Anda di halaman 1dari 12

Makalah Hukum Agraria Landreform Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang                                               
            Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian
sebagai petani. Tanah merupakan hal yang terpenting bagi masyarakat tani untuk bercocok
tanam. Namun sering terjadi permasalahan terkait penguasaan tanah dimana masyarakat tani
sering menggarap lahan yang bukan miliknya sendiri, sehingga terjadi ketimpangan baik
penguasaan tanah, pendapatan ekonomi maupun masalah – masalah sosial. Dalam permasalahan
tersebut salah satu pemecahannya adalah Landreform. Landreform dianggap mampu
memecahkan masalah agraria yang ada.
            Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land artinya tanah,
sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun atau membentuk atau
menata kembali struktur pertanian baru. Sedangkan landreform dalam arti sempit adalah
penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam
konsep reform agraria (agraria reform). Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan
dan penguasaan tanah serta hubungan - hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan
tanah.[1] Salah satu tujuan landreform adalah untuk mengakhiri sistem tuan-tanah dan
menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besarbesaran dengan tidak terbatas
dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
            Didalam pasal 17 UUPA menyatakan dalam ayat 1 dan 2, “ bahwa dalam waktu yang
singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu
keluarga atau badan hukum ”. Selanjutnya ditetapkan dalam ayat 3 “ bahwa tanah – tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan “. Atas dasar pasal 17
UUPA tersebut diterbitkanlah undang – undang no 56 Prp 1960 yang bertujuan untuk
memeratakan penguasaan atas tanah, mengadakan penataan penguasaan tanah dan meningkatan
pendapatan serta kesejahteraan untuk rakyat khususnya para petani kecil secara adil dan merata,
sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran  sebagai bagian
dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur bedasarkan
Pancasila.
            Namun, pada kenyataannya banyak tujuan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya,
masyarakat khususnya petani, tidak merasakan kemakmuran di bumi Indonesia. Masih banyak
petani yang menggarap tanah yang bukan miliknya sendiri. Sangat miris melihatnya pada
dasarnya bumi Indonesia merupakan Negara agraris yang mempunyai lahan yang luas, subur dan
seharusya diperuntukkan, diolah dan digarap oleh para petani Indonesia.
            Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia  sebagaimana halnya
ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya adalah sangat tajam dan ironis. Disatu
sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee dan menjadikan sebagai asset atau
investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani banyak petani yang hanya mempunyai sebidang
tanah yang tidak cukup menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun
tanah digarapnya. Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan
pemanfaatan tanah maka program landreform haruslah dimaksimalkan sebaik mungkin.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Landreform?
2.      Apasaja asas – asas yang mendasari lahirnya Landreform?
3.      Bagaimana tujuan Landreform serta dasar hukumnya?
4.      Bagaimana program Landreform Berjalan di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Landreform.
2.      Untuk mengetahui asas – asas yng mendasari lahirnya Landreform.
3.      Untuk mengetahui tujuan Landreform.
4.      Untuk menegtahui berjalannya program Landreform di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Landreform
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land artinya tanah,
sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun atau membentuk atau
menata kembali struktur pertanian baru. Dalam pasal 10 aayat (1) dan (2) UUPA dirumuskan
suatu azas  yang menjadi dasar dari pada perubahan – perubahan dalam struktur pertanahan
hampir seluruh dunia, yaitu di negara – negara yang sedang menyelenggrakan apa yang di sebut
Landreform atau Agraria reform yang dimaksud ini, bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri.[2] Boedi Harsono menyatakan Bahwa UUPA
merupakan Undang – Undang yang melakukan pembaruan agraria karena didalamnya memuat
program yang dikenal dengan panca program agrarian reform Indonesia yakni:[3]
1)      Pembaruan hukum agraria melalui unifkasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian
jaminan kepastian hukum.
2)      Peng hapusan hak – hak asing dan konsensi – konsensi kolonial atas tanah.
3)      Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur – angsur.
4)      Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan – hubungan hukum yang
bersangkutan pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan tanah kemakmuran dan
keadilan.
5)      Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi , air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, serta penggunaan secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Program dalam point ke-4 diatas merupakan Landreform dalam arti sempit sedangkan
menurut Boedi Harsono Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan
tanah serta hubungan - hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.[4] Urip
Santoso memberi pengertian Landreform adalah perubahan secara mendasar mengenai
penguasaan dan pemilikan tanah dari sistem yang lama sebelum berlakunya UUPA ke sistem
yang baru menurut UUPA.[5] Sedangkan pendapat R soeprapto  menyatakanbahwa landreform
berarti perombakan sistem penguasaan dan pemilikan tanah pertanian disesuiakan  dengan batas
kemampuan manusia untuk mengerjakan sendiri tanahnya dengan memperhatikan keseimbangan
antara tanah yang ada dan manuasia yang membutuhkan.[6] Dari pendapat para pakar diatas
dapat disimpulkan landreform adalah perombakan sistem penguasaan tanah dan pemilikan tanah
pertanian yang meninggalkan konsep lama ( konsep sebelum UUPA ) menjadi konsep baru
sesuai dengan UUPA.
Pengertian Landreform menurut UUPA meliputi pengertian yang luas atau disebut
Agrarian Reform mencakup tiga masalah Pokok yaitu:
a)    Perombakan dan pembangunan kembali sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah. Tujuannya
yaitu melarang groot grond bezit, pemilikan tanah yang melampaui batas, sebab hal yang
demikian akan merugikan kepentingan umum. Asas ini tercantum dalam pasal 7, 10 dan 17
UUPA.
b)      Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan atas tanah atau disebut landuse planing
asas – asasnya tercantum dalam pasal 14 dan 15 UUPA.
c)      Penghapusan Hukum Agraria Kolonial dan pembangunan hukum agraria nasional.

B.     Asas – asas Landreform


Didalam Undang – undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang – undang Pokok Agraria
memuat asas – asas landreform yaitu:
a.       Asas Penghapusan Tuan Tanah Besar
Asas ini dimuat dalam pasal 7 UUPA yang menetapkan bahwah untuk tidak  merugikan
kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak di
perkenankan.
b.      Asas Pembatasan Luas Maksimum dan / Minimum Tanah
Asas ini dimuat dalam pasal 17 UUPA yaitu:
1)      Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam
pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2)      Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan didalam waktu yang singkat.
3)      Tanah – tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal
ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan – ketentuan dalam peratuaran pemerintah.
4)      Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini yang akan ditetapkan dengan
peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur – angsur.
c.       Asas Larangan Pemerasan Orang Oleh Orang Lain
Asas ini dimuat dalam pasal 11 UUPA yakni:
1)      Hubungan hukum antar orang termasuk badan hukum dangan bumi, air dan ruang agkasa serta
wewenang – wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai
tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas.
2)      Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan
tidak bertentangan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.
d.      Asas Kewajiban Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas Tanah Pertanian
Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA yakni:
1)      Setiap Orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara – cara
pemerasan.
2)      Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan
3)      Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundang –
undangan
Tanah – tanah yang menjadi objek landreform yang akan dibagikan (diredistribusikan) kepada
petani yang belum memiliki tanah diatur dalam pasal 1 peraturan pemerintah No.224 tahun 1961
yakni:
a)      Tanah – tanah selebihnya dari batats maksimum sebagai dimaksud dalam Undang – undang
No.56 Prp tahun 1960 dan tanah – tanah yang jatuh pada negara  karena pemiliknya melanggar
ketentuan – ketentuan undang – undang tersebut.
b)      Tanah – tanah yang diambil oleh pemerintah pemiliknya berdomisili diluar kecamatan tempat
letak tanah yang bersangkutan.
c)      Tanah – tanah swapraja dan bekas bekas swapraja yang telah berali kepada negara, sebagai yang
dimaksud kan dalam diktum keempat huruf a UUPA
d)     Tanah – tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan di tegakkan langsung oleh
menteri agraria.

C.    Tujuan Lendreform
Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidatonya tanggal 12 september 1960 yang
mengantarkan RUU Pokok Agraria dimuka sidang pleno DPR-GR antara lain menyatakan
bahwa perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum agraria nasional
berjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa indonesia untuk melepaskan diri dari
cengkraman, pengaruh dan sisa – sisa penjajahan khususnya perjuangan rakyat tani untuk
membebaskan diri dari kekangan – kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum
modal asing. Selanjutnya dikatakan, bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah:[7]
a)      Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa
tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur
pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial
b)      Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek
spekulasi dan objek pemerasan.
c)      Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara indonesia
baik laki – laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan
terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun
temurun tetapi bersifat sosial.
d)     Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dengan menyelenggarakan
batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang
laki – laki ataupun wanita. Dengan, demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme
atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomis lemah.
e)      Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggarakannya pertanian yang
intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya untuk
mencapai kesejahteraan yang adil dibarengi sitem perkreditan yang khusus di tujukan pada
golongan petani.
R Soeprapto menyatakan bahwa tujuan diadakan landreform di Indonesia yaitu:[8]
a)      Pemerataan penguasaan / pemilikan tanah pertanian untuk meratakan hasil produksinya
b)      Mengakhiri sistem kapitalisme dan feodalisme dalam penguasaan, pemilikan dan penguasaan
dibidang keagrariaan
c)      Meningkatkan produksi pertanian
d)     Meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat pada umumnya
e)      Meningkatkan harga diri para penggarap dan meningkatkan gairah kerja
f)       Menghilangkan jurang pemisah antara golongan petani kaya dan miskin
Selain tujuan yang telah disampaikan diatas ada juga tujuan landreform lain yang hendak dicapai
untuk memperbaiki kehidupan rakyat tani yakni:

A.    Tujuan Sosial Ekonomi
1)      Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi
fungsi sosial hak milik.
2)      Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan
taraf hidup rakyat dengan penggunaan teknologi modern
Landreform dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak
milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi
penghasilan dan tarif hidup rakyat.
B.     Tujuan Sosial Politik
1)      Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah secara luas
2)      Mengadakan pembagian yang adil  atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan
maksud agar ada pembagian yang adil atas hasilnya. Ini berarti setiap orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahtaeraankemajuan serta melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang lain.
Dari tujan diatas diharapkan landreform sistem tuan tanah dapat dihapuskan dan
pemilikan tanah dalam skala besar dapat di batasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil
agar menjadi sumber sumber penghidupan rakyat tani.
C.     Tujuan Sosial Psikologis
1)      Meningkatkan kegairahan kerja para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak
mengenai kepemilikan tanah.
2)      Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap.
3)      Meningkatkan kepercayaan dan harga diri rakyat tani sesuai dengan harkat dan martabat sebagai
manusia.
Tujuan sosial psikologis ini dapat meningkatkan kegairahan kerja bagi petani penggarap
dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki
hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.
D.     Dasar Hukum Landreform
Beberapa landasan mengenai landreform yaitu:
1.      Undang – undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok – poko Agraria ( UUPA )
2.      Undang – undang No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
3.      Undang – undang No.56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.
4.      Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian
ganti kerugian ( jo. PP No.41 tahun 1964 dan PP No.4 tahun 1977 )

E.     Program Landreform Indonesia

1.      Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah


Pokok – pokok ketentuan mengenai hal – hal tersebut diatur dalam pasal 7 dan pasal 17
UUPA, dimana apa yang diatur dalam pasal 7 diatur lebih lanjut di dalam pasal 17. Pasal 7
menetapkan, “bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Bahwa pasal 7 ini bermaksud untuk
mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan – golongan dan orang – orang
tertentu saja. Pasal tersebut menegaskan dilarangnya apa yang disebut groot grond bezit.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan merugikan kepentingan
umum karena terbatasnya persediaan tanah pertanian khususnya di daerah – daerah tanah yang
padat penduduknya, hal itu menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan
hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut
taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah.[9] Selain itu yang
dilarang oleh pasal 7 itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan
tanah tersebut.
Penguasaan itu selain dengan hak milik, dapat dilakukan juga dengan hak gadai sewa
(jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain-lainnya. Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA
pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang – undang ( perppu ) No. 5
tahun 1960. Perppu tersebut kemudian di tetapkan menjadi undang – undang No.56 Prp tahun
1960 merupakan Undang – undang landreform Indonesia .Ada tiga soal yang diatur dalam UU
No.56 Prp tahun 1960 yaitu:
1)      Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
2)      Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan –
perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah – tanah itu menjadi bagian – bagian
yang terlampau kecil.
3)      Soal pengembalian dan penebusan tanah – tanah pertanian yang digadaikan.
Penetapan luas maksimum tanah pertanian memakai dasar keluarga, yaitu sesuai dengan
ketentuan pasal 17 UUPA, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin orang seorang. Menurut
penjelasan pasal 17 UUPA, yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri, dan anak – anak
yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar 7 orang. Berapa
luas tanah yang dikuasai oleh anggota – anggota suatu keluarga jumlah itulah yang menentukan
maksimum luas tanah bagi keluarga tersebut.
Dalam pasal 1 ayat ( 2 ) undang – undang NO.56 Prp tahun 1960 ditetapkan bahwa luas
maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
Di daerah yang kepadatan Digolongkan daerah Sawah Tanah kering
penduduknya tiap kilo meter  (hektar)    atau  (hektar)
persegi
a.       0 sampai 50 Tidak padat 15 20
b.      51 sampai 250 Kurang padat 20 12
c.       251 sampai 400 Cukup padat 7,5 9
d.      4001 keatas Sangat padat 5 6
                
                        Khusus untuk pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas
maksimum, tetapi diakibatkan karena adanya warisan tanpa wasiat diperbolehkan, asalkan dalam
jangka waktu  satu tahun sejak perolehannya, penerima warisan tersebut  berusaha agar tanah
pertanian yang dikuasainya tersebut tidak melebihi batas  maksimum. Selain itu ada juga
pengecualian dari ketentuan larangan pemilikan tanah yang melampaui batas maksimum yang
dikuasai hak guna usaha atau hak – hak lainnya yang bersifat sementara.

2.      Larangan Pemilikan Tanah Pertania Secara Absentee


              Secara Implisit, Ketentuan Pasal 10 UUPA menetapkan laarangan pemilikan tanah
secara absentee, kemudian pelaksanaannya diatur dalam pasal 3 PP No. 224 tahun 1961 dan
pasal 1 PP No.41 tahun 1964 ( pasal tambahan 3a s/d 3e )  . Agar tanah pertanian dapat
dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, maka diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan
penguasaan tanah pertanian secara absentee atau dalam bahasa sunda disebut guntai. Pemilikan
tanah pertanian secar absentee / guntai adalah pemilikan tanah pertanian yang terletak diluar
kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
              Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian melalui jual beli, tukar
menukar, atau hibah yang mengakibatkan pemilikan baru tanah pertanian secara absentee /
guntai dilarang. Tanah – tanah pertanian yang terkena larangan pemilikan tanah pertanian
secara  absentee / guntai akan di kuasai oleh pemerintah untuk selanjutnya dijadikan objek
landreform (diredistribusikan) kepada petani yang memerlukan tanah dan kepada bekas pemilik
tanah pertanian secara absentee / guntai akan diberikan ganti kerugian oleh pemerintah. Namun
demikian ada hal – hal yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah prertanian
secara absentee  / guntai yakni:
1)      Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
kecamatan tempat letak tanah serta menurut pertimbangan panitia landreform kabupaten / kota
masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah secara efisien.
2)      Pegawai negeri sipil dan tentara nasional indonesia, yang dipersamakan dengan itu, antara lain
pensiunan janda Pegawai negeri sipil, janda pensiunan mereka ini tidak kawin lagi dengan bukan
pegawai negeri sipil atau pensiunan, istri dan anak – anak pegawai negeri sipil dan tentara
nasioal indonesia yang masih menjadi tanggungan.
3)      Mereka yang sedang menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama.
4)      Mereka yang memiliki alasan khusus lainnya yang dapat di terima oleh kepala badan pertanahan
nasional republik Indonesia.

3.      Redistribusi Tanah yang Selebihnya dari Batas Maksimum Serta Tanah – tanah yang
Terkena Larangan Absentee, Tanah bekas Swapraja dan Tanah Negara lainnya.
              Ketentuan tentang redistribusi tanah pertanian diatur dalam pasal 17 ayat ( 3 ) UUPA,
yaitu “ Tanah – tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2
pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan – ketentuan dalam peraturan pemerintah”.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah peratura pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang
pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Peraturan pemerintah ini dirubah
oleh peraturan pemerintah No. 41 tahun 1964 tentang perubahan dan tambahan peraturan
pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Kedua
peraturan pemerintah ini memuat ketentuan – ketentuan tentang tanah – tanah yang akan di
bagikan istilah yang lazim adalah diredistribusikan, pemberian ganti kerugian kepada bekas
pemilik, pembagian tanah, dan syarat – syaratnya.
       Pasal 1 peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 menetapkan tanah – tanah yang akan
dibagikan ( diredistribusikan ) dalam rangka pelaksanaan landreform adalah:
1)      Tanah – tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai yang dimaksud dalam undang – undang
No.56 Prp tahun 1960 dan tanah – tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar
kententuan – ketentuan undang – undang tersebut.
2)      Tanah – tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah
atau terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.
3)      Tanah – tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara.
4)      Tanah – tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang akan di tegaskan lebih lanjut oleh
menteri agraria ( sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia )
Selain tersebut diatas, tanah – tanah yang akan dibagikan oleh negara kepada rakyat yang
membutuhkan adalah tanah – tanah bekas perkebunan besar dan tanah – tanah partikelir.

4.      Pengaturan Soal Pengembalian dan Penebusan Tanah – tanah Pertanian Yang Digadaikan
              Gadai tanah ( hak gadai ) sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 53 UUPA. Menurut Boedi Harsono Gadai tanah hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya .
selama uang gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu
hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai atau yang lazim disebut penebusan
tergantung pada kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.[10]
              Gadai tanah ( hak gadai ) bagi masyarakat Indonesia khususnya petani bukanlah hal
yang baru. Semula gadai tanah diatur atau tunduk pada hukum adat tentang tanah dan pada
umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara berpikir hukum adat
yang sifatnya sangat sederhana. Dalam praktik adalah gadai tanah pada umumnya dilakukan
tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Gadai tanah hanya dilakukan oleh pemilik tanah
dan pihak yang memberikan uang gadai dan dilakukan tidak tertulis. Hak gadai menurut sistem
hukum adat ini mengandung unsur eksploitasi dan pemerasan. Tanah yang digadaikan dikuasai
oleh pemegang gadai , tanah tidak akan dikembalikan kepada pemilik apabila tidak ditebus.
Dengan menguasai atau menggarap tanah yang digadaikan selama enam sampai tujuh tahun saja,
hasil yang diperoleh pemegang gadai sudah melebihi uang gadai dan bunga gadai.
              Kemudian diaturlah aturan dalam pasal 7 ayat (1) Undang – undang No.56 Prp tahun
1960 yakni  “ Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah
itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan
tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan”. Atas dasar ketentuan ini gadai tanah yang sudah
berlangsung tujuh tahun atau lebih maka tanah yang digadaikan harus dikembalikan kepada
pemiliknya.

5.      Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah pertanian


Perjanjian bagi hasil sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 63 UUPA. Perjanjian bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum
untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah kepunyaan orang lain dengan perjanjian
bahwa hasil akan dibagi antara kedua pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya.
Perjanjian bagi hasil yang pada mulanya bersifat tolong menolong, namun pada
perkembangannya mengandung sifat pemerasan. Berhubung dengan kenyataan bahwa pada
umumnya tanah yang tersedia tidak banyak sedang calon penggarap sangat besar maka seringkali
terpaksalah menerima syarat – syarat yang sangat merugikan, misalnya besarnya imbangan yang
diterima tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan untuk mengusahakan tanahnya.
            Mengingat kelemahan perjanjian bagi hasil yang diatur menurut hukum adat, digolongan
penggarap tanah yang biasanya berasal dari golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan.
Untuk mengurangi sifat pemerasan, memberikan perlindungan hukum bagi penggarap, dan
dalam rangka pelaksanaan landreform, perjanjian bagi hasil diatur kembali yaitu dengan
menerapkan ketentuan bagi hasil sabagaimana diatur dalam undang – undang No.2 tahun 1960
tentang perjanjian bagi hasil. Didalam penjelasan umum UU No.2 tahun 1960 dijelaskan bahwa
tujuan perjanjian bagi hasil tersbut yakni:
1)      Agar pembagian hasil tanah antara pemilik tanah dengan penggarapnya dilakukan atas dasar
yang adil.
2)      Dengan menegaskan hak – hak dan kewajiban – kewajiban dari pemilik tanah dan penggarap
agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap.
3)      Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada huruf (a) dan huruf (b) diatas, maka akan
bertambahlah kegembiraan bekerja kepada para petani penggarap hal mana akan berpengaruh
baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya.

6.      Penetapan Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian, Disertai Larangan Untuk


Melakukan Perbuatan – Perbuatan yang Mengakibatkan Pemecahan Pemilikan Tanah –
tanah Pertanian Manjadi Bagian – bagian yang Terlampau Kecil.
Ketentuan mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian diatur dalam pasal 17
ayat (1) UUPA yaitu “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam pasal 2 dan 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum”.
Selanjutnya dalam pasal 17 ayat (4) UUPA dinyatakan bahwa “ Tercapainya batas minimum
termasuk dalam ayat 1 pasal ini yang akan ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan
dilaksanakan secara berangsur – angsur”. Peraturan perundang – undangan yang melaksanakan
ketentuan pasal 17 UUPA adalah Undang – undang No.56 Prp tahun 1960 tentang penetapan
luas tanah pertanian.
Maksud ditetapkannya batas minimum pemilikan tanah pertanian adalah agar petani yang
bersangkutan mendapatkan penghasilan yang cukup atau layak untuk menghidupi diri sendiri
dan keluarganya. Batas minimum pemilikan tanah pertanian oleh petani sekeluarga menurut
pasal 8 UU No.56 Tahun 1960 adalah seluas dua hektar tanpa mempersoalkan apakah tanah
tersebut berupa tanah sawah atau tanah kering. Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No.56 Prp
tahun 1960 pemerintah mengadakan usaha – usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki
tanah pertanian minimum dua hektar. Ditetapkannya luas minimum pemilikan tanah pertanian ini
tidak berarti bahwa orang – orang yang mempunyai tanah prtanian yang kurang dari dua hektar
diwajibkan untuk melepaskan tanahnya, tanah pertanian itu merupakan target yang harus
diusahakan pemerintah bagi petani sekeluarga.

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
1.      Landreform merupakan perubahan secara mendasar mengenai penguasaan dan pemilikan tanah
dari sistem yang lama sebelum berlakunya UUPA ke sistem yang baru menurut UUPA yang
bertujuan untuk mewujudkan pemerataan tanah yang berdasar keadilan serta untuk kemakmuran
rakyat.
2.      Asas – asas landreform seperti: asas penghapusan tuan tanah besar, asas pembatasan luas
maksimum/minimum tanah, asas larangan pemerasan orang oleh orang lain, serta asas kewajiban
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif atas tanah pertanian, tidak lain bertujuan
untuk menciptakan hukum agraria nasional yang berdasar untuk kemakmuran rakyat itu sendiri
agar tidak tertindas oleh orang – orang yang hendak mengambil keuntungan dengan menindas
orang lain.
3.      Tujuan awal dari landreform tidak terlepas dari sejarah perjuangan bangsa indonesia untuk
melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh dan sisa – sisa penjajahan khususnya perjuangan
rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan – kekangan sistem feodal atas tanah dan
pemerasan kaum modal asing.
4.      Program – program landreform merupakan perwujudan dari tujuan lahirnya UUPA yang ingin
menciptakan hukum agraria nasional yang berdasarkan pancasila dan untuk menciptakan tertib
hukum agraria yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat.

B.     Daftar Pustaka

Harsono, Boedi, 2008 “ Hukum Agraria Indonesia”I, Jakarta: Djambatan.


Abdurrahman, 1997, “ Ketentuan – ketuan Pokok tentang Masalah – masalah Agraria,
Kehutanan, pertambangan, Transmigrasi dan pengairan”, Bandung: Alumni.

Santoso, Urip, 2012 “ Hukum Agraria Kajian Komprehensif”, Jakarta: Kencana.

Soeprapto, R, 1986 “ Undang –undang Pokok Agraria Dalam Praktik ”, Jakarta : Universitas
Indonesia Press.

[1] Boedi Harsono, “ Hukum Agraria Indonesia”I, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm.364


[2] Abdurrahman, “ Ketentuan – ketuan Pokok tentang Masalah – masalah Agraria, Kehutanan,
pertambangan, Transmigrasi dan pengairan”, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 43
[3] Ibid, hlm. 3
[4] Boedi Harsono, Loc, Cit.
[5] Urip Santoso, “ Hukum Agraria Kajian Komprehensif”, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 207
[6] R. Soeprapto, “ Undang –undang Pokok Agraria Dalam Praktik ”, Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 1986, hlm. 122
[7] Boedi Harsono, OP, Cit, hlm. 365
[8] R soeprapto, Op, Cit, hlm 109
[9] Boedi Harsono, OP, Cit, hlm.368
[10] Ibid, hlm.356

Anda mungkin juga menyukai