Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM AGRARIA

“EKSISTENSI UUPA DI INDONESIA”

DIBUAT OLEH:

NAMA : LESTI HARDIANTI

NIM : 1909155709

KELAS :G

DOSEN PENGAMPU : Dr. MARYATI BACHTIAR, SH., M.Kn

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS RIAU

2021
DAFTAR ISI

I. PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

1. Defenisi Hukum Agraria...................................................................................................... 4

2. Berlakunya UUPA di Indonesia .......................................................................................... 5

3. Relevansi UUPA di Indonesia Sekarang ............................................................................. 7

II. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 11

2
I. PEMBAHASAN

Sejarah Hukum Agraria Indonesia dibagi dalam beberapa periode karena setelah
Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda menerapkan peraturan hukum pertanahan yang
berlaku di negaranya ke Indonesia yang kemudian diberlakukan kepada masyarakat
Indonesia. Sebelum berlakunya aturan hukum agraria yang sifatnya nasional di Indonesia
terdapat dua peraturan hukum yang mengatur mengenai agraria sehingga terdapat hukum
agraria yang dualistik. Kedua hukum itu yakni hukum adat yang telah berlaku dalam
masyarakat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya yang berbentuk
peraturan hukum tidak tertulis. Selain itu terdapat pula peraturan hukum yang diberlakukan
pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang merupakan hukum agraria Belanda.
Sehingga tanah-tanah di Indonesia diatur dengan dua peraturan, yakni peraturan adat tentang
tanah yang tunduk pada hukum adat serta peraturan tanah yang tunduk pada hukum Belanda.
Maka lahirlah “dualisme” dalam pengaturan hukum pertanahan di Indonesia.
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus
revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan
Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara.
Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA).
Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut
campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut
adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya
bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain. Lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan
peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5
Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan
kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan
Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip
domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya

3
berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik
negara/ milik penjajah belanda).
UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya
perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki
terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan
pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tujuan diundangkan UUPA sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum salah
satunya yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Lebih lanjut ditegaskan pula dalam pasal 19 ayat (1)
UUPA bahwa: “untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah”.

1. Defenisi Hukum Agraria

Secara bahasa, agraria bersal dari bahasa Latin yaitu; ager dan agrarius. Kata ager
berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan agrarius mempunyai arti “perladangan,
persawahan dan pertanian”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata agraria disebut agrarian,
yang berarti tanah dan usaha pertanian1. Kemudian, dalam terminology bahasa Indonesia,
agraria berarti urusan tanah, pertanian, dan perkebunan 2.

Dalam UUPA terminologi memiliki makna yang lebih luas, ia tidak hanya
menyangkut tanah dan perkebunan. Akan tetapi sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 bahwa
yang dimaksud agraria adalah meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang dimaksud bumi sebagaimana dalam ayat 4
bahwa bumi meliputi permukaan bumi (tanah), tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di
bawah air. Kemudian dalam ayat 5 yang dimaksud air adalah termasuk baik perairan
pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Dan dalam pasal 6 Yang dimaksud dengan ruang
angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Kemudian yang dimaksud hukum agrarian adalah sudah pasti merupakan kaidah,
ketentuan, peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan hukum soal tanah. Karena

1 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal 1


2 Kamus Bahasa Indonesia vol II, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hal 11

4
istilah agraria memang identik dengan persoalan tanah. Menurut beberapa ahli sebagaimana
yang dikemukakan Soedikno Mertokusumo dalam Urip Santoso, bahwa hukum agrarian
merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur agraria3. Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dalam Budi Harsono, hukum
Agraria dalam arti sempit sama dengan Hukum Tanah4. Hukum Agraria dan Hukum Tanah
menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan
hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus
soal-soal tentang agraria, melalui tugas mereka itu. Jadi istilah hukum agraria dalam
lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat perundangundangan yang
memberi landasan hukum bagi penguasa dalam menjalankan kebijakannya di bidang
pertanahan

2. Berlakunya UUPA di Indonesia

Undang-undang ini secara resmi diberi nama UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, yang mengatur mengenai tentang hak-hak atas tanah, air, dan
udara. Hal tersebut juga meliputi aturan dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan,
penggunaan atau pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia, pendaftaran tanah,
ketentuan-ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Dengan diberlakukannya UUPA, maka
terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama pada
bidang hukum pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat
hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya 5.

UU No. 5 Tahun 1960 adalah penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas
tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi
pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945
Pasal 33 Ayat 3. UU No. 5 ini mengatur sumber daya alam agraria secara umum juga
mengatur jenis-jenis hak atas tanah. Hal ini seperti yang termaktub dalam pasal 16 ayat 1
bahwa jenis-jenis itu antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain. Jika melihat

3 Urip Santoso, Hukum Agraria; Kajian Komprehensif, vol. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm
5
4 Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan
Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1997, hal 7
5 Soeprapto, Undang-undang pokok Agraria dalam peraktek, Jakarta: Universitas indonesia perss, 1986, hal 6

5
ketentuan Pasal 16 tersebut, maka jenis-jenis hak atas tanah dikategorikan menjadi tiga antara
lain:

1) Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak
Memungut Hasil Hutan.
2) Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha

Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
3) Hak atas tanah yang statusnya mengikuti undang-undang, maksudnya adalah hak atas

tanah bisa berubah disebabkan perubahan undang-undang yang akan lahir kemudian.

Dalam proses pembaharuan UU No. 5 tahun 1960, terdapat beberapa pertimbangan


yang menjadi acuan atau dasar peresmian undang-undang agraria. Salah satunya adalah
dengan memperhatikan kondisi dan karakteristik pemanfaatan lahan oleh masyarakat
Indonesia. Berikut ini merupakan dasar dan ketentuan pokok yang melahirkan UU No. 5
tahun 1960.

 Kondisi masyarakat Indonesia dimana kontribusi perekonomian Indonesia yang


berciri khas agraria meliputi pemanfaatan bumi, air, dan udara sebagai anugerah
Tuhan YME, perlu dijaga kelestariannya untuk kepentingan bersama dan membentuk
masyarakat yang adil dan makmur.
 Hukum agraria yang sebelumnya berlaku, disusun dan dipengaruhi dari peninggalan
hukum-hukum penjajah yang tidak sesuai dengan pandangan bangsa dan bertentangan
dengan kepentingan rakyat secara luas.
 Terdapatnya unsur dualisme pada undang-undang sebelum UU No. 5, yang meliputi
hukum adat dan hukum agraria.
 Tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat luas

 Melalui peresmian UU No. 5 tahun 1960, terdapat dasar hukum kuat yang mengatur
tentang hal-hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada UU No 5.
meliputi hak milik tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak pembukaan tanah, dan hak memungut hasil hutan.

 Melalui aturan hak pemanfaatan tanah tersebut, seluruh tanah yang dimanfaatkan
wajib memiliki sertifikat sebagai bukti sah pemanfaatannya. Dalam proses

6
pendaftaran pemanfaatan atas tanah, secara umum harus melalui tiga proses. Proses
tersebut meliputi pengukuran dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak, dan
pemberian bukti hak yang biasanya berbentuk sertifikat sebagai bukti sah. Seluruh
proses pengurusan pemanfaatan tanah sebagian besar dilakukan terpusat di Badan
Pertanahan Nasional (BPN).

Melalui peresmian UUPA ini, terdapat dasar hukum kuat yang mengatur tentang hal-
hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada UU No. 5 meliputi hak milik
tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak pembukaan tanah, dan
hak memungut hasil hutan.

Melalui aturan hak pemanfaatan tanah tersebut, seluruh tanah yang dimanfaatkan
wajib memiliki sertifikat sebagai bukti sah pemanfaatannya. Pemegang hak-hak atas tanah
yang bersangkutan harus diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah dengan demikian
akan memberikan kepastian hukum. 6 Dalam proses pendaftaran pemanfaatan atas tanah,
secara umum harus melalui tiga proses. Proses tersebut meliputi pengukuran dan pembukuan
tanah, pendaftaran hak-hak, dan pemberian bukti hak yang biasanya berbentuk sertifikat
sebagai bukti sah. Seluruh proses pengurusan pemanfaatan tanah sebagian besar dilakukan
terpusat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

3. Relevansi UUPA di Indonesia Sekarang

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan keadaan, banyak terjadi


permasalahan dan ketidaksesuaian aturan yang berlaku dengan impelentasi di masyarakat.
Sudah seharusnya ada langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan problematika agraria.
Langkah yang bisa dilakukan adalah mengkaji ulang beberapa perundang-undangan dan
peraturan yang mengatur tentang agraria. Langkah ini dilakukan untuk menemukan akar
persoalan dari berbagar macam masalah agraria. Sehingga pokok dari masalah agraria ini bisa
dijadikan landasan untuk melakukan pembaharuan undang-undang dan peraturan yang ada
agar bisa mengakomodir kebutuhan dan kepentingan rakyat di bidang agraria.

Dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan, materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas
pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian

6 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1990, hal 49

7
hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Berdasarkan ketentuan hukum
di atas, maka pembentukan perundang-undangan di Indonesia harus berorientasi pada dan
untuk mencapai tujuan dan kepentingan negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal
sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yakni untuk membangun segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketentuan konstitusi haruslah menjadi instrumen dasar dalam penataan kembali


hukum agraria nasional dalam kerangka reforma agraria dengan menjadikan Pancasila
sebagai paradigma hukum, sehingga Pancasila dapat berfungsi sebagai filosofische grondslag
dan common platforms dalam konteks pengelolaan agraria nasional. Karena itu pembaharuan
hukum agraria haruslah berpijak dan beroreintasi pada ketentuan konstitusi UUD 1945 pasal
33 yang berbunyi; “Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketentuan hukum pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara, sebagai


sistem norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk mengatur dan
mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih sekedar itu. Hukum
pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana pengarah dalam merealisasikan
kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, kebijkan, pertanahan dan keamanan
nasional.

Jika hukum pertanahan dimaknai sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan
perundang-undangan yang paling tinggi sampai pada peraturan yang rendah harus merupakan
suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu sama lain. Proses pembentukan
norma-norma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah disebut sebagai
7
proses konkretisasi. Selain itu, reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam penyusunan hukum
agraria diperlukan. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus dapat terintregasi dalam
pembentukan atau pembangunan hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan
ditengahtengah masyrakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyrakat itu sendiri,
sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah masyarakat. 8

7 Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Yogyakarta: Thafa
Media, 2014, hal 37
8 Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Yogyakarta: Thafa
Media, 2014, hal 75

8
Pancasila sebagai sumber dan cita hukum nasional, memberikan konsekuensi bahwa
dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, akan memberikan arah pada pikiran dan
tindakan. Cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau
persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur yakni keadilan,
kehasilgunaan dan kepastian hukum. Cita hukum terbentuk dalam pikiran dan sanubari
manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagaamaan dan kenyataan
kemasyarakatan. Karena itu “Ilmu hukum dan hukum Indonesia seyogyanya bertumpu dan
mengacu pada cita hukum tersebut”.9

Akan tetapi pembaharuan hukum agraria secara materil, harus didukung dengan
perbaikan di bidang struktur hukum dan kultur hukum. Karena pembaharuan hukum tanpa
didukung dengan struktur dan kultur hukum yang baik, akan sia-sia, dan akan berjalan
ditempat. Karena bagaimanapun, penegakan hukum merupakan problem yang sangat
kompleks bagi masyarakat Indonesia. Sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam
sistem hukum Indonesia, seperti penyalahgunaan wewenang oleh para penegak hukum.
Begitu juga dengan lembaga-lembaga hukum baik di tingkat pusat maupun daerah, sebagian
besar kinerjanya masih belum profesional dan belum mengarah pada pelaksanaan hukum
yang sesungguhnya.

9 B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Bandung: FH Unika Parahyangan, 2010, hal 84-85

9
II. KESIMPULAN DAN SARAN

UUPA menegaskan bahwa hukum agraria tidak hanya mengatur terbatas pada tanah
saja melainkan tanah, air, udara. Penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus
dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang
adil dan makmur. UUPA ini juga mengatur sumber daya alam agraria secara umum dan juga
mengatur jenis-jenis hak atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain

Dalam perkembangannya hukum agraia hanya dilihat dari satu aspek sempit saja
yakni tanah, padahal konsep agraia yang sebenarnya meliputi tanah, bumi, air dan lain
sebagainya. Hal ini tentu berdampak pada pengaplikasian UUPA di masyarakat dan pada
akhirnya berpengaruh terhadap upaya pembaharuan agraria di Indonesia. Kondisi tersebut
menempatkan upaya pembaharuan agraria pada dinamika politik kemasyarakatan Indonesia.
Upaya merealisasikan pembaharuan agraria dengan upaya pembaharuan agraria sebagai suatu
gerakan sosial. Semoga kedepannya UU Hukum Agraria lebih mengedepankan Pancasila
sebagai sumber dan cita hukum nasional dan lapisan masyarakat serta pemerintah turut
berperan serta dalam menjalankan dan menegakkan hukum itu sendiri tanpa mengedepankan
kepentingan pribadi masing-masing

10
DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Kamus Bahasa Indonesia vol II, 1991, Balai Pustaka, Jakarta.

Urip Santoso, 2013, Hukum Agraria; Kajian Komprehensif, vol. 2, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.

Harsono Boedi, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Soeprapto, 1986, Undang-undang pokok Agraria dalam peraktek, Universitas indonesia


perss, Jakarta.

Sudargo Gautama, 1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung.

Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum
Progresif, Thafa Media, Yogyakarta.

Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum
Progresif, Thafa Media, Yogyakarta.

B. Arief Sidharta, 2010, Ilmu Hukum Indonesia, FH Unika Parahyangan, Bandung.

11

Anda mungkin juga menyukai