Anda di halaman 1dari 16

UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA) SEBAGAI HUKUM

AGRARIA NASIONAL

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Agraria

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Gembongseto Hendro Soedagoeng, S.H., Sp. N., M. Kn

DISUSUN OLEH:
ADELIA TRI BUANA SANGGARWATI
NIM 211710079
Hukum 3 C

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Sebagai Hukum Agraria Nasional. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,
adapun tujuan dari penyusunan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh bapak Dr. Gembongseto Hendro Soedagoeng, S.H., Sp. N., M. Kn. selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Agraria.
Dengan terselesaikan makalah ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah. Penulis menyadari
dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Oleh karena itu, penulis
sangat menghargai kritik maupun saran yang membangun, agar dapat menyempurnakan
makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Pontianak, 24 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
2.1 Upaya Penyusunan Hukum Agraria Nasional.................................................... 3
2.2 Sejarah Penyusunan UUPA ............................................................................... 6
2.3 UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.......................................................... 7
2.3.1 Sifat Nasional UUPA ........................................................................... 7
2.3.2 Peraturan Lama Dicabut oleh UUPA ................................................... 8
2.4 Tujuan UUPA .................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..11
3.2 Saran ……….. ................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum agraria adalah keseluruhan norma hukum tertulis dan tidak tertulis yang
mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dalam bidang agraria. Hukum agraria
sebenarnya merupakan sekelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber daya alam yakni hukum tanah, hukum air,
hukum pertambangan, hukum perikanan dan hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-
unsur dalam ruang angkasa.
Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai
dalam arti tanah baik tanah pertanian maupun non pertanian, tetapi Agrarisch Recht atau
Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam
melaksanakan kebijaksanaannya di bidang pertanahan, maka perangkat hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria merupakan
produk hukum yang mengakhiri hukum agraria kolonial yakni Undang-undang Agraria
Tahun 1870. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
sebagai produk hukum paling populis sekaligus benteng hukum agraria nasional terutama
karena memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegakkan fungsi sosial
tanah, dan melarang penguasaan sektor swasta di sektor agraria.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atar, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaiamana upaya penyusunan hukum agraria nasional?
2. Bagaimana sejarah penyusunan UUPA?
3. Bagaimana UUPA sebagai Hukum Agraria Nasional?
4. Apa tujuan UUPA?

1.3 Tujuan Penulisan

1
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan upaya penyusunan hukum agraria nasional.
2. Mendeskripsikan sejarah penyusunan UUPA.
3. Mendeskripsikan UUPA sebagai Hukum Agraria Nasional.
4. Mendeskripsikan tujuan UUPA.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Upaya Penyusunan Hukum Agraria Nasional


Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan pada tanggal 17 Agustus
1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan suatu
tonggak sejarah sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan memiliki makna
terputusnya atau tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum
nasional, sedangkan dari segi politis, peroklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa
bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Proklamasi kemerdekaan mempunyai arti penting terhadap upaya penyusunan
hukum agraria nasional, yaitu dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial dan bangsa Indonesia berupaya
membentuk hukum agraria nasional.
Namun, dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata pemerintah tidak
bisa begitu saja mengesahkan membentuk hukum agraria nasional, dan membutuhkan
waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria nasional. Oleh karena itu,
untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu segala badan negara dan peraturan yang ada akan tetap berlaku,
selama belum diundangkan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini.
Pasal 2 Ketentuan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa semua lembaga dan
peraturan kolonial yang dibuat akan tetap berlaku selama hal tersebut belum dicabut,
diubah atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru.
Landasan politik hukum agraria nasional diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan ini bersifat wajib dan merupakan keharusan bagi negara agar bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diletakkan di bawah penguasaan negara
harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

3
Upaya pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan hukum agraria kolonial dengan
situasi pasca-kemerdekaan dan kebutuhan Indonesia sebagai berikut.
1. Mengunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Implementasi hukum agraria didasarkan pada kebijakan baru dengan
memakai interpretasi baru yang sesuai dengan semangat Pancasila dan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945.
2. Penghapusan hak-hak konversi.
Salah satu warisan feodal yang menimbulkan kerugian besar bagi rakyat
adalah sistem konversi yang terjadi di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di
distrik ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat hanya sekedar
menggunakannya, dan mereka wajib memberikan kepada raja sebagian dari hasil
tanah itu jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya
tanah perkarangan.
3. Penghapusan tanah partikelir.
Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan
penguasaan tanah partikelir yang mencakup hak-hak pertuanan. Dengan adanya
hak pertuanan ini membuat tanah partikelir tampak seperti negaradi dalam negara.
Tuan tanah dengan kekuasaan yang begitu besar menyalahgunakan hak-hak
mereka dan menyebabkan banyak penderitaan dan kesengsaraan bagi mereka
yang ada atau berdiam di wilayahnya.
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
Ketentuan mengenai persewaan tanah, khususnya kepada perusahaan
perkebunan besar dan bukan penduduk asli Indonesia pada umumnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur
dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88 untuk daerah
pemerintahan langsung dan Voerstenlands Grondhuureglement S.1918- 20 untuk
Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah swapraja).
5. Aturan tambahan untuk memantau pengalihan hak atas tanah.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 memberlakukan Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang pengalihan harta tak gerak dan
harta tetap lainnya yang diatur oleh hukum Eropa, untuk pengalihan lebih dari
satu tahun, perjanjian lebih lanjut asalkan bersifat sementara dan perbuatan-

4
perbuatan berupa pengalihan hak atas tanah dan harta tetap lainnya yang diatur
oleh hukum Eropa hanya dapat dilakukan dengan disetujui oleh Menteri
Kehakiman (disetujui oleh Menteri Agraria menurut Undang-undang Nomor 76
Tahun 1957).
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
Berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1956, Menteri Agraria dan
Pertanian berwenang mengambil tindakan untuk memastikan bahwa perkebunan
yang memiliki karakteristik sangat penting bagi perekonomian negara dikelola
dengan baik. Undang-undang juga mengizinkan pemilik warisan, properti, dan
hak kebendaan lainnya yang telah bergabung kembali dengan bisnis untuk
melakukan apa pun yang diperlukan untuk memulai atau melanjutkan usahanya
dengan benar sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
7. Kenaikan Canon dan Cijn.
Canon adalah uang yang harus dibayarkan oleh pemegang hak kepada
negara setiap tahun, sedangkan cijn adalah uang yang harus dibayarkan oleh
pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar. Secara umum, canon dan cijn
tidak besar jumlahnya. Karena mereka sebagian besar dipandang tidak menyadari
hak pemilik tanah untuk menguasai dengan hak mitigasi atau konsesi.
8. Larangan dan pengaturan penggunaan lahan tanpa izin.
Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat diberlakukan untuk mencegah
pengalihan bisnis yang tidak sah oleh masyarakat dan untuk memecahkan masalah
penggunaan lahan yang ada.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian).
Perjanjian bagi hasi adalah suatu bentuk perjanjian antara pemilik tanah
dengan pihak lain sebagai penggarap, dimana penggarap diperbolehkan untuk
mengolah tanah dan hasilnya dibagi menurut keseimbangan yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
10. Peralihan tugas dan wewenang agraria.
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan agraria berada di
bawah yurisdiksi Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang independen didirikan,

5
terpisah dari Kementerian Dalam Negeri.

2.2 Sejarah Penyusunan UUPA


Pemerintah Indonesia memulai upaya pada tahun 1948 untuk mengidentifikasi
pemangku kepentingan yang bertanggung jawab untuk merancang UU Agraria dalam
upaya untuk menciptakan hukum agraria nasional yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945 untuk menggantikan hukum agrarian kolonial. Setelah beberapa kali pergantian
Komisi yang berlangsung selama dua belas tahun sebagai rangkaian proses yang cukup
panjang, barulah pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil membentuk
hukum agraria nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang lebih dikenal dengan istilah
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Tahapan penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Panitia agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948 tanggal
21 mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo,
Kepala Bagian Agraria Kementrian Agraria.
2. Panitia agraria Jakarta
Panitia agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 36
Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dibentuk panitia agraria Jarkarta
yang berkedudukan di Jarkarta diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, Wakil
Kepala Bagian Agraria Kementrian Agraria.
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari
1956 dibentukan panitia negara urusan agraria berkedudukan di Jakarta yang
diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Seketaris Jendral Kementrian Agraria.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah melakukan beberapa perubahan mengenai nomenklatur dan
susunan kata pada beberapa pasal, atas amanat Presiden Sukarno tanggal 24 April
1958, rancangan Panitia Soewahjo disetujui oleh Menteri Agraria Soenarjo pada
tanggal 14 Maret 1958 dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

6
5. Rancangan Sadjarwo
Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD
1945. Sejak rancangan Soenarjo yang diajukan kepada DPR beberapa waktu lalu
disusun berdasarkan UUDS 1950, rancangan tersebut ditarik kembali dengan
surat Presiden tertanggal 23 Maret 1960, dan disesuaikan dengan UUD 1945.

2.3 UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional


2.3.1 Sifat Nasional UUPA
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu tidak
memberlakukan atau mencabut hukum agraria kolonial, dan membangun hukum
agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, ketika UUP mulai berlaku, akan terjadi
perubahan mendasar dalam hukum agraria Indonesia, khususnya hukum
pertanahan. Perubahan mendasar ini berkaitan dengan struktur, konsep yang
mendasari, dan isi dokumen hukum.
UUPA juga merupakan UU Pelaksanaan Landreform karena di dalamnya
terdapat program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia,
yang meliputi:
1) reformasi hukum agraria melalui unifikasi hukum dengan jaminan konsep
nasional dan kepastian hukum;
2) menghapuskan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah;
3) mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur:
4) perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubunganhubungan
hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program
landreform;
5) penyediaan dan peruntukan tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, serta perencanaan pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dan
potensinya.
Sebagai hukum nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan
formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan
nasional formal berurusan dengan pembentukan UUPA.
A. Sifat Nasional Material UUPA

7
Sifat nasional materi UUPA terkait dengan isi UUPA, yang harus mencakup
prinsip-prinsip berikut.
1) Berdasarkan hukum tanah adat.
2) Sederhana.
3) Menjamin kepastian hukum.
4) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama.
5) Memungkinkan bumi, air, dan ruang angkasa memenuhi fungsinya
masing-masing dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.
6) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
7) Merespon kebutuhan masyarakat Indonesia sesuai dengan kebutuhanzaman
di segala bidang agraria.
8) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara
dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undangundang.
9) Pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik.
10) Pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

B. Sifat Nasional Formal UUPA


Sifat nasional formal UUPA mengacu pada pembentukan UUPA yangmemenuhi
karakteristik berikut.
1) Disusun oleh anggota parlemen Indonesia yaitu DPRGR.
2) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia.
3) Dibentuk di Indonesia.
4) Bersumber pada UUD 1945.
5) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.

2.3.2 Peraturan Lama Dicabut oleh UUPA


Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka
Indonesia sudah sepatutnya dibebaskan dari sifat kolonial dan menciptakan sistem
nasional yang disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat.

8
2.4 Tujuan UUPA
Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan dari hukum agraria nasional tertuang
dalam penjelasan umum UUPA, yaitu:
a. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan berperan
dalam mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyatnya, khususnya kaum tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Alasan nasionalisasi hukum agraria yang ditetapkan oleh UUPA adalah sebagai
berikut.
1. Wilayah Indonesia yang terdiri atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, merupakan satu kesatuan tanah air dari
bangsa Indonesia yang bersatu sebagai warga negara Indonesia (Pasal 1
UUPA).
2. Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang dikandungnya merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Oleh karena itu, kekayaan ini harus dijaga dan digunakan
untuk kesejahteraan rakyat sedapat mungkin (Pasal 1, 2, 14, dan 15 UUPG).
3. Hubungan antara masyarakat Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat kekal dan tidak dapat
ditentukan oleh siapa pun (Pasal 1 UUPA).
4. Bangsa Indonesia dan negara sebagai lembaga kekuatan nasional
diberdayakan untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 2 UUPA).
5. Hak ulayat diakui sebagai hak yang ada oleh masyarakat common law.
Persetujuan tunduk pada kondisi bahwa hak ulayat masih ada dan konsisten
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (Pasal 3 UUPA).
6. Setiap badan hukum yang mempunyai hubungan yang utuh dengan bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik asli
maupun bukan asli, adalah warga negara Indonesia. Sebagai aturan umum,
badan hukum tidak memiliki hubungan yang lengkap dengan sifat yang

9
terkandung di dalamnya (Pasal 9, 21, dan 49 UUPA).
b. Meletakkan dasar bagi unifikasi dan penyederhanaan hukum pertanahan. Untuk
mendirikan suatu badan hukum, sistem hukum yang diberikan harus sesuaidengan
kesadaran hukum masyarakat umum.
c. Menciptakan dasar kepastian hukum tentang hak atas tanah bagi seluruh rakyat.
Upaya untuk mencapai tujuan tersebut akan dilakukan dengan membuat peraturan
perundang-undangan yang diamanatkan UUPA yang berpedoman pada prinsip
dan semangat UUPA. Selanjutnya dengan melaksanakan pendaftaran tanah untuk
bidang-bidang tanah dalam wilayah kedaulatan Indonesia dengan tujuan untuk
menjamin kepastian hukum hak atas tanah dengan sifat tanahnya

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan pada tanggal 17 Agustus
1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan suatu
tonggak sejarah sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan memiliki makna
terputusnya atau tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum
nasional, sedangkan dari segi politis, peroklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa
bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Proklamasi kemerdekaan mempunyai arti penting terhadap upaya penyusunan
hukum agraria nasional, yaitu dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial dan bangsa Indonesia berupaya
membentuk hukum agraria nasional.
Namun, dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata pemerintah tidak
bisa begitu saja mengesahkan membentuk hukum agraria nasional, dan membutuhkan
waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria nasional. Oleh karena itu,
untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu segala badan negara dan peraturan yang ada akan tetap berlaku,
selama belum diundangkan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini.
Pasal 2 Ketentuan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa semua lembaga dan
peraturan kolonial yang dibuat akan tetap berlaku selama hal tersebut belum dicabut,
diubah atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru.
Pemerintah Indonesia memulai upaya pada tahun 1948 untuk mengidentifikasi
pemangku kepentingan yang bertanggung jawab untuk merancang UU Agraria dalam
upaya untuk menciptakan hukum agraria nasional yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945 untuk menggantikan hukum agrarian kolonial. Setelah beberapa kali pergantian
Komisi yang berlangsung selama dua belas tahun sebagai rangkaian proses yang cukup
panjang, barulah pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil membentuk

11
hukum agraria nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang lebih dikenal dengan istilah
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Sifat Nasional UUPA
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu tidak
memberlakukan atau mencabut hukum agraria kolonial, dan membangun hukum
agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, ketika UUP mulai berlaku, akan terjadi
perubahan mendasar dalam hukum agraria Indonesia, khususnya hukum
pertanahan. Perubahan mendasar ini berkaitan dengan struktur, konsep yang
mendasari, dan isi dokumen hukum.
2. Peraturan Lama Dicabut oleh UUPA
Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka
Indonesia sudah sepatutnya dibebaskan dari sifat kolonial dan menciptakan sistem
nasional yang disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan dari hukum agraria nasional
tertuang dalam penjelasan umum UUPA, yaitu:
a. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan berperan
dalam mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan
rakyatnya, khususnya kaum tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar bagi unifikasi dan penyederhanaan hukum pertanahan.
c. Menciptakan dasar kepastian hukum tentang hak atas tanah bagi seluruh rakyat.

3.2 Saran
Menurut saya, perlunya kesadaran hukum bagi masyarakat akan pendaftaran hak
atas tanah (akta). Selain itu, untuk mencegah sengketa kepemilikan, masyarakat perlu
memberikan informasi yang jujur dan jelas tentang properti yang terdaftar.

12
DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono. (1999). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya. Jakarta: Djambatan.
Djuhaendah Hasan. (1996). Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda
Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal. Bandung: Citra Aditya.
Fadhil Yazid. (2020). Pengantar Hukum Agraria. Medan: Undhar Press.
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta. (1994). Filasafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahfud MD. (2006). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:
LP3ES.
Notonagoro. (1984). Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara.
Soeprapto. (1986). Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek. Jakarta: Universitas
Indonesia Perss.
Suardi. (2005). Hukum Agraria. Jakarta: B.P. Iblam.
Urip Santoso. (2005). Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
W. Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan
(susunan II). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

13

Anda mungkin juga menyukai