Kelas : 4EB04
Dosen : Misdiyono, SE., MM.
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Beras dibutuhkan banyak orang dan orang ingin beras yang banyak. Hal ini
tampak dari total konsumsi beras masyarakat yang cenderung meningkat. Lebih
dari 14 juta rumah tangga petani menggantungkan hidup dari sektor perberasan
(BPS, 2013: 10). Bahkan transmisi ekonomi beras mampu menyasar hingga ke
inflasi dan tingkat kemiskinan. Intervensi pemerintah pun hadir untuk melindungi
pelaku ekonomi beras dari risiko, baik harga maupun perubahan iklim. Namun
sayang, manfaatnya banyak dinikmati pedagang perantara karena sistem distribusi
yang belum efisien hingga isu kartel beras.
Mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi dan sifat suatu produk
bersangkutan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dengan memuaskan
sesuai dengan nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2001). Menurut
pihak konsumen, mutu sesuatu barang akan ditentukan oleh harapan konsumen atas
biaya yang harus ditanggung oleh konsumen apabila dia membeli barang tersebut
di satu pihak dengan harga barang tersebut di pihak lain.
Beras yang beredar di pasaran pada umumnya berupa beras giling sempurna
atau biasa disebut beras putih. Jenis beras berpigmen merah atau hitam biasanya
dipasarkan dalam bentuk beras pecah kulit atau disosoh sebagian. Beras dikonsumsi
dalam bentuk butiran biji utuh, sehingga bentuk dan penampilan merupakan
karakteristik pertama yang diamati oleh konsumen ketika memilih dan membeli
beras. Bentuk beras merupakan karakter yang disebabkan oleh faktor turunan atau
genetik. Kenampakan beras lebih banyak dipengaruhi oleh operasional proses
1
2
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fraud
2.1.1 Pengertian Fraud
Dalam akuntansi, dikenal dua jenis kesalahan yaitu kekeliruan (error) yang
mengandung unsur ketidaksengajaan dan kecurangan (fraud) yang bisanya memang
disengaja untuk menaikkan harga saham perusahaan. Fraud adalah tindakan curang
yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri sendiri, kelompok,
atau pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi).
a. Kesempatan (Opportunity)
b. Pengungkapan (Exposure)
3
4
maupun yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan
sanksi apabila perbuatannya terungkap.
2. Faktor Individu
Faktor ini berhubungan dengan individu sebagai pelaku kecurangan yang terdiri
dari:
a. Ketamakan (Greed)
b. Kebutuhan (Need)
PT IBU (Indo Beras Unggul) yang memproduksi beras maknyus dan Ayam
Jago dituduh melakukan pelanggaran berupa monopoli pasar dan kecurangan
sehingga pada hari Kamis 20 Juli 2017 bareskrim Polri melakukan penggerebekan
gudang beras PT IBU (Indo Beras Unggul), dugaan pelanggaran muncul setelah
Satgas Pangan, yang diawaki Polri, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam
Negeri, dan KPPU, melakukan penyelidikan selama satu bulan. Selain dugaan
pelanggaran yang berupa monopoli pasar dan kecurangan PT IBU (Indo Beras
6
Unggul) juga di tuduh memproduksi beras dengan kualitas yang tidak sesuai dengan
apa yang tertera di kemasan muncul. Satgas menduga ada juga pelanggaran UU
Perlindungan Konsumen.
Kasus beras produksi PT Indo Beras Unggul (IBU) menimbulkan polemik
panjang di masyarakat. Ada pihak yang setuju dengan langkah pemerintah dan
polisi membongkar permainan yang diduga dilakukan PT IBU. Namun ada pula
yang menilai pemerintah melakukan blunder dan mengada-ada dalam kasus ini.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf (dari kiri), Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Pertanian Amran
Sulaiman, dan Sekjen Kementerian Perdagangan Karyanto memerlihatkan karung berisi beras cap Ayam
Jago dan Maknyuss yang dipalsukan kandungan karbohidratnya dari berbagai merk saat penggerebekan
gudang beras di PT Indo Beras Unggul, di kawasan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis
(20/7) malam. - ANTARA/Risky Andrianto
Polisi menduga ada dua poin pelanggaran yang dilakukan oleh PT IBU.
Pertama pembelian di atas harga rata-rata di mana beras IR64, ditetapkan harga
8
eceran tertingginya sebesar Rp 9.000 per kg namun dijual lebih tinggi ndari itu
bahkan dua kali lipat. Kemudian yang kedua adalah pelanggaran tindak pidana
persaingan usaha. "Selain melanggar tindak pidana persaingan curang sebagaimana
termaktub dalam Pasal 382 BIS KUHP, dua anak perusahaan itu diduga juga
melanggar Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu Pasal
141 dan 89 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.
Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya (kiri) dan Kasubdit Industri dan
Perdagangan Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Hengki Heriyadi memberikan keterangan
kepada media terkait kasus dugaan PT Indo Beras Unggul (IBU) yang terindikasi melakukan
kecurangan kualitas produk beras, Jakarta, Kamis (25/8/2017). tirto.id/Andrey Gromico.
Polri juga mendapatkan temuan soal pembohongan publik soal nilai gizi
beras. Berdasarkan hasil laboratorium, beras merk Ayam Jago mencantumkan
kadar protein sebesar 14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,73 persen. Kadar
karbohidrat tercantum 25 persen, padahal lebih besar yaitu 81,45 persen. Lalu kadar
lemak tercantum 6 persen padahal lebih kecil yaitu hanya 0,38 persen. Sementara
untuk beras merek Maknyuss, dalam kemasan dicantumkan kadar protein 14
persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,72 persen. Kadar karbohidrat 27 persen,
padahal lebih besar yaitu 81,47 persen. Lalu kadar lemak tercantum 0 persen
padahal lebih besar yaitu 0,44 persen.
"Ini mencurigakan. Ada apa dengan perbedaan kandungan nilai gizi itu?
Sekadar memainkan mutu beras? Persoalan bisnis semata? Atau merupakan usaha
sejenis melemahkan bangsa ini, karena yang dikonsumsi oleh masyarakat selama
ini justru mengandung protein, karbohidrat, dan lemak yang justru terindikasi
memainkan kesehatan masyarakat melalui pangan," papar Ari.
9
Kedua anak perusahaan itu diduga telah melanggar Pasal 382 BIS KUHP,
dan Permendag No. 27/M-DAG/PER/2017. Dimana untuk harga acuan pembelian
di petani, gabah kering panen Rp 3.700/kg, gabah kering giling Rp 4.600/kg, dan
beras Rp 7.300/kg. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen untuk beras Rp
9.500/kg.
sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui
BULOG, dan tidak diperjualbelikan di pasar," jelas Ana.
Padi varietas IR64 merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru
(VUB), di antara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari,
Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen
dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun. "Memang benih padi varietas IR64
cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras,
dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut
beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari
dan lainnya” ungkap Ana.
Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan
mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan IR64 baru. Akibatnya seringkali
diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya yang
sebagian petani menyebut benih jenis IR. "Seluruh beras medium dan premium itu
kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang,
Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang
diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram gabah,"
terang Ana.
Dari hal ini, menurut Ana, PT IBU diketahui membeli gabah/beras jenis
varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya diolah menjadi
beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi. Ini yang menyebabkan
disparitas harga tinggi, marjin yang perusahaan peroleh tinggi bisa hingga 100
persen. "Mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani
menderita dan konsumen menanggung harga tinggi," tutur dia.
Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani harga yang sama dan
diproses menjadi beras medium dengan harga normal medium. Lebih lanjut Ana
menegaskan negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang
negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak
menikmati. Produk dari petani diolah perusahaan sedemikian rupa menjadi
premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan
wajar antar pelaku.
11
pada berasnya, tapi pada pembeliannya, beras raskin tidak dijual bebas, hanya untuk
konsumen miskin."
Menurut Anton yang mengaku bergabung dengan PT TPS 3 atau 4 tahun
lalu, di dunia perdagangan beras dikenal namanya beras medium dan beras
premium, SNI untuk kualitas beras juga ada. "Yang diproduksi TPS sudah sesuai
SNI untuk kualitas atas," jelas dia. Anton juga membantah tuduhan yang menyebut
negara dirugikan terkait kasus ini. "Kalau dibilang negara dirugikan, dirugikan di
mananya? Apalagi sampai bilang ratusan triliun, lha wong omzet beras TPS saja
hanya Rp 4 triliun per tahun, lagi-lagi pejabat negara melakukan kebohongan
publik," ucap Anton, seraya menyebut tuduhan menjual di atas HET itu tidak bijak.
Anton sendiri meminta sebelum pemeriksaan, tuduhan dugaan pemalsuan beras
subsidi itu dikonfirmasi dulu. "Sebelum melakukan itu tolong konfirmasi dulu
tuduhannya, dikaji ulang," pinta Anton Apriyantono.
Direktur Tiga Pilar Sejahtera Jo Tjong Seng mengungkapkan apa yang
dituduhkan kepada anak usahanya mengenai kecurangan dalam penjualan beras
tersebut tidaklah benar. "Kami sudah sampaikan kepada investor bahwa itu tidak
benar. kami sudah berikan update ke mereka mengenai tahapan produksi yang kita
lakukan. Kami tegaskan kami tidak melakukan pelanggaran dan produksi masih
normal," kata dia di Jakarta, Sabtu (22/7/2017).
Dia menjelaskan harga beras hasil produksinya selama ini lebih murah dari
pasaran karena kategori gabah yang perusahaan dapatkan berbeda dengan beras
kualitas premium yang lainnya. Selain itu, gabah yang kemudian diolah menjadi
beras kualitas premium tersebut sudah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI). "Jadi tidak ada upaya monopoli di sini. Gabah yang kami beli punya
spesifikasi tersendiri jadi tidak bisa dibandingkan langsung dengan yang lan," tegas
dia.
BAB III
PENUTUP
2.2 Kesimpulan
13
REFERENSI
Ariyono, A., Nurmalina, R., & Harmini. (2013). “Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Sistem
Pemasaran Beras di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat”. Forum Agribisnis, 3 (1), hlm.
1-16.
BPS. (2013). Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Rachman, B. (2009). “Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan terhadap Aspek Teknis, Manejemen dan
Regulasi”. Analisis Kebijakan Pertanian, 7(2), hlm. 131-146.
Suryana, A., Rachman, B., & Hartono, M. D. (2014). “Dinamika Kebijakan Harga Gabah dan Beras
dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Pengembangan Inovasi Pertanian, 7(4), hlm.
155-168.
Awaludin, L. “Sita 1.161 Ton Beras, Kapolri: Negara Rugi Ratusan Triliun Rupiah”,
https://news.detik.com/ berita/d-3568234/sita-1161-ton-beras-kapolri-negara-rugi-ratusan-
triliun-rupiah, diakses 9 November 2019.
Destrianita. “Marak Penipuan, KPPU: Persaingan di Industri Beras Tak Sehat”, https://bisnis.tempo.
co/read/news/2017/07/21/090893281/marak-penipuan-kppu-persaingan-di-industri-beras-tak-
sehat, diakses 09 November 2019.
Maulidar, I. & Firmanto, D. “Beras Maknyuss, Ombudsman Soroti Pelanggaran Tim Satgas
Pangan”, https://m. tempo.co/read/news/2017/07/26/090894457/beras-maknyuss-ombudsman-
soroti-pelanggaran-tim-satgas-pangan, diakses 09 November 2019.
https://www.jurnal.id/id/blog/2018-mengenal-istilah-fraud-kecurangan-dalam-akuntansi/, diakses
09 November 2019.
14