Anda di halaman 1dari 12

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : BAYU SUKMAJATI

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042551736

Tanggal Lahir : 10 MEI 1992

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4409/ ARBITRASE, MEDIASI DAN NEGOSIASI

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 21 / JAKARTA

Hari/Tanggal UAS THE : SELASA / 29 DESEMBER 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

1 Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

2 Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : BAYU SUKMAJATI


NIM : 042551736
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4306 / METODE PENELITIAN HUKUM
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311 / ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 21 / JAKARTA

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
JAKARTA, 29 DESEMBER 2021

Yang Membuat Pernyataan

BAYU SUKMAJATI
1. Kita masih menemukan Perkara Arbitrase dimana sengketa yang telah diputus secara
Final dan Mengikat oleh BANI masih dimungkinkan untuk diajukan pembatalan putusan
ke Pengadilan, misalnya pada Perkara https://www.geodipa.co.id/mahkamah-agung-
kabulkan-banding-pt-geo-dipa-energi-persero/.

Setelah saudara baca putusan tersebut diatas, manakah aturan yang membolehkan
Putusan yang sudah diputus oleh BANI diajukan pembatalan? dan uraikan
bagaimana syarat pengajuan keberatan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa !
[Jawab]

Aturan yang membolehkan pembatalan putusan yang sudah diputuskan oleh BANI adalah
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaiannya.
Pasal 70

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan


apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah


putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Di samping itu, Reglement op de Rechtvordering (“Rv”) yang hingga saat ini masih berlaku
juga memberikan kemungkinan pembatalan putusan arbitrase.

Pasal 643 Rv menyebutkan secara limitatif alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase.

Disebutkan bahwa ada 10 alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan
pembatalan putusan arbitrase, yaitu:

1. apabila putusan diberikan melampaui batas-batas perjanjian;


2. apabila putusan diberikan berdasarkan:

a. suatu persetujuan yang batal, atau


b. telah lewat waktunya;

3. apabila putusan diambil oleh arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya
arbiter-arbiter yang lainnya;
4. apabila putusan:

a. telah mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut; atau


b. telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut;

5. apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lain saling


bertentangan;
6. apabila arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau
beberapa hal yang menurut persetujuan, telah diajukan kepada mereka untuk diputus;
7. apabila arbiter melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut, dengan
ancaman kebatalan putusannya;
8. apabila putusan didasarkan atas:
a. surat-surat yang palsu, dan
b. kepalsuan itu diakui atau dinyatakan sebagai palsu setelah keputusan dijatuhkan;
9. apabila setelah putusan diberikan:
a. diketemukan lagi surat-surat yang menentukan,
b. dan yang dulu disembunyikan oleh para pihak;
10. apabila putusan didasarkan atas:
a. kecurangan; atau
b. itikad buruk.

putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan


banding ke Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Dengan
demikian menurut UU Arbitrase upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat
diajukan dalam hal Majelis Hakim yang memeriksa permohonan pembatalan putusan
arbitrase membatalkan putusan arbitrase tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak
permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut UU
Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.
Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun putusan pada tingkat pertama menolak
permohonan pembatalan putusan arbitrase, bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut
tetap dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang
memeriksa permohonan tersebut pada tahap pertama. Namun, hal tersebut tidak sesuai
dengan aturan hukum yang ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk
mengajukan eksepsi atau keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut.

Terkait pendaftaran Putusan BANI ke Pengadilan Negeri setempat, ini merupakan tanggung
jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yaitu sebagai berikut:

“Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan,
lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Dikarenakan perkara arbitrase yang Saudara jelaskan tersebut diselesaikan di BANI, maka
pihak BANI berkewajiban untuk melakukan pendaftaran atas putusan arbitrase tersebut.
Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu pengadilan negeri yang termasuk dalam
domisili hukum pihak termohon arbitrase. Setelah BANI melakukan pendaftaran putusan di
pengadilan negeri, BANI akan melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara.
Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan BANI yang telah
memuat cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat
tanggal dan nomor pendaftarannya.

etelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak yang tidak puas dan ingin membatalkan
putusan arbitrase, dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Arbitrase yang menyebutkan sebagai
berikut:

“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Dengan demikian walaupun putusan arbitrase tersebut telah dibacakan dalam persidangan
dan salinan putusan telah dikirimkan kepada para pihak yang berperkara, BANI tetap
berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara, setelah
putusan arbitrase tersebut didaftarkan.
2. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berupaya melakukan negosiasi komersial dengan
pihak pemberi sewa atau lessor armada pesawat. Perseroan mengatakan negosiasi itu
bertujuan untuk mencapai kesepakatan di luar pengadilan dengan pihak lessor.
Manajemen menuturkan maskapai pelat merah itu memiliki perjanjian sewa pesawat
dengan 31 lessor. Namun, perseroan tidak mengungkapkan nilai kontrak yang tengah
dalam proses negosiasi.

Baca artikel CNN Indonesia "Tertekan Corona, Garuda Negosiasi dengan Lessor
Pesawat" selengkapnya di sini :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201005133338-92-554468/tertekan-
corona-garuda-negosiasi-dengan-lessor-pesawat

Berdasarkan berita diatas berikan argumentasi kemungkinan yang terjadi jika


dalam masa negosiasi pihak PT. Garuda dan Pihak Lessor membuka isi
perjanjian diantara mereka

[Jawab]

• PT. Garuda Indonesia dan beberapa lessor melakukan perjanjian untuk sewa
pesawat;
• Dalam perjanjian PT. Garuda Indonesia dengan beberapa lessor melakukan
perjanjian dengan memasukan kalusul kerahasiaan.

Perjanjian kerahasiaan atau yang biasa disebut Non Disclosure Agreement adalah
suatu kesepakatan yang mengikat para pihak terlibat untuk tidak mengungkapkan
informasi rahasia milik salah satu pihak kepada pihak lainnya. Ini dikarenakan apabila
informasi rahasia diungkapkan ke pihak lain dapat mengakibatkan kerugian bagi
pemilik informasi rahasia.

Aturan mengenai perjanjian kerahasiaan telah diatur dalam UU Nomor 30 Thn 2000
tentang Rahasia Dagang. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa lingkup
perlindungan kerahasiaan meliputi metode produksi, pengolahan, penjualan, dan
semua informasi sensitif yang memiliki nilai ekonomi.

Dalam Pasal 3 UURD telah dijelaskan beberapa kriteria yang termasuk dalam standar
informasi yang dilindungi, yaitu :
- Bersifat rahasia, yang berarti informasi tersebut hanya diizinkan untuk diketahui
oleh beberapa pihak terkait, dan bukan untuk konsumsi publik.
- Mempunyai nilai ekonomi, apabila informasi yang dimaksudkan, apabila terbongkar
dapat meningkatkan ekonomi perusahaan yang terlibat secara langsung ataupun
tidak langsung.
- Dijaga kerahasiaanya, yang dimaksud adalah para pihak yang terlibat telah
membuat suatu prosedur atau kebijakan internal untuk menjaga informasi rahasia
yang dimaksud.

Saat pihak terlibat sudah sepakat dan telah menandatangani perjanjian kerahasiaan
maka semua pihak sudah setuju untuk tidak mengungkapkan rahasia perusahaan.
Apabila ada salah satu pihak yang mengingkari perjanjian dan dengan sengaja
mengungkapkan rahasia tersebut maka hal tersebut sudah termasuk pelanggaran
hukum.

Aturan yang berlaku terhadap para pelanggar hukum rahasia dagang telah diatur
dalam pasal 17 UURD yang pidana nya berupa penjara paling lama dua tahun dan
atau denda paling banyak hingga tiga ratus juta rupiah.

mengenai klausul kerahasiaan data perusahaan ini Ricardo menyatakan bahwa


apabila pekerja tersebut tidak diberikan kewenangan untuk membuka data rahasia
perusahaan tersebut, maka dapat dikategorikan telah melanggar kontrak (breach of
contract), sehingga dapat digugat wanprestasi terhadap prestasi untuk tidak berbuat
sesuatu (lihat Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

3. Seorang penumpang suatu maskapai penerbangan merasa dirugikan karena pesawat


terlambat/delayed hingga 12 jam dan itu membuat janji bisnisnya menjadi terganggu.
Sebagai konsumen dia berhak untuk meminta ganti rugi atas keterlambatan tersebut dan
dia memilih Mediasi di BPSK sebagai metode penyelesaian sengketa konsumen bukan
gugatan ke pengadilan.

Dari kasus diatas saudara diminta untuk membedakan dasar hukum Mediasi di
Pengadilan Negeri dan BPSK serta bagaimana alur proses Mediasi di BPSK !

[Jawab]

➢ Dasar Hukum mediasi melalui pengadilan terdapat pada Peraturan Mahkamah


Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan;
➢ Dasar Hukum mediasi melalui BPSK terdapat pada Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bada
Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Alur proses mediasi di BPSK diatur dalam Pasal 30 Kemendag 350//MPP/Kep/12/2001


sebagai berikut : “Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara
Mediasi, mempunyai tugas :

1. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;


2. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
3. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
4. secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
5. secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen
6. sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Lebih lanjut dalam Pasal 31 Kemendag dinyatakan bahwa tata cara penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah :

1. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada


konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun
jumlah ganti rugi;
2. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk,
saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; Majelis menerima
hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan ketentuan.

4. Terdapat dua kasus yang mengajukan keberatan ke Pengadilan atas putusan BANI dan
BPSK yang menggunakan Metode Penyelesaian Sengketa dengan Arbitrase yaitu :

1. PT. BGE melawan PT. GDE menyelesaikan sengketa melalui Badan Abitrase Nasional
(BANI) dengan perkara No. 271/XI/ARB-BANI/2007 tanggal 11 Juli 2008 sebagaimana
dalam Putusan MA No. 586K/Pdt.Sus/2012.
2. Miftah Nur Asrofi melawan PT. BANK BTN Kantor Cabang Lipat Kain menyelesaikan
sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kab. Batu Bara
No. 935/Arbitrase/BPSK-BB/IV/2016 Tanggal 12 Agustus 2016 sebagaimana dalam
Putusan MA No. 510K/Pdt-Sus-BPSK/2017.

Dari kedua Putusan yang diajukan keberatan ke Pengadilan tersebut sama-sama


menggunakan Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketanya, untuk itu
saudara diminta menyimpulkan Kewenangan Arbitrase dan Kewenangan BPSK
dalam Penyelesaian Sengketa menggunakan Arbitrase disertai Dasar Hukumnya !

[Jawab]

1. Kewenangan Arbitrase dalam penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase.

Lembaga arbitrase, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah badanyang


dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusanmengenai
sengketa tertentu dan juga dapat memberikan pendapat yang mengikatmengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.Lembaga arbitrase
berkedudukan sebagai suatu badan untuk penyelesaian suatusengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjianarbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa

Arbitrase memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di bidang


perdagangan, industri, dan keuangan nasional maupun internasional. Lembaga
arbitrase sebagai lembaga extra judicial lahir dari kalusula arbitrase, jurisprudensi telah
mengakui legal effect yang memberi kewenangan absolute bagi arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjiana berdasarkan Azas Pacta Sunt
Servanda yang ditetapkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sebagai berikut :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlakusebagai


undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata tersebut di atas menegaskan”

bahwa jika persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang menyepakatinya. Ketentuan ini merupakan pelaksanaan
dari asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda), yaitu suatu asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian yang menegaskan bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Hal ini juga secara
tegas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase. Dikemukakan oleh H Priyatna bahwa Pengadilan
harus menghormati wewenang dan fungsi arbiter.
Kewenangan lembaga arbitrase ini, meskipun bersifat absolut tetapi tetap terbatas,
artinya kewenangan tersebut hanya untuk perkara-perkara yang penyelesaiannya
berdasarkan perjanjian arbitrase dan hanya melingkupi perkara-perkara di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum danperaturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yangbersengketa. Hal tersebut secara
tegas diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan:

1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang


perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa penyelesaian sengketa


melalui arbitrase hanya dapat dilakukan terhadap:

1. Sengketa di bidang perdagangan;


2. Mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

2. Kewenangan BPSK dalam penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase.

Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 Ayat 1 UUPK dan Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus
dibentuk BPSK. Menurut ketentuan Pasal 90 Keppres No. 9 Tahun 200 l, biaya
pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur BPSK telah diganti dengan Peraturan Menteri
Perdagangan nomor 06/M-DAG/PER/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen tanggal 17 Februari 2017.

Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) UUPK, keanggotaan BPSK terdiri dari 3 (tiga)
unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap
unsur berjumlah sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang, sehingga jumlah anggota BPSK minimal 9 (sembilan) orang dan maksimal 15 (lima
belas) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan (saat sekarang kementerian ini di pisah menjadi 2 (dua)
yaitu Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan).

Pasal 50 UUPK menjelaskan, setelah terpilih anggota BPSK, kemudian diisi struktur
organisasi yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap
anggota dan anggota yang dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh sekretariat yang terdiri
dari kepala sekretariat dan anggota sekretariat. Pengangkatan dan pemberhentian
sekretariat BPSK ditetapkan oleh menteri.

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsurnen (BPSK) diatur pada
Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag Nomor350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember
2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, yaitu:

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara


konsiliasi, mediasi, dan arbitrase;
2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK);
5. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga
mengetahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen;
9. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap
orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen;
12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Dengan menunjuk pada Pasal 49 ayat (I) dan Pasal 54 ayat (l) Undang- Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 2 SK Menperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
yaitu: sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai