Anda di halaman 1dari 26

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Agraria Asril, S. H. I., M. H.

HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (II)

DISUSUN OLEH :

BOBBY FEBRIAN
(12020713600)

PIH-F/5

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat
dan karunia-Nya yang tiada terkira. Semoga kita insan yang dhoif ini bisa selalu
istiqomah terhadap apa yang telah digariskan-Nya. Semoga kita selalu dalam
ridha-Nya. Shalawat beriring salam setulus hati kepada baginda Nabi Muhammad
dan ahlul baitnya (Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam), sang reformis agung
peradaban dunia yang menjadi inspiring leader dan inspiring human bagi umat di
seluruh belahan dunia. Semoga syafa’atnya kelak menaungi kita di hari
perhitungan kelak. Penulis dapat sampai pada tahap ini dan dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (II)”.
Penulis menyadari Makalah ini masih belum sempurna karena keterbatasan
penulis, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan
demi makalah yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Pekanbaru, 14 Oktober 2022

Bobby Febrian

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3

A. Hak Sewa ....................................................................................................... 3


B. Hak-Hak Atas Tanah yang sifatnya sementara .............................................. 4
C. Perwakafan Tanah Hak Milik ........................................................................ 10
D. Hak Membuka Tanah Hasil Hutan................................................................. 12
E. Hak Pengelolaan............................................................................................. 14
a. Pengertian Hak Pengelolaan .................................................................... 14
b. Subjek Hak Pengelolaan .......................................................................... 15
c. Kedudukan Hak Pengelolaan ................................................................... 16
d. Terjadinya Hak Pengelolaan .................................................................... 17
e. Kewenangan dalam Hak Pengelolaan ...................................................... 19

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 21

A. Kesimpulan .................................................................................................... 21
B. Saran ............................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian


bagi manusia dan masyarakat menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar
dengan tingkat sangat dihargai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia, bahkan
tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan berkembang serta
melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat berhubungan dengan tanah.

Dalam UUPA tidak ditemukan jelas pengertian hukum tanahan. Hukum


tanah menurut Boedi Harsono, merupakan bagian dari bidang hukum hukum
agraria yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber
daya alam tertentu, seperti: hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan,
hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.

Hukum tanah sebagai salah sistem bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah, bukan dari lembaga hukum maupun hubungan hukum
kongkret. Dalam sejarah perkembangan hukum agraria, masih banyak hal-hal
yang belum diatur dalam UUPA. UUPA hanya mengatur sebagian besar masalah
tentang pertanahan, untuk masalah yang lebih mengkhususkan UUPA belum
menjelaskan lebih rinci lagi. Misal tentang kasus penguasaan hak atas tanah yang
rinci belum diatur dalam UUPA.1

Karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur secara rinci tentang


kasus penguasaan tanah maka masih banyak juga kasus seperti ini yang belum
terselesaikan, dan juga tidak adanya sanksi bagi pelaku atau tergugat dalam kasus
seperti ini.

Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang No.5 Tahun


1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1999), hlm 5

1
TLNRI No.2043. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-
Undang Agraria (UUPA). Sejak di undangkan UUPA, berlakulah Hukum Agraria
Nasional yang dibuatkan dengan keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda, antara lain Agrarische Basah Stb. 1870 No.55 dan Agrarische
Besluit Stb.187 No.118.2 Dengan demikian penulis akan membahas tentang
“HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (II)”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hak Sewa?
2. Bagaimana Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara?
3. Bagaimana Perwakafan tanah hak milik?
4. Bagaimana Hak membuka tanah hasil hutan?
5. Bagaimana Hak pengelolaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hak sewa
2. Untuk mengetahui Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara
3. Untuk mengetahui Perwakafan tanah hak milik
4. Untuk mengetahui Hak membuka tanah hasil hutan
5. Untuk mengetahui Hak pengelolaan

2
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 1

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Sewa

Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila
ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran
uang sewa dapat dilakukan:

➢ Satu kali pada tiap-tiap waktu tertentu;


➢ Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan

Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat
khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-
bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian
hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat
menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.

Ketentuan pokok mengenai Hak Sewa sebagaimana dimaksud dalam pasal


16 ayat (1) huruf e UUPA, diatur lebuh lanjut dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA
dengan nama Hak Sewa untuk bangunan. Hak Sewa untuk bangunan (HSUB)
harus dibedakan dengan Hak Sewa atas bangunan (HSAB). Dalam hal hak sewa
untuk bangunan (HSUB), pemilik menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong
kepada penyewa, dengan maksud supaya penyewa dapat mendirikan bangunan
diatas tanah itu.

Bangunan itu menurut hukum yang berlaku sekarang menjadi milik pihak
penyewa tanah tersebut, kecuali kalau ada perjanjian lain. Dalam hal hak sewa
atas bangunan (HSAB), maka tujuan penyewa adalah menyewa bangunan yang
sudah ada diatas sebidang tanah. Bangunan itu bukan miliknya. Dengan

3
sendirinya penyewa bangunan itu juga boleh menggunakan tanah yang
bersangkutan. Tetapi, hanya sekedar dalam hubungannya dengan persewaan
bangunan itu. Dalam hal ini objek utama daripada hubungan sewa-menyewa itu
bukanlah tanahnya, melainkan bangunannya.3

B. Hak-Hak Atas Tanah Yang Sifatnya Sementara

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA,
meliputi Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat
sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus karena
mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA.4

Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara secara berurutan adalah
sebagai berikut:

➢ Hak gadai (Gadai Tanah).


➢ Hak Usaha Bagi Hasil.
➢ Hak Menumpang
1. Hak Gadai
Hak Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama
uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang
gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.
Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada
kemajuan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai
yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena
pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan. Macam-macam hak atas
tanah yang bersifat sementara, yaitu:

3
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek hukum pertanahan dalam
pengelolaan hutan negara, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.62-63
4
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 130.

4
a) Hak Gadai (Gadai Tanah)
Pengertian Hak Gadai (gadai tanah), yaitu: hubungan antara seseorang
dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai
oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang
gadai. Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan tergantung
kepada kemauan atau kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Ciri-ciri Hak Gadai (gadai tanah) menurut hukum adat adalah:
➢ Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa.
➢ Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulang gadaikan tanahnya.
➢ Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera
ditebus.
➢ Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik
pemegang gadai bila tidak ditebus.
Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Gadai (gadai tanah):
➢ Hak Gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya pada suatu
waktu akan hapus.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya
pemegang gadai.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang
lain.
➢ Hak Gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat
dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang
semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang
baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau
doorverpanden).
➢ Hak Gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya
dialihkan kepada pihak lain.

5
➢ Selama Hak Gadai (gadai tanah)nya berlangsung maka atas
persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah
(mendalami gadai).
➢ Sebagai lembaga, Hak Gadai (gadai tanah) pada waktunya akan
hapus.5

Hak Gadai (gadai tanah) disamping mempunyai unsur tolong menolong


juga ada sifat pemerasannya karena selama pemilik tanah tidak dapat
menembus tanahnya, tanah tetap dikuasai oleh pemegang gadai. Faktor-faktor
penyebab hapusnyaHak Gadai (gadai tanah) adalah sebagai berikut:

➢ Telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanah (pemberi gadai).


➢ Hak Gadai sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih.
➢ Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang gadai
menjadi pemilik tanah atas tanah yang digadaikan karena pemilik tanah
tidak dapat menebus dalam jangka waktu yang disepakati oleh kedua
belah pihak dalam gadai tanah.
➢ Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
➢ Tanahnya musnah.
2. Hak Usaha Bagi Hasil
Menurut Boedi Harsono, Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian Bagi hasil)
adalah adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap)
untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain
(yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara
kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati.
Mekanisme Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian,
yaitu perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka Kepala Desa,
disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan disahkan oleh camat setempat
serta diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan. Tujuan mengatur

5
Bambang Eko Supriyadi, Op Cit. Hlm. 66

6
Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) disebut dalam penjelasan umum
UUPA, yaitu:
Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil) menurut
Boedi Harsono, yaitu:

➢ Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas.


➢ Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin
pemilik tanahnya.
➢ Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas
tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
➢ Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap meninggal dunia,
tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia.
➢ Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus (dikantor
Kepala Desa).
➢ Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan
dihapus.

Jangka waktu Hak Usaha Bagi Hasil menurut hukum adat hanya berlaku
satu (1) tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka
waktunya tergantung pada kesediaan pemilik tanah, sehingga bagi penggarap
tidak ada jaminan untuk dapat menggarap dalam waktu yang
layak.Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu:

➢ Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk tanah sawah


sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering sekurang-
kurangnya 5 tahun.
➢ Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah
yang bersangkutan kepada pihak lain.
➢ Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu
dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan hak dan kewajiban yang
sama d) Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya

7
jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada
persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan hal itu
dilaporkan kepada kepala desa.

Hak pemilik tanah, berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas
dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak dan berhak menuntut pemutusan
hubungan bagi hasil jika ternyata kepentingannya dirugikan penggarap.
Sedangkan kewajiban, menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan
membayar pajak atas tanah yang garapan yang bersangkutan.

Hak penggarap tanah, yaitu selama perjanjian bagi hasil berlangsung


berhak untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian
dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang ditetapkan atas dasar
kesepakatan oleh kedua belah pihak. Sedangkan kewajiban pengggarap tanah,
yaitu mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil
tanah yang menjadi hak pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi
tanggungannya dan menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik
tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi
hasil. Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), faktor-
faktornya adalah:

➢ Jangka waktu berakhir.


➢ Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri.
➢ Pemilik tanah meninggal dunia.
➢ Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam
perjanjian bagi hasil.
➢ Tanahnya musnah.
3. Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang dalam UUPA tidak memberikan
pengertian apa yang dimakasud dengan Hak Menumpang. Sedangkan
Boedi Harsono, memberikan pengertian Hak Menumpang adalah hak yang
memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati

8
rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain. Hak Menumpang
biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang
lain yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk
tidak tertulis, tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat
desa/kelurahan, sehingga jauh dari kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi kedua belah pihak. Sifat dan ciri-ciri Hak Menumpang,
adalah:
➢ Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu waktu
dapat dihentikan.
➢ Hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan
oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut.
➢ Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang
sewa) kepada pemilik tanah.
➢ Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
➢ Bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya.
➢ Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hapusnya Hak Menumpang,
adalah sebagai berikut:
➢ Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum
antara pemegang Hak Menumpang dengan tanah yang
bersangkutan.
➢ Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan
umum.
➢ Pemegang Hak Menumpang melepaskan secara sukarela Hak
Menumpang.
➢ Tanah musnah.
4. Hak Sewa Tanah Pertanian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan Hak
Sewa Tanah Pertanian. Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan
hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik

9
tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan
sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak.
Hak Sewa Tanah Pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang
tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur unsur para pihak, objek,
uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian
dan penyewa. Faktor faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya Hak
Sewa Tanah Pertanian, adalah:
➢ Jangka waktunya berakhir.
➢ Hak Sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari
pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah.
➢ Hak Sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa.
➢ Hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa.
➢ Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum.
➢ Tanahnya musnah.6
C. Perwakafan Tanah Hak Milik

Wakaf tanah hak milik diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UUPA, yaitu
perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik (diatur lebih lanjut dengan
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997,


yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah
milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.

6
Fadhil Yazid, Pengantar Hukum Agraria, (Medan : Undhar Press, 2020), hlm.77-84

10
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak
milik, yang oleh pemiliknya (seorang atau badan hukum) dipisahkan dari harta
kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.7

Perwakafan hak milik adalah perbuatan hukum suci, mulia, dan terpuji yang
dilakukan oleh seseorang untuk mengekalkan harta benda yang dimilikinya
dengan tujuan untuk diperoleh manfaatnya di kemudian hari. Perwakafan tanah
hak milik ini dapat dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dengan
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan
melembagakannya untuk selama lamanya menjadi "wakaf sosial" yaitu wakaf
yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya,
sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dengan demikian maka fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat


tanah yang diwakafkan sesuai dengan tujuan wakaf yangbersangkutan. Dengan
dijadikannya hak milik atas tanah itu sebagai objek wakaf, maka hak seseorang
atas tanah tersebut hapus, dan tanah tersebut didaftarkan menjadi hak atas tanah
wakaf dengan Nadzir sebagai subjek pemegang haknya.

Perwakafan hak milik atas tanah ini diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA,
yang menentukan: "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah". Selanjutnya dalam penjelasannya dikatakan: bahwa .....
pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, dalam Hukum Agraria yang
baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. UUPA memerintahkan
bahwa pengaturan perwakafan tanah Hak Milik dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pendaftaran tanah-tanah Hak Milik yang
diwakafkan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977,

7
Ibid. Hlm. 40-41

11
dan Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Wakaf diatur dengan Surat Kepala BPN
27 Agustus 1991 Nomor 630.1-2782.8

D. Hak Membuka Hasil Tanah Hasil Hutan

Dalam Pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dan seterusnya. Menurut Boedi
Harsono, karena hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, dalam
penyusunan hak-hak atas tanah dipergunakan juga sistematika hukum adat,
demikian dinyatakan dalam penjelasan tersebut. Untuk menyelaraskannya
dengan tata susunan hak-hak atas tanah dalam Hukum Adat, dalam Pasal 16
disebut Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan dalam rangkaian
hak-hak atas tanah yang dimaksudkan oleh Pasal 4 ayat (1). Padahal hak-hak
tersebut bukan hak atas tanah dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memberi
wewenang untuk menggunakan tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 4
ayat (2). Hak hak tersebut merupakan pengejawantahan hak ulayat dalam
hubungan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan tanah
ulayatnya.

Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 46, yang mengatur Hak


Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan, hak-hak tersebut adalah hak-
hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah, bukan hak atas tanah. Dengan
membuka tanah ulayat yang diikuti dengan penggunaannya secara nyata, barulah
tercipta hak atas tanah yang bersangkutan. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal
46 ayat (2), bahwa dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara
sah, tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Hak memungut
hasil hutan termasuk bidang hukum kehutanan dan diatur dalam UU Kehutanan.
Tetapi biarpun demikian, hak hak tersebut dimasukkan juga dalam rangkaian
hak-hak atas tanah, untuk, seperti telah dikemukakan di atas, menyelaraskannya
dengan sistematika hukum adat, yang menggolongkan pula hak-hak itu sebagai

8
H. Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm. 146-147

12
hak-hak atas tanah.9 Ada banyak aturan pertanahan di Indonesia yang tentu saja
mencakup bermacam-macam hak atas tanah. Pasal 16 Ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: hak
milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka
tanah; dan hak memungut hasil hutan. Selain itu, diakui pula hak-hak lain yang
diatur pada peraturan lain dan hak lain yang memiliki sifat sementara.

Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya
bersifat kepemilikan saja, melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik
hanya diperuntukan untuk berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah
berhak milik yang dapat diwakafkan. Hak ini adalah model hak atas tanah yang
terkuat dan terpenuh.

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah yang dikuasai
oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak guna usaha
dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan Indonesia. Jangka
waktu hak guna usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi
perusahaan. Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun.

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan
dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau badan hukum Indonesia. Hak
guna bangunan dapat diletaki di atas tanah negara atau tanah hak milik.

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain. Namun, hak tersebut
muncul bukan karena perjanjian sewa atau perjanjian pengolahan tanah. Baik
warganegara Indonesia maupun warganegara asing dapat memiliki hak pakai.
Begitu pula badan hukum Indonesia dan badan hukum asing. Hak membuka
tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk memanfaatkan sumber

9
Bambang Eko Supriyadi, Op Cit. Hlm. 63-64

13
daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa hutan tersebut dimiliki oleh si
penerima hak.10

E. Hak Pengelolaan

a) Pengertian Hak Pengelola

Istilah Hak Pengelolaan tidak disebut secara eksplisit dalam UUPA,


istilah hak pengelolaan dan pengertiannya dicantumkan dalam ketentuan
perundang-undangan di luar UUPA. Hak pengelolaan pertama kali disebut
dan diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1965 tentang
tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan
Ketentuan-ketentuan tentang kebijakan selanjutnya.1 Dalam penjelasan
umum II angka (2) UUPA hanya menyebutkan istilah “pengelolaan”
sebagaimana uraian berikut: “Dengan berpedoman pada tujuan yang
disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah, demikian itu kepada
seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan
hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan
penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan
bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”.

Pengertian dan wewenang hak pengelolaan menurut Pasal 6 Peraturan


Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegangnya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
tersebut; menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 hak pengelolaan adalah hak menguasai Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Berdasarkan
pengertian hak pengelolaan sebagaiman disebutkan di atas Urip Santoso
berpendapat bahwa:

10
Urip Santoso, Op Cit. hlm. 37

14
➢ Hak pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah bukan hak
atas tanah.
➢ Hak pengelolaan merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari hak
menguasai Negara atas tanah.
➢ Kewenangan dalam hak pengelolaan adalah merencanakan peruntukkan
dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada
pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Dalam kenyataannya hak pengelolaan ini lahir dan berkembang sesuai dengan
terjadinya perkembangan suatu daerah. Suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak perkantoran yang terdapat di kota-kota besar yang
mempergunakan tanah dengan hak pengelolaan.

b) Subjek Hak Pengelolaan


Dalam Peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa yang dapat
mempunyai hak pengelolaan diantarannya adalah depatemen, direktorat,
jawatan, daerah swatantra (Pemerintah Daerah), perusahaan pembangunan
perumahan, dan industrial estate yang seluruh modalnya dari pemerintah
(Perum, Persero, Perusahaan Daerah). Hanya saja menurut Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun
1999 ini terbuka kemungkinan badan hukum pemerintahan lain dapat
mempunyai hak pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Badan
Hukum pemerintah ini dapat mempunyai hak pengelolaan dengan syarat
tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah,
diantaranya adalah:
➢ Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
➢ Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
➢ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
➢ PT Persero
➢ Badan Otorita

15
➢ Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Menurut Eman Ramelan pihak yang dapat menjadi subyek atau pemegang
hak pengelola yaitu sebatas pada badan hukum pemerintah baik yang
bergerak dalam bidang pelayanan publik (pemerintah) atau yang bergerak
dalam bidang bisnis. Badan hukum swasta tidak mendapatkan peluang
untuk berperan sebagai subyek atau pemegang hak pengelolaan. Dengan
demikian, Hak pengelolaan tidak dapat diberikan kepada perseorangan
baik warga Negara Indonesia atau Orang asing yang berkedudukan di
Indonesia, badan Hukum Indonesia yang berbentuk yayasan, badan
keagamaan atau badan sosial. Hak pengelolaan hanya diberikan kepada
badan Hukum pemerintah yang bergerak dalam bidang pelayanan publik
maupun bisnis yang mempunyai tugas pokok dan fungsinya berkaitan
dengan pengelolaan tanah. Artinya tidak setiap badan hukum dapat
mempunyai hak pengelolaan.

c) Kedudukan Hak Pengelolaan


Konsep hak pengelolaan sebagaimana dijelaskan di atas tidak dimuat
dalam UUPA, Dalam UUPA hanya mengatur mengenai hak penguasaan
atas tanah. Dalam hak penguasaan atas tanah tersebut terdapat hak
menguasai Negara atas tanah dan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam
pasal 16 UUPA, oleh karena itu mengenai kedudukan hak pengelolaan
dalam Hukum Tanah Nasional terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ahli. Perbedaan pendapat tersebut dapat diglongkan menjadi dua, yaitu:
pertama, hak pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah;
kedua, hak pengelolaan merupakan hak atas tanah. Pendapat pertama
didukung oleh Boedi Harsono dan Maria SW. Sumardjono, menurut
mereka bahwa hak pengelolaan merupakan bagian dari hak menguasai
Negara yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang
haknya, bukan merupakan hak hak atas tanah sebagaimana diatur pasal 16
UUPA.11 Sedangkan pendapat kedua didukung oleh AP. Parlindungan

16
dan Effendi Perangin yang menyatakan bahwa hak pengelolaan
merupakan hak atas tanah, bahkan menurut Effendi Perangin hak
pengelolaan harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 196112, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Untuk mendapatkan jawaban mengenai kedudukan Hak pengelolaan
dalam Hukum Tanah Nasional menurut Urip Santoso dapat dianalisis
melalui pengertian, sifat, dan wewenang hak pengelolaan dikaitkan dengan
hak menguasai Negara atas tanah dan hak-hak atas tanah. Berdasarkan
pengertian, sifat dan wewenang dalam hak pengelolaan maka dapat
disimpulkan bahwa hak pengelolaan dapat dikategorikan hak atas tanah
yang bersifat right to use tidak right of disposal, artinya hak yang dimiliki
dalam hak pengelolaan hanya menggunakan tanah untuk kepentingan
tugasnya, tidak ada hak untuk mengalihkannya dalam bentuk apapun ke
pihak lain, dan tidak ada hak untuk dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
d) Terjadinya Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan berdasarkan peraturan perundang- undangan dapat
terjadi melalui penegasan konversi dan pemberian hak. Konversi adalah
perubahan hak atas tanah karena berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA dan tunduk pada aturan lain, seperti
BW dan hukum adat, diubah menjadi hak atas tanah yang berlakunya di
UUPA yaitu pasal 16 UUPA.14Sedangkan pemberian hak merupakan
mekanisme mendapatkan hak atas tanah melalui permohonan kepada
pemerintah untuk mendapatkan hak atas tanah dari tanah negara, apabila
pemohon memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang
pemerintah memberikan hak atas tanah tersebut.
Pertama, hak pengelolaan terjadi melalui penegasan konversi. Pasal 2
peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 1965 menentukan: “jika
penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-
departemen, direktorat-direktorat, dan daerah swatantra, selain digunakan

17
untuk kepentingan instansi- instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk
dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak
penguasaan atas tanah Negara tersebut dikonversi menjadi hak
pengelolaan.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut di atas, maka hak
pengelolaan dapat terjadi dengan adanya konversi dari hak penguasaan
atas tanah negara.
Mengenai konversi hak pengelolaan yang berasal dari hak
penguasaan, disebutkan oleh Ramli Zein,15 sebagaimana termuat dalam
surat Direktur Jendral Agraria Nomor: Btu. 3/692/3/77 tanggal 30 Maret
1977 yang ditujukan pada Gubenur di Seluruh Indonesia yang
menyebutkan: “Hak pengelolaan yang berasal dari pengkonversian hak
penguasaan berdasarkan peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965
sepanjang hak tersebut memberi wewenang yang sama dengan hak
pengelolaan tersebut diatas, dan pada saat berlakunya peraturan Menteri
dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 sudah didaftarkan di kantor sub.
Direktorat Agraria setempat serta sudah ada sertifikatnya dipersamakan
dengan hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974. Dengan demikian hak
pengelolaan asal konversi yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut
diatas, bila pemegang haknya dikehendaki untuk memperoleh sifat dan
materi yang sama dengan hak pengelolaan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 1 peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 1977 harus diproses
ulang menurut ketentuan peraturan-peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1972 dan Nomor 5 Tahun 1973.”16 Dengan demikian,
jelas bahwasanya asal hak pengelolaan berasal konversi hak penguasaan
atas tanah, dan konversi tersebut haruslah didaftarkan pada kantor
pendaftaran Tanah (Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah di
Lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya).
Kedua, hak pengelolaan terjadi melalui permohonan hak. Selain
melalui penegasan konversi, hak pengelolaan dapat diperoleh melalui
permohonan hak yang berasal dari tanah negara. peraturan perundang-

18
undangan yang mengatur tentang permohonan pemberian hak pengelolaan,
semula adalah peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 Tahun 1973.

e) Kewenangan Dalam Hak Pengelolaan


Negara sebagai organisasi kekuasaan tertingi dari Rakyat mempunyai
hak menguasai pada pertanahan di seluruh daerah Indonesia. Hak
menguasai negara ini mempunyai dasar yang hendak dicapai yaitu yang
tercantum dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya, sebagai aplikasi dari
hak menguasai, negara mempunyai beberapa kewenangan. Kewenangan-
kewenangan tersebut dijelaskan oleh pasal 2 ayat 2 UUPA Tahun 1960,
bahwa .
➢ Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
➢ Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
➢ Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa.
➢ Hak menguasai negara atas tanah merupakan penugasan dari
bangsa Indonesia kepada negara untuk mengelola dan mengatur
tanah bersama bangsa Indonesia bagi sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat. Inilah letak sifat publik dari hak menguasai
negara atas tanah. Hak negara menguasai atas tanah bersumber dari
hak bangsa Indonesia atas tanah yang bersifat privat dan abadi,
sehingingga selama bangsa Indonesia dan tanah tersebut tetap ada,
maka tanah tersebut milik bangsa Indonesia.
Pasal 4 ayat 1 UUPA menetapkan bahwa atas dasar hak menguasai
negara ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi (tanah) yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri

19
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Hak atas
permukaan bumi (tanah) inilah yangselanjutnya disebut hak atas tanah.24
orang-orang (pemegang) hak atas tanah ini, mempunyai kewenangan :

• Wewenang umum
Wewenang ini bersifat umum memberikan kewenangan kepada
pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
• Wewenang khusus
Wewenang ini memberikan kewenangan pada pemegang hak atas
tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya.11

11
Muwahid, Pokok-Pokok Hukum Agraria Di Indonesia, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2016), hlm. 157-168

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian


bagi manusia dan masyarakat menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar
dengan tingkat sangat dihargai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia, bahkan
tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan berkembang serta
melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat berhubungan dengan tanah.

Timbulnya perselisihan hukum yang awal dari pengaduan sesuatu yang


berisi perhatian-perhatian dan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
keutamaan, maupun kepemilikinnya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara adminitrasi sesuai dengan kebutuhan yang berlaku. Maka dari
itu pengetahuan mengenai hukum tanah dan hak-hak atas tanah dirasa cukup
penting demi menghindari permasalahan mengenai atas tanah.

B. Saran

Demikianlah makalah ini dipaparkan, semoga para pembaca


dapatmenambah ilmu pengetahuan dan mengerti dengan mata kuliah Hukum
Agraria tentang Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA (II). Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah ini
agar menjadi makalah yang benar dan baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arba, Haji. (2015). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harsono, Boedi. (1999). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Muwahid. (2016). Pokok-Pokok Hukum Agraria Di Indonesia. Surabaya: UIN


Sunan Ampel Press.

Santoso, Urip. (2011). Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.

Santoso, Urip. (2012). Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Surabaya: UIN


Sunan Ampel.

Supriyadi, Bambang. (2013). Hukum Agraria Kehutanan: Aspek hukum


pertanahan dalam pengelolaan hutan negara. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Yazid, Fadhil. (2020). Pengantar Hukum Agraria. Medan: Undhar Press

22

Anda mungkin juga menyukai