Anda di halaman 1dari 36

SENGKETA TANAH TERLANTAR WARGA DESA TUMBREP JAWA

TENGAH DENGAN PT.TRATAK(PERUSAHAAN PERKEBUNAN)


Makalah
Diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Hukum Agraria
Dosen :
Dr.Ida Nurlinda,SH.,MH
Oleh :
Nama : Masri
NPM : 110120120026
Kelas :A

MAGISTER HUKUM BISNIS


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013

1
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

BAB II KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR

A. Tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

B. Pengertian atau Konsep Tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

C. Kriteria Tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

D. Kedudukan Tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

16

BAB III KEWENANGAN, MEKANISME DAN PERLINDUNGAN HUKUM


ATAS TANAH TERLANTAR
A. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar . . . . . . . . . . 19
1. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar . . . . . . . . . 21
B. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
1. Tata Cara Penertiban tanah Terlantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
C. Perlindungan Hukum yang Dapat Diberikan Kepada Pemilik Hak atas
Tanah Diterlantarkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
BAB IV KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa serta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan lahan
menjadikan tanah sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan, sehingga
terjadi peningkatan permintaan akan tanah dan bangunan.
Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan menjadi sangat bernilai,
sehingga orang yang memiliki tanah dan bangunan akan sedapat mungkin
mempertahankan hak milik atas tanahnya. Selain itu sebagai salah satu faktor
produksi, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia, hal ini dapat dimaklumi bahwa manusia akan senantiasa memerlukan
tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan nantinya untuk
pemakaman.
Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan
sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah
berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan
tanah juga memberikan penghidupan baginya.1
Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi manusia. Tanah
mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam
maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang
relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat
pula2, sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33
1
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172

3
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
selanjutnya disebut UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang selanjutnya disebutkan UUPA menyebutkan : “Seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan “Hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam
ayat (2) adalah hubungan yang bersifat abadi”. Hubungan yang bersifat abadi
artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja
tetapi generasi seterusnya. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga
jangan sampai dirusak atau ditelantarkan.
Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum
dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara
perlindungan hukum bagi rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap
mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan
pembangunan yang berkelanjutan3.

Dengan demikian penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang


berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh

2
Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia, hal.
73.

4
merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah
menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan
lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat
dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah
maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah
kosong atau tidak produktif.
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan
yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau
pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga
berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional,
tertutupnya akses sosial- ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta
terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.
Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang
tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Fungsi sosial hak-hak atas tanah
mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan
tujuan pemberian haknya.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan
tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula
kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan

5
tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi
rakyat seluruhnya.
Munculnya kasus sengketa tanah banyak yang berawal dari tanah terlantar
seperti halnya sengketa tanah terlantar yang dihadapi oleh warga Desa Tumbrep
sebagai Tergugat melawan PT.Tratak (Perusahaan Perkebunan) yang sebagai
pada sengketa ini berkedudukan sebagai Penggugat.
Gugatan ini berawal pada tahun 1988. Tratak mendapat Hak Guna Usaha
(HGU) untuk sekitar lahan seluas 89.841 hektare (ha). Dalam proposal Tratak,
HGU No.1/ Batang itu sedianya akan ditanami cengkeh dan kopi, tapi, pada
1998, Tratak klaim, lahan diduduki masyarakat sehingga tak dapat menjalankan
usaha seperti dalam proposal permohonan HGU. Upaya mendatangkan polisi dan
TNI untuk mengamankan lahan gagal dilakukan. Akhirnya, polisi dan TNI
mundur teratur dari lahan HGU Tratak. Perusahaan pun juga membiarkan
kembali lahan HGU-nya.
Kondisi tersebut membuat BPN menyampaikan peringatan pada Tratak
untuk mengurus lahannya. Tapi, hingga tiga kali peringatan dan batas waktu
yang diberikan, Tratak tak juga memberi respon. Majelis hakim yang dipimpin
Amir Fauzi dan didampingi dua anggota, masing-masing Andry Asani dan Teguh
Satya Bakti menguraikan, objek sengketa masuk dalam ranah UU No.5 Tahun
1986 tentang Peradilan TUN. Dengan pokok sengketa adalah SK BPN RI Nomor
7/PTT-HGU/BPN RI/2013 tentang pembatalan HGU PT Tratak.
Majelis juga menyatakan menerima tiga belas warga Tumbrep sebagai
tergugat intervensi dalam sengketa ini. Sehingga penolakan penggugat terkait
tergugat intervensi tidak diterima untuk menguatkan fakta benar tidaknya Tratak
menelantarkan HGU yang didapatnya. Terbitnya SK BPN menjadi pertimbangan
awal majelis. Menurut mereka penerbitan SK itu harus dilandasai Pasal 27 dan
Pasal 34 huruf e UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA). Lalu, PP No.11 Tahun 2010 tentang Tanah Terlantar.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan itu, majelis berkesimpulan bahwa

6
tanah terlantar itu harus ada pemilik atau pemegang hak. Kemudian, ada tanah
hak yang tidak terpelihara dan tidak digunakan.
Berdasarkan bukti yang terungkap di pengadilan, majelis berpendapat
proses penerbitan SK BPN itu sudah melalui tahapan seperti amanat peraturan
perundang-undangan. Memang, HGU atas nama Tratak, tetapi tidak terpelihara
dengan baik. Karena itu, petani menggarap sendiri lahan di atas HGU Tratak dan
menjadi subur. Beda perlakuan yang dilakukan Tratak saat mengelola lahan
HGU, yaitu membabat hutan dan tidak ditanam lagi. Bahkan, HGU tak ditanami
cengkeh dan kopi sesuai proposal. Bahkan, pengelolaan HGU disubkontrakan
dengan pihak lain dan disamarkan.
Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika
mengenai peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah, sebagaimana kita
ketahui bahwa UUPA belum menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai
penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun
1998 Jo Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang belum juga memberikan
batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang telah diberi hak
penguasaan atas tanah kepada subjek Hukum oleh Pemerintah sebagai Regulator.
Dari uraian diatas, maka dapat mengemukakan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Kewenangan dan Mekanisme penyelesaian sengketa Tanah
Terlantar ?
2. Bagaimana Konsekuensi Hukumnya dan Perlindungan Hukum yang
dapat diberikan kepada Pemegang Hak Atas Tanah Terlantar?

BAB II
KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR

7
A. Tanah terlantar
Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang
berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang
penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya
pembaharuan di bidang agraria. UUPA merupakan dasar dari lahirnya
perundang-undangan lainnya dan peraturan-peraturan pendukung dalam
mengatur kebijakan di bidang pertanahan.
Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara
untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang
pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak
atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta
sifat dan tujuan pemberian haknya.
Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan
hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam
pemberian hak itu ada maksud agar tidak menelantarkan tanah.

B. Pengertian atau Konsep Tanah Terlantar


Menurut J.J.H. Bruggink, Het begrip is datgene dat in ons denken
ontstaat als de betekems van het woord, gezien de verwijzing van dat woord
naar een bepaald object of person. Hierboven is nog eens gezegd dat die
betekenis afhangt van zowel de talige als de buiten-talige contekst.4

4
J. J. H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,

Deventer,Kluwer, Page. 40.

8
Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari
perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada obyek tertentu atau orang
tertentu. Jadi bergantung pada baik konteks kebahasaan maupun bukan
kebahasaan. Sebelum menjelaskan konsep tanah terlantar perlu dipahami
pengertian konsep sebagaimana dijelaskan oleh Radbruch. Ia mengemukakan
pendapatnya yang berkaitan dengan konsep hukum sebagai berikut : 5
“Terdapat dua jenis konsep hukum yakni konsep hukum yang yuridis
relevan (legally relevant concepts ) dan konsep hukum asli ( genuine legal
concepts ).Konsep yuridis relevan adalah konsep hukum yang merupakan
komponen aturan hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk mendapatkan
situasi fakta dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan
dengan interpretasi misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi, atau
mengambil. Sedangkan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis
yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak,
kewajiban, hubungan hukum dan sebagainya”.
Satjipto Rahardjo, mengemukakan pentingnya sebuah konsep digunakan
untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan
hukum. Dengan demikian konsep-konsep hukum yang dipakai hendak
merumuskan pengertian-pengertian yang tercakup di dalamnya atau digunakan
untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan
hukum. Konsep tanah terlantar dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian
tanah terlantar .
1. Menurut UUPA.
Pengertian tanah terlantar tidak ditemukan dalam UUPA. Dalam
UUPA disebutkan bahwa hak atas tanah akan berakhir atau hapus karena

5
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian
tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandar Maju, Bandung, hal. 154.

9
tanahnya ditelantarkan. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan
tanah terlantar dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :
“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
b. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).
c. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ). 6
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa
setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila
ditelantarkan. Artinya ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak
mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada
haknya.
2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena
dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan
karena tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh
karena itu dalam Menimbang pada huruf b disebutkan , “bahwa dalam
kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh
perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam ketentuan Menimbang
huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hak atas tanah hapus
dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan.

6
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, hal.
311-312.

10
Pasal 1 ayat (5) PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar
adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang
hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas
tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya pengertian tanah terlantar
diulang kembali dalam Pasal 3 yang menyatakan : “Tanah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai
tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan
oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya atau tidak dipelihara dengan baik “. 7 Apabila diperhatikan, ternyata
banyak pengertian yang diberikan oleh PP No.36 tahun 1998 untuk
menyatakan sebidang tanah adalah terlantar. Jika di inventarisasi sebagai
berikut :
a. Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai
peruntukannya menurut RTRW yang berlaku.
b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya.
c. Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian
yang baik sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
d. Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “
Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
7
Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas
Terbuka, Jakarta, hal. 45.

11
tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah
yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang
ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan
pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari
pejabat yang berwenang. 8
Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah
yang ada dasar penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan
tujuan haknya.

C. Kriteria Tanah Terlantar


Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara
mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam tanah terlantar. Adapun unsur-
unsur yang ada pada tanah terlantar :
1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek).
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau
kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.
5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada Negara.
Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka
kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah
terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-
8
Boedi Harsono, op.cit, hal.339.

12
penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian
hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat
atau tidak terpelihara itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Dengan demikian kriteria tanah terlantar adalah :
1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Harus ada tanah hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan
lain-lain ) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan
tanahnya menurun.
3. Harus ada jangka waktu tertentu.
4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27
UUPA yang menyatakan : Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya,
maka kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena
hanya ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ), dan ada perbuatan yang
mengakibatkan tanah menjadi terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak
ditentukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah
terlantar diatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian :
1. Mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai meliputi :

Pasal 3 yang menyatakan bahwa :


“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai
dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan
sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan

13
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa :
“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak
dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka
penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut
tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata
Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau
pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”
Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya
atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan
tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian
tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6 menyatakan bahwa :
(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk
dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya
tidak diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut
tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana
kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar,
maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan
terlantar.

14
2. Mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :
Pasal 7 yang menyatakan behwa :
(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila
kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian
pelimpahan kewenangan tersebut.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya
bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
3. Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :
Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak
atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh
pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya
atau tidak dipelihara dengan baik.
(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah
terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat
dinyatakan terlantar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria
tanah terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan
jangka waktu tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan
Pemerintah tersebut ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak
( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Pengelolaan, adanya perbuatan yang dapat mengakibatkan tanah menjadi
terlantar.
Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara

15
berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian dilaksanakan : terhitung mulai 3
(tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas
tanah dari pejabat yang berwenang. 9
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan kriteria
tanah terlantar meliputi, subyek/ pemegang hak atas tanah, obyek hak atas
tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan), adanya perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka
waktunya terhitung 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/
keputusan/ surat dasar penguasaan tanah dari pejabat yang berwenang.
D. Kedudukan Tanah Terlantar
Berdasarkan tata jenjang / hierarki hak-hak penguasaan atas tanah, hak
menguasai dari negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi
wewenang kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan dan
peruntukan tanah, yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/
individu atau Badan hukum berupa hak-hak atas tanah.
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan
hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah
untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran.
Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami
bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,
kewajiban dan atau larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
9

16
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya
untuk menggunakan tanahnya. Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang
yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi
dua yaitu :
1. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh
bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi ( Pasal
4 ayat (2) UUPA ).
2. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyaiwewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam
hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat
untuk kepentingan pertanian dan atau untuk mendirikan bangunan, wewenang
pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya
untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan,
atau perkebunan.
Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA
menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak
atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap

17
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan
tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.”
Hak-hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada
pemegang haknya untuk menggunakan tanahnya, juga menentukan kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh pemegang haknya. Pemegang hak atas tanah
agar menggunakan, mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai
dengan pemberian haknya sehingga tidak menelantarkan tanahnya.
Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e
yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke
tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Secara yuridis hak atas
tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai
sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban tersebut atau dilanggarnya
sesuatu larangan oleh pemegang hak yang bersangkutan.
Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut
bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus
dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak
atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.10
Jadi dapat dikatakan bahwa kedudukan tanah terlantar akhirnya menjadi
tanah negara atau kembali dalam hak penguasaan negara. Selanjutnya dapat
diserahkan kepada subyek lain untuk segera diberdayakan kembali atau
diusahakan kembali.
BAB III
KEWENANGAN,MEKANISME DAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS
TANAH TERLANTAR

A. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar

10
Ibid,Hlm.123

18
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh
Negara” terlihat bahwa kewenangan dibidang pertanahan dilaksanakan oleh
negara yang dalam pelaksanaan dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan
kewenangan yang bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No.
5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai
bagian dari bumi.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai
personifikasi dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu
membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution),
menggunakan (use), menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance),
atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan
alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan
ada pada negara, di mana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh
Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada Menteri.11
Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan
tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan di
bidang pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah
Pusat didasarkan pada beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah
merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia. Kedua, seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang
angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Ketiga, hubungan
antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat

11
Edy Ruchiyat, loc.cit.

19
abadi. Dengan demikian kewenangan untuk mengurus bidang pertanahan ada
pada Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan Pemerintah Pusat.
Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap
penyelenggaraan kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan
konsep Negara Hukum dimana setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
harus ada aturan yang mengaturnya.
Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat
pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah
untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi
wewenang. Adanya pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan
keabsahan bagi tindakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam
menjalankan urusan pemerintahannya haruslah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan pemerintah sah adanya
dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda.
Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan
delegasi dari pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010
yang menyatakan bahwa “ Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan
pendayagunaan tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan
secara berkala kepada Presiden “. Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar
dibentuk sebuah panitia. Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur
Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5
PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan tersebut terjadi kekaburan norma
karena instansi terkait yang dimaksud tidak jelas.
1. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar.

20
Berdasarkan pada PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4
Tahun 2010 organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah
Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah
dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun wewenang
yang dimiliki adalah :
A. Panitia C
Berdasarkan Pasal 7 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 11 Peraturan Kepala
BPN No. 4 Tahun 2010 Panitia C memiliki wewenang untuk melakukan:
1. Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :
a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. Mengecek buku tanah dan / atau warkah dan dokumen lainnya untuk
mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan
tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. Meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait,
dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi
keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;
d. Melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
peta
f. pertanahan;
g. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
h. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
i. Melaksanakan sidang Panitia; dan
j. Membuat berita acara.
2. Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan Berita Acara
kepada Kepala Kantor Wilayah.
B. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional berwenang :

21
1. Memberikan peringatan kepada Pemegang Hak yang telah menelantarkan
tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan
oleh Panitia C. Berdasarkan Pasal 8 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 14
Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 dinyatakan :
(1.) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar,
maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus
memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat
peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut
sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin / keputusan / surat
sebagai dasar penguasaannya.
(2.)Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan
peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan
peringatan pertama.
(3.)Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan
peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan
kedua.
2. Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah
terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (6) yang menyatakan
bahwa : Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Kepala Kantor Wilayah
mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan
sebagai tanah terlantar.
C. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

22
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk
membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan
oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP
No.11 Tahun 2010 dan Pasal 19 Perraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010.
Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :
(1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usula
Kepala Kantor Wilayah;
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak
atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan
bahwa tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.

B. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar
hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara
untuk diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang
pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya,
artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika
kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau
batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada
maksud agar tidak menelantarkan tanah.
Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar dapat

23
dikemukakan sebagai berikut :
1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :“Tanah
ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).
3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ).
1. Tata Cara Penertiban tanah Terlantar
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan
hukum dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan
tanah untuk mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau
kemakmuran. Agar tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas
tanah memahami bahwa setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian
wewenang, kewajiban dan atau larangan untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki.
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya
untuk menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah
menentukan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas
tanah. Pasal 10 UUPA menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara tanah,
termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah
kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang
ekonomi lemah.”
Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40
huruf e yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh

24
ke tangan negara apabila tanah tersebut ditelantarkan. Tanah hak milik, tanah
hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak pakai,dan hak pengelolaan
atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau
tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya, atau ditelantarkan maka hak atas tanahnya
tersebut akan hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara, yang
artinya tanah tersebut menjadi tanah negara kembali.
Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika dibatalkan oleh
pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya
kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak
yang bersangkutan. Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan
pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru
menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang
hapus hak-hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi
tanah negara.12
Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah
diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap
pemegang hak yang menelantarkan tanahnya. Tindak pemerintahan dalam
hukum administrasi digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak
pemerintahan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan
yang berdasarkan fakta (feitelijke handeling). Tindak pemerintahan yang
berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu tindakan
hukum privat dan tindakan hukum publik. Tindakan hukum publik dibedakan
menjadi dua yaitu tindakan hukum publik bersegi satu atau sepihak dan
tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak. 13

12
Boedi Harsono,op.cit, hal.339.
13
Indroharto, op.cit. hal.239.

25
Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat
bersifat individual.Tindakan hukum publik sepihak bersifat umum terdapat
dalam bentuk pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat
konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat
individual terdapat dalam bentuk keputusan atau beschikking.
Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil
tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata
Usaha Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya
pelanggaran terhadap kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata
Usaha Negara maupun pada pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-
undang. Badan atau Pejabat TUN berwenang untuk bertindak secara nyata
tanpa memerlukan adanya putusan pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan
penertiban itu dilaksanakan, tentunya pihak yang bersangkutan harus
diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan suatu
tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang dapat digugat
keabsahannya.
Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi
antara lain :
a. Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturan
yang dilanggar disebutkan.
b. Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apa
yang harus dilakukan.
c. Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
d. Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benar-
benar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan
penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

26
Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala
BPN RI merupakan tindakan hukum publik sepihak, sehingga agar tidak
menimbulkan kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka sebelum
keputusan itu ditetapkan perlu diperhatikan asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma
bagi perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping
norma-norma di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma
hukum tidak tertulis yang senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh
pemerintah dalam mengambil tindakan dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam mengeluarkan keputusan penetapan tanah terlantar harus
dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas
tanah yang dimanfaatkan sehingga dalam penetapan sanksinya ada
keseimbangan terhadap kewajiban yang dilanggar apalagi bila disimak
ketentuan PP No 11 Tahun 2010 tidak mengatur tentang ganti rugi yang
diperoleh pemegang hak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Dalam PP No 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun
2010 pasal 20 dinyatakan : Sebagai bahan pertimbangan dalam Penetapan
tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap
tanah hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan
persentasenya sebagai berikut:

27
a. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100%
diterlantarkan;
b. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100% diterlantarkan,
c. dan sebagian kecil terlantar, dengan kisaran = 25 % diterlantarkan.
Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan
penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas
tanah tersebut. Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan
penetapan tanah terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah
tersebut, dan selanjutnya kepada bekas pemegang hak diberikan kembali
sebagian tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan
sesuai dengan keputusan pemberian haknya, dengan melalui prosedur
permohonan hak atas tanah. Terhadap tanah yang ditelantarkan kurang dari
atau sama dengan 25 (dua puluh lima ) persen maka keputusan penetapan
tanah terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang ditelantarkan dan
pemegang hak dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah
tersebut.
Dengan demikian akibat hukum dari pemegang hak atas tanah yang
tidak melaksanakan kewajibannya, hak atas tanahnya akan hapus dan jatuh
ketangan negara, dan tanahnya langsung dikuasai Negara

C. Perlindungan Hukum yang Dapat Diberikan Kepada Pemilik Hak atas


Tanah Diterlantarkan
Akibat hukum apapun yang ditimbulkan dari tanah yang diterlantarkan
oleh pemegang haknya, harus tetap memperhatikan hak-hak pemegang hak atas
tanah tersebut. Untuk itu dalam menyelesaikan permasalahan ini tidak boleh

28
mengeneralisasikan tanah-tanah yang diterlantarkan tanpa melihat sebab-sebab
tanah tersebut diterlantarkan.
Dalam hal ini PP. No. 36 Tahun 1998, Pasal 11 ayat (2) menentukan
bahwa tanah yang dimiliki perorangan yang diterlantarkan karena faktor ekonomi
memiliki perbedaan akibat hukum dengan tanah yang diterlantarkan karena
memang tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan
tujuan pemberian haknya (Pasal 11 ayat (3) huruf (b)), begitu juga dengan tanah
yang diterlantarkanyang dimiliki oleh suatu badan hukum.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari tanah perorangan yang
diterlantarkan karena faktor ekonomi memberikan hak kepada pemegang hak atas
tanah terhadap pembinaan dalam mendayagunakan tanahnya, sedangkan akibat
hukum dari tanah yang dimiliki suatu badan hukum atau perorangan yang
diterlantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian haknya dapat menyebabkan hapusnya atau beralihnya hak atas
tanah ke dalam pengusaan negara.
Namun untuk sampai pada penentuan bahwa tanah diterlantarkan, negara
tidak serta merta menetapkan tanpa pemberian kesempatan atau waktu kepada
badan hukum atau perorangan untuk segera menggunakan tanah sesuai dengan
keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya. Dalam hal ini
badan hukum dan perorangan yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk hal
tersebut di atas dengan adanya peringatan I sampai dengan peringatan III, di
mana masing-masing peringatan berlaku untuk 1 (satu) tahun, dan bila dihitung
keseluruhannya badan hukum atau perorangan yang bersangkutan diberikan
waktu 3 (tiga) tahun untuk segera menggunakan tanahnya.
Selain hal tersebut di dalam PP. No. 3 Tahun 1998 juga memberikan
perlindungan hukum lain bagi pemegang hak atas tanah, yaitu adanya pemberian
hak atas ganti rugi atas tanah yang telah dikuasai negara dengan ganti rugi
sebesar harga perolehan yang telah dibayar oleh yang bersangkutan, harga yang
diberikan juga dengan memperhatikan biaya yang telah dikeluarkan untuk

29
membuat prasarana fisik di atas tanah yang dinyatakan terlantar. Perlu dipikirkan
oleh pengambil keputusan dalam pemerintahan untuk memberlakukan pengetatan
izin pemanfaatan tanah atau izin lokasi dengan menambahkan persyaratan
tentang kualitas kemampuan perusahaan dalam pendanaan suatu kegiatan usaha,
selain itu diperlukan pengawasan yang benar-benar intensif dari instansi
pertanahan pada setiap perusahaan atau perorangan yang mendapatkan izin lokasi
atau izin pemanfaatan tanah.
Penegakan hukum di bidang pertanahan, pengetatan pemberian izin
pemanfaatan tanah atau izin , tidak cukup dilakukan apabila masyarakat pada
umumnya tidak memiliki kesadaran hukum, dan juga tidak cukup dilakukan
apabila partisipasi masyarakat sangat renda dalam memberikan laporan
mengenai tanah-tanah terlantar. Keseluruhannya harus berjalan secara sinergi,
tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya instansi pertanahan
baik di pusat maupun di daerah tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh
lapisan masyarakat.

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan kajian terhadap permasalahan dalam tulisan ini maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :

30
1. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana
pemerintah (Presiden ) mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah
terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010. Dalam
pelaksanaannya dibentuk Panitia C yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional,
Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait dengan peruntukan tanahnya yang
berwenang melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, mekanisme penertiban
tanah terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu :
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
2. Berdasarkan PP. No. 3 Tahun 1998 juga memberikan perlindungan hukum lain
bagi pemegang hak atas tanah, yaitu adanya pemberian hak atas ganti rugi atas
tanah yang telah dikuasai negara dengan ganti rugi sebesar harga perolehan yang
telah dibayar oleh yang bersangkutan, harga yang diberikan juga dengan
memperhatikan biaya yang telah dikeluarkan untuk membuat prasarana fisik di
atas tanah yang dinyatakan terlantar.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah
Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

31
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
Bandar Maju, Bandung.
.
Bruggink,J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,
Deventer, Kluwer.

Harsono Budi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Ruchiyat Edy, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi
Kedua, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional,


Surabaya, Indonesia

B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1998
Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010

C. Lain-lain
http://www.hukumonline.com
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51db966032fb6/ptun-kuatkan-status-
tanah-terlantar
http://joeharry-serihukumbisnis.blogspot.com/2009/06

32
LAMPIRAN KASUS
Selasa, 09 Juli 2013
PTUN Kuatkan Status Tanah Terlantar

33
Pengadilan TUN Jakarta. Foto : INU

Kantuk dan penat setelah sekitar delapan jam duduk di bus sewaan dalam perjalanan
dari Batang, Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berganti
dengan kegembiraan, pada Senin (8/7). Ucapan syukur tiada henti meluncur dari
penduduk Desa Tumbrep karena majelis hakim PTUN menolak gugatan PT Perusahaan
Perkebunan Tratak pada Badan Pertahanan Negara (BPN).

“Alhamdullilah. Terima kasih mas, mbak,” demikian ucapan seorang ibu berusia sekitar
50 tahun. Matanya berkaca bercampur senyum dan tangannya menjabat erat beberapa
pengacara publik dari Pilnet yang menjadi kuasa hukumnya dan sekitar 400 KK Desa
Tumbrep dalam gugatan itu.

Warga Desa Tumbrep menjadi turut tergugat intervensi dalam gugatan itu. Kesediaan
mereka menjadi turut tergugat intervensi ditujukan untuk mempertahankan tanah
terlantar yang mereka garap tetap berstatus tanah terlantar.

Gugatan ini berawal pada tahun 1988. Tratak mendapat Hak Guna Usaha (HGU) untuk
sekitar lahan seluas 89.841 hektare (ha). Dalam proposal Tratak, HGU No.1/ Batang itu
sedianya akan ditanami cengkeh dan kopi.

Tapi, pada 1998, Tratak klaim, lahan diduduki masyarakat sehingga tak dapat
menjalankan usaha seperti dalam proposal permohonan HGU. Upaya mendatangkan
polisi dan TNI untuk mengamankan lahan gagal dilakukan. Akhirnya, polisi dan TNI
mundur teratur dari lahan HGU Tratak. Perusahaan pun juga membiarkan kembali
lahan HGU-nya.

34
Kondisi tersebut membuat BPN menyampaikan peringatan pada Tratak untuk mengurus
lahannya. Tapi, hingga tiga kali peringatan dan batas waktu yang diberikan, Tratak tak
juga memberi respon.

Majelis hakim yang dipimpin Amir Fauzi dan didampingi dua anggota, masing-masing
Andry Asani dan Teguh Satya Bakti menguraikan, objek sengketa masuk dalam ranah
UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Dengan pokok sengketa adalah SK BPN RI
Nomor 7/PTT-HGU/BPN RI/2013 tentang pembatalan HGU PT Tratak.

Majelis juga menyatakan menerima tiga belas warga Tumbrep sebagai tergugat
intervensi dalam sengketa ini. Sehingga penolakan penggugat terkait tergugat intervensi
tidak diterima untuk menguatkan fakta benar tidaknya Tratak menelantarkan HGU yang
didapatnya.

Terbitnya SK BPN menjadi pertimbangan awal majelis. Menurut mereka penerbitan SK


itu harus dilandasai Pasal 27 dan Pasal 34 huruf e UU No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Lalu, PP No.11 Tahun 2010 tentang
Tanah Terlantar.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan itu, majelis berkesimpulan bahwa tanah


terlantar itu harus ada pemilik atau pemegang hak. Kemudian, ada tanah hak yang tidak
terpelihara dan tidak digunakan.

Berdasarkan bukti yang terungkap di pengadilan, majelis berpendapat proses penerbitan


SK BPN itu sudah melalui tahapan seperti amanat peraturan perundang-undangan.
Memang, HGU atas nama Tratak, tetapi tidak terpelihara dengan baik. Karena itu, petani
menggarap sendiri lahan di atas HGU Tratak dan menjadi subur.

Beda perlakuan yang dilakukan Tratak saat mengelola lahan HGU, yaitu membabat
hutan dan tidak ditanam lagi. Bahkan, HGU tak ditanami cengkeh dan kopi sesuai
proposal. Bahkan, pengelolaan HGU disubkontrakan dengan pihak lain dan disamarkan.

“Pengadilan menyatakan, pendapat penggugat bahwa tanah terlantar karena diserobot


masyarakat tidak terbukti,” tutur hakim Teguh Satya Bakti.

Mengenai objek sengketa, yaitu penerbitan SK pembatalan HGU oleh BPN, hakim Andry
Asani menilai sudah mengacu pada PP 11 Tahun 2010. Menurutya, dalil penggugat
bahwa penerbitan SK pembatalan itu bertentangan dengan kepastian hukum dinilai
tidak tepat.

“Oleh karena itu, majelis menolak gugatan penggugat,” kata ketua majelis Amir Fauzi
membacakan amar putusan.

Menanggapi itu, kuasa hukum penggugat, Budiono menilai keberatan dengan putusan
tersebut. Karena, majelis membiarkan pola penyerobotan lahan. “Tindakan
penyerobotan akan makin bertambah,” ujarnya.

35
Sedangkan Andi Muttaqien, kuasa hukum tergugat intervensi menyatakan dengan
putusan ini, BPN segera melanjutkan redistribusi lahan yang sudah dimanfaatkan
penduduk Desa Tumbrep, yang jumlahnya sekira 400 kepala keluarga. “Kami apresiasi
putusan majelis.” paparnya.

Tapi, BPN maupun kuasa hukumnya, tak dapat dimintai keterangan karena tak hadir di
pengadilan.

36

Anda mungkin juga menyukai