Anda di halaman 1dari 44

1

Bab 5

Ringkasa
n dan
pendapat sah

RINGKASAN DARI KASUS BANK HARAPAN SENTOSA OLEH ALAMSYAH HANAFIAH & REKAN
2

1. Bahwa saksi penuntut umum (saksi pelapor) pada kasus Bank Harapan Sentosa adalah
MAYOR POLISI DRS. MUSTAHARI SEMBIRING, sebagaimana dijelaskan dalam laporan
polisi dengan No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tertanggal 3 Juli 1998;

2. Bahwa, Bank Harapan Sentosa adalah salah satu bank swasta Indonesia, yang adalah juga
satu dari enam belas bank yang termasuk dalam program likuidasi oleh Pemerintah
Indonesia Pada Bulan november 1997;

Mempertimbangkan itu, accourding kepada Hukum likuidasi Indonesia, ketika suatu bank
sudah ditaruh di bawah program likuidasi, pemerintah dan Bank Sentral (Bank Indonesia)
akan membekukan operasi nya, dan regu likuidasi yang dibentuk oleh bank sentral itu akan
bertanggung jawab atas pengawasan dan audit dari asset-asset dan liabilitas dari bank;

Mempertimbangkan bahwa, sampai hari kita menulis ringkasan ini, regu likuidasi tidak
menyelesaikan auditing asset-asset dan liabilitas dari Bank Harapan Sentosa dan pemilik
bank (Bpk. Hendra Rahardja). Lebih dari itu, regu likuidasi tidak menyelesaikan audit dari
liabilitas dari Bank Harapan Sentosa secara lebih terperinci. Dengan cara yang sama,
Sampai hari ini, regu likuidasi belum mampu menentukan perbandingan antara asset-asset
dari Hendra Rahardja, Bank Harapan Sentosa dan liabilitas dari Bank Harapan Sentosa
kepada bank sentral (Bank Indonesia). Ini bisa terjadi karena tidak ada asset-asset yang
sejalan dalam kekuasaan regu likuidasi dan bank sentral yang sudah ditempatkan di lelang
publik, meskipun beberapa di antara mereka telah disita oleh bank sentral.

Berdasarkan pada garis besar tersebut, regu likuidasi adalah satu-satunya pihak yang
mempunyai hak untuk membuat laporan mengenai keberadaan dari pelanggaran hukum
perbankan di Bank Harapan Sentosa, menurut laporan auditnya sendiri. Regu likuidasi
adalah satu-satunya pihak yang paling mengetahui apakah ada pelanggaran hukum
perbankan atau tidak di Bank Harapan Sentosa. Regu likuidasi adalah juga satu-satunya
pihak yang paling mengetahui, apakah asset-asset dari Bank Harapan Sentosa, dan asset-
asset dari Hendra Rahardja bisa memenuhi liabilitas dari Bank Harapan Sentosa kepada
bank sentral atau tidak. Maka, itu adalah premature bagi polisi untuk membawa kasus ini
kepada pengadilan.

3. Lebih lanjut, jika ada suatu pelanggaran hukum perbankan, saksi penuntut umum kasus bank
yang dibubarkan harus merupakan tim likuidasi dengan laporan auditnya sendiri , dan itu
bukan petugas kepolisian;

Mempertimbangkan itu, delik formal di suatu bank yang dibubarkan digolongkan sebagai
Kejahatan Ekonomi, dimana pemeriksaan dan keputusan adalah tunduk kepada laporan audit
dari regu likuidasi.

4. Mempertimbangkan itu, menurut laporan penyidikan dari Mahkamah Agung Indonesia,


sebetulnya, kasus ini masih di dalam lingkup dari Hukum Perdata. Ini ditunjukkan oleh fakta
bahwa setelah diselidiki kasus ini, jaksa penuntut sudah mengembalikan file ini kepada polisi
tiga kali, dilandaskan bahwa kasus ini tidaklah tergolong sebagai perkara pidana Di sini, kita
dapat merinci fakta yang ada sebagai berikut;

a. Tersangka lain dari kasus Bank Harapan Sentosa adalah :

1. ANDRE WIDIJANTO;
2. SHERLY KOJONGIAN;
3. HENDRO SUWONO ;
4. MUHAMMAD NUR TAJEB;

Sampai hari ini, file itu adalah taklengkap dan tidak sah untuk suatu perkara pidana,
seperti yang ditetapkan dalam bagian 138 ketentuan-ketentuan prosedur Pidana, dan Kantor
pengacara wilayah DKI Jakarta sudah mengembalikan file itu kepada polisi seperti yang
ditetapkan di dalam surat-surat jaksa penuntut di bawah nomer terdaftar No.B-
3

441/P.1.4/Epl.1./II/1999, bertanggal 23 februari 1999, dan pada nomer terdaftar No.B-


442/P.1.4/Epl.1./II/1999;

Mempertimbangkan itu, untuk penyerahan yang ketiga dari file, polisi penyidik
Indonesia itu sudah melakukan penyelidikan maksimal mereka. Pada akhirnya, Kantor
pengacara wilayah DKI Jakarta menerima file yang tidak sempurna, dan mengirim suatu surat
P-22 kepada polisi penyidik , meminta mereka untuk lakukan penyelidikan tambahan.
Sebetulnya, penyelidikan yang tambahan oleh jaksa penuntut itu tidak bisa menemukan
bukti, dan unsur kejahatan perbankan, seperti yang tersebut di dalam file dari polisi, karena
kasus ini adalah suatu kasus perdata, di mana regu likuidasi bertanggung jawab atas lelang
dan penjualan publik dari asset-asset dari Bank Harapan Sentosa. Regu likuidasi belum
menjual semua asset dari Bank Harapan Sentosa.

b. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia itu sudah membentuk suatu regu likuidasi dari bank
sentral, yang tidak dengan sepenuhnya menjual asset-asset dari Bank Harapan Sentosa di
suatu lelang yang publik. Karenanya, regu likuidasi akan memfile suatu perkara perdata
seperti yang ditetapkan dalam surat nya di bawah No792/TL-BHS/KU/XI/98, yang
bertanggal 11 November 1998, bertujuan untuk menjual asset-asset dari Bank Harapan
Sentosa di suatu lelang yang publik;

c. Mempertimbangkan bahwa, regu likuidasi tidak menyerahkan bukti yang asli bermaksud di
dalam pengadilan, yang sudah menciptakan permasalahan untuk jaksa penuntut itu untuk
menyerahkan kasus itu kepada pengadilan;

Menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh bank sentral, bank sentral itu adalah pengendali
dan pengawas bank swasta dan bank pemerintah.

Mempertimbangkan itu, sebetulnya, diakibatkan oleh kendali, pemeriksaan dan pengawasan


dari 1994 sampai 1996 oleh regu pemeriksa dari bank sentral sudah menunjukkan bahwa
Bank Harapan Sentosa ada dalam kondisi yang cocok dan tepat. Ini ditetapkan di dalam surat
dari regu pemeriksa dari bank sentral kepada Bank Harapan Sentosa,
No.28/244/UPB2/Adb2/Rahasia yang bertanggal 9 September 1995;

d. Mempertimbangkan itu, untuk membuktikan bahwa statemen yang dibuat oleh Menteri
Keuangan dan bank sentral, yang anggap Bank Harapan Sentosa di dalam kondisi yang
cocok dan tepat, kita dapat lihat apa yang tersebut di dalam:

 Surat keputusan Menteri Keuangan ber No.:Kep-124/KM.17/1995, 4 Mei 1995, mengenai


persetujuan itu untuk meningkatkan mutu status dari cabang Bank Harapan Sentosa di Jalan
RS. Fatmawati No . 12 Jakarta Selatan dari kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang;

 surat dari Menteri Keuangan No.:Kep-122/KM.17/1995, mengenai persetujuan untuk


peningkatan status kantor cabang pembantu Bank Harapan Sentosa di jalan Gajah Mada
No. 7, Jakarta Pusat, menjadi kantor cabang,

 Surat Keputusan dari Menteri Keuangan No.:Kep-123/KM.17/1995, 4 Mei 1995, mengenai


persetujuan untuk peningkatan status dari kantor cabang pembantu Bank Harapan Sentosa
di Jalan Matraman Raya No. 132, Jakarta timur. Menjadi "kantor pembantu";

Mempertimbangkan bahwa, tiga surat tersebut memperbicangkan tentang persetujuan untuk


peningkatan status dari " kantor cabang pembantu" dari Bank Harapan Sentosa, untuk
menjadi "kantor cabang" di Jakarta;

Mempertimbangkan itu, jika Bank Harapan Sentosa sudah sering kali melakukan
pelanggaran hukum perbankan , Menteri Keuangan pasti tidak pernah memberikan
persetujuan untuk Bank Harapan Sentosa untuk membuka kantor cabang di dalam daerah-
daerah Indonesia;

Oleh karena itu, mengingat penilaian yang timbul dari pemerintah dan Department keuangan
dan bank sentral ,yang sudah menunjukkan bahwa Bank Harapan Sentosa di dalam kondisi
4

yang cocok dan tepat, orang yang dicurigai di dalam kapasitas mereka ketika para direktur
itu masih sedang melakukan pekerjaan mereka seperti yang ditetapkan oleh Bank Harapan
Sentosa;

Mempertimbangkan bahwa, ini sudah membuktikan bahwa tidak ada niat dari para tersangka
untuk melakukan setiap tindakan tidak sah .

5. Mempertimbangkan bahwa, orang yang dicurigai (Tn. Hendro Suwono dan Tn. Andre
Widijanto) telah dituduh melanggar bagian 49 alinea 1 dan 2 b dari Undang-undang No.
7/1992, mengenai perbankan;

6. Mempertimbangkan bahwa, sampai hari ini, dasar hukum tuduhan tersebut diambil dari
Hukum no. 7 /1992, meskipun telah ada suatu revisi berdasar pada Undang-undang no. 10 /
1998, yang diumumkan resmi pada 10 November 1998, termasuk revisi pada bagian 49
paragraf 1 dan 2 b;

7. Mempertimbangkan bahwa, mengingat fakta bahwa telah ada suatu revisi pada hukum yang
telah menjadi dasar hukum untuk tuduhan, dan oleh karena itu Undang-undang no. 7 / 1992
kini tak berlaku, secara otomatis, di proses penyelidikan yang berjalan sudah menjadi tidak
berarti dan hampa, seperti yang ditetapkan di dalam alinea 1 paragraf 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia itu, yang katakan itu; " tindakan oleh siapapun tidak dapat
dihukum, kecuali oleh suatu hukum, yang diciptakan sebelum tindakan itu dilakukan".

8. Mempertimbangkan bahwa, berkenaan dengan likuidasi Bank Harapan Sentosa dengan lima
belas bank nasional yang lain di Indonesia, pemerintah sudah menutup pengoperasian Bank
Harapan Sentosa.
Mempertimbangkan bahwa, lebih lanjut, pemerintah Indonesia sudah membentuk suatu regu
likuidasi dari bank central, yaitu. Bank Indonesia , dan hingga hari ini, regu likuidasi dari bank
sentral belum sepenuhnya menjual semua asset dari Bank Harapan Sentosa melalui
beberapa lelang yang publik. Regu likuidasi akan memfile suatu perkara perdata seperti yang
ditetapkan dalam surat nya tanggal 11 Nopember 1998 No:792/TL-BHS/XI/98, untuk
menjual asset-asset dari Bank Harapan Sentosa melalui lelang-lelang yang publik, dan bank
sentral keberatan untuk menyerahkan bukti-bukti yang asli dari Bank Harapan Sentosa ke
polisi penyidik. Oleh karena itu, akan ada suatu kesukaran di dalam pengujian bukti-bukti
selama pengadilan kasus ini. Sebagai konsekwensi, Untuk tujuan kepastian hukum ,
disarankan kalau ketika menantikan bukti-bukti yang asli dari bank sentral, jaksa penuntut
dapat menghentikan penyelidikan dan proses penuntutan dari kasus ini.

9. Mempertimbangkan bahwa, berdasarkan pada bukti-bukti tersebut di atas, bank Indonesia


(bank sentral) akan mengatasi kasus B.H.S. menurut hukum perdata, oleh karena itu, itu
adalah sebaiknya bahwa penyelidikan dan tuntutan pidana terhadap orang yang dicurigai
harus dihentikan;

10. Mempertimbangkan bahwa, bagian 9 Undang-undang no. 23 /1999 mengenai Bank


Indonesia (bank sentral) sebagai berikut;

Pasal 9 ayat (1):

"- Adalah terlarang bagi setiap pihak untuk turut campur tangan dalam setiap kinerja tugas dari bank
sentral (Indonesia bank) seperti yang ditetapkan di dalam pasal 8".
Pasal 9 ayat (2):

"- Bank Indonesia harus menolak dan atau mengabaikan segala hal intervensi dari setiap
pihak dalam kinerja tugas nya".

Mempertimbangkan bahwa, tuduhan pelanggaran Batas Peminjaman Sah maksimal


(Maximum Legal Lending Limit) adalah suatu tuduhan kejahatan perbankan yang murni, yang
tidak bisa dikonversi menjadi kejahatan korupsi, karena mereka mempunyai unsur-unsur
yang berbeda ;
5

Mempertimbangkan itu, mengingat fakta, regu likuidasi masih bertanggung jawab karena
B.H.S yang dibubarkan., dan bank Indonesia ingin mengatasi kasus ini menurut hukum
perdata, maka itu, ada dasar hukum yang cukup untuk meluncurkan suatu permintaan untuk
menghentikan penyelidikan dan penuntutan;

11. Mempertimbangkan bahwa, untuk menunjukkan keyakinan yang baik dari Komisaris Bank
Harapan Sentosa dalam penyelesaian masalah hutang antara B.H.S. dan Bank Indonesia,
Presiden Komisi B.H.S., Tn. Hendra Rahardja, sudah membuat, menandatangani dan
mengesahkan pada Kantor Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney, suatu surat pernyataan
mengenai kesediaan nya untuk menyajikan assetnya kepada Bank Indonesia.

Terimakasih untuk perhatian nya


Dengan Hormat,

ALAMSYAH HANAFIAH, SH.

KANTOR ADVOKAT HP LAW OFFICE


ALAMSYAH HANAFIAH & PARTNERS
6

LEGAL PATENT TRADEMARK AND INSURANCE ATTORNEYS


SK MENTERI KEHAKIMAN RI NO. D 451 K P 04 13 1991

RESUME KASUS BANK HARAPAN SENTOSA


1. Bahwa Saksi pelapor dalam kasus Bank Harapan Sentosa adalah Mayor Polisi DRS
MUSTAHARI SEMBIRING, sebagaimana Laporan Polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek.
tertanggal 3 Juli 1998; __________________ (copy lampiran 1)
2. Bahwa Bank Harapan Sentosa adalah bank swasta yang termasuk dalam grup 16 (enam belas)
Bank yang DILIKUIDASI oleh PEMERINTAH pada bulan november 1997;
Bahwa menurut ketentuan peraturan LIKUIDASI, maka bila Bank Dilikuidasi, operasionalnya
dibekukan oleh pemerintah Cq. Bank Indonesia (BI) dan semuanya untuk meneliti dan mengaudit
semua aset dan hutang piutang adalah merupakan tanggung jawab Tim Likuidasi yang dibentuk
oleh Bank Indonesia; ___________________________(copy lampiran 2)
bahwa ternyata sampai dengan saat ini tim likuidasi bank indonesia belum selesai mengaudit
aset Bank Harapan Sentosa (BHS) maupun aset dari para pemilik bank tersebut (Sdr. HENDRA
RAHARDJA). Dan juga tim likuidasi belum selesai mengaudit jumlah hutang piutang Bank
Harapan Sentosa (BHS) secara detail, serta sampai saat ini tim likuidasi belum bisa menentukan
tentang perbandingan antara aset-aset Sdr HENDRA RAHARDJA dan aset Bank Harapan
Sentosa (BHS) dengan jumlah hutang BHS kepada Bank Indonesia. Karena semua aset jaminan
yang dipegang oleh Bank Indonesia (BI) Cq Tim Likuidasi belum ada yang dilelang, walaupun
sebagian telah disita oleh Bank indonesia (BI);
Berdasarkan uraian di atas, seharusnya yang berhak melaporkan tentang ada atau tidaknya
pelanggaran dalam Bank BHS adalah Tim Likuidasi itu sendiri berdasarkan hasil auditnya.
Karena tim likuidasilah yang paling tahu ada pelanggaran atau tidaknya di Bank Harapan Sentosa
(BHS);
Dan tim likuidasi itu pula yang mengetahui apakah aset BHS dan aset saudara HENDRA
RAHARDJA bisa memenuhi/menutupi hutangnya (BHS) kepada Bank Indonesia atau tidak. Oleh
karenanya perkara ini sangat PREMATUR untuk dilanjutkan ke pengadilan;
3. dan pelapor kasus bank terlikuidasi seharusnya adalah tim likuidasi itu sendiri berdasarkan hasil
auditnya, bila terdapat pelanggaran, dan bukan pelapornya seorang polisi seperti ini;
bahwa mengingat delik formal kasus bank terlikuidasi adlaah termasuk kasus tindak pidana
ekonomi yang kepastiannya ditentukan oleh hasil audit tim likuidasi
4. Bahwa berdasarkan hasil penyelidikan reserse mabes polri, ternyata secara fakta hukum kasus
ini masih dalam ruang lingkup PERDATA. Hal ini terbukti dari hasil penyelidikan yang sampai 3
(tiga) kali berkasnya dikembalikan kepada Kepolisian dan ternyata tidak memenuhi syarat untuk
disidangkan, hal ini dapat kami uraikan sebagai berikut :
a. Bahwa untuk perkara tersangka BHS lainnya adalah :
1. Tersangka ANDRE WIDIJANTO;
2. Tersangka SHERLY KOJONGIAN;
3. Tersangka HENDRO SUWONO;
4. Tersangka MUH. NUR TAJEB;
Sampai dengan saat ini berkas perkaranya belum lengkap dan tidak bisa disidangkan
karena berkas perkara belum memenuhi syarat Pasal 138 KUHAP untuk disidangkan di
pengadilan dan berkas perkara itu dikembalikan oleh kejaksaan tinggi DKI Jakarta kepada
Polisi sebagaimana surat kejaksaan tinggi DKI Jakarta No.B-441/P.1.4/Epl.1./II/1999,
tanggal 23 februari 1999(P-18); ________________(Copy Lampiran 3);

Bahwa berkas perkara itu dikembalikan pula oleh Kejaksaan tinggi kepada kepolisian
sesuai dengan suratnya No.B-442/P.1.4/Epl.1./II/1999 (P-19); ______________(Copy
lampiran 4);

Bahwa untuk pelimpahan yang ketiga kalinya Penyelidik kepolisian RI melimpahkan


kasus tersebut secara optimal karena penyidikannya sudah optimal dan akhirnya pihak
kejaksaan tinggi DKI Jakarta menerima berkas perkara yang belum lengkap tersebut, dan
selanjutnya membuat surat P-22 kepada pihak kepolisian untuk mengadakan penyelidikan
tambahan; ________________________________(copy lampiran 5)
Ternyata penyidikan tambahan oleh penyidik kejaksaan juga tidak dapat menemukan
bukti maupun unsur-unsur delik yang disangkakan kepada para tersangka, karena mengingat
kasus ini adalah kasus PERDATA yang masih tanggung jawab tim likuidasi dari Bank
7

Indonesia dan tim likuidasi Bank Indonesia sampai saat ini belum melelang atau menjual
aset-aset BHS tersebut;
b. Bahwa selanjutnya pemerintah indonesia membentuk tim likuidasi dari bank indonesia dan
sampai saat ini tim likuidasi Bank Indonesia (sebagai bank sentral) belum melelang aset-aset
BHS tersebut. Dan tim likuidasi akan mengajukan gugatan perdata sesuai dengan suratnya
tertanggal 11 november 1998 No792/TL-BHS/KU/XI/98, guna untuk melelang aset-aset
BHS;
Bahwa ternyata tim likuidasi bank indonesia, tidak bersedia menyerahkan bukti asli dari aset
dan berkas dari BHS untuk sebagai barang bukti di pengadilan, sehingga pihak kejaksaan
belum dapat melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan;
__________________________________(copy lampiran 6)
c. Bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan yang ditetapkan oleh bank indonesia (BI) bahwa
bank indonesia adalah sebagai PEMBINA dan PENGAWAS bank-bank swasta maupun bank
pemerintah;
Bahwa ternyata secara fakta hukum hasil Pembinaan maupun PENGAWASAN serta
Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa/Pengawasan dari Bank Indonesia tersebut, menyatakan
bahwa kondisi Bank Harapan Sentosa (BHS) dalam keadaan BAIK dan SEHAT.
Hal ini tertuang dalam Surat keterangan dari Tim Pemeriksa Bank Indonesia terhadap
Bank BHS Nomor .28/244/UPB2/Adb2/Rahasia tertanggal 9 September 1995;
____________________ (copy lampiran 7);

d. Bahwa untuk membuktikan bahwa pernyataan Menteri Keuangan dan Bank Indonesia
menyatakan Bank BHS dalam keadaan Sehat dan tidak terdapat pelanggaran-pelanggaran
yang ditentukan oleh Bank Indonesia, hal ini terbukti dari Surat-surat Keputusan Menteri
Keuangan RI
No.:Kep-124/KM.17/1995, tertanggal 4 Mei 1995, tentang ”Pemberian Izin Peningkatan
Status Kantor Cabang Pembantu PT. Bank Harapan Sentosa di Jl. RS. Fatmawati No. 12
Jakarta Selatan menjadi kantor cabang” juncto Surat Menteri Keuangan RI No.:Kep-
122/KM.17/1995, tentang ”Pemberian Izin Peningkatan Status Kantor Cabang Pembantu PT.
Bank Harapan Sentosa di Jl. Gajah Mada No. 7, Jakarta Pusat, Menjadi Kantor Cabang”
dan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.:Kep-123/KM.17/1995, tertanggal 4 Mei
1995, tentang ”Pemberian Izin Peningkatan Status Kantor Cabang Pembantu PT. Bank
Harapan Sentosa (BHS) di Jl Matraman Raya No. 132, Jakarta timur. Menjadi Kantor
Cabang";_____________________(copy lampiran 8,9 dan 10)
Bahwa dimana ketiga surat keputusan tersebut diatas perihalnya tentang
PEMBERIAN IZIN PENINGKATAN STATUS KANTOR CABANG PEMBANTU PT BANK
HARAPAN SENTOSA Di wilayah Propinsi DKI Jakarta;
Bahwa bila sekiranya Bank Harapan Sentosa tersebut sering melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka suatu hal yang ganjil
dan tidak mungkin diberikan perluasan untuk membuka kantor-kantor cabang di daerah-
daerah;
Oleh karenanya mengingat penilaian-penilaian yang diberikan oleh Pemerintah Cq.
Departemen Keuangan RI dan hasil pemeriksaan oleh Bank Indonesia yang dinyatakan Baik
dan Sehat mengenai kondisi Bank BHS, maka para tersangka selaku Direktur tetap
melaksanakan tugasnya sesuai keinginan Bank BHS;
Bahwa hal ini membuktikan tidak terdapat niat Perbuatan Melawan Hukum dari para
Tersangka tersebut;
5. Bahwa para tersangka , Sdr HENDRO SUWONO dan Sdr ANDRE WIDIJANTO diduga telah
melakukan Tindak Pidana dibidang perbankan, melanggar Pasal 49 ayat (1) dan (2) b Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992;
6. Bahwa dasar hukum sangkaan yang dituduhkan kepada para tersangka, Sdr HENDRO
SUWONO dan Sdr ANDRE WIDIJANTO sampai dengan saat ini masih didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992, sementara terhadap undang-undang No. 7 tahun 1992
tersebut telah diadakan perubahan berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 10 Nopember 1998, termasuk yang dirubah adalah pasal 49 ayat (1)
dan (2) b;
7. Bahwa disebabkan karena peraturan yang dijadikan dasar penyidikan itu sudah tidak berlaku lagi,
maka proses penyidikan tersebut telah menjadi tidak syah atau cacat hukum, yang mana
argumen ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHPidana, yang menyatakan :
8

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.”
8. Bahwa dalam permasalahan dilikuidasinya Bank Harapan Sentosa (BHS) bersama 15 Bank
Nasional di indonesia lainnya, maka BHS ditutup operasinya oleh Bank Indonesia;
Bahwa selanjutnya pemerintah Indonesia membentuk Tim Likuidasi dari Bank Indonesia dan
sampai saat ini Tim Likuidasi Bank Indonesia (sebagai Bank Sentral) belum melelang aset-aset
BHS tersebut. Dan Tim Likuidasi akan mengajukan gugatan perdata sesuai dengan suratnya
tertanggal 11 November 1998 No:792/TL-BHS/XI/98, guna untuk melelang aset-aset BHS dan
Bank Indonesia berkeberatan untuk menyerahkan surat-surat bukti asli dari BHS kepada pihak
kepolisian, maka bila hal ini disidangkan akan menemukan kesulitan dalam pembuktian. Oleh
karena itu untuk kepastian hukumnya menunggu bukti-bukti asli dari Bank Indonesia sudah
sepatutnya Penyidikan/Penuntutan dihentikan ________________________________(vide
lampiran 6);
9. Bahwa Bank Indonesia berdasarkan bukti di atas akan menyelesaikan masalah BHS secara
Perdata, dengan demikian proses penyidikan/penuntutan (pidana) terhadap para tersangka
sudah sepatutnya dihentikan;
10. Bahwa sesuai dengan Undang-undang no. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
pasal 9, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (1):
“Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 8”
Pasal 9 ayat (2) :
“Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak
manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.”
Bahwa tuduhan melanggar BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) adalah murni
tuduhan Tindak Pidana Perbankan yang tidak bisa dialihkan menjadi sangkaan Tindak Pidana
Korupsi, karena unsur-unsurnya sangat berbeda;
Bahwa oleh karena Bank BHS yang terlikuidasi tersebut masih dalam tanggung jawab Tim
Likuidasi dari Bank Indonesia, dan mengingat Bank Indonesia sendiri mau menyelesaikan
permasalahan ini secara Perdata, maka sudah cukup dasar hukum kiranya kasus ini untuk
dimohonkan Penghentian Penyidikan/Penuntutannya;

11. Bahwa sebagai itikad baik dari Komisaris Bank Harapan Sentosa untuk menyelesaikan
permasalahan hutang piutang antara BHS dan BI (Bank Indonesia), maka Komisaris Utama BHS,
Sdr. HENDRA RAHARDJA membuat surat kesediaannya untuk menyerahkan aset-asetnya
kepada Bank Indonesia sebagaimana Surat Pernyataan yang telah dilegalisir oleh Konsulat
Jenderal RI di Sidney; _________________________________________ (copy lampiran 11)
Demikian RESUME kasus BHS ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, tak lupa
kami haturkan terima kasih.

Hormat Kami,

ALAMSYAH HANAFIAH, SH.


9

Pendapat Hukum OC Kaligis pada kasus Bank Harapan Sentosa/Hendra Rahardja

Surat tuduhan jaksa penuntut di dalam Perkara Pidana dari Bank Harapan Sentosa adalah
yang diperkenalkan dalam bagian 49 subseksi 1 &subseksi 2 Akta No. 7 / 1992 mengenai perbankan.
Unsur-unsur dari bagian 49 subseksi 1 b Akta No. 7 / 1992 adalah:
1. Para Anggota dewan komisaris, Direktur atau Pejabat bank:
2. Dengan sengaja;
3. MengHapuskan atau mengeluarkan/meniadakan atau mencegah laporan audit dan
laporan keuangan tercakup di dokumen perbankan atau laporan transaksi atau sisanya
laporan dari rekening bank.

Unsur-unsur dari bagian 49 subseksi 2 b Akta No. 7 /1992 adalah:

12. Para Anggota dewan komisaris, Directors atau Pejabat bank;

13. Dengan sengaja;

14. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang perlu, yang penting bagi menjamin
ketaatan bank kepada hukum perbankan umum.

Dengan memandang kembali kepada peraturan batas resmi peminjaman yang maksimum,
jika bank sudah menyelesaikan pembagian risiko atau asuransi kepada penerima pinjaman yang
terkait atau penerima pinjaman tidak bertalian, setiap pengeluaran/emisi pinjaman dalam satu jumlah
di atas batas resmi peminjaman yang maksimum bukan suatu pelanggaran peraturan batas resmi
peminjaman yang maksimum.

Di Dalam kasus Bank Harapan Sentosa, bank Indonesia (bank sentral) sudah mensahihkan
tindakan para direktur, seperti yang tersebut di dalam surat klarifikasi No28/2444/UPB2/Adb2/Rahasia
dari penyelidikan Team dari Bank Indonesia, 9 September , 1995. Dalam surat yang sedemikian
Bank Harapan Sentosa sudah dinyatakan; diumumkan sebagai suatu bank terlikuidasi.

Pertimbangan Hukum

 Suatu surat edaran No.26/3/B.P.P.P. dari Bank Indonesia 29 Mei 1993 poin 5 dan poin e
dinyatakan kalau kredit/utang yang tidak melanggar batas resmi peminjaman itu adalah yang
dijamin aman oleh bank-bank lain untuk pembagian risiko;

 Peraturan pembagian risiko juga diatur oleh surat edaran No.26/3/B.P.P.P. dari Bank
Indonesia, 29 Mei 1993 dan di surat keputusan dari Bank Indonesia No26/21/KEP/DIR, 29
Mei 1993;

 Pembagian risiko dengan bank-bank yang lain bisa dilakukan pada waktu persetujuan
pinjaman itu dimasukkan antara penerima pinjaman dan bank hingga dua minggu setelah
tanggal datangani.

Kesimpulan

Merujuk pada usul untuk membebaskan kasus dari Jaksa Agung Untuk Kejahatan Umum,
kasus Bank Harapan Sentosa bukan suatu perkara pidana. Pendapat seperti itu adalah sejalan
dengan putusan dari Pengadilan Distrik Jakarta Barat untuk kasus Bank Andromeda,
299/Pid.B/2000/-P.N.JKT.BAR. Pertimbangan hukum dari Dewan Hakim dalam putusan demikian
menunjukkan bahwa suatu kredit, yang adalah "Pinjaman Pembagian Risiko" tidak melanggar
peraturan batas resmi peminjaman yang maksimum, meskipun pinjaman itu lebih besar dari 10% dari
hak kekayaan bank. Dengan kata lain, itu pinjaman-pinjaman tidak melanggar bagian 49 subseksi 2 b
dari Akta No. 7 /1992.

Di Dalam Bank Andromeda kasus, Dewan Hakim-Hakim sudah menolak tuduhan kepada
Direktur Bank Andromeda untuk pelanggaran-pelanggaran bagian 49 subseksi 49 b dari Akta No. 7/
1992, membebaskan terdakwa dan diumumkan sebagai tidak bersalah.
10

ditandatang
ani

OC. KALIGIS. SH.

Md.
11

Bab 6

Penilaian
Pra-
Peradilan
12

PENGADILAN NEGERI
JAKARTA SELATAN

SALINAN BERSERTIFIKAT
KEPUTUSAN PERKARA PIDANA

Nomer : 07/Pid/Prad/2000/PN JAKSEL

Tanggal : 23 Juni 2000

Atas nama : Hendra Rahardja

MELAWAN

KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA CQ TIM PENYIDIK PIDANA KEPOLISIAN


INDONESIA, DIREKTORAT PENYIDIKAN PIDANA EKONOMI.

Dikeluarkan untuk : Pengacara dari Pemohon

Pada : 29 Juni 2000

Pengadilan negeri Jakarta selatan

Sekertaris/Notaris PP
Notaris Yunior Untuk kasus pidana

(perangko resmi) (ditandatangani)

MYUSUF, SH.
NIP. 040 042 185

No 07/PID/PRAP/2000/PN.JAK.SEL
13

KEPUTUSAN
"- UNTUK KEADILAN BERDASARKAN KEYAKINAN PADA SATU TUHAN YANG MAHA AGUNG”

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mendengar dan mengusahakan suatu petisi untuk tatap
muka pra peradilan pada tahap pertama dan tahap akhir, sudah meloloskan suatu keputusan merujuk
pada hal-hal dibawah , di dalam dan berkenaan dengan suatu petisi tatap muka pra peradilan dari;
Hendra Rahardja, dengan alamat Jl. Widya Chandra V No. 21, Jakarta Selatan, di dalam hal
ini di bawah suatu surat kuasa yang khusus tertanggal 31 mei, 2000 yang diwakili oleh pengacara-
pengacara nya, Otto Cornelis Kaligis, SH. Farida Sulistyani, SH. CN. dan Marla Wongkar, SH., ke tiga
dari mereka dari Otto Cornelis Kaligis &Rekan , Advocat & Konsultan hukum, berdomisili di Jl.
Majapahit No. 18-20. Kompleks Majapahit Permai Blok B-123, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut
Petisioner;

Bahwa Petisioner mempunyai petisi untuk suatu tatap muka pra peradilan melawan:

Kepolisian Republik Indonesia Cq Tim Penyidik Pidana Kepolisian Indonesia, Direktorat


Penyidikan Pidana Ekonomi. Jl. Trunojoyo No3, Jakarta Selatan, di dalam hal ini yang diwakili oleh
para pengacara mereka, Letkol Polisi. Soeyitno, SH., LetKol polisi Alfons loemau, SH., M.Bus.M.Si.,
Kapten Pol. Rudy Heriyanto AN. SH. dan Letnan Satu Pol. Jarot Setioso, SH., semua layanan hukum
dari kePolisian Republik Indonesia Jl. Trunojoyo No3 Keb. Baru, Jakarta Selatan, di bawah suatu
komisaris No. Pol. Sprin/58/VI/2000 bertanggal 14 juni, 2000 dan Kuasa khusus pengacara ,
selanjutnya disebut Responden ;

perkataan Pengadilan Distrik;


Atas membaca dokumen dari Petisioner dan Responden;
Atas tatap muka Petisioner dan Responden di pokok materi ;
Mempertimbangkan bahwa Petisioner di dalam petisi nya bertanggal 9 Juni, 2000, yang dicatatkan
dengan Kantor Notaris dari Pengadilan Distrik Jakarta Selatan pada 9 Juni, 2000 bernomer No.
07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel. sudah memberikan suatu Petisi untuk tatap muka Pra Peradilan
dengan alasan-alasan dan pertimbangan berikut;

1. Bahwa pada 3 Juli 1998, Drs. Mustahari Sembiring, dengan posisi sebagai anggota Polisi
Republik Indonesia, membuat suatu laporan polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse Ek.
Dengan tindakan pidana yang dilaporkan adalah;
Kejahatan Perbankan sebagaimana dalam pasal 49 Akta No. 7 / 1992 di Banking Jo.
Pasal-pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

- perkataan laporan polisi menyebutkan nama dari orang yang dicurigai,.:


1. Hendra Rahardja (Komisaris Presiden Bank Harapan Sentosa)
2. Eko Edi Putranto (Komisaris Bank Harapan Sentosa)
3. Andre Widijanto (Pemilik dari Relevant Company)
4. Tns. Sherly Kojonglan (Pemilik dari Relevant Company)
5. Hendro Suwono (Anggota Dewan Direktur dari Perusahaan Induk). (Perlihatkan P-1)

 Bahwa laporan tersebut di atas dibuat oleh seorang anggota Polisi Indonesia itu
sendiri; saksi penuntut umum di dalam berkata menuduh penjahat belum jelas:

 Bahwa Petisioner belum pernah menerima maupun pernah mengetahui; tentang


keberadaan laporan polisi dengan Petisioner menjadi orang yang dicurigai, seperti juga
setiap panggilan untuk interogasi menyangkut perkataan laporan polisi;

oleh karena itu, pengeluaran jaminan No. Pol. SPP/R/69-M/VIII/1998/DIT SERSE EK


tanggal 10 Agustus , 1998 untuk menangkap Petisioner itu adalah sangat tak syah dan oleh
karena itu, perkataan jaminan penangkapan adalah tak syah;

ke derajat tingkat yang lebih besar, pada 23 Pebruari, 1999, Kantor dari Penuntut Tinggi
DKI Jakarta menyatakan; mengumumkan bahwa kasus meringkas atas nama orang yang
14

dicurigai, Drs. Andre Widijanto dan para teman yang telah disampaikan oleh Markas besar
kepolisian Indonesia itu taklengkap. (Perlihatkan P-2);

 Bahwa 13 April 1999 Penuntut Tinggi DKI Jakarta mengirim suatu surat kepada
kepala pasukan penyidik pidana kepolisian Indonesia itu penyelidikan maksimum oleh
markas besar kepolisian Indonesia dan satu instruksi untuk menyerahkan ringkasan kasus
dan orang yang dicurigai agar Kantor Penuntut Tinggi bisa menyelesaikan pengujian
tambahan. (Perlihatkan P-3);

 Bahwa Petisioner pada 1 Juni, 1999 ditangkap dan dibawa ke Pos Polisi di Sydney
berdasar pada photocopy dari "Pemberitahuan Merah Polisi Internasional " yang ditandai
"A1", berisi suatu pemberitahuan bahwa suatu surat perintah telah dikeluarkan untuk
menangkap Petisioner oleh para anggota Australian Federal Police. Salah satu [dari] para
anggota Australian Federal Police, bernama Rod Wissam, pada 1 Juni 1999membuat satu
surat sumpah yang berisi suatu permintaan untuk pengeluaran suatu surat perintah untuk
menangkap sementara Petisioner. Surat sumpah oleh seorang anggota Australian Federal
Police sungguh-sungguh tidak mematuhi prosedur umum hukum, sehingga diajukan petisi
bahwa perkataan pada surat sumpah dinyatakan tak syah ;

 Bahwa di bawah pasal 20 Aturan prosedur pidana periode penangkapan adalah 24


jam, bagaimanapun adalah jelas bahwa Petisioner sampai 3 Juni 1999 masih ditahan di Pos
Polisi di Sydney, dan baru 4 Juni 1999 ia ditransfer dari Pos Polisi di Sydney. Ke silverwater
Prison di Sydney sampai sekarang tanpa landasan dan alasan sah menurut hukum. Di
bawah pasal 20 alinea jo (1) dan (2) dan pasal 24 Aturan prosedur pidana , seorang
penyelidik hanya berhak menahan selama 20 hari dan dapat diperluas oleh penuntut umum
hingga 40 hari. Di bawah alinea (4) pasal 24 Aturan prosedur pidana, setelah enam puluh
hari, Penyelidik itu sudah membebaskan orang yang dicurigai dari penangkapan di depan
hukum;

 didasarkan pada fakta tersebut, adalah jelas bahwa perintah penangkapan


No.Pol.SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse Ek. 18 juli 1999 atas nama Petisioner tidak memiliki
landasan hukum, sehingga kata-kata dalam surat perintah itu adalah tak syah. Oleh karena
itu, Petisioner itu harus dengan segera dibebaskan dari penjara Silverwater ;

 Terbukti bahwa baik keluarga Petisioner itu atau pengacara nya belum pernah
menerima setiap pemberitahuan penangkapan Petisioner dari Responden seperti yang
dibutuhkan oleh alinea (3) pasal 21 alinea jo (3) pasal 18 KUHP. didasarkan pada
argumentasi tersebut, Petisioner itu harus bebas dari penangkapan di depan hukum;

 Adalah fakta kalau Petisioner telah ada di luar negeri karena pengobatan jauh
sebelum ada laporan polisi No. PolLP/182/VII/1998/Serse Ek. 3 juli 1998;

 Bahwa di bawah pasal 81 KUHP, untuk setiap penangkapan yang tak syah , suatu
ganti-rugi dan rehabilitasi dapat dituntut;

 oleh karena itu, kehadiran dari surat perintah penangkapan yang tak syah dan hingga kini
Petisioner masih berada di penjara silverwater, Sydney, hingga kepada kerusakan dari
Petisioner. Untuk alasan itu ,Petisioner menuntut Responden ganti rugi kerusakan pada
Petisioner dalam sejumlah Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) segera setelah suatu
keputusan dalam hal ini sudah diumumkan dan bahwa responden diperintahkan untuk
merehabilitasi nama baik dari petisioner.

didasarkan pada uraian tersebut, petisi Petisioner maka yang mulia, Pemimpin Hakim
pengadilan negeri Jakarta Selatan, mendengar dan memutuskan sebagai berikut:

1. mengabulkan petisi Petisioner itu keseluruhan nya;


2. memutuskan surat penangkapan NoSPP/R/69-M/VIII/1998/DIT SERSE EK 10 agustus,1998
surat penangkapan NoLP/182/VII/1998/Serse Ek 18 juni 1999, salinan dari "Pemberitahuan
15

Merah Polisi Internasional " yang ditandai "A1" atas nama Hendra Rahardja dan surat
sumpah dari Rod Wissam bertanggal 1 Juni, 1998 tak syah;
3. memutuskan kalau penangkapan dan penahanan Petisioner/Hendra Rahardja tak syah,
dan berarti Hendra Rahardja harus dilepaskan dengan segera dari penangkapan;
4. memerintahkan Responden membayar kerugian kepada Petisioner sejumlah Rp.
100.000.000 (-,Seratus juta rupiah) segera setelah keputusan ini disahkan;
5. Memerintahkan Responden untuk merehabilitasi Petisioner, yakni Hendra Rahardja
6. memerintahkan Responden itu untuk membayar biaya-biaya dari perkara.

Mempertimbangkan bahwa di hari pelaksanaan, pengacara-pengacara yang disebut dari kedua


pihak hadir;

Mempertimbangkan bahwa setelah Petisioner telah membaca petisi, Petisioner menyatakan


untuk tetap pada pendiriannya, selagi pada pihak Responden telah diajukan beberapa argumentasi
membalas petisi Petisioner, sebagai berikut;

Pengecualian

1. Bukan Jurisdiksi Tatap Muka Pra Peradilan

A. Di bawah [ketentuan] pasal 77 KUHP;

Pengadilan negeri mempunyai yurisdiksi untuk mendengar dan menuntut pada

a. Benar atau tidaknya satu penangkapan/penghentian, penahanan, perhentian penyelidikan atau


perhentian atau cara bekerja adalah sah menurut hukum;

b. Ganti-Rugi dan atau rehabilitasi seseorang dalam perkara pidana yang harus berhenti di
tingkatan penyelidikan atau cara bekerja;

Bahwa petisi Petisioner pada poin 1 mempetisikan kalau tatap muka pra peradilan diputuskan
tidak syah ;

 Surat perintah penangkapan No. SPP/R/69-M/VIII/1998/DITSERSE Ek. 10 Agustus 1998;

 Surat perintah penangkapan NoLP/182/VII/1998/Serse Ek. 18 Juni 1999

 Salinan dari dari "Pemberitahuan Merah Polisi Internasional" "A1" atas nama Hendra
Rahardja dan surat sumpah dari Rod Wissam ber tanggal 1 Juni 1998

Bukanlah jurisdiksi tatap muka pra peradilan.

Bahwa yurisdiksi tatap muka pra peradilan untuk mendengar prosedur eksekusi penangkapan,
penahanan, perhentian penyelidikan dan perhentian cara bekerja, bukan dari pelaksanaan usaha
pemaksaan merujuk kepada di atas. Petisioner dengan tegas mengajukan petisi kalau tatap muka
pra pengadilan memutuskan surat perintah penangkapan tak syah, yang sungguh-sungguh di luar
yurisdiksi Court;

Yurisdiksi yang terbatas pada tatap muka pra pengadilan di dalam pasal 77 KUHP yang
dirujuk di atas, sehingga petisi Petisioner tentang hal tatap muka pra pengadilan memutuskan tidak
syahnya salinan dari catatan merah Interpol dan surat sumpah dari Rod Wissam bertanggal 1 juni
1998 yang sungguh bukan produk-produk dari responden di luar yurisdiksi tatap muka pra
pengadilan, maka tatap muka pra pengadilan haruslah tidak mengabulkan petisi di luar syarat-
syarat yang dinyatakan di dalam KUHP.
16

B. Seperti pada kasus dengan petisi Petisioner itu pada poin 5 yang jelas di luar yurisdiksi tatap
muka pra peradilan untuk meminta Responden untuk merehabilitasi nama yang baik dari
Hendra Rahardja.

Bahwa yurisdiksi untuk merehabilitasi adalah yurisdiksi tatap muka pra peradilan yang tidak bisa
dipisahkan di dalam keputusan selanjutnya sebagaimana dinyatakandi dalam surat c alinea (3)
pasal 82 KUHP. Oleh karena itu, tatap muka pra peradilan tidak memiliki yurisdiksi kepada
Responden untuk membuat rehabilitasi;

C. Bahwa petisi Petisioner poin 4, mengajukan petisi bahwa Responden membayar suatu ganti-
rugi kepada Petisioner sejumlah Rp.100.000.000,(seratus juta rupiah) segera setelah suatu
keputusan dalam hal ini sudah dilafalkan bukan yurisdiksi tatap muka pra peradilan, maka
tatap muka pra peradilan tidak berhak meminta responden untuk mematuhi permintaan
ganti-rugi.

Permintaan untuk suatu ganti-rugi harus ditujukan kepada negara Republik Indonesia.

2. Keberatan atas kekaburan petisi

a. Bahwa dalam pemahamannya, Petisioner dengan tegas menyatakan bahwa yang


melakukan penangkapan dan penahanan adalah Australian Federal Police, bagaimanapun di dalam
argumentasi atau petisi Petisioner sudah berargumentasi bahwa yang yang melakukan
penangkapan dan penahanan adalah Responden. Itu adalah sungguh-sungguh sangat mengacaukan
dan memunculkan keberatan. Sebagai tambahan terhadap petisi Petisioner menyangkut
penangkapan belum didukung oleh argumen sehingga tidak ada persesuaian antara argumentasi-
argumentasi dan petisi-petisi, memunculkan keberatan;

b. Responden belum pernah mengeluarkan Surat perintah penangkapan NoPol.


LP/182/VII/1998/SERSEEK. 18 Juni 1998 seperti yang dinyatakan di dalam petisi Petisioner poin
1.Yang sama sudah menyebabkan satu ketidak jelasan dalam apa yang dikeluhkan oleh Petisioner
di dalam petisi nya, mengakibatkan petisi Petisioner itu mengaburkan;

3. Sebutan tak tepat pada Responden

Bahwa Petisioner sudah menempatkan Kepolisian Republik Indonesia Cq Tim Penyidik


Pidana Kepolisian Indonesia, Direktorat Penyidikan Pidana Ekonomi., sebagai penyelidik ketika
sungguh-sungguh jelas ia satu lembaga; institusi. Kenyataannya proses tatap muka pra peradilan
berhubungan dengan ketaatan dari aksi-aksi penyelidik. Perkataan tersebut telah mengangkat
ketidak-pastian mengenai siapa yang dituntut;

Yang didasarkan pada pengecualian tersebut di atas, maka adalah layak bagi hakim itu
untuk memutuskan bahwa petisi untuk tatap muka pra peradilan oleh Petisioner itu ditolak atau
sedikitnya tak dapat diterima;

Di Dalam Pokok Materi

1. Bahwa Responden dengan tegas menolak semua argumentasi dari petisi Petisioner itu,
kecuali yang dengan tegas diakui oleh Responden;

2. Apa yang telah digambarkan di dalam bagian perkecualian harus dianggap sebagai dan
tercakup di masalah Pokok Materi;

3. Bahwa suatu tindakan yang jahat dapat dikenal dari suatu laporan.keluhan dari publik,
yang diketahui oleh polisi, atau dari media massa. Seandainya Polisi mengetahui suatu tindakan yang
jahat dengan sendirinya, itu kewajiban nya untuk membuat laporan polisi agar tindakan seperti itu
diteruskan pada mekanisme peradilan tindakan pidana. Seperti dalam laporan polisi No. Pol
Lp/182/VII/1998/-serse. Ek bertanggal 3 jli 1998 dengan tersangka Hendra Rahardja dkk, adalah
penemuan dari kepolisian indonesia sendiri, didukung oleh informasi dari Bank indonesia, sehingga
17

perkataan dalam laporan polisi yang dibuat oleh seorang anggota kepolisian indonesia dan syah
secara hukum;
4. Bahwa tidak ada ketentuan dalam KUHP yang mengatur kalau sebuah laporan polisi harus
diketahui oleh tersangka;
5. Bahwa tindakan pidana yang dilakukan oleh petisioner adalah sebuah delik formal, berarti
adalah Tindakannya, yang dilarang oleh hukum, bukan konsekuensi dari tindakan itu. Maka, dalam
delik formal ini, tidak ada saksi penuntut dibutuhkan. Tindakan pidana yang dilakukan oleh petisioner
adalah membuat ketentuan pinjaman untuk bunga perusahaan nya, menyalahi pembukuan bank
dalam bentuk batas tingkat bunga dan menyalahi entri-entri dalam pernyataan keuangan yang
diterbitkan, tindakan pidana demikian tidak membutuhkan saksi penuntut.
6. Bahwa secara nyata atau hukum, responden belum meletakkan petisioner dalam tahanan.
Yang membuat penangkapan dan penahanan adalah anggota dari Kepolisian Federal Australia;
7. Bahwa petisioner menuruti Kepolisian Federal Australia dilakukan di australia dengan
pencucian uang yang didapat dari tindakan pidana yang dilakukan di indonesia. Pencucian uang yang
dilakukan oleh petisioner di australia dipandang sebagai kejahatan sebagaimana yang diatur dalam
peraturan hukum australia (bagian B1 dan B2 dari Proceeds of Crime Akta 1987 (C.T.H);
8. Untuk pernyataan bahwa pencucian uang oleh petisioner kepolisian federal australia
menangkap petisioner dan menahannya untuk pelanggaran hukum di australia;
9. Bahwa responden akan memiliki hak untuk menangkap dan menahan petisioner hanya
setelah petisioner secara resmi di ekstradisi dari australia ke indonesia;
10. Bahwa responden akan melakukan penyelidikan pada petisioner dengan meneruskan
apa yang telah dilakukan:
a. Mengeluarkan larangan bepergian untuk petisioner dkk beralamatkan pada direktorat
jenderal imigrasi departemen kehakiman republik indonesia denga surat No. Pol:. R/86-
M/VII/1998/Dit.Serse.Ek bertanggal 20 juli 1998;
b. Meletakkan petisioner dalam daftar pencarian orang bernomer No. Pol.: DPO/R/01-
M/VIII/1998/Dit.Serse.Ek bertanggal 24 Agustus 1998;
c. Meminta penerbitan Catatan Merah pada Interpol NCB No Pol R/105-
M/VIII/1998/Dit.Serse.Ek bertanggal 24 Agustus 1998;
d. Surat dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia kepada Mentri Luar Negeri Republik
indonesia No. Pol.: R/520/VI/1999 bertanggal 14 juni 1999 pada permintaan untuk ekstradisi
tersangka berkewarga negaraan indonesia, Hendra Rahardja;
e. Surat menteri kehakiman Republik indonesia pada menteri luar negeri republik indonesia
nomer M.U.M.01-06-222, bertanggal 16 juni 1999, mengenai permintaan ekstradisi tersangka
berkewarga negaraan indonesia, Hendra Rahardja;
11. Penangkapan dan penahanan petisioner kini tetap dalam kewenangan Kepolisian Federal
Australia sebagaimana dinyatakan dalam Australian Code for Criminal Procedure (KUHP Australia)
dan masalah ini telah diakui oleh petisioner dalam petisinya mengenai tatap muka pra peradilan,
sehingga prosedur yang diajukan dalam KUHP indonesia tetap tidak dapat diterapkan oleh responden
pada petisioner;
12. Berdasarkan penjelasan di atas; adalah jelas kalau argumen petisi petisioner tidaklah
benar dan harus ditolak;

Didasarkan pada uraian tersebut di atas, hakim tatap muka pra pengadilan dengan penuh
hormat diminta untuk membuat suatu keputusan dengan pokok-pokok yang berikut:

Di dalam perkecualian:

1. menerima dan mengabulkan eksepsi Responden;

2. Memutuskan bahwa petisi untuk tatap muka pra peradilan ditolak atau sedikitnya tak dapat
diterima;

Di Dalam Materi Pokok Materi

1. untuk menolak petisi untuk tatap muka pra peradilan pada keseluruhan nya

2. untuk meminta biaya-biaya peradilan kepada petisioner


18

Mempertimbangkan itu ke jawaban dari responden, Petisioner sudah memberikan suatu tanggapan
sebagai berikut;

Bahwa pengeluaran dari suatu surat perintah untuk penangkapan dan atau penahanan sungguh-
sungguh membentuk suatu prosedur untuk polisi menangkap atau meahan seseorang. Oleh karena
itu, ketidak syahan surat perintah untuk penangkapan Petisioner mempunyai suatu konsekuensi
yang langsung kepada tidak syahnya tindakan penangkapan Petisioner.

Itu dibuktikan dalam jawaban nya, Responden tidak tanggung jawab untuk penangkapan
Petisioner. Oleh karena itu, prosedur tentang penempatan Petisioner yang ditangkap polisi; ditahan
berdasar pada surat sumpah dari Rod Wissam jo. suatu salinan dari Catatan Merah Interpol terbukti
tak syah. Oleh karena itu itu adalah Petisied yang argumentasi dari Responden menyangkut bukan
yurisdiksi tatap muka Pra Peradilan ditolak atau sedikitnya dinyatakan tak dapat diterima.

Ganti-Rugi dan Rehabilitasi


Petisioner dengan tegas menolak argumentasi-argumentasi dari Responden di halaman 3 surat B
dan C tentang jawaban.

Bahwa di bawah alinea 3 (c) pasal 82 tentang hal: Dalam hal suatu keputusan bahwa satu
penangkapan atau penangkapan adalah tak syah, di dalam keputusan itu harus dinyatakan satu
jumlah untuk ganti-rugi dan rehabilitasi.

Bahwa petisi untuk tatap muka pra peradilan dialamatkan pada Responden. Oleh karena itu, oleh
surat perintah penangkapan dan juga penangkapan dan penahanan terbukti tidak syah , adalah
Responden yang harus diperintah untuk membayar suatu ganti-rugi dan juga rehabilitasi, bukan
para pihak yang lain. Dengan pasti di bawah pasal 81 KUHP, petisi seperti itu haruslah bersama
hakim utama Pengadilan negeri, attn. Hakim mendengarkan kasus , dengan menyebutkan alasan
tersebut.

Oleh karena itu, itu diajukan petisi bahwa argumentasi-argumentasi dari responden di dalam Exsepsi
di atas ditolak atau sedikitnya dinyatakan tak dapat diterima

Keberatan

a. Petisioner terbukti telah ditangkap dan ditahan dari 1 juni 1999 sampai sekarang. Di bawah
alinea (2) pasal 16 KUHP, satu penangkapan dan penangkapan yang haruslah dibuat atas dasar
suatu surat perintah. Terbukti bahwa penangkapan Petisioner itu tidak di akui oleh Responden, di
samping permintaan dari Rod Wissam terdapat di satu surat sumpah ber tanggal 1 Juni 1999 agar
Responden mengeluarkan suatu surat perintah untuk penangkapan sementara adalah juga tidak
dilakukan. Didasarkan pada fakta demikian, petisi Petisioner terbukti tidak kabur;

Bahwa argumentasi-argumentasi dari Responden di dalam eksepsi ini sudah menjamah perihal
Pokok Materi, sehingga Petisioner itu tidak akan lagi mendiskusikan yang sama lebih lanjut dan
mengajukan petisi untuk mengenalkan yang sama tak dapat diterima ;

b. Petisi Petisioner mengenai surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Responden18 Juni
1999 adalah merujuk kepada di dalam argumentasi-argumentasi dari Petisioner di dalam alinea 4 dari
halaman 3, sehingga ex aequo et bono (menurut yang benar dan baik), diajukan petisi kepada Yang
Mulia, kasus Hakim tatap muka ini benar untuk mengabulkan petisi Petisioner itu. Fakta yang
diajukan bukanlah satu ketidak jelasan, karena adalah Responden sendiri dalam jawaban nya di
halaman 3 surat b yang telah dengan salah menulis tahun 1998 yang harusnya 1999;

c. Sebutan Responden adalah benar dan yang akurat. KUHP tidak menetapkan sebutan Responden.
Menyangkut sebutan Responden, itu dapat dilihat dari keputusan-keputusan di dalam kasus-kasus
tatap muka pra pengadilan, suatu keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 07/1982/PraPer
tertanggal 24 Desember 1982 dan suatu keputusan Pengadilan negeri Ujung Pandang jo
keputusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang No.1/1982/PT/Pid.Prp tanggal 7 Januari 1993 dan
banyak lagi yang lain -keputusan tatap muka Pra Peradilan mengenai fakta yang diajukan;
19

Oleh karena itu, itu mengajukan petisi agar eksepsi Responden itu ditolak atau sedikitnya dinyatakan
tak dapat diterima;

Di Dalam masalah Pokok Materi

Bahwa Petisioner dengan tegas menolak argumentasi-argumentasi dari Responden, yang manapun
di dalam eksepsi atau di dalam masalah Pokok Materi;

mengajukan petisi bahwa argumentasi-argumentasi di dalam eksepsi itu dianggap tercakup di


bagian perihal Pokok Materi;

terbukti bahwa sampai 1 Juni 1999 Petisioner itu belum pernah dipanggil untuk pemeriksaan.
Panggilan seperti itu, di bawah pasal 112 KUHP harus menyebutkan (dengan) jelas alasan .
merupakan suatu fakta kalau Petisioner mengikuti pengobatan Pada Bulan Mei 1997, jauh sebelum
Bank Harapan Sentosa dibubarkan;

Bahwa atas jawaban dari Responden ,Responden itu tidak bisa menyangkal bahwa periode
penangkapan suatu hari (24 jam) maksimum (alinea (1) pasal 19 KUHP). Period penahanan adalah
20 hari dan bisa diteruskan oleh Kantor Jaksa untuk masa 40 hari;

seTelah Responden menyimpan suatu permintaan untuk penerusan penangkapan kepada Jaksa
Penuntut umum, periode berkata penerusan akan dilanjutkan, seperti di bawah alinea-alinea (1) dan
(2) pasal 24 KUHP;

Itu adalah jelas di dalam surat sumpah dari Rod Wissam ber tanggal 1 Juni 1999 (perlihatkan PR 6
dan 6a), bahwa Petisioner telah ditangkap, dan adalah jelas bahwa Responden tidak mengakui
penangkapan Petisioner. Sementara di bawah alinea (2) pasal 16 KUHP satu penangkapan bisa
dilakukan oleh instruksi Responden. Oleh karena itu, penangkapan Petisioner terbukti bersifat tak
syah;

terbukti kalau Rod Wissam di dalam surat sumpah nya yang diminta kepada pemerintah di Jakarta/
Responden suatu surat perintah untuk sementara penangkapan Petisioner. Oleh karena itu dengan
tidak dikeluarkannya surat perintah untuk penangkapan Petisioner, terbukti kalau penangkapan
Petisioner 1 Juni 1999 sampai sekarang, baik di Pos Polisi di Sydney atau di penjara Silverwater
adalah tak syah. Oleh karena itu, kami mengajukan petisi bahwa argumentasi-argumentasi dari
responden di halaman 5 titik 9 tak diindahkan.

Terbukti bahwa Responden belum pernah memberi suatu tembusan dari surat perintah
penangkapan/penahanan atau suatu tembusan dari surat perintah penangkapan kepada keluarga
Petisioner, sehingga Responden juga telah melanggar alinea (3) pasal 18 dan alinea (3) pasal 21
KUHP;

Terbukti bahwa didasarkan pada suatu surat Subseksi 16 (1) dalam hubungan dengan Penerimaan
Permintaan Ekstradisi bertanggal 6 Juli 1999, permintaan untuk ekstradisi di bawah suatu nota
Diplomatik No517/PO/VI/99/29 dari Republik Indonesia 28 Juni 1999, (perlihatkan PR -9/9a);

Bahwa terbukti kalau Petisioner sampai ke 1 Maret 2000 belum ditemukan melakukan pidana
apapun juga di Australia, hal yang sama yang dinyatakan oleh Hanya Periksa nama Sertifikat
Kepolisian (Police Certificate-name Check Only ) bertanggal 1 Maret 2000, yang dikeluarkan oleh
Australian Federal Police (perlihatkan PR-4). Yang didasarkan pada bukti tersebut kami mengajukan
petisi bahwa argumentasi-argumentasi dari Responden di halaman 5 poin-poin 7, 8 tak diindahkan.
Dan oleh karena itu, terbukti tidak lah benar bahwa Petisioner sudah ditangkap karena suatu kasus
yang terpisah di Australia di kasus pencucian uang;

Didasarkan pada argumentasi-argumentasi tersebut, penangkapan dan penahanan Petisioner


terbukti tak syah, atas alasan ini pemohon mengajukan petisi kepada Hakim Kepala dari Pengadilan
Wilayah Jakarta Selatan Attn. Hakim tatap muka kasus aquo untuk dengan segera melepaskan;
membebaskan Petisioner/Hendra Rahardja dari penjara;
20

Mempertimbangkan lebih lanjut, untuk mengkonfirmasikan argumentasi-argumentasi dari petisi nya,


Petisioner sudah disajikan cukup bukti-bukti dalam bentuk dokumen yang dicap terdiri dari;

1. PR - 1 : Sertifikat Laporan Polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse Ek 3 Juli 1998;

2. PR -2: Surat Kantor dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Kepala Regu Penyidik Pidana
Kepolisian Indonesia attn. Direktur untuk Penyidikan pidana Ekonomi bertanggal 23 Pebruari 1998,
Perihal; Pemberitahuan dari ketidaklengkapan hasil penyidikan;

3. PR -3: Surat dari Kantor dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Kepala Regu Penyidik Pidana
Kepolisian Indonesia attn. Direktur untuk Penyidikan pidana Ekonomi bertanggal 23 Pebruari 1999,
Perihal; pengembalian kasus untuk penyelesaian;

4. PR -4: Surat dari Australian Federal Police, Perihal: Sertifikat Polisi - Hanya periksa Nama,
tanggal 1 Maret 2000;

5. PR -5: Surat Perintah Penangkapan No.Pol,:SPP/R/47/M/VI/1999/Ditserse.Ek. 18 Juni 1999 atas


Hendra Rahardja;

6. PR -6: Terjemahan surat sumpah dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1999;

7. PR -6a: Surat sumpah dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1999

8. PR -7: Pernyataan Buntoro Hasan tertanggal 5 Juni 2000;

9. PR -8: Pernyataan O.C.Kaligis, SH. 14 Juni 2000;

10. PR -9: Terjemahan Pemberitahuan pada Subseksi 16 (1) dalam hubungan dengan Penerimaan
Permintaan Ekstradisi dari Kementrian Keadilan dan Cukai (Minister for Justice and Customs) dari
Commonwealth of Australia tertanggal Juli 6th 1999;

1. PR -9a: Pemberitahuan pada Subseksi 16 (1) dalam hubungan dengan Penerimaan Permintaan
Ekstradisi
Mempertimbangkan bahwa Responden dalam mengkonfirmasikan kesaksiannya juga telah
memberikan cukup bukti-bukti dalam bentuk dokumen yang dicap terdiri dari :

1. T -1: Laporan Polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek 3 Juli 1998.

2. T -2: Jaminan Penyidikan no.Pol.SPP/R/46-M/VII/1998/Ditserse.Ek tertanggal 20 Juli 1998;

3. T -3: surat dari Responden kepada Direktur Jenderal Imigrasi departemen kehakiman Republik
Indonesia No.Pol.R/86-M/VII/DITSERSE.EK.tertanggal 20 Juli 1998 mengenai bantuan di dalam
mencegah tersangka Hendra Rahardja dkk dari Keluar negeri;

4. T -4: Daftar Pencarian Orang No.Pol,:DPO/R/01-M/VIII/98/DITSERSE.EK 24 Agustus 1998;

5. T -5: Surat dari Responden itu ke pada Kaset NCB -Polisi internasional NoPol,:R/105/M/VIII/98
tertanggal 24 Agustus 1998 Atas Permintaan untuk Pengeluaran peringatan merah;

6. T -6: Surat dari Kepala Polisi Indonesia kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia NoPol.:
R/520/VII/1999 tertanggal 4 Juli 1999 Atas Permintaan untuk Ekstradisi tersangka warga negara
Indonesia, Hendra Rahardja;

7. T -7: Surat dari Menteri Kehakiman kepada Menteri luar negeri Republik Indonesia nomer
M.UM.01.06-222 tertanggal 16 Juni 1999 Atas Permintaan untuk Ekstradisi tersangka warga negara
Indonesia, Hendra Rahardja;

Mempertimbangkan Petisioner dan Responden sudah menyajikan kesimpulan,isi-isi Yang Mana


untuk memendekkan keputusan mengacu pada kesimpulan-kesimpulan berkait dengan saat-saat
tatap muka yang membentuk satu bagian integral dari keputusan ini;
21

Mempertimbangkan bahwa objeck dan tujuan-tujuan dari petisi Petisioner itu adalah sebagai yang
tersebut di atas;

Mempertimbangkan bahwa pada prinsipnya petisi Petisioner itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa Responden pada 3 Juli 1998 telah membuat suatu Laporan Polisi
No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek. atas suatu tindakan kejahatan perbankan sebagai yang
ditetapkan di pasal 49 Akta No. 7 /1992 mengenai perbankan jo pasal 55 dan 56 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang dilakukan oleh Hendra Rahardja, Presiden komisaris Bank Harapan
Sentosa, dan para rekan;

 Bahwa Petisioner belum pernah menerima maupun diberitahukan Polisi tentang status
tersangka yang diberikan kepada petisioner dan dipanggil untuk interogasi menyangkut isi
Laporan Polisi;
 oleh karena itu, surat perintah penangkapan Petisioner No. Pol.SPP/R/69-
M/VIII/1998/Ditserse.Ek tertanggal 10 Agustus 1998 tidak mempunyai landasan hukum dan
oleh karena itu isi Surat perintah penangkapan tak syah;
 Bahwa pada 23 Pebruari 1999 Kantor dari kejaksaan tinggi DKI Jakarta menyatakan;
bahwa ringkasan kasus atas nama orang yang dicurigai Drs. Andre Widiyanto dan para
teman yang dirujuk oleh markas besar kepolisian Indonesia itu tidak lengkap;
 Bahwa pada 13 April 1999 Kantor dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengirim suatu surat
kepada kepala kesatuan penyidik pidana kePolisian Indonesia mengenai jumlah
penyelidikan maksimum oleh Markas Besar Kepolisian dan instruksi untuk mengirim
ringkasan kasus dan orang yang dicurigai supaya Kantor Kejaksaan Tinggi bisa
melaksanakan pengujian tambahan;
 sesudah itu pada 1 Juni 1999 Petisioner ditangkap dan dibawa ke Pos Polisi di Sydney
berdasar pada satu peringatan merah Interpol tertanda "A1" berisi suatu pemberitahuan
suatu surat perintah untuk penangkapan Petisioner oleh seorang anggota Australian Federal
Police. Lalu ,Rod Wissam seorang anggota Australian Federal Police pada 1 Juni 1998
membuat satu surat sumpah yang berisi suatu permintaan untuk pengeluaran/emisi dari
suatu surat untuk penahanan sementara Petisioner. Surat sumpah oleh seorang anggota
Australian Federal Police sungguh-sungguh tidak menepati prosedur berlaku, sehingga itu
kami mengajukan petisi bahwa isi surat sumpah adalah tak syah;
 didasarkan pada fakta tersebut di atas, penangkapan dan penahanan Petisioner pada 1 Juni
1999 tidak mempunyai landasan hukum dan harus dinyatakan; tak syah;
 Bahwa di bagian 20 KUHP (KUHAP) periode penangkapan adalah 24 jam, namun Petisioner
sampai3 Juni 1999 masih ditahan di Pos Polisi Sydney dan 4 Juni 1999 ditransfer ke
Silver Water Prison di Sydney hingga kini tanpa alasan-alasan dan pertimbangan sah
menurut hukum;
 Bahwa di bagian 20 alinea jo (1) dan (2) bagian 24 KUHP, penyelidik hanya diberi hak untuk
menangkap untuk masa 20 hari dan bisa diperluas oleh jaksa penuntut umum untuk 40 hari.
Di bawah alinea (4) pasal 24 KUHP setelah 60 (enam puluh) hari, penyelidik itu harus
melepaskan; membebaskan orang yang dicurigai dari penjara atas nama hukum;
 oleh karena itu, Surat penangkapan Petisioner No.Pol .SPP/R/48/M/1999/Ditserse.Ek
tertanggal 18 Juni 1999 tidak mempunyai landasan hukum, sehingga isi surat perintah tak
syah, maka petisioner sudah harus bebas dari Silver Water Prison;
 Bahwa keluarga Petisioner atau pengacara nya belum pernah menerima pemberitahuan
penangkapan Petisioner sebagai yang diperlukan oleh paragraph (3) pasal 21 alinea jo (3)
pasal 18 KUHAP, smaka Petisioner sudah harus bebas dari penjara atas nama hukum;
 Bahwa Petisioner tadinya ke luar negeri untuk pengobatan jauh sebelum ada Laporan Polisi
No. Pol.LP/192/VII/1998/Serse.Ek tertanggal 3 Juli 1998;
 Bahwa di bagian 81 KUHP, untuk tidak syahnya penangkapan atau penahanan suatu
ganti-rugi dan rehabilitasi bisa dituntut dan untuk alasan itu Petisioner menuntut ganti rugi
kerusakan Petisioner pada responden sejumlah I.D.R.100.000.000, segera setelah suatu
keputusan dalam hal ini diumumkan dan Responden itu harus merehabilitasi nama baik dari
Petisioner;
22

Mempertimbangkan bahwa Responden dalam jawaban nya sudah menyajikan sanggahan-


sanggahan

Halaman 78-80 tidak ada

Diikuti dengan pembuatan sebuah laporan polisi dan sesudah itu oleh proses pengadilan. Lalu
suatu Laporan Polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek tertanggal 3 Juli 1998 dibuat dengan orang
yang dicurigai di antaranya, Hendra Rahardja;

3. Bahwa tidak ada ketetapan di dalam KUHP (KUHAP) tentang hal laporan polisi harus
diberitahukan kepada orang yang dicurigai;

4. Bahwa kejahatan yang dituduhkan untuk Petisioner itu adalah suatu delik yang formal tidak
memerlukan kehadiran dari seorang saksi penuntut umum;

5. Bahwa secara nyata atau secara hukum Responden tidak [pernah] menangkap atau menahan
Petisioner. Yang membuat penangkapan dan penahanan adalah seorang anggota Australian
Federal Police;

6. pemohon dituntut Australian Federal Police melakukan pencucian uang di Australia dari
kejahatan yang dilakukan di Indonesia, yang di Australia dipandang sebagai suatu kejahatan seperti
yang dinyatakan di dalam hukum umum dari Australia (bagian 81 dan 82 dari Proceeds of Crime Akta
1987);
7. Oleh karena tindakan pencucian uang, Australian Federal Police menangkap dan menahan
Petisioner karena ia telah dicurigai melanggar hukum dari Australia;

8. Bahwa Responden akan diberi hak untuk menangkap atau menahan Petisioner hanya setelah
Petisioner telah secara resmi diserahkan dari Australia ke Indonesia.

9. Bahwa dalam menyelesaikan penyelidikan Petisioner, hal-hal berikut telah diambil:

a. Mengeluarkan larangan bepergian Petisioner dkk untuk keluar negeri beralamatkan


Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum Republik Indonesia dengan surat
No.Pol.R/86-M/VII/1998/Ditserse.Ek tertanggal 20 Juli 1998;
b. Menempatkan Petisioner di dalam daftar Pencarian Orang dengan No.Pol.DPO/R/01-
M/VIII/1998/Dit.Serse.Ek tertanggal 22 Agustus 1998;
c. Permintaan untuk pengeluaran dari suatu Pemberitahuan merah kepada Polisi
Internasional NCB No.Pol.R/05-M/VIII/Ditserse.Ek tertanggal 24 Agustus 1998;
d. Surat dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia kepada Menteri Kehakiman Republik
Indonesia No.Pol.R/520/VI/1999 atas permintaan untuk ekstradisi suatu orang yang dicurigai
ber Kebangsaan Indonesia, Hendra Rahardja:
e. Surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia kepada menteri luar negeri Republik
Indonesia nomer M.U.M.01.06-222 tertanggal 16 Juni 1998 atas permintaan untuk
ekstradisi seorang warganegara Indonesia. Hendra Rahardja;

10. penangkapan dan penahanan Petisioner sekarang ini tetap sebagai yurisdiksi Australian Federal
Police seperti yang dinyatakan di dalam KUHP australia dan perihal ini sudah diakui oleh
Petisioner dalam petisi nya untuk tatap muka pra peradilan, sehingga prosedur di dalam KUHP
(KUHAP) tetap tidak sesuai oleh Responden kepada Petisioner;

Mempertimbangkan bahwa dari alasan-alasan yang diberikan oleh Petisioner atau yang diberikan
oleh responden dalam kesaksian/sanggahan nya, telah ditemukan fakta-fakta yang tidak perlu
dibuktikan lagi karena telah diakui oleh Petisioner dan Responden atau tidak ditolak, sebagai
berikut;

1. Bahwa benar Responden sudah membuat Laporan Polisi No.Pol.LP/182/VII/1998/Serse.Ek.


tanggal 3 Juli 1998;
2. Bahwa benar Petisioner sudah dimasukkan ke daftar pencarian orang terdaftar
No.Pol.DPO/R/01-M/VIII/1998/Ditserse.Ek tertanggal 24 Agustus 1998;
23

3. Bahwa benar Responden sudah meminta untuk pengeluaran dari Pemberitahuan merah kepada
NBC Interpol dengan surat No.Pol.R/105-M/VIII/1998/Ditserse.Ek. A24 agustus 1998 ;
4. Bahwa benar Petisioner (Hendra Rahardja) sekarang di dalam penahanan Australian Federal
Police di Sydney;
5. Bahwa benar kalau Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sudah mengembalikan ringkasan
kasus untuk diselesaikan oleh Responden dan sudah memberitahu Responden tentang
penyelidikan yang tidak sempurna;
6. Bahwa itu benar Responden sudah meminta pemerintah australia melalui menteri kehakiman dan
menteri luar negeri Indonesia untuk menyerahkan Hendra Rahardja/Petisioner ke Indonesia;
7. Bahwa benar Responden belum pernah memberitahu keluarga atau penasehat hukum mengenai
penangkapan dan penahanan petisioner di Australia;

3. Mempertimbangkan bahwa sebagai tambahan terhadap fakta-fakta atau argumentasi-argumentasi


yang di anggap tepat masih tersisa beberapa hal-hal hukum untuk dibuktikan, sebagai berikut;
1. Siapa sebenarnya yang menangkap dan atau menahan Hendra Rahardja di Negara Federal
Australia, tepatnya di Silver Water Prison. Sydney, atau apakah penangkapan dan penahanan
petisioner oleh Australian Federal Police adalah karena melakukan pencucian uang yang menurut
hukum australia dianggap sebagai kejahatan, atau apakah penangkapan atau penahanan
Petisioner di Australia sudah diakibatkan oleh permintaan bantuan dari Kepolisian Republik
Indonesia dimana Responden bisa secara langsung atau melalui agen atau badan Interpol

2. Apakah penangkapan dan penahanan Hendra Rahardja sesuai dengan peraturan-peraturan


hukum mengenai penangkapan dan/atau penahanan seperti yang diberikan dalam bagian 18 pasal
(1) pasal (3) bagian 19 pasal (1) bagian 21 pasal (1) dan pasal (3) dan bagian 24 pasal (1) dan (2)
dari KUHP;

3. Dapatkah Responden dibebankan kewajiban untuk membayar kompensasi sesuai dengan S.95
dan 96 KUHP;

4. Dapatkah Pra Peradilan membatalkan atau menyatakan cacat suatu surat atau dokumen yang
diterbitkan oleh suatu orang atau lembaga asing yang di dalam KUHP tidak memiliki kebenaran
terutama di dalam syarat-syarat yang berhubungan dengan pra peradilan.

Pertimbangkan; bahwa karena ada keberatan di dalam tanggapan penjelasan responden, sebelum
mempertimbangkan hal-hal yang pokok tersebut di atas, hal-hal yang berkeberatan di atas harus did
ahulukan sebagai berikut;

o Bahwa keberatan Responden itu kepada petisi Petisioner pada poin 1 di samping yang
disebutkan di sini di bawah haruslah dipertimbangkan bersesuaian dengan pokok materi ;
o Bahwa menyangkut keberatan Responden kepada petisi Petisioner itu tentang hal tatap
muka pra peradilan menyatakan tak syah salinan dari Pemberitahuan merah Interpol
bernomer "A1" atas nama Hendra Rahardja dan surat sumpah dari Rod Wissam tertanggal 1
Juni 1998 keberatan itu a bisa diterima karena perihal itu di luar lingkup yurisdiksi tatap muka
pra peradilan, lebih dari itu pemberitahuan itu dikeluarkan oleh suatu kesatuan orang atau
lembaga asing; institusi tidak tunduk kepada hukum Indonesia , sehingga petisi Petisioner
itu untuk kasus ini haruslah dinyatakan tak dapat diterima;
o Bahwa menyangkut keberatan-keberatan responden di dalam sub B dan C karena mereka
mempunyai kaitan dengan pokok materi, mesti dipertimbangkan perintah pengadilan dengan
isi pokok;

1. Siapa yang sesungguhnya menangkap dan/atau menahan Hendra Rahardja di Silverwater Gaol,
Sydney? apakah pemita ditagkap ata ditahan oleh Australian Federal Police karena ia telah
melakukan satu tindakan pencucian uang yang menurut hukum Australia adalah suatu tindakan
yang jahat atau peminta ditangkap dan ditahan di Australia atas dasar permintaan bantuan
oleh Polisi Indonesia itu baik secara langsung dan via agen atau lembaga Interpol?
2. Apakah penangkapan atau penahanan Hendra Rahardja /Petisioner selaras pada ketentuan
hukum penangkapan dan/atau penahanan seperti yang dinyatakan di dalam alinea (1) dan
alinea (3) pasal 18, alinea (1) pasal 19, alinea (1) dan alinea (3) pasal 21, seperti juga alinea (1)
dan (2) pasal 24 KUHP;
24

3. Apakah Responden itu dapat dikenakan pada suatu ganti-rugi di bawah pasal-pasal 95 dan 96
KUHP;

4. Apakah tatap muka pra peradilan dapat membatalkan atau menyatakan takberlakunya setiap
surat atau dokumen yang dikeluarkan oleh setiap orang atau agen yang asing atau KUHP
(KUHAP) tidak dapat diterapkan, terutama peraturan tatap muka pra peradilan;

Mempertimbangkan bahwa karena kehadiran Eksepsi di dalam kesaksian/jawaban dari Responden,


sebelum mempertimbangkan pokok materi matter tersebut di atas, pertama-tama harus
dipertimbangkan hal-hal di dalam eksepsi di muka berisi hal-hal sebagai berikut:

1. Mengenai Jurisdiction tatap muka Pra Peradilan.

Pasal 77 KUHP menetapkan bahwa Pengadilan negeri akan mempunyai yurisdiksi untuk
mendengar dan memutuskan sesuai dengan syarat di dalam Akta ini mengenai:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian dari suatu pengujian atau
penuntutan adalah valid.
b. Mengenai ganti-rugi dan/atau rehabilitasi untuk seseorang dimana tingkat penyelidikan
atau penuntutannya dibatalkan.

2. Keberatan

Bahwa keberatan-keberatan Responden di dalam surat a dan b sudah menjamah masalah utama,
sehingga pertimbangan dari perihal ini haruslah selaras dengan pertimbangan pokok materi ;

3. Sebutan taktepat Responden

Bahwa keberatan Responden dalam hal ini haruslah ditolak, karena yang diakui oleh Responden,
Responden adalah satu lembaga; institusi, semetara fungsi dan tugas-tugas penyelidikan adala
bagian integral dari fungsi dan tugas-tugas dari kepolisian Republik Indonesia Cq kesatuan
penyelidikan pidana , Direktorat penyidikan pidana secara umum;

Di Dalam Pokok Materi


Mempertimbangkan sebagai tersebut di atas beberapa permasalahan utama untuk dibuktikan tatap
muka pra peradilan akan mempertimbangkan; menganggap isi permasalahan sebagai berikut:

1. untuk yang sudah benar-benar menangkap dan atau menahan Petisioner di Sydney, Australia;

Mempertimbangkan bahwa Responden menolak telah menangkap dan atau menahan Petisioner
dan jika Petisioner itu ditangkap Australian Federal Police ,itu adalah karena Petisioner telah
melakukan pencucian uang di Australia yang di bawah hukum australia merupakan satu tindakan
yang dapat dikenakan penuntutan;

Mempertimbangkan meskipun demikian Responden gagal untuk membuktikan isi pengingkaran;

Bahwa berdasar pada bukti yang diperkenalkan oleh Petisioner dalam wujud suatu surat dari
Australian Federal Police tertanggal 1 Maret 2000 di suatu Police Certificate -Sebut Check saja
(perlihatkan PR-4), Petisioner dibuktikan tidak dicatatkan sebagai suatu pelanggar hukum di
Australia. Isi bukti dalam bentuk dokumen tidak ditolak oleh Responden, sehingga itu tidak beralasan
dan tidaklah jelas bahwa Petisioner sudah ditangkap oleh Australian Federal Police oleh karena
pencucian uang;

Bahwa sebaliknya berdasar pada barang yang dipamerkan T-5 dari Responden dalam wujud suatu
surat kepada Ka.Set.NCB Interpol No.Pol.R/105-M/VIII/1998/Ditserse tertanggal 24 Agustus 1998,
itu adalah jelas Bahwa Responden meminta bantuan kepada KaSet NCB Interpol untuk
menginformasikan pada interpol setiap tempat yang menjadi tempat persembunyian orang yang
dicurigai (Hendra Rahardja), di antaranya, Hongkong. Republik Rakyat China, Amerika Serikat,
25

Australia, Malaysia, Macau dan negara-negara lain, dan sesudah itu untuk menangkap dan
menahan dia ketika ditemukan;

Bahwa memperlihatkan T-6 adalah tindak lanjut dari Laporan Polisi no.Pol.LP/182/VII/Serse.Ek
tertanggal 3 Juli 1998 dan No.Pol.LP/197/VII/SIAGA-2 tertanggal 17 Agustus 1998 seperti juga Surat
penyelidikan No.Pol.SPP/R/46-M/VII/1998/Ditserse.Ek tertanggal 20 Juli 1998.

Bahwa dari barang yang dipamerkan PR-5 dari penangkapan Petisioner Hendra Rahardja
No.Pol.SPP/R/47/M/VII/1999/Ditserse.Ek tertanggal 18 Juni 2000 dalam hubungan dengan
memperlihatkan PR-6 dalam wujud surat sumpah dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1999 yang
dieksekusi di hadapan David Stevens, pengumpul derma dari Mahkamah Agung dari New South
Wales di bawah sumpah, adalah jelas bahwa Responden dengan satu Surat perintah penangkapan
No.Pol.SPP/R/69-M/VIII/Ditserse.Ek sudah menginstruksikan untuk penangkapan Petisioner.

Bahwa sebagai tambahan Responden itu diminta untuk mengeluarkan satu surat penangkapan,
tetapi itu tidak pernah dilaksanakan hingga kini.

Bahwa bisi tiga barang yang dipamerkan T-5, PR-5, dan PR-6 bersifat saling berhubungan:

Bahwa suatu surat T-6 adalah dalam wujud suatu permintaan untuk ekstradisi orang yang dicurigai
Hendra Rahardja beralamatkan menteri hukum (surat Responden No.Pol.R/52/VI/1998) di mana,
pada point 2 isi surat, Responden dengan tegas menyatakan; mengumumkan bahwa Hendra
Rahardja di dalam status tahanan sementara kepolisian Australia;
Mempertimbangkan bahwa dari isi barang yang dipamerkan dapat disimpulkan bahwa
penangkapan dan penahanan Hendra Rahardja di Australia bukan oleh karena pencucian uang yang
dilakukan oleh Responden di Australia, namun ini dirancang dan di perintahkan oleh Responden
melalui Interpol agar Australian Federal Police penangkapan dan menahan Petisioner sebagai tindak
lanjut dari penyelidikan kasus yang dituduhkan atas tindakan perbankan oleh Petisioner dan teman-
teman;

Mempertimbangkan bahwa barang yang dipamerkan PR-9/9a dalam wujud suatu subseksi
pemberitahuan menurut 16 (1) dalam hubungan dengan Permintaan ekstradisi Pemerintah Indonesia
tertanggal 28 Juni 1999, Catatan Diplomatik No157/PO/VI/99/29 sangat sesuai dengan barang yang
dipamerkan T-6 dan T-7 atas permintaan untuk ekstradisi Hendra Rahardja;

Bahwa memperlihatkan PR-9/9a adalah jawaban atas permintaan ekstradisi dari Responden melalui
Menteri Kehakiman dan menteri Dalam Negeri pada prinsipnya mengabulkan isi permintaan
ekstradisi;

Mempertimbangkan bahwa ada waktu lama untuk Responden menyusun ekstradisi Petisioner,
sementara Petisioner belum pernah menolak ekstradisi nya, walaubegitu Responden tidak lagi
mempertimbangkannya, itu bahkan merujuk kasus kepada Kantor kejaksaan tinggi menghasilkan
kembalinya ringkasan kasus untuk penyelesaian ( memperlihatkan PR-2 dalam wujud suatu surat
dari Kantor dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada kepala kesatuan penyidikan kepolisian
Indonesia . Attn. Direktorat penyidik pidana ekonomi tertanggal 23 Pebruari 1998);

Mempertimbangkan bahwa kealpaan dari Responden itu untuk mematuhi isi surat perintah Australia
(PR-9/9A) dan suatu surat kejaksaan tinggi DKI Jakarta (PR-2) sudah menimbulkan penangkapan
Petisioner diperpanjang.

Mempertimbangkan bahwa di bawah alinea (3) pasal 18 KUHAP. suatu tembusan dari surat
perintah penangkapan seperti yang diperkenalkan di dalam alinea (1) haruslah dikirimkan kepada
keluarga nya segera setelah penangkapan dilakukan;
Bahwa dari bukti yang diperkenalkan oleh Responden tidaklah terbukti bahwa Responden sudah
mengirim suatu tembusan kepada keluarga Petisioner yang sungguh-sungguh menjadi suatu
pelanggaran peraturan tersebut di atas.

Bahwa surat perintah yang yang harusnya telah disampaikan dan yang dikirimkan kepada keluarga
Petisioner itu adalah sungguh-sungguh tidak dimaksudkan sebagai satu persyaratan yang
administratif, tetapi lebih sebagai ujud satu bagian integral dari proses dan mekanisme untuk
26

penggunaan tindakan koersif pada kejahatan yang dituduhkan pada seseorang, bukan tidak
termasuk Petisioner;

Mempertimbangkan bahwa kewajiban untuk mengirimkan suatu tembusan kepada keluarga orang
yang dicurigai itu dimaksud untuk melindungi hak-hak dasar orang yang dicurigai untuk
memungkinkan keluarga atau penasehat hukum dari orang yang dicurigai itu untuk memfile
keberatan-keberatan jika penangkapan orang yang dicurigai tidak memiliki landasan hukum atau
ada suatu pelanggaran prosedur dari penangkapan;

Bahwa sebagai tambahan sejak 1 Juni 1999 Petisioner sudah ditangkap hingga kini, di samping
tidak disertai oleh satu surat perintah seperti yang ditetapkan oleh alenia (2) bagian 21 dan alinea
(2) bagian 21 KUHAP, penyerahan dari suatu tembusan di sana berangkat keluarga Petisioner itu.
Meski penangkapan dan atau penahanan disertai dengan sebuah surat quad non , telah ada
pelanggaran periode penahanan yang bisa diberlakukan bagi orang yang dicurigai oleh penyelidik
seperti yang dinyatakan di dalam alinea-alinea (1) dan (2) dari bagian 21 KUHP.

Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, demi keadilan


dan kebenaran yang dituntut oleh setiap "yang dapat dibenarkan" termasuk penangkapan dan atau
penahanan Petisioner yang dilaksanakan oleh Responden haruslah dinyatakan tak syah dan
karena itu Petisioner haruslah dengan segera bebas dari penjara;

Mempertimbangkan bahwa bagian 81 dan 82 KUHP menetapkan bahwa semua permintaan untuk
kompensasi dan atau rehabilitasi oleh karena penangkapan dan atau penahanan yang tidak syah
haruslah dibawa ke pada suatu Pengadilan negeri dengan menyebutkan alasan nya;

Bahwa sebagai tambahan bahwa, alinea (1) bagian 95 menetapkan bahwa suatu orang yang
dicurigai, haruslah berhak mendapatkan ganti-rugi karena ditangkap, dan atau ditahan, atau
karena tindakan lain tanpa landasan hukum atau oleh karena; kesalahan atau penyalahgunaan
hukum;

Mempertimbangkan bahwa di bawah pasal 81 dan alinea (1b) bagian 82 seperti juga alinea (1) dan
(2) pasal 95 KUHP hak untuk menuntut ganti-rugi dan rehabilitasi haruslah yurisdiksi tatap muka pra
peradilan sehingga keberatan-keberatan Responden di perihal ini haruslah ditolak;

Mempertimbangkan bahwa karena Responden sudah melakukan penangkapan dan penahanan


yang tak syah haruslah memberikan pembayaran untuk kemungkinan kerusakan yang dianggap
wajar di depan hukum seperti yang disebut di dalam pokok-pokok dari keputusan ini;

Mempertimbangkan bahwa klaim dari Petisioner tentang peringatan merah interpol bertanda "A1" di
dalam surat sumpah dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni yang dinyatakan; tak syah diumumkan tak
dapat diterima ; karena di luar yurisdiksi tatap muka pra peradilan;

Mempertimbangkan bahwa menyangkut petisi untuk rehabilitasi oleh Petisioner, pengadilan akan
memutuskan seperti yang diperkenalkan di dalam pokok-pokok dari keputusan;

Mempertimbangkan bahwa sudah diajukan petisi kepada pengadilan untuk mengeluarkan suatu
keputusan ex aequo et bono (secara hukum dan kewajaran) seperti juga secara hukum, pengadilan
akan menentukan pokok-pokok dari suatu keputusan di kasus ini;

Mencatat pasal 77 dan pasal menyangkut kasus ini di Akta No8/1981 di KUHAP ;

MEMUTUSKAN

1. Untuk mengabulkan petisi Petisioner

2. Untuk menyatakan penangkapan dan penahanan Petisioner oleh Responden sebagai tak syah;

3. Untuk membebankan Responden untuk dengan segera melepaskan; membebaskan Petisioner


(Hendra Rahardja)
27

4. Untuk membebankan Responden membayar suatu ganti-rugi kepada Petisioner sejumlah


I.D.R.1.000.000,(satu juta Rupiah):

5. untuk merehabilitasi hak-hak dari Petisioner di dalam status nya, martabat dan nama baik;

6. Untuk menyatakan sisa dari petisi Petisioner tidak dapat diterima.

Dengan saksi keputusan ini dilafalkan dalam satu pengadilan yang terbuka hari jumat 23 Juni
2000 oleh saya, H.ABDUL MADJID RAHIM.S.H., selaku Hakim tatap muka Pra Peradilan di
Pengadilan negeri Jakarta Selatan, yang dibantu oleh JUL RIZAL.S.H., sebagai suatu Notaris
pengganti, dan di hadapan pengacara dari Petisioner dan pengacara dari Responden di tatap muka
Pra Peradilan ;

Juru(tulis) Pengganti, hakim

(- JUL RIZAL.S.H.) (H. ABDUL MADJID RAHIM,SH.)

Salinan benar

diberikan kepada dan atas permohoan

Pengacara dari Pemohon


28

Bab 8

Nota
permohonan
kepada
mahkamah
agung

diterima Divisi Permohonan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan


Tanggal/ :17 Juli 2000

Jakarta, 17 Juli 2000 Divisi Permohonan

No.Pol.60/Pra/VII/2000 Manuntungi,SH.
29

(- Tepat Menandatangani)

Ke

Yang Mulia kepala Mahkamah Agung Republik Indonesia

Jalan Medan Merdeka Utara 9-13

Jakarta Pusat

Via:

Kantor Notaris pengadilan negeri Jakarta Selatan

Perihal:

Nota permohonan kepada Mahkamah Agung dari putusan Pra Peradilan pengadilan negeri Jakarta
Selatan No.07/PID/PRAP/2000/PN.JAK.SEL. 23 Juni 2000

antara

kePolisian Indonesia, dalam hal ini Tim penyelidik kepolisian indonesia. dalam hal ini direktorat
penyidikan ekonomi sebagai pemohon (sebelumnya sebagai responden Pra Peradilan)

dan

HENDRA RAHARDJA

Sebagai Responden permohonan (sebelumnya sebagai pemohon Pra Peradilan)

Dengan penuh hormat.

Yang bertanda tangan, Drs. Alfons Loemau,SH., MSI, MBUS, dari tim penyidik kePolisian
Indonesia , Jalan Trunojoyo Nomor 3.Jakarta Selatan, dalam hal ini Akta atas nama dan mewakili
kepolisian Indonesia , dalam hal ini kesatuan penyidik, dalam hal ini direktorat penyidikan
ekonomi, atas dasar satu surat kuasa permohonan khusus tertanggal 30 Juni 2000 yang
disampaikan kepada kantor Notaris pengadilan negeri Jakarta Selatan tanggal 4 Juli 2000
selanjutnya untuk disebut pemohon (sebelumnya sebagai responden Pra Peradilan)

Pemohon di sini menyerahkan suatu nota untuk satu permohonan kepada Mahkamah Agung atas
putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan No.07/PID/PRAP/2000/PN.JAK.SEL tertanggal 23 Juni
2000 di dalam kasus pra pengadilan antara Pemohon dan:

Hendra Rahardja dari Jalan Widya Chandra V No. 21, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut
RESPONDEN permohonan(tadinya/dahulu pemohon pra peradilan).

Di muka putusan yang dibuat pengadilan negeri Jakarta Selatan yang diputuskan pada 23 Juni 2000
dan melanjutkan Pemohon yang memohon kepada Mahkamah Agung yang dicatat oleh kantor
notaris Pengadilan negeri Jakarta Selatan 4 Juli 2000. Nota untuk permohonan ini diajukan
Pemohon pada 17 Juli 2000.

Oleh karena itu, permohonan dan nota permohonan dikerjakan di dalam batasan waktu dan dengan
cara yang diizinkan di depan hukum:

Untuk memperkuat argumentasi-argumentasi Pemohon itu, di dalam nota untuk permohonan,


Pemohon menyediakan bukti tambahan, yaitu :
30

1. Akta No1/1979 mengenai Ekstradisi (perlihatkan TA-1);

2. Akta No8/1994 mengenai keabsahan ekstradisi, Persetujuan antara Indonesia dan Australia
(perlihatkan TA-2);

3. Persetujuan antara Indonesia dan Australia mengenai bantuan balik dalam masalah pidana
(perlihatkan TA-3);

4. Laporan penyelidikan oposisi Responden permohonan kepada ekstradisi di Pengadilan


Sydney (perlihatkan TA-4);

5. Surat dari Departemen pengacara umum australia tertanggal 11 Juli 2000 (perlihatkan TA-5);

6. Pasal dari penerbitan harian Suara Pembaruan tertanggal 9 Juli 2000 yang berjudul "Sekretaris
Polisi Internasional Indonesia: Extradisi Hendra Rahardja belum dibahas" (perlihatkan TA-6):

7. Artikel dari penerbitan mingguan Gatra edisi 15 Juli 2000 halaman 39 yang berjudul "hakim itu
adalah korban Hendra : putusan pra peradilan di dalam kasus Hendra Rahardja melawan kepala
kePolisian Indonesia dipandang sebagai suatu kelalaian. hakim itu diajukan kembali"(exhibit TA-7).

Putusan yang tersebut diatas dari pra peradilan pengadilan negeri Jakarta Selatan
No07/PID/PRAP/2000/PN . JAK .SEL tanggal 23 JUNI 2000 menyangkut yang telah ada dibuat satu
aplikasi untuk memohon, berisi aturan yang berikut;

PUTUSAN

1. Untuk mengabulkan petisi Petisioner

2. Untuk menyatakan penangkapan dan penahanan Petisioner oleh Responden sebagai tak syah;

3. Untuk membebankan Responden untuk dengan segera melepaskan; membebaskan Petisioner


(Hendra Rahardja)

4. Untuk membebankan Responden membayar suatu ganti-rugi kepada Petisioner sejumlah


I.D.R.1.000.000,(satu juta Rupiah):

5. untuk merehabilitasi hak-hak dari Petisioner di dalam status nya, martabat dan nama baik;

6. Untuk menyatakan sisa dari petisi Petisioner tidak dapat diterima.

Keberatan Pemohon kepada putusan yang tersebut diatas berdasarkan pertimbangan berikut:

1. Pertama-tama, Pemohon menyerahkan keberatan nya kepada isi-isi dari putusan yang dilafalkan
oleh judex fAktaie (hakim bagi fakta-fakta) 23 Juni 2000, yang tidak sesuai dengan apa [yang] ada di
dalam putusan yang tertulis.

2. pada 23 Juni 2000 judex fAktaie membaca dengan suara keras putusan pada item 1 sebagai "
mengabulkan permintaan pemohon itu sebagian" (kaset audio dilampirkan dengan nota
permohonan), sementara di dalam putusan yang tertulis yang diserahkan kepada Pemohon berisi
"pada sebagian" tidak dimasukkan sama sekali (tolong hal ini dicek).

3. Sebagai konsekwensinya ada kurangnya kejelasan mengenai isi-isi yang benar dari putusan yaNg
dibacakan dengan suara keras oleh judex fAktaie dan ini sudah menimbulkan kebingungan bagi
Pemohon. Mengenai ini Pemohon membuat suatu permohonan kepada yang mulia ketua Mahkamah
Agung atau Panel Hakim-Hakim bahwa demi keadilan, yang adalah seadil yang mungkin seperti
( ex aequo et bono) mereka menarik kembali putusan yang tersebut diatas.

4. Di dalam item 2 putusan yang tertulis judex fAktaie menyatakan; mengumumkan bahwa
penangkapan dan penahanan yang dilaksanakan oleh Pemohon (tadinya/dahulu Responden
praperadilan) tak syah.
31

5. Mengenai ini Pemohon menyampaikan bahwa sampai sekarang, baik dalam masalah formal dan
material, Pemohon TIDAK PERNAH melaksanakan satu penangkapan atau penahanan atau
menggunakan usaha manapun terhadap Responden pemohon.

6. Sampai sekarang usaha itu untuk menyelesaikan penangkapan Responden seperti yang
dinyatakan dalam surat penangkapan No.Pol.SPP/R/48-M/VI/1999/Ditserse.Ek tertanggal 18 Juni
1999 (perlihatkan T-1) belum dilaksanakan karena Responden pemohon belum diserahkan oleh
kepolisian australia kepada Pemohon.

7. dengan pertimbangan-pertimbangan judex fAktaie isu-isu yang pusat di dalam kasus yang
diumumkan bahwa kepolisian australia melembagakan "perpanjangan tangan Pemohon", dan oleh
karena itu Pemohon telah melaksanakan penangkapan Responden (halaman 18 putusan).

8. harus disangsikan apakah mengeluarkan suatu surat perintah untuk penangkapanbahkan ketika
itu belum diikuti oleh penangkapan secara fisik orang yang dicurigai, menggunakan kekerasan itu
telah dilaksanakan.

9. Menurut Pemohon, pertimbangan-pertimbangan yang tersebut diatas judex fAktaie berisi suatu
kesalahan menafsir definisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai material penangkapan,
Bagian 1 (20) dalam hubungan dengan bagian 18 (1) dari KUHP yang menentukan bahwa apa yang
yang dimaksud oleh penangkapan di dalam pengertian material adalah "satu tindakan sementara
menghambat kebebasan seseorang yang dicurigai yang dilaksanakan oleh satu Polisi Indonesia yang
menunjukkan surat perintah mereka dan memberikan orang yang dicurigai suatu surat perintah
untuk penangkapan yang berisikan rincian orang yang dicurigai dan alasan untuk penangkapan
seperti juga suatu penjelasan yang singkat perihal pidana yang dicurigai dan tempat penyelidikan".

10. Bagian 18 bagian (1) dari KUHP (dengan) jelas menyatakan negara bahwa penangkapan adalah
suatu tindakan yang syah, yang dilaksanakan oleh Polisi Indonesia dan dilakukan secara langsung
via suatu tindakan yang secara fisik pada orang yang dicurigai dalam wujud menghambat kebebasan
mereka:

11. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hanyalah mengeluarkan suatu surat perintah untuk
penangkapan tidak berarti bahwa pemakaian kekuatan telah dilaksanakan, karena apa yang KUHP
artikan sebagai penangkapan adalah tindakan yang secara fisik menghambat kebebasan orang yang
dicurigai . Sebagai konsekwensinya, Responden pemohon tidak memiliki hak telah melanggar
dalam hal ini untuk tujuan permintaan suatu pra peradilan.

12. Mengingat bahwa penangkapan Responden itu dilaksanakan oleh kepolisian australia, atas
dasar bagian 18 bagian (1) dari KUHP yang dapat disimpulkan bahwa Pemohon belum
melaksanakan setiap penggunaan kekuatan dalam wujud penangkapan Responden.

13. Perihal tersebut adalah juga diperkuat oleh kebenaran yang ada pada surat perintah untuk
penangkapan dan daftar orang-orang yang diinginkan melawan Responden.

14. Di dalam hal-hal ekstradisi satu penangkapan hanya dapat dikatakan telah dilaksanakan oleh
satu Polisi Indonesia setelah perpindahan dari orang yang dicurigai, dari negeri yang sudah diminta
untuk menyerahkan kepada indonesia telah dilaksanakan. Biasanya ini dilaksanakan dengan
pengiriman seorang anggota Polisi Indonesia itu kepada negeri tersebut, dengan suatu surat perintah
untuk penangkapan orang yang dicurigai. Ini adalah juga terbukti oleh syarat-syarat dalam bagian 14
pasal (2) Akta No8/1994 mengenai Kesepakatan Ekstradisi antara Indonesia dan Australia
(perlihatkan TA-4), yang berbunyi:

"- Jika permintaan itu disepakati, Negara peminta yang harus memberitahukan tempat dan tanggal
perpindahan".

15. Di dalam pertimbangan-pertimbangan judex fAktaie menyatakan bahwa harus disangsikan


apakah penangkapan Responden oleh kepolisian australia itu atas permintaan dari Pemohon atau
oleh karena pencucian uang yang dituduh yang dilaksanakan oleh Responden, yang adalah suatu
tindakan yang jahat menurut hukum australia. Di dalam pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut
32

judex fAktaie menyatakan bahwa Pemohon menolak telah menangkap Responden, tetapi bahwa
yang tersebut diatas penangkapan dilaksanakan karena Responden dituduh untuk melakukan
pencucian uang di Australia (halaman 17 dan 18 putusan).

16. Pemohon keberatan kepada pertimbangan-pertimbangan tersebut judex fAktaie karena


Pemohon itu tidak pernah menolak bahwa penangkapan yang dilaksanakan oleh kepolisian australia
adalah atas dasar permintaan dari Pemohon. Dalam hal ini dapat dilihat pada tanggapan dan
kesimpulan yang disampaikan oleh Pemohon di dalam sesi pengadilan. Lebih dari itu, Pemohon juga
melampirkan dokumen atau bukti Peringatan merah Interpol , surat perintah untuk penangkapan,
dan daftar orang yang diinginkan , yang dikirim oleh Pemohon itu kepada Interpol. Hal ini
menunjukkan bahwa penangkapan Responden itu di permintaan dari Pemohon.

17. Bagaimanapun mengingat bahwa tujuan dari penyelidikan praperadilan untuk menguji kebenaran
atau jika tidak pemakaian kekuatan yang dilaksanakan oleh Pemohon, Pemohon mengemukakan
argumentasi-argumentasi di atas yang pada dasarnya menyatakan bahwa Pemohon di dalam kedua-
duanya secara formal dan material tidak menggunakan setiap kekuatan apapun juga melawan
Responden. Penggunaan kekuatan yang diharapkan dirintangi oleh ekstradisi yang dibuat oleh
Responden di hadapan pengadilan australia.

18. Tujuan dari Pemohon di atas, pernyataan tanpa bukti pencucian uang adalah ketika informasi
tambahan untuk judec fAktaie, yang adalah laporan oleh Kepolisian Australia mengenai penarikan
sejumlah besar uang oleh Responden ke dalam Australia. Dengan demikian Pemohon itu terkait
bahwa aplikasi pra peradilan Responden ditolak oleh judex fAktaie agar proses penyerahan
Responden itu berjalan dan bahwa uang sebagai hasil kejahatan Responden itu dikembalikan ke
dalam negeri.

19. Judex fAktaie menyatakan di dalam pertimbangan-pertimbangan nya Pemohon telah gagal
(dalam) untuk menginformasikan Responden surat perintah untuk penangkapan. Judex fAktaie
menyatakan bahwa bagian Pemohon bertentangan 18 sub bagian (3) dari KUHP yang mengharuskan
bahwa salinan dari surat perintah untuk penangkapan disediakan kepada keluarga cepat-cepat
setelah penangkapan dilaksanakan (halaman 19 putusan).

20. Dalam hubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut judex fAktaie Pemohon betul-betul
keberatan, mengingat bahwa syarat-syarat dalam bagian 18 sub bagian (3) dari KUHP (dengan) jelas
meminta ketetapan salinan dari surat perintah untuk penangkapan setelah penangkapan dan seperti
Pemohon telah jelaskan sebelumnya, itu sudah terbukti dengan tegas bahwa Pemohon belum
melakukan penangkapan.

21. Judex fAktaie menyatakan di dalam pertimbangan-pertimbangan nya Pemohon diminta untuk
mengeluarkan suatu surat perintah untuk penangkapan, dan ini tidak pernah dilaksanakan oleh
Pemohon. Sebagai tambahan judex fAktaie juga menyatakan bahwa penangkapan yang
dilaksanakan oleh Kepolisian Australia itu bukan atas dasar suatu surat perintah untuk penangkapan
dan bahwa salinan dari surat perintah untuk penangkapan harus diberikan kepada keluarga
Responden (halaman 18 putusan). Dengan demikian judex fAktaie menyatakan bahwa Pemohon
bertentangan dengan bagian 21 sub bagian (2) dari KUHP (halaman 19 putusan).

22. Dalam hubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut judex fAktaie Pemohon pasti
merasakan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang tersebut diatas tidak objektif. Bahwa Pemohon
tidak pernah mengeluarkan suatu surat perintah untuk penangkapan karena penangkapan
Responden itu tidak dilaksanakan secara langsung oleh Pemohon, meski Kepolisian Australia itu
melakukan penangkapan atas permintaan dari Pemohon. Sebagai suatu sebenarnya yurisdiksi,
pihak yang perlu mengeluarkan suatu surat perintah untuk penangkapan adalah pesta(pihak yang
secara langsung melakukan penangkapan dan penahanan. dalam hal ini Kepolisian Australia.
Perbedaan-perbedaan di dalam kemampuan/ wewenang dan yurisdiksi antara departemen-
departemen polisi dari negara-negara yang berbeda sungguh harus dihormati oleh tidak
campurtangan di dalam prosedur-prosedur dari departemen-departemen polisi dari negara-negara
lain. Ini adalah juga penting demi tanggung jawab hukum untuk semua tindakan polisi yang diambil
oleh masing-masing negeri.
33

23. Perbedaan-perbedaan ini di dalam kemampuan/ wewenang dan yurisdiksi adalah juga diakui oleh
Responden. Ini terbukti di dalam pengakuan oleh Responden bahwa ia ditangkap oleh Kepolisian
Australia atas dasar satu surat sumpah Kepolisian Australia. Sebagai tambahan, penundukan oposisi
nya kepada ekstradisi yang dipinta oleh Republik Indonesia kepada Australia (perlihatkan TA-4)
didepan pengadilan australia juga membuktikan bahwa Responden mengakui adanya bahwa pihak
dengan otoritas penangkapan dan penahanan adalah Kepolisian Australia . Dan dengan
menyerahkan oposisi nya di hadapan pengadilan australia juga berarti bahwa Responden mengakui
adanya kemampuan/ wewenang yang absolut dari pengadilan berdasar pada hukum australia.

24. Judex fAktaie di dalam pertimbangan-pertimbangan nya menyatakan bahwa Pemohon dilalaikan
untuk mengorganisir ekstradisi Responden meski ada waktu cukup untuk melakukannya. judex
fAktaie juga menyatakan bahwa Pemohon dilalaikan untuk menyelesaikan ekstradisi perintah
Australia meski Responden itu tidak pernah menolak untuk diekstradisi (halaman 19 putusan).

25. Dalam hubungan dengan pertimbangan-pertimbangan judex fAktaie tersebut di atas, Pemohon
menyampaikan keberatan-keberatan berikut:

1. tidak benar Pemohon digagalkan untuk mengorganisir ekstradisi Responden, dan tidak benar
Responden menyetujui untuk diekstradisi. Proses ekstradisi yang dikemukakan oleh Republik
Indonesia via menteri hukum dan Menteri Luar Negeri (perlihatkan T-1 hingga T-7) adalah seturut
syarat-syarat dari bagian 11 Akta No8/1994 mengenai Persetujuan Ekstradisi Australia-Indonesia
(perlihatkan TA-2). Dengan demikian permintaan Indonesia kepada Australia, adalah final. Oleh
karena itu Indonesia hanya dapat menunggu sampai permintaan tersebut diatas disetujui oleh
Australia.

2. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan judex fAktaie di halaman 18 bahwa ekstradisi


Responden itu diterima oleh Australia atas dasar barang yang dipamerkan PR-9/9a, dan pernyataan
judex fAktaie bahwa Pemohon dilalaikan kepada mengikutinya adalah suatu pertimbangan tanpa
dasar.

Hal ini Diakibatkan oleh fakta bahwa barang yang dipamerkan PR-9/9a yang disampaikan oleh
Responden itu bukan suatu surat persetujuan pemerintah australia untuk menyerahkan
Responden, tetapi hanya suatu Penerimaan permintaan Ekstradisi (silakan periksa isi-isi dari PR-
9/9a) mengingat bahwa permintaan ekstradisi yang tersebut diatas oleh Pemerintah Indonesia itu
sudah diterima (tidak disetujui ) oleh Australia. Ketika permintaan ekstradisi disetujui , itu ada di
wujud dari suatu keputusan untuk menyerahkan yang disertai oleh suatu pemberitahuan kepada
negara peminta mengenai tempat dan tanggal perpindahan orang yang dicurigai itu, seperti yang
diperkenalkan dalam bagian 14 sub bagian (1) dan (2) no. 8/1994 mengenai Persetujuan Ekstradisi
Australia -Indonesia (perlihatkan TA-2) dan sampai sekarang Pemohon belum pernah menerima
keputusan untuk menyerahkan dan waktu dan tempat dari perpindahan dari pemerintah australia

3. Bahwa (dengan) jelas Responden sedang berbicara dengan memperdebatkan bahwa ia telah
menolak ekstradisi meskipun menurut laporan dari tatap muka bertentangan dengan ekstradisi
(perlihatkan TA-4) dan surat pengacara umum australia itu tertanggal 11 Juli 2000 (perlihatkan TA-5)
seperti juga artikel di dalam penerbitan harian Suara Pembaruan (perlihatkan TA-6) Responden
adalah (dengan) jelas enggan untuk diserahkan dan menolak permintaan ekstradisi yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia . Tatap muka yang tersebut diatas bertentangan dengan
ekstradisi sudah sekarang memasukkan langkah pengadilan federal penuh sebagaimana dilaporkan
di dalam penerbitan harian Suara Pembaruan (perlihatkan TA-6).

4. Bagian 11 pasal (3) dari Persetujuan Ekstradisi Australia -Indonesia (perlihatkan TA-2)
mewajibkan bahwa orang yang dicurigai setuju untuk diserahkan (silakan cek). Oleh karena itu jika
orang yang dicurigai (dalam hal ini Responden ) tidak siap untuk diserahkan, lalu orang yang
dicurigai itu dapat mempertahankan penolakannya atas dasar bagian 9 Persetujuan Ekstradisi
Australia -Indonesia (perlihatkan TA-2) di bagian mengenai pengecualian ke pada ekstradisi
(perlihatkan TA-2).

5. didasarkan pada laporan dari tatap muka yang bertentangan dengan ekstradisi (perlihatkan TA-4),
Responden menolak untuk menyerahkan dirinya untuk alasan bahwa Hendra Rahardja adalah Cina
dan bahwa melihat kondisi-kondisi di Indonesia tidak bisa menjamin bahwa ia akan menerima suatu
34

pengadilan yang adil. Ini diperkenalkan sebagai satu perkecualian ke ekstradisi: tunjuk bagian 9 pasal
1 materi (d) dan (e) dari Persetujuan Ekstradisi Australia -Indonesia (perlihatkan TA-2). Oleh karena
itu Responden menolak untuk menyerahkan diri ke Indonesia. argumentasi-argumentasi
Responden itu (dengan) jelas tidak menunjukkan sikap dari seorang warganegara yang baik dengan
rasa hormat untuk proses-proses yang hukum negeri nya sendiri.

26. Judex fAktaie menyatakan di dalam pertimbangan-pertimbangan nya bahwa Pemohon juga
melalaikan untuk menyelesaikan tugas dari kepala Mahkamah Agung mengenai hasil-hasil
penyelidikan yang tidak sempurna, yang menimbulkan penangkapan yang diperpanjang pada
Responden di Australia. Hal ini juga menimbulkan kembalinya kasus Mahkamah Agung untuk
penyelesaian (halaman 19 putusan).

27. keberatan Pemohon kepada pertimbangan-pertimbangan yang tersebut diatas judex fAktaie
karena judec fAktaie lalai di dalam menyelidiki bukti (dalam hal ini memperlihatkan PR-2 dan PR-3
yang disampaikan oleh Responden). Sebagai konsekwensi Pemohon membuat penjelasan yang
berikut:

1. Kembalinya file-file yang dirujuk kepada nama-nama dari orang yang dicurigai Andre Widijanto,
Ny. Sherly Kojonglan dan Jendro Suwono sebagai para manajer Bank BHS, dan bukan file-file dari
Responden.

2. Kembalinya file-file yang dirujuk kepada oleh penuntut umum utama tidak memiliki hubungan
kepada usaha-usaha ekstradisi dari Responden .Terlepas dari bukan mengenai Responden,
kembalinya file-file yang tersebut diatas kemudian adalah mengikuti pernyataan oleh jaksa penuntut
umum utama kalau penyelidikan telah cukup dan jaksa penuntut umum utama melaksanakan
penyelidikan nya sendiri (perlihatkan PR-3).

3. Sebagai tambahan Pemohon perlu untuk menjelaskan bahwa barang yang dipamerkan PR-3 yang
disampaikan oleh Responden tidak berarti bahwa unsur kejahatan dari kasus itu tidaklah cukup untuk
dimahkamahkan. Dari p22 (perlihatkan PR-3) yang diserahkan oleh jaksa penuntut umum utama
DKI (daerah khusus ibukota) Jakarta kepada Pemohon itu adalah suatu pernyataan bahwa ada bukti
cukup untuk memenuhi unsur kejahatan dari kasus terkait dan untuk memenuhi kondisi-kondisi
material untuk pengadilan, bagaimanapun jaksa penuntut umum merasakan nya perlu menyelesaikan
penyelidikan-penyelidikan nya sendiri sebagai tambahan.

4. Oleh karena itu itu adalah sulit untuk menerima dengan setiap kecenderungan mudah percaya
yang perpindahan dari kasus di dalam nama-nama dari orang yang dicurigai Andre Widijanto, Ny.
Sherly Konjonglan, dan Jendro Suwono seperti juga kembalinya file-file yang tersebut diatas oleh
jaksa penuntut umum, yang mengakibatkan penangkapan yang diperpanjang pada responden di
Australia. Apa yang benar adalah bahwa penangkapan yang diperpanjang pada responden di
australia adalah suatu resiko, yang sudah harus dipikul oleh responden sebagai hasil penolakannya
kepada ekstradisi

28. judex fAktaie menyatakan di dalam pertimbangan-pertimbangan nya bahwa batas waktu
penangkapan yang dilaksanakan oleh permohonan , seperti yang diperkenalkan dalam bagian 24
pasal (1) dan (2) dari KUHP, telah terlewati, dan berarti penangkapan dan penahanan responden
tak syah , dan sebagai hasilnya responden permohonan harus dengan segera bebas dari tahanan
(halaman 20 keputusan)

29. peminta permohonan membuat keberatan-keberatan berikut atas judex fAktaie:

1. mengenai batas waktu untuk penangkapan dan metoda-metoda tentang


menyediakan bantuan di dalam masalah pidana, termasuk antara indonesia dan australia berkenaan
dengan permohonan responden, kedua-duanya negara-negara sudah membuat satu persetujuan
mengenai bantuan timbal balik di dalam hal-hal pidana (perlihatkan TA-3). Dan di dalam bagian 6
pasal (1) dinyatakan itu:

" permintaan bantuan harus dilaksanakan menurut hukum dari negara yang dipinta (dalam
kasus ini australia), dan, sepanjang tidak bertikai dengan hukum negeri itu, yang dilaksanakan di
dalam cara yang diinginkan oleh negara peminta (dalam kasus ini indonesia)".
35

2. oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan judex faxtie dan keputusan itu untuk
melepaskan; membebaskan responden dari penangkapan kepolisian australia tidak pantas dan tidak
dapat diterapkan karena masalah batas waktu penahanan dan seterusnya adalah masalah hukum
yang syah di australia sebagai negara yang dipinta .
3. Lebih lanjut australia adalah negara tetangga dan bukan merupakan bagian dari
kewenangan hukum indonesia (dalam kasus ini KUHP). Maka tidaklah mungkin bagi pemohon untuk
memerintahkan kepolisian australia, termasuk pengadilannya, untuk mentransfer responden sebelum
waktu penahanan menurut KUHP mereka berakhir. Lebih lanjut, sebagaimana telah dibuktikan,
penahanan yang lama pada responden merupakan hasil dari penolakan responden pada ekstradisi
ke indonesia

30. Dalam masalah kompensasi dan rehabilitaso, pada item 4 dan 5 putusan, judex fAktaie
memutuskan permintaan kompensasi dan rehabilitasi responden (sebelumnya pemohon pra
peradilan). Ini jelas bertentangan dengan bagian 1 pasal (10) item c pada KUHP yang membatasi
otoritas pra peradilan sebagai:
” permintaan untuk kompensasi atau rehabilitasi tersangka atau keluarganya atau pihak lain pada
otoritas mereka saat kasus mereka tidak akan diajukan ke pengadilan.”
Hal ini dpaksakan oleh bagian 77 item b BAB X KUHP mengenai otoritas pra peradilan pada sebuah
kasus, yang menyatakan kalau
”Pengadilan negeri memiliki kuasa untuk menyelidiki dan memutuskan sesuai dengan akta ini
mengenai :
b. Kompensasi dan.atau rehabilitasi seseorang yang kasus pidananya pada tahap penyidikan atau
penghukuman

31.sifat khusus dari kompensasi dalam kasus pra peradilan dapat pula dilihat dalam bagian 95 pasal
(2) KUHP yang menyatakan kalau klaim untuk kompensasi oleh tersangka ”yang kasusnya tidak
diajukan ke pengadilan negeri ditentukan dalam tatap muka pra peradilan yang ditunjukkan dalam
bagian 77”

32. Sifat khusus dari rehabilitasi dalam masalah pra peradilan dapat pula dilihat dalam bagian 97
pasal (3) KUHP yang menyatakan kalau permintaan rehabilitasi oleh tersangka ”yang kasusnya
tidak diajukan ke pengadilan negara ditentukan oleh tatap muka pra peradilan seperti dinyatakan
dalam bagian 77”
33, Maka, berdasarkan pada bagian 1 pasal (10) ayat c terkait dengan bagian 77 ayat b terkait
dengan bagian 95 pasal (2) terkait dengan bagian 97 pasal (3) KUHP, dapat disimpulkan kalau
masalah kompensasi dan rehabilitasi terbatas hanya pada kasus pidana dimana tidak ada
penyelidikan atau penahanan.

34. Dalam hal ini pemohon perlu menjelaskan kalau hingga saat ini pemohon tidak pernah
menghentikan penyelidikan responden. Dengan kata lain, pemohon tidak pernah mengeluarkan
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada responden.

35. Responden berdasarkan permintaannya untuk kompensasi dan rehabilitasi pada peraturan di
bagian 81 KUHP dilakukan pada pra peradilan. Hal ini juga pertimbangan judex fAktaie dalam
keputusannya walau tidak pernah sekalipun merujuk pada peraturan paling dasar KUHP mengenai
kompensasi dan rehabilitasi, yaitu bagian 77 dari KUHP

36. Pemohon dengan pendapat kalau peraturan bagian 81 KUHP tidak dapat dipisahkan dari
peraturan bagian 1 pasal (10) ayat c dalam hubungannya dengan bagian 77 ayat b dalam kaitannya
dengan bagian 95 pasal (2) terkait dengan bagian 97 pasal (3) KUHP. Maka peraturan bagian 81
KUHP harus dikaitkan dengan kompetensi pra peradilan sebagaimana disebutkan dalam pasal 77
KUHP, denga nhasilnya kalau perlakuan kompensasi atau rehabilitasi hanya dapat diberikan pada
kasus pidana dimana penyelidikan atau penuntutan dihentikan, sebagai contoh, kasus salah tangkap.

37. Judex fAktaie di dalam pertimbangan-pertimbangan nya mengenai rehabilitasi (dengan merujuk
kepada bagian 81 KUHP) tidak menyatakan setiap dasar atau alasan apapun juga untuk keputusan
nya untuk mengabulkan permintaan Responden . Sebenarnya judex hanya menyatakan "mengenai
36

permintaan pemohon untuk rehabilitasi, pengadilan akan menentukan dalam hal ini sebagai
tercakup dalam putusan".

38. Ini adalah secara keseluruhan bertikai dengan bagian 82 subseksi (2) dari KUHP yang
menyatakan: "Putusan hakim itu di penyelidikan-penyelidikan pra peradilan merujuk kepada bagian
79 bagian 80 dan bagian 81 harus jelas dasar dan pertimbangan nya".

39. Judex fAktaie juga salah menafsirkan otoritas nya. Di dalam pertimbangan nya di halaman 20,
judex fAktaie menyatakan bahwa bagian 95 sub bagian (1) dan (2) dari KUHP melembagakan dasar
untuk otoritas pra peradilan untuk memerintah di ganti-rugi dan rehabilitasi. Penafsiran Judex fAktaie
bertentangan karena bagian 95 subseksi (1) dari KUHP memerintahkan ganti-rugi untuk perkara
pidana, yang telah menurut hukum ditentukan. Ini dapat dilihat pada isi-isi dari bagian 95 sub bagian
(4) sendiri yang menyatakan:

"- Untuk tujuan penyelidikan dan pengaturan ganti-rugi kasus-kasus merujuk kepada pasal (1).
kepala dari pengadilan harus kapan pun yang mungkin menugaskan hakim yang sama
yangmengadili perkara pidana tersebut".

40. faktanya judex fAktaie konsisten dengan isi-isi dari bagian 95 pasal (2) sebagai dasar untuk
otoritas pra peradilan yang menguasai di ganti-rugi dan rehabilitasi, isi-isi dari bagian yang tersebut
diatas 95 pasal (2) dari KUHP menentukan ganti-rugi dan rehabilitasi yang diperkenalkan dalam
bagian 95 pasal (1) adalah otoritas pra peradilan ketika "kasus itu tidak tunduk pada pengadilan
negara".

41. Mempertimbangkan bahwa sampai sekarang Pemohon masih di dalam langkah penyelidikan dan
belum pernah mengeluarkan satu perintah penghentian penyidikan (SP3), tidak ada alasan apapun
juga dari judex fAktaie untuk mengabulkan permintaan-permintaan Responden untuk ganti-rugi dan
rehabilitasi.

42. didasarkan pada penjelasan-penjelasan tersebut, Pemohon meminta Putusan pengadilan negeri
Jakarta Selatan ditunda atau sedikitnya dinyatakan tidak mampu untuk dilaksanakan, menurut
jurisprudensi yang ditetapkan Mahkamah Agung No.860.K/Pid/1983 tertanggal 10 Mei 1984.

43. Sebagai tambahan terhadap penjelasan-penjelasan tersebut Pemohon juga menyerahkan satu
artikel dari majalah Gatra tertanggal 15 Juli 2000 halaman 39 yang berjudul ”hakim itu adalah korban
Hendra: Pra peradilan putusan di dalam kasus dari Hendra Rahardja melawan kepala Polisi
Indonesia itu mempertimbangkan kelalaian. Hakim itu ditugaskan kembali" (perlihatkan TA-7). Artikel
ini pada dasarnya menyatakan bahwa menurut kepala dari pengadilan tinggi jakarta, hakim di
tingkatan yang pertama sangat lalai dalam menguasai kasus pra peradilan antara Pemohon
melawan Responden. Lebih lanjut putusan yang tersebut diatas dihakimi kontroversial dan hakim
terkait ditegur oleh pengadilan tinggi Jakarta

44 Pemohon perlu untuk menyampaikan bahwa pada saat ini negara-negara lain termasuk
Australia juga memperhatikan hasil-hasil dari kasus ini. sampai sekarang Indonesia sudah mengirim
banyak catatan merah Interpol dan meminta ekstradisi kepada beberapa negara-negara sahabat.
Ada suatu kemungkinan yang besar sekarang dan di masa datang Indonesia akan mengalami
berbagai kesulitan ekstradisi penjahat yang sudah melarikan diri luar negeri karena negara-negara
yang diminta untuk menyerahkan tidak ingin mempunyai pengalaman-pengalaman yang sama
dengan Australia.

45. Sebagai tambahan Pemohon juga mengaitkan bahwa Responden diserahkan secepat mungkin
sehingga uang hasil kejahatan responden (Hendra Rahardja) dapat dikembalikan ke dalam negeri.
Pemohon perlu untuk menyampaikan dalam hal ini untuk pertimbangan mengingat bahwa putusan
yang tersebut diatas di tingkatan yang pertama kini sedang digunakan oleh Responden untuk bebas
dari penangkapan australia dan sebagai suatu dasar untuk menolak ekstradisi.

didasarkan pada penjelasan-penjelasan tersebut pemohon berdoa agar yang mulia ketua
Mahkamah Agung atau Panel dari Hakim-Hakim yang sedang mengusahakan kasus ini berpedoman
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menegakkan keadilan yang diinginkan oleh semua orang.
37

Pemohon meminta bahwa Yang Mulia ketua Mahkamah Agung atau Panel dari Hakim-Hakim tiba
kepada putusan yang berikut dalam hal ini:

1. Terimalah Permohonan peminta kepada Mahkamah Agung.

2. Batalkan putusan pra peradilan Pengadilan negeri Jakarta Selatan


No.07/PID/PRAP/2000/PN.JAK.SEL tertanggal 23 Juni 2000; Atau sedikitnya memutuskan bahwa
putusan pra peradilan Pengadilan negeri Jakarta Selatan No.07/PID/PRAP/2000/PN.JAK.SEL
tertanggal 23 Juni 2000 tidak bisa diterapkan.

3. Tolak permintaan dari peminta pra peradilan di dalam keseluruhannya.

Atau jika Yang mulia ketua Mahkamah Agung atau Panel dari Hakim-Hakim berpendapat yang
berbeda, kami meminta suatu putusan yang seadil mungkin ( ex aequo et bono).

Terima Kasih

Kuasa Menurut Undang-Undang kesatuan penyidik kepolisian indonesia

(- tertanda)

Drs. Alfons Loemau, SH., MSI., MBUS.


38

Bab 9

Penyang
gahan
Nota
permohonan

TERJEMAHAN NOTA YANG PENYANGGAHAN MELAWAN NOTA KASASI PADA PUTUSAN


PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN BERNOMER REGISTRASI No.
07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel.
39

DI DALAM KASUS PRA PERADILAN ANTARA:

HENDRA RAHARDJA...........................................................pemohon /RESPONDEN DI DALAM


KASASI

MELAWAN

DIREKTORAT PENYELIDIKAN KEJAHATAN EKONOMI KEPOLISIAN


INDONESIA ......................................................................RESPONDEN/pemohon KASASI

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No . 1232/OCKVIII/2000 Jakarta 4 Agustus 2000

Pimpinan Mahkamah Agung Indonesia

Mahkamah Agung Indonesia

Jalan Medan Merdeka Utara

Jakarta Pusat

C/O. Pimpinan Pengadilan negeri Jakarta Selatan

Dengan hormat ,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, OC. Kaligis, SH., Farida Sulistiyani, SH., Marla Wongkar,
SH., Para pembela dan atau penasehat hukum, berkantor di jalan Majapahit No. 18-20 Kompleks
Majapahit Permai Blok B-123, Jakarta pusat, dengan suatu Surat Surat Kuasa yang khusus (yang
terlampir), Akta atas nama Hendra Rahardja /Pemohon, sesudah ini disebut sebagai Responden
kasasi, dengan ini berniat untuk menyerahkan suatu nota penyanggahan pada suatu nota untuk
pembatalan bantahan dan keberatan Responden di Kasasi melawan pemohon Kasasi.

Responden Kasasi menerima nota Kasasi dari Pemohon Kasasi 26 Juli 2000 oleh karena itu
mengajukan suatu nota yang konter melawan terhadap suatu nota pembatalan 4 Agustus 2000
masih di dalam periode menurut undang-undang seperti yang ditetapkan dalam bagian 248 subseksi
7 dan subseksi 1 KUHP. Oleh karena itu, kita meminta anda untuk menerima nota penyanggahan ini
melawan nota kasasi.

Sedangkan, keberatan Responden di Kasasi adalah sebagai berikut:

MENGENAI PENYERAHAN NOTA KASASI

menurut bagian 244 KUHP, suatu nota kasasi dapat tunduk pada Mahkamah Agung; hanya dibatasi
pada putusan-putusan dari perkara pidana, yang berisi mengikuti;

Terdakwa yang terbukti bersalah:

Pembebasan seseorang ;

Pembebasan seseorang dari bermacam-macam tuntutan hukum.

Dengan pertimbangan bagian 191 sub bagian 1 dan 2 dan bagian 193 subseksi 1, sebagai
ketentuan yang mengurus wujud dari putusan pidana, putusan pra peradilan yang yang diatur oleh
bagian 82 subseksi 2 dan subseksi 3 KUHP adalah BUKAN ‘ putusan pidana", yang diatur oleh
bagian 244 KUHP. putusan pra pengadilan hanya menyatakan keputusan mengenai:

Keabsahan dari suatu penangkapan, suatu penahanan, suatu pencarian, ;

Kebenaran penghentian suatu penyelidikan atau penuntutan.


40

Sedangkan, menurut Kitab dari petunjuk Otoritas dan Administrasi Pengadilan-Pengadilan


Indonesia , Kitab II, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Indonesia 1 April 1994 di halaman 191
titik 18 pra pengadilan, alinea 5, itu disebutkan bahwa:

"- Menurut hukum putusan hakim dari Mahkamah Agung Indonesia, nota untuk kasasi melawan suatu
putusan pra pengadilan tidak bisa disampaikan, dengan kata lain, nota kasasi dinyatakan sebagai "
tidak dapat diterima" (lihat bagian 244 KUHP). Dasar alasan nya adalah kewajiban untuk Mahkamah
Agung itu untuk lakukan suatu pengujian yang cepat untuk setiap kasus, tidak akan pernah tercapai,
jika pengujian seperti itu untuk suatu kasasi masih diizinkan".

Menurut kata pengantar Ketua Mahkamah Agung Indonesia di dalam buku bimbingan tersebut,
dengan jelas disebutkan di halaman 5 :

".....- Mahkamah Agung indonesia sudah mengatur untuk menerbitkan buku bimbingan ini untuk
otoritas dan administrasi Pengadilan-Pengadilan Indonesia , yang secara penuh dan persisnya
mengurus/memerintah apa yang suatu pejabat publik pada suatu pengadilan, perlu lakukan untuk
menegakkan hukum dan kebenarannya dalam status hukum negara dari Republik Indonesia
berlandsakan Pancasila, filsafat negara".

Putusan dari Mahkamah Agung No. 1161K/Pid/1998, 30 Nopember 1998 dalam pertimbangan nya
di halaman 2 dan 3, menyatakan bahwa:

"- mempertimbangkan fakta menurut putusan hakim, yang sudah menjadi suatu putusan ,
disebutkan bahwa suatu nota untuk suatu Kasasi melawan suatu putusan pra pengadilan tidak bisa
disampaikan. Oleh karena itu, suatu putusan pra pengadilan adalah suatu produk pengadilan, yang
tidak bisa tertarik".

Dengan kehadiran dari ketentuan tersebut, dan kehadiran dari suatu hukum putusan hakim dari
Mahkamah Agung, yang berkata, "suatu nota untuk suatu Kasasi melawan suatu putusan pra
pengadilan tidak dapat diizinkan "(otomatis batal), oleh karena itu, fakta seperti itu sudah menjadi
keputusan pengadilan (dalam hal ini suatu putusan Mahkamah Agung), yang berkata pembatalan
itu melawan suatu putusan pra pengadilan tidak dapat diijinkan di dalam apapun juga cara (otomatis
batal).

Di bawah acuan ketentuan menurut undang-undang tersebut, oleh karena itu kami meminta
Mahkamah Agung untuk menyatakan bahwa nota untuk Kasasi melawan suatu putusan pra
pengadilan, yang disampaikan oleh Pemohon Kasasi, 17 Juli , 2000 TIDAK DIIZINKAN

MENGENAI ISI DARI PUTUSAN

Sedangkan keberatan dari pemohon Kasasi di halaman 2 dan 3 titik 1 hingga 4, yang menyatakan
bahwa ada suatu perbedaan antara pengumuman yang lisan dari putusan pra pengadilan dengan isi-
isi dari putusan. Keberatan dari Pemohon Kasasi hanya didasarkan pada isi-isi kaset.

Sedangkan, menurut bagian 184 KUHP, bukti yang sah adalah:

a. kesaksian saksi;

b. kesaksian pakar;

c. Surat;

d. tanda/panduan.arahan:

e. Penjelasan terdakwa.

Oleh karena itu itu telah jelas bahwa suatu kaset bukanlah bukti sah. miliknya sudah dinyatakan oleh
suatu hukum putusan hakim dari Mahkamah Agung yang sudah menetapkan bahwa suatu kaset tidak
bisa disampaikan sebagai suatu bukti yang sah di depan suatu pengadilan, karena ada suatu
41

keraguan di keaslian isi. Yang didasarkan pada alasan-alasan tersebut, pemasangan dari suatu kaset
dengan nota Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak mempunyai dasar hukum.

Sedangkan di samping, hal-hal tersebut, suatu putusan pengadilan adalah satu perbuatan yang asli,
yang mempunyai suatu kuasa bukti yang penuh. Berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan tersebut
dan ketentuan kita meminta pengadilan menolak nota Kasasi dari Pemohon Kasasi.

Sebetulnya, Tidak semua isi-isi dari suatu permohonan untuk putusan pra pengadilan diterima,
seperti yang ditetapkan di dalam isi-isi putusan titik 6, yang berkata:

permintaan yang lain, dan sisa dari permintaan tidak dapat diterima.

MENGENAI KEBERATAN KAMI KEPADA NOTA KASASI

Sebelum kita dapat lebih jauh ke menjelaskan sekitar keberatan dari Responden Kasasi mengenai
Memorandum Kasasi dari Pemohon Kasasi, Responden Kasasi berniat untuk mengatakan bahwa
pengujian suatu kasus di dalam kasasi, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung itu adalah sejalan
dengan bagian 253 KUHP dan diselenggarakan menurut permintaan dari para pihak terkait, seperti
yang ditetapkan dalam bagian 244 dan bagian 248 KUHP .Oleh karena itu ketetapan dalam bagian
253 KUHP hanya berlaku bagi nota kasasi pada suatu putusan pidana, dan itu jelas bahwa suatu
putusan pra pengadilan adalah BUKAN suatu putusan pidana yang umum.

Sedangkan bagian 253 KUHP mengatakan bahwa suatu pengujian pembatalan diselenggarakan
untuk menentukan:

1. Apakah suatu hukum diterapkan secara benar atau diterapkan salah;

2. Apakah cara bekerja pengadilan diselenggarakan secara benar seperti yang diatur menurut hukum
itu;

3. Apakah suatu pengadilan sudah bertindak di luar otoritas nya.

Sedangkan pengadilan itu tidak bersalah di dalam menerapkan hukum, dan tidak bertindak di luar
otoritas nya, dan cara bekerja pengadilan telah diselenggarakan menurut KUHP. Sebaliknya,
Memorandum untuk Kasasi dari Pemohon Kasasi adalah hanyalah suatu penilaian suatu fakta atau
satu bukti, yang telah dipertimbangkan secara hati-hati oleh pengadilan. Oleh karena itu, kami
meminta Mahkamah Agung untuk menyatakan bahwa Memorandum Kasasi dari Pemohon Kasasi
sebagai TUDAK DIIZINKAN dan DITOLAK. Bagaimanapun, Responden Kasasi akan bereaksi
terhadap Memorandum Kasasi dari Pemohon kasasi di dalam nota penyanggahan Kasasi ini.

Sedangkan, Responden Kasasi menolak semua poin-poin Memorandum Kasasi, kecuali apa yang
dengan jelas di akui.

Sedangkan, pengadilan tidak salah mempertimbangkan apa yang merupakan arti istilah satu
"penangkapan". Menurut garis besar dari Dr. A. Hamzah, SH. di dalam bukunya: "KUHP Indonesia",
jika kita membandingkan definisi dari suatu penangkapan di dalam titik bagian 1 20 kepada ketetapan
dari bagian 16 mengenai satu "penangkapan", itu adalah jelas nyata bahwa mereka tidak sama.

Dr. A.. Hamzah juga menyebutkan di halaman 154: "tidaklah sesuai, karena adalah jelas nyata tidak
hanya penyelidik dan jaksa penuntut (menurut kepada definisi) tetapi juga penyelidik itu dapat
menangkap seseorang".

Lebih dari itu, semua orang yang menangkap seseorang yang sedang melakukan suatu kejahatan
dapat melaksanakan satu penangkapan. Dengan fakta seperti itu, Dr. A. Hamzah berpendapat sama
kalau definisi seperti itu harus diubah.

Dalam hal ini, itu terbukti bahwa Pemohon kasasi sudah menyerahkan suatu permintaan untuk ijin
penangkapan, dan itu terbukti bahwa Responden Kasasi sudah mengalami sanksi secara fisik dalam
wujud pembatasan kebebasan. Yang didasarkan pada poin-poin tersebut, kami meminta kepada
Mahkamah Agung untuk tak mengindahkan titik 9 sampai 12 di dalam Memorandum Kasasi.
42

Sedangkan, Pemohon Kasasi sudah menyatakan poin-poin mereka, yang berkata bahwa Pemohon
Kasasi berlandaskan hukum secara formal dan materil tidak menyelenggarakan penangkapan dan
penangkapan atau tindakan memaksa lain melawan Responden Kasasi (Nota Kasasi menunjuk 5-
17)

Sedangkan, Pemohon Kasasi di atas bersifat tak konsisten dengan pernyataan mereka sendiri di
halaman 4, poin 16 yang berkata: ....Pemohon Kasasi telah melampirkan bukti-bukti dalam rupa surat
catatan merah interpol, surat perintah penangkapan dan daftar orang dicari yang dikirimkan oleh
Pemohon Kasasi kepada Interpol.

Dengan alasan kepada poin tersebut, terbukti bahwa Pemohon Kasasi sudah melaksanakan satu
penangkapan pada Responden Kasasi. Lebih dari itu, Pemohon Kasasi sudah mengakui
mengeluarkan satu surat perintah penangkapan 18 Juni , 1999, sebaliknya penangkapan
Responden Kasasi terjadi di 1 Juni 1999, yang menurut bukti penangkapan terjadi karena ada
suatu permintaan dari Pemohon Kasasi. Tambahan pula, seperti disebutkan oleh koran Media
Indonesia ,24 Juli 2000, Alfons Loemau berkata bahwa mereka tidak akan membatalkan kasus
penangkapan dan penahanan selagi mereka di dalam kelanjutan kasasi (bukti PR-10). Lebih dari itu
seperti apa yang Responden Kasasi katakan di dalam poin yang formal, dalam hubungan dengan
Responden Kasasi telah ada suatu sanksi yang secara fisik dalam rupa pembatasan kebebasan oleh
karena itu terbukti bahwa sebagai suatu sebenarnya hukum material, Pemohon kasasi sudah
mengakui menangkap dan menahan Responden Kasasi. Oleh karena itu pokok dari Pemohon
Kasasi, terutama poin 5-8 dan poin 20 tidak mempunyai landasan hukum dan oleh karena itu harus
tak diindahkan.

Sedangkan menurut bukti PR-5 yang terbukti bahwa Pemohon Kasasi sudah mengeluarkan satu
surat perintah penangkapan, Rod Wissam sudah melaksanakan penangkapan Responden Kasasi.
Lebih dari itu, Rod Wissam sudah meminta Pemohon Kasasi untuk mengeluarkan surat perintah
untuk penangkapan Responden Kasasi. Sebaliknya, terbukti bahwa Pemohon Kasasi belum
pernah mengeluarkan atau mengirimkan surat perintah penangkapan Responden Kasasi kepada
Australian Federal Police.
Sesuai itu terbukti bahwa peminta Kasasi tidak memenuhi permintaan dari Australian Federal Police.
Sebagai konsekwensi, pokok dari Pemohon Kasasi, titik 22 harus tak diindahkan.

Di bawah acuan kepada pokok dari Pemohon Kasasi di halaman 8, poin 29, itu adalah jelas nyata
bahwa Pemohon Kasasi sudah salah menafsirkan bagian 6 subseksi 1 persetujuan timbal balik
antara Indonesia dan Australia dalam masalah pidana. Dari tindakan seperti itu yang dengan jelas
disebutkan bahwa permintaan untuk bantuan dapat dilaksanakan di dalam cara yang ditentukan oleh
negara pelamar/peminta sepanjang itu tidak melanggar hukum dari negara Responden .

Sebetulnya Pemohon Kasasi tidak mempunyai permintaan yang dipenuhi dari Australian Federal
Police yang meminta Pemohon Kasasi untuk mengeluarkan suatu penangkapan yang sementara
menjamin untuk Responden Kasasi. Fakta seperti itu adalah suatu bukti bahwa Pemohon Kasasi
sudah melanggar bagian 6 subseksi 1 persetujuan timbal balik antara Indonesia dan Australia dalam
masalah pidana.
Di Bawah Acuan kepada bagian 6 subseksi 1 persetujuan tersebut di dalam melakukan satu
penangkapan atau penahanan, kita harus mengamati ketetapan KUHP. Itu terbukti bahwa Pemohon
Kasasi tidak sejalan dengan ketentuan dalam bagian 18 subseksi 3 dan bagian 21 subseksi 2 KUHP.
Oleh karena itu itu terbukti bahwa penangkapan dan penahanan Responden Kasasi bersifat tak
syah.

[ini] merupakan suatu kenyataan, Pemohon Kasasi sudah menyebutkan di dalam poin-poin bahwa
Responden Kasasi ditangkap di Australia dengan dakwaan (dari Australian Federal Police) bahwa
Responden Kasasi sudah melaksanakan pencucian uang di Australia di dalam hubungan dengan
uang memperoleh dari kejahatan-kejahatannya di Indonesia. Itu terbukti bahwa poin Pemohon
Kasasi hanya didasarkan pada informasi terutama di halaman 5 titik 18 Memorandum Kasasi, yang
tidak bisa terbukti menurut di hukum. Sebaliknya, Responden Kasasi seperti yang dijelaskan oleh
bukti PR-4, sudah membuktikan bahwa Responden Kasasi belum pernah melakukan setiap
kejahatan atau pelanggaran di Australia. Di Bawah Acuan bukti PR-5 terbukti bahwa penangkapan
dan penahanan Responden Kasasi dilaksanakan, karena ada suatu permintaan dari Pemohon
43

Kasasi. Oleh karena itu Mahkamah Agung harus tak mengindahkan poin 15 dan poin 18
Memorandum Kasasi.
Poin 23 Pemohon Kasasi tidak mempunyai landasan hukum dan Pemohon Kasasi keliru
menafsirkan Pokok dari Responden Kasasi, juga salah menafsirkan sanggahan dari permintaan
ekstradisi yang sudah dilaksanakan pengadilan Australia , dan pokok dari Pemohon Kasasi tidak
relevan, oleh karena itu pokok tersebut harus tak diindahkan.

Responden Kasasi menolak poin 25 di halaman 6 dan 7 Memorandum Kasasi, poin seperti itu tidak
relevan dan secara setimpal harus tak diindahkan. Responden Kasasi juga menolak poin 27 di
halaman 7 Memorandum untuk Kasasi, sebagaimana terbukti dari laporan polisi
No.Pol.LP/182/VII/98/Serse Ekonomi adalah sah untuk 5 orang yang dicurigai. Sebetulnya suatu
surat dari P-22 dikeluarkan untuk kasus tersebut, dan oleh karena itu, perlu ada pengujian
tambahan, yang merupakan otoritas mutlak jaksa penuntut. Responden Kasasi menolak isi sisanya
dari Memorandum dari Kasasi.

Responden Kasasi juga menolak poin 30 dan 41 di halaman 9 Memorandum Kasasi. Pemohon
Kasasi adalah teledor di dalam mengamati landasan hukum untuk meluncurkan permintaan ganti
rugi, dan sekali lagi Pemohon Kasasi sudah memberi suatu penafsiran palsu dan menyesatkan
dalam hal-hal yang demikian. Menurut bagian 81 dan 95 KUHP: "suatu permintaan ganti rugi dan
rehabilitasi karena satu penangkapan atau penahanan yang tak syah atau karena penghentian dari
suatu penyelidikan atau suatu penuntutan, disampaikan oleh suatu orang yang dicurigai atau oleh
pihak ketiga yang terkait, kepada pemimpin pengadilan negeri, termasuk alasan dasar dan faktanya.
Secara setimpal suatu permintaan untuk ganti rugi dan atau rehabilitasi tidak hanya dapat
disampaikan untuk suatu perkara pidana yang penyelidikan atau penuntutannya dihentikan (lihat
bagian 77 alinea b), tetapi juga dapat disampaikan menurut bagian 81 KUHP. dengan kata lain, suatu
permintaan untuk ganti rugi atau rehabilitasi dapat juga disampaikan sebagai hasil penangkapan
dan penahanan yang tidak syah. Sebagai konsekwensi, pokok dari Pemohon Kasasi di atas harus
tak diindahkan. Sebaliknya pengadilan telah secara benar dan dengan teliti memberi pertimbangan
dan keputusan nya di dalam putusan pra peradilan.

Poin 13 dari Pemohon Kasasi tidak relevan dan harus tak diindahkan.

Responden Kasasi dengan keras menolak poin 33 di halaman 11 Memorandum Kasasi karena
poin seperti itu tidak relevan. Berita di dalam surat kabar atau di radio atau di TV bukanlah secara
hukum bukti yang sah. Sebagai konsekwensi, poin Pemohon Kasasi harus tak diindahkan.

Sedangkan, Responden Kasasi dengan keras menolak poin 44, di halaman sebelas Memorandum
Kasasi, karena ia tidak relevan. Menurut prinsip asas praduga tak bersalah di dalam KUHP, poin yang
tidak relevan seperti itu, harus tak diindahkan.

didasarkan pada argumentasi-argumentasi tersebut, oleh karena itu jelas dan terbukti bahwa
pertimbangan-pertimbangan pengadilan di dalam putusan pra pengadilan adalah benar dan akurat.
Secara setimpal Responden Kasasi meminta ketua Mahkamah Agung Indonesia untuk memutuskan
sebagai berikut:

1. menerima poin-poin yang terdapat di penyanggahan Memorandum ini melawan suatu


Memorandum untuk Kasasi, yang disampaikan oleh Responden Kasasi ;

2. menyatakan permintaan Kasasi dan Memorandum untuk Kasasi dari Pemohon Kasasi sebagai
TIDAK DAPAT DIIJINKAN;

3. Memerintahkan Pemohon Kasasi untuk membayar biaya pengujian kasus kepada pengadilan.

Atau jika yang mulia ketua Mahkamah Agung Indonesia itu mempunyai pendapat lain, kami meminta
untuk keputusan yang adil dan yang terbaik (ex aequo et bono).

Dengan penuh rasa hormat,

OC. KALIGIS & REKAN–REKAN


44

(-tertanda)

O.C.KALIGIS, SH.

(-tertanda)

FARIDA SULISTIYANI,SH.

(- tertanda)

MARLA WONGKAR,SH.

Anda mungkin juga menyukai