap
kebijakan yang diambil harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang
bijaksana. Pengadaan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.4
Dewasa ini mekanisme pengambilan tanah rakyat sering menimbulkan
konflik.Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum
dilakukan dengan musyawarah yang dilakukan secara langsung antara pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan

2
Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembedaan Tanah Edisi Kedua, (Sinar Grafika:Jakarta, 2004)
3
Erman Rajagukguk, Serba-serbi hukum Agraria:tanah untuk kepentingan umum,larangan Alih Fungsi
Tanah Pertanian,Landreform Tanah Pekarangan,cet 1,lembaaa studi Hukum Dan Ekonomi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,Jakarta,hal 34.
4
Adrian sutedi,2008,Implementasi Prinsip Kenpentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan,Sinar Grafika,Jakarta,hal 49.
5
tanah. Namun jika jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan
terselenggaranya musyawarah secara efektif maka musyawarah akan dilaksanakan
oleh Panitia Pengadaan Tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas
tanah.
Pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan pengadaan tanah juga harus
melaksanakan amanat undang-undang yang mengutamakan kepentigan rakyat,
sehingga tidak merugikan kepentingan masyarakat.
Dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam masalah pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum, maka pemerintah telah menyusun
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Berdasarkan
undang-undang tersebut kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presidenmengenai pengadaan tanah. Peraturan perundang-undangan tersebut telah
mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan mengenai pengadaan tanah diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum yang kemudian diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Melalui undang-undang tersebut diatur mengenai berbagai hal dalam
pengadaan tanah misalnya kriteria pembangunan untuk kepentingan umum,
mekanisme pengadaan tanah, panitia pengadaan tanah, serta penetapan besarnya
ganti rugi.
Peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum bertujuan untuk memberikan keadilan
dan kesejahteraan bagi masyarakat, namun tetap saja ada beberapa permasalahan
yuridis dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang luput dari perhatian
penyusun peraturan perundang-undangan, yang pada saat ini menjadi
permasalahan dan berpotensi pula menimbulkan masalah di masa yang akan
datang. Masalah tanah adalah masalah yang sensitif oleh karena itu dalam proses
pengadaan tanah maka pihak pemerintah harus bersikap hati-hati
dan bijaksana dalam menyelesaikannya.
6
Peraturan perundangan beserta peraturan pelaksanaannya di Indonesia
yang menjadi dasar pengadaan tanah mengalami beberapa kali perubahan, sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama daripada rakyat, hakhak atas tanah dapat ditarik
dengan memberikan ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang.5
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas
Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa, negara, serta kepentingan bersama rakyat
dan kepentingan pembangunan setelah mendengar Keputusan Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang berkaitan Presiden
dalamkeadaan memaksa dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-
benda yang di atasnya.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan
Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di Atasnya Peraturan
Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 8
UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961. Pemegang hak atas tanah
diberikan kesempatan untuk membuat banding ke Pengadilan Tinggi,
apabila ganti rugi yang diberikan kepada mereka dirasa kurang patut.
4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan
HakHak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya Peraturan ini
merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah Pasal 1 ayat
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 menyatakan

5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.Op Cit.Pasal 18
7
bahwa melepaskan hubungan hukum semula terdapat di antara pemegang
hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi6.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Acara
Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan
Tanah oleh Pihak Swasta.
7. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Keputusan Presiden
ini pada satu pihak ingin memberikan berbagai kemudahan bagi para
pelaksana pembangunan dalam menghadapi kesukaran pengadaan tanah
untuk berbagai proyek pembangunan sedangkan pada pihak lain untuk
menampung berbagai aspirasi yang berkembang sebelumnya bahwa
peraturan yang mengatur pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam
Peraturan MenteriDalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 kurang
memberikan jaminan perlindungan hukum kepada rakyat yang tanahnya
terkena pembebasan.18 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tidak
memberlakukan lagi Permendagri 1975. Di dalam Keppres ini telah
mengubah istilah “Pembebasan Tanah” menjadi istilah “pelepasan” atau
“Penyerahan Hak Atas Tanah”.
8. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 merupakan aturan pengganti dari Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005, peraturan ini hanya dapat digunakan bagi
pengadaan tanah dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum. Hanya Pemerintah maupun Pemerintah Daerah yang dapat
menggunakan peraturan ini dalam rangka pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan. Bagi subyek non pemerintah yang
membutuhkan tanah secara tegas disebut dapat melakukan pengadaan
tanah melalui mekanisme jual beli, tukar menukar atau cara lain yang
disepakati secara sukarela oleh pihakpihak yang bersangkutan.
9. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi

6
Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah.pasal 1 ayat(1)
8
Pelaksanan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 merubah bunyi Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 dengan “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah.”
10. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, maka pengadaan tanah memiliki
landasan kuat.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
12. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
13. Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Kepentingan Umum.
14. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
15. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2012 tentang Biaya
Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari
Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah.
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013 tentang Biaya
Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara

9
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain :
1. Bagaimana perkembangan pengadaan tanah di Indonesia saat ini ?
2. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk Kepentingan
umum ?
3. Bagaimana contoh implementasi pengadaan tanah di Indonesia seusai dengan
UU 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk pentingan
umum ?

10
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Pengadaan Tanah di Indonesia


Berbicara tentang pencabutan hak atau pengadaan tanah di Indonesia,
kebijakan pemerintah mengenai hal ini memang sudah diterapkan dalam waktu yang
cukup lama sesuai dengan perkembangan zaman dan periodesasi masing masing
pemerintah negara serta dengan penerapan berbagai peraturan perundang-undangan.
Sejak merdeka, ketentuan mengenai pencabutan hak dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1961 lebih dahulu diterbitkan dan setelahnya ada pengaturan tentang
pembebasan dan pengadaan tanah.
Sebagaimana diketahui apabila diperlukan suatu tanah untuk kepentingan
umum seperti pembangunan infrastruktur oleh pemerintah maka terlebih dahulu
pemerintah melakukan pendekatan kepada pihak yang berkepentingan guna
mendapatkan persetujuan pemiliknya, baik itu dengan cara jual-beli, tukar-menukar,
maupun perbuatan hukum lainnya. Namun, apabila pihak yang bersangkutan tidak
memberi persetujuan pencabutan hak atas tanah tersebut, maka pemerintah tetap dapat
melakukan pencabutan hak atas dasar kekuasaan yang dimilikinya.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penghapusan hak
atas tanah semata-mata hanya untuk kepentingan umum dan pelaksanaannya
merupakan jalan terakhir bagi pemerintah karena tidak mendapatkan kesepakatan
penyerahan tanah dari pemiliknya kepada pemerintah, di sisi lain, lokasi rencana
pembangunan tidak dapat dipindahkan atau tidak dapat menggunakan tanah di lokasi
lain karena alasan-alasan tertentu.7
Terdapat perubahan-perubahan system pengadaan tanah jika ditinjau sejak
zaman penjajahan hingga pada saat ini yang akan dijelaskan sesuai dengan
periodesasinya, yakni:
1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dikenal dengan hak
Eigendom sebagaimana diatur dalam pasal 570 KUHPerdata. Hak Eigendom

7
Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak Pembebasan dan Pengadaan Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 2019, hal.10.

11
tersebut bersifatmutlak dan pemiliknya dengan cara yang seluas mungkin dapat
menikmati dan mempergunakannya, bahkan dengan sifat kemultakannya, maka
hak itu keluar dari domein negara sebagaimana diatur dalam domein verklaring,
yakni selain tidak dibuktikan dengan hak eigendom seseorang maka semua hak
atas tanah adalah domein negara.
Oleh karena sifat kemutlakan dari Hak Eigendom, maka tidak dapat begitu
saja dinyatakan berakhir hak seperti diambil alih oleh pihak lain dengan berbagai
sebab, Pasal 570 KUHPerdata menyebut penyebab berakhir Hak Eigendom antara
lain karena bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum
dan juga karena pencabutan hak atau pengambilan untuk dimiliki (onteigenning).
Pencabutan hak melalui onteigenning diatur dalam Onteigenings
Ordonantie (Stb.1920.574), ordonansi tersebut telah beberapa kali diubah dan
ditambah yang terakhir dengan Stb. 1947-96. Ordonanasi yang dimaksud disusun
atas dasar pengertian Hak Eigendom, yaitu hak perseorangan yang tertinggi
menurut Hukum Barat, karenanya hak itu suci dan mutlak yang tidak dapat
diganggu gugat (inviolable sacre) yang mendasarkan anggapan/pandangan atas
Hak Milik yang bersifat individual liberal.
Pencabutan hak ini dilakukan dengan keputusan Gubernur Jendral.Setelah
Gubernur Jendral menyatakan suatu bidang tanah dicabut untuk kepentingan
umum sekaligus menetapkan ganti ruginya, maka pihak yang dicabut haknya
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri dan dapat banding ke
pengadilan yang lebih tinggi.8
Onteigenings Ordonantie tersebut pada dasarnya merupakan tindakan
terpaksa yang diambil oleh penguasa apabila Eigendom seseorang diperlukan
untuk kepentingan umum pada saat pemilik (eigenaar) tidak bersedia
menyerahkan tanahnya. Dalam keadaan biasa, Apabila pemerintah memerlukan
tanah termasuk apabila kepentingan umum mengkehendaki, terdapat ketentuan
untuk memperoleh tanah berdasarkan Keputusan Pemerintah
(Gouvernementsbesluit tanggal 1 Juli 1927 Nomor 7 yang diubah dengan

8
AP. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, Mandar
Maju, Bandung, 1993, hal.25.

12
Gouvernementsbesluit tanggal 8 Januari 1932 Nomor 23 yang lebih dikenal
dengan Bijblad nomor 11372 jo. Nomor 12746).9
Dalam Pasal 1 Bijblad Nomor 11372 tersebut dimuat antara lain bahwa
pengambilan tanah oleh pemerintah pada asasnya harus diselenggarakan atas
persetujuan dari pemiliknya, baik berhubung dengan atau tidak adanya suatu
undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum mengkehendaki
pencabutan hak milik atau suatu benda atau hak, maka maksud itu hendaknya
dicapai melalui jalan perundingan dengan pemiliknya atau yang berhak. Apabila
untuk penyerahannya atau pelepasan haknya dijumpai banyak keberatan, maka
gubernur mengajukan usul untuk mengadakan pencabutan hak atau tindakan lain
terhadap tanah atau hak-hak yang diperlukan itu.
Jadi dalam Bijblad ini pencabutan hak baru dapat dilakukan apabila tidak
tercapai kesepakatan dengan pemilik tanah mengenai harga pembayaran
pembelian tanah, dengan syarat pengambilan tanah itu harus dengan suatu
ketentuan undang-undang.
Untuk pelaksanaan pengambilan tanah dan penentuan harga tanah yang
akan diambil tersebut, dibentuk satu komisi atau panitia yang susunannya paling
sedikit terdiri dari 3 (tiga) orang yang apabila diatas tanah tersebut terdapat
bangunan yang berharga maka dapat diangkat seorang pejabat ahli sebagai
anggota. Komisi atau Panitia tersebut hanya ada di tingkat Provinsi dan
Kabupaten.10
Panitia ini akan mengadakan perundingan dengan pemilik tanah atau yang
berhak atas tanah tersebut. Perundingan mengenai harga tanah dengan panitia
diputuskan oleh suara terbanyak dari panitia.Jika tidak terjadi kesepakatan
mengenai ganti rugi atas pengambilan tanah tersebut, maka Panitia menganjurkan
tanah tersebut dicabut haknya.

9
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk,
Jakarta, 2005, hal.180.

10
AP. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, hal. 42.

13
2. Pasca Kemerdekaan : 17 Agustus 1945 sampai dengan diundangkan-nya Undang-
Undang Pokok Agraria
Pada zaman Kemerdekaan, berkaitan dengan ketentuan pencabutan hak,
pembebasan atau pengadaan tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Prp.1959 tentang Pengambilan Tanah untuk Keperluan Penguasa Perang
Berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya.
Dalam Pasal 37 disebutkan bahwa Penguasa Perang berhak mengambil
atau memakai barang-barang semacam apapun yang akan diambil itu berupa tanah
ataubangunan maka benda tersebut selanjutnya akan menjadi milik Negara atau
dipergunakan untuk waktu tertentu untuk Negara.
Selanjutnya terdapat Surat Edaran dari Penguasa Perang Tertinggi Nomor
0251/Peperti/1961 Tanggal 4 Februari 1961.Dalam edaran tersebut dikatakan agar
ditempuh ketentuan dari Bijblad Nomor 11372 Jo.Bijblad Nomor 12746 dan
dalam keadaan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik melalui
Onteigeningsordonantie Stb.1920-474.
Dalam pelaksanaan Bijblad Nomor 11372 Jo. Bijblad Nomor 12746
tersebut dengan pembentukan komisi dalam rangka mengadakan perundingan
dengan pemilik tanah guna mendapatkan tanah itu dan menetapkan harganya,
yang keanggotaan komisk tersebut terdiri dari pejabat :
1) Jawatan Gedung-Gedung Cq. Pekerjaan Umum;
2) Jawatan atau instansi yang hendak memiliki tanah;
3) Jawatan Agraria/Pamongpraja/Swatantra;
4) Kantor Pendaftaran Tanah; dan
5) Kantor Jawatan Pajak.
Setelah tahun 1960 bersamaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang ketentuan Dasar Pokok-Pokok agrarian, diatur tentang
pencabutan hak atas tanah dalam pasal 18 dan ketentuan perundangan
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah.
Dalam pencabutan hakatas tanah versi Undang-Undang Nomor 20 tahun
1961 tersebut terdapat beberapa prinsip, yaitu :
1) Ada keadaan yang mendesak untuk melakukan tindakan yang terpaksa dari
Pemerintah;

14
2) Benar-benar kepentingan umum yang mengkehendaki sehingga kepentingan
pribadi dikorbankan;
3) Ada rekomenadi/pertimbangan dari Kepala Daerah, Menteri Agraria, menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan;
4) Pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan yang dihitung
oleh Panitai Penaksir;
5) Pencabutan hak harus dengan keputusan Presiden;
6) Diberikan kesempatan untuk banding atas penetapan taksiran ganti rugi tanah
ke Pengadilan Tinggi;
7) Diumumkan dalam berita negara dan surat kabar.11
Perbedaan pencabutan hak versi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
dengan ketentuan Onteigeningsordonantie adalah bahwa tindakan pencabutan hak
saat ini tidak dapat digugat ke pengadilan, sehingga tidak ada kesempatan warga
masyarakat untuk pengujian secara hukum atas tindakan pencabutan hak oleh
pemerintah tersebut. Permasalahan yang dapat dibawa ke pengadilan hanya dalam
hal penentapan besarnya gantu kerugian.
Sementara ketentuan pengadaan tanah unutk keperluan Pemerintah/Dinas
sebagaimana yang masih memberlakukan Bijblad Nomor 11372 Jo. Bijblad
Nomor 12746, sejak Tahun 1961 peraturan ini dicabut dengan Surat Edaran
menteri Pertama Republik Indonesia Nomor 32391/61 Tanggal 30 desember 1961
karena tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan.

3. Zaman Pemerintahan Orde Baru


Dalam pelaksanaanya, Ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tersebut tidak mudah diterapkan di lapangan, sebab harus melalui prosedur yang
panjang disertai rekomendasi menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri
yang bersangkutan, selanjutnya pencabutan hak atas tanah tersebut harus dengan
keputusan Presiden serta dimuat dalam berita Negara.
Pencabutan hak dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tersebut hanya sekali dilakukan, yaitu Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun

11
Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak Pembebasan dan Pengadaan Tanah, Mandar Maju, hal.
15.

15
1970 tanggal 6 Januari 1970 atas daerah di Kecamatan Tamansari yang terkenal
dengan Kompleks Yen Pin.12
Oleh karena sulitnya melaksanakan Undang-Undang tersebut, sementara
kebutuhan akan tanah mendesak terutama dalam rangka melaksanakan
pembangunantermasuk dalam rangka memberikan fasilitas kepada investor
sehubungan dengan diterapkannya pintu terbuka bagi investor sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal, maka
ketentuan pengambilan tanah untuk pemerintah, sekalipun telah dicabut pada
tahun 1961 namun belum juga diterbitkan pengaturan baru yang mengatur hal
tersebut, untuk mengisi kekosongan hukum masih saja tetap mengacu kepada
Bijblad Nomor 11372 Jo. Bijblad Nomr 12746 sampai dengan tahun 1975.
Sesuai dengan perkembangan zaman, Pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Dalam pengaturan ini, istilah yang
dipakai adalah “Pembebasan tanah”, maksudnya melepaskan hubungan hukum
yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara
memberikan ganti rugi.
Bersamaan dengan itu, diterbitkan juga pengaturan Menteri Dalam Negeri
NOmor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk
Kepentingan Swasta.
Selanjutnya diterbitkan lagi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2
Tahun 1985 yakni ketentuan khusus terhadap objek tanah yang akan dibebaskan
yang luasnya kurang dari 5 (lima) Hektar, pembebasan tanahnya cukup dilakukan
oleh Pimpro dan Camat setempat.
Ternyata pembebasan tanah ini disalahgunakan baik dalam hal tujuan
pembebasan tanah maupun penetapan ganti ruginya. Tujuan pembebasan tanah
disimpangi oleh pelaksana untuk kepentingan lain, juga dalam penetapan ganti
rugi sering terjadi pemaksaan dan perkosaan hak, musyawarah hanya dilakukan
komunikasi satu arah, apabila pemilik tanah tidak bersedia menerima ganti rugi
maka ganti rugi tersebut dititipkan ke Pengadilan (konsignasi).
Bahkan dalam prakteknya tidak jarang terjadi intervensi pemerintah melalui
kepanitiaan pembebasan tanah yakni diperbolehkannya pihak swasta
menggunakan acara pembebasan tanah yang sama dengan yang dilakukan

12
AP. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, hal.32.

16
pemerintah, juga tidak segan-segan untuk menggunakan aparat pemerintah dan
aparat keamanan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan “pembangunan”
sehingga para pihak swasta dapat memperoleh tanah dengan harga dibawah rata-
rata sebagaimana ditetapkan oleh panitia pengadaan tanah.13
Untuk membenahi aturan pembebasan tanah, maka diterbitkanlah Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sekalipun telah diadakan peraturan baru, ternyata masih sering terjadi
tindakan pihak yang membutuhkan tanah yang merugikan pemilik tanah.
Misalnya dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 pada pasal 16
ditentukan bahwa penetapan harga tanah didasarkan harga nayat/pasar dengan
memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun terakhir tanah yang
bersangkutan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, pihak yang membutuhkan
tanah menggunakan patokan NJOP tahun terakhir tanpa melihat harga/nyata pasar
saat itu, sementara harga tanah dalam NJOP jauh lebih rendah dari harga/nyata
pasar, misalnya yang terjadi di Cirebon (pengadaan tanah untuk kepentingan
negara) sebagaimana diungkap oleh koran Pikiran Rakyat terbitan tanggal 2
November 1995, harga pasar/nyata Rp. 75.000,00/m², ganti rugi hanya Rp.
32.000,00/m² sesuai harga NJOP, juga di Medan (pengadaan tanah untuk
kepentingan swasta), sebagaimana diungkapkan oleh koran Media Indonesia
terbitan tanggal 27 September 1995, harga pasar Rp. 50.000,00/m², ganti rugi
hanya Rp. 15.000,00/m² sesuai harga NJOP.14

4. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005


Peraturan ini menggantikan Keppres No. 55 Tahun 1993 dikarenakan
pengadan tanah untuk kepentingan umum tentunya memerlukan waktu yang cepat
dan membutuhkan tahapan yang pasti dan dengan tetap memperhatikan prinsip
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah. Dalam peraturan ini diatur
bahwasanya untuk pengadaan tanah dengan luasan tidak lebih dari 1 (satu) hektar
dapat dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan

13
Endang Suhedar dan Ifdal Kasim, Tanah sebagai Komoditas, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde
Baru, Penerbit ELSAM, Jakarta, 1996, hal. 58-59.

14
Endang Suhedar dan Ifdal Kasim, hal. 107-108.

17
tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui mekanisme jual-beli atau
tukar menukar atau melalui cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 36/2005 ini menuai banyak kritik dan
protes dari banyak kalangan, dikarenakan pengaturan yang ditetapkan lebih
mencerminkan pemerintahan yang otoriter. Kehadiran Perpres 36/2005 di era
reformasi ini tidak jauh berbeda dengan sistem pengaturan pengadaan tanah di
masa Orde Baru (Malik 2008; Faturrahim 2015). Beberapa point yang ditetapkan
dalam Pepres 36/2005 menjadikan pengadaan tanah belum bersifat adil
diantaranya dalam hal pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam pasal 2
menegaskan bahwa dalam pelaksanaan pengadaan tanah maka pemerintah dapat
melalui 2 (dua) mekanisme yakni :
1. Melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
2. Melalui pencabutan hak atas tanah.
Mekanisme dalam hal pencabutan hak atas tanah ini mengacu pada
ketentuan Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak
atas tanah dan bendabenda yang ada di atasnya. Mekanisme pencabutan hak atas
tanah ini tentunya bertentangan dengan prinsip hukum negara, yakni negara
mendasarkan pada konstitusi yang ditetapkan dengan memegang prinsip
pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.15

5. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006


Peraturan ini memberikan revisi terhadap Peraturan Presiden 36 Tahun 2005
yang menuai kritik dari berbagai pihak. Sehingga dalam peraturan ini menegaskan
terhadap aspek: pengertian dan ruang lingkup pembangunan untuk kepentingan
umum dan memberikan batasan yang clear antara pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dengan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.
Penegasan terhadap pengaturan ganti rugi juga diatur lebih lanjut melalui
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini yakni bentuk ganti rugi berupa
kerugian fisik dan non fisik yang dapat memberikan kelangsungan hidup lebih
baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena dampak pengadaan
tanah.
15
Westi Utami Sarjita, Pengadaan Tanah di Indoensia dan beberapa Negara dari Masa ke Masa,
Penerbit STPN Press, 2021, Yogyakarta, hal. 84.

18
6. Berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2012
Hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2012 memiliki kelebihan apabila
dibandingkan dengan pengaturan yang sebelumnya berlaku di Indonesia, kekuatan
diberlakukannya peraturan perundang-undangan ini yakni adanya kekuatan
hukum yang mengikat. Perbedaan mendasar dari UU 2 Tahun 2012 ini
dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya yakni di dalam mengatur ganti
kerugian memberikan ketentuan bahwasanya ganti kerugian merupakan
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Undang-Undang ini juga memberikan kejelasan terhadap norma
baru peralihan hak atas tanah dimana hal ini memiliki sifat mendasar yang tidak
diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni pencabutan hak atas
tanah tidak dapat dilakukan secara mudah, peraturan ini memberikan solusi
bahwasanya konsinyasi dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan negeri16.
Perbedaan mendasar dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini
dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya yakni di dalam mengatur ganti
kerugian memberikan ketentuan bahwasanya ganti kerugian merupakan
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Undang-Undang ini juga memberikan kejelasan terhadap norma
baru peralihan hak atas tanah dimana hal ini memiliki sifat mendasar yang tidak
diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni pencabutan hak atas
tanah tidak dapat dilakukan secara mudah, peraturan ini memberikan solusi
bahwasanya konsinyasi dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan negeri.
Undang-undang ini memberikan nafas baru dimana secara substansi
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena pengadaan tanah
terutama bagi para pihak yang berhak atas ganti kerugian, meskipun mungkin
dalam implementasinya masih terdapat pula pelanggaran-pelanggaran di dalam
pelaksanaannya. Namun dari beberapa kajian yang dilakukan masih terdapat
kelemahan di dalamnya yakni masih terlalu luasnya arti kepentingan umum yang
dijelaskan dalam Undang-Undang ini, serta pengaturan mengenai bentuk dan dasar
dalam perhitungan ganti rugi/ganti untung yang diberikan masih berupa kerugian

16
Westi Utami Sarjita, Pengadaan Tanah di Indoensia dan beberapa Negara dari Masa ke Masa, Penerbit STPN
Press, 2021, Yogyakarta, hal. 87

19
fisik yakni tanah, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, sementara kerugian
non fisik yakni aspek sosiologis yang dialami oleh pemilik tanah.
belum diperhitungkan dan belum diatur secara detail dalam UU ini.
Peraturan pelaksana terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 berupa
Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dan untuk pelaksanaannya maka
Kementerian ATR/BPN menetapkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dan kritik terhadap Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 ini ialah upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan
sengketa/konflik maupun ketidaksepakatan warga terhadap nilai ganti kerugian
ialah melalui bentuk konsinyasi. Soemardjono memberikan kritik bahwasanya cara
penyelesaian yang dilakukan dalam bentuk konsinyasi ini kurang tepat. Karena
secara konsep di dalam Pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan
penggunaan Lembaga penitipan pada Lembaga Pengadilan Negeri dilandasi oleh
adanya sifat keperdataan dengan adanya permasalahan hutan piutang. Sementara di
dalam pengadaan tanah termasuk dalam perbuatan hukum administrasi, sehingga
apabila menggunakan konsinyasi maka secara regulasi keputusan tersebut kurang
tepat. Mekanisme konsinyasi merupakan cara yang bertentangan dengan asas
perolehan tanah, dimana telah disebutkan dalam memperoleh tanah tidak
dibenarkan adanya bentuk paksaan dalam bentuk apapun, oleh siapapun dan
menerima ganti kerugian yang tidak disepakati oleh pemilik tanah.

7. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


Menurut Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang tujuan
wewenangnya diberikan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan serta kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia. Akan tetapi dalam Pasal 137 ayat (1) Undang-
Undang Cipta Kerja ini telah menyimpang dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4)
Undang-Undang Pokok Agraria .Dalam Undang-Undang Cipta kerja tidak
dijelaskan bahwa yang berhak menguasai tanah negara yaitu masyarakat hukum
adat, sehingga UU Cipta Kerja telah melanggar hak konstitusional masyarakat
adat. Serta Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja ini bisasebagai karpet

20
merah pada pengusaha swasta atau penanam modal asing dalam mendapatkan
tanah secara murah bahkan gratis, dengan menggadang-gadang untuk peningkatan
insvestasi di Indonesia, termuat pada pasal 127 Undang-Undang Cipta Kerja
dijelaskan bahwa “badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit”. Frase “nonprofit” ini
menimbulkan asumsi kesempatan besar pada pengusaha swasta atau pemodal
besar untuk mendapatkan tanah secara murah atau bahkan gratis.17

B. Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Pengambilan tanah dengan dalih untuk kepentingan umum, kadang
mencederai masyarakat, karena pemanfaatan tanah yang diambil olehPemerintah
tidak sebagaimana rencana semula, bahkan cenderungmelahirkan kesengsaraan
masyarakat bekas pemegang hak. Tidak jarang pengambil alihantanah ini akan
menyisakan permasalahan hukum. Guna negara menyatakanbahwa problematika
berkaitan dengan pengadaan tanah, tidak hanyamasalah yuridis semata, akan tetapi
berkembang menjadi maslah sosio- kultural dan ekonomi-politik .
Persoalan Hukum Pertanahan yang kelihatannya tidak pernah
selesaidiperbincangkan dan dikaji orang adalah persoalan pengambilan
Tanahkepunyaan penduduk masyarakat untuk keperluan proyek pembangunanyang
biasa dikenal dengan istilah pengadaan Tanah.Hal ini memangmenyangkut persoalan
paling kontroversial dalam masalah pertanahan. Padasatu sisi tuntutan pembangunan
akan Tanah ternyata sudah sedemikianmendesak, dan pada sisi lain persediaan Tanah
semakin langka dan terbatas.
Dari Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum tentang “Pelaksanaan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (2013) ada beberapa hambatan
yaitu:

1. Dominannya kebijakan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan daripada


sebagai pelindung warga masyarakat pemilik tanah.
Tidak seperti halnya pemikiran welfarstaat dimana negara harus
memberikan sebesar-besarnya kesejahteraaan rakyat (the greatest happiness for
the greatest number), tetapi dalam kenyataannya kurang memperhatikan

17
Udayana Master Law Journal, Kepastian Hukum Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Undang-Undang
Pokok Agraria Mengenai Domein Verklaring, Bali, 2021, hal. 10

21
kesejahteraan masyarakat.Hal ini terbukti bahwa pemerintah terlalu dominan
menentukan BPHN perihal ganti rugi yang seharusnya lebih memperhatikan
kepentingan masyarakat yang melepaskan tanahnya.
Pemerintah yang berdaulat mempunyai 2 kedudukan, yaitu sebagai
pelaksana kewenangan hak menguasai negara sebagaimana yang di atur dalam
Pasal 2 ayat 2 UUPA dan sebagai badan hukum publik adalah pelaksana
pembangunan. Dalam melaksanakan kewenangan sesuai amanat Pasal 2 ayat 2
UUPA pemerintah berkewajiban melaksanakan tugasnya untuk mensejahterakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Dalam kedudukan yang demikian,
pemerintah direpresentasikan sebagai Badan Pertanahan Nasional, harus
mengukur keberhasilan kebijakan dan pelaksanaannya dengan besarnya
peningkatan kemakmuran rakyat termasuk keberhasilan untuk menjaga tingkat
kemakmuran yang dinikmati oleh pemilik tanah yang terkena pembangunan.
Kedudukan pemerintah sebagai badan hukum publik pelaksana
pembangunan melalui Kementerian atau Lembaga Non Kementerian harus
melaksanakan pembangunan disektor yang menjadi kewenangannya. Dalam
proses pengadaan tanah yang diperlukan bagi pelaksana pembangunan dalam hal
ini pemerintah hanya berkonsentrasi pada ketersediaan tanah .
Dalam kebijakan pengadaan tanah selama ini pemerintah terfokus pada
kedudukannya sebagai pelaksana pembangunan.Pemerintah lebih fokus pada
keberhasilan penyediaan tanah yang diperlukan untuk pembangunan bagi
kepentingan umum.Konsekuensinya pemerintah kurang memberikan perhatian
kepada kepentingan individu pemilik tanah yang terkena pengadaan tanah.Hal ini
dapat menimbulkan ketidak simpatikan masyarakat terhadap pemerintah.

2. Adanya antitesis sikap dan perilaku masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.


Antitesis sikap dan perilaku masyarakat tersebut berupa penolakkan
terhadap kebijakan pemerintah dalam pengadaan tanah meskipun kebijakan
tersebut sungguh-sungguh dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan
umum.Masyarakat cenderung bersikap skeptis dan penuh kecurigaan, bahwa
kebijakan pelaksanaan pembangunan pemerintah tidak selalu berorientasi pada
kepentingan bangsa atau kepentingan masyarakat banyak, artinya dicurigai hanya
untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu.

22
Antitesis sikap dan perilaku masyarakat itu berupa juga penolakan
terhadap tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat pemilik tanah.Selama
orde baru masyarakat pemilik tanah selalu di hadapkan pada tindakan pemaksaan
ketika terjadi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.Pemilik tanah
dihadapkan pada tekanan dalam pelbagai bentuk yang menimbulkan kondisi
ketakutan dan didalamnya terkandung potensi penolakan.
Sikap skeptis, curiga dan ketidakpercayaan pada pemerintah itu
mendapatkan sarananya ketika lahirnya era reformasi yang dimana terjadi
perubahan politik dari pola otoriter kearah demokrasi.Ketertekanan yang di alami
masyarakat sebelumnya meletup dalam wujud penolakan terhadap kewajiban
menyerahkan tanah bagi kepentingan umum.Akibatnya masyarakat pemilik tanah
mengajukan tuntutan harga tanah yang tidak masuk akal.

3. Berkembangnya nilai individualistis dan melemahnya nilai kolektifvistik.


Fenomena ini dapat dicermati dari adanya sikap berani masyarakat untuk
menyatakan penolakan menyerahkan tanahnya sekalipun untuk kepentingan
umum.Kalaupun masyarakat bersedia menyerahkan tanahnya biasanya menuntut
harga yang tinggi, malah kadang-kadang tidak masuk akal.Artinya sikap ini
menunjukan bahwa masyarakat pemilik tanah tidak ingin mengorbankan
kepentingan dirinya.Kepentingan individunya tidak ingin dikorbankan hanya
untuk sebuah kepentingan kolektif.Masyarakat bersedia menyerahkan tanahnya
untuk kepentingan umum jika kompensasinya sesuai dengan tuntutan mereka.
Pada hakekatnya mereka menyatakan, untuk apa harus berkorban untuk
kepentingan umum, jika kepentingan dirinya tidak terlindungi. Atau dengan
perkataan lain pemilik tanah menyatakan, saya hanya akan menyerahkan tanah
untuk kepentingan umum jika saya mendapat keuntungan.
Ungkapan pernyataan tersebut juga merupakan suatu bentuk antitesis dari
kondisi sebelumya yang selalu menuntut dan memaksa individu pemilik tanah
harus berkorban untuk kepentingan negara.Era reformasi telah memberikan
peluang bagi pengembangan nilai antitesis tersebut, sehingga menyebabkan tidak
mulusnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum saat ini.Berkembangya sikap
individualistis tersebut juga berkorelasi dengan kebijakan pemerintah yang selama
ini lebih bersifat liberal dibidang pertanahan.Sedangkan bagi mayarakat yang

23
berekonomi lemah pemerintah tidak memberikan akses dan aset untuk memiliki
tanah.
Sementara itu, menurut Affan Gaffar dalam Skripsi PELAKSANAAN
GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM
PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM dan HUKUM UUPA (Studi Kasus
Pembuatan Tol Sumatera di Wilayah Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan)
menyatakan bahwa persoalan tanah akan teus menerus muncul yang disebabkan
oleh beberapa hal yaitu:
1. Prosedur pelepasan atas Tanah yang tidak didasarkan atas prinsip musyawarah
dengan masyarakat yang terkena pengadaan Tanah.
2. Rendahnya nilai ganti rugi Tanah yang diberikan oleh Pemerintah ataupun
pelaksanaan pembangunan sebuah proyek.

C. Contoh Implementasi Pengadaan Tanah Di Indonesia Sesuai UU No.2 Tahun


2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
1. Pembangunan untuk kepentingan Umum
Terkait dengan pembangunan untuk kepentingan umum, Berikut terdapat jenis
kepentingan umum digolongkan ke dalam 18 jenis kegiatan pembangunan yaitu:
a. Pertahanan dan keamanan nasional,
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api.
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan
air dan sanitasi, dan bangunan pengaitan lainnya,
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi,
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah,
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah,
i. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah,
j. Fasilitas keselamatan umum
k. Tempat pemakamam umum pemerintah/pemerintah daerah,
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik,
m. Cagar alam dan cagar budaya,
n. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa,

24
o. Penataan permukimam kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan dengan status sewa,
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah,
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum18
Realitanya Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum selalu
menuai kontroversi ketika diperdebatkan. kegiatan ini pada dasarnya memiliki
permasalahan-permasalahan yang cukup peka .Hal ini disebabkan karena
banyaknya ketidakberesan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan dengan cara semaunya atau tanpa ganti rugi yang layak dengan
dalil untuk kepentingan umum, sehingga disaat sekarang pembangunan banyak di
kampung hitamkan sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa segala sesuatunya
akan menjadi halal bilamana dilakukan untuk dan demi pembangunan sekalipun
dengan melanggar hukum . Selain itu pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum juga mengesampingkan hak yang seharusnya dipegang penuh
oleh masyarakat yang terkena pengadaan tanah .hak yang dimaksud telah tertuang
dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 4 yang menyatakan bahwa
19
setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun . oleh karena itu maka hal-hal
demikian seharusnya tidak boleh dilakukan, dan lakukan lah sesuai yang diatur
dalam UU , lakukan pendekatan terlebih dahulu kepada masyarakat dan berikan
ganti kerugian yang layak sesuai dengan UU
Sebenarnya terkait untuk Bentuk-bentuk ganti kerugian dalam melakukan
kegiatan pengadaan tanah memang harus disertai dengan pemberian ganti
kerugian yang layak kepada pihak yang berhak Sesuai dengan pasal 36 Undang-
undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dan di kerugian yang diberikan Bisa dalam bentuk:20

18
https://news.detik.com/berita/d-1794677/inilah-18-jenis-pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum diakses
pada, Kamis,16 Maret 2023

Maria S.W.soemardjono dalam Nurus zaman, 2016, Politik Hukum Pengadaan Tanah Antara Kepentingan
19

Umum Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, revika Aditama hlm 130

20
Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

25
 Uang
 Tanah pengganti
 Pemukiman kembali adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti
kepada pihak yang berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam
proses pengadaan tanah
 Kepemilikan saham adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan
untuk kepentingan umum terkait dan atau pengelolaan yang didasari
kesepakatan antar pihak
 Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak adalah misalnya gabungan
dari 2 atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a
huruf b huruf c dan huruf d dalam pasal 33 undang-undang nomor 2 tahun
2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
disebutkan bahwa penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh dilakukan
bidang pertahanan meliputi:
1) Tanah
2) Ruang atas tanah dan bawah tanah
3) Bangunan
4) Tanaman
5) Benda yang berkaitan dengan tanah
6) Kerugian yang dapat dinilai yang lainnya adalah kerugian non fisik yang
dapat disertakan dengan nilai uang misalnya kerugian karena kehilangan
usaha atau pekerjaan biaya pemindahan tempat biaya profesi dan nilai atas
properti sisa.

2. Contoh Pengadaan tanah untuk kepentingan umum


 Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Di Kabupaten
Deli Serdang
1) Tahap pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol di Kabupaten
Deli Serdang sebagian besarnya telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Tahap yang tidak sesuai adalah tahap pemberian
ganti rugi. Pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol di
Kabupaten Deli Serdang yang sudah berhasil dibebaskan ± 40,79 %

26
yaitu 80,75 Ha dari total seluruhnya 197,94 Ha atau sepanjang 12,361
kilometer dari total panjang Jalan Tol 30,305 kilometer.
2) Kendala-kendala dan solusi yang dihadapi dalam Pembangunan Jalan
Tol di Kabupaten Deli Serdang adalah :
a. Salah satu kendala terbesar dalam pembangunan Jalan Tol Medan-
Kuala Namu-Tebing Tinggi adalah ketersediaan dana yang kurang
memadai untuk melaksanakan pemberian ganti rugi secara
sekaligus, dan masih diupayakan suatu solusi untuk mengatasinya.
b. Adanya ketidaksepakatan harga ganti rugi antara masyarakat
dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Cara
mengatasinya dengan Panitia mengadakan musyawarah kedua dan
seterusnya sampai terwujud kesepakatan harga yang dapat diterima
kedua belah pihak.
c. Adanya keberatan/penolakan dari masyarakat Desa Pasar
Melintang mengenai pembangunan Jalan Tol yang melintasi areal
pemukiman warga.
d. Presepsi masyarakat yang menggangap bahwa pembangunan Jalan
Tol adalah mega proyek (proyek besar), sehingga masyarakat
menginginkan ganti rugi yang besar. Cara mengatasinya adalah
dengan mengadakan musyawarah berulang-ulang kali dan
menjelaskan bahwa sumber dana adalah APBN, sehingga tidak ada
permainan di dalamnya dan harus sesuai dengan prosedur.
e. Pembebasan atas tanah maupun kantor yang dikuasai oleh Instansi
Pemerintah masih diupayakan suatu solusi untuk mengatasinya.
f. Laporan hasil penilaian dari Lembaga Penilai Indefenden (Tim
Apprisial) tahun 2011 tentang objek yang dibebaskan untuk bahan
musyawarah dengan para pemilik tanah terlalu rendah dibawah
NJOP sehingga menyulitkan Panitia untuk melaksanakan
musyawarah penentuan besarnya harga dengan pemilik tanah. Cara
mengatasinya Tim Pengadaan Tanah Jalan Tol telah mengganti
Tim Aprasial pada tahun 2011.
g. Surat kepemilikan yang dimiliki oleh pemilik tanah banyak yang
tidak sesuai dengan kondisi di lapangan baik luas dan bentuknya.
Cara mengatasinya Panitia menunjukkan hasil ukurannya dan

27
memberikan pengertian kepada pemilik tanah bahwa hasil
pengukuran adalah hasil ukuran yang sebenarnya menggunakan
alat ukur dan sesuai dengan keadaan di lapangan.
h. Masyarakat pemilik tanah yang telah bersertipikat menuntut agar
tanah mereka yang telah bersertipikat diberikan harga ganti rugi
yang lebih tinggi dari yang belum bersertipikat. Sampai saat ini
belum ada solusi mengatasinya.
i. Ada sebagian masyarakat yang tidak berada di tempat, sehingga hal
ini menyulitkan Pemerintah dalam memberikan ganti rugi
tanahnya. Caramengatasinya Panitia bekerjasama dengan
pemerintah desa setempat untuk mencari pemilik tanah tersebut.
3) Tanggapan masyarakat Desa Perbarakan setuju dengan besarnya nilai
ganti rugi namun merasa kecewa dengan lamanya pemberian ganti rugi
tersebut.
Dalam hal ini ada beberapa yang perlu sebenarnya kita ingat,
yaitu seperti pentingnya pembangunan ini.kepada masyarakat
diperlukan hati yang besar agar bersedia memberikan tanah nya
dicabut haknya untuk pembangunan Jalan Tol ini, seperti masyarakat
Desa Pasar Melintangyang melakukan penolakan untuk ketersediaan
pembangunan ini. pemerintah memang harus melakukan berbagai
upaya untuk mendekati masyarakat agar mau bersedia memberikan
tanahnya untuk kepentingan umum ya salah satunya dengan
memberikan ganti kerugian yang sesuai dengan UU. terkait dengan
pemberian ganti kerugian. harusnya masyarakat juga harus penuh
kesadaran dan tidak boleh memanfaatkan situasi ketika dalam
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, apalagi
pembangunan itu dilakukan untuk mempermudah akses masyarakat
dan terkhusus buat masyarakat-masyarakat yang tanahnya masuk
kedalam target untuk pengadaan Tanah seperti pembangunn dari Jalan
Tol Di Kabupaten Deli Serdang ini , maka ini bertujuan untuk
mempermudah akses masyarakat ataupun mengurangi kemacetan-
kemacetan pada jalan-jalan sebelumnya. oleh karena itu seharusnya
adanya keinginan untuk menuntut ganti kerugian yang besar atau
bahkan sampai melebihi dari harga yang biasanya untuk daerah itu.

28
begitu juga dengan pemerintah, maka harus memberikan juga ganti
kerugian yang layak sesuai yang diatur dalam UU , sehingga tidak
memanfaatkan atau hanya mendalilkan pembangunan untuk
kepentingan umum akan tetapi juga agar tidak terjadi pelanggaran hak
asasi manusia. untuk itu diperlukan kesepakatan yang baik dulu
sebenarnya agar tidak terjadi hal-hal seperti tidak terima dengan
kesepakatan yang dilakukan nantinya sekalipun ketika dilakukan
pendekatan, masyarakat sudah bersedia.21
Untuk mekanisme penaksiran harga dan ganti kerugian
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan ketika
Si pemegang hal atas tanah menghendaki atau menyepakati dengan
catatan mereka diberikan ganti kerugian yang layak Sesuai dengan
kesepakatan bersama berbicara tentang ganti kerugian masyarakat
yang tanahnya terkenapengadaan tanah ,sering mengeluh atas ganti
kerugian yang dinilai tidak layak dan tidak dapat memenuhi hak seperti
semula ganti kerugian yang tidak layak dapat menimbulkan berbagai
konflik antara masyarakat dan pemerintah untuk dapat menentukan
besarnya ganti kerugian yangharus diberikan kepada masyarakat yang
terkena pengadaan tanah tim pengadaan tanah harus memberikan ganti
kerugian sesuai dengan harga pasar NJOP nilai jual objek pajak dan
sesuai kesepakatan artinya adalah ketika harga pasar lebih kecil atau
sebaliknya dan NJOP lebih besar atau sebaliknya tim pengadaan tanah
harus mengambil nominal di antara keduanya sampai tercapainya suatu
kesepakatan antara pelaksana pengadaan tanah dengan masyarakat
yang terkena bunga dan tanah berdasarkan pasal 15 ayat 1 peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan
Presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dasar perhitungan
besarnya ganti kerugian berdasarkan atas22

21
Achmad rubaye ,2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, pusderankum dan Bayu media
publishing hlm 12 .

22
Adrian sutedi, 2008, implementasi prinsip kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan, Sinar Grafika hlm 85.

29
a. nilai jual objek pajak atau NJOP atau nilai nyata atau
sebenarnya dengan memperhatikan nilai jual objek pajak tahun
berjalan berdasarkan penilaian lembaga atau tim penilai harga
tanah yang ditunjuk oleh panitia.
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian dalam penentuan
besarnya ganti kerugian pelaksanaan pengadaan tanah harus
melakukan musyawarah dengan pihak-pihak terkait dan
konsultasi publik agar tidak ada salah satu pihak yang merasa
dirugikan khususnya yang terkena pengadaan tanah dan
pemerintah juga harus memperhatikan nasib masyarakat yang
terkena pengadaan tanah fase pembangunan.23

Yesi nurmantiasari, 2018, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi
23

Manusia, Hlm 30 -38

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dikenal dengan hak
Eigendom sebagaimana diatur dalam pasal 570 KUHPerdata. Hak Eigendom tersebut
bersifatmutlak dan pemiliknya dengan cara yang seluas mungkin dapat menikmati dan
mempergunakannya, bahkan dengan sifat kemultakannya, maka hak itu keluar dari
domein negara sebagaimana diatur dalam domein verklaring, yakni selain tidak
dibuktikan dengan hak eigendom seseorang maka semua hak atas tanah adalah
domein negara. Setelah Gubernur Jendral menyatakan suatu bidang tanah dicabut
untuk kepentingan umum sekaligus menetapkan ganti ruginya, maka pihak yang
dicabut haknya dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri dan dapat
banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Dalam keadaan biasa, Apabila pemerintah
memerlukan tanah termasuk apabila kepentingan umum mengkehendaki, terdapat
ketentuan untuk memperoleh tanah berdasarkan Keputusan Pemerintah .
Dalam Pasal 1 Bijblad Nomor 11372 tersebut dimuat antara lain bahwa
pengambilan tanah oleh pemerintah pada asasnya harus diselenggarakan atas
persetujuan dari pemiliknya, baik berhubung dengan atau tidak adanya suatu undang-
undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum mengkehendaki pencabutan hak
milik atau suatu benda atau hak, maka maksud itu hendaknya dicapai melalui jalan
perundingan dengan pemiliknya atau yang berhak. Apabila untuk penyerahannya atau
pelepasan haknya dijumpai banyak keberatan, maka gubernur mengajukan usul untuk
mengadakan pencabutan hak atau tindakan lain terhadap tanah atau hak-hak yang
diperlukan itu. Jadi dalam Bijblad ini pencabutan hak baru dapat dilakukan apabila
tidak tercapai kesepakatan dengan pemilik tanah mengenai harga pembayaran
pembelian tanah, dengan syarat pengambilan tanah itu harus dengan suatu ketentuan
undang-undang. Untuk pelaksanaan pengambilan tanah dan penentuan harga tanah
yang akan diambil tersebut, dibentuk satu komisi atau panitia yang susunannya paling
sedikit terdiri dari 3 Diumumkan dalam berita negara dan surat kabar.

31
Sementara ketentuan pengadaan tanah unutk keperluan Pemerintah/Dinas
sebagaimana yang masih memberlakukan Bijblad Nomor 11372 Jo. Presiden Nomor
65 Tahun 2006
Penegasan terhadap pengaturan ganti rugi juga diatur lebih lanjut melalui
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini yakni bentuk ganti rugi berupa kerugian
fisik dan non fisik yang dapat memberikan kelangsungan hidup lebih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena dampak pengadaan tanah.
B. Saran
Pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah harus memberikan
kepastian ganti kerugian kepada pemegang hak milik atas tanah sehingga dengan
adanya ganti rugi yang layak dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
pemegang hak atas tanah akibat dari pengadaan tanah yang dilakukan serta pada tahap
proses pelaksanaan harus ditunjang dengan kesiapan perencanaan, anggaran dan
kepanitian pengadaan tanah yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dibidang
pelaksanaan pengadaan tanah, disisi lain masyarakat kooperatif sertja bekerja sama
dengan panitia pengadaan tanah serta dalam hal menentukan harga tanah subyek
pengadaan tanah haruslah rasional dan tidak menentukan harga yang sangat mahal
agar proses pengadaan tanah dan pembangunan ruang terbuka hijau di Kabupaten
Banggai dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan.

32
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Muhammad Yamin. Pencabutan Hak Pembebasan dan Pengadaan Tanah. Bandung:
Mandar Maju, 2019.

Maria S.W. Soemardjono, Nurus Zaman. Politik Hukum Pengadaan Tanah Antara
Kepentingan Umum Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Madura: Revika
Aditama, 2016.

Muis, Abdul. Pembangunan dan Problematika Pertanahan. Jakarta: P3M, 1994.

Nurmantiasari, Yesi. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Ditinjau dari Aspek Hak
Asasi Manusia. Jawa Timur: Universitas Jember, 2018.

Parlindungan, A.P. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan. Bandung: Mandar Maju, 1993.

Putu Satria Satwika Anantha, Ibrahim R. "Kepastian Hukum Undang-Undang Cipta Kerja
Terhadap Undang-Undang Pokok Agraria mengenai Domein Verklaring." Udayana
Master Law Journal, 2021: 857-865.

R, Fitriani. Pelaksanaan Ganti Rugi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam
Perspektif Hukum Ekonomi Islam dan Hukum UUPA (Studi Kasus Pembuatan Tol
Sumatera di WIlayah Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan). Lampung: Universitas Islam
Negeri, 2018.

Rubaye, Achmas. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,. Malang:


Pusderankum dan Bayu Media Publishing, 2007.

Sarjita, Westi Utami. Tanah di Indoensia dan Beberapa Negara dari Masa ke Masa.
Yogyakarta: STPN Press, 2021.

Sihombing, B.F. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia. Jakarta:
Toko Gunung Agung, 2005.

Suhedar, Endang. Tanah sebagai Komoditas, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde
Baru. Jakarta: ELSAM, 1996.

Sutedi, Adrian. Iimplementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

33

Anda mungkin juga menyukai