Anda di halaman 1dari 38

LANDREFORM

Disusun Oleh :
Alfarizi Nabawi Yusuf 221000076
Aznur Muban Dirgantara 221000090
Andri Ghiffari W 221000050
Aditya Candra Kirana 221000073
Brahmantyo Alzier 221000075
Fauzan Naufal Kusuma 221000091
Rafly Rafsanjani 221000078
Muhammad Rizky Putra Salam 221000074

Dosen : Dr. Saim Aksinudin SH, MH


Matkul : Hukum Agraria Dan Tata Ruang

Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Pasundan
2023

1
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 3
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................... 3
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 4
1.3 TUJUAN ....................................................................................................................... 5
BAB II ........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 6
2.1 PENGERTIAN LANDREFORM ................................................................................. 6
2.2 TUJUAN LANDREFORM ........................................................................................... 9
2.3 LANDASAN HUKUM LANDREFORM .................................................................. 10
2.4 ASAS- ASAS LANDREFORM.................................................................................. 14
2.5 OBJEK LANDREFORM ............................................................................................ 16
2.7 PROGRAM-PROGRAM LANDREFORM ............................................................... 17
2.8 PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA ............................................... 23
2.9 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA .......................... 34
BAB III ..................................................................................................................................... 36
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 38

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber
daya alam utama, selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia,
juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan Negara dan rakyat yang makin
beragam dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan
dunia Internasional.

Demikian pentingnya kegunaan tanah bagi hidup dan kehidupan manusia, maka
campur tangan Negara melalui aparatnya dalam tatanan hukum pertanahan merupakan hal
yang mutlak. Hal ini ditindak lanjuti dengan pemberian landasan kewenangan hukum
untuk bertindak dalam mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tanah, sebagaimana
dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD Negara RI)
Tahun 1945 yang merupakan acuan dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Pada Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, disebutkan bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti, bahwa dengan
dikuasainya bumi, air, dan kekayaan alam oleh Negara, pemerataan atas hasil-hasil
pengelolaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam ini akan dapat tercapai. Prinsip tersebut
kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 Ayat (2) .

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria yang kemudian disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yakni tentang
Hak Menguasai Tanah dari Negara, yang memberi wewenang untuk:

3
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut.

Isi pasal ini menyebutkan bahwa Hak Menguasai Negara tidak menempatkan
Negara sebagai “pemilik tanah”, tetapi pemberian kewenangan kepada Negara sebagai
organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia. Hal itu tidak lain ditujukan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum.

Dengan lahirnya UU No.5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ini
merupakan suatu hal yang positif sebagai implementasi dalam bidang Hukum Agraria di
Indonesia dan juga menghapuskan dualisme hukum yang terdapat di masa kolonial di mana
peraturan yang berlaku didasarkan pada Hukum Adat dan Hukum Barat. UUPA ini selain
merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi Bangsa Indonesia juga merupakan
suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan yang disebut land reform di Indonesia.
Hal ini terbukti dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konsiderans hinggal Pasal
19 UUPA yang berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lainnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan land reform tidak boleh keluar dari sistematika yang telah
dikembangkan oleh UUPA.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Masalah konsolidasi tanah ini menjadi sangat penting karena pada hakekatnya
pelaksanaan landreform menuju kepada konsolidasi tanah. Sehingga muncul pertanyaan
mengenai landreform , sebagai berikut:

4
1. Bagaimana pengertian Landreform
2. Apa tujuan diadakannnya Landreform
3. Apa landasan Hukum Landreform
4. Apa saja asas-asas Landreform
5. Apa saja objek Landreform
6. Apa Program-program Landreform
7. Bagaimana pelaksanaan Landreform di Indonesia
8. Apa saja kendala dalam pelaksanaan Landreform di Indonesia

1.3 TUJUAN
A. Mengetahui mengenai pengertian Landreform
B. Mengetahui apa tujuan diadakannnya Landreform
C. Mengetahui landasan Hukum Landreform
D. Mengetahui asas-asas Landreform
E. Mengetahui objek Landreform
F. Mengetahui apa saja Program-program Landreform
G. Bagaimana pelaksanaan Landreform di Indonesia
H. Mengetahui apa saja kendala dalam pelaksanaan Landreform di Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN LANDREFORM

Secara harfiah landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa inggris yang
terdiri dari kata Land dan Reform. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya
perubahan dasar atau perombakan untuk membentuk atau membangun atau menata
kembali struktur pertanian. Jadi arti dari Landreform adalah perombakan struktur
pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian lama menuju struktur pertanian
baru.

Landreform berarti perombakan terhadap struktur pertanahan, akan tetapi


sebenarnya yang dimaksudkan bukan hanya perombakan terhadap struktur penguasaan
pertanahan, melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan manusia
berkenaan dengan tanah. Istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam,
sedangkan istilah reform berarti mengubah kearah yang lebih baik, jadi landreform
berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan
manusia dengan tanah.

Menurut Dorren Warrier pada dasarnya Jika dilihat dari pengertian tersebut,
landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak
yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-
sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial
dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan
politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa.

6
Istilah land reform pada mulanya dicetuskan oleh LENIN dan banyak digunakan
di negara komunis atau negara blok timur dengan adegium “land to the tiller” untuk
memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan landlord untuk
kepentingan politis di negara tersebut.

Di Indonesia land reform yang dimaksud tidak sama dengan land reform yang
digunakan di negara komunis. Land reform di Negara Indonesia bukan hanya digunakan
dalam arti politis belaka, tetapi juga merupakan pengertian teknis selain itu ditujukan
untuk membangun kemakmuran bagi rakyat baik secara individuil maupun untuk
kepentingan partai. Oleh karena itu ketika land reform ini sedang hangat dibicarakan
banyak kalangan ada sebagian pihak yang menginginkan agar land reform ini
dihindarkan penggunaan istilahnya karena dianggap berasal dari golongan PKI atau
komunis, jadi dikhawatirkan terdapat unsur paham komunis.

Menurut Prof. Boedi Harsono bahwa definisi landeform terbagi atas


landreform dalam arti luas dan sempit yaitu:
Landreform dalam arti luas adalah Penyelesaian persoalan-persoalan agraria sebelum
terbentuknya UUPA, (Agrarian Reform) meliputi 5 program, yaitu:

● Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan
pemberian jaminan kepastian hukum;
● Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
● Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
● Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan;
● Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.

Landreform dalam arti sempit hanya mencakup program butir keempat


adalah serangkaian tindakan dari Agrarian Reform yang meliputi perombakan

7
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan penguasaanya. Jelaslah bahwa landreform dalam arti
sempit merupakan bagian dan landreform dalam arti luas. Landreform dalam arti
sempit inilah yang kemudian dikenal dengan redistribusi tanah.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa UUPA bukan hanya memuat
ketentuan-ketentuan tentang perombakan Hukum Agraria yang lama menjadi Hukum
Agraria yang baru, UUPA memuat pula pokok-pokok persoalan Agraria lainnya yang
harus diselesaikan yang disebut Agrarian Reform Indonesia (Reforma Agraria
Indonesia) yang meliputi delapan program, yaitu :
1. Pembaruan Hukum Argaria.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3. Mengakhiri pengisapan feodal secara berangsur-angsur.
4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
5. Perencanaan persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya
kesanggupan dan kemampuannya.
6. Perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
7. Pencegahan terhadap usaha-usaha di lapangan agraria yang bersifat monopoli
swasta, sedang usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan undang-undang.
8. Perlindungan terhadap kerusakan, pemeliharaan tanah, dan penambahan
kesuburannya, dengan lain perkataan perlindungan terhadap kerusakan
lingkungan.
Program yang keempat yang disebutkan di atas dinamakan land reform atau land
reform dalam arti sempit, sedangkan program-program lainnya disebut Agrarian Reform
atau land reform dalam arti luas.Boedi Harsono menyatakan bahwa land reform dalam
arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform.Land
reform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah serta
hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. R.

8
Soeprapto menyatakan bahwa land reform berarti perombakan sistem penguasaan dan
pemilikan tanah pertanian disesuaikan dengan batas kemampuan manusia untuk
mengerjakan sendiri tanahnya, dengan memerhatikan keseimbangan antara tanah yang
ada dan manusia yang membutuhkan.

Bachsan Mustofa menyatakan bahwa Land Reform berarti perubahan sistem


pemilikan dan penguasaan tanah yang lampau diubah dengan sistem tata pertanahan
baru yang disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang sedang
giat melaksanakan pembangunan ekonominya.1[3]Land reform adalah perubahan secara
mendasar mengenai penguasaan dan pemilikan tanah dari sistem yang lama sebelum
berlakunya UUPA ke sistem yang baru menurut UUPA.

2.2 TUJUAN LANDREFORM

Di Indonesia pelaksanaan Landreform berlandaskan kepada Pancasila dan UUD


1945 yang terwujud di dalam satu rangkaian kegiatan di bidang pertanahan. Kemudian
dikatakan bahwa Landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas
kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani. Secara umum
tujuan Landreform adalah untuk mewujudkan penguasaan dan pemilikan tanah secara
adil dan merata guna meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani.
Tujuan Landreform menurut Michael Lipton dalam Arie S. Hutagalung (1985)
adalah:
1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan
menggunakan usaha yang intensif yaitu dengan redisribusi tanah, untuk
mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat
merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara
menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.

9
Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya
meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian
tersebut, kemudian secara langsung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang
hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Sedangkan menurut R. Soeprapto tujuan diadakan land reform di Indonesia, yaitu :

a. Pemerataan penguasaan/pemilikan tanah pertanian untuk meratakan hasil


produksinya.
b. Mengakhiri sistem kapitalisme dan feodalisme dalam penguasaan, pemilikan, dan
pengusahaan di bidang keagrariaan.
c. Meningkatkan produksi pertanian.
d. Meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat pada umumnya.
e. Meningkatkan harga diri para penggarap dan meningkatkan gairah kerja.
f. Menghilangkan jurang pemisah antara golongan (petani) kaya dan miskin.

Sesuai dengan tujuan land reform yaitu untuk memperbaiki kehidupan rakyat
dan khususnya rakyat tani, maka tujuan utama. Dan pada dasarnya tujuan dari
diadakannya land reform adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para
petani penggarap sebagai landasan atau prasyarakat untuk menyelenggarakan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.

2.3 LANDASAN HUKUM LANDREFORM


Adapun yang menjadi landasan hukum pelaksanaan Land reform di Indonesia adalah
diantaranya:
1. Landasan Ideal yaitu Pancasila.
Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles dan para pemikir
sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5
pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih bila harus dihadapkan pada
kasus yang konkrit. Bagi Indonesia sesuai dengan Falsafah Pancasila, maka paling

10
tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat
universal, jauh didalam lubuk hati setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang
dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan
”membagi” atau ” distributive justice” yang secara sederhana menyatakan
bahwakepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan
atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu
bukanlah hal yang statis, tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak
diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.

2. Landasan Operasional UUPA No. 5 / 1960.


Sebagaimana yang disinggung dimuka, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu telah
dijabarkan lebih lanjut didalam Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 (UUPA), terutama tentang pengertian ”dikuasai negara” yaitu member
wewenang kepada negara untuk :
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
(b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
(c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Payung bagi
pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA (Undang- undang Pokok Agraria,
UU No. 5/1960) dan UUPBH (Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.
2/1960). Diperlukan waktu 12 tahun, sejak tahun 1948 ketika panitia persiapan
dibentuk, untuk menghasilkan kedua undang-undang tersebut. Dengan lahirnya
Undang-undang Pokok Agraria atau yang kita kenal dengan sebutan UUPA maka
UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia,
karena UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk

11
menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan
sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan oleh :
(1) Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-
besar kemakmuran rakyat
(2) Pemilikan/penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan
(3) Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh
diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan
(4) Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan
sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian
kualitas lingkungan hidup dan prosuktivitas sumber daya alam
(5) Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persayaratan yang ditetapkan.
Wewenang yanng bersumber dari hak menguasai negara meliputi tanah yang
sudah dilekati oleh sesuat hak atau bekas hak perorangan, tanah yang masih ada hak
ulayat dan tanah negara. Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai negara yang
meliputi tanah dengan hak perorangan adalah bersifat pasif, dan menjadi aktif apabila
tanah tersbeut dibiarkan tidak diurus/diterlantarkan. Terhadap tanah yang tidak
dipunyai oleh seseorang/badan hukum dengan hak apapun dan belum dibuka maka
hak menguasai negara bersifat aktif.
Dalam lingkupnya dengan masalah landreform ketentuan tersebut diatas
mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah kepemilikan tanah secara
perseorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak tersebut harus memperhatikan
kepentingan masyarakat, dan ini merupakan kewajiban bagi pemegang hak tersebut.
Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip landreform seagaimana yang
tercantum antara lain dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.

3. Landasan Konstitusional: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Secara konstitusional pengaturan masalah prekonomian didalamnya termasuk


ekonomi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :

(1) Prekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

12
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Prekonomian nasional diselengarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 nampak jelas bahwa dalam rangka


meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan. Ikut
campurnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan
dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita dianut sistem negara
welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa masalah ekonomi, bukan hanya
monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar semata-mata tetapi juga
diperlukan peranan negara, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Khusus mengenai pembangunan hukum agraria
dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan :

”Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai ole negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya termasuk dalam


pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. dengan demikian
secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan pertanahan
(yang didalamnya terdapat program landreform) di Indonesia telah dimulai sejak
indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

4. Beberapa ketentuan dalam pelaksanaan Land Reform

13
a. Undang-undang No. 56 PP. Tahun 1960 tentang penerapan batas luas Tanah
pertanian.
b. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 yang telah diubah menjadi
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 tentang pelaksanaan pembagian
tanah dan pemberian Ganti Rugi.
c. Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
d. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1960 yang diganti dengan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2.4 ASAS- ASAS LANDREFORM


Didalam Undang – undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang – undang Pokok Agraria memuat
asas – asas landreform yaitu:
a. Asas Penghapusan Tuan Tanah Besar.
Asas ini dimuat dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan bahwah untuk tidak
merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak di perkenankan.
b. Asas Pembatasan Luas Maksimum dan / Minimum Tanah
Asas ini dimuat dalam pasal 17 UUPA yaitu:
1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
3) Tanah – tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan – ketentuan dalam peratuaran pemerintah.
4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur
– angsur.
c. Asas Larangan Pemerasan Orang Oleh Orang Lain

14
Asas ini dimuat dalam pasal 11 UUPA yakni:
1) Hubungan hukum antar orang termasuk badan hukum dangan bumi, air
dan ruang agkasa serta wewenang – wewenang yang bersumber pada
hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam
pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas.
2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan kepentingan nasional
diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomi lemah.

d. Asas Kewajiban Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas Tanah
Pertanian.

Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA yakni:

1) Setiap Orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri
secara aktif dengan mencegah cara – cara pemerasan.
2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan
3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundang – undangan

Tanah - tanah yang menjadi objek landreform yang akan dibagikan (diredistribusikan)
kepada petani yang belum memiliki tanah diatur dalam pasal 1 peraturan pemerintah No.224
tahun 1961 yakni:
a) Tanah - tanah selebihnya dari batats maksimum sebagai dimaksud dalam Undang
- undang No.56 Prp tahun 1960 dan tanah – tanah yang jatuh pada negara karena
pemiliknya melanggar ketentuan ketentuan undang - undang tersebut.
b) Tanah - tanah yang diambil oleh pemerintah pemiliknya berdomisili diluar
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan.

15
c) Tanah - tanah swapraja dan bekas bekas swapraja yang telah berali kepada negara,
sebagai yang dimaksud kan dalam diktum keempat huruf a UUPA.
d) Tanah - tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan di tegakkan
langsung oleh menteri agraria.

2.5 OBJEK LANDREFORM

Pengertian tanah juga diatur dalam pasal 4 UUPA, yaitu:


Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan hukum.
Istilah tanah yang dimaksud dalam pasal diatas ialah permukaan bumi. Makna
permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan
hukum. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian menyatakan bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan
sebagai Obyek landreform adalah Tanah – tanah yang dikuasai negara sebagai obyek
pengaturan penguasaan tanah (obyek landreform) yang akan didistribusikan kepada para petani
penggarap, yaitu :
 Tanah kelebihan batas maksimum, yaitu tanah yang melebihi batas ketentuan yang
boleh dimiliki oleh seseorang atau satu keluarga. Luas batas maksimum ditentukan
per daerah tingkat II dengan memperhatikan faktor jumlah penduduk, luas daerah,
dan sebagainya. Daerah tersebut dibagi menjadi daerah yang tidak padat dengan
pemilikan maksimum 20 hektare, cukup padat maksimum 9 hektare dan sangaat
padat maksimum pemilikannya 6 hektare.
 Tanah absentee, yaitu tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar
kecamatan letak tanah dan kecamatan tersebut letaknya tidak berbatasan.
 Tanah bekas swapraja, yaitu tanah bekas wilayah kerajaan atau kesultanan, yang
dengan UUPA beralih menjadi tanah negara Republik Indonesia

16
 Tanah negara lainnya yang merupakan tanah pertanian yang telah digarap rakyat
yang ditegaskan oleh Menteri (sekarang Menteri Negara Agraria/Kepala BPN)
sebagai obyek landreform adalah :
 Tanah yang terkena UU No. 1 Tahun 1958, yaitu tanah partikelir dan hak eigendom
lebih 10 bouw yang di jaman penjajahan dimiliki tuan – tuan tanah
 tanah bekas perkebunan (bekas hak erfpacht atau HGU)
 Tanah bekas hak ulayat masyarakat hukum adat, bekas tanah kehutanan, dan tanah
negara bebas
Untuk tanah yang berasal dari kelebihan maksimum, absentee, dan tanah swapraja,
penegasannya ditetapkan Kepala Kantah setempat. Sedangkan redistribusinya ditetapkan oleh
Kepala Kanwil BPN. Untuk tanah – tanah yang berasal dari tanah yang langsung dikuasai
negara, akan dijadikan obyek landrefom harus ditegaskan telebih dahulu oleh Kepala BPN.
Hakekatnya program redistribusi bukanlah program distribusi, karena tanah-tanah obyek
landreform yang sudah berstatus tanah negara bisa berasal dari dua kemungkinan berikut:
a. Tanah negara bebas, merupakan tanah yang berasal dari tanah bekas perkebunan
swasta asing/perkebunan besar pada zaman pemerintahan Hindia
b. Belanda yang dinasionalisasi oleh UUPA. Misalnya: bekas tanah hak erfpact
c. (semacam tanah HGU).
d. Tanah negara sebagai hasil pembebasan merupakan tanah dengan pembayaran ganti
kerugian atas tanah-tanah kelebihan, tanah guntai dan tanah terlantar.

2.7 PROGRAM-PROGRAM LANDREFORM


Program landreform dalam penguatan tanah pertanian di Indonesia meliputi :

1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas Pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena
terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya didaerah yang padat
penduduknya hal itu menyebabkan menjadi sempitnya kalau tidak dapat dikatakan
hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah
sendiri seperti yang diatur dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria pasal 7 dan pasal 17.

17
2. Larangan pemilik tanah secara absentee. Diartikan sebagai pemilikan tanah yang
letaknya di luar daerah tempat tinggal pemiliknya. Diatur dalam pasal 3 Peraturan
Pemerintahan No 224 Tahun 1962 dan pasal 1 Peraturan Pemerintah No 41 Tahun
1964. Mlarang pemilik tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar
kecamatan tempat letak tanahnya dan pengukuran yang diatur asal pemilik tanah
masih dapat mengerjakan tanah secara efisien.
3. Redistribusi tanah – tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah tanah yang
terkena absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya
4. Pengaturan mengenai pengembalian dan penebusan tanah – tanah pertanian yang
digadaikan Gadai adalah hubungan hukum antara seorang dengan tanah kepunyaan
orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai itu
belum dikembalikan, maka tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”, selama
itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai
atau yang lazim disebut “penebusan kembali tanahnya” tergantung pada kemauan
dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
5. Pengaturan kembali perjajian bagi hasil tanah pertanianSebagaimana diketahui,
yang dimaksudkan dengan Perjanjian Bagi Hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960
adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan
hukum yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di
atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbalan
yang disetujui sebelumnya. UU No. 2 Tahun 1960 yang bertujuan untuk
memperbaiki nasib para penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar
dilaksanakan akan mempunyai efek yang sama dengan penyelenggaraan
redistribusi tanah kelebihan dan tanah absentee terhadap penghasilan para petani
penggarap. Mereka akan menerima bagian yang lebih besar dari hasil tanahnya.
6. Penetapan batas minimum kepemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk
melakukan perbuatan – perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah
– tanah pertanian menjadi bagian – bagian yang terlampau kecil
7. Untuk mempertinggi taraf hidup petani, kepada mereka perlu diberikan tanah
garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu, maka pasal 17 UUPA selain luas

18
maksimum menghendaki juga pengaturan tentang luas minimumnya. Berhubungan
dengan itu dalam pasal 8 UU No. 56/Prp/1960 diperintahkan kepada Pemerintah
untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki
tanah pertanian minimal 2 ha. Menurut penjelasannya, 2 ha tanah pertanian itu bisa
berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering. Ditetapkannya luas
minimum tersebut tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang
dari 2 ha akan diwajibkan untuk melepaskan tanahnya. 2 ha itu merupakan tujuan
yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-angsur (pasal 17 ayat 4
UUPA).

Disebutkan dalam salah satu program landreform yang sangat penting adalah pelaksanaan
redistribusi tanah. Pengertian redistribusi tanah itu sendiri adalah pengambilan tanah-tanah
pertanian yang melebihi batas maximum, oleh pemerintah kemudian dibagikan kepada para
petani yang tidak memilki tanah. Acuan pengambilan tanah-tanah kelebihan tersebut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pembagian Ganti Kerugian. Dalam pasal 1 PP ini dinyatakan bahwa Tanah-tanah yang dalam
rangka pelaksanaan landreform akan dibagikan menurut ketentuanketentuan dalam peraturan
ini ialah :
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maximum sebagaimana dimaksudkan dalam UU
No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya
melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di
luar daerah.
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, sebagai
yang dimaksud dalam diktum ke empat huruf A UUPA. d. Tanah-tanah lain yang
dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.

Redistribusi tanah tidak hanya diatur dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 juga diatur dalam
PP Nomor 41 Tahun 1964. Hal yang terpenting dalam kedua PP tersebut yakni pemberian ganti

19
rugi kepada masyarakat yang tanahnya diambil oleh pemerintah untuk pelaksanaan redistribusi
tanah.
Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) PP Nomor 224 Tahun 1961 yaitu : Kepada bekas
pemilik tanah-tanah yang berdasarkan pasal 1 peraturan ini diambil oleh pemerintah untuk
dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh pemerintah sendiri, diberikan ganti
kerugian yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan,
atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir, yang ditetapkan
tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya, dengan menggunakan degrevisitet sebagai
tertera dibawah ini :
a. untuk 5 hektar yang pertama, tiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun ;
b. untuk 5 hektar yang kedua, ketiga dan keempat ; tiap hektarnya 9 kali hasil bersih
setahun;
c. untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun, dengan ketentuan
bahwa jika harga tanah menurut perhitungan diatas itu lebih tinggi daripada harga
umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk penetapan ganti kerugian tersebut.

Namun apabila pemilik tanah keberatan dengan besarnya ganti kerugian maka kepadanya
diberikan kesempatan mengajukan banding kepada panitia landreform daerah tingkat I dalam
tempo 3 bulan sejak tanggal penetapan ganti kerugian tersebut, hal ini tertuang dalam pasal 6
ayat (3) Setelah selesai dilakukan pengambilan tanah-tanah kelebihan tersebut, langkah
selanjutnya adalah membagikan tanah-tanah tersebut kepada para petani yang sangat
membutuhkannya.

Dalam pasal 8 PP No 224 tahun 1961 dinyatakan bahwa :

Dengan mengingat pasal 9 s.d. 12 dan pasal 14, maka tanah-tanah yang dimaksud dalam
pasal 1 huruf a,b dan c dibagi-bagikan dengan hak yang bersangkutan menurut prioriteit sebagai
berikut :

20
a. penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
b. buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
c. pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;
e. penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
f. penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasar pasal
4 ayat (2) dan (3);
g. penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
h. pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
i. petani atau buruh tani lainnya.

Berdasar dari ketentuan di atas, ketentuan ini juga memberikan prioritas utama kepada
beberapa kelompok masyarakat, seperti yang dituangkan dalam pasal 9 yakni : Untuk
mendapatkan pembagian tanah, maka para petani yang dimaksudkan dalam pasal 8 harus
memenuhi :

a. Syarat-syarat umum: warga negara Indonesia, bertempat tinggal dikecamatan


tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat kerja dalam pertanian;
b. Syarat-syarat khusus : bagi petani yang tergolong dalam prioriteit a, b, c, f dan g,
telah mengerjakan tanah yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-
turut, bagi petani yang tergolong prioriteit d telah mengerjakan tanahnya 2 musim
berturut-turut,bagi para pekerja tetap yang tergolong dalam prioriteit c, telah bekerja
pada bekas pemilik selama 3 tahun berturut-turut.

Pembagian tanah kepada petani dalam program redistribusi ini dibedakan antara daerah
yang padat dan tidak padat. Dalam pasal 10 PP Nomo 224 Tahun 1961 dinyatakan bahwa :
Didaerah-daerah yang padat sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 56 Prp Tahun
1960 maka didalam melaksanakan pembagian tanah menurut pasal 8, penetapan luasnya
dilakukan dengan memakai ukuran sebagai berikut :

a. penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 hektar atau lebih, tidak
mendapatkan pembagian;

21
b. penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas kurang dari 1 hektar, mendapat
pembagian seluas tanah yang dikerjakan, tetapi jumlah tanah milik dan tanah yang
dibagikan kepadanya tidak boleh melebihi 1 hektar;
c. penggarap yang tidak memiliki tanah sendiri, tetapi tanah yang dibagikan
kepadanya itu tidak boleh melebihi 1 hektar;
d. petani yang tergolong prioriteit b, d, e dan f pasal 8 ayat (1) mendapat pembagian
tanah seluas sebagai ditetapkan dalam huruf a, b dan c tersebut diatas;
e. petani yang tergolong prioriteit c, g, h dan f pasal 8 ayat (1) mendapat pembagian
tanah seluas sebagai ditetapkan dalam huruf a dan b tersebut diatas;
f. petani yang tergolong dalam prioriteit c, g, h dam I pasal 8 ayat (1) mendapat
pembagian tanah mencapai 0,5 hektar. Sedangkan untuk daerah yang tidak padat
maka luas batas 1 hektar dan 0,5 hektar dapat diperluas oleh panitia landreform
daerah tingkat II yang bersangkutan.

Dari kedua ketentuan mengenai landreform diatas, apabila pemerintah melaksanakannya


dengan baik maka bisa dipastikan tidak ada lagi masyarakat yang tidak punya tanah, terlebih
petani yang tak punya sawah ladang. Hal ini mendapat dukungan dengan lahirnya Tap No IX/
MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ketentuan produk MPR ini memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia agar
segera melaksanakan program landreform yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat juga mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Wakil ketua MPR, Hariyanto Y Thohari,dalam acara Press Gathering Wartawan MPR, di
Lombok, sabtu tanggal 10 maret 2012, seperti di kutip dari harian Radar Sulteng terbitan tanggal
11 Maret 2012 mengatakan “Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat dalam tahun 1970-2001
terjadi sengketa agrarian sebanyak 1753 kasus yang meliputi 10,9 juta hektar dengan korban
1,2 juta keluarga.

Bahkan sepanjang 2011 terjadi 163 konflik pertanahan dengan korban 22 jiwa dan pada
tahun 2010 terdapat 106 konflik dan 3 korban jiwa. Menurutnya konflik atau sengketa agrarian
akarnya multidimensional karena terkait dengan masalah hukum, politik pertanahan, ledakan
jumlah penduduk, kemiskinan dan budaya.

22
Terkait Tap MPR nomor IX/MPR/2001 dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah
bagi pembaruan agrarian dan pengelolaan sumberdaya alam, yakni pengkajian ulang terhadap
seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi.
TAP MPR ini juga mengamanatkan keharusan penataan kembali penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah
untuk rakyat.

Kebijakan pertanahan dari yang imparsial dan memihak pemodal (kapitalistik) ke arah
yang yang lebih pro rakyat dan pro petani dan kaum marginal. Sebagai negara yang berdasar
Pancasila, yang merupakan jiwa dan cita-cita bangsa, sesungguhnya landreform bukanlah
sekedar bagi-bagi tanah seperti yang terkesan pada negara sosialis, melainkan pelaksanaan
program landreform adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2.8 PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA


Departemen penerangan RI dan Pertanahan di Era Pembangunan Nasional (1982:43)
menegaskan bahwa dilihat dari berbagai aspek, pelaksanaan landreform di Indonesia meliputi:

1. Tujuan sosial ekonomi :

Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik


serta memberi fungsi sosial politik, Memperbaiki produksi nasional khususnya
sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

2. Tujuan sosial politik :

Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan yang luas,


Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani
berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula

3. Tujuan mental psikologi :

Meningkatkan kegairahan bekerja bagi para petani penggarap dengan jalan


memberikan kepastian hak mengenai kepemilikan tanah. Memiliki hubungan
kerja antara kepemilikan tanah dengan penggarapannya.

23
Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai
1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk,1995). Landasan hukum pelaksanaan landreform di
Indonesia adalah UUPA No. 5 Tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pengaturan
pembatasan luas tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee, dan pasal 53 yang
mengatur hak-hak sementara atas tanah pertanian. Produk hukum yang secara lebih tajam lagi
dalam konteks ini adalah UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta
PP No. 224/ 1961 dan PP No. 41/1964 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Saat program landreform tersebut diluncurkan, kondisi politik Indonesia sedang sangat labil.

Adapun pelaksanaan landreform di Indonesia sebelum dan setelah reformasi adalah


sebagai berikut :

2.8.1 Pelaksanaan Landreform Sebelum Reformasi


Pelaksanaan landreform sebelum reformasi itu diterapkan dalam 2 masa, yaitu pada
masa orde lama (Orla) dan orde baru (Orba).

a. Orde Lama (ORLA)

Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran UUPA No. 5 Tahun 1960. Pelaksanaan
landerform di Jawa telah dimulai sejak awal kemerdekaan.Secara hitoris, Orde Lama telah
menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya.
Syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani
dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan
kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia,
sejalan dengan meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industry dasar dan industry
berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. Meskipun demikian, kegiatan landreform
yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA No.5 Tahun 1960, namun kemudian gagal
karena ditunggangi oelh muatan politik.

TAP MPRS RI Nomor II/1960 dan Manifesto Politik menyebutkan tiga landasan
filosofis pembangunan pada masa ini yaitu:
 Anti penghisapan atas manusia oleh mannusia (la exploitation de la per la home)
 Kemandirian ekonomi

24
 Anti kolonialisme, imperialism, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform
sebagai agenda pokoknya.

Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan


Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang
ditertibkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah.
Pelaksanaan program landreform pada masa orde lama adalah sebagai berikut:
● Pelaksanaan program pendaftaran tanah bedasarkan PP No. 10 Tahun 1961, untuk
mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan
tanah
● Penentuan tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya
dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah.
● Pelaksanaan program Bagi Hasil untuk pertanian bedasarkan UU No. 2 Tahun 1960
serata program Bagi Hasil pada usaha perikanan laut bedasarkan pada UU 16 Tahun
1964
● Pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi, serta perangkat peraturan
lainnya.

Tetapi program pelaksanaan landreform tersebut mengalami stagnasi, tersendat-sendat


dan tidak tuntas. Hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan dan
dukungan politik dari pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
kelemahan administrasi yang tidak sempurna dan juga menyulitkan redistribusi tanah, dan tidak
tersedianya data dan informasi, serta lain sebagainya.

Menurut Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna dan juga
menyulitkan redistribusi tanah dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi
petani/politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi
sepihak, baik dari petani yang lapar tanah ataupun tuan tanah. Aksi ini menyebabkan
dikeluarkan UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan landreform.

25
Dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan
tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena :
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai
Negara
2. Tuntutan organisai dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secar
segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding
dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform
4. Terlibatnya unsure kekerasan antara kedua pihak yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang besar dalam konflik
elite politik yang berujung pada peristiwa G-30S/PKI dan jatuhnya rezim Orde
Lama

Menurut Utrecht hasil dari pelaksanaan landreform pada masa Orde Lama adalah
diredistribusikan sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya
hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II
sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru
dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah eklebihan yang
telah ditentukan adalah 337.445 hektar.

b. Orde Baru (Orba)


Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru mengantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Pada masa
Orde Baru, landreform sudah dilaksanakan namun kurang mendapatkan perhatian yang serius
dari pemerintah. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah lebih fokus pada sektor non
pertanian, antara lain mengupakan pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pemgusaha pemilik
modal. Yang bertujuan untuk, mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ketidakstabilan
politik dan penyalahgunaan kekuasaan menyebabkan landreform digunakan sebagai alat untuk
mengambil keuntungan secara politis dalam penguasaan lahan.

26
Pada Orde Baru ini pemerintah lebih memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan
ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan UU No.1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan
SDA.
Bahkan sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan
landreform tidak dilaksanakan sama sekali dan kebijakannya juga mengambang dan kabur.
Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk mengambil keuntungan secara politis
dalam perebutan penguasaan laha ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat. Dalam
konteks otonomi daerah, di mana pemerintah daerah semakin diperkuat, namun aspek
landreform secara umum masih menjadi kewenangan pusat. Lebih ironisnya, pemerintah lokal
yang lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan
tanah bagi mereka. Kebijakan landreform jelas bukan merupakan ide yang menguntungkan
untuk meraih investor, retribusi, dan pendapatan daerah.

Namun demikian, pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya
mengklaim bahwa landreform tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Selama era
pemerintah Orde Baru, untuk menghindari kerawanan sosial politik yang besar, maka
landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda.

Konsepsi hukum agrarian Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam
UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Karena
landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai
produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang
semula ditentukan sebagai tanah kelebihan dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah
dilakukan oleh sejumlah tuan tanah. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama
dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan.
Pelaksanaan landreform pada masa Orde Baru adalah sebagai berikut :
 Adanya usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui
program sertifikasi tanah
 Mengadakan program transmigrasi

27
 Program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang berskala besar dengan
tanah-tanah yang luas
 Pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi
 Adanya peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan
(melalui Revolusi Hijau)
 Adanya program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat
program registrasi tanah

Sebagai negara berkembang, sebagian modal pembangunan Indonesia berasal dari


pinjaman dari lembaga asing. Lembaga donor tersebut berkuasa untuk mengontrol penggunaan
pinjaman tersebut. Keterbatasan anggaran merupakan satu alasan pokok mengapa pemerintahan
Orde Baru tidak memilih program landreform yang biayanya besar dan hasilnya belum tampak
dalam jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan ekonomi kapitalis, maka tanah dijadikan
komoditas untuk menarik investor asing menanamkan modalnya.

Selain itu, rezim ini mengganti PP No. 10 Tahun 1961 menjadi PP No.24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan
lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan Orde Lama yang
bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum
Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini untuk kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah
melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika didalam UUPA dan PP No.10 Tahun 1961 lebih
mendasarkan pada pendaftran tanah dengan stelsel negatif, yaitu apa saja yang terdaftar tidak
secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam
stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Namun dalam
prakteknya pelaksanaannya kurang berhasil. Hal itu disebabkan oleh:
● Kondisi politik saat Orde Baru kurang stabil
● Pembangunan pertanian Revolusi Hijau tanpa landreform, tanpa disadari telah
meminggirkan petani kecil
● Adanya penegasan stratifikasi

28
● Adanya penyusutan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi
kawasan industri, perumahan, dan kegiatan komersial lainnya.

Revolusi hijau yang mengabaikan persoalan agraria, memberikan dampak buruk kepada
masyarakat, karena struktur penguasaan terhadap tanah adalah basis kesejahteraan suatu
masyarakat. Jika strukturnya timpang dan tidak adil, maka segala upaya yang dijalnkan pada
sisi non-landreform tidak akan mampu memperbaiki keadaan ini.

c. Pelaksanaan Landreform Setelah Reformasi – sekarang


Masa Reformasi, yakni di jaman Presiden Abdurahman Wahid. Akibat pernyataannya
bahwa 40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat,
maka berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oelh
pemiliknya. Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin
menggema dan kemudian melahirkan salah satu produk hukum yang penting dalam konteks
Reform Agraria, adalah keluarnya Tap MPR No IX/MPR/2001.

Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan SDA (agraria)


dikeluarkan sejak dilakukan reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian
dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-
peraturan sebelumnya. Landrefrm kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria,
yaitu disebutkan dalam pasal 5 Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu kebijakan
pelaksanaan pembaruan agrarian adalah :
a. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, pengunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat
b. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui investarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif
dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Dan dalam Pasal 6 Tap MPR RI No. IX/MPR/2001, juga disebutkan beberapa hal yang menjadi
agenda pelaksanaan pembaruan agraria adalah :

29
a. Melakukan pengkaijian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform)
c. Menyelenggarakan kembali pendataan pertanahan
d. Menyelesaikan konflik-konflik
e. Memperkuat kelembagaan, dan
f. Mengupayakan pembiayaan

Bersamaan dengan pelaksanaan program tersebut,terjadi juga perubahan penataan


struktur administrasi birokrasi, yaitu berlakunya otonomi daerah. Permasalahan agrarian
termasuk kedalam salah satu kebijakan yang diserahkan ke pemerintah daerah. Dengan
otonomisasi daerah saat ini, sesungguhnya ada peluang untuk melakukan reform agraria secara
“lokal”. Dan semenjak bergulirnya reformasi dan otonomi daerah, perdebatan yang ramai baru
sebatas pemasalahan tarik ulur administrasi pertanahan. Landreform belim menjadi perhatian
yang serius oleh instansi-instansi pemerintah, meskipun LSM dan berbagai organisasi petani
telah beberapa kali melakukan demonstrasi menuntut dilaksanakannya reform agraria.

Selanjutnya pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, pelaksanaa landreform


dititik beratkan pada mengagendakan redistribusi tanah kembali. Bedasarkan catatan Kompas,
pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014.
Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin, sisanya 2,15 juta
hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan.
Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di pulau Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi Selatan.

Tanah tersebut berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah
milik Negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja. Selain
mengagendakan redistribusi tanah, pada pemerintahan sekarang juga dilaksanakan program
sebagai berikut :
a. Memperbaiki ketimpangan kepemilikan tanah
b. Mengurangi pengangguran dan kemiskinan

30
c. Dan mengurangi konflik sengketa tanah

Semenjak era Reformasi sampai sekarang, telah terjadi perkembangan yang


menggembirakan, di mana telah cukup banyak pihak yang membicarakan dan peduli dalam
permasalahan landreform, meskipun masih terbatas pada tingkat wacana saja. Namun demikian,
sampai sekarang belum disepakati bagaimana landreform dan agrarian reform (pembaruan
agrarian) tersebut sebaiknya untuk kondisi di Indonesia. Beberapa pihak menginginkan
pembaruan agrarian secara revolusioner (serentak dan menyeluruh), namun pihak lai
menginginkan pola yang lebih lunak secara gradua. Selain perihal pilihan tersebut masih banyak
pertanyaan yang menggantung yang harus dijawab dalam konteks ini, misalnya pembagian
peran pemerintah pusat dan daerah.

Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai symbol
kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan menjadi urusan
daerah. Artinya, landreform berupa penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap
menjadi wewenang pusat, namun aspek-aspek lan tenure dapat diperankan oleh daerah mulai
sekarang. Terdapat empat masalah pokok agrarian di Indonesia sebagaimana disampaikan
dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik
pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan SDA. Seluruhnya mestilah menjadi agenda
yang pokok untuk diselesaikan sebelum sampai kepada perumusan konsep landreform yang
ideal yaitu “ land to tillers”.

Stagnansi dari Reforma Agraria nampaknya telah menjadi suatu penyakit kronis yang
perlu segera ditangani. Baru kemarin di pertengahan tahun 2014, Presiden Jokowi-Jusuf Kalla
terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam dokumen Visi-Misi Resmi Joko Widodo-
Jusuf Kalla berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan
Berkepribadian: Visi Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014, pada salah satu poin
yang disampaikan disebutkan bahwa:
“Untuk mencapai Indonesia Kerja & Indonesia Sejahtera yaitu dengan mendorong land
reform & program kepemilikan tanah sebesar 9 juta hektar… meningkatnya akses petani gurem

31
terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani
dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.”

Di saat yang bersamaan, Jokowi-JK juga berjanji untuk membangun kedaulatan pangan
berbasis agrikultur kerakyatan dengan langkah mengendalikan impor pangan dan memberantas
mafia impor yang mementingkan kepentingan pribadi. Kemudian kemiskinan pertanian juga
menjadi fokus agenda Jokowi-JK, dimana akan dilakukan peningkatan kemampuan petani,
penyediaan bibit bermutu, serta pembangunan fasilitas-fasilitas seperti jaringan irigasi. terdapat
dua langkah besar yang telah dilakukan pada tahun 2016 ini yang bisa menjadi acuan atas
implementasi kebijakan Jokowi-JK dalam hal Landreform. Yaitu ;
1. Pada tanggal 7 April 2016 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agraria
dan Tata Ruang mengeluarkan Peraturan Menteri ATR No. 18 Tahun 2016. Pasal 3
peraturan tersebut menetapkan pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk
perorangan, seperti 20 hektar maksimum untuk daerah tidak padat dan 12 hektar
maksimum untuk daerah kurang padat. Diperkuat lagi dengan kewajiban bahwa
tanah hanya dapat dialihkan kepada pihak lain yang berdomisili di dalam 1
kecamatan letak tanah dan memang harus dipergunakan untuk pertanian.
2. Kedua, pada tanggal 14-18 April 2016, dilaksanakan Multilateral Meeting di
Bappenas, yang menghasilkan suatu program “Prioritas Nasional Reforma
Agraria”. Bappenas menetapkan beberapa prioritas dalam rangka menjalankan
reforma agraria dalam hal kedaulatan pangan, yaitu:
a. Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria,
dimana akan dilakukan pengkajian atas peraturan perundang-
undangan yang mendukung reforma agraria, terhadap kasus-kasus
konflik agraria, menyusun pendapat dan rekomendasi konflik agraria,
pengkajian hak, pengawasan lembaga dalam menjalankan
rekomendasi tersebut, dan mediasi;
b. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria
(“TORA”), dimana akan dilakukan identifikasi terlebih dahulu
terhadap tanah-tanah yang menjadi obyek, seperti Kawasan Hutan

32
yang akan Dilepaskan, tanah terlantar, dan juga mengidentifikasi
subyek penerima manfaat reforma agrarian;
c. Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas TORA, dimana dilakukan
perbaikan petugas pemetaan dan petugas reforma di Kabupaten/Kota,
meningkatkan cakupan peta dasar pertanahan, meningkatkan cakupan
bidang tanah bersertifikat untuk rakyat miskin melalui legalisasi aset,
publikasi tata batas hutan, legalisasi tanah transmigrasi, dan sosialisasi
tanah ulayat;
d. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan, dan
Produksi atas TORA, dimana akan dilakukan koordinasi lokasi dan
target pemberdayaan TORA, penyediaan teknologi dan fasilitas untuk
produksi pertanian, peternakan, dan perkebunan, dan menyediakan
bantuan modal serta fasilitas;
e. Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola Rakyat, di mana
dilakukan pendataan dan pemetaan alokasi sumber daya hutan,
menetapkan alokasi pemanfaatan hutan oleh rakyat, memberdayakan
masyarakat untuk mengelola hutan, menyediakan lembaga dan biaya
pelaksanaan, dan menguatkan hak dan akses pengusaan hutan kepada
masyarakat; Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan
Daerah, dimana dibentuk pedoman teknis dan gugus tugas pelaksana
di pusat dan daerah. Kemudian perpres lembaga penyediaan tanah bagi
pembangunan kepentingan umum akan disusun besera dengan
prioritas penyediaan tanah.

Keberadaan program-program Reforma Agraria yang luas dan mencakup perombakan


struktur, pengurangan kemiskinan, perbaikan kualitas hidup, dan ketahanan pangan merupakan
hal yang positif karena Reforma Agraria bukan hanya sekedar membagi-bagikan tanah ke
masyarakat. Kemudian hal positif yang dapat kita lihat bahwa Jokowi-JK telah belajar dari
kesalahan pemerintahan sebelumnya yang hanya memfokuskan Reforma Agraria pada tanah-
tanah yang bebas konflik, dan justru sekarang berusaha menyelesaikan konflik-konflik tersebut.

33
2.9 KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA

Program landreform pernah dicoba dan diimplementasikan di Indonesia pada era tahun
1960-an, meskipun hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang
sangata terbatas. Kemudian, sepanjang pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi
diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan program pensertifikatan, transmigrasi, dan
pengembanga Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki
akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era Reformasi sampai
sekarang, telah tercapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan
keagrariaan, namun tetap belum dijumpai program nyata tentang landreform.
Secara teoritis, ada empat factor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform,
yaitu:
a. Kesadaran dan kemauan dari elit politik,
b. Organisasi petani dan masyarakat yang kuat
c. Ketersediaan data yang lengkap dan juga akurat
d. Dukungan anggaran yang memadai

Saat ini, kondisi keempat factor tersebut masih dalam kondisi lemah, sehingga dapat
dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di Indonesia masih sulit
diwujudkan. Dalam kenyataannya, beberapa hal kendala yang timbul dalam pelaksanaan
landreform adalah :
1. Lemahnya Keinginan Elite Politik dan Kapasitas Pemerintah Lokal. Kunci pokok
pelaksanaan landreform ada pada politisi, karena permasalahan landreform ada
dalam aspek politik. Hal ini dinyatakan oleh Walinsky (1997; dalam Abdurrahman,
2004), yaitu: “ The key to who makes agrarian reform, and to what determines
whether an attempted reform will be successful is political. Technical expertise in
prepering and administering the necessary legislation in indispensible but experts
do not make reform. Politician and only politicians, make good or poor reform or
do not make them at all”. Di pundak para politikuslah masalah besar landreform
terletak. Hanya mereka yang mampu melakukannya, atau sebaliknya pada mereka
jugalah yang memastikan apakah landreform dapat dilaksanakan atau tidak sama

34
sekali. Kunci pelaksanaan landreform bukanlah pada perencana, pakar, ataupun
undang-undang, meskipun dalam tataran wacana semua pihak boleh dan memang
sebaiknya ikut terlibat.
2. Ketiadaan Organisasi Masyarakat Tani yang Kuat dan Terintegrasi. Meskipun
semenjak bergulirnya Era Reformasi beberapa organisasi masyarakat petani telah
mulai menampakkan diri, beberapa di antaranya cukup radikal, namun secara
keseluruhan belum terbentuk satu organisasi yang mampu berperan sebagai basis
untuk mengimplementasikan gerakan landreform ataupun reforma agraria secara
lebih luas. Beberapa demonstrasi yang sering diberitakan media massa menjadikan
reforma agraria sebagai topiknya, namun baru sebatas tuntutan dengan tujuan
memberi kesadaran kepada khalayak. Organisasi itu pun masih bersifat parsial dan
temporal, dan tampaknya masih bergantung kepada inspirator-inspirator yang
berasal dari luar.
3. Miskinnya Ketersediaan Data Pertanahan dan Keagrariaan. Data yang
komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk merumuskan program
landreform (dan bahkan reforma agraria) secara nasional, misalnya untuk
kebutuhan menyusun hukum payung yang komprehensif. Selain data kuantitatif
juga diperlukan berbagai data kualitatif dalam konteks sosioagraria.

35
BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian aspek pelaksanaan landreform di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
dan pelaksanaan landreform dipengaruhi oleh hukum agrarian pada masing-masing rezim.
Landreform sebagai inti reforma agraria masih membutuhkan perhatian yang serius. Penegakan
dan penguatan hak petani terhadap penguasaan lahan merupakan hasil dari produk hukum dan
kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dari sisi hukum, dukungan tersebut cukup,
meskipun beberapa produk hukum bersifat negatif. Namun dari sisi tindakan nyata pemerintah
sampai saat ini tidak terlalu menggembirakan. Semenjak digulirkan di awal tahun 1950-an
sampai saat ini, landreform dan pemberian lahan kepada petani tidak pernah berhasil
dilaksanakan secara cukup.

Prinsip pokok yang harus menjadi landasan dalam pemanfaatan tanah adalah prioritas
penggunaan, yaitu: pertama untuk kepentingan umum, kedua negara, dan ketiga baru untuk
masyarakat. Namun semasa Orde Baru, makna “kepentingan umum” sering dibiaskan dan
dijadikan tameng untuk mengakuisisi sebidang tanah, baik itu milik negara maupun pribadi.
Dalam kejadian ini, petani tidak menjadi prioritas. sejauh ini pemerintahan Jokowi telah
berusaha untuk mempersiapkan pelaksanaan Reforma Agraria yang dijanji-janjikan melalui
berbagai tahap perencanaan.

Meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi tidak berdampak positif bagi permasalahan


reforma agraria. Hal ini justru makin meningkatkan angka perampasan tanah rakyat dan konflik
- konflik agraria terutama di kalangan petani-petani kecil. Sehingga disini pemerintahan Jokowi
dalam melaksanakan Reforma Agraria harus berusaha mencari balance yang tepat antara
investasi demi pembangunan, dan reforma agraria demi kemajuan sektor pertanahan Indonesia.
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka program landreform harus dilaksanakan
dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain. Redistribusi lahan di satu wilayah
hanya akan meningkatkan kesejahteraan, jika disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur,
bentuk-bentuk usaha yang akan dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan untuk

36
usahatani, serta teknologi dan pasar. Pelaksanaan landreform yang terlepas dari konteks
pembaruan agraria hanya akan menghasilkan anarkhi, konflik, penelantaran tanah dan
maraknya jual beli lahan yang bisa saja akan memperparah ketimpangan. Karena itu, jika satu
wilayah akan menjalankan landreform maka seluruh pihak harus mendukung dan siap dengan
kebijakan dan peranannya masing-masing.

37
DAFTAR PUSTAKA

Bambang, S. (2003). PT Raja Grafindo Persada. Metodologi Penelitian Hukum, .


Kertasapoetr. (1984). Bina Aksara, Jakarta. Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, .
Sari, C. (2014). Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana. PELAKSANAAN
REDISTRIBUSI TANAH OBYEK LANDREFORMDI KABUPATEN TABANAN, .
Suciati, N. (2004). Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul. Land Reform
Indonesia, .
Sulaeman. (1993). Bina Aksara, Jakarta. Redistribusi Tanah Obyek Landreform dan
Permasalahannya, .

38

Anda mungkin juga menyukai