Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM AGRARIA

MAKALAH INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA


KULIAH PENDIDIKAN PENGANTAR HUKUM INDONESIA
DOSEN PENGAMPU : DIANA RANI M.kn

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
1. M. REFKI BAKHTIAR (105220245)
2. M. SYUKRON (105220137)
3. NOVA ELIZA (105220186)

PRODI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat serta karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah kami yang
berjudul “Hukum Agraria”. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.

Dengan makalah ini kami sebagai penulis diharapkan mampu untuk memahami
pengertian dari sistem pemerintahan secara menyeluruh. Kami sebagai penulis makalah
sadar akan kekurangan yang ada pada penulisan makalah “Hukum Agraria” ini, oleh
karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran daripada pembaca makalah ini.
Agar kami selaku penulis mampu menjadi lebih baik kedepannya.

Kami selaku penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberi informasi yang
bermanfaat dan berguna bagi pembacanya, terutama mahasiswa.

Jambi, 1 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan ................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C. Tujuan ............................................................................................................................ 1
BAB II Pembahasan ................................................................................................................ 2
A. Pengertian Hukum Agraria ...................................................................................... 2
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA.............................................................................. 4
C. ASAS – ASAS HUKUM AGRARIA ...................................................................... 16
D. HAK – HAK ATAS TANAH DALAM UUPA ....................................................... 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 21
a. Kesimpulan .............................................................................................................. 21
b. Saran ......................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 22

ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum Agraria memiliki peranan penting dalam Pembangunan suatu negara
dalam mengatur Sumber daya alam suatu negara. Hukum agraria sangat terkait dengan
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani atau masyarakat yang hidup
dengan bergantung ke sumber daya alam sekitarnya. Tujuan dari Hukum Agraria ini
untuk mengatur, melindungi, dan memfasilitasi pemanfaatan sumber daya agrarian
yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh masyarakat. Dalam Hukum Agraria akan
dibahas mengenai masalah penguasaan, pemanfaatan, dan perlindungan atas sumber
daya alam, terutama tanah, yang bmerupakan asset pokok bagi Sebagian besar
masyarakat di negara – negara berkembang. Pertanian dan pertambangan menjadi
pokok utama pertumbuhan ekonomi pada negara – negara ini. Maka dari itu, Hukum
Agraria ini menjadi peranan penting dalam memastikan bahwa hak – hak masyarakat
terlindungi dan sumber daya alam mampu untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Dalam rangka memahami hukum agraria, perlu dilakukan penelitian dan


pembahasan secara mendalam mengenai hukum agraria segi sejarah, teori, maupun
prakteknya di lapangan. Hal ini penting agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan
secara optimal dalam membangun perekonomian suatu negara.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Hukum Agraria ?

2. Sejarah Hukum Agraria ?

3. Asas – Asas Hukum Agraria ?

4. Apa saja Hak - Hak atas tanah dalam UUPA ?

C. Tujuan

1. Untuk memahami Pengertian Hukum Agraria

2. Untuk mengetahui Sejarah Hukum Agraria

3. Untuk mengetahui Asas – Asas Hukum Agraria

4. Untuk mengetahui tentang Hak - Hak atas tanah dalam UUPA

1
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Hukum Agraria
Pada awalnya istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros
(Bahasa Yunani) yang berarti pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau
sebidang tanah, agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian,
agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. 1 Dalam Black’s Law
Dictionary disebutkan bahwa arti agrarian adalah relating to land, or to a division or
distribution of land; as an agrarian laws. 2 Menurut para ahli seperti Andi Hamzah,
Agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan diatasnya. 3 Sedangkan
menurut Seobekti dan R. Tjitrosoedibbio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa
yang ada di dalam dan di atasnya. 4 Maksud dari di dalam dan diatasnya itu seperti
mineral – mineral yang ada di dalam tanah serta tanaman dan bangunan yang ada di
atas tanah.
Sedangkan pengertian Hukum agraria itu sendiri, menurut Soedikno
Mertukusumo. Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah – kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. 5 Bachsan Mustofa
menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hukim
undang – undang dan peraturan – peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara,
sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk
Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhak, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat
yang bersangkutan.6
Menurut Soebakti dan R. Tjitrosoedibio, Hukum Agraria (Agrarish Recht),
adalah keseluruhan dari ketentuan – ketentuan hukum, baik Hukum Perdata maupun
Hukum Tata Negara (staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara
(administratifrecht) yang mengatur hubungan – hubungan antara orang termasuk badan

1
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, h. 1.
2
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1991, h. 43.
3
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, h. 32.
4
Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h. 12.
5
Soedikno Mertpkusumo (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo – I), Hukum dan Politik Agraria,
Universitas Terbuka, Karunika, Jakarta, 1988, h. 1.2.
6
Bachsan Mustofa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Remadja Karya, Bandung, 1988, h. 11.

2
hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan
mengatur pula wewenangn yang bersumber pada hubungan – hubungan tersebut.7
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum,
yang masing – masing mengatur hak – hak penguasaan atas sumber – sumber daya alam
tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut
yang terdiri atas.
A. Hukum Tanah – yang megatur hak – hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan bumi.
B. Hukum Air – yang mengatur hak – hak penguasaan atas air
C. Hukum Pertambangan – yang mengatur hak – hak penguasaan atas bahan –
bahan galian yang dimaksudkna oleh Undang – Undang Pokok
Pertambangan.
D. Hukum Perikanan, yang mengatur hak – hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air.
E. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur – Unsur dalam Ruang Angkasa
– mengatur hak – hak penguasaan atas atenaga dan unsur – unsur dalam
ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.8
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum Agraria dalam
arti sempit sama dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi
bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan – perhubungan
hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas
mengurus soal- soal tentang agraria.9
Dalam kajiannya, Hukum Agraria merupakan sebuah Hukum Kehutanan yang
mengatur hak – hak penguasaan atas hutan (Hak Penguasaan Hutan) dan hasil hutan
(Hak Memungut Hasil Hutan). Dalam objek kajiannya pula Hukum Agraria tidak hanya
membahas soal tanah, tapi juga tentang perairannya, pertambangannya, perikanannya,
kehutananya, serta penguasaan atas tenaga dan unsur – unsur dalam ruang angkasa.

7
Soebakti dan R Tjitrosoedibio, Op.cit., h. 55.
8
Boedi Harsono (selanjutnya disebut boedi harsono – I), Hukum Agraria IndonesiaSejarah Pembentukan
Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, h. 8.
9
Ibid, h. 15.

3
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
1. Hukum Agraria Sebelum Kemerdekaan
a. Agrarische Wet 1870
Agrarische Wet adalah undang – undang yang dibuat di negeri Belanda
pada tahun 1870. Agrarische Wet 1870 diundangkan dalam S 1870-55 sebagai
tambahan ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda
Tahun 1845. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling
(IS) pada tahun 1925, yang isinya sebagai berikut.
a) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah
b) Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah – tanah yang tidak luas,
yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta Pembangunan
kegiatan – kegiatan usaha kerajinan.
c) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan –
ketentuan yang ditetapkan menurut ordonisasi. Tidak termasuk yang
boleh disewakan adalah tanah – tanah kepunyaan pribumi asal
pembukaan hutan, demikian juga tanah – tanah yang sebagai tempat
pegembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
Tambahan Agrarische Wet tahun 1870 sebagai berikut.
a) Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonisasi, diberikan tanah
dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima
tahun
b) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah
yang melanggar hak – hak rakyat pribumi
c) Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah – tanah kepunyaan
rakyat atas pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri,
demikian juga tanah – tanah yang sebagai tempat pengembalaan umum
atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk
kepentingan umum berdasarkan pasal 133 atau keperluan penanaman
tanaman – tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa
menurut peraturan – peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.
d) Tanah – tanah yang dipunyai oleh orang – orang pribumi dengan hak
pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik
adat) atas pemintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya
hak eigendom – nya yaitu yang mengenai kewajibannya terhadap
negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai
kewenangan untuk menjualnya kepada non-pribumi.
e) Persewaan atau serahpakai tanah oleh orang – orang pribumi kepada
non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan
ordonisasi.
Agrarische Wet lahir atas desakan pengusaha besar swasta, hal ini dikarenakan
pada sejak tahun 1830 adanya pelaksanaan cultuur stelsel (peraturan tanam
paksa), yang membuat perolehan tanah perkebunan bagi pengusaha menjadi
sangat terbatas.
Tujuan Agrarische Wet yang utama adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha agar dapat berkembang
di Hindia Belanda. Jadi memberikan dasar agi berkembangnya Perusahaan –
Perusahaan besar swasa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ada
beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah, yaitu:
a) Pengusaha – pengusaha swasta tersebut diberikan untuk membuka

4
tanah – tanah hutan untuk perkebunan besar dengan erfpacht berjangka
waktu sapai 75 tahun, dan hak ini dapat dibebani dengan hyphotheek
sehingga terbuka kemungkinan pengusaha untuk mendapat kredit
dengan jaminan ha katas tanah tersebut.
b) Membuka kemungkinan menggunakan tanah kepunyaan rakyat atas
dasar sewa bagi Perusahaan – Perusahaan kebun besar tanah datar,
terutama Perusahaan gula dan tembakau.
Pelaksanaan Agrarische Wet diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan
pelaksanaannya antara lain: Agrarische Besluit (koninklijke Besluit) S
1870-188, dan Ordonisasi – ordonisasi.
b. Agrarische Besluit
Agrarische Besluit (koninklijke Besluit) S 1870-188 ini hanya berlaku untuk
Jawa dan Madura. Hal pokok yang sangat penting dalam pelaksanaan Hukum
Administratif Hindia Belanda adalah pernyataan “ domein verklaring ” yang
merupakan asas yang tertuang dalam Pasal 1 Agrarische Besluit, yang
mengatakan “ bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan
sebagai hak eigendom – nya, adalah domein (Milik) Negara”. Asas ini dinilai
oleh bangsa Indonesia kurang menghargai, bahkan memperkosa hak – hak
rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat.
Fungsi Domein verklering dalam praktik pelaksanaan perundang – undangan
pertanahan adalah:
a) Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara
sebagai pemilik tanah untuk memberikan tanah dengan hak – hak barat
yang diatur dalam KUH Perdata, seperti hak erfpacht, hak postal, dan
lain-lainnya. Dalam rangka domein verklering, pemberian tanah
dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik
Negara kepada penerima tanah.
b) Dibidang pembuktian pemilikan. Setiap tanah harus ada pemiliknya,
dan setiap pemilik tanah harus dapat membuktikan kepemilikan ha
katas tanahnya, kalau tidak maka tanah tersebut adalah tanah milik
Negara.
c. Hukum Tanah yang Dualistik
Akibat dari politik hukum pertanahan Hindia Belanda, membuat adanya
dualistic hukum yaitu adanya Hukum Tanah adat yang berdasarkan Hukum
Adat dan Hukum Tanah Barat yang berdasarkan Buku II KUH Perdata, yang
merupakan hukum tertulis.
Bagi para bangsa Eropa, dan Timur Asing, hak atas tanah berlaku Hukum
Perdata yang membuat tanah – tanah dihaki dengan hak yang berdasarkan
Hukum Tanah barat, sedangkan bangsa Bumi Putera (Pribumi) ha katas tanah
berlaku Hukum adat yang membuat tanah – tanah dihaki dengan hak yang
berdasarkan Hukum Tanah Adat.
2. Hukum Agraria setelah Kemerdekaan Hingga 1960
Sejak Indonesia Merdeka pada tahun 1945. Maka, dimulailah perkembangan
politik bangsa Indonesia, dengan dibuatnya Undang – Undang Dasar Negara
sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan
Pembangunan bangsa dan negara di berbagai kehidupan, termasuk didalamnya
titik awal Pembangunan hukum nasional.

5
Persoalan Agraria menjadi persoalan yang memerlukan perhatian dan
peraturan khusus, yang jelas dan sesegera mungkin. Oleh karena itu, didalam
UUD 1945 pasal 33 ayat (3) menyatakan “ Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar –
besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini menjadi sebuah landasan dasar bagi
pemerintah Indonesia untuk membentuk berbagai peraturan perundang –
undangan dibidang pertanahan/agraria.

Pada masa ini aturan – aturan atau hukum – hukum yang berlaku didasarkan
pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu:

a) Hukum Barat yang tertuang dalam Buku II KUH Perdata, Khusus


mengenai tanah. Agrarische Wet 1870, Agrarische Besluit dengan
S1870-118 tentang Domein Verklaring (Pernyataan domein negara).

b) Hukum Adat tentang tanah.


Dengan berlakunya dua macam aturan hukum mengakibatkan munculnya
persoalan antargolongan, dan persoalan antaradat. Hal ini menjadi penghambat
pelaksanaan Pembangunan, terutama Pembangunan hukum pertanahan.
Sehingga aturan – aturan tersebut diupayakan untuk disesuaikan dengan cita –
cita kemerdekaan dan amanat UUD 1945.

Maka dari itu, pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit melakukan


penyesuaiia aturan – aturan hukum tersebut dengan kondisi masyarakat dan
bangsa Indonesia yang mereka dengan mempergunakan kebijakan dan tafsir
baru. Adapula peraturan yang disesuakan tersebut, sebagai berikut:

a) Hubungan antara domein verklering dan hak rakyat atas tanahnya,


khusus hal ulayat.

b) Negara bukan sebagai pemilik akan tetapi hanya diberi wewenang untuk
menguasai.

c) Penghapusan hak – hak konversi

d) Semua tanah milik raja, dan rakyat hanya sebagai pemakai dan wajib
menyerahkan kepada raja ½ atau 2.3 hasil kepada raja.

6
Selain itu pemerintah membuat perangkat – perangkat hukum guna
menyelesaikan persoalan – persoalan pertanahan tersebut, yaitu adanya UU
nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaiian Soal Pemakaiian Tanah
Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaiian ini dilakukan dengan cara:

a) Terlebih dahulu diusahakan akan diusahakn agar agenda segala sesuatu


dapat dicarikan penyelesaiinya atas dasar kata sepakat antara pemilij
perkebunan dengan rakyat/penggarap.

b) Apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak


berhasil, maka dalam rangka penyelesaiian penggarapan tanah
perkebunan tersebut akan mengambil kebijakan sendiri dengan
memperhatikan:

• Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak


perkebunan yang bersangkutan;

• Kedudukan Perusahaan perkebunan didalam susunan


perekonomian negara.
Selain ketentuan diatas, dalam Upaya menata kembali penguasaan
pertanahan di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan dengan
mengeluarkan peraturan perundang – undangan sebagai berikut:

a) Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang Penentuan Perusahaan


Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi;

b) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap


Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan;

c) Undang – Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Pemerintah


dan Tindakan – Tindakan Mengenai Tanah Perkebunan;

d) Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah – tanah milik warga


negara Belanda yang kembali ke negerinya.
Namun, semua hal itu tidak lah dapat menyelesaikan persoalan pertanahan
yang ada di negara Indonesia yang Merdeka ini. Sehingga, pemerintah pun
membuat Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan UUD 1945 dan
melahirkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar –

7
Dasar Pokok Agraria, Lembaran Negara 1960-104, yang selanjutnya dikenal
dengan sebutan UUPA.

Dengan lahirnya UUPA maka terjadi kodifikasi dan unifikasi hukum dibidang
agraria. Tentunya hukum – hukum terdahulu yang digunakan sebelum adanya
UUPA-pun dicabut.

Lahirnya UUPA menjadi awal era perombakan dan pembaruan dibiddang


hukum agraria di Indonesia. Sehingga menjamin hak – hak semua pihak dan
perlindungan hukum bagi para petani, dan diharapkan adanya oenegakan
hukum yang tegas dan konsisten tanpa adanya diskriminasi.

Dengan lahirnya UUPA maka:

a) Menjamin adanya persamaan hak antara laki – laki dan Perempuan


dalam menguasain dan memiliki tanah;

b) Pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak atas tanah dengan jalan


pembatasan penguasaan dan pemilikan ha katas tanah oeh seseorang
atau badan hukum;

c) Penentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan dan


penguasaan tanah pertanian dengan melaksanakan program landreform;

d) Diupayakan agar semua jenis ha katas tanah didaftarkan oleh pemerintah


maupun pemegangn haknya guna memperoleh kepastian hukum dan hak
dalam rangka perlindungan hukum dan hak pemegang ha katas tanah.

e) Melakukan konnversi semua hak – hak atas tanah yang sebelumnya


berdasarkan Hukum Barat dan Hukum Adat;

f) Melakukan peraturan kembali system gadai tanah pertanian, system bagi


hasil tanah pertanian;

g) Larangan penguasaan tanah pertanian secara absentee; dan

h) Redistribusi tanah – tanah pertanian yang dikuasai oleh negara kepada


para petani yang memiliki tanah kutang dari dua hektar.

8
3. Hukum Agraria Sejak tahun 1960 hingga Era Reformasi
Dengan lahirnya UUPA, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960, Lembaran
Negara 1960-104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, tentang
Peraturan Dasar – Dasar Pokok Agraria, maka mulai saat itu terjadi perombakan
secara menyeluruh tentang peraturan keagrariaan di Indonesia. seperti sebagai
berikut:

a) Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Agraria, yakni Kodifikasi Hukum Agraria


yang berlaku adalah hukum tertulis dan terkodifikasi, yaitu UU Nomor 5
Tahun 1960 dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Sedangkan Unifikasi
Hukum Agraria yakni hanya ada satu Hukum Agraria yang berlaku yaitu
UU Nomor 5 Tahun 1960 dan berbagai peraturan.

b) Supremasi Hukum Agraria, Yakni Penegakan Hukum Agraria nasional


yang bersifat tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif

c) Pembaruan/Reformasi Hukum Agraria Nasional, dengan terbentuknya


UUPA menjadi dasar dari pembaruan Hukum Agraria diberbagai Aspek.

d) Menghapuskan dualism dan pluralism Hukum Agraria. Dengan


terbentuknya UUPA tidak ada lagi hukum yang berlaku dualism dan
pluralism hukum agraria, akan tetapi hanya ada satu hukum yang berlaku
yaitu UUPA.

e) Perlindungan Hak Asasi Manusia Atas Tanah, dengan lahirnya UUPA,


maka perlindungan hak – hak asasi laki – laki dan Perempuan sangat
dilindungi dalam UUPA, dalam pasal 8 UUPA.
Ada beberapa Prinsip Pokok yang terdapat pada UUPA, yaitu:

a) Hak bangsa atas agraria yang bersifar abadi (Pasal 1 ayat (1))

b) Hak menguasai negara atas agraria/pertanahan (Pasal 2)

c) Pengakuan akan hak ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atas
tanah (Pasal 3)

d) Pemberian akan hak – hak perorangan dan badan hukum atas tanah, yaitu
bahwa setiap orang dapat diberika hak – hak atas tanah baik sendiri – sendiri
maupun bersama – sama serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1))

9
e) Prinsip fungsi sosial bagi'$emua hak atas tanah (Pasal 6)

f) Pengaturan tentang landreform yang diatur dalam Pasal 7, dan 17, yaitu
tentang batas maksimum dan minimum pemilikan tanah bagi satu keluarga,

g) Prinsip tanah untuk petani (Pasal 10)

h) Pendaftaran tanah untuk kepastian hukum dan hak bagi pemegangnya (Pasal
19)
Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUPA
tersebut di atas diatur dalam berbagai Undang-Undang dan Peraturan-peraturan
Pemerintah, Peraturan-peraturan Presiden, Peraturan-peraturan Menteri dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pengaturan-pengaturan tersebut sebagai
berikut:

a) Dibidang kehutanan diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang


Ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan Undang-Undang Nomor Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan junto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004
tentang Kehutanan, serta berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri
Kehutanan

b) Dibidang Pertambangan diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967


tentang Pertambangan dan berbagai peraturan pelaksanaannya, yang diganti
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan
Batu Bara.

c) Dibidang Perikanan diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

d) Dibidang pengairan diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004


tentang Sumber Daya Air.
e) Dibidang Perkebunan diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan.
f) Dibidang landreform diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor
56/prp Tahun 1960 tentang Pemilikan Tanah Pertanian oleh satu keluarga,
dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun | 1961 tentang Larang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee.
g) Dibidang Rumah Susun diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun.
h) Dibidang Tata Ruang dan Tata Guna Tanah diatur dengan UndangUndang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang ganti dengan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan

10
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Tata Guna Tanah.
i) DIbidang Hak Tanggungan diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan.
j) Dibidang bagi hasil tanah pertanian diatur dengan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960.
k) Dibidang Pendaftaran Tanah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961, yang selanjutnya diganti dengan Peraturan
Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
l) dan lain-lainnya.
4. Hukum Agraria di Era Reformasi
ADWADTuntutan reformasi di bidang hukum agr terus bergulir dan terus
dilakukan oleh masyarakat, namun pemerintah hingga sampai saat ini masih
mempertahankan keberlakuan UUPA tersebut dengan melakukan upaya
penyesuaian dengan kondisi yang berkembang di era reformasi sekarang ini.
Hukum Agraria di Era Reformasi ini masih berdasarkan ketentuan UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 188 UUD 1945 hasil amandemen tentang eksistensi
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya adalah UUPA sebagai hukum
khusus yang mengatur agraria, namun diupayakan untuk dilakukan perubahan-
perubahan dengan lahirnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Hukum Tanah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Adapun aturan - aturan hukum yang menjadi dasar hukum pembangunan dan
pembaruan hukum agraria yang berlaku pada masa ini adalah:
a) UUD 1945 hasil amandemen yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan
ketentuan Pasal 33 ayat (3).
b) UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan peraturan
pelaksanaannya yang disesuaikan dengan kondisi sekarang.
c) Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
d) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam ini lahir karena adanya tuntutan reformasi di
segala aspek pembangunan dan hukum dan Era Globalisasi yang mempengaruhi
segala aspek kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Dalam Ketetapan MPR
Nomor IX/MPR/2001, konsiderans menimbang mengatakan:
a) Bahwa sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai Rahmat
Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan
Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan Makmur.
b) Bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan
kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan social ekonomi rakyat serta
11
kerusakan sumber daya alam.
c) Bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, "penggunaan
dan pemanfaata nya.serta menimbulkan berbagai konflik.
d) Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang
tindih dan bertentangan.
e) Bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang
adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran
serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
f) Bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang - Undang Dasar 1945,
diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan
dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
g) Bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, e, dan f perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
tentang Pembaruan Agraria dan Perigelolaan Sumber daya Alam.

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan


Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, dalam Pasal 2 menyatakan:
Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan yang
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, penataan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, dikatakan bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam/agraria menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 adalah bahwa Pengelolaan
sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut, dan angkasa dilakukan
secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Pasal 3). Negara
mengatur pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 4).
Adapun prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria berdasarkan Pasal 5
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 adalah sebagai berikut: Pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip:
a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum,

12
d) Rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia.
e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat.
f) Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam.
g) Memelihara keberlanjutan yang dapa tmemberi manfaat yang
optimaL, baik untuk generasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan.
h) Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat.
i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor
pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.
j) Mengakui dan menghormati hak: masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber
daya alam.
k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau
yang setingkat), masyarakat dan individu,
l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah Provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau
yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber
daya agraria dan sumber daya alam.
Sedangkan arah kebijakan pembaruan agrarid sebagaimana diatur di dalam
Pasal 6 adalah sebagai berikut.
a) Arah kebijakan pembaruan Agraria adalah:
• Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
Pasal 5 Ketetapan ini.
• Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah
untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
• Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif
dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
• Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal

13
5 Ketetapan ini.
• Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam
rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan: dengan
sumber daya agraria yang terjadi.
• Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber
daya agraria yang terjadi.
b) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
• Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana
dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini
• Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber
daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
• Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan
mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk
teknologi tradisional. | .
• Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis
sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya
meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam
tersebut.
• Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya
alam .yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi
potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan
ini.
• Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang
didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan
memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun
nasional.
Untuk melaksanakan. reforma agraria, Presiden Republik Indonesia
telah menugaskan kepada Badan Pertanahan Nasional selaku lembaga yang
khusus diberikan untuk dan bertanggungjawab terhadap persoalan pertanahan
di Indonesia. Pemberian tugas tersebut berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan - Nasional. Pasal 2 menentukan:
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.
Selanjutnya di dalam Pasal 3 peraturan tersebut ditentukan bahwa dalam

14
melaksanakan tugasnya Badan Per tanahan Nasional mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan.
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan.
3. Kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan,
4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan.
5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan
pemetaan di bidang pertanahan.
6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum.
7. Pengaturan dan penetapan hakhak atas tahah.
8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agaria dan penataan
wilayah-wilayah khusus.
9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Kementerian Keuangan.
10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah,
11. Kerjasama dengan lembaga: lembaga lain.
12. Penyelenggaraan,dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan
program di bidang pertanahan.
13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik
di bidang pertanahan.
15. Pengkajian dari pengembangan hukum pertanahan.
16. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.
17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di
bidang pertanahan.
18. Pengelolaan dan/atau diinformasi di bidang pertanahan.
19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
bidang pertanahan.
20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang,
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang -
undangan yang berlaku. 10

10 Muhammad Arba, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 24 - 46

15
C. ASAS – ASAS HUKUM AGRARIA
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA memuat beberapa asas pokok sebagai
berikut.
1. Asas kenasionalan: asas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 1 UUPA yang
menentukan: “bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Seluruh.
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Bahwa hubungan antara bangsa “Indonesia dan bumi, air
serta ruang angkasa adalah hubungan yang versi abadi.
2. Asas Kekuasaan Negara: asas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 2 ayat(1),
(2), dan (3) UUPA, yaitu antara lain dikatakan: “bahwa negara tidak perlu dan
tidak pada tempatnya sebagai pemilik tanah, negara sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) pada tingkatan yang tertinggi untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. '
3. Asas pengakuan terhadap hak ulayat, asas ini tercermin di dalam ketentuan
Pasal 3 UUPA yang menentukan “bahwa hak ulayat dari ketentuan-ketentuan
hukum adat, akan menundukkan hak pada tempat yang sewajarnya dengan
syarat, bahwa hak ulayat tersebut sepanjang kenyataannya masih ada dan harus
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang - undangan lain yang lebih tinggi.
4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial: asas ini tercermin dalam
ketentuan Pasal & UUPA yang menentukan bahwa “semua hak atas tanah
berfungsi sosial”. Dari ketentuan ini berarti bahwa hak atas tanah apa pun yang
ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan
tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat dari haknya, sehingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. :
5. Asas kebangsaan, asas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 9. Pasal 21 ayat (4)
dinyatakan: “bahwa hanya warga negara indonesia saja yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah”. Selanjutnya dalam Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa
perpindahan hak milik kepada orang asing dilarang: Namun kepada orang asing
tersebut dapat mempunyai tanah dengan. hak pakai (Pasal 42). Demikian pula
bagi badan-badan hukum hanya untuk badan hukum yang ditunjuk oleh
pemerintah yang dapat mempunyai hak milik, sedangkan lainnya dapat
mempunyai hak-hak lainnya (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai).
6. Asas persamaan hak, asas ini tercermin dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, Dalam
UUPA tidak membedakan antara hak kaum pria dan hak wanita. Pasal 9 ayat
(2), menyatakan “bahwa tiap - tiap warga negara indonesia baik pria maupun
16
wanita mempunyai kesempatan untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya”.
7. Asas perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah: Untuk
memberikan perlindungan kepada warga negara yang lemah ekonominya
terhadap warga negara yang kuat telah diatur beberapa ketentuan antara lain:
a) Dalam Pasal 11 ayat (1) diatur mengenai hubungan hukum antara
orang/badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta
wewenangnya agar dicegah penguasaan atas penghidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas. Sedangkan dalam ayat (3) jelas-jelas
dinyatakan adanya perlindungan terhadap kepentingan golongan yang
ekonominya lemah.
b) Dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa usaha-usaha yang bersifat monopoli
dalam lapangan agraria hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan
berdasarkan undang - undang.
8. Asas bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri. Asas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 13 jo. Pasal 17
UUPA. Dalam Pasal 13. Pasal " 17 ditentukan batas minimum dan maksimun
pemilikan/ penguasaan tanah pertanian. Kentetuan ini dijabarkan lagi dalam
aturan pelaksanaannya, yaitu UU No..56 Tahun 1960. Ketentuanketentuan
tersebut bertujuan dalam rangka mencapai maksud dari asas tersebut.
9. Asas perencanaan: Asas mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan bangsa dan
negara tersebut di atas maka diatur dalam Pasal 14, yaitu diperlukan adanya
rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi,
air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara.
Dengan adanya rencana tersebut, maka penggunaan tanah dapat dilakukan
secara terpimpin dan teratur sehingga membawa manfaat yang sebesarbesarnya
bagi negara dan rakyat.11
D. HAK – HAK ATAS TANAH DALAM UUPA
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber
daya agraria/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup
agraria/sumber daya agraria/Sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA
adalah tanah,
2. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang
berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah

11 Ibid., h, 20 - 23

17
Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 1974
tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang
terdapat di dalam dan/atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang
terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi
air yang terdapat di laut.
3. Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA
adalah. ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air
wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA,
ruang di atas bumi dan air.yang mengandung tenaga dan unsur - unsur
yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
4. Kekayaan alam yang terkandung didalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di.dalam bumi disebut bahan,
yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih, dan segala macam
batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-
endapan alam (Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan).
Kekayaan alam yang terkandung di air adalah ikan dan lainlain
kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut
wilayah Indonesia (Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan). 12

Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah dibagi


menjadi dua, yaitu:

a) Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum.


• Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan.
• Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh,
wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang
haknya serta jangka waktu penguasaannya.
• Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh
menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi
penguasaannya, dan
• Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b) Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang
konkret

12 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, h. 2. 3.

18
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan
tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum
tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah
sebagai berikut:
• Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi
suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau
sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.
• Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan
hak-hak lain.
• Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada
pihak lain.
• Mengatur hal-hal mengenai hapusnya.
• Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum


Tanah Nasional adalah:
a) Hak bangsa Indonesia atas tanah.
b) Hak menguasai negara atas tanah.
c) Hak ulayat masyarakat Hukum Adat.
d) Hak perseorangan atas tanah, meliputi:
• Hak-hak atas tanah.
• Wakaf Tanah Hak Milik.
• Hak Tanggungan.
• Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun13
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macammacam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum” Hak atas tanah bersumber dari hak
menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik
warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara
bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan
hukum publik.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan Pasal 53
UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu:
a) Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah ini akan
tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan undang-undang yang baru.
Jenis-jenis hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka

13 Ibid., h, 76-77

19
Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak Memungut Hasil
Hutan.
b) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang,
hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan
dengan undang-undang.
Hak atas tanah ini jenisnya belum ada.
c) Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah ini
sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan
dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung
sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai
(Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil),
Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16. Pasal 53 UUPA
tidak bersifat limitatif, artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan
dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur
secara khusus dengan undang-undang.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
a) Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah Negara, Hak
Pakai atas tanah Negara.
b) Hak Atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah
yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan
atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan,
Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,
Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian
Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian.14

14Ibid., h, 89 - 91

20
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Hukum Agraria merupakan sebuah peraturan yang mengatur tentang hakatas
tanah di sebuah negara yang bersifat tegas, konsisten dan tanpa diskrimintatif.
Didalamnya terdapat Sejarah bagaimana hukum agraria diterapkan di bumi Indonesia
dari awal masa kolonial sampai masa reformasi.

Pada awalnya hukum agraria Indonesia ini masih menggunakan sumber hukum
belanda dan sumber hukum adat yang membuat adanya dualistic hukum dan membuat
adanya persoalan – persoalan atas tanah yang tidak terselesaikan dengan baik. Sehingga
pemerintah pun membuat peraturan perundang – undangan yang mengatur agraria atau
pertanahan yaitu undang – undang pokok agraria atau UUPA. Dengan lahirnya UUPA
ini diharapkan mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang tidak
bisa diselesaikan oleh hukum belanda dan hukum adat.

Dalam hukum agraria terdapat asas – asas hukumnya, ada Sembilan asas – asas
huku agraria. Dan dalam hukum agraria ini pula mengatur hak – hak atas tanah yang
terkandung dalam UUPA. Dalam hak – hak ini terkandung pula hierarki peraturan
sebagai penentu tingkatan peraturan.

b. Saran
Demikian Makalah ini kami tulis sedemikian rupa, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk memahami Hukum Agraria. Dalam Penulisan
kami selaku penulis menyadari kalau masih banyak kekurangan, maka dari itu kami
meminta kepada para pembaca untuk memberikan saran dan kritik, agar kami mampu
untuk lebih menyempurnakan penulisan kami di masa depan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Urip (2012). “Hukum Agraria: Kajian Komprehensif” . Jakarta. Kencana


Arba, Muhammad (2015). “Hukum Agraria indonesia” . Jakarta. Sinar Grafika

22

Anda mungkin juga menyukai