DISUSUN OLEH :
BOBBY FEBRIAN
(12020713600)
PIH-F/5
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat
dan karunia-Nya yang tiada terkira. Semoga kita insan yang dhoif ini bisa selalu
istiqomah terhadap apa yang telah digariskan-Nya. Semoga kita selalu dalam
ridha-Nya. Shalawat beriring salam setulus hati kepada baginda Nabi Muhammad
dan ahlul baitnya (Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam), sang reformis agung
peradaban dunia yang menjadi inspiring leader dan inspiring human bagi umat di
seluruh belahan dunia. Semoga syafa’atnya kelak menaungi kita di hari
perhitungan kelak. Penulis dapat sampai pada tahap ini dan dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (II)”.
Penulis menyadari Makalah ini masih belum sempurna karena keterbatasan
penulis, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan
demi makalah yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Bobby Febrian
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................................... 21
B. Saran ............................................................................................................... 21
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum tanah sebagai salah sistem bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah, bukan dari lembaga hukum maupun hubungan hukum
kongkret. Dalam sejarah perkembangan hukum agraria, masih banyak hal-hal
yang belum diatur dalam UUPA. UUPA hanya mengatur sebagian besar masalah
tentang pertanahan, untuk masalah yang lebih mengkhususkan UUPA belum
menjelaskan lebih rinci lagi. Misal tentang kasus penguasaan hak atas tanah yang
rinci belum diatur dalam UUPA.1
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1999), hlm 5
1
TLNRI No.2043. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-
Undang Agraria (UUPA). Sejak di undangkan UUPA, berlakulah Hukum Agraria
Nasional yang dibuatkan dengan keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda, antara lain Agrarische Basah Stb. 1870 No.55 dan Agrarische
Besluit Stb.187 No.118.2 Dengan demikian penulis akan membahas tentang
“HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (II)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hak Sewa?
2. Bagaimana Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara?
3. Bagaimana Perwakafan tanah hak milik?
4. Bagaimana Hak membuka tanah hasil hutan?
5. Bagaimana Hak pengelolaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hak sewa
2. Untuk mengetahui Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara
3. Untuk mengetahui Perwakafan tanah hak milik
4. Untuk mengetahui Hak membuka tanah hasil hutan
5. Untuk mengetahui Hak pengelolaan
2
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 1
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak Sewa
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila
ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran
uang sewa dapat dilakukan:
Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat
khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-
bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian
hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat
menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.
Bangunan itu menurut hukum yang berlaku sekarang menjadi milik pihak
penyewa tanah tersebut, kecuali kalau ada perjanjian lain. Dalam hal hak sewa
atas bangunan (HSAB), maka tujuan penyewa adalah menyewa bangunan yang
sudah ada diatas sebidang tanah. Bangunan itu bukan miliknya. Dengan
3
sendirinya penyewa bangunan itu juga boleh menggunakan tanah yang
bersangkutan. Tetapi, hanya sekedar dalam hubungannya dengan persewaan
bangunan itu. Dalam hal ini objek utama daripada hubungan sewa-menyewa itu
bukanlah tanahnya, melainkan bangunannya.3
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA,
meliputi Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat
sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus karena
mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA.4
Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara secara berurutan adalah
sebagai berikut:
3
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek hukum pertanahan dalam
pengelolaan hutan negara, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.62-63
4
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 130.
4
a) Hak Gadai (Gadai Tanah)
Pengertian Hak Gadai (gadai tanah), yaitu: hubungan antara seseorang
dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai
oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang
gadai. Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan tergantung
kepada kemauan atau kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Ciri-ciri Hak Gadai (gadai tanah) menurut hukum adat adalah:
➢ Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa.
➢ Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulang gadaikan tanahnya.
➢ Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera
ditebus.
➢ Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik
pemegang gadai bila tidak ditebus.
Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Gadai (gadai tanah):
➢ Hak Gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya pada suatu
waktu akan hapus.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya
pemegang gadai.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang
lain.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat
dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang
semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang
baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau
doorverpanden).
➢ Hak Gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya
dialihkan kepada pihak lain.
5
➢ Selama Hak Gadai (gadai tanah)nya berlangsung maka atas
persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah
(mendalami gadai).
➢ Sebagai lembaga, Hak Gadai (gadai tanah) pada waktunya akan
hapus.5
5
Bambang Eko Supriyadi, Op Cit. Hlm. 66
6
Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) disebut dalam penjelasan umum
UUPA, yaitu:
Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) menurut
Boedi Harsono, yaitu:
Jangka waktu Hak Usaha Bagi Hasil menurut hukum adat hanya berlaku
satu (1) tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka
waktunya tergantung pada kesediaan pemilik tanah, sehingga bagi penggarap
tidak ada jaminan untuk dapat menggarap dalam waktu yang
layak.Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu:
7
jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada
persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan hal itu
dilaporkan kepada kepala desa.
Hak pemilik tanah, berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas
dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak dan berhak menuntut pemutusan
hubungan bagi hasil jika ternyata kepentingannya dirugikan penggarap.
Sedangkan kewajiban, menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan
membayar pajak atas tanah yang garapan yang bersangkutan.
8
rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain. Hak Menumpang
biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang
lain yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk
tidak tertulis, tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat
desa/kelurahan, sehingga jauh dari kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi kedua belah pihak. Sifat dan ciri-ciri Hak Menumpang,
adalah:
➢ Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu waktu
dapat dihentikan.
➢ Hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan
oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut.
➢ Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang
sewa) kepada pemilik tanah.
➢ Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
➢ Bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya.
➢ Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hapusnya Hak Menumpang,
adalah sebagai berikut:
➢ Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum
antara pemegang Hak Menumpang dengan tanah yang
bersangkutan.
➢ Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan
umum.
➢ Pemegang Hak Menumpang melepaskan secara sukarela Hak
Menumpang.
➢ Tanah musnah.
4. Hak Sewa Tanah Pertanian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak
Sewa Tanah Pertanian. Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan
hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik
9
tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan
sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak.
Hak Sewa Tanah Pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang
tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur unsur para pihak, objek,
uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian
dan penyewa. Faktor faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak
Sewa Tanah Pertanian, adalah:
➢ Jangka waktunya berakhir.
➢ Hak Sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari
pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah.
➢ Hak Sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa.
➢ Hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa.
➢ Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum.
➢ Tanahnya musnah.6
C. Perwakafan Tanah Hak Milik
Wakaf tanah hak milik diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UUPA, yaitu
perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik (diatur lebih lanjut dengan
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf).
6
Fadhil Yazid, Pengantar Hukum Agraria, (Medan : Undhar Press, 2020), hlm.77-84
10
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak
milik, yang oleh pemiliknya (seorang atau badan hukum) dipisahkan dari harta
kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.7
Perwakafan hak milik adalah perbuatan hukum suci, mulia, dan terpuji yang
dilakukan oleh seseorang untuk mengekalkan harta benda yang dimilikinya
dengan tujuan untuk diperoleh manfaatnya di kemudian hari. Perwakafan tanah
hak milik ini dapat dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dengan
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan
melembagakannya untuk selama lamanya menjadi "wakaf sosial" yaitu wakaf
yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya,
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Perwakafan hak milik atas tanah ini diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA,
yang menentukan: "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah". Selanjutnya dalam penjelasannya dikatakan: bahwa .....
pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, dalam Hukum Agraria yang
baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. UUPA memerintahkan
bahwa pengaturan perwakafan tanah Hak Milik dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pendaftaran tanah-tanah Hak Milik yang
diwakafkan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977,
7
Ibid. Hlm. 40-41
11
dan Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Wakaf diatur dengan Surat Kepala BPN
27 Agustus 1991 Nomor 630.1-2782.8
Dalam Pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dan seterusnya. Menurut Boedi
Harsono, karena hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, dalam
penyusunan hak-hak atas tanah dipergunakan juga sistematika hukum adat,
demikian dinyatakan dalam penjelasan tersebut. Untuk menyelaraskannya
dengan tata susunan hak-hak atas tanah dalam Hukum Adat, dalam Pasal 16
disebut Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan dalam rangkaian
hak-hak atas tanah yang dimaksudkan oleh Pasal 4 ayat (1). Padahal hak-hak
tersebut bukan hak atas tanah dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memberi
wewenang untuk menggunakan tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 4
ayat (2). Hak hak tersebut merupakan pengejawantahan hak ulayat dalam
hubungan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan tanah
ulayatnya.
8
H. Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm. 146-147
12
hak-hak atas tanah.9 Ada banyak aturan pertanahan di Indonesia yang tentu saja
mencakup bermacam-macam hak atas tanah. Pasal 16 Ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: hak
milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka
tanah; dan hak memungut hasil hutan. Selain itu, diakui pula hak-hak lain yang
diatur pada peraturan lain dan hak lain yang memiliki sifat sementara.
Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya
bersifat kepemilikan saja, melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik
hanya diperuntukan untuk berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah
berhak milik yang dapat diwakafkan. Hak ini adalah model hak atas tanah yang
terkuat dan terpenuh.
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah yang dikuasai
oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak guna usaha
dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan Indonesia. Jangka
waktu hak guna usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi
perusahaan. Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun.
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan
dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau badan hukum Indonesia. Hak
guna bangunan dapat diletaki di atas tanah negara atau tanah hak milik.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain. Namun, hak tersebut
muncul bukan karena perjanjian sewa atau perjanjian pengolahan tanah. Baik
warganegara Indonesia maupun warganegara asing dapat memiliki hak pakai.
Begitu pula badan hukum Indonesia dan badan hukum asing. Hak membuka
tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk memanfaatkan sumber
9
Bambang Eko Supriyadi, Op Cit. Hlm. 63-64
13
daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa hutan tersebut dimiliki oleh si
penerima hak.10
E. Hak Pengelolaan
10
Urip Santoso, Op Cit. hlm. 37
14
➢ Hak pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah bukan hak
atas tanah.
➢ Hak pengelolaan merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari hak
menguasai Negara atas tanah.
➢ Kewenangan dalam hak pengelolaan adalah merencanakan peruntukkan
dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada
pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Dalam kenyataannya hak pengelolaan ini lahir dan berkembang sesuai dengan
terjadinya perkembangan suatu daerah. Suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak perkantoran yang terdapat di kota-kota besar yang
mempergunakan tanah dengan hak pengelolaan.
15
➢ Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Menurut Eman Ramelan pihak yang dapat menjadi subyek atau pemegang
hak pengelola yaitu sebatas pada badan hukum pemerintah baik yang
bergerak dalam bidang pelayanan publik (pemerintah) atau yang bergerak
dalam bidang bisnis. Badan hukum swasta tidak mendapatkan peluang
untuk berperan sebagai subyek atau pemegang hak pengelolaan. Dengan
demikian, Hak pengelolaan tidak dapat diberikan kepada perseorangan
baik warga Negara Indonesia atau Orang asing yang berkedudukan di
Indonesia, badan Hukum Indonesia yang berbentuk yayasan, badan
keagamaan atau badan sosial. Hak pengelolaan hanya diberikan kepada
badan Hukum pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan publik
maupun bisnis yang mempunyai tugas pokok dan fungsinya berkaitan
dengan pengelolaan tanah. Artinya tidak setiap badan hukum dapat
mempunyai hak pengelolaan.
16
dan Effendi Perangin yang menyatakan bahwa hak pengelolaan
merupakan hak atas tanah, bahkan menurut Effendi Perangin hak
pengelolaan harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 196112, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Untuk mendapatkan jawaban mengenai kedudukan Hak pengelolaan
dalam Hukum Tanah Nasional menurut Urip Santoso dapat dianalisis
melalui pengertian, sifat, dan wewenang hak pengelolaan dikaitkan dengan
hak menguasai Negara atas tanah dan hak-hak atas tanah. Berdasarkan
pengertian, sifat dan wewenang dalam hak pengelolaan maka dapat
disimpulkan bahwa hak pengelolaan dapat dikategorikan hak atas tanah
yang bersifat right to use tidak right of disposal, artinya hak yang dimiliki
dalam hak pengelolaan hanya menggunakan tanah untuk kepentingan
tugasnya, tidak ada hak untuk mengalihkannya dalam bentuk apapun ke
pihak lain, dan tidak ada hak untuk dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
d) Terjadinya Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan berdasarkan peraturan perundang- undangan dapat
terjadi melalui penegasan konversi dan pemberian hak. Konversi adalah
perubahan hak atas tanah karena berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA dan tunduk pada aturan lain, seperti
BW dan hukum adat, diubah menjadi hak atas tanah yang berlakunya di
UUPA yaitu pasal 16 UUPA.14Sedangkan pemberian hak merupakan
mekanisme mendapatkan hak atas tanah melalui permohonan kepada
pemerintah untuk mendapatkan hak atas tanah dari tanah negara, apabila
pemohon memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang
pemerintah memberikan hak atas tanah tersebut.
Pertama, hak pengelolaan terjadi melalui penegasan konversi. Pasal 2
peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965 menentukan: “jika
penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-
departemen, direktorat-direktorat, dan daerah swatantra, selain digunakan
17
untuk kepentingan instansi- instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk
dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak
penguasaan atas tanah Negara tersebut dikonversi menjadi hak
pengelolaan.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut di atas, maka hak
pengelolaan dapat terjadi dengan adanya konversi dari hak penguasaan
atas tanah negara.
Mengenai konversi hak pengelolaan yang berasal dari hak
penguasaan, disebutkan oleh Ramli Zein,15 sebagaimana termuat dalam
surat Direktur Jendral Agraria Nomor: Btu. 3/692/3/77 tanggal 30 Maret
1977 yang ditujukan pada Gubenur di Seluruh Indonesia yang
menyebutkan: “Hak pengelolaan yang berasal dari pengkonversian hak
penguasaan berdasarkan peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965
sepanjang hak tersebut memberi wewenang yang sama dengan hak
pengelolaan tersebut diatas, dan pada saat berlakunya peraturan Menteri
dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 sudah didaftarkan di kantor sub.
Direktorat Agraria setempat serta sudah ada sertifikatnya dipersamakan
dengan hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Dengan demikian hak
pengelolaan asal konversi yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
diatas, bila pemegang haknya dikehendaki untuk memperoleh sifat dan
materi yang sama dengan hak pengelolaan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 1 peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 1977 harus diproses
ulang menurut ketentuan peraturan-peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1972 dan Nomor 5 Tahun 1973.”16 Dengan demikian,
jelas bahwasanya asal hak pengelolaan berasal konversi hak penguasaan
atas tanah, dan konversi tersebut haruslah didaftarkan pada kantor
pendaftaran Tanah (Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah di
Lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya).
Kedua, hak pengelolaan terjadi melalui permohonan hak. Selain
melalui penegasan konversi, hak pengelolaan dapat diperoleh melalui
permohonan hak yang berasal dari tanah negara. peraturan perundang-
18
undangan yang mengatur tentang permohonan pemberian hak pengelolaan,
semula adalah peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 Tahun 1973.
19
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Hak atas
permukaan bumi (tanah) inilah yangselanjutnya disebut hak atas tanah.24
orang-orang (pemegang) hak atas tanah ini, mempunyai kewenangan :
• Wewenang umum
Wewenang ini bersifat umum memberikan kewenangan kepada
pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
• Wewenang khusus
Wewenang ini memberikan kewenangan pada pemegang hak atas
tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya.11
11
Muwahid, Pokok-Pokok Hukum Agraria Di Indonesia, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2016), hlm. 157-168
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Urip. (2011). Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
22