Anda di halaman 1dari 32

MATA KULIAH

HUKUM AGRARIA
”Peranan Hukum Agraria Terhadap Masyarakat”
DOSEN : H.Tajuddin S.Pd.,M.Pd

OLEH:
Humairah Kadir
2201006
PRODI PPKN (Semester II)

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU


PENGETAHUAN COKROAMINOTO PINRANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan izin-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang
telah direncanakan.
Makalah ini berjudul “Peranan Hukum Agraria Terhadap Masyarakat”
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Hukum Agraria. Dalam
makalah ini, kami mengungkapkan gambaran mengenai ruang lingkup hukum
agraria terkhususnya pertanahan.
saya pun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
rendah hati kami menerima kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Pinrang, 03 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
4. Manfaat

BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Agraria
b. Hukum Agraria
c. Hukum Tanah
2. Administrasi Pertanahan
3. Hak-hak Atas Tanah
4. Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan
5. Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum
6. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
7. Mediasi Sengketa Pertanahan
8. Penataan Guna Tanah
9. Tanah,Hak Asasi Manusia dan Keadilan

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Hukum agraria adalah keseluruhan norma-norma hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum antara subjek
hukum dalam bidang agraria. Hukum agraraia sebenarnya merupakan sekelompok
berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber daya alam yakni hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum
perikanan dan hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa:
1 . Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai
dalam arti tanah baik tanah pertanian maupun non pertanian, tetapi Agrarisch Recht
atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada
perangkat peraturan perundangundangan yang memberikan landasan hukum bagi
penguasa dalam melaksanakan kebijaksanaannya di bidang pertanahan, maka
perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria merupakan
produk hukum yang mengakhiri hukum agraria kolonial yakni Undang-undang
Agraria Tahun 1870. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria sebagai produk hukum paling populis.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran Hukum Agraria Terhadap Masyarakat dalam
implementasi asas itkad baik dalam peralihan hak atas tanah sebagai dasar
pembuktian bagi pemiliknya?
2. Bagaimanakah asas Hukum Agraria atas asas itkad baik dalam peralihan
hak atas tanah sebagai dasar pembuktian bagi pemiliknya ?
3. Bagaimana akibat hukum apabila asas itkad baik tidak diimplementasikan
di dalam peralihan hak atas tanah sebagai dasar pembuktian bagi
pemiliknya?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan peran Notaris dalam implementasi asas Nemo Plus
Yuris dan asas itikad baik dalam peralihan hak atas tanah sebagai dasar
pembuktian bagi pemiliknya
2. Untuk mengetahui asas Nemo Plus Yuris dan asas itikad baik
dalamperalihan hak atas tanah sebagai dasar pembuktian bagi pemiliknya 3.
Untuk menganalisis akibat hukum apabila asas Nemo Plus Yuris dan asas
itikad baik tidak diimplementasikan di dalam peralihan hak atas tanah
sebagai dasar pembuktian bagi pemiliknya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat
memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya di
bidang hukum agraria dan kenotariatan dalam hal peralihan hak atas tanah 2
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi para praktisi hukum khususnya dalam hukum pertanahan dan hukum
kenotariataran dalam hal peralihan hak atas tanah .
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Agraria, Hukum Agraria dan Hukum Tanah

A. Pengertian Agraria
Istilah Agraria berasal dri kata Akker ( Bahasa Belanda ), Agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahas Latin) berarti tanah atau sebidang
tanah,Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan,persawahan, pertanian, Agrarian
(Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
•Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada di
dalam dan diatasnya
•Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio, agraria adalah urusan tanah dan
segala apa yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah misalnya
batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada diatas tanah berupa tanaman,
bangunan.
Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi berikut :
•Bumi; Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
•Air; Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada
diperairan pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah Indonesia
•Ruang Angkasa; Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA
adalah ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah
Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA ruang diatas
bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur – unsur yang dapat
digunakan untuk usaha – usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
•Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; Kekayaan alam yang
terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur – unsur kimia,
mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-
batuan mulia yang merupakan endapan – endapan alam.

B. Pengertian Hukum Agraria


Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum Agraria adalah Keseluruhan
kaidah-kaidah   hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hokum yang tertulis
adalah Hukum Agraria dalam bentuk hokum undang-undang dan peraturan-
peraturan tertulis lainnya yang dibuat negara, sedangkan kaidah hokum yang tidak
tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hokum Adat Agraria yang dibuat oleh
masyarakat adapt setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya
dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. 
Boedi Hasono menyatakan Hukum Agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agrarian.
Kelompok berbagai bidang hokum tersebut terdiri atas :
1.Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan bumi
2.Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3.Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan penguasaan atas
bahan –bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan
4.Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung dadalam air
5.Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam ruang Angkasa
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsure-unsur dalam ruang angkasa
yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA
Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria
Secara garis besar Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi
dua bidang yaitu:
1.Hukum Agraria Perdata: Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang
bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan,
mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan
tanah.
2.Hukum Agraria Administrasi: Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang
memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan
mengambil tindakan dari masalah-masalah agrarian yang timbul.
Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri
atas lima perrangkat hukum, yaitu :
1.Hukum Agraria Adat
2.Hukum Agraria Barat
3.Hukum Agraria Administratif
4.Hukum Agraria Swapraja
5.Hukum Agraria Antar Golongan
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut setelah negara Indonesia merdeka, atas
dasar pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan
masih berlaku selama belum diadakan yang baru.,

C.Pengertian Hukum Tanah


Dalam ruang lingkup agrarian tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi, dalam pasal 4 ayat (1) UUPA atas dasar hak menguasai
dari negara sebagai yang dimaksud pasal 2 ditentukan adanya macam-macamhak
atas permukaan bumi yang disebut tanah. Tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebgian tertentu
permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah maksudnya Hak yang
berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
haknyauntuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hokum tanah nasional adalah :
1.Hak bangsa Indonesia atas tanah
2.Hak menguasai dari negara atas tanah
3.Hak ulayat masyarakat hokum adapt
4.Hak perseorangan meliputi ;
1.Hak-hak atas tanah
2.Wakap tanah hak milik
3.Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
4.Hak milik atas satuan rumah susun

Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik tertulis


maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai ibjek pengaturan yang sama
yaitu hak-hak penguasan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum yang konkret, beraspek public dan privat yang dap[at disusun dan
dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi saqtu kesatuan yang
merupakan satu system.
Ada dua macam asas dalam Hukum tanah, yaitu :
1.Asas Accessie atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu
kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian daari tanah yang bersangkutan
2.Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupkan
bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak deengan sendirinya meliputi pemilikan
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

2. Administrasi Pertanahan
Secara umum melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (https://kbbi.kemdikbud.go.id/), dimana
masing-masing berdefinisi :
1.Administrasi
usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan kegiatan kantor dan tata usaha pemerintah atau
lembaga pemerintah
2.Pertanahan
hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan tanah milik
Berangkat dari definisi dasar secara bahasa Indonesia tersebut diatas, maka
dilakukan penelusuran definisi berdasarkan literatur.
Pengertian administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan manajemen yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan
dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pembahasan diatas telah diketahui bahwa urusan pertanahan
memiliki Undang-undang khusus yang dikenal dengan UUPA, sehingga terkait
seluruh definisi tersebut saya mencoba mendefinisikan pemahaman saya tentang
administrasi pertanahan adalah sebagai berikut :
Usaha dan kegiatan yang dimulai sejak penetapan tujuan, serta cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi, hingga termasuk segenap usaha dan
manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah
dalam satu kesatuan yang terdiri atas rangkaian kegiatan penataan.
Rangkaian-rangkaian kegiatan penataan terhadap pekerjaan pokok dalam
bidang pemerintah ini merupakan kegiatan aparatur negara dalam melayani
kepentingan rakyat yang saling terkait satu sama lain, dan melayani kepentingan
rakyat yang secara lebih spesifik merupakan kepentingan atas hal-hal yang
berhubungan dengan kepemilikan tanah milik, pencapaian pemenuhan kepentingan
rakyat ini dilakukan pemerintah dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai
tujuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu
Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 yang dikenal dengan Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA).

3. Hak-hak Atas Tanah


A. Ruang Lingkup Hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat
diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara
asing, sekolompok orang bersama-sama, dan badan hokum baik badan hokum
privat maupun badan hokum publik.
Macam-macam hak tanah dimuat dalam pasal 16 jo.pasal 53 UUPA, yang
dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah ini akan
tetapadaselama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-
undang yang baru. Macam-macam hak atass tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk
bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh undang-undang, yaitu hak atas
tanah yang akan lahirkemudian yang akan ditetapkan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah ini sifatnya
sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feudal dan
bertentangan dengan jiwa UUPA.
Macam-macam tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu :
1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari
tanah negara seperti : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal
dari tanah pihak lain, seperti : Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak
Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas
Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk
Bangunan, Hak Gadai, Hak Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa Tanah
Pertanian.
B.Hak Milik
Pengerian Hak Milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah Hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun temurun artinya Hak milik atas tanah
dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya Hak Milik
atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain tidak
mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain
dan tidak mudah hapus.
Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada
pemiliknya paling luas bila dibandingkan hak atas tanah yang lain.
Subjek Hak Milik. Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik menurut
UUPA dan peraturan pelaksanaanya adalah :
1. Perseorangan, yaitu Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai
hak milik ( pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini menentukan
perseorangan yang hanya berkewarganegaraan Indonesia yang dapat
mempunyai tanah hak milik.
2. Badan-badan Hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hokum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (pasal 21 ayat (2) UUPA)
yaitu Bank-bank yang didirikan oleh negara (bank negara), Koperasi
pertanian, badan keagamaan dan badan social.

C.Hak Guna Usaha


Pengertian Hak Guna Usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA adalah Hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,guna perusahaan, pertanian atau
peternakan.
Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan
luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hokum luas minimalnya 5
hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Jangka Waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu untuk petama kalinya
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 35
tahun (pasal 29 UUPA) sedangkan pasal 8 PP No. 40 tahun 1996 mengatur jangka
waktu 35 tahun diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun.

D.Hak Guna Bangunan


Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA yaitu Hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun.
a.Jangka Hak Guna Bangunan
Menurut pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak
guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
1. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak guna bangunan ini berjangka
waktu pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama
20 tahun, dan dapat perbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan ini
berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun dapat diperpanjang
selama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30
tahun.
3. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini
berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka
waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak guna
bangunan dapat di perbaharui dengan pemberian hak guna bangunan baru
dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan kabupaten/kota setempat.
Hapusnya Hak Guna Bangunan. Berdasarkan pasal 40 UUPA Hak Guna
Bangunan hapus karena:
1.jangka waktunya berakhir;
2.dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipen
uhi;
3.dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4.dicabut untuk kepentingan umum;
5.diterlantarkan;
6.tanahnya musnah;
7.ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

E. Hak Pakai
Penertian Hak Pakai. Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan HP
adalah Hak untuk mengguanakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perrjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentengan dengan ketentuan UUPA
Jangka Waktu Hak Pakai. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara
tegas berapa lama jangka waktu hak pakai. Dalam PP No. 40 Tahun 1996 jangka
waktu hak pakai diatur pada pasal 45sampai dengan 49 yaitu :
1. Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jagka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk paling lama 25 tahun.
2. Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak pakai ini berjangka waktu
untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk paling
lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun.
3. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Hak Pakai ini diberikan untuk paling
lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan
antara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui
dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan
wajib didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten.
F. Hak Sewa Untuk Bangunan
Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan menurut pasal 44 ayat (1) UUPA
adalah Hak yang dimiliki seseorang atau badan hokum untuk mendirikan dan
mempunyai bangungan diatas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar
sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh
pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan.

G. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara


Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan
dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA yang meliputi Hak Gadai (gadai tanah), Hak
Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian.
Macam-macam Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.Hak Gadai
Bahwa Pengertian Hak Gadai menurut Boedi Harsono, adalah Hubungan
hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima
uang gadai daripadanya.
Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai dalam Hukum Perdata Barat adalah
Hak gadai merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam
meminjam uang dengan dengan tanah sebagai jaminan, objek hak gadai adalah
tanah. Sedangkan objek perjanjian pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai
jaminan utang adalah uang. Perbedaan antara hak gadai dengan gadai menurut
hokum perrdata barat adalah pada hak gadai terdapat satu perbuatan hukum yang
berupa perjanjian penggarapan tanahpertanian oleh orang yang memberikan uang
gadai, sedangkan Gadai menurut hokum perdata barat terdapat dua perbuatan
hokum yang berupa perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok
dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan, sebagai ikutan
Ciri-ciri Hak Gadai menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
1.Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
2.Pemegai gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
3.Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera di tebus.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai Hak gadai disamping mempunyai unsur tolong
menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik tanah
tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya tetap dikuasai oleh pemegang gadai.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai adalah :
1.Lamanya gadai tak terbatas
2.Tanah baru dapat kembali ke pemilik tanah apabila sudah dapat ditebus oleh
pemiliknya.

b. Hak Usaha Bagi Hasil


Menurut Boedi Harsono yang dimaksud Bagi Hasil adalah Hak seseorang
atau badan hukum (yang di sebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan
yang telah disetujui sebelumnya.
Sifat-sifat dan Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil menurut Boedi Harsono adalah :
1.Perjanjian bagi hasil waktunya terbatas
2.Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin pemilik
tanahnya
3.Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang
bersangkutan kepada pihak lain
4.Perjanjian bagi hasil juga tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak
itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia
5.Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus
6.Sebagai lembaga, perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus.
c. Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang menurut Boedi Harsono yaitu Hak yang
memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah
diatas tanah pekarangan milik orang lain
Sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Menumpang adalah sebagai berikut :
1.Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat
dihentikan.
2.Hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik
tanah jika ia memerluka tanah tersebut.
3.Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu uang sewa kepada
pemilik tanah.
4.Hanya terjadi pada tanah pekarangan.
5.Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
6.Bersifat turun-temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
7.Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.

4. Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan


Kepres RI Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijaksanan Nasional dibidang
Pertahanan Presiden RI.
Menimbang : a. bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam , perlu diwujudkan konsepsi, kebijaksanaan
dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu.
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b dipandang perlu menetapkan
Keputusan Presiden tentang Kebijaksanaan Nasional di bidang
Pertanahan:
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor !X/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam :
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria ( Lembaran Negara Tahun 1960) Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tetang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60. Tambahan
Lembaran Negara Nomor3839);
5. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi , Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah NOn Departemen sebagimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor
30 Tahun 2003.
Menetapkan: : MEMUTUSKAN :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KEBIJAKSANAAN
NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN

Pasal 1
Dalam rangka mewujudkan konsepsi kebijaksanaan dan sistem pertanahan nasional
yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan Tap MPR Nomor !X /MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan
Nasional melakukan langkah-langkah percepatan:
a. penyusunan Rancangan Undang-Undang penyempurnaan Undand-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria dan
Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta perundang-
undangan lainnya di bidang pertanahan.
b. pembangunan sistem informasi dan managemen pertanahan yang meliputi:

1. penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/perintah daerah


di seluruh Indonesia;
2. penyiapan aplikasi data tekstual dan spesial dalam pelayanan pendaftaran
tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang
dihubungkan dengan egoverment, e-comerce dan e-payment;
3. pemetakan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan
teknologi informasi untuk menunjang kebijaksanaan lendreform dan
pemberian hak atas tanah ;
4. pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan
pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi dengan
mengutamakan penetapan zona sawah beririgrasi, dalam rangka memelihara
ketahanan pangan nasional.

Pasal 2

(1) Sebagian kewenangan Pemerintah dibidang pertanahan dilaksanaan oleh


Pemerintah Kabupaten/Kota
(2) Kewenangan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. pemberian ijin lokasi
b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
c. penyelesaian sengketa tanah garapan;
d. penyelesaian masyalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembnangunan ;
e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absence;
f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
h. pemberian ijin membuka tanah;
i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota;

(3). Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi, dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang
bersangkutan.

Pasal 3

(1) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2


Badan Pertanahan Nasional menyusun norma-norma dan/atau standarisasi
mekanisme ketatalaksanaan kwalitas produk dan kwalifikasi sumber daya manusia
yang diperlukan.
(2) Penyusunan norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan ,
kwalitas produk dan kwalifikasi sumber daya manusia diselesaikan selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ditetapkan Keputusan Presiden ini.

Pasal 4

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 oleh Badan


Pertanahan Nasional diselesaikan paling lambat tanggal 1 Agustus 2004.

Pasal 5

Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka ketentuan pasal 114 ayat (6)
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor30 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan


Presiden ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
5. Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum
Istilah “pengadaan tanah” secara yuridis pertama kali dikenal sejak
keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sebagai penganti
Keppres diatas, disebutkan bahwa “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak
atas tanah tersebut.” Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
sebagai penganti Keppres diatas, disebutkan bahwa “pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah”.
Pasal 1 Angka 3 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 mengubah lagi
pengertian pengadaan tanah, disebutkan bahwa “Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
yang berkaitan dengan tanah”.
Pengaturan pengadaan tanah dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum menyatakan bahwa “Pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak”. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau
memiliki obyek pengadaan tanah. Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas
tanah dan bawah tanah, bangunan dan tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Pengertian Pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, pengadaan tanah adalah kegiatan pelepasan
hak atas tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk
kepentingan umum. Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaan pembangunan nasional
dibidang pertanahan, sebagaimana dimuat dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Penjelasan resmi pasal ini dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penjelasan tersebut bermakna kekuasaan yang diberikan kepada Negara atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu meletakkan
kewajiban kepada Negara untuk mengatur pemilikan dan memimpin
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan Negara
Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu
menyelenggarakan pembangunan. Di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak
atas tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 telah berlaku
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan
pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) Nomor 15 Tahun
1975 jo PMDN Nomor 2 Tahun 1976, kemudian dicabut dan diganti dengan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Kepentingan Umum, sejak tanggal 17 Juni 1993, semua pengambilalihan tanah
untuk kepentingan umum dilakukan dengan peraturan ini yang pelaksanaannya
ditunjang dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 1994 (selanjutnya disebut PMNA/Ka.BPN 1/1994).
Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya
tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang
keberadaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan dikaitkan dengan
telah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang
yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah. Ditingkat Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Realita kehidupan dimasyarakat pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum menimbulkan gejolak dalam praktiknya, dimana adanya
pemaksaan dari para pihak baik pemerintah yang menetapkan harga secara sepihak
maupun pemilik tanah menuntut harga yang dianggap tidak wajar, sementara itu
perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir dua kepentingan yang
berbeda tersebut.
Akhirnya terjadi dengan cara pemaksaan dan intimidasi terhadap
masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, Rancangan Undang
undang (RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang
Paripurna tanggal 16 Desember 2011 yang lalu. Sesuai dengan Pasal 73 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, maka RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling lama 30
hari sejak RUU tersebut disahkan. Diharapkan dengan adanya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum yang disahkan pada tanggal 14 Januari 2012, maka Indonesia
memiliki payung hukum yang kuat setingkat undang-undang guna memperlancar
pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. Namun
sejauhmana undang-undang ini dapat memberikan perlindungan bagi Masyarakat
yang terkena dampak bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

a.Tujuan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Tujuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah menyediakan


tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang berhak. Semakin banyaknya pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum pada hakikatnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum
penting di lakukan, dimana memerlukan bidang tanah dalam jumalah yang besar.
Tetap saja, pelaksanaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan
memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
Pengadaan tanah sudah dikenal sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda
dahulu. Istilah pengadaan tanah masa itu lebih dikenal dengan istilah pencabutan
hak (onteigenings). Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka masalah pengadaan tanah
untuk kepentingan umum mulai mendapat perhatian dan pengaturan sesuai dengan
hukum agraria nasional. Sebagaimana dalam Pasal 18 UUPA, disebutkan bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 18 UUPA itu pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari asas
dalam Pasal 6 UUPA, yaitu semua hak tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai
pelaksanaan ketentuan Pasal 18 UUPA, maka pencabutan tanah untuk kepentingan
umum diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak Atas Tanah dan Benda-Benda di Atasnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 merupakan pelaksanaan dari Pasal 18 UUPA yang mengatur tentang
pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Undang-undang ini tidak memberikan pengertian pencabutan hak atas
tanah secara baku. Namun oleh Boedi Harsono dijelaskan bahwa :“Pencabutan hak
menurut UUPA adalah pengambilan tanah sesuatu pihak oleh negara secara paksa
yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus tanpa yang bersangkutan
melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum”.
Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, maka oleh
pemerintah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 guna
menjamin hak para pemegang hak atas tanah yang dicabut agar dapat mengajukan
banding kepada Pengadilan Tinggi setempat jika ganti rugi yang diberikan itu
dirasa kurang layak. Selain itu juga dikeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1973
mengenai pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah untuk pembangunan
kepentingan umum
6. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, antara
lain:
a) Peraturan yang belum lengkap;
b) Ketidaksesuaian peraturan;
c) Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah
tanah yang tersedia;
d) Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
e) Data tanah yang keliru;
f) Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa
tanah;
g) Transaksi tanah yang keliru;
h) Ulah pemohon hak atau Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga
terjadi tumpang tindih kewenangan.
Di daerah-daerah yang belum berkembang, penyelesaian sengketa tanah
umumnya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas yang disegani warga setempat
yaitu kepala adat, kepala suku, kepala kampung atau kepala marga. Selain itu,
peran tokoh komunitas juga membantu untuk menentukan peruntukan serta
pengawasan terhadap penggunaan tanah oleh warga setempat.
Ini disebabkan karena kepala/ketua adat setempat umumnya memiliki data
tanah yang ada di wilayahnya masing-masing, baik yang menyangkut jumlah, batas
maupun penggunaan tanah oleh warga setempat. Walaupun data tanah tersebut
jarang yang tertulis, namun kepala/ketua adat yang bersangkutan mengetahui
riwayat kepemilikan tanah yang ada di wilayahnya. Pengetahuan tokoh komunitas
tentang sejarah penguasaan tanah yang didukung oleh kepercayaan dan solidaritas
yang tinggi dari para warganya inilah yang membuat keputusan kepala/ketua adat
dalam menyelesaikan sengketa tanah dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.
Berkurang atau bahkan hilangnya keberadaan kepala/ketua adat membuat
banyak sengketa tanah yang tidak terselesaikan. Karena tanah erat kaitannya
dengan pembangunan yang merupakan salah satu faktor penunjang perekonomian
di Indonesia, maka sengketa-sengketa tanah yang timbul harus dicarikan solusinya
sehingga sengketa tersebut tidak mengganggu laju pertumbuhan perekonomian
yang sedang atau akan dilaksanakan. Keterbatasan perangkat adat yang dapat
menyelesaikan sengketa tanah mau tidak mau harus ditutupi dengan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang daya lakunya dapat
bersifat regional maupun nasional. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tanah digolongkan dalam hukum privat.
Namun pada kenyataannya, pengaturan tanah sarat dengan campur tangan
Pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada perundang-undangan pokok yang menjadi
landasan pengaturan hukum tanah di Indonesia, antara lain Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945, TAP MPR RI No. IV Tahun 1973 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara atau yang biasa disingkat GBHN, Pasal 2 Ayat (1) UUPA
beserta sejumlah peraturan pelaksananya. Dalam praktik, penyelesaian sengketa
tanah tidak hanya dilakukan melalui Pengadilan Negeri (PN), namun juga melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan tidak jarang penyelesaian sengketa
tanah merambah ke wilayah hukum pidana karena dalam sengketa tersebut
terkandung unsur-unsur pidana.
Meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah membawa dampak
meningkatnya jumlah sengketa tanah yang terjadi di Indonesia. Dalam tahun 1992
hingga 1996, jumlah sengketa tanah meningkat 17% dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya, dimana sekitar 40% diantaranya diajukan ke PN, 20% diajukan
ke PTUN, sedangkan sisanya diselesaikan secara musyawarah, mediasi atau
bahkan tidak diselesaikan sama sekali.9 Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas,
dapat dikatakan bahwa keberadaan, peruntukan serta penyelesaian sengketa tanah
tidak murni merupakan hukum privat, namun juga termasuk dalam wilayah hukum
publik, hanya saja perlu ditelaah berapa persen muatan materi pengaturan tanah di
dalam kedua stelsel hukum tersebut.
Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang
berkaitan dengan:
1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
2. Peralihan hak atas tanah;
3. Pembebanan hak dan
4. Pendudukan eks tanah partikelir.
Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat
dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :
1. Sengketa tanah antar warga;
2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat dan
3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
10 Jumlah sengketa tanah yang berhasil diselesaikan oleh Pengadilan
Negeri maupun Pengadilan Tata Usaha Negara umumnya lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah sengketa yang diajukan ke masing-masing
pengadilan. Bahkan dari jumlah keputusan yang ditetapkan pengadilan, hanya
sedikit yang dapat dieksekusi. Akibatnya, banyak tanah menjadi terlantar dan status
penguasaannyapun menjadi terkatung-katung.
Berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa pertanahan di lembaga
peradilan, Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Mahkamah Agung RI mengatur supaya
peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Hal ini dimaksud
agar pihak yang bersengketa maupun warga masyarakat yang terlibat dalam
sengketa tanah tidak dirugikan serta tidak dibebani dengan biaya yang mahal demi
mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang disengketakan.
Waktu penyelesaian yang panjang dan bahkan disertai dengan segala
macam prosedur administrasi yang berbelit-belit justru akan meningkatkan jumlah
sengketa tanah. Konsep, asas serta lembaga-lembaga hukum adat yang menjadi
sumber utama pembentukan hukum agraria nasional harus dipandang sebagai
sumber pelengkap, terutama dalam menyelesaikan persoalan persoalan konkrit
dibidang pertanahan yang ada di lembaga peradilan. Berfungsinya perangkat
hukum adat inilah yang nantinya akan mewujudkan konsep hukum pembangunan
yang meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian nasional.
Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan bahwa tanah merupakan syarat
utama bagi kelangsungan pembangunan. Tanpa ketersediaan tanah yang memadai,
proses pembangunan akan terhambat. Konsep hukum pembangunan yang
melandasi pengembangan hukum tanah nasional sebagaimana tersebut di atas
sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bahwa hukum tidak cukup
berperan sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat, tetapi dapat
berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan dibidang sosial.
Pendapat Mochtar tersebut dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa:
1. Keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan itu
merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang (mutlak) perlu;
2. Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi
sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti dapat
mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaruan.
Menurut Mochtar, sebelum hukum nasional dikembangkan hendaklah
dilakukan penelitian guna mengetahui bidang-bidang hukum yang harus
diperbaharui dan bidang-bidang hukum yang perlu dibiarkan supaya berkembang
dengan sendirinya.Bidang-bidang hukum yang semestinya dibiarkan berkembang
dengan sendirinya pada umumnya adalah bidang-bidang hukum yang berkaitan erat
dengan kelangsungan hidup budaya dan spiritual masyarakat. Kalaupun bidang-
bidang hukum ini dikembangkan, pengembangannya dilakukan setelah seluruh
aspek perubahan dan akibat yang ditimbulkan perubahan tersebut diperhitungkan
secara matang.
Bidang-bidang hukum yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
hukum kekeluargaan, hukum perkawinan, hukum perceraian dan pewarisan.
Sebaliknya, bidang-bidang hukum lain seperti hukum perjanjian, perseroan dan
perniagaan pada umumnya merupakan bidang-bidang hukum yang lebih menjadi
incaran pembaharuan. Dalam rangka pembaharuan hukum, ada sejumlah tahapan
yang perlu dijalankan, yaitu:
1. Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi, termasuk didalamnya mengenali
secara lebih seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran penggarapan
tersebut;
2. Memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Pemahaman terhadap
living law ini menjadi tahapan utama yang harus dilakukan jika social
engineering tersebut hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-
sektor kehidupan majemuk seperti tradisional dan modern. Pada tahap
inilah dilakukan penentuan terhadap sektor-sektor mana yang diplih;
3. Membuat hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk dapat
dilaksanakan;
4. Mengikuti jalan penerapan hukum dan mengatur efek-efeknya.
Mengingat Hukum Tanah merupakan hukum yang tidak netral, diperlukan
kehati-hatian dalam menyusun ketentuan baru yang berkaitan dengan tanah yang
bersangkutan.Setidaknya, ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan dalam
menerapkan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, yaitu: 1.
Harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem, yang
keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; 2.
Penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali
menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan; 3. Konsep social
engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan pengaturan hukum tertulis,
karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini
memerlukan peranan aparat penegak hukum yang profesional guna memberi jiwa
pada kalimatkalimat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Berkaitan dengan pembaharuan hukum pertanahan, rencana pembaharuan
hukum tanah pada pelaksanaannya mengalami hambatan, bahkan sering menjadi
hukum yang tidur (sleeping law) serta tidak mendukung ke arah pencapaian
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Kondisi ini
disebabkan oleh banyaknya ketentuan perundang-undangan yang dibuat
Pemerintah di masa lampau, dimana ketentuan tersebut tidak mencerminkan
aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama
dan hukum adat.
Kurang berperannya program legislasi nasional (prolegnas) serta adanya
keterlibatan kekuasaan rakyat oleh Pemerintah juga berperan sebagai faktor-faktor
penyebab banyaknya peraturan perundangundangan yang telah ditetapkan menjadi
tumpang tindih dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Untuk itulah, maka GBHN
1999 – 2004 menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN 1999
– 2004, antara lain dengan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
membaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidaadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan
tuntutan reformasi melalui program legislasi.

7.Mediasi Sengketa Pertanahan


Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi oleh BPN perlu dilandasi
dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Bahwa dalam rangka menetapkan langkah dan arah dalam menangani
dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara Pertanahan secara efektif telah
ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN Republik Indonesia
Menangani dan Menyelesaikan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun
2009, dimana sistem penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 Tentang
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. Salah satu
metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui Mediasi dimana
mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk Teknis Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007
(Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007) tentang
Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei
2007.
Adapun prosedur penyelesaian sengketa pertanahan melalui mekanisme
mediasi oleh BPN dimulai adanya Pihak penggugat melaporkan gugatannya
dikantor BPN. Terhadap laporan tersebut Seksi bagian tata usaha lalu membuat
surat rekomendasi yang di tujukan kepada seksi sengketa, konflik dan perkara guna
di tanganinya permasalahan. Kemudian Seksi sengketa, konflik dan perkara
membuat surat pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa guna
diadakannya negosiasinegosiasi untuk mencapai titik temu kesepakatan. Setelah
adanya kesepakatan dari para pihak untuk dilaksanakannya penyelesaian masalah
melalui lembaga mediasi maka seksi sengketa, konflik dan perkara membuat suatu
berita acara guna dilaksanakan mediasi.
Setelah dibuatnya Berita Acara maka pihak mediator dalam hal ini adalah
BPN akan mengadakan mediasi dengan kedua belah pihak yang sedang
bersengketa guna mendapatkan putusan yang saling menguntungkan dari kedua
belah pihak. Apabila kedua belah pihak yang bersengketa sepakat dengan putusan
yang diberikan oleh seorang mediator, maka putusan tersebut akan ditindaklanjuti.
Adapun penindaklanjutan putusan tersebut dengan perbuatan-perbuatan
administrasi yaitu penyelesaian sengketa itu sendiri. Adapun fungsi dari perjanjian
perdamaian, berita acara, notulis maupun laporan tersebut merupakan dokumen
tertulis sebagai dasar pertimbangan kepala BPN untuk merumuskan putusan
penyelesaian sengketa yang diterima BPN, sedangkan realisasi fisik maupun
administrasinya yaitu perubahan data sebagai akibat dari penyelesaian sengketa
tersebut dilakukan oleh BPN. Terhadap Putusan mediasi harus ditandatangani oleh
para pihak, mediator dansaksi-saksi.
5 Penanganan masalah pertanahan melalui lembaga mediasi oleh BPN
biasanya didasarkan dua prinsip utama, yaitu:
a. Kebenaran-kebenaran formal dari fakta-fakta yang mendasari permasalahan
yang bersangkutan;
b. Keinginan yang bebas dari para pihak yang bersengketa terhadap objek
yang disengketakan. Sebagai mediator,
BPN mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami pandangan
masing-masing dan membantu mencari hal-hal yang dianggap penting bagi
mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi
mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi
dan persoalan-persoalan dan mengatur pengungkapan emosi. Hal ini sesuai dengan
peran mediator membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan
menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum. Mediator
akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi. Sebagai wadah informasi
antara para pihak, mediator akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai
sengketa dan persoalan-persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu
menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu kesepakatan.

8. Penata Gunaan Tanah


A. Pengertian Penata Gunaan Tanah
Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah
yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan system
untuk kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah ini meliputi
kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan
penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai pedoman
umum penggunaan tanah di daerah. Penatagunaan tanah merupakan kebijakan dan
kegiatan dibidang pertanahan yang bertujuan mengatur dan mewujudkan
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk berbagai kegiatan
pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) dan
mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah
bagi masyarakat.
a.Asas dan Tujuan Penatagunaan Tanah
1.Asas penatagunaan tanah
Asas penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 2004 meliputi :
a) Keterpaduan adalah bahwa penatagunaan tanah dilakukan untuk
mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan.
b) Berdayaguna dan berhasilguna adalah bahwa penatagunaan tanah harus
dapat mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi
ruang.
c) Serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penggunaan tanah menjamin
terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara hak dan
kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga
meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan
tanah.
d) Berkelanjutan, adalah bahwa penggunaan tanah menjamin kelestarian
fungsi tanah demi memperhatikan kepentingan antar generasi.
e) Keterbukaan, adalah bahwa penatagunaan tanah dapat diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat.
f) Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum adalah bahwa dalam
penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak mengakibatkan diskriminasi
antar pemilik tanah sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan
dan memanfaatan tanah.
2.Tujuan penatagunaan tanah
Tujuan penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 2004 adalah :
a) Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang
disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah.
b) Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan
kegiatan dibidang pertanahan  dikawasan lindung dan kawasan budidaya.
Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
B.Kebijaksanaan Penata Gunaan Tanah
Sebagai akibat dari pelaksanaan kebijakan penatagunaan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 PP No. 16 Tahun 2004 penyelesaian administrasi antara
lain pemberian hak, perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan
hak, penggabungan hak, pemisahan hak, pemecahan hak, pembebanan hak, izin
lokasi atau surat izin penunjukkan dan penggunaan tanah dan penetapan lokasi,
dalam rangka pelayanan pertanahan dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang
berlaku dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggunaan dan pemanfaatan tanahnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah. Pengertian sesuai adalah bahwa wujud penggunaan dan
pemanfaatan tanah tidak bertentangan dengan fungsi kawasan dalam RTRW
yang bersangkutan.
2. Memenuhi syarat-syarat menggunakan dan pemanfaatan tanah, serta
memelihara tanah dan lingkungan sebagaimana tercantum pada Pasal 13
Peraturan Pemerintah Penatagunaan Tanah berikut penjelasannya.
3. Tidak mengubah penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga menjadi
tidak sesuai dengan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam tata ruang.
4. Hak Atas Tanah tidak dapat diberikan terhadap bidang-bidang tanah 
apabila:
-Tanahnya terletak dikawasan Lindung yang termasuk Kawasan Hutan.
-Tanahnya terletak pada lokasi situs.
5. Penyelesaian administrasi pertanahan diatas dan atau dibawah tanah yang
tidak terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah diatas dan atau
dibawahnya harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
6. Syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagaimana tersebut
pada butir 1 s.d. 5 merupakan satu kesatuan proses penyelesaian
administrasi pertanahan (Pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang
Penatagunaan tanah).

C.Penyelenggaraan Penata Gunaan Tanah


Penyelenggaraan Penatagunaan Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 21
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 meliputi kegiatan :
1. Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
2. Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan.
3. Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah .
Kegiatan tersebut diatas disajikan dalam peta dengan skala lebih besar
daripada skala Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

D.Landasan Hukum Tata Guna Tanah/Penata Gunaan Tanah


1. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung
prinsip-prinsip sebagai berikut:Bahwa bumi, air dan kekayaan alam
dikuasai oleh negara.Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari
bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.Bahwa hubungan antara negara dengan BARA +
K merupakan hubungan menguasai.
2. Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15
UUPAPasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk
kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan
keagamaan.Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:Akhirnya
untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam
bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai
peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa
untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana
Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang
kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning)
dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah
dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa
manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
3. No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.4.UU No. 4 Tahun 1982
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo
UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah
untuk tanaman-tanaman tertentu.Mengenai penertiban/pemanfaatan:6.UU
No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak
atau kuasanya.7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari
19828.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari
1982Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No.
3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang,
penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai
pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan
dengan penggunaan tanah.

9. Tanah, Hak Asasi Manusia dan Keadilan


A.Pengertian Tanah,HAM dan Keadilan
a. Tanah
Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak
bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik.Tanah sangat vital peranannya
bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan
dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah
yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas
dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi
sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.Ilmu
yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah.Dari
segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan
menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi.Komposisi tanah
berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan
bagian dari tanah.
b. HAM
Hak asasi manusia (disingkat HAM, bahasa Inggris: human rights, bahasa
Prancis: droits de l'homme) adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang
menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia
adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan saja, di mana saja, dan
kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat
dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan
saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau
dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan
menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.
Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi
hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi,
sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan
bahwa hak tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan,
atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah
meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang
disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan
dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat
kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa
hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan
konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia
sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan
biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan
dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat
dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan
pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum
kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu,
sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak
untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.
Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal
seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi
manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan,
yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan
Revolusi Prancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua
abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang
Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948. Semenjak itu, hak
asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam
kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan hak asasi
manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan
badan-badan traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia
ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi
Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk
Afrika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR)
sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.
c. Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan
memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang
dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa
"Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran".[1] Tapi, menurut kebanyakan teori juga,
keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil".[2] Kebanyakan
orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak
gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran
bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena
definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan
segala sesuatunya pada tempatnya.

B. Tantangan HAM Disektor Agraria


Persoalan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
rupanya masih menyisakan sejumlah catatan. Berada di negara demokrasi
tak serta merta membuat kasus-kasus pelanggaran HAM tuntas
terselesaikan. Meski telah dijamin dalam Undang-Undang, hingga kini,
penegakan HAM di Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan. Tak
hanya marak terjadi pelanggaran hak pribadi, kasus pelanggaran HAM di
Indonesia mulai merembet pada sektor agraria.
Dilansir dari situs resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), konflik agraria menjadi salah satu tantangan penegakan
HAM yang cukup serius di tahun ini. Banyak terjadi kasus sengketa yang
berkembang menjadi konflik agraria. Hal tersebut dipicu oleh adanya
perbedaan dasar hukum yang digunakan untuk klaim atas kepemilikan
tanah.Salah satu karakter dari fenomena konflik agraria di Indonesia
adalah keterlibatan negara akan tidak diakuinya penguasaan dan
penggarapan tanah oleh masyarakat di atas tanah-tanah yang kemudian
diserahkan penguasaannya ke pihak lain.
Komnas HAM mencatat bahwa sengketa tersebutseringkali diikuti
dengan kriminalisasi orang-orang atau kelompok masyarakat yang
berusaha mempertahankan atau mengambil kembali hak-haknya.
Sayangnya,mekanisme dan prosedur hukum yang biasa digunakan untuk
penyelesaian sengketa pada saat ini tidak berjalan efektif.
Mekanisme yang dimaksud ialah melalui penyelesaian administratif di
lembaga-lembaga kementerian yang memiliki kewenanangan menerbitkan
hak atas tanah, peradilan perdata, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Akibatnya, banyak proyek strategis nasional yang diduga
menyebabkanhilangnya hak dan ruang hidup masyarakat setempat.
Menyoroti kasus  tersebut, dosen Fakultas Hukum UNAIR, Iman
Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., memberikan tanggapannya.
Iman mengatakan saat ini indeks demokrasi Indonesia mengalami banyak
perbaikan di banding tahun sebelumnya. Namun hal tersebut tidak
berbanding lurus dengan kebebasan berkumpul dan menyampaikan
pendapat yang masih mengalami permasalahan.
“Demikian juga meski indeks pembangunan manusia mengalami
perbaikan, ketimpangan sosial masih terjadi. Misalnya alokasi tanah yang
penting untuk hajat hidup orang banyak dikuasai oleh sedikit kelompok
pelaku usaha,” sebut Iman.
Ia melanjutkan, di bidang infrastruktur, pemerintah berusaha membangun
banyak jalan, bendungan, pelabuhan,dan bandara untuk mempermudah
aksesibilitas moda transportasi.“Namun seringkali pembangunan ini
bertabrakan dengan kepentingan masyarakat sekitar, seperti yangterjadi di
Seko dan Kulonprogo,” tutur laki-laki yang menyelesaikan studi S3 di
Macquaire University tersebut.
Ditambah lagi, hak ekonomi seperti hak untuk mendapatkan
penghasilan yang layak juga masih bermasalah. Impor bahan pangan
seperti beras, gula, garam dan daging dapat semakin memperburuk
kesejahteraan petani.Iman menilai, pemerintah semestinya dapat lebih
mendengarkan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, pembangunan
ekonomi dan infrastruktur memang penting, namun hal tersebut tidak
boleh mengesampingkan hak-hak yang sudah dijamin oleh konstitusidan
undang-undang.“Tentu tidak ada gunanya bila Ease of Doing Business
(EoDB) Indonesia meningkat, namun kesejahteraan petani dan buruh
menurun akibat berkurangnya lahan pertanian dan rendahnya upah
pekerja,” tandasnya. Oleh sebab itu, penegakan hukum di Indonesia perlu
diperbaiki. Sebab, lembaga peradilan yang bersih dan independen
merupakan syarat utama terbentuknya rule of law, yaitu keadaan di mana
hukum dihormati dan berlaku sama bagi semua orang.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Hukum tanah Indonesia menganut asas pemisahan horizontal. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bersumber pada
hukum adat. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi,
dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang
berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal. Berdasarkan hal tersebut maka
tanah tempat didirikannya rumah susun terspisah dengan unit satuan rumah susun.
Asas pemisahan horizontal memungkinkan bangunan berdiri di atas tanah Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, di mana masing-masing hak
tersebut memiliki jangka waktu.
Pemilik satuan unit rumah susun harus melepas hak milik atas satuan rumah
susun jika hak sekunder tanah tersebut berakhir. Berakhirnya hak milik atas satuan
rumah susun karena hak sekunder tanah berakhir, dalam undang-undang terkait
merupakan hal yang legal, demikian hal tersebut menurut penulis bertentangan
dengan rasa keadilan. Bertentangan dengan rasa keadilan karena dalam beberapa
kasus pemilik sataun rumah susun tidak mengetahui dengan jelas tentang status
tanah di mana rumah susun tersebut didirikan.

2. SARAN
1. Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana undang-undang
diharapkan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang PokokPokok Agraria. Revisi tersebut berupa pengecualian
asas pemisahan horizontal terhadap rumah susun. Asas pemisahan
horizontal dikecualikan dengan menggunakan asas perlekatan.
Pemerintah juga diharapkan memberikan pendidikan konsumen
kepada masyarakat yang akan membeli unit satuan rumah susun.
2. Bagi pelaku usaha diharapkan untuk lebih bersikap kooperatif dan
terbuka mengenai status tanah di mana rumah susun tersebut
didirikan.
3. Bagi masyarakat yang akan membeli unit satuan rumah susun
diharapkan untuk lebih cermat dan teliti dalam membeli unit satuan
rumah susun.
DAFTAR PUSTAKA

• http://e-journal.uajy.ac.id/8901/6/5MIH02218.pdf
• https://makalahiainibpadang.blogspot.com/2015/12/tata-
guna-tanah-hukum-agraria.html
• http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1334920&val=907&title=PERAN%20BADAN
%20PERTANAHAN%20NASIONAL%20DALAM
%20PENYELESAIAN%20SENGKETA
%20PERTANAHAN%20MELALUI%20MEKANISME
%20MEDIASI#:~:text=Mediasi%20merupakan
%20penyelesaian%20sengketa%20melalui,yang%20dapat
%20disepakati%20para%20pihak.&text=Penyelesaian
%20sengketa%20pertanahan%20dapat
%20diselesaikan,BPN%20(Badan%20Pertanahan
%20Nasional).

Anda mungkin juga menyukai