Anda di halaman 1dari 23

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Makalah Hukum Agraria Asril,S.HI.,S.H.,M.H.

HUKUM TANAH

DISUSUN OLEH :

DAHLIA (12020723353)

PIH-F/SEMESTER 5

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat
dan karunia-Nya yang tiada terkira. Semoga kita insan yang dhoif ini bisa selalu
istiqomah terhadap apa yang telah digariskan-Nya. Semoga kita selalu dalam
ridha-Nya. Shalawat beriring salam setulus hati kepada baginda Nabi Muhammad
dan ahlul baitnya (Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam), sang reformis agung
peradaban dunia yang menjadi inspiring leader dan inspiring human bagi umat di
seluruh belahan dunia. Semoga syafa’atnya kelak menaungi kita di hari
perhitungan kelak. Penulis dapat sampai pada tahap ini dan dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “HUKUM TANAH”. Penulis menyadari Makalah ini
masih belum sempurna karena keterbatasan penulis, oleh karena itu kritik dan
saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi makalah yang lebih baik dan
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Pekanbaru, Oktober 2022

Dahlia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

A. Hukum Tanah ........................................................................................... 4


B. Sumber Hukum Tanah .............................................................................. 9
C. Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia................................. 10
D. Hukum Tanah Adat ................................................................................ 17
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19

A. Kesimpulan ............................................................................................. 19
B. Saran ....................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya,
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian
dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu "Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang orang lain serta badan-badan hukum".

Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik


tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan
yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga
hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat,
yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.

Hukum Tanah ada yang beraspek publik dan beraspek privat Hak
bangsa Indonesia atas tanah beraspek publik dan privat, hak menguasai dari
negara atas tanah beraspek publik, hak ulayat masyarakat hukum adat beraspek
publik dan privat, dan hak-hak perseorangan atas tanah beraspek privat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait pembahasan makalah ini yaitu :
1. Apa pengertian Hukum Tanah ?
2. Apa saja Sumber Hukum Tanah ?
3. Bagaimana Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia ?
4. Apa itu Hukum Tanah Adat ?

1
2

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini diantaranya :
1. Untuk Mengetahui Hukum Tanah.
2. Untuk Mengetahui Sumber Hukum Tanah.
3. Untuk Mengetahui Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia.
4. Untuk Mengetahui Hukum Tanah Adat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Tanah
Dalam ruang lingkup agraria, Tanah merupakan bagian dari bumi,
yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah
sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu
"Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang orang lain serta badan-badan
hukum".1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.
2. keadaan bumi di suatu tempat.
3. permukaan bumi yang diberi batas.
4. bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,
napal, dan sebagainya).
Kata tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu atas permukaan
bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang kali lebar yang
diatur oleh hukum tanah. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang dengan hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan
dimanfaatkan.
Dalam Hukum Kebiasaan Inggris, pengertian tanah adalah per
mukaan bumi, bebatuan yang berada di bawah tanah atau di atas permukaan,
di dalamnya termasuk tumbuhan dan bangunan yang ada di atasnya.

1
Urip santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta:Kencana,2010), hlm.10-11
2

Selanjutnya definisi tanah dalam Statuta 205 (1) (ix) Law of Pro perty
Act (Undang-Undang Perumahan). Tanah meliputi lahan umum dan areal
pertambangan dan mineral, bangunan atau bagian dari bangunan dan tanah
hak bersama yang turun-temurun juga yang disewakan, dan fasilitas lain yang
diwarisi dan kemudahan memperoleh hak, hak pribadi atau sesuatu yang
menguntungkan yang dihasil dari tanah.
Dalam definisi ini, tanah dilihat dari aspek penguasaannya. Tanah dari
aspek penguasaannya dibagi dua macam, yaitu : tanah yang dikuasai di
bawah hak adat (hukum adat) dan Pengertian tanah dalam konsep ini.
meliputi konsep tanah dari aspek fisik dan aspek pemanfaatannya. Tanah dari
aspek fisiknya merupakan tanah, baik terdapat di dalam permukaan bumi
maupun yang terdapat di atasnya. Tanah dari aspek pemanfaatannya
merupakan tanah yang dapat digunakan dan dinikmati oleh pemiliknya atau
orang lain, baik terhadap hak-hak yang terdapat di bawah maupun di atas
tanah tersebut.
Pengertian lain tentang tanah dikemukakan oleh Maria R. Ruwiastuti.
Tanah adalah: "Suatu wilayah berpotensi ekonomi yang mampu menghidupi
kelompok manusia (bisa berupa hutan, sungai sungai, gunung, sumber-
sumber mineral maupun lahan-lahan pertanian) dan dihayati sebagai
perpangkalan budaya dari komunitas yang bersangkutan".
Konstruksi tanah dalam pengertian ini adalah sama dengan. wilayah
(area). Wilayah secara terminologis, yaitu daerah (kekuasaan, pemerintahan,
pengawasan) atau lingkungan daerah (provinsi, kabupaten). Pengertian tanah
dalam konstruksi ini seolah-olah tanah erat kaitannya dengan wilayah
administratif. Memang tanah itu ada yang berada di wilayah pedesaan atau
perkotaan.Menurut Maria R. Ruwiastuti mengemukakan ada dua fungsi
tanah, yaitu:
1. potensi ekonomis.
2. potensi budaya.
Potensi ekonomis merupakan potensi yang dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat yang berada di atas tanah tersebut. Tanah itu dapat
2

digunakan dan dikelola oleh pemiliknya. Tanah yang berfungsi ekonomi,


dapat berupa tanah:
1) Hutan.
2) Sungai-sungai.
3) Gunung.
4) Sumber-sumber mineral.
5) Lahan-lahan pertanian.

Dalam konstruksi ini, konsep tanah hanya dilihat pada lapisan atas
bumi, dan tidak termasuk bahan-bahan galian yang terkandung di dalamnya.
Karena bahan galian atau bahan tambang atau mineral. itu telah diatur dalam
act atau undang-undang tersendiri. Penguasaan tanah oleh negara dimaknakan
sebagai kewenangan negara untuk mengatur peruntukan dan penggunaan dari
tanah tersebut, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Penguasaan tanah oleh masyarakat
hukum adal dimaknakan sebagai kekuasaan atau kewenangan untuk
menempati dan menggunakan tanah yang berasal dari hak-hak adat.
Sementara itu, penguasaan tanah oleh individu atau badan hukum adalah erat
kaitannya dengan pemberian hak atau kewenangan kepada orang atau badan
untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah tersebut untuk kepentingannya.
Tanah itu dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk pembangunan
perumahan, pertanian dan peternakan, dan usaha-usaha produktif lainnya.2
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Sedangkan ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas,
berdimensi tiga yaitu panjang, lebat, dan tinggi, yang dipelajari dalam Hukum
Penataan Ruang.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya untuk memper gunakan atau mengambil manfaat dari tanah

2
Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,2015), hlm 7-10
2

yang dihakings Perkataan" mempergunakan mengandung pengertian bahwa


hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan,
sedangkan perkataan "mengambil manfaat mengan dung pengertian bahwa
hak atas tanah itu dipergunakan kepentingan bukan mendirikan bangunan,
misalnya pertanian perikanan, peternakan, perkebunan.
Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak
atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang di atasnya sekadar
diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Menurut Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah
keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan
lembaga-lembaga hukum dan hubungan hubungan hukum yang konkret."
Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang
dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi
serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional,
adalah:
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah.
2. Hak menguasai dari negara atas tanah.
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat. Hak-hak perseorangan, meliputi:
a. Hak-hak atas tanah.
b. Wakaf tanah hak milik.
c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).
d. Hak Milik atas satuan rumah susun.
2

Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik


tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan
yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga
hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan
privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga
keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang tertulis bersumber pada
UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan
tanah sebagai sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan-ketentuan
Hukum Tanah yang tidak tertulis bersumber pada Hukum Adat tentang tanah
dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkapnya.
Objek Hukum Tanah adalah Hak Penguasaan atas Tanah yang dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum Hak penguasaan
atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan
hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu
sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai
subjek atau pemegang haknya.
Hukum Tanah ada yang beraspek publik dan beraspek privat Hak
bangsa Indonesia atas tanah beraspek publik dan privat, hak menguasai dari
negara atas tanah beraspek publik, hak ulayat masyarakat hukum adat
beraspek publik dan privat, dan hak-hak perseorangan atas tanah beraspek
privat. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak
dengan hak atas tanahnya, ada 2 macam asas dalam Hukum Tanah, yaitu:
1. Asas Accessie atau Asas Perlekatan.
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah
merupakan satu kesatuan, bangunan dan tanaman tersebut bagian dari
tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan sendirinya, karena
hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di
2

atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan
pihak yang membangun atau menanamnya.
Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum
juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
2. Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan
Horizontal Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas
tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak
dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang
ada di atasnya.
4. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi
bangunan dan tanaman milik yang punya tanah yang ada di atasnya.
Jika perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi juga bangunan dan
tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta
yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang
bersangkutan.3
B. Sumber Hukum Tanah
Sumber Hukum Tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada
saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat
tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah
baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status
tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan
hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa
lampau dan saat ini.4

3
0pcit. hlm.11-13
4
B. F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,
(Jakarta:Gunung Agung, 2004), hlm. 55
2

C. Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah Di Indonesia


Sejarah penguasan hak atas tanah di Indonesia akan dimulai dari tonggak
sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran
Raffles dengan teori domeinnya.
1. Tonggak Pertama (1811)
Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih
diposisikan sebagai alat untuk menarik pajak bumi demi
kepentingan pemerintah jajahan Belanda. Dalam sejarah,
pemerintahan jajahan Belanda gagal melakukan administrasi
pertanahan dengan baik, maka setelah pemerintah Belanda
digantikan oleh pemerintahan jajahan Inggris, administrasi
pertanahan mulai ditata. Salab seorang penggagas perbaikan
administrasi pertanahan adalah Raffles. Tujuan Raffles dalam
menata sistem administrasi pertanahan dengan sistem domein,
yaitu ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti
apa yang dipergunakan oleh Inggris di India. Di India,
pemerintah kolonial Inggris menarik pajak bumi melalui
sistem pengelolaan agraria yang sebenarnya merupakan
warisan dari sistem pemerintahan kekaisaran Mughul atau
Mongol (1526-1707).Setelah Inggris benar-benar menguasai
Indonesia, maka dengan berbekal pengalaman di India
tersebut, Raffles lebih hati-hati menerapkan secara penuh
pengalaman di India tersebut, sehingga pada Tahun 1811
Raffles membentuk panitia penyelidikan yang diketuai oleh
Mackenzie (Komisi Mackenzie) dengan tugas melakukan
penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria. Berdasarkan
hasil penyelidikan, Raffles menarik kesimpulan bahwa semua
tanah adalah milik raja atau pemerintah. Dengan pegangan ini,
dibuatlah sistem penarikan pajak bumi (yang dikenal dengan
istilah Belanda Landrente). Sistem ini mewajibkan setiap
petani membayar pajak sebesar 2/5 (dua perlima) dari hasil
2

tunali garapannya. Teori Raffles ini ternyata mempengaruhi


politik agraria selama sebagian besar abad ke-19.
2. Tonggak Kedua (1830)
Tonggak sejarah perkembangan hukum agraria, khususnya
pengaturan hak atas tanah pada zaman ini, ditandai dengan
kembalinya Indonesia ke tangan pemerintah jajahan Belanda
yang kurang lebih 19 tahun berada di tangan Inggris. Pada
tahun 1830 pemerintahan Belanda di Indonesia dipimpin oleh
Gubernur Jenderal Van den Bosch yang mempopulerkan
sebuah konsep penguasaan tanah Cultuurstelsel atau yang
lazim disebut sistem Tanam Paksa. Adapun tujuan yang ingin
dicapai dari diadakannya sistem tanam paksa ini adalah untuk
menolong negeri Belanda yang keadaan keuangannya dalam
keadaan buruk.
Van den Bosch dalam menjalankan sistem tanam paksa ini,
tetap mengacu kepada teori yang dilakukan oleh Raffles
sebelumnya, yaitu tanah adalah milik pemerintah, para kepala
desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan selanjutnya
kepala desa meminjamkan kepada petani. Atas dasar ini, isi
pokok Cultuurstelsel adalah bahwa pemilik tanah tidak usah
lagi membayar landrente (2/5 dari hasil), tetapi 1/5 (seperlima)
dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu yang
dikehendaki oleh pemerintah seperti nila, kopi, temba kau, teh,
tebu dan sebagainya, kemudian harus diserahkan kepada
pemerintah (untuk ekspor ke Eropa). Hasil politik tanam paksa
ini ternyata demikian melimpahnya bagi pemerintah Belanda
sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal
swasta.
3. Tonggak Ketiga (1848)
Dalam tonggak kedua di atas telah dijelaskan mengenai
monopolinya pemerintahan jajahan Belanda atas tanah dan
2

hasil dari perkebunannya sehingga menimbulkan kecemburuan


dari kaum pemilik modal dari aliran liberal yang ada di
parlemen. Wakil-wakil dalam parlemen menuntut agar bisa
turut campur dalam urusan tanah jajahan yang sampai saat itu
hanya dipegang oleh raja dan menteri tanah jajahan. Terjadilah
pergolakan antara mereka dengan golongan konservatif
pendukung cultuurstelsel. Namun demikian, dengan kegigihan
dalam memperjuangkan tuntutannya tersebut, kaum liberal
memetik kemenangan pertama dengan disetujuinya perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar Belanda. Perubahan yang
terjadi pada Undang-Undang Dasar Belanda, yaitu dengan
adanya ketentuan di dalamnya yang menyebutkan bahwa
pemerintah di tanah jajahan harus diatur dengan undang-
undang.
Undang-undang yang dimaksud dalam perubahan Undang-
Undang Dasar Belanda tersebut selesai pada tahun 1854, yaitu
dengan dikeluarkannya Regerings Reglement (RR) 1845.
Salah satu ayat dari Pasal 62 RR menyebutkan bahwa
Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan
ketentuan-ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordonansi.
Tujuan utama gerakan kaum liberal di bidang agraria itu
adalah (1) agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap
penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak
(eigendom), untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan.
Sebab, tanah-tanah di bawah hak komunal ataupun kekuasaan
adat tidak dapat dijual atau disewakan ke luar, dan (2) agar
dengan asas domein itu, pemerintah memberikan kesempatan
kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka
panjang dan murah (yaitu erpacht).
Pada tahun 1865 Menteri Jajahan Frans van de Putte,
seorang liberal mengajukan Rencana Undang-Undang (RUU).
2

Isi rencana undang-undang ini antara lain adalah Gubernur


Jenderal akan memberikan hak erpacht selama 99 tahun, hak
milik pribumi diakui sebagai hak mutlak (eigendom), dan
tanah komunal dijadikan hak milik perorangan eigendom.
Ternyata RUU ini ditolak oleh parlemen, terutama kaum
liberal sendiri yang dimotori oleh Thorbeck, dan menteri Frans
jatuh. Dengan demikian, saat itu tujuan golongan swasta
Belanda untuk menanamkan modal di bidang pertanian di
Indonesia belum tercapai.
4. Tonggak Keempat (1870)
Jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte, karena
dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom
kepada pribumi. Adapun seluk-beluk agraria di Indonesia
belum diketahui benar-benar. Karena itu pada tahun 1866/
1867, pemerintah lalu mengadakan suatu penelitian tentang
hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa
di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid
pada tahun 1876, 1880, dan 1896, dengan judul Eindresume
van het Onderzoek naa de Rechten van den Inderlander op de
Grond (biasa disingkat Eindresume).
Namun pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil
penelitian tersebut. Pada tahun 1870, enam tahun sebelum jilid
pertama dari laporan tersebut itu terbit, Menteri Jajahan de
Waal mengajukan RUU yang akhirnya diterima olehparlemen.
Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian
ditambahkan kepada 3 ayat dari Pasal 62 RR tersebut,
sehingga menjadi 8 ayat, yang satu di antaranya menyebutkan
bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erpacht
selama 75 tahun (jadi bukan 99 tahun) seperti RUU Van de
Putte yang ditolak itu. Pasal 62 RR dengan delapan ayat ini
kemudian menjadi atau dijadikan Pasal 51 dari Indische
2

Staatsregeling (IS). Inilah yang disebut Agrarische Wet 1870


yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblaad) No.
55, 1870, Ketentuan-ketentuan di dalamnya, pelaksanaannya
diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan.
5. Tonggak Kelima (1960)
Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan
perundang-undangan di bidang agraria yang dibuat oleh
pemerintahan jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat
tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Perhatian pemerintah
terhadap pengaturan mengenai agraria dimulai sejak tahun
1948 dengan dibentuknya "Panitia Agraria". Setelah 15 tahun
Indonesia merdeka barulah lahir UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU
Nomor 5 Tahun 1960 melalui suatu proses yang panjang, yaitu
dimulai panitia Yogya pada tahun 1948, panitia Jakarta (1951),
panitia Soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958), dan
akhirnya rancangan Soedjarwo (1960). Untuk lebih jelasnya
akan diuraikan sebagai berikut.
a. Panitia Yogya (1948)
Pemerintah Indonesia telah memikirkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai agraria. Untuk
memberikan landasan hukum kepada panitia dalam bekerja
menyusun konsep UU Agraria tersebut, pemerintah
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948, yang
dikenal dengan "Panitia Agraria Yogya", yang diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo. Tugas yang diemban oleh panitia ini
adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai
kepada usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria
baru pengganti hukum kolonial yang berlaku di Indonesia
sejak 1870.
b. Panitia Jakarta (1951)
2

Panitia Yogya telah berhasil merumuskan beberapa usulan


yang telah disampaikan kepada DPR. Namun, pembahasannya
berhenti karena terjad beberapa gejolak (agresi militer Belanda
II, perubahan sistem politik, ibukota Republik Indonesia
pindah ke Jakarta). Oleh karena itu, panitia Yogya dibubarkan
dan dibentuklah panitia baru, Panitia Agraria Jakarta (1951),
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia Jakarta ini, selain
mengembangkan gagasan Panitia Yogya, panitia Jakarta juga
menghasilkan usulan-usulan baru. Gagasan yang diusulkan
oleh panitia Jakarta, yang penting di antaranya: (a) dianggap
perlu untuk adanya penetapan batas luas maksimum dan batas
minimum, (b) yang dapat memiliki tanah untuk usaha tanah
kecil hanya WNI, (c) pengakuan hak rakyat atas kuasa
undang-undang.

c. Panitia Soewahjo
Panitia Soewahjo dibentuk setelah Indonesia selesai
melakukan pemilihan umum pada tahun 1955, bertepatan
dengan terbentuknya kabinet baru hasil pemilihan umum
tersebut. Kemudian Panitia Jakarta diganti dengan panitia yang
diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Mandat utama yang
diemban oleh panitia ini adalah menyusun secara konkret
Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria Nasional, setelah
sebelumnya terdapat berbagai masukan dari panitia
sebelumnya. Dasar acuannya adalah Pasal 26, 37, dan 38 dari
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950). Namun pada
tahun 1957, panitia ini berhasil menyusun RUU, yang memuat
antara lain butir-butir penting berikut ini: (a) asas domein
dihapuskan diganti dengan asas "hak menguasai oleh negara",
sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS, (b) asas
bahwa tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh
2

pemiliknya, tetapi rancangan ini belum sempat disampaikan


kepada DPR.
d. Panitia Soenario (1956)
Panitia Soewahjo digantikan dengan Panitia Soenario,
karena perkembangan yang terjadi pada saat itu terlalu pesat
sehingga pemerintah memerlukan pergantian kepanitiaan
sebelumnya. Keberadaan panitia ini sebenarnya hanya
meneruskan hasil kerja panitia sebelumnya. Pada tanggal 24
April 1958 pemerintah menyampaikan naskah RUUPA yang
dikenal dengan rancangan Scenario kepada DPR. Dalam
amanat Presiden dalam pengantarnya yang menyertai amanat
meminta agar kalangan ilmiah, antara lain Universitas Gadjah
Mada diminta pendapatnya. Untuk menindaklanjuti
permintaan Presiden tersebut, maka dibuatlah kerja sama
antara Departemen Agraria, Panitia ad hoc DPR, dan
Universitas Gadjah Mada.
e. Rancangan Sadjarwo
Sadjarwo sebagai panitia yang dibentuk setelah
menggantikan panitia yang dipimpin oleh Soenario,
meneruskan kembali kerja sama antara Departemen Agraria,
Panitia ad hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada, akhirnya
berhasil mencapai kesepakatan dan menyusun naskah baru
pada tahun 1959, yang dijadikan dasar oleh Departemen
Agraria untuk menyusun RUU baru. Tepat pada tanggal 1
Agustus 1960 secara resmi disampaikan kepada DPR-GR
(setelah Dekrit 5 Juli 1959, DPR sementara diberi nama DPR
Gotong Royong). Dengan melalui suatu pembahasan yang
kurang dari satu bulan, maka RUU ini akhirnya diterima dan
disahkan oleh DPR-GR, dan diundangkan tepat tanggal 24
September 1960, sebagai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang lazim disingkat
2

UUPA). Kehadiran UU ini merupakan suatu penantian yang


panjang dari bangsa Indonesia akan adanya hukum agraria
yang merupakan buatan dari bangsa sendiri. Pada tahun 1960
ini pulalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang (Prp Nomor 56 Tahun 1960 yang
lazim dikenal sebagai Undang Undang Landreform).5
D. Hukum Tanah Adat
a. Hak Purba Masyarakat
Hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku
(klan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenband) atau
biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh tanah dan isinya
dalam lingkungan wilayahnya. Ada dua hal yang menyebabkan
tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
adat, yaitu:
1) Karena sifatnya, yakni merupakan satu-satunya benda
kekayaan yang meski mengalami keadaan yang
bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya,
bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih
menguntungkan.
2) Karena fakta, yakni suatu kenyataan bahwa tanah itu
merupakan tempat tinggal persekutuan.
b. Hak Persekutuan Atas Tanah/Hak ulayat
Persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah,
memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh tumbuhan yang
hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang
hidup yang bersifat religio magis. Obyek hak ulayat adalah tanah, air,
tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liat.
Persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya.
Hak ulayat mempunyai sifat komunalistik yang menunjuk adanya
hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah

5
Supriadi, M. Hum, Hukum Agraria, (Jakarta:Sinar Grafika, 2015), hlm. 42-47
2

tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan


masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga Magari, Hutan)
bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogis atau keluarga,
seperti suku.
c. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak perseorangan atas tanah ialah suatu hak yang diberikan kepada
warga-warga desa ataupun kepada orang luar atas sebidang tanah yang
berada di wilayah hak ulayat. Hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh
hak ulayat. Sebagai warga persekutuan, tiap individu mempunyai hak
untuk :
1) Mengumpulkan hasil-hasil hutan.
2) Memburu binatang liar.
3) Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
4) Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
d. Transaksi Tanah
Transaksi tanah adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh
sekelompok orang atau secara individu untuk menguasai sebidang tanah
yang dilakukan baik secara sepihak maupun secara dua pihak sesuai
dengan kebutuhan mereka. Macam-macam transaksi tanah, yaitu:
1) Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak, yaitu
pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga
persekutuan.
2) Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua
pihak.
e. Hukum Benda Lepas Atau Hukum Benda Bergerak.

Menurut hukum adat, maka yang dinamakan sebagai benda lepas


atau benda bergerak adalah benda-benda di luar tanah. Ruang
lingkupnya mencakup:

1) Rumah.
2) Tumbuh-tumbuhan.
2

3) Ternak.
4) Benda-benda lainnya.
Pada prinsipnya, setiap warga dalam suatu masyarakat adat tertentu
dapat mempunyai hak milik atas rumah, tumbuh tumbuhan, ternak dan
benda-benda lainnya. Mengenai rumah berlaku asas bahwa hak milik
atas rumah terpisah dengan hak milik atas tanah di mana rumah berada.
Asas tersebut hidup di beberapa daerah di Indonesia, kecuali rumah-
rumah batu yang dianggap bersifat permanen.

f. Hukum Hak Immateriil.

Hukum hak immateril yang merupakan hak mutlak, antara lain:


mencakup hak atas merek, hak oktroi (hak paten), hak cipta dan lain
sebagainya. Hukum hak immateriil juga terdapat di dalam hukum adat
yang antara lain mencakup hak cipta, gelar dan juga kedudukan-
kedudukan tertentu di dalam masyarakat.6

6
Erwin Owan H.S, dkk, Buku Hajar Hukum Adat, (Malang:Madza Media, 2021), hlm. 119-133
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.
Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari
bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang orang lain serta badan-badan hukum.
Sumber Hukum Tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada
saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat
tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah
baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status
tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan
hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa
lampau dan saat ini.

B. Saran
Demikianlah makalah ini dipaparkan, semoga para pembaca dapat
menambah ilmu pengetahuan dan mengerti dengan mata kuliah Hukum Agraria
tentang Sejarah Penyusunan Hukum Agraria Nasional. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah ini agar menjadi
makalah yang benar dan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Arba, (2015) Hukum Agraria Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika

H.S. Erwin. Owan, (2021)dkk, Buku Hajar Hukum Adat, Malang:Madza Media

Santoso. Urip, (2010), Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta:Kencana

Sihombing. B. F., (2004) Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah


Indonesia, Jakarta:Gunung Agung

Supriadi, (2015)Hukum Agraria, Jakarta:Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai