Anda di halaman 1dari 40

Modul 5

Landreform
Landreform merupakan usaha untuk memperbaiki
hubungan antara manusia dengan tanah. Indonesia sebagai suatu negara
berkembang mengadakan landreform ini sebagai upaya untuk memajukan
negara, dengan melakukan perombakan hubungan manusia dengan tanah.
Sebagai definisi yang praktis dari istilah landreform adalah penataan kembali
hubungan manusia dengan tanah. Ketentuan mengenai landreform ini banyak
diatur dalam UUPA yaitu mulai dari konsideran sampai Pasal 19 UUPA
sehingga dapat dikatakan bahwa UUPA merupakan induk dari landreform
Indonesia. Dalam UUPA sendiri, pengertian landreform ini tidak hanya
mencakup hubungan manusia dengan tanah, melainkan juga dengan air dan
ruang angkasa. Bila kita mendasarkan diri pada Pasal 1 dan 2 UUPA,
seharusnya kita bukan saja mempunyai landreform, tetapi juga water reform
dan air reform. Ketiga hal ini dapat kita satukan sebagai agrarian reform,
sehingga agrarian reform ini merupakan pengertian yang luas dan
landreform merupakan pengertian yang sempit. Demikian juga halnya
dengan water reform dan air reform. Bila kita berbicara tentang landreform
maka dalam hal ini kita akan membicarakan mengenai tanah.
Tanah yang menjadi objek landreform ini adalah tanah-tanah yang
dikuasai secara langsung oleh negara. Oleh karena itu, tanah-tanah yang
dikuasai itu akan dibagi-bagikan kepada rakyat. Tanah-tanah yang dijadikan
objek landreform terhadap tanah-tanah pertanian adalah tanah-tanah
kelebihan, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah-tanah lain yang
dikuasai oleh negara secara langsung. Pelaksanaan landreform memiliki
tujuan utama untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui
pembagian lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Melalui
landreform juga diharapkan dapat meningkatkan gairah kerja para petani
penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak pemilikan atas tanahnya.
Untuk itu akan ditingkatkan usaha pencegahan penguasaan tanah dan
pemilikan tanah yang melampaui batas maksimum serta timbulnya tanah
absentee baru.
Secara idealis tujuan landreform adalah agar masyarakat Indonesia adil,
makmur dan terselenggara serta khususnya taraf hidup petani meninggi dan
taraf hidup seluruh rakyat meningkat. Berdasarkan Undang-Undang No. 56
(Prp) Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 224
Tahun 1961 jo PP No. 41 Tahun 1964 Landreform itu pada dasarnya
menetapkan:
1. Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki atau dikuasai
seseorang.
2. Luas minimum tanah pertanian yang dapat dimiliki atau dikuasai
seseorang.
3. Pencegahan terjadinya pemecahan luas tanah pertanian menjadi bidangbidang
yang kecil.
4. Pengusahaan pengembalian tanah-tanah yang dikuasai dengan hak gadai.
Dalam modul ini akan dibahas pelaksanaan landreform di Indonesia,
dengan memberikan gambaran terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
landreform, tujuan landreform, ketentuan-ketentuan landreform, dan akhirnya
bagaimana pelaksanaan landreform yang terjadi di Indonesia sekarang ini.

































Kegiatan Belajar 1
Pengertian, Tujuan, dan Ketentuanketentuan
Landreform di Indonesia
Landreform dalam arti sempit berupa penataan ulang struktur penguasaan
dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reforma
agraria (agrarian reform). Menurut Cohen (1928) landreform adalah
“…Chance in land tenur, especially the distribution of land ownership,
thereby, achieving the objective of more equality”. Jadi inti dari kegiatan
landreform adalah redistribusi tanah sebagai upaya memperbaiki struktur
penguasaan dan pemilikan tanah di tengah masyarakat, sehingga kemajuan
ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin keadilan.
Sedangkan menurut Effendi Perangin dalam bukunya Hukum Agraria di
Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Agrarian
reform Indonesia meliputi 5 program, yaitu:
1. pembaharuan hukum agraria;
2. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3. mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4. perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta
hubunganhubungan
hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah, dan
5. perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana sesuai
dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Keseluruhan hal tersebut dikatakan juga landreform dalam arti luas.
Sedangkan nomor 4, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan
tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaan tanah disebut landreform dalam arti sempit. Dalam pembicaraan
modul ini, yang dimaksud landreform ialah landreform dalam arti sempit.
A. TUJUAN LANDREFORM
Apakah tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia?
Menurut Effendi Perangin (1986:122), Tujuan landreform yang
diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan
taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat
untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam bukunya Land Reform: A
world Survey Russel King menyatakan bahwa landreform dapat
dipergunakan sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah
menuju ke arah pengadilan sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam
rangka pembangunan ekonomi.
Dalam penjelasan umum PP No. 224 Tahun 1961 disebutkan bahwa
landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas
sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan
pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil
dan merata. Secara terperinci, yang menjadi tujuan landreform di Indonesia
ialah untuk:
1. mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah, dengan maksud agar pembagian hasil yang adil pula,
dengan merombak struktur pertanahan;
2. melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah
sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan.
3. memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak
milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun-temurun,
tetapi berfungsi sosial.
4. mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tidak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimum ,dan batas minimum untuk tiap
keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki ataupun
wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan
kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan
ekonomi lemah.
5. mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata,
dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada
golongan petani.
Selanjutnya menurut Eddy Ruchiyat dalam bukunya Pelaksanaan
Landreform dan Jual Gadai Tanah berdasarkan Undang-undang No. 56
(Prp) Tahun 1960 (1983: 15-19) mengutip berbagai pernyataan tentang
tujuan landreform dari berbagai kalangan yang melatarbelakangi lahirnya
UUPA. Berikut ini akan dikutip kembali pernyataan tentang tujuan
landreform tersebut.
1. Dewan Pertimbangan Agung di dalam usulnya tentang ”Perombakan hak
tanah dan penggunaan tanah" menyatakan, bahwa landreform bertujuan:
”agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya
taraf hidup petani meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata
meningkat.” Selanjutnya landreform bertujuan untuk memperkuat dan
memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama
kaum tani.
2. Menteri Agraria Sadjarwo di dalam pidatonya tanggal 12 September
1960 yang mengantarkan RUU Pokok Agraria di muka sidang Pleno
DPR-GR antara lain menyatakan bahwa:
“Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan
hukum agraria nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh dan sisasisa
penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan
diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan
kaum modal asing. Itulah sebabnya landreform di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan Revolusi Nasional Indonesia”.
3. Presiden Sukarno dalam pidatonya menyambut landreform menyatakan
bahwa “Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian
yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa
landreform sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon
tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.”
Di dalam pidato itu disitir pula pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa
bahwa:
”Defects in agrarian structure, and in particular systems of land tenure,
prevent a rise in the standard of living, of small farmers and agricultural
labourers and impede economic development”.
Keburukan-keburukan dalam susunan pertanahan, dan terutama sekali
keburukan-keburukan dalam cara-cara pengolahan tanah, menghalangi
naiknya tingkat hidup si tani kecil dan si buruh pertanian, dan
mengharumkan kemajuan ekonomis.
4. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di dalam
ketetapannya No. 11/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969
menyatakan di dalam bagian pertimbangan angka 5, bahwa syarat pokok
untuk pembangunan tata perekonomian nasional antara lain pembebasan
berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh
kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan
melaksanakan ”landreform”.
Semua ini harus dijalankan menurut ketentuan-ketentuan Hukum
Nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi,
terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan
dikuasai negara. Dalam Pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa:
“Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah
basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip, bahwa tanah
sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisap.”
5. Wakil Perdana Menteri Bidang Ekubang, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX di dalam pernyataan tanggal 12 April 1966 tentang Politik Ekonomi
Dalam Negeri antara lain menyatakan:
“Dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat, maka soal landreform
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memperbesar
rechtzekerheid mengenai pemilikan tanah buat para petani dan dengan
demikian untuk memperbesar kegairahan bekerja baginya.
”Dalam waktu yang lampau pelaksanaan landreform sebenarnya lebih
banyak menjadi suatu saluran gerakan politik dari sesuatu golongan
politik dan tidak menjadi usaha ke arah keadilan dan kemakmuran,
seperti pada umumnya”.
Jelaslah kiranya, bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di
Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
B. PROGRAM LANDREFORM
Program landreform meliputi:
1. larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas;
2. larangan memiliki tanah secara absentee;
3. redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya;
4. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian
yang digadaikan;
5. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
6. penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau
kecil.

C. APARATUR PENYELENGGARA LANDREFORM


Selain Departemen Agraria aparatur landreform yang pernah ada dalam
penyelenggaraan landreform adalah:
1. Panitia Landreform;
2. Yayasan Dana Landreform; dan
3. Pengadilan Landreform.
1. Panitia Landreform
Penyelenggaraan landreform dianggap bukan hanya tugas Departemen
Agraria saja, melainkan menyangkut pula bidang berbagai instansi lain.
Pelaksanaannya pun memerlukan ikut sertanya masyarakat, khususnya dari
kalangan tani. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi, yang diwujudkan
dalam bentuk Panitia-panitia Landreform mulai dari tingkat Pusat sampai
Desa.
Dengan Keputusan Presiden No. 131 tahun 1961 dibentuklah Panitiapanitia
Landreform Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, Kecamatan
dan Desa. Susunan, tugas dan cara bekerja Panitia-panitia tersebut kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 263 tahun 1964.
Panitia-panitia Pusat, Tingkat I dan Tingkat II terdiri atas Panitia
Paripurna dan Badan Pekerja, yang diperlengkapi dengan suatu Badan
Pertimbangan dan Pengawasan Pelaksanaan Landreform.
Menurut tingkatannya Panitia Paripurna diketuai oleh Presiden, Gubernur,
Bupati, Camat dan Kepala Desa. Badan Pekerja diketuai oleh Menteri Agraria,
Kepala Inspeksi Agraria dan Kepala Agraria Daerah. Badan Pertimbangan (BP 3L)
diketuai oleh pejabat-pejabat dari Angkatan Kepolisian. Panitia pusat bertugas
memegang pimpinan tertinggi, menetapkan kebijaksanaan umum serta
menyelenggarakan pengawasan umum dalam pelaksanaan landreform.
Panitia Tingkat I bertugas dalam pelaksanaan bidang perencanaan
pelaksanaan, koordinasi, pengawasan dan bimbingan. Yang bertugas dalam
bidang pelaksanaan landreform adalah Panitia Tingkat II, dibantu oleh
Panitia Kecamatan dan Desa.
Dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 Panitia-panitia
Landreform dibubarkan. Tugas dan wewenangnya beralih kepada Menteri
Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/Walikotamadya, Camat dan Kepala Desa,
selaku wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Pada tingkat Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kotamadya dibentuk Panitia-panitia Pertimbangan Landreform,
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Dalam
Negeri, Gubernur dan Bupati/Walikotamadya.
Dengan telah dibentuknya BPN dengan KEPPRES 26 Tahun 1988,
penanganan program landreform pada tingkat Pusat termasuk bidang tugas
Deputi BPN bidang Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah dengan
Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah. Di tingkat daerah ditugaskan pada
Kantor BPN Wilayah Provinsi (Bidang Pengaturan Penguasaan Tanah) dan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

2. Yayasan Dana Landreform


Untuk memperlancar pembiayaan landreform dan mempermudah
pemberian fasilitas-fasilitas kredit kepada para petani, Peraturan Pemerintah
No. 224 Tahun 1961 (Pasal 16) mewajibkan dibentuknya suatu Yayasan yang
berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom, dengan nama Yayasan
Dana Landreform. Yayasan ini wajib menaati petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh Panitia Landreform dan Menteri.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut pada tanggal
25 Agustus 1961 dibentuklah oleh Menteri Agraria Yayasan Dana
Landreform (YDL) dengan akta Notaris R. Kadiman, Jakarta No. 110.
Yayasan Dana Landreform diurus oleh suatu Dewan Pengurus dan diawasi
oleh suatu Dewan Pengawas. Pekerjaan sehari-hari diselenggarakan oleh
seorang Administratur.
Kegiatan Yayasan Dana Landreform telah dibekukan. Untuk selanjutnya
pelaksanaan landreform dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1992
pembayaran uang pemasukan untuk tanah yang diretribusikan, yang semula
kepada Bank Rakyat Indonesia Unit Desa atau Cabang BRI di Kabupaten/
Kotamadya setempat.
3. Pengadilan Landreform
Perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan
landreform perlu mendapat penyelesaian cepat, agar pelaksanaan landreform
tidak menjadi terhambat, oleh karenanya perkara-perkara landreform
mempunyai sifat-sifat khusus. Maka dianggap perlu adanya badan pengadilan
tersendiri, dengan susunan, kekuasaan dan acara yang khusus pula, yaitu
pengadilan yang disebut Pengadilan Landreform. Pembentukannya diatur di
dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 (LN 1964 No. 109;
Penjelasannya di dalam TLN No. 2701).
Pengadilan Landreform berwenang mengadili ”perkara-perkara
landreform” yaitu perkara-perkara perdata, pidana maupun administratif yang
timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform (Pasal 2 ayat 1).
Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan secara rinci peraturan-peraturan mana yang
dimaksudkan dengan ”peraturan landreform”. Peraturan landreform tidak
terbatas pada Undang-undang No. 2 Tahun 1960 dan Undang-undang No. 56
Prp tahun 1960 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Turut disebut juga
Undang-undang No. 5 Tahun 1960, Undang-Undang No. 38 Prp Tahun 1960,
Undang-undang No. 51 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang No. 16 T
ahun 1964.
Untuk menegaskan wewenang Pengadilan Landreform dalam
hubungannya dengan wewenang Panitia Landreform dan Pengadilan Negeri
berturut-turut telah dikeluarkan Keputusan Bersama Presidium Kabinet,
Menko Hukum dan Dalam Negeri/Ketua Mahkamah Agung, Menteri Agraria
dan Menteri Pertanian tanggal 23 Agustus 1965 No. Aa/E/106/1965 serta
Ketetapan Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1967 No. 6/KM/845/MA.III/67
yang telah dibicarakan.
Pengadilan Landreform terdiri dari Pengadilan Landreform Pusat dan
Pengadilan-pengadilan Landreform Daerah, yang tempat kedudukan dan
daerah hukumnya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri
Agraria.










Dalam praktik peradilan landreform belum berjalan dengan lancar,
antara lain disebabkan karena wilayah hukum tiap Pengadilan Landreform
Daerah terlalu luas. Berhubung dengan itu diusahakan untuk memperbanyak
Pengadilan jumlah Pengadilan menjadi kurang lebih 150 sesuai dengan
banyaknya Pengadilan Negeri (Keputusan Presidium Kabinet tanggal
15 Maret 1967 No. 58/U/REP/3/1967).
Dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1969 (LN 1969 No. 37; TLN
No. 2901) Undang-undang No. 21 Tahun 1964 tersebut disebut sebagai
Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi, atas pertimbangan
bahwa materi yang diaturnya bertentangan dengan UUD 1945 (ketetapan
MPRS No. XXXIX/MPRS/1968). Tetapi pernyataan tidak berlakunya
Undang-undang No. 21 Tahun 1964 tersebut ditetapkan pada saat Undangundang
yang menggantikannya mulai berlaku. Demikianlah maka
dikeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1970 (LN 1970 No. 41; TLN No.
2939) yang seperti telah disinggung, mencabut Undang-undang No. 21
Tahun 1964 dan menghapuskan Pengadilan-pengadilan Landreform mulai
tanggal 31 Juli 1970. Sejak saat itu perkara-perkara landreform diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

D. KETENTUAN-KETENTUAN LANDREFORM INDONESIA


Ketentuan pokok untuk melaksanakan landreform di Indonesia adalah
UUPA (Undang-undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960), UUPBH
(Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2 Tahun 1960), Undang-
Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaan yang lebih
rendah yaitu Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1964.
Perlu diingat kembali bahwa ketentuanketentuan
yang menjadi payung atau ketentuan pokok tersebut hingga
sekarang masih tetap berlaku. Jadi, kalau kita menjalankan (kembali)
ketentuan-ketentuan itu, kita telah menjadi warga negara yang baik. Kita
telah menjalankan perintah yang diamanatkan konstitusi. Tambahan lagi,
pada bulan November 2001 MPR RI telah menetapkan TAP MPR
No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Khususnya pada Pasal 2 dikatakan:
“Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Petikan kalimat pada ketetapan
Pasal 2 tersebut “... penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan sumber daya agraria ...”tidak lain adalah perintah untuk
melaksanakan landreform”.
Pelaksanaan landreform juga tidak lepas dari Hak Menguasai dari
Negara (HMN) atas tanah. Berdasarkan UUD 1945 dan UUPA, negara
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan sumber-sumber agraria, termasuk
di dalamnya tanah. Hal inilah yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan
landreform. Untuk mendapatkan gambaran lebih rinci, marilah kita telusuri
UUPA pada bagian yang mengatur tentang HMN, khususnya pada Pasal 2.
Ketentuan pada Pasal 2 UUPA itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari
Pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi, Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mari kita perhatikan ketentuan Pasal 2
dari UUPA berikut ini: Dan ditetapkan hak menguasai negara yang
disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 jo Pasal 2 ayat (1) UUPA. Pasal
2 ayat (1) UUPA: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
Apa yang hendak dicapai oleh HMN adalah untuk mencapai sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum, (Pasal 2 (3) UUPA).
Bunyi dari Pasal 2 (3) UUPA: Wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian
kebijakan-kebijakan yang lahir dari HMN tidak boleh menyimpang dari
tujuan mulia ini. Penyelenggaraan HMN dapat didelegasikan kepada daerahdaerah
swatantra (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) dan bahkan
pada suatu komunitas adat yang masih kuat keyakinan norma-norma adatnya,
(Pasal 2 (4) UUPA).
Bunyi dari Pasal 2 (4) UUPA tersebut adalah sebagai berikut : Hak
menguasai dari negara tersebut pada pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Kewenangan dari HMN
bukan tanpa batas. HMN tidak boleh mengabaikan hak-hak atas tanah yang
telah dipunyai oleh warga negara Indonesia ataupun badan-badan hukum.
Namun jika yang berhaknya tidak ada, berdasarkan HMN, negara
mempunyai kekuasaan penuh dan luas untuk memberikan dengan suatu hak
kepada warga negara atau pun badan hukum menurut keperluan maupun
peruntukannya. HMN tidak menempatkan negara sebagai pemilik tanah,
sebagaimana ketentuan perundang-undangan kolonial yang dihapuskannya.
Dalam hal ini, negara menurut Pasal 2 (3) UUPA merupakan organisasi
tertinggi dari bangsa Indonesia yang diberi kekuasaan untuk:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaannya;
2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air, dan ruang angkasa;
3. mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Hak itu tidak lain ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum. Penyimpangan terhadap tujuan itu,
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan ini. Dalam pelaksanaan HMN
berada dalam kewenangan Presiden sebagai mandataris MPR yang dibantu
oleh Menteri Agraria dengan aparat-aparatnya. Menurut Pasal 2 (4),
penyelenggaraan HMN dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra
(provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan, dan desa) bahkan pada suatu
komunitas adat yang masih kuat keyakinan norma-norma adatnya. Dengan
demikian pemerintah daerah atas kekuatan undang-undang bisa mempunyai
wewenang HMN yang dipegang dan diletakkan pada kepala daerahnya, dan
bagi persekutuan masyarakat adat dapat diberikan HMN, sepanjang dalam
persekutuan adat tersebut masih ada dan diakuinya hak ulayat dari
persekutuannya. Dengan HMN, negara mempunyai kewenangan untuk
mengatur siapa-siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan

minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar, dan
tanda bukti pemilikan atas tanah. Jika diperinci, landasan landreform ialah:
a. Ada hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang
berlandaskan pada Pasal 33 (3) UUD 1945. Hak menguasai oleh negara
mempunyai kesamaan dengan hak ulayat dalam hukum adat. Dalam hal
ini, negara diberi wewenang untuk mengatur agar kekayaan itu
mensejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
(Pasal 2 UUPA).
b. Memberikan kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti
pemilikan atas tanah. Pemegang hak milik atas tanah hanya warga
negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin. Ketentuan ini
membatasi kebebasan warga negara asing untuk menguasai tanah di
Indonesia. Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya
alam Indonesia yang menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi
buruh tani di tanah milik warga negara asing.
c. Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal
maupun maksimal. Pertimbangannya, luas maksimal pemilikan tanah
dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja
petani melalui sistem persewaan tanah atau gadai tanah (Pasal 7 jo
Pasal 17 UUPA). Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga
petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Hampir dapat dipastikan
jika petani memiliki sedikit tanah, maka kemampuan menghasilkannya
(produktivitas) juga sedikit. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak
hanya berakibat kecilnya pendapatan pemiliknya (baca: petani), juga
secara makro (nasional) merugikan karena rendahnya produktivitas
(Pasal 13 jo Pasal 17 UUPA). Pemilikan tanah yang tidak terbatas (tanpa
batas maksimal) akan membuka peluang bagi sekelompok kecil orang
menguasai tanah dalam luasan yang sangat besar dan sebagian besar
yang lain terpaksa hanya mengandalkan tenaganya untuk menjadi buruh.
d. Pemilik yang berhak atas tanah diharuskan menggarap sendiri tanahnya
secara aktif (Pasal 10 UUPA) sehingga dapat memberi manfaat bagi
dirinya, keluarga, maupun masyarakat banyak. UUPA melarang
pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya
karena akan menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau
meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai
kecenderungan memeras (Pasal 10 ayat 1 jo Pasal 11 ayat 1)
e. Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan
tanah atau yang sudah menguasai hak atas tanah, untuk selanjutnya
mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat
bukti pemilikan itu untuk menjamin kepastian hukum atas tanah.
Menurut A.P. Parlindungan dalam bukunya Bunga Rampai Hukum
Agraria serta Landreform Bagian I, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang
terkenal dengan sebutan UUPA telah memberikan beberapa tolok ukur
tentang Landreform Indonesia:
1. Dalam Pasal 7 UUPA, ditentukan bahwa “untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan”. Jelaslah bahwa menurut Pasal 7,
telah dilarang adanya Latifundia atau Hacienda. Sehingga dengan
demikian tidak dapat kita pakai pola dari negara-negara lain, yang
memperkenankan tanah pertanian yang luas sekali yang dikuasai oleh
seseorang, apalagi menguasai hidup orang banyak, sebagaimana diatur
Pasal 33 UUD 1945.
2. Kemudian jika ketentuan dalam Pasal 7 UUPA tersebut dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 17 UUPA yang menyatakan “Dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah
yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu
keluarga atau badan hukum".
Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat.
Ketentuan ceiling (luas maksimum) sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Undang-undang
56 Prp Tahun 1960, antara lain tertuang dalam Pasal 1 yang menyatakan:
(a) Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan
satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah
pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, yang
jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagaimana yang
ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.
(b) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan factor faktor
lain, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal.

Dalam Pasal 2 Undang-undang ini juga ditentukan manakala jumlah


keluarganya melebihi 7 orang maka dapat ditambah jumlah tersebut
dengan 10% dengan maksimum 50%. Pasal-pasal selanjutnya dari
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut selalu ditekankan
tentang maksimum dan tidak diperkenankan untuk melebihi dari
maksimum tersebut, dan tanah kelebihan itu harus diserahkan kepada
pemerintah dan dibagikan kepada para petani, baik petani yang
mempunyai tanah maupun yang tidak mempunyai tanah.
3. Pasal 17 ayat 4 UUPA menyatakan:
Tercapainya batas minimum dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara
berangsur-angsur. Dengan demikian di sini pemerintah bertekad untuk
melaksanakan larangan fragmentasi dari tanah-tanah pertanian sehingga
tidak lagi ekonomis bagi mereka. Sungguhpun kita ketahui bahwa lahan
pertanian di pulau Jawa telah turun 0,64 ha menjadi 0,63 ha seperti yang
diungkapkan oleh BPS baru-baru ini. Pasal 8 dan 9 Undang-undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk bahwa minimum
tanah pertanian tersebut 2 ha, dan pemindahan hak atas tanah pertanian,
kecuali pembagian warisan dilarang apalagi pemindahan hak itu
mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang
luasnya kurang dari 2 ha.
4. Pasal 10 UUPA, menekankan prinsip bahwa pada asasnya orang atau
badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan. (Land to the tiners, program ini
merupakan suatu adagium di kalangan landreform).
Dengan demikian Pasal 10 ini juga telah berkembang menjadi larangan
absentee (guntai), yang juga dipertegas oleh Pasal 3 PP Nomor 224
Tahun 1961 yang menyatakan:
“Pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan, wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah kecamatan letak tanah tersebut. Ayat 2 menyatakan jika tanah
berbatasan dengan kecamatan lain tempat tinggalnya maka Panitia
Landreform Kabupaten yang memberi keputusan. Ayat 3 menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan berpindah tempat selama 2 tahun
berturut-turut harus memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain
yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut”.
5. Pasal 12 UUPA menyebutkan "Segala usaha bersama dalam lapangan
agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan
nasional dalam bentuk KOPERASI atau bentuk gotong-royong lainnya".
6. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, artinya hak dari perorangan dan hak dari masyarakat.
Manakala di satu saat hak dari perorangan itu menonjol maka makin
mantaplah hak-hak atas tanah tersebut, tetapi sebaliknya jika hak dari
masyarakat menonjol, maka hak dari perorangan harus mengalah,
sehingga akan terjadi pencabutan hak ataupun pembebasan hak atas
tanah untuk kepentingan umum.
7. Larangan gadai tanah yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 56 Prp 1960 dengan jelas telah meniadakan lembaga hukum adat
Dirasakan dalam suatu masyarakat modern, semestinya peminjaman
uang tidak terjadi dengan “pemerasan”, karena pemilik semula setelah
menggadaikan tanahnya tidak berkuasa lagi atas tanahnya dan yang
menerima gadai menikmati secara berkelebihan dari penggadaian tanah
tersebut.
Semestinya lembaga gadai ini diambil alih lembaga perkreditan,
sehingga kebutuhan rakyat selain usaha pertanian, seperti keperluan uang
untuk membangun rumah, ataupun lain-lain kepentingan sosial dapat
dibantu.
8. Land consolidation, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 11 PP Nomor
224 Tahun 1961, bermaksud memudahkan para petani dan menjadi
kesatuan-kesatuan ekonomis.
Pada tahun 2001, dalam sidang tahunannya MPR telah menghasilkan
sebuah ketetapan yaitu TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebuah ketetapan yang perlu
kita sambut dengan terbuka tanpa kehilangan sikap kritis kita. Mari kita
periksa secara lebih rinci dalam mukadimahnya (huruf a) dikatakan: bahwa

sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan nasional
yang wajib disyukuri. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan
secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pernyataan itu menegaskan
kembali bahwa sesungguhnya sumber daya agraria/sumber daya alam
merupakan rahmat dari Tuhan dan oleh karenanya pemanfaatannya, sesuai
dengan sifat Tuhan, memberikan kemaslahatan kepada seluruh manusia,
tidak sekelompok kecil orang saja. Maslahat sekarang dan di masa-masa
yang akan datang.
Lebih lanjut dikatakan, perlu ditetapkan arah dan dasar pembangunan
nasional, bahwa (hendaknya) pembangunan nasional dapat menjawab
berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan
sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam. Secara langsung
maupun tidak langsung pernyataan itu hendak menyatakan bahwa ada
masalah pada arah dan dasar pembangunan kita selama ini, sehingga perlu
ditetapkan kembali, setelah lebih dari setengah abad kemerdekaannya.
Bagian mukadimah huruf c secara jelas mengakui bahwa (selama ini)
“...pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung
selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta
menimbulkan berbagai konflik.” Dengan begitu ada keinginan kuat di masamasa
mendatang pengelolaan yang demikian hendaknya tidak perlu terulang
kembali. Bagaimana caranya? Pada uraian huruf (e) dari mukadimah
dikatakan “bahwa pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang
adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara
terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta
masyarakat, serta menyelesaikan konflik”. Lebih lanjut dikatakan “...
melibatkan peran serta masyarakat …”. Di masa lampau, rumusan ini telah
sering terdengar namun yang terjadi adalah penyimpangannya. Peran serta
masyarakat yang diinginkan hanya sejauh menyatakan persetujuan terhadap
keinginan pemerintah ketika itu. Kini setelah situasinya berubah, kita ingin
peran serta itu meneguhkan prakarsa dan keinginan rakyat untuk ambil
bagian dalam memutuskan kebijakan yang mempengaruhi hidup dan
kesejahteraannya.

Tiga Pasal pertama (Pasal 1, 2, dan 3) merupakan ketentuan yang berisi
ketentuan dasar, bahwa Ketetapan MPR merupakan landasan bagi peraturan
perundang-undangan agraria dan sumber daya alam (Pasal 1). Pasal 2
merupakan ketentuan bagi landreform, yang isinya mengatur tentang
penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
sumber daya agraria. Penataan tersebut mengacu pada tujuan yang hendak
dicapai, yakni terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 3 mengatur tentang
pengelolaan sumber daya alam. Prinsipnya sama dengan pengelolaan sumber
daya agraria sebagaimana yang diatur pada Pasal 2. Rumusan lengkapnya
sebagai berikut: Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan,
laut, dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan. TAP MPR No. IX/2001 mengamanatkan bahwa Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dilaksanakan dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip:
a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
dalam unifikasi hukum;
d. menyejahterakan rakyat terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia;
e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat optimal, baik
untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan
dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam;
j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat
dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam;
k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat),
masyarakat, dan individu;
l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber
daya alam.
Bagaimana pula dengan arah kebijakan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam? Tentang hal ini diatur dalam Pasal 5. Isi
lengkapnya sebagai berikut.
(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan
dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan
landreform;
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi
potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka
mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
terjadi.
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian
konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor yang
berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam
melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber
daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat
mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong
terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi
ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber
daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah
dari produk sumber daya alam tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di
masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum
dengan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
Pasal 4 Ketetapan ini.
f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan
pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi,
kontribusi, kepentingan masyarakat, dan kondisi daerah maupun
nasional.
Tiga pasal terakhir (6, 7, dan 8) merupakan ketentuan penutup. Pasal 6
berisi penugasan pada DPR dan Presiden untuk mengatur lebih lanjut
pelaksanaan TAP MPR ini serta mencabut, mengubah, dan/atau mengganti
semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini. Pasal 7 berisi penugasan pada Presiden agar
melaporkan pada Sidang Tahunan MPR RI pelaksanaan dari TAP MPR ini.
ADPU4335/MODUL 5 5.21
Sedangkan Pasal 8 menetapkan masa berlakunya ketetapan ini, yakni pada
tanggal 9 November 2001, pada saat TAP ini ditetapkan. Ketetapan ini
ditandatangani oleh Ketua MPR RI Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan para
Wakil Ketua Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Ir. Sutjipto, Letjen. TNI.
Agus Widjojo, Drs. H.A. Nazri Adlani, Drs. H. M. Husnie Thamrin, Prof. Dr.
Jusuf Amir Feisal, S.Pd.
Kegiatan Belajar 2
Pelaksanaan Landreform di Indonesia
Sejak mulai diselenggarakan landreform pada permulaan tahun 1961 dan
lebih-lebih setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September PKI sering
kali dikemukakan anggapan, bahwa landreform yang diselenggarakan itu
adalah gagasan PKI, jadi suatu konsepsi komunis. Dengan telah dibubarkan
PKI dan dilarangnya ideologi komunis maka menurut mereka itu,
pelaksanaan landreform tidak perlu dilanjutkan lagi. Ini merupakan suatu
pandangan yang keliru. Landreform yang diselenggarakan di Indonesia
bukan konsepsi PKI, melainkan konsepsi revolusi Indonesia yang bertujuan
mencapai masyarakat sosialis Pancasila. Demikian Direktur Jenderal Agraria
dan Transmigrasi, Laksamana Muda Laut Soejono Soeparto dalam pidatonya
pada sidang Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara di Medan tanggal
23 November 1966.
Dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 17 UUPA, keluar Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 56 Tahun 1960, oleh
pemerintah tanggal 29 Desember 1960 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1961. Perpu No. 56 Tahun 1960 kemudian ditetapkan menjadi Undangundang
No. 56 Prp Tahun 1960. Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960
terkenal sebagai Undang-undang landrefrom.
Ada tiga hal yang diatur dalam Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960
yaitu:
1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanahtanah
itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil serta soal
pengembalian.
3. Penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Bila diperhatikan dalam 17 UUPA mengatur semua macam tanah
sedangkan Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 baru mengatur soal tanah
pertanian saja. Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan
pembangunan lainnya akan diatur sendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud itu hingga kini belum ada.
A. LUAS MAKSIMUM
Peraturan luas maksimum tidak terbatas pada tanah-tanah miliknya
sendiri, tetapi keseluruhan tanah pertanian yang dikuasainya, termasuk juga
tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai,
sewa (jual tahunan) dan sebagainya. Ini sesuai dengan apa yang ditentukan
dalam Pasal 7 UUPA. Letak tanah-tanah itu tidak perlu di satu daerah yang
sama, tetapi dapat pula di Kabupaten.
Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga, sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 17, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin satu
orang atau lebih.
Berapa jumlah luas tanah yang dikuasai oleh semua anggota suatu
keluarga, itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga itu.
Jika seorang suami mempunyai 3 hektar, istrinya 1 hektar dan anaknya
2 hektar maka tanah yang dimiliki keluarga itu 7 hektar.
Ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 56 Prp Tahun 1960 bahwa
orang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu
keluarga bersama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik
sendiri atau kepunyaan orang lain atau kepunyaan sendiri bersama kepunyaan
orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum yang
ditegaskan oleh Menteri Agraria dalam keputusan tanggal 31 Desember 1960
No. SK/978/1960.
Tanah-tanah yang dikuasai dengan HGU atau hak lainnya yang bersifat
sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah (misalnya tanah hak
pakai tanah bengkok/jabatan) serta tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh
badan hukum tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum tersebut.
Selanjutnya ditetapkan di dalam ayat 3, bahwa tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan. Dengan demikian maka pemilikan tanah yang
merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih
merata, dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula.
Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah
kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja bagi
para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi
pemiliknya.
Luas maksimum itu harus ditetapkan dengan suatu peraturan
perundangan. UUPA ternyata tidak secara mutlak menghendaki penetapan
luas maksimum itu dilakukan dengan suatu undang-undang, tetapi
memungkinkan pemerintah untuk menetapkan dengan suatu peraturan lain.
B. TANAH PERTANIAN
Di dalam Undang-undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tidak diberikan
penjelasan apakah yang dimaksud dengan tanah pertanian, sawah dan tanah
kering. Berhubung dengan itu maka di dalam Instruksi Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5
Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 diberikan penjelasan sebagai berikut.
“Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak
orang, selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila dalam sebidang
tanah yang luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka dapat
diperhitungkan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa
yang merupakan tanah pertanian.”
“Termasuk tanah pertanian ialah semua tanah perkebunan, tambak untuk
perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang,
dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak.”
Biasanya tidaklah sukar untuk menentukan apakah sebidang tanah itu
termasuk golongan sawah atau tanah kering. Tambak untuk perikanan
dimasukkan ke dalam golongan tanah kering, sesuai dengan praktik Jawatan
Pajak Hasil Bumi.
Angka maksimum ditetapkan oleh Undang-Undang No. 56 Prp
Tahun 1960 dan ditegaskan oleh Menteri Agraria itu mengenai sawah atau
tanah kering. Bagaimanakah maksimumnya kalau yang dikuasai itu sawah
dan tanah kering?
Pasal 1 ayat 2 UU No. 56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk
menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlahkan dengan luas
tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30%
di daerah-daerah yang tidak padat dan 20% di daerah-daerah yang padat,
dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak
boleh lebih dari 20 hektar.


C. TANAH DI BEBERAPA DAERAH
Yang dimaksud dengan “daerah” ialah Daerah Tingkat II. Menurut keputusan
Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. Sk/978/1960 tiaptiap
Daerah Tingkat II mempunyai daftar masing-masing dalam menentukan
luas maksimum.
Menurut konsideransnya maka penegasan itu didasarkan atas angkaangka
resmi tentang kepadatan penduduk yang ada pada waktu itu dan
dengan memperhatikan keadaan sosial ekonomi daerah-daerah yang
bersangkutan. Kiranya pada waktu penegasan itu perlu di-up to date-kan
dengan mempergunakan angka sensus penduduk yang terbaru (Di dalam
tahun 1961 telah diselenggarakan Sensus Penduduk).
Semua Kotapraja ditetapkan sebagai daerah yang sangat padat, karena
umumnya keadaan memang demikian. Perekonomian kota harus diarahkan
kepada berkembangnya industri dan bukan kepada usaha pertanian.
Berapakah maksimumnya kalau tanah-tanah yang dikuasai itu terletak di
beberapa kabupaten, yang masing-masing termasuk golongan daerah yang
berlainan kepadatan penduduknya? Misalnya, seorang mempunyai sawah di
Tasikmalaya 9 hektar dan di Bekasi 3 hektar. Untuk Tasikmalaya
maksimumnya 15 hektar (daerah tidak padat) dan untuk Bekasi 5 hektar
(daerah sangat padat). Di kedua daerah itu tanah yang dipunyai kurang dari
maksimum.
Apakah sawah 12 hektar tersebut boleh terus dimiliki? Tidak boleh,
karena seperti yang telah diuraikan yang terkena ketentuan maksimum itu
adalah jumlah tanah yang dikuasainya, dengan tidak mempersoalkan di mana
letak tanah-tanah yang bersangkutan.
Jika demikian maka berapakah luas tanah yang boleh terus dimilikinya?
Cara memecahkan masalah ini tidak diatur di dalam Undang-undang No. 56
Prp Tahun 1960, tetapi berpedoman pada cara untuk menyelesaikan soal
pemilikan sawah dan tanah kering kasus tersebut dapat dipecahkan sebagai
berikut.
Sawah di Bekasi dinilai 3 kali sawah di Tasikmalaya. Jika yang
dilepaskan itu sawah yang ada di Tasikmalaya maka dapat diadakan
perhitungan sebagai berikut.
3 hektar sawah di Bekasi = 3 × 3 hektar sawah di Tasikmalaya =
9 hektar. Di Tasikmalaya sudah dipunyai 9 hektar, jadi jumlah semuanya
adalah 9 + 9 = 18 hektar. Batas maksimum untuk Tasikmalaya adalah
15 hektar, maka sawah di Tasikmalaya yang harus dilepaskannya adalah
18 – 15 = 3 hektar.
Dapat pula dihitung dengan cara lain misalnya. Di Bekasi sudah
mempunyai 3 hektar, sedang maksimumnya 5 hektar. Jadi ia masih
diperbolehkan mempunyai tambahan 2 hektar, yang nilainya di Tasikmalaya
sama dengan 3 × 2 hektar = 6 hektar. Karena ia sudah mempunyai 9 hektar,
maka yang 4 hektar harus dilepaskan. Untuk menentukan tanah mana yang
harus dilepaskan, selain hal tersebut di atas harus diperhatikan pula
ketentuan-ketentuan mengenai larangan absentee, yang akan dibicarakan
selanjutnya

D. PENGERTIAN KELUARGA
Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 tidak memberikan perumusan
mengenai pengertian "keluarga" namun dapat dijelaskan, bahwa yang
termasuk anggota satu keluarga ialah mereka yang masih menjadi
tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu. Para anggota tidak perlu semuanya
tinggal serumah. Mungkin ada anggota keluarga yang bersekolah di tempat
lain. Siapa-siapa yang menjadi anggota keluarga harus dilihat pada kenyataan
dalam penghidupannya. Sebaliknya orang yang bertempat tinggal serumah
belum tentu merupakan anggota keluarga kalau ia tidak menjadi tanggungan
keluarga itu.
Di dalam penjelasan Pasal 17 UUPA, dijelaskan pengertian keluarga
yaitu, sebagai suami istri serta anak-anak yang belum kawin dan menjadi
tanggungan dan jumlahnya berkisar 7 orang, baik laki-laki maupun wanita
dapat menjadi kepala keluarga.
Untuk menghindarkan keraguan di dalam melaksanakan ketentuan
Pasal 1, yang dimaksud dengan keluarga ialah sekelompok orang-orang yang
merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah
atau perkawinan.
Apakah seseorang yang beristri lebih dari satu itu berkeluarga satu atau
lebih dari satu? Dalam peraturan tersebut tidak diberikan penjelasan. Hal
yang menentukan adalah kenyataan dalam penghidupannya dan bagaimana
pendapat umum di daerah yang bersangkutan. Kalau masing-masing istri
serta suami bersama itu pada kenyataannya merupakan kelompok sendiri
dalam penghidupannya misalnya tinggal di tempat yang berlainan,
mempunyai sumber nafkah sendiri-sendiri, maka dianggap sebagai satu unit
keluarga.
Jumlah anggota keluarga, ditetapkan 7 orang, termasuk kepala keluarga,
bisa laki-laki atau wanita. Menurut memori penjelasan Pasal 2, maka jumlah
7 orang itu adalah rata-rata keluarga Indonesia sekarang ini. Penetapan
maksimum didasarkan pada dasar keluarga yang beranggotakan 7 orang itu.
Bagaimanakah jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang?
Bagi keluarga itu, luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya dari 7 ditambah 10%, tetapi jumlah tambahannya tidak boleh
lebih dari 50% sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruh,
anggota-anggota keluarga tersebut tidak boleh lebih dari 20 hektar.
Tidak dipersoalkan apakah tanah yang dikuasai itu berupa sawah, tanah
kering atau sawah dan tanah kering.
Orang-orang atau kepala keluarga yang anggota keluarganya menguasai
tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum, wajib
melaporkan hal itu kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dalam waktu yang ditentukan (jangka waktu itu tergantung dari
daerahnya tetapi sekarang sudah lampau semua).
Kewajiban lapor itu disertai sanksi yang diatur dalam Pasal 10, berupa
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyakbanyaknya
Rp10.000,00. Selain sanksi pidana ditentukan pula bahwa jika
terjadi tindak pidana yang berupa pelanggaran Pasal 3 tersebut, maka tanah
yang selebihnya dari batas maksimum jatuh pada negara tanpa ganti kerugian
berupa apapun juga yaitu jika tanah itu semuanya milik terhukum dan/atau
anggota keluarganya.
Dalam hal itu ia diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginan
mengenai bagian tanah mana yang akan diambil oleh negara. Jatuhnya tanah
tersebut kepada negara berlaku karena hukum, artinya tidak memerlukan
putusan hakim, yaitu setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan untuk menjalankan, yang menyatakan bahwa benar terjadinya
tindak pidana yang merupakan pelanggaran Pasal 3 itu.

E. LARANGAN MENGALIHKAN HAK ATAS TANAH


Pasal 4 Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 menyatakan bahwa
orang atau anggota keluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah
luasnya melebihi maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas
seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Peralihan karena pewarisan tanpa wasiat tidak termasuk dalam
pengertian “memindahkan hak milik". Karena pengertian “memindahkan"
memerlukan perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik
yang bersangkutan.
Larangan tersebut kiranya hanya berlaku selama belum ada penegasan
tanah mana yang akan diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap
dikuasai oleh yang bersangkutan. Sementara itu perlu diadakan peraturan izin
pemindahan hak untuk mencegah jangan sampai yang dipindahkan adalah
bagian-bagian tanah yang sebenarnya akan diambil oleh pemerintah. Sudah
barang tentu yang boleh dipindahkan haknya, luas tanahnya, tidak boleh lebih
dari batas maksimum atau yang menyebabkan penerima hak mempunyai
tanah lebih luas dari maksimum.
Dalam penjelasan Pasal 4 itu dimintakan perhatian bahwa ketentuan
Pasal tersebut hanya mengenai pemindahan hak atas tanah milik yang
melampaui batas maksimum.
Jika yang dikuasai itu tanah milik dan tanah gadai, misalnya milik
7 hektar dan gadai 10 hektar maka untuk mengalihkan tanah yang 10 hektar
itu tidak diperlukan izin.
Kalau tanah-tanah itu terletak di daerah yang bukan daerah “sangat
padat", maka untuk mengalihkan tanah milik yang 7 hektar itu tidak
diperlukan izin, karena luas tanah milik itu tidak melebihi maksimal.
Pelanggaran terhadap larangan tersebut ada sanksinya sebagaimana
halnya dengan kewajiban lapor, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya
3 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp10.000,00.
Bagaimanakah kalau ada orang yang memperoleh tanah pertanian,
hingga tanah (pertanian) yang dikuasai olehnya dan anggota keluarganya
berjumlah lebih dari luas maksimum yang ditetapkan?
Menurut Pasal 6, yang demikian itu masih diperbolehkan, tetapi disertai
syarat, yaitu dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya tambahan tanah
tersebut, yang bersangkutan wajib berusaha agar tanah pertanian yang
dikuasai, jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum. Bagian mana yang
akan dilepaskan terserah kepadanya sendiri. Jika kewajiban itu diabaikan
maka berlakulah sanksi Pasal 10. Bagaimana cara ia memperoleh tanah
tambahan itu tidak menjadi soal. Tanah yang bersangkutan mungkin
diperoleh karena pewarisan, hibah, pembelian ataupun cara lain.
Apakah yang demikian itu tidak bertentangan dengan asas Pasal 7
UUPA dan Pasal 1 Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 sendiri,
sesungguhnya hanya akan berlangsung paling lama satu tahun.
Beralihnya hak milik karena warisan tanpa wasiat terjadi karena hukum.
Karena itu tidak mungkin dilarang. Hanya akibatnya yang perlu dan dapat
ditampung.
Apakah maksud Pasal 6 tersebut? Dibukanya kemungkinan untuk
memperoleh tambahan tanah pertanian dimaksudkan untuk memperoleh
kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memperbaiki pemilikan
tanahnya. Misalnya, sebagian tanah yang dikuasai semula adalah tanah gadai
atau tanah sewa kepunyaan orang lain kemudian ia membeli tanah hak milik,
hingga dengan demikian tanah yang dikuasai dengan hak gadai atau hak sewa
dilepaskan. Juga orang yang mempunyai beberapa bidang sawah yang
letaknya terpencar mendapat kesempatan untuk membeli tanah yang
berdekatan dengan sebagian tanah yang dipunyai. Dengan melepaskan tanah
yang jauh letaknya, maka tanah yang dikuasai kemudian seluruhnya
merupakan suatu kesatuan ekonomis yang lebih baik.

F. PERATURAN PEMERINTAH NO. 224 TAHUN 1961 DAN NO. 41


TAHUN 1964
Kedua Peraturan Pemerintah ini memuat peraturan tentang tanah yang
akan dibagikan (diredistribusikan). Tanah yang dibagikan tidak terbatas pada
tanah kelebihan dari batas maksimum yang diambil oleh pemerintah, tetapi
juga tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya absentee, tanah
swapraja dan bekas swapraja serta tanah lain yang dikuasai langsung oleh
negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, misalnya
tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah bekas partikelir. Kedua
Peraturan Pemerintah tersebut memuat pula peraturan tentang pemberian
ganti kerugian kepada bekas pemilik, pembagian tanah dan syarat-syaratnya.
Selain dari redistribusi, kedua Peraturan Pemerintah itu memuat pula:
1. Pembentukan yayasan Dana Landreform.
2. Perlu dibentuk Koperasi Pertanian.
3. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.
Mengenai ad c. sebenarnya bukan pelaksanaan dari Pasal 7 dan
17 UUPA, tetapi aturan lebih lanjut dari asas yang dicantumkan dalam
Pasal 10 UUPA (tanah harus diusahakan secara aktif oleh pemiliknya).

G. ABSENTEE
Asas “tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya"
yang termuat dalam Pasal 10 diatur pelaksanaannya dalam PP No. 224
Tahun 1961 dan Nomor 41 Tahun 1964. Pemilikan tanah pertanian secara
absentee atau di dalam bahasa Sunda: guntai, adalah pemilikan tanah yang
letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya. Ketentuan-ketentuan
itu diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 dan
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a sampai
dengan 3e).
Peraturan tersebut pada pokoknya melarang pemilikan tanah pertanian
oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya.
Larangan itu tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang
bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilikan dan tanahnya
menurut pertimbangan Panitia Landreform Kabupaten masih memungkinkan
untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.
Apakah ada pengecualian dari larangan absentee itu? Jawabannya adalah
ada. Adapun yang dikecualikan dari larangan absentee ialah mereka yang:
1. menjalankan tugas negara;
2. sedang menunaikan kewajiban agama;
3. mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri
Agraria/Kepala BPN.
Bagi pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan
mereka, yang sedang menjalankan tugas negara, perkecualian tersebut
terbatas pada pemilikan tanah pertanian secara absentee seluas 2/5 dari luas
maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Di daerah yang
sangat padat misalnya batas itu adalah 2/5 × 5 hektar = 2 hektar. Di dalam
perkecualian itu termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih
menjadi tanggungan. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau
yang dipersamakan dengan mereka berhenti dari menjalankan tugas negara,
misalnya pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut di dalam
waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya. Jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada "alasan yang wajar".
Siapakah yang dimaksud dengan "pegawai negeri"? Dalam Pasal 1
huruf a UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
ditentukan bahwa "pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut
Peraturan perundang-undangan yang berlaku". Termasuk Pegawai Negeri
adalah Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian, pegawaipegawai
perusahaan negara, bank-bank negara dan daerah swatantra.
Apakah tanah absentee itu boleh dialihkan (dihibahkan) kepada pegawai
negeri yang tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang
bersangkutan? Jawabannya tidak boleh, karena kemungkinan bagi seorang
pegawai negeri (termasuk istri dan anaknya) untuk memiliki tanah pertanian
secara absentee itu pada asasnya hanya terbatas pada pemilikan tanah yang
sudah ada pada tanggal 24 September 1961. Dalam Pasal 3d Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1964 ditegaskan bahwa semua bentuk pemindahan
hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan penerima hak memiliki tanah
secara absentee dilarang.
Tetapi walaupun demikian, mengingat ketentuan dalam UUPA, para
pegawai negeri boleh memperoleh dan mempunyai tanah pertanian guna
persediaan hari tuanya. Menteri Agraria/Kepala BPN tidak keberatan untuk
mengikuti tafsiran, bahwa sebagai perkecualian dan dalam batas-batas
tertentu bila pemberian hibah kepada pegawai negeri yang absentee dapat
juga dimungkinkan, tetapi (jumlah) tanah pertanian yang dimiliki secara
absentee tetap tidak boleh melebihi 2/5 luas maksimum untuk daerah yang
bersangkutan.
Untuk hibah diperlukan izin Menteri Agraria, yang contoh
permohonannya disertakan pada surat edaran tersebut sebagai lampiran. Izin
itu hanya akan diberikan, jika hibah tersebut dilakukan kepada orang yang
menurut hukum tergolong waris dari yang empunya (yang menghibahkan).
Mengenai "waris-digaris-samping" kemungkinan itu terbatas sampai pada
2 derajat (tingkatan saudara). Dengan demikian maka hibah itu dapat pula
dipandang sebagai pemberian waris kepada ahli waris sewaktu pewaris masih
hidup, suatu perbuatan hukum yang tidak asing di dalam lingkungan hukum
adat kita.
Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa selain pembatasan sampai
2/5 luas maksimum, jika yang menerima hibah itu sudah mempunyai tanah
pertanian di daerah kecamatan lainnya, jumlah luas tanah yang dipunyai tidak
boleh melebihi batas luas maksimum. Misalnya Camat Cileunyi (Kabupaten
Bandung Jawa Barat), yang sudah mempunyai sawah 2 hektar di
kecamatannya, mendapat hibah sawah yang letaknya di Purwakarta. Sawah
yang boleh dihibahkan kepadanya hanya 2/5 x 5 hektar (daerah sangat padat)
= 2 hektar. Jumlah sawah yang dipunyainya menjadi 4 hektar. Andai kata di
Cileunyi itu sudah mempunyai 4 hektar sawah, maka hibah yang boleh
diterima hanya 1 hektar, karena jika tidak demikian jumlah tanah yang
dipunyai, menjadi lebih dari 5 hektar.
Kalau ia menghendaki sawah yang 2 hektar itu di Purwakarta, maka di
dalam waktu 1 tahun sejak diterimanya hibah ia harus melepaskan sawah
yang di Cileunyi seluas paling sedikit 1 hektar( Pasal 6 Undang-undang
No. 56 Prp Tahun 1960). Hibah tersebut dimungkinkan hingga akhir
tahun 1962. Jika yang menghibahkan itu pensiun, maka jangka waktunya
diperpanjang hingga akhir tahun 1963 (Surat Keputusan Menteri Pertanian
dan Agraria. No. SK 35/Ka/1062 (diktum kelima). Sekarang hibah dimaksud
tidak boleh lagi dilakukan.
H. PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 mengatur soal pemilikan tanah
pertanian secara absentee (guntai) bagi para pensiunan pegawai negeri.
Menurut peraturan lama, yang diperbolehkan menguasai tanah secara
absentee terbatas kepada pegawai negeri, yaitu sampai batas seluas 2/5 dari
batas maksimum untuk daerah yang bersangkutan. Jika pegawai negeri itu
sudah memasuki pensiun, maka tidak dapat lagi mempunyai tanah secara
absentee.
Dengan PP No. 4 Tahun 1977, bagi pegawai negeri yang sudah
memasuki masa pensiunan masih dapat menguasai tanah secara absentee.
Selain itu PP No. 4 Tahun 1977 mengatur juga bahwa kalau pegawai negeri
meninggal, maka tanah miliknya bisa terus dimiliki ahli warisnya yang bukan
pegawai negeri, secara absentee, tetapi dalam satu tahun harus diakhiri.
Dalam peraturan sebelum PP No. 4 Tahun 1977, pemilikan secara
absentee oleh pegawai negeri hanya dibolehkan dalam hal ia berpindah
tempat tinggal dari kecamatan tempat tanah terletak ke kecamatan lain.
Pegawai negeri dilarang membeli tanah secara absentee. Dalam PP No. 4
Tahun 1977 diatur bahwa pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang
masa pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee tetapi
terbatas seluas 2/5 batas maksimum di daerah itu.
Apa yang wajib dilakukan oleh seorang pemilik tanah pertanian yang
meninggalkan kecamatan tempat letak tanahnya, sehingga ia menjadi pemilik
absentee? Dalam 2 tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat
kediamannya ia wajib memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain
yang bertempat tinggal di kecamatan itu, jika hal itu tidak dapat dilaporkan
kepada pejabat setempat yang berwenang (Kepala Desa). Jika hal tersebut
dilaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang maka kewajiban itu
harus dilaksanakan di dalam waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya
jangka waktu 2 tahun ia meninggalkan tempat tinggalnya.
Dikecualikan dari kewajiban tersebut pemilik yang berpindah ke
kecamatan yang berbatasan dengan tempat tinggal semula dan pemilik yang
menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama.
Apakah yang wajib dilakukan oleh orang yang menerima warisan tanah
pertanian yang letaknya di kecamatan lain? Kecuali jika ia seorang pegawai
negeri, maka dalam waktu 1 tahun sejak meninggalnya pewaris, tanah itu
wajib dipindahkan kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan
tersebut atau ia sendiri pindah ke kecamatan itu. Sesuai dengan asas umum
tersebut, maka biarpun tidak ada penegasannya, kiranya juga jika penerima
waris bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan ia tidak terkena
kewajiban itu. Jangka waktu 1 tahun tersebut dapat diperpanjang oleh
Menteri Agraria/Kepala BPN jika pembagian warisannya belum selesai.
Seperti telah dikemukakan bahwa semua bentuk pemindahan hak atas
tanah pertanian yaitu jual beli, hibah, dan tukar menukar, yang
mengakibatkan pemilikan baru secara absentee dilarang. Larangan itu juga
berlaku bagi pegawai negeri, kecuali dalam hal hibah waris. Seorang pegawai
negeri yang bertempat tinggal di Bandung tidak boleh membeli sawah di
Leles (Kabupaten Garut).

I. SANKSI
Jika kewajiban tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap
larangan sebagaimana diuraikan, maka tanah yang bersangkutan akan
diambil oleh pemerintah untuk kemudian diredistribusikan dalam rangka
landreform. Kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian menurut
peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah kelebihan.
Perlu ditegaskan bahwa larangan pemilikan tanah secara absentee itu
hanya mengenai tanah pertanian. Larangan pemilikan tanah secara absentee
itu berlaku juga terhadap bekas pemilik tanah kelebihan, jika sisa tanah yang
menurut ketentuan UU No. 56 Prp Tahun 1960 boleh tetap dimiliki dan
terletak di kecamatan lain dari tempat tinggalnya.

J. GADAI
Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 memuat ketentuan-ketentuan tentang
pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.
Ketentuanketentuan
itu merupakan perubahan dari peraturan gadai-menggadai tanah
menurut hukum adat. Dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria
No. SK/10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga
terhadap gadai tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan
lain sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya.
Gadai adalah hubungan hukum antara seorang dengan tanah kepunyaan
orang lain, yang telah menerima uang gadai darinya. Selama uang gadai itu
belum dikembalikan, maka tanah tersebut dikuasai oleh "pemegang gadai'.
Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.
Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan kembali
tanah” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang
menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan
sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan
penebusan.
Gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat mengandung unsur
eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang
bersangkutan setiap tahun itu umumnya jauh lebih besar dari bunga yang
layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.
Untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan itu, Pasal 53
UUPA menghendaki supaya gadai menggadai diatur sekaligus dalam UU
No. 56 Prp Tahun 1960, karena mungkin ada hubungan langsung dengan
pelaksanaan ketentuan luas maksimum.
Jika seorang pemegang gadai menguasai tanah melebihi luas maksimum,
mungkin tanah yang dipegang dalam hubungan gadai akan dikembalikan
olehnya kepada pemiliknya. Dalam pengembalian tanah gadai itu timbul
persoalan tentang pembayaran kembali uang gadainya. Hal itu diselesaikan
oleh Pasal 7 atas dasar perhitungan bahwa uang gadai rata-rata sudah akan
diterima kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanah yang bersangkutan
dalam waktu 5 sampai 10 tahun ditambah bunga yang layak (10%).
Ditetapkan dalam Pasal 7 bahwa tanah-tanah yang sudah digadaikan
selama 7 tahun (tengah-tengah antara 5 sampai 10) harus dikembalikan
kepada yang punya tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan.
Ketentuan-ketentuan itu pun tidak hanya berlaku terhadap tanah gadai
yang harus dikembalikan karena melebihi maksimum, tetapi terhadap gadai
menggadai tanah pertanian pada umumnya, yang tidak ada hubungannya
dengan pelaksanaan ketentuan mengenai maksimum. Dengan demikian,
maka gadai menggadai tanah pertanian selanjutnya akan mirip dengan jual
tahunan, dondon susut atau ngajual tutung (dalam hukum adat).
Pemegang gadai yang tidak melaksanakan kewajiban mengembalikan
tanah yang dikuasainya dengan hak gadai menurut ketentuan Pasal 7 dapat
dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp10.000,00 (Pasal 10 ayat 1 No.56 Prp Tahun 1960).
Di dalam Pasal 8 UU No. 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada
pemerintah untuk mengadakan usaha supaya setiap petani sekeluarga
memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Menurut penjelasannya,
2 hektar tanah pertanian itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan
tanah kering.
Ditetapkan luas minimum itu tidak berarti bahwa orang-orang yang
mempunyai tanah kurang dari 2 hektar diwajibkan untuk melepaskan
tanahnya. Dua hektar itu merupakan target yang harus diusahakan tercapai
secara berangsur-angsur (Pasal 7 ayat 4 PP No. 56 Prp Tahun 1960).
Sehubungan dengan apa yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 56 Prp
Tahun 1960 maka di dalam Pasal 9 dijumpai ketentuan-ketentuan yang
bertujuan untuk mencegah pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 hektar, dengan mengadakan
pembatasan terhadap pemindahan hak milik atas tanah pertanian.
Tanpa batasan-pembatasan itu maka dikhawatirkan, bukan saja usaha
untuk mencapai batasan minimum tersebut tidak tercapai, tetapi bahkan kita
akan tambah menjauh dari tujuan itu.
Dalam pada itu pembagian warisan yang justru merupakan sebab utama
pemecahan pemilikan tanah pertanian, atas dasar pertimbangan keagamaan,
tidak dibatasi. Dalam Pasal 9 ayat 4 hanya ditentukan bahwa bagian warisan
tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Tetapi yang akan diatur itu bukan soal “pembagian" warisan,
tetapi “bagian" warisan yang kurang dari 2 hektar.
Pasal 9 ayat 1 UU No. 56 Prp Tahun 1960 melarang pemindahan hak
atas tanah pertanian, apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbul atau
berlangsungnya pemilikan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar.
Larangan tersebut tidak berlaku jika si penjual hanya memiliki bidang tanah
yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual sekaligus. Tanah yang
luasnya 2 hektar atau kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian, karena
dengan demikian" timbul" bagian-bagian yang kurang dari 2 hektar. Kalau
akan dialihkan haruslah semuanya.
Kalau 2 hektar itu dijual kepada 2 orang masing-masing 1 hektar, yang
pertama sudah mempunyai tanah pertanian 1 hektar, yang kedua hanya
½ hektar, maka itu pun tidak diperbolehkan, karena bagi pembeli yang kedua
hal itu berarti “melangsungkan'' tetapi pengertian “pemindahan hak” meliputi
juga hibah dan tukar menukar.
Larangan itu pada hakikatnya berlaku juga terhadap pemindahan hak
atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 hektar. Biarpun Pasal 9 ayat 1
itu mempergunakan perkataan “di penjual", tetapi pengertian "pemindahan
hak" meliputi juga hibah dan tukar menukar.
Jika 2 orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya UU No. 56 Prp
Tahun 1960 memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar,
dalam waktu satu tahun, mereka wajib menunjuk salah seorang dari mereka
yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkan kepada pihak
lain. Sudah barang tentu dalam memindahkan hak itu harus diingat
pembatasan yang ditetapkan di dalam ayat 1.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Menteri Agraria akan
menunjuk salah seorang di antara mereka selanjutnya akan menjadi pemilik
tanah atau menjualnya kepada pihak lain. Dalam mengambil tindakan itu,
Menteri Agraria wajib memperhatikan keinginan mereka mengenai soal
alternatif mana yang mereka pilih, (Pasal 9 ayat 2 dan 3). Ketentuan ayat 2
dan 3 tersebut tidak mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang
berasal dari warisan (surat edaran Menteri Pertanian dan Agraria tanggal
1 Oktober 1962).
Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 atau tidak
melaksanakan kewajiban tersebut Pasal ayat 2 dipidana dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp10.000,00.

K. TUGAS DAN TATA KERJA PELAKSANAAN LANDREFORM


Penerimaan tugas dan tata kerja pelaksanaan landreform diatur dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 1981. Kegiatan Pelaksanaan
tugas landreform dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan para Gubernur/
Bupati/Walikota/Camat/Kepala Desa selaku Kepala Wilayah dengan
perincian-perincian ketentuan sebagai berikut.
1. Kegiatan Menteri Dalam Negeri meliputi:
a. menetapkan kebijaksanaan teknis pelaksanaan landreform;
b. mengambil keputusan terhadap persoalan pokok mengenai
pelaksanaan landreform;
c. mengajukan masalah untuk mendapatkan saran dan pertimbangan
dari Panitia Pertimbangan Landreform Pusat;
d. memberi bimbingan, petunjuk serta pedoman pelaksanaan landreform
untuk daerah-daerah;
e. menyelesaikan dan memutuskan sengketa yang timbul karena
pelaksanaan landreform yang tidak dapat diselesaikan oleh daerah;
f. melakukan pengawasan umum dalam pelaksanaan landreform;
g. memberikan laporan kepada Presiden tentang pelaksanaan landreform.
2. Kegiatan Gubernur Kepala Daerah meliputi:
a. melaksanakan instruksi yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri;
b. menyusun rencana pelaksanaan landreform pada Daerah Tingkat I sesuai
dengan instruksi dan pedoman dari Menteri Dalam Negeri;
c. mengajukan masalah untuk mendapatkan saran dan pertimbangan dari
Panitia Pertimbangan Landreform provinsi;
d. memberikan bimbingan, pembinaan dan petunjuk mengenai pelaksanaan
landreform di daerahnya masing-masing;
e. mengambil keputusan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan redistribusi tanah;
f. memberikan hak milik atas tanah yang dibagi-bagikan dalam rangka
pelaksanaan landreform;
g. menyelesaikan dan memutuskan sengketa yang timbul berhubung
dengan pelaksanaan landreform sesuai dengan kewenangannya;
h. mengadakan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan landreform
di daerahnya masing-masing;
i. memberikan laporan tentang pelaksanaan landreform di daerahnya
kepada Menteri Dalam Negeri.
3. Kegiatan Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah meliputi:
a. melaksanakan instruksi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I;
b. menyusun rencana kerja pelaksanaan landreform pada daerahnya sesuai
dengan pedoman/instruksi tersebut huruf a meliputi kegiatan
inventarisasi pemilikan, penggunaan dan penguasaan tanah-tanah yang
ada di daerahnya;
c. mengajukan dan memperhatikan saran dan pertimbangan dari Panitia
Pertimbangan Landreform Kabupaten/Kotamadya;
d. menetapkan tanah kelebihan dari batas maksimum;
e. menetapkan bentuk, jumlah dan cara pemberian ganti kerugian kepada
bekas pemilik menurut pedoman yang diberikan oleh Gubernur Kepala
Daerah dan atau Menteri Dalam Negeri;
f. mendaftar para penggarap dan menetapkan prioritas para petani yang
akan mendapat bagian tanah, serta menetapkan luas dan letak tanah yang
akan dibagikan;
g. mengeluarkan surat izin menggarap (SIM) dan menetapkan prioritas para
petani yang akan mendapat bagian tanah, serta menetapkan luas dan
letak yang akan dibagikan;
h. menentukan tanah-tanah yang masih tetap akan dimiliki oleh pemilik dan
mengatur jumlah dan cara pembayaran ganti kerugian tanah dari petani
yang memperoleh bagian tanah;
i. mengusulkan redistribusi tanah objek Landreform;
j. memberikan izin pemindahan hak atas tanah pertanian yang
diredistribusikan;
k. menetapkan cara-cara pengembalian tanah-tanah yang digadaikan;
l. mencegah terjadinya pemilikan/penguasaan tanah pertanian oleh orangorang
yang tempat tinggalnya di luar letak tanahnya;
m. mengadakan dan atau mengusulkan pembinaan petani landreform;
n. meningkatkan pelaksanaan Undang-undang No. 2 Tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil, sesuai dengan Instruksi Presiden No. 13
Tahun 1980;
o. memberikan petunjuk, pedoman bimbingan dan penyuluhan mengenai
pelaksanaan landreform di daerahnya masing-masing;
p. mengadakan pengawasan dan evaluasi mengenai pelaksanaan
landreform di daerahnya masing-masing;
q. mendamaikan dan memberi putusan tentang sengketa-sengketa yang
timbul akibat pelaksanaan landreform;
r. memberikan laporan mengenai pelaksanaan landreform di daerahnya
kepada Gubernur Kepala Daerah dan Menteri Dalam Negeri.
4. Tugas Camat meliputi:
a. Membantu Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah dalam kegiatan:
1) penelitian mengenai pemilikan penggunaan, dan penguasaan tanah
pertanian yang terkena landreform;
2) penentuan bagian tanah yang tetap, yang tetap dimiliki bekas
pemilik dan tanah-tanah penelitian yang dikuasai oleh pemerintah;
3) inventarisasi mengenai tanah-tanah objek landreform;
4) inventarisasi dan penelitian mengenai para penggarap tanah objek
landreform;
5) penelitian dan menentukan prioritas bagi petani yang akan
menerima redistribusi tanah;
6) pengumpulan data mengenai pembayaran ganti kerugian atas tanah
kelebihan dan absentee;
7) memberikan pertimbangan dalam pemberian izin pemindahan hak
atas tanah pertanian;
8) memberikan pertimbangan mengenai penyelesaian sengketa
landreform.
b. Melaksanakan instruksi dan petunjuk Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah.
c. Melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya:
1) menerima pembayaran uang pemasukan dari penerima redistribusi
dan menyetorkan kepada Cabang Bank Rakyat Indonesia setempat;
2) melaksanakan ketentuan pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1960 dan
peraturan pelaksanaannya;
3) melaksanakan perjanjian bagi hasil atas tanah-tanah sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1980 tentang
kebijaksanaan mengenai pencetakan sawah;
4) melaksanakan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan landreform di
daerahnya;
5) mencegah timbulnya pemilikan/penggunaan tanah pertanian yang
melampaui batas maksimum dan absentee;
6) memberikan laporan pelaksanaan landreform kepada Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah.
5. Kegiatan Kepala Desa meliputi:
a. Membantu Camat dalam kegiatan:
1) penelitian mengenai pemilikan, penggunaan dan penguasaan tanah
pertanian yang terkena landreform;
2) penentuan bagian tanah yang tetap dimiliki bekas pemilik dan tanahtanah
yang dikuasai oleh pemerintah;
3) inventarisasi mengenai tanah-tanah objek landreform;’
4) inventarisasi dan penelitian mengenai para penggarap tanah objek
land reform;
5) penelitian dan penentuan prioritas bagi petani penggarap yang akan
menerima redistribusi tanah;
6) pengumpulan data mengenai pembayaran ganti kerugian atas tanah
kelebihan dan absentee;
7) melaksanakan perjanjian bagi hasil atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 54 tahun 1980 tentang
kebijaksanaan mengenai pencetakan sawah.
b. Melaksanakan instruksi dan petunjuk Camat dan atau Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah.
c. Melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya:
1) melakukan pendaftaran tentang perjanjian bagi hasil;
2) mengusulkan kepada Camat mengenai keanggotaan Panitia
Pertimbangan Bagi Hasil Desa;
3) mendamaikan/menyelesaikan masalah gadai tanah, bagi hasil dan
pelaksanaan landreform;
4) melaporkan kepada Camat mengenai permasalahan yang timbul,
baik yang sudah maupun yang belum dapat diselesaikan;
5) memungut uang sewa dan uang ganti rugi dari menerima redistribusi
dan menyetorkan kepada Camat;
6) mengawasi pelaksanaan landreform dan perjanjian bagi hasil di
wilayahnya;
7) membuat laporan bulanan pelaksanaan Camat Kepala Wilayah
mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil dan pelaksanaan
landreform.
Berlainan dengan landreform di Rusia, di Indonesia kepada bekas
pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Di Rusia semua tanah disita oleh
negara dan diberikan kepada buruh untuk dipergunakan secara cuma-cuma.
Di Indonesia tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah diredistribusikan
kepada para petani penggarap dengan hak milik dengan memungut uang
pemasukan, sedangkan di Rusia hak milik perseorangan atas tanah
dihapuskan, semua tanah menjadi milik negara. Tanah tidak diredistribusikan
kepada para petani penggarap dengan hak milik, tetapi diusahakan secara
kolektif atau sebagai perusahaan negara.
Landreform Indonesia justru bertujuan memperluas pemilikan tanah para
petani kecil, petani penggarap dan buruh tani. Landreform di Rusia
menghapuskan hak milik perorangan atas tanah, sedangkan UUPA tetap
mengakui hak milik itu.
Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu
1961 sampai 1965, namun kurang berhasil. Saat program landreform tersebut
diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang tidak stabil. Pada masa itu
dikenal pendekatan “ politik sebagai panglima”, di mana setiap kebijakan
pemerintah dimaknai dalam konteks politik.
Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landreform
sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim
sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai
faktor penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini memang kemudian
menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat luas terutama di Pulau Jawa
yang petaninya sudah merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi
petani bertanah luas, landreform merupakan ancaman bagi mereka, baik
secara politik maupun ekonomi, yaitu kekhawatiran akan menurunnya luas
penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan
pendapatan keluarga dan kesejahteraan.
Program landreform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai
tahun 1965. Kegiatan yang utama adalah (i) pendaftaran tanah dan
(ii) penetapan tanah kelebihan dan pembagiannya pada petani tak bertanah.
Sementara itu pelaksanaan UUPBH belum sempat berlaku efektif. Melalui
pengukuran dan pendaftaran tanah maka diketahui tanah-tanah kelebihan
yang akan diredistribusikan. Tahap ini diperkirakan berlangsung selama satu
tahun. Pada ulang tahun UUPA yang kedua tanggal 24 September 1962
pembagian tanah tahap pertama yang meliputi wilayah Jawa, Madura, Bali,
dan Nusa Tenggara Barat mulai dilakukan. Untuk tahap kedua, seluruh
Indonesia direncanakan akhir tahun 1963 atau paling lambat awal 1964 sudah
dapat dilaksanakan. Diperkirakan antara waktu 3 sampai dengan 5 tahun
pekerjaan landreform dapat dirampungkan. Di akhir Desember 1964,
pembagian tanah kelebihan di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan Sumbawa
(wilayah tahap pertama) dilaporkan dari 337.445 ha tanah kelebihan telah
dibagikan sebanyak 296 ha. Sedangkan untuk tahap kedua berhasil
dibagikan sebanyak 152.502 ha tanah. Upaya itu belum sempat
menampakkan hasilnya, pemerintahan Soekarno telah digulingkan dan
diganti oleh pemerintah Soeharto.
Namun demikian, pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada masa
berikutnya mengklaim bahwa landreform tetap dilaksanakan meskipun secara
terbatas. Data yang dikeluarkan BPN menyebutkan bahwa total objek tanah
landreform adalah 1.601.956 ha. Pada kurun waktu 1961-2001 telah
diredistribusikan tanah seluas 837.082 ha (52 %) kepada 1.921.762 petani
penerima. Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah kelebihan maksimum
telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas 134.558 ha kepada
3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp 88 triliun.
Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari
kerawanan sosial politik yang besar maka landreform diimplementasikan
dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah
dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk
dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah
yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi
dengan pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang
diberikan kepada petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum
penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga.
Semenjak era reformasi, telah terjadi perkembangan yang
menggembirakan, di mana telah cukup banyak pihak yang membicarakan dan
peduli dengan permasalahan landreform, meskipun masih terbatas pada
wacana. Namun demikian, sampai sekarang belum berhasil disepakati
bagaimana landreform dan agraria reform (pembaruan agraria) tersebut
sebaiknya untuk kondisi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai