Anda di halaman 1dari 28

1

PEMBAHARUAN HUKUM TANAH NASIONAL ERA ORDE LAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan yang telah berjalan dengan pesatnya seakan-akan sedikit
menutupi keresahan masyarakat akan keberadaan tanah. Kebutuhan akan pemilikan
dan penguasaan tanah secara sah sangatlah diperlukan pada masa sekarang ini.
Dalam pengertian penguasaan tanah terkandung arti yang lebih luas daripada
pemilikan tanah, oleh karena ada kemungkinan seseorang menguasai tanah tanpa
memiliki tanah yang bersangkutan ataupun sebaliknya seseorang pemilik tanah
tidak dapat melaksanakan penguasaan terhadap tanahnya. Hal tersebut adalah jelas
perlu untuk ditata kembali guna mencegah jangan sampai terjadi adanya
penguasaan tanah oleh suatu pihak dengan menimbulkan kerugian pada pihak lain,
penguasaan tanah secara melampaui batas dan juga penguasaan tanah oleh orang
yang tidak berhak, kemudian pemilikan tanah adalah merupakan dasar terpenting
yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat
dan pemerataan keadilan agar supaya setiap petani dapat mempunyai tanah dengan
hak milik dalam batas-batas yang ditentukan.1
Oleh karena itu redistribusi tanah sebagai salah satu program
pembangunan yang harus dilandasi dengan kekuatan hukum dan komitmen yang
kuat dari pemerintah. Dan program redistribusi tanah tersebut juga memerlukan
tersedianya data-data dan informasi mengenai pemilikan dan penguasaan tanah.
Seringkali redistribusi tanah dan landreform dianggap identik, meskipun
redistribusi tanah agak sedikit sempit dari pada landreform. Dalam landreform
selalu diupayakan penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan
sumber daya alam yang lainnya atau yang menyertainya ditujukan untuk mencapai
keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghidupannya tergantung pada
produksi pertanian dan atau sumber daya alam tersebut.

1
Boedi, Hukum Agraria Indonsia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan,
2002
2

Di dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai apa itu


Pembaharuan Hukum Tanah Nasional dan apa dasar hukumnya. Namun sebelum
lebih jauh membahas mengenai hak tersebut, kami akan menjelaskan mengenai apa
yang dimaksud dengan Hukum Agraria itu menurut para ahli hukum sebagaimana
dijelaskan di bawah ini.
Tanah dan sumber daya alam merupakan sumber penghidupan bagi
sebagian besar rakyat Indonesia. Karena itu, proses ekploitasi tanah dan sumber
daya alam harus menempatkan kepentingan dan keberlangsungan hidup masyarakat
setempat secara sosial, bukan sekedar perhitungan keuntungan dan pertumbuhan
ekonomi semata. Selain itu, tanah dan sumber daya alam harus ditempatkan sebagai
sarana pemberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau
kemungkinan dieksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi besar. Itu artinya,
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber daya alam
lainnya haruslah dipriorotaskan kepada rakyat kebanyakan dengan prinsip keadilan,
walaupun semua itu bukan berarti kegiatan penggunaan tanah dan pemanfaatan
sumber daya alam untuk aktifitas ekonomi dalam skala besar dilarang. Dalam
batas-batas tertentu, kegiatan ekonomi skala besar yang bergaris pada pemanfaatan
sumber daya alam mesti difasilitas. Tetapi fasilitasi yang diberikan bukan hanya
pemberian kesempatan untuk menguasai dan mengeksploitasikan tanpa batas,
melainkan harus juga disertai dengan penetapan batas-batas untuk pemeliharaan
berkelanjutan. Penguasaan tanah dan sumber daya berlebihan oleh segelintir orang
harus dibatasi.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, maka kami merumuskan
masalah dalam makalah yang sederhana ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Landreform dalam rangka pembangunan hukum agraria
nasional.kan?
2. Bagaimana bentuk dasar hukum Landreform ?
3

C. Metode Penulisan
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yudiris
normatif dan sosiologis. Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-
norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang
bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.2

2
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1988.Hal. 13-14
4

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Agraria
Ketika kita mendengar penyebutan istilah agraria, maka kita akan selalu
langsung berpikir mengenai tanah. Ini disebabkan karena istilah agraria memang
indentik dengan tanah. Demikian pula dengan hukum agraria, ketika kita mendengar
kata hukum agraria maka kita akan langsung mengasosiasikannya dengan pengaturan
atas tanah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Mengindentikan hukum agraria
sebagai hukum atas tanah adalah keliru. Perlu kita ketahui bahwa hukum agraria dalam
ilmu hukum memiliki definisi atau pengertian atau rumusan tersendiri.
Agraria dakam bahasa Latin disebut “ager” yang artinya tanah atau sebidang
tanah. Di dalam bahasa Latin “agrarius” berarti persawahan atau perladangan atau
pertanian. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
“agrarian” berarti urusan pertanahan dan atau tanah pertanian serta urusan pemilikan
atas tanah[2]. Sedangankan agrarian dalam nahasa Inggris yang diartikan sebagai tanah
atau dihubungkan dengan usaha pertanian di dalam Kamus Black’s Law Dictionary
menyebutkan bahwa agraria itu adalah “realiting to land or to division or distribution of
land; esp, from land or land ownership; agrarian laws (problems, disputes)”[3]
Pengertian mengenai agrarian tersebut berbeda dengan pengertian agrarian yang
ditemukan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan pengertian
agrarian dalam arti luas yakni meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Rumusan tersebut
dapat kita temui dalam kosiderans, pasal-pasal dan penjelasan Undang-undang Pokok
Agraria yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.3
Selanjutnya mari kita lihat beberapa pengertian hukum agraria menurut para
ahli hukum, sebagaimana kami jelaskan di bawah ini:
Mr. Boedi Harsono:

3
Chomzah, Ali Achmad, Hukum Pertanahan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002. Harsono,
5

Hukum Agraria adalah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengtur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Bachsan Mustafa, SH:


Hukum Agraria adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para
pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan.
Drs. E. Utrecht SH:
Hukum Agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang
agrarian, melakukan tugas Kebijakan Hukum Landreform Dalam Meningkatkan
Ekonomi Masyarakat
Tujuan kebijakan pertanahan adalah terwujudnya suatu kondisi kemakmuran rakyat
sebagaimana yang di amanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 , TAP MPR IX/2001
dan UUPA 1960 melalui pengelolaan pertanahan secara berkeadilan, transparan,
partisipatif, dan akuntabel serta berkesinambungan.
UUPA sangat berpihak pada kepentingan golongan ekonomi lemah. Berbagai
ketentuan dan upaya yang di amanatkan di dalamnya secara tegas di tujukan untuk
mengangkat taraf hidup rakyat golongan ekonomi lemah tersebut. Demikian juga
tentang kewajiban- kewajiban dari setiap subjek hak atas tanah dan pengaturan tanah
adat yang bertentangan sifatnya dengan UUPA.
Kerangka kebijakan nasional pertanahan
Untuk mewujudkan struktur penguasaan, pemilikan dan pangunaan tanah yang
mampu memberikan akses yang adil serta mendorong peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang berkelanjutan dengan mengurangi ketimpangan penguasaan dan
pemilikan tanah, membangun ekonomi kerakyatan yang berkeadilan serta melestarikan
lingkungan, maka pemerintah mengambil langkah arah kebijakan yaitu :
1. Menata penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
berbasis masyarakat yang didukung komitmen politik pemerintah agar
terwujud rasa keadilan bagi warga negara, khususnya petani dan warga miskin
lainnya.
6

2. Memfasilitasi penyediaan berbagai kelembagaan pendukung, instrumen,


sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pelaksaan program redistribusi
tanah landreform.

b. Perlindungan tanah pertanian produktif


Ditinjau dari aspek pertanahan, pengembangan sektor pertanian dihadapkan pada
berbagai masalah, antara lain:
1. Terbatasnya sumberdaya tanah yang tidak cocok untuk kegiatan pertanian.
2. Sempitnya tanah pertanian perkapita penduduk Indonesia.
3. Makin banyanknya jumlah petani gurem.
4. Cepatnya konfersi tanah pertanian menjadi non pertanian
Sampai saat ini Undang-Undang yang mengatur khusus perlindungan dan
pengendalian tanah pertanian produktif belum diterbitkan. Ketentuan tentang
perlindungan tanah sawah beririgasi teknis tertuang dalam berbagai
peraturan/keputusan/surat edaran menteri dan kepala BPN sampai dengan peraturan
daerah. Namun demikian peraturan tersebut belum mampu mengendalikan konversi
tanah secara efektif, oleh karena itu diperlukan suatu peraturan setingkat undang-
undang yang secara khusus mengatur perlindungan tanah pertanian.
Pengendalian alih fungsi tanah pertanian
Dalam rangka perlindungan dan pengendalian tanah pertanian secara
menyeluruh dapat ditempuh melalui 3 strategi yaitu :
1. Memperkecil peluang untuk terjadinya konversi.
2. Mengendalikan kegiatan konversi tanah.
3. Mengembangkan instrumen pengendalian konversi tanah.
mereka.
Asas-asas Hukum Agraria
Berikut ini beberapa asas yang dipergunakan dalam Hukum Agraria atau
Hukum Pertanahan Nasional Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) antara lain yaitu:
7

Asas Nasionalisme:
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja
yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan
bumi dan ruang angkasa dengan tidak membeda-bedakan antara laki-laki dengan wanita
serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
Asas Dikuasai oleh Negara:
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)
Asas Hukum Adat yang Disaneer:
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agraria adalah
hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.
Asas fungsi Social:
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh
bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta
keagamaan (pasal 6 UUPA).
Asas Kebangsaan atau Demokrasi:
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia baik
asli maupun keturunan berhak memiliki hak atas tanah.

Asas Non Diskriminasi atau tanpa Perbedaan:


Yaitu asas yang melandasi hukum agraria (UUPA) yang tidak membeda-
bedakan antara sesama Warga Negara Indonesia baik asli maupun keturunan asing.
Sehingga menurut asas ini tidak membeda-bedakan keturunan-keturunan anak artinya
bahwa setiap WNI berhak memiliki hak atas tanah.
Asas Gotong Royong:
Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas
kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau
dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak
lain menyelenggrakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA)
Asas Unifikasi:
8

Hukum Agraria disatukan dalam satu Undang-undang yang diberlakukan bagi


seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu
UUPA.
Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale scheidings beginsel):
Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan
benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Asas ini merupakan
kebalikan dari asas vertikal (vertical scheidings beginsel), atau asas perlekatan yaitu
suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang
merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda itu.
Artinya dalam asas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan
benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada di atasnya.
Pengertian Pembaharuan Hukum Tanah Nasional
Setelah kami menjelaskan mengenai pengertian hukum agraria dan asas-asas
yang berlaku di dalam hukum agrarian Indonesia, selanjutnya di bawah ini kami akan
menjelaskan mengenai pengertian pembaharuan hukum tanah nasional.
Pengertian Land Reform berbeda dengan Agrarian Reform. Adapun yang
dimaksud dengan land reform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam
perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan
dan kemerdekaan suatu bangsa.[4] Sedangkan Agrarian Reform merupakan bentuk
perkembangan/perubahan dasar struktur pertanian atau kerangka institutional dari
produksi hasil pertanian yang bertujuan baik untuk meningkatkan hasil pertanian
maupun kesejahteraan sosial.
Di Indonesia terdapat perbedaan yang serupa antara Agrarian Reform dengan
Land Reform. Menurut Boedi Harsono, Agrarian Reform diartikan sebagai land reform
dalam arti luas yang meliputi 5 program, antara lain:
1. Pembaharuan Hukum Agraria
2. Penghapusan hak-hak Asing dan konsepsi-konsepsi colonial atas tanah;
3. Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah;
9

5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan


kekayaan yang terkandung di dalamnya itu secara berencana sesuai
dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.4
Program ke-4 yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah
serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dikenal
sebagai land reform dalam arti sempit.
Pelaksanaan Pembaharuan Hukum Tanah Nasional
Konsep pembaharuan Agraria sendiri memiliki bentuk dan sifat berbeda
tergantung pada zaman dan Negara tempat terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal
ini mengingat setiap Negara memiliki struktur agrarian dan system politik yang berbeda,
meskipun terdapat persamaan mendasar dalam pembaharuan agraria yakni inti dari
pembaharuan agraria adalah pemerataan sumber daya agraria. Indonesia merupakan
salah satu Negara yang melaksanakan pembaharuan struktur pertanahan pada periode
1960 an. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (3) Negara sebagai organisasi
kekuasaan rakyat pada tingkatan yang tertinggi menguasai tanah untuk dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan semangat perubahan dan
pembaharuan secara mendasar terhadap struktur pertanahan agar dapat memenuhi
kepentingan dan keadilan bagi rakyat, maka sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 tersebut dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960.
Undang-undang Pokok Agraria ini merupakan fundamental atau dasar dari
pengaturan dan pembaaharuan struktur pertanahan di Indonesia. Tujuan pokok dari
Undang-undang Pokok Agraria adalah sebagaimana kami jelaskan di bawa ini yaitu:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;

4
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2005.
10

3. Melatakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-


hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang merupakan induk
reformasi agraria ternyata masih belum mampu menjaadi jawaban atas permasalahan
agraria di Indonesia. Selain karena banyak amanatnya yang masih belum dapat
dilaksanakan, banyak juga aturan-aturan di bawahnya yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, sangat mendesak adanya penegasan dan
revitalisasi nilai-nilai Pancasila di dalam politik agrarian nasional.
Di Indonesia meskipun telah dari 50 tahun Undang-undang Pokok Agraria
lahir, namun sampai saat ini belum banyak memberikan arti. Bahkan maraknya kasus-
kasus konflik pertanahan seperti kasus sengketa Mesuji dan kasus pertambangan di
Bima, kasus sengketa tanah Suku Anak Dalam di Jambi, kasus kelompok suku Dayak
dengan pendatang Madura di Sampit Kalimantan, merupakan kasus konflik agraria.
Bahkan banyak pihak berpendapat bahwa terjadinya kasus-kasus seperti tersebut di atas
terjadi akibat dari inkonsistensi berbagai pihak, terutama pemerintah dalam
pelakasanaan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Iini merupakan bukti bahwa
reformasi agraria malah menjauhkan rakyat dari sektor agraris. Dalam mengemban
tugas menyelenggarakan administrasi pertanahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN)
harus berpedoman kepada 4 (empat) prinisip pertanahan yang memberikan amanat
dalam berkontribusi secara nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu:
a) Menata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan;
b) Mewujudkan keberlanjutan system kemasyarakatan; kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia;
c) Mewujudkan keharmonisan (terselesaikannya sengketa dan konflik
pertanahan).
d) Untuk mencapai visi dan misinya tersebut di atas, maka Badan Pertanahan
Nasional (BPN) telah menetapkan 11 (sebelas) agenda pertanahan yang terdiri
atas:
e) Membangun kepercayaan masyarakat kepada Badan Pertanahan Nasional;
f) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi
tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;
11

g) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah;


h) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam
dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air;
i) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik
pertanahan secara sistematis;
j) Membangun system informasi manajemen pertanahan nasional dan system
pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia;
k) Menangani masalah Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
l) Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
m) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan
pertanahan yang telah ditetapkan;
n) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI;
o) Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan
(reforma agraria).
Berdasarkan 4 (empat) prinsip dan 11 (sebelas) agenda tersebut, selanjutnya
Badan Pertanahan Nasional menetapkan tujuan dari pelaksanaan Reforma Agraria yang
terdiri dari 6 (enam) rumusan yaitu:
1. Menata kembali kepentingan struktur penguasaan dan penggunaan
tanah ke arah yang lebih adil;
2. Mengurangi kemiskinan;
3. Menciptakan lapangan kerja;
4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama
tanah;
5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dan
meningkatkan ketahanan pangan.
Adapun strategi dari pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional
sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:
12

1. Melakukan penataan atas konsentrasi asset dan atas tanah-tanah


terlantar melalui penataan politk dan hukum pertanahan berdasarkan
Pancasila , UUD 1945 dan UUPA;
2. Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (objek
Reforma Agraria) untuk rakyat (subjek Reforma Agraria).
Tidak dilaksanakannya pembaharuan agraria khususnya landreform di
Indonesia justru menjadikan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat-masyarakat
yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya agraria baik masyarakat tani di
pedesaan ataupun komunitas masyarakat Adat yang hidup mengelola sumber data
lahan secara turun temurun harus berkonflik dengan sector swasta yang diberi izin oleh
Negara atau pemerintah untuk mengelola sumber daya lahan di Indonesia. Dalam
konteks tersebut sesungguhnya pola landreform dengan pendekatan komunal adalah
dalam rangka mengupayakan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun
kelompok soial yang sudah berkembang pada masyarakat komunal. Selanjutnya
landreform adalah upaya untuk mendorong tumbuhnya kebersamaa dan kemerataan
nilai dan kesejahteraan. Sehingga pendekatan pola komunal pada masyarakat komunal
adalah dalam upaya pembangunan yang menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri sesua dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan
iini dinytakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan
yang memutuskan, tahap selanjutnya adalah pembangunan yang berkelanjutan artinya
bukan hanya ramah lingkungan, tetapi tradisi-tradisi local harus ditingkatkan
kualitasnya untuk keberlanjutan system dan produktifitas lahan. Sehingga menjadikan
masyarakat untuk mempunyai kemampuan membangun secara mandiri dan
independence yaitu pembangunan berarti mengurangi ketergantungan untuk
menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. Hal tersebut
yang harus menjadi perhatian bagi para perancang, perencana, dan pelaksana model
pembaharuan agraria.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa tanah adalah asset bangsa
Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan
makmur. Oleh karena itu pemanfaatannya harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang
tumbuh dan berkembang dalam massyarakat Indonesia. Beradasarkan ketentuan Pasal
13

33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas, dapat dikemukakan prinsip-prinsip kebijakan
pertanahan nasional diantaranya yaitu:
1. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program
pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi;
2. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan
pembangunan sektoral yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak
dengan pertanahan;
3. Kebijakan pertanahanan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok
masyarakat sebagai upaya meuwujudkan prinsip good governance dalam
pengelolaan pertanahan;
4. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR
NO.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Pembaharuan Agrarian sebagai suatu isu, bersifat kompleks ddan multidimensi
dan oleh karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana. Namun demikian tanpa
bermaksud menyederhanakan kompleksitas permasalahannya, pembaharuan agraria
(agraria reform) pada intinya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu
kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuh pembaharuan agraria
belum tercapai, pembaharuan agraria perlu terus diupayakan;
2. Berkenaan dengan restruktuisasi pemilikan/penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria) oleh masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan.
3. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan
perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber
daya alam (sumber daya agraria) serta terwujudnya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Reformasi agraria tidak bias lepas dari dinamika politik, perdebatan idiologi
dan campur tangan pihak Internasional di masa lampau. Apa yang terjadi di masa
lampau tersebut maasih beresonansi dengan keadaan struktur agraria di Indonesia saat
ini. Sehingga sekarang iini ssangat mendesak diperlukan suatu studi yang lebih
14

komprehensif mengenai gagasan reforma agraria di Indonesia, terutama dalam menata


politik pertanahan nasional yang menuai banyak masalah. RUU Pertanahan mencakup
sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait tanah,
seperti UU Peraturan Dasaar Pokok-pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Pekerbunan serta UU Pertambangan,
Mineral dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam system
keagrariaan nasional. Dengan demikian ta,pak adanya penerimaan terhadap paham
sektoralisme dalam penyempurnaan UUPA.
Unsur yuridis dalam RUU ini adalah sebagai amanat dalam arah kebijakan
pembaharuan agrarian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dan e TAP MPR
IX/MPR/2001 yaitu:
1. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agrarian
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakkan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip pembaharuan agraria.
2. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi
Pembaharuan Hukum Pertahanan Nasional tidak terlepas dari sudut pandang
teoritis suatu peraturan perundang-undangan sebagai aturan hukum tertulis yang baik
dan diharapkan mampu memenuhi unsure dasar hukum yakni: keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum, setidaknya harus memenuhi 4 (empat) unsure sebagai berikut:
1. Unsur Yuridis, artinya bahwa suatu perundang-perundangan harus jelas
kewenangan pembuatannya, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-perundangan yang lebih tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara
tertentu;
2. Unsur Sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang
dibuat materi muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan
dipatuhi dan ditaati secara penuh kesadaran (spontan);
3. Unsur Filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus
memperhatikan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat,
15

berbangsa, dan bernegara se[erti tentang keadilan, kebenarn, kesejahteraan dan


sebagainya;
4. Unsur Teknik Perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan
perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jela, tegas dan
tepat.
Demikian menurut pemahaman kami tentang Pembaharuan Hukum Pertanahan
Nasional yang dapat kami sampaikan dalam makalah yang sangat sederhana ini.
Semoga apa yang kami sampaikan dapat menjadi salah satu sumber informasi hukum
berkaitan dengan persoalan mengenai pertahanan di Indonesia.
Sejak awal diperkenalkannya program landreform di Indonesia, telah muncul
berbagai tanggapan dan pendapat mengenai tujuan landreform tersebut. Salah satunya
sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yaitu landreform menurut Partai
Komunis Indonesia (PKI). Isu landreform telah dipakai oleh PKI untuk
mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu Tuan
Tanah Setan Desa dan Petani.Masyarakat dan birokrasi desa memang tidak siap untuk
melaksanakan landreform. Perangkat desa bukanlah alat yang efektif untuk tujuan itu.
Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang
memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi
penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme,
kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan
landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap
ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu
rezim.
Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap
tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor
seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun
pendapatan.
Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan
perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik,
dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi
16

petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan
makmur.
Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam pengertian yang sempit,
yaitu sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, khususnya redistribusi
tanah. Tetapi, menurut Erich Jacoby, redistribusi tanah tidaklah sama
dengan landreform. Namun redistribusi tanah melalui landreform khususnya, telah
mencapai target selama 20 tahun terakhir, pada saat prioritas perubahan social ekonomi
telah diberikan terhadap daerah-daerah yang masyarakatnya sangat peka terhadap
perubahan-perubahan.5
Pada dasarnya hal yang menimbulkan perlunya redistribusi tanah adalah ketidak
seimbangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Disatu pihak ada sedikit petani
yang mempunyai sejumlah besar atau sangat besar tanah pertanian, pada sisi lainnya
sejumlah besar petani hanya mempunyai tanah yang sangat kecil atau bahkan sama
sekali tidak mempunyai tanah pertanian untuk digarap.
Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, tanah-tanah
yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada petani yang
membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti
kerugian. Hal ini merupakan perwujudan dari azas yang terkandung dalam hukum
agraria Indonesia, yang mengakui adanya hak perorangan atas tanah. Pemberian ganti
kerugian itu, juga merupakan ciri pokok landreform Indonesia.
Jadi yang dimaksud dengan redistribusi tanah yang menjadi objek landreform,
adalah pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah karena
terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja
atau bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima
distribusi tanah tersebut. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yang menjadi
objek landreform tersebut dimulai pada tanggal 24 September 1963. Pelunasan Surat
Hutang Landreform akan dilakukan dalam waktu 12 tahun, terhitung sejak diterimakan
kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu untuk pertama kalinya pada
tanggal 24 September 1965. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September
5
United Nations, Departemen of Economic Affairs, Lands Reform: Defect in Agrarian Structure as
Obtacles to Economic Development.
17

(G30 S) PKI pada tahun 1965 itu, dan diikuti dengan perubahan-perubahan moneter
kemudian, pengeluaran Surat Hutang Landreform yang sudah selesai disiapkan,
terpaksa ditangguhkan dan bahkan kemudian ditiadakan.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, kiranya dapat dipahami betapa
pentingnya program landreform tersebut dimasukan sebagai salah satu agenda dalam
pembaruan hukum agraria nasional kita, agar program landreform yang telah lama
hilang dan bahkan hampir dilupakan itu, kembali dilaksanakan. Pentingnya program
landreform tersebut antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno, dalam amanatnya
pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960, yang
berjudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu Dari Langit! Jalannya Revolusi
Kita” menyatakan; “Tanah, untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!.
Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk,
gendut, karena mengisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah
itu………….!.
Dengan demikiakn keberhasilan pembaruan hukum agraria itu, hanya akan
berhasil apabila pembaruan hukum agraria itu benar-benar mengutamakan kepentingan
petani sebagai golongan terbanyak dari bangsa ini yang antara lain adalah melalui
program landreform, tentunya dengan tidak mengabaikan peranan investor-investor dan
pemodal besar. Pemikiran ini sengaja menggunakan pengertian dan
sebutan pembaruan hukum agraria dan bukan penyempurnaan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Prof. Boedi Harsono. Penyempurnaan menurutnya, mengandung
pengertian membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Pembaruan
mengandung arti perubahan atau penggantiansesuatu yang dinilai kurang atau tidak
baik. Beliau berkeyakinan bahwa hukum tanah nasional kita sekarang ini sudah baik,
sehingga penyempurnaan akan dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA, yang
merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional kita dan memperbaiki rumusan
ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk
undang-undang. Penulis, berpemikiran bahwa sebutan yang tepat adalah pembaruan
hukum agraria, sesuai dengan Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 bukan penyempurnaan
hukum agraria, karena kita tidak boleh takut untuk mengakui bahwa hukum tanah
nasional kita masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki.
18

Untuk itu perlu dilakukan revisi yang tidak hanya berupa penyempurnaan, tetapi jika
perlu dengan melakukan perubahan-perubahan atau pengantian terhadap beberapa
ketentuan UUPA yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.
Namun demikian, dengan pembaruan hukum tanah nasional itu, diharapkan
tidaklah menghapuskan keberadaan hukum adat sebagai sumber utama hukum tanah
nasional kita, karena pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah secara total,
melainkan memperbaiki dengan melakukan perubahan atau penggantian isi UUPA yang
dianggap kurang atau tidak baik, dengan tetap berpedoman kepada hukum adat sebagai
sumber utamanya.
RUU Pertanahan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasaar Pokok-pokok Agraria,
UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU
Pekerbunan serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat
juga ditata ke dalam system keagrariaan nasional. Dengan demikian ta,pak adanya
penerimaan terhadap paham sektoralisme dalam penyempurnaan UUPA.
Unsur yuridis dalam RUU ini adalah sebagai amanat dalam arah kebijakan
pembaharuan agrarian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dan e TAP MPR
IX/MPR/2001 yaitu:
1. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agrarian yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakkan
hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip pembaharuan agraria.
2. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi
1. Pembaharuan Hukum Pertahanan Nasional tidak terlepas dari sudut
pandang teoritis suatu peraturan perundang-undangan sebagai aturan
hukum tertulis yang baik dan diharapkan mampu memenuhi unsure dasar
hukum yakni: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, setidaknya
harus memenuhi 4 (empat) unsure sebagai berikut:
19

1. Unsur Yuridis, artinya bahwa suatu perundang-perundangan harus jelas


kewenangan pembuatannya, keharusan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-perundangan yang lebih tinggi, dan keharusan
mengikuti tata cara tertentu;
2. Unsur Sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan
yang dibuat materi muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar
bahkan dipatuhi dan ditaati secara penuh kesadaran (spontan);
3. Unsur Filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus memperhatikan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara se[erti tentang keadilan,
kebenarn, kesejahteraan dan sebagainya;
4. Unsur Teknik Perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan
perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jela,
tegas dan tepat.
Demikian menurut pemahaman kami tentang Pembaharuan Hukum Pertanahan
Nasional yang dapat kami sampaikan dalam makalah yang sangat sederhana ini.
Semoga apa yang kami sampaikan dapat menjadi salah satu sumber informasi hukum
berkaitan dengan persoalan mengenai pertahanan di Indonesia.

Perlunya Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia


Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya
haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan
tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan
amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “…bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasi negara untuk digunakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat…”. Oleh karena itu, merupakan tugas negara untuk melindungi
hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria,
20

termasuk tanah. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas, dapat dikemukakan
prinsip-prinsip kebijakan pertanahan nasional, diantaranya:
a) Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program
pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi;
b) Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan
pembangunan sektoral yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun
tidak dengan pertanahan;
c) Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok
masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam
pengelolaan pertanahan;
d) Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Pembaruan Agraria sebagai suatu isu, bersifat kompleks dan multidimensi, dan
oleh karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana. 6
Namun demikian, tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas
permasalahannya, pembaruan agraria (agrarian reform) pada intinya meliputi hal-hal
sebagai berikut :
a) Suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu
kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuan pembaruan agraria belum
tercapai, pembaruan agraria perlu terus diupayakan;
b) Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam (sumber agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat
pedesaan;
c) Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan
perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya
alam (sumber daya agraria), serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Reformasi agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan
ideologi, dan campur tangan pihak internasional di masa lampau. Apa yang terjadi di

6
Dorren Warriner, Land Reform in Principle and Practice, Coloradon Press, Oxford, 1969
21

masa lampau tersebut masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di


Indonesia kini. Sehingga sekarang ini sangat mendesak diperlukan suatu studi yang
lebih komprehensif mengenai gagasan reforma agraria di Indonesia, terutama dalam
menata politik pertanahan nasional yang menuai banyak masalah.
RUU Pertanahan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan
perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU
Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat
juga ditata ke dalam sistem keagrariaan nasional. Dengan demikian, tampak adanya
penerimaan terhadap paham sektoralisme dalam penyempurnaan UUPA.
Pemahanan dan serta keinginan pemerintah dan DPR dalam melaksanakan
pembaruan hukum agraria masih belum memenuhi harapan para pembaru agraria di
tanah air. Dalam daftar prolegnas 2010 sampai dengan 2014 terdapat beberapa RUU di
bidang pertanahan yakni antara lain RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk
Kepentingan Pembangunan, RUU tentang Pengadilan Keagrarian, RUU tentang
Pertanahan, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, dan RUU
tentang Perubahan atas UU Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Namun terkait isu-isu pokok dalam pembaruan hukumagraria sebagaimana
telah dipaparkandalam bagian sebelumnya, penulis membatasi untuk melakukan kajian
dan analisa pada 3 RUU yaitu: RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan
Pembangunan, RUU tentang Pengadilan Keagrariaan dan RUU tentang Pertanahan.
Pemikiran yang berkembang di tingkat dunia selama ini telah menyepakati,
bahwa negara-negara berkembang sudah saatnya melaksanakan kebijakan pembaruan
agraria secara sungguh-sungguh. Asumsi dasar yang melandasinya adalah, karena
sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi
demikian, penataan penguasaan tanah menjadi lebih adil merupakan instrumen yang
esensial untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan terutama di
pedesaan. Pemikiran ini sudah muncul semenjak Konferensi oleh FAO yang
bertajuk “World Conference on Agrarian Reform and Rural Development” Tahun
1979. Dalam pertemuan ini, pembaruan agraria merupakan hal yang mendesak dan
22

dilabeli status “keharusan”. Respon Indonesia terhadap hasil pertemuan ini misalnya
tampak dengan kehadiran Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang baru berdiri
Tahun 1988 berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1988, mekipun ternyata peranannya
tidak sesuai dengan harapan para pemerhati masalah agraria nasional.
Perubahan peta pemikiran yang cepat di tingkat dunia akhir-akhir ini
merupakan kondisi yang harus dipertimbangkan dalam setiap pilihan kebijakan
pemerintah, termasuk dalam hal konsep dan pendekatan pembangunan pedesaan dan
agraria, yang keduanya saling terkait erat. Kegagalam penerapan konsep modernisasi
oleh kaum developmentalis di negara-negara berkembang melahirkan banyak
pemikiran-pemikiran baru yang sulit ditolak kehadirannya karena misalnya lebih
humanis, adil, dan sangat mempertimbangkan kondisi lingkungan. Negara-negara
berkembang yang berada pada posisi pengadopsi pemikiran-pemikiran tersebut, maka
setiap kebijakan pemerintahnya dipengaruhi oleh isu-isu yang berkembang tersebut.
Demikian halnya, dengan kebijakan terhadap masalah pertanahan dan sumber daya
alam secara umum (agraria).
Kedudukan lembaga yang menangani pertanahan/agraria dalam susunan
kabinet/pemerintahan, berbeda-beda, mengalami pasang surut sesuai dengan nuansa
politik yang mempengaruhi penentu kebijakan nasional di zamannya. Dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, maka
Badan Pertanahan Nasional berperan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan baik secara nasional, regional, maupun sektoral. Badan Pertanahan Nasional
(BPN-RI) diharapkan dapat menjadi garda terdepan bangsa dalam mewujudkan tanah
dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta keadilan dan
keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.
Hal ini tentu tidak mudah, banyak hambatan dan tantangan kedepan yang harus
dihadapi. BPN-RI harus mampu mengembangkan dan menyelenggarakan politik dan
kebijakan pertanahan sesuai konsep pembaruan agraria sebagai upaya perwujudan
tatanan kehidupan bersama yang bersandar pada ekonomi kerakyatan, keadilan,
demokratis, dan partisipatif.
23

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari


perkembangan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya maka gagasan atau
pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang. BPN-RI dituntun agar mampu
mengakomodasi seluruh perkembangan dinamika pertanahan yang semakin kompleks.
Berbagai rumusan dan formulasi program-program strategis dibidang pertanahan harus
segera dilaksanakan. BPN-RI harus menata kelembagaannya sehingga mampu
meningkatkan pelayanan dibidang pertanahan, memastikan penguatan hak-hak rakyat
atas tanah, menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan, mengembangkan dan
memperbaharui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan, serta melaksanakan
peraturan perundang-undangan secara konsisten. Dengan demikian maka BPN-RI
mampu menjadi lembaga yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa yakni menjadikan
tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta keadilan dan
keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa di bidang pertanahan maka BPN-
RI ke depan harus melaksanakan berbagai agenda sebagai berikut :
Penataan dan Penguatan Kelembagaan BPN-RI
Badan Pertanahan Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988. Dalam rangka penguatan kelembagaan
Badan Pertanahan Nasional telah ditetapkan Peraturan Persiden No.10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional. Kebijakan ini memandatkan kepada Badan
Pertanahan Nasional untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional, dan sektoral. BPN-RI harus mampu memberikan pelayanan
di bidang pertanahan kepada masyarakat secara berkualitas, bebas KKN, efektif dan
efisien, terjangkau, akuntabel, adil, serta tidak diskriminatif. Untuk itu BPN-RI harus
melaksanakan penataan dan penguatan kelembagaan melalui reformasi birorasi.
Reformasi Birokrasi sudah bergulir pada setiap instansi pemerintah pusat dan
daerah. Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi,
antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas
aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal yang penting dalam reformasi
birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja.
Reformasi Birokrasi harus diwujudkan dalam perubahan secara signifikan (evolusi
24

yang dipercepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara


komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka
BPN-RI harus melaksanakan beberapa agenda sebagai berikut:
a. Penataan kelembagaan dan penyederhanaan ketatalaksanaan.
Konsep kelembagaan harus disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin
dicapai. Struktur kelembagaan harus berdasarkan pada prinsip efektif, efisien, rasional,
dan proporsional (pembidangan sesuai dengan beban dan sifat tugas).
Terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat.
Penerapan otomatisasi administrasi perkantoran (melalui komputerisasi) dan sistem
manajemen yang efisien dan efektif.
b. Peningkatan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia harus dibangun berbasis kinerja yaitu profesional, netral,
dan sejahtera. Kepegawaian berbasis kinerja harus dibangun meliputi standar
kompetensi, kompetitif, transparan, penggunaan metode assessment centre, fit and
proper test, jabatan terbuka, orientasi pada prestasi kerja, berorientasi hasil dan kualitas,
dan ada catatan prestasi harian pegawai. Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi,
pola pikirsikap-perilaku produktif, didukung analisis kebutuhan diklat, dan penyaluran
pasca diklat. Jumlah dan komposisi pegawai yang ideal sesuai dengan tugas, fungsi,
dan beban kerja. Penerapan reward and punishment (penghargaan, sanksi tegas, kriteria
dan konsistensi pemberian penghargaan). Peningkatan kesejahteraan pegawai melalui
penerapan remunerasi dan pengaturan tunjangan secara adil dan layak.
c. Peningkatan pelayanan publik.
Pelayanan publik merupakan barometer dari transparansi dan akuntabilitas
lembaga. Penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat harus berparadigma
penyelenggaraan good governance yakni menjadi entrepreneurial competitive
government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable
government (pemerintahan tanggap/responsif), serta global-cosmopolit orientation
government (pemerintahan yang berorientasi global).
Penerapan prinsip pelayanan prima yang meliputi metode dan prosedur
pelayanan, produk dan jasa pelayanan, penetapan standar pelayanan, indeks kepuasan
25

masyarakat, pengembangan model dan penanganan keluhan masyarakat, modernisasi


administrasi melalui otomatisasi administrasi perkantoran elektronis di setiap Kantor
Pertanahan, penerapan dan pengembangan e-government, serta publikasi secara terbuka
prosedur, biaya dan waktu pelayanan.
Peningkatan Pelayanan Administrasi Pertanahan.
Lambatnya pencatatan atau pendaftaran tanah merupakan akibat dari sistem
pendaftaran yang rumit dan biaya pendaftaran yang mahal sehingga tidak terjangkau
oleh masyarakat luas. Sistem pendaftaran tanah yang ada juga belum menjangkau
penguasaan tanah oleh masyarakat adat sehingga penguasaan tanah oleh masyarakat
adat sebagian besar belum dicatat secara formal.
Oleh karena itu, pengembangan kebijakan administrasi pertanahan ke depan
diarahkan pada penyederhanaan sistem pencatatan tanah yang bisa mempercepat proses
pendaftaran tanah, termasuk pendaftaran tanah adat. Penyederhanaan sistem pencatatan
ini juga mencakup pencatatan atas berbagai jenis transaksi tanah termasuk perpindahan
status kepemilikan karena jual beli, waris, sewa ataupun transaksi lainnya yang ke
depan diperkirakan akan semakin intensif.
Penataan terhadap struktur biaya pertanahan yang terjangkau oleh masyarakat
luas namun tetap dapat menopang keberlanjutan dari sistem pencatatan tersebut juga
harus dilaksanakan. Dengan demikian diharapakan percepatan pencatatan atau
pendaftaran tanah dapat terwujud.

Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Pertanahan.


Reformasi agraria menyatakan adanya hak penguasaan yang dijamin negara
kepada rakyat yang menjadi subjek agraria. Satu hal yang penting untuk dirumuskan
dalam kebijakan penguasaan tanah adalah kategorisasi terhadap jenis hak yang akan
diberikan atas penguasaan sebidang tanah, baik itu penguasaan oleh
perorangan/badan hukum maupun penguasaan bersama (komunal). Hak atas tanah yang
diberikan memberikan hak dan kewajiban bagi pemilik tanah untuk menggunakan
tanahnya sesuai dengan jenis haknya.
26

Pengelompokan jenis hak atas tanah sebaiknya mempertimbangkan jangka


waktu penguasaan tanah (permanen atau sementara) serta peruntukkan penggunaan atas
tanah tersebut agar sinergi dengan kebijakan rencana tata ruang yang ada. Kebijakan
penatagunaan tanah menjadi mediasi atau interface dari sistem penguasaan tanah dan
sistem penataan ruang. Kebijakan penatagunaan tanah harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang ada. Penggunaan tanah untuk fungsi sosial lebih diutamakan dari
penguasaan dan pemilikan tanah untuk kepentingan pribadi.
Penyelesaian Permasalahan Pertanahan
Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat strategis, baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Nilai strategis itu menjadi contested resources yang potensial
melahirkan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan. Faktor penyebab utama
timbulnya sengketa dan konflik tanah dalam konteks pembangunan sesungguhnya
bukan semata-mata terletak pada persoalan teknis administratif pertanahan, seperti
adanya kekacauan dalam pengelolaan dan mekanisme pengaturan administrasi
pertanahan. Masalah tersebut hanyalah satu dari sekian banyak turunan masalah
pertanahan yang berakar dari pilihan paradigma pembangunan yang tidak selaras
dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia serta kurangnya aturan hukum
mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketentuan pasal 33 UUD 1945 sebagai paradigma yuridis,maupun filosofis
dalam system perekonomian Indonesia sebagai dasar dari pembentukan
UUPA,maka hukum agrarian sesungguhnya adalah hukum yang mengatur masalah
ekonomi.ketentuan ketentuan landreform merupakan contoh pengaturan di bidang
ekonomi,bahwa ketentuan tersebut sebagai satu sarana dalam rangka
pengaturan,penguasaan,dan pemilikan tanah,dalam arti terwujudnya pemerataan
sumber daya alam yang berupa tanah dapat dikatakan sebagai salah satu lingkup
dari hukum ekonomi Indonesia.pemerintah melalu mandate yang ada melalui
menjalalankan reforma agrarian.tujuan program ini agar tanah dapat dimanfaatkan
sebesar besar kemakmuran rakyat,dengan cara memberdayakan para petani melalui
penguatan hak rakyat atas tanah sekaligus pemberian akses produksinya,sebagai
wujud keberpihakan kepada rakyat kecil dalam meningkatkan perekonomian.
B. Saran
Masalah pengaturan,penguasaan dan pemilikan tanah khususnya tanah
pertanian kiranya masih relevan dan harus dilaksanakan secara serius,salah satu
upaya yang dimaksud adalah seharusnya pemerintah dapat melaksanakan program
landreform secara sungguh sungguh dalam hal ini tidak hanya dilakukan dalam
wujud peraturan peraturan,tetapi yang snagat diperlukan adalah bagaimana
implementasi dari peraturan peraturan tersebut,dengan demikian akses petani dalam
memiliki tanah sebagai prasyarat dalam meningkatkan kesejahteraannya benar
benar dapat terwujud
28

DAFTAR PUSTAKA

Boedi, Hukum Agraria Indonsia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,


Jakarta: Djambatan, 2002.

Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2005.

Chomzah, Ali Achmad, Hukum Pertanahan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002. Harsono,

Dorren Warriner, Land Reform in Principle and Practice, Coloradon Press, Oxford,
1969

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2005

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1988.Hal. 13-14.

United Nations, Departemen of Economic Affairs, Lands Reform: Defect in Agrarian


Structure as Obtacles to Economic Development.

Anda mungkin juga menyukai