Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM AGRARIA

Tentang
HUKUM TANAH NASIONAL

DISUSUN
OLEH :

NAMA : 1. ZIKRI RAMADHAN


2. TARIDA LESTARI
SEMESTER : V (LIMA)

Dosen Pembimbing : HENDRA YANI, M.Ag

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM UMAR BIN KHATTAB


UJUNG GADING PASAMAN BARAT
JURUSAN AHWAL AL-SYAKSIYYAH
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat
dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah.
Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria dengan ini
penulis mengangkat judul “Hukum Tanah Nasional”. Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara
penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Ujung Gading, September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3
A. Azas Pembatasan Hak.......................................................................................3
B. Azas Produktif Aktif ........................................................................................5
C. Azas Persamaan Hak ........................................................................................6
D. Azas Usaha Bersama ........................................................................................7
E. Azas Konversi ...................................................................................................7
BAB PENUTUP III .............................................................................................9
A. Kesimpulan .....................................................................................................9
B. Saran .................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hukum tanah di Indonesia berlaku dualistik,
yaitu hukum tanah barat yang diatur dalam KUH Perdata dan hukum tanah adat.
Dengan diundangkannya UUPA maka dualisme hukum tanah berakhir. UUPA
mengatur bahwa hukum tanah di Indonesia berlandaskan pada hukum adat.
Ketentuan mengenai hukum adat dapat dibaca pada bagian ‘Berpendapat’ UUPA
yang mengamanatkan: (1) perlunya ada hukum agraria nasional yang berdasarkan
atas hukum adat tentang tanah, (2) yang sederhana dan menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, (3) tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional,
hukum adat berfungsi sebagai sumber utama dalam pengambilan bahan-bahan
yang diperlukan. Bahan-bahan yang dimaksud adalah konsepsi hukum adat, asas-
asas hukum adat, dan lembaga hukum adat yang disusun berdasarkan sistem
hukum adat. Selanjutnya dalam UUPA khususnya Pasal 5 ditegaskan kembali
bahwa:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta peraturan-
peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan-perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama”
Salah satu lembaga yang ada dalam hukum adat dan diangkat dalam hukum
tanah nasional adalah rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu menyebabkan
orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula dimilikinya. Seperti
yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, meskipun juga menjelaskan
tentang daluarsa, namun lembaga ini sangat bertolak belakang dengan
lembaga acquisitive verjaring. Lembaga acquisitive verjaring dikenal dalam

1
hukum tanah barat yang diatur dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan cara
pemilikan hak kebendaan berdasarkan lampaunya waktu. Dengan berlakunya
UUPA maka acquisitive verjaring akhirnya juga tidak dapat diberlakukan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Azas Pembatasan Hak?
2. Apa yang dimaksud dengan Azas Produktif Aktif?
3. Apa yang dimaksud dengan Azas Persamaan Hak?
4. Apa yang dimaksud dengan Azas Usaha Bersama?
5. Apa yang dimaksud dengan Azas Konversi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang Azas Pembatasan Hak?
2. Untuk mengetahui tentang Azas Produktif Aktif?
3. Untuk mengetahui tentang Azas Persamaan Hak?
4. Untuk mengetahui tentang Azas Usaha Bersama?
5. Untuk mengetahui tentang Azas Konversi?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Azas Pembatasan Hak


Sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan Landreform, Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) melarang pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-
grondbezit, yaitu bertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan dan orang-
orang tertentu.
Latar belakang diberlakukannya pembatasan pemilikan dan penguasaan
tanah adalah karena semakin terbatasnya tanah pertanian, terutama di daerah-
daerah yang berpenduduk padat. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan bagi
para petani untuk memiliki tanah sendiri, sehingga pada masa tersebut sekitar
60% petani tidak mengerjakan tanahnya sendiri. Para petani yang tidak memiliki
tanah sendiri hidup dengan bekerja sebagai buruh tani atau mengerjakan tanah
milik orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil. Di sisi yang lain orang-orang
yang memiliki tanah banyak, makin lama tanahnya makin banyak. Tanah-tanah
tersebut diperoleh dari para petani kecil yang mengalami kesulitan keuangan. Hal
ini semakin diperparah dengan pembagian hasil yang tidak seimbang antara
pemilik tanah dengan penggarap tanah.1
Ketentuan Pasal 7 UUPA kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 17
UUPA yang mengamanatkan pengaturan luas maksimum dan/atau minimum
tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau
badan hukum. Penetapan luas maksimum tersebut tidak ditentukan dalam UUPA,
melainkan diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri. Tanah
yang melampaui batas maksimum tidak akan disita, namun akan diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan. Pada prinsipnya ganti kerugian tersebut dibayar oleh mereka

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Rev., Cet. 10, Jakarta: Djambatan, 2005, Hlm. 368

3
yang memperoleh bagian tanah itu, namun karena umumnya yang memperoleh
pembagian tanah berasal dari golongan yang tidak mampu, maka Pemerintah akan
menyalurkannya dengan cara kredit atau melalui upaya-upaya lain agar para bekas
pemilik tanah tidak terlalu lama menunggu uang ganti kerugian.
Pemerintah pada 29 Desember 1960 melaksanakan apa yang telah
diamanatkan dalam Pasal 17 UUPA tersebut dengan menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang
(selanjutnya disebut UU No. 56 Prp 1960). Luas maksimum tanah pertanian yang
ditentukan dalam UU No. 56 Prp 1960 adalah sebagai berikut:
1. Daerah-daerah yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap
kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15
hektar untuk sawah atau 20 hektar untuk tanah kering.
2. Daerah-daerah yang kurang padat (kepadatan penduduk 51 sampai 250
tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah
10 hektar untuk sawah atau 12 hektar untuk tanah kering.
3. Daerah-daerah yang cukup padat (kepadatan penduduk 251 sampai 400
tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah
7,5 hektar untuk sawah atau 9 hektar untuk tanah kering.
4. Daerah-daerah yang sangat padat (kepadatan penduduk 401 ke atas), luas
maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 5 hektar untuk sawah atau 6
hektar untuk tanah kering.
Apabila tanah pertanian yang dikuasai terdiri dari sawah dan tanah kering,
maka perhitungan luas maksimum dilakukan dengan cara menjumlahkan luas
sawah dengan luas tanah kering, dimana luas tanah kering sama dengan sawah
ditambah 30% untuk daerah yang tidak padat dan ditambah 20% untuk daerah
yang padat, dengan ketentuan luas keseluruhannya tidak lebih dari 20 hektar.
Pengertian tanah pertanian dapat ditemukan dalam Instruksi Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5
Januari 1961 No. Sekra 9/1/12. Pengertian tanah pertanian adalah sebagai berikut:

4
Tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk
perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan
hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya
tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selainya tanah untuk
perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat
tinggal seorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa luas
bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah
pertanian.
Perlu diketahui bahwa penetapan luas maksimum penguasaan tanah
pertanian menggunakan dasar keluarga, sehingga yang diperhitungkan adalah luas
seluruh tanah yang dikuasai oleh seluruh anggota keluarga tersebut. Apabila
jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang, maka bagi keluarga tersebut luas
maksimum yang ditetapkan ditambah 10% untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya, namun luas tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50% dan seluruh
luas tanah tidak lebih dari 20 hektar.
Pembatasan luas maksimum tanah pertanian tidak berlaku terhadap tanah
pertanian yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat
sementara yang diperoleh dari Pemerintah, misalnya tanah hak pakai dan tanah
bengkok/jabatan. Pembatasan luas maksimum tanah pertanian juga tidak berlaku
untuk tanah pertanian yang dikuasai oleh badan hukum.

B. Asas Produktif Aktif


Dalam pelaksanaan asas prodduktif aktif tersebut, pada saat sekarang ini
menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang melaksanakan atau menyelenggarakan
landreform dan rural development, maksudnya adalah tanah pertanian harus di
usahakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri.
Agar terlaksananya asas ini diadakan ketentuan-ketentuan tentang batas
maksimum dan batas minimum pemilikan atau penguasaan tanah agar tidak
terjadi penumpukan atau penguasaan tanah di satu golongan yang mampu karena
pemilikan dan penguasaan yang melampaui batas tidak diperkenenkan karena hal
yang demikian dapat merugikan kepentingan umum atau masyarakat luas.

5
Tentang batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki seseorang supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya, hal ini dimuat dalam pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960 yang isinya
antaralain:
1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif,dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2. Pelaksanaan dalam ayat 1 ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
3. Pengecualian dalam asas tersebut pada pasal 1 ayat ini diatur dalam peraturan
perundangan.2

C. Asas Persamaan Hak


Tiap-tiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Dalam hal ini perlu diadakan perlindunagn bagi golongan warga negara yang
lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya.
Dalam hal ini dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan oraang lain yang melampui batas
dalam usaha agrarian. Hal ini juga bertentangan asas keadilan sosial yang
berprikemanusiaan. Setiap usaha bersama dalam alapangan agrarian harus
didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dan
pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha
perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta.
Bukan saja usaha-usaha swasta akan tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang
bersifat monopoli harus di cegah supaya jangan sampai merugikan rakyat banyak.
Oleh karenanya, usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan oleh UU.

2
Urip Santoso, Hukum Agrarian dan Hak-Hak atas Tanah ( Jakarta :
Kencana ,2005)h.62-63

6
Asas ini terdapat dalam pasal 9 ayat 2 UUPA. Sebagai berikut:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta dapat
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya atau keluarganya.

D. Asas Usaha Bersama


Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi terssebut dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan, unsur
kebersamaan tersebut ada pada hak setiap tanah, karena semua hak atas tanah
secara langsung ataupun tidak secara langsung bersumber pada hak bangsa yang
merupakan hak bersama dan tanah yang dimiliki secara individual adalah
sebagian dari tanah bersama.
Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa dengan
kata lain ini juga di sebut hak –hak primer, maksudnya adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh Negara sebagai
sebagai petugas bangsa. Sedangkan hak-hak yang bersumber tidak langsung dari
hak bangsa adalah apa=apa yang disebut dengan hak sekunder maksudnya adalah
hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, gadai, bagi
hasil dan sebagainya.
Sifat pribadi hak-hak tanah yang sekaligus mengadung unsure
kebersamaan dan kemasyarakatan tersebut di atur dalam pasal 6 UUPA. Yaitu “
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.3
E. Asas Konversi
Sebelum berlakunya UUPA berlaku juga dua perangakat hukum di Indonesia
atau juga disebut dengan dualime. Satu bersumber pada hukum adat disebut
dengan hukum tanah adat dan yang satu lagi bersumber pada hukum barat yang
dinamakan dengan hukum tanah barat. Dengan hukum agrarian yang bersifat
nasional (UUPA) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-

3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta:Djambatan, 2008) h.234

7
tanah dengan hak adat harus dicarikan padananya didalam UUPA. Untuk dapat
masuk dalam system UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.4
Dalam menyatakan tentang maksud atau pengertian dari konversi ini ada
beberapa ahli yang mengemukakan. Menurut A.P. Parlindungan menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan konversi itu adalah pengaturan dari hak-hak tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA Untuk masuk untuk masuk dalam system
UUPA.[4] Sedangkan menurut Boedi Harsono konversi adalah perubahan hak
yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA.
Dari pengertian-pengertian atau rumusan yang dikemukakan oleh para ahli
diatas maka dapat disimpulkan bahwa konversi atas hak-hak atas tanah adalah
penggantian atau perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama.
Yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada
sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960 adalah bagian kedua dari
UUPA” tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri dari IX pasal.
Dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum
agrarian, maka hanya ada satu system untuk seluruh wilayah tanah air. Oleh
karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan degan
apa yang terdapat dalam lembaga koversi. Jadi dengan demikian tujuan
dikonversinya hak-hak atas tanah menurut system UUPA disamping untuk
terciptanya unifikasi hukum pertanahan ditanah air dengan mengakui hak-hak tas
tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat dalam UUPA
dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

4
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandur Maju,1990)h.1

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan Landreform, Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) melarang pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri groot-
grondbezit, yaitu bertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan dan orang-
orang tertentu.
Dalam pelaksanaan asas prodduktif aktif tersebut, pada saat sekarang ini
menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang melaksanakan atau menyelenggarakan
landreform dan rural development, maksudnya adalah tanah pertanian harus di
usahakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri.
Tiap-tiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Dalam hal ini perlu diadakan perlindunagn bagi golongan warga negara yang
lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya
Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi terssebut dalam
konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan, unsur
kebersamaan tersebut ada pada hak setiap tanah, karena semua hak atas tanah
secara langsung ataupun tidak secara langsung bersumber pada hak bangsa yang
merupakan hak bersama dan tanah yang dimiliki secara individual adalah
sebagian dari tanah bersama

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka
penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baik
dalam penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2008.


Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta : Kencana,
2005
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandur
Maju ,990
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Rev., Cet. 10, Jakarta:
Djambatan, 2005

10

Anda mungkin juga menyukai