Anda di halaman 1dari 11

PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa bagi Bangsa Indonesia yang mampu memberikan kesejahteraan
dan kemakmuran bagi rakyat. Tanah menjadi begitu berarti terlebih lagi bagi manusia
karena tanah mempunyai banyak manfaat diantaranya adalah tempat kita memperoleh
sumber makanan dan terkandung di dalamnya sumber daya alam yang tidak terbatas
peruntukannya bagi manusia.
Penggunaan tanah bagi manusia dimulai sejak manusia dilahirkan hingga
peristirahatan terakhir manusia masih memerlukan tanah, oleh karenanya tidaklah
berlebih jika tanah kita sebut sebagai sumber kehidupan. Tanah sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa, menjadi hak asasi bagi setiap manusia sehingga menjadi hak kodrati
baginya.1 Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu
sumber daya utama, selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat
Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan rakyat yang
makin beragam dan meningkat, baik dalam tingkat nasional maupun dalam
hubungannya dengan dunia Internasional.
Tanah merupakan elemen yang penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena
itu kepastian kepemilikan tanah sangat diperlukan untuk kepastian hukum. Sehingga
kepemilikan tanah perlu di daftarkan. Untuk tercapainya kepastian pendaftaran tanah
tersebut maka Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya akan disebut sebagai PP 10/1961) yang telah
berlaku sejak tahun 1961 dipandang memiliki substansi yang sudah tidak dapat lagi
memenuhi tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas pendaftaran tanah
tersebut.
Oleh karenanya pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan
mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
1
Boedi Harsono, Menuju Kesempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2003,
hlm. 3

1
Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP 24/1997) untuk menggantikan PP 10/1961
tersebut. PP ini berlaku tiga bulan sejak tanggal diundangkannya (Pasal 66) yang
berarti secara resmi mulai berlaku diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober
1997 dengan Peraturan Pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut sebagai PerMen 3/1997).
Sementara semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari PP 10/1961
yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau
diganti berdasarkan PP 24/1997 ini (Pasal 64 ayat (1) ).
PP 24/1997 yang menggantikan PP 10/1961 ini merupakan peraturan pelaksana
dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA)
yang mengatur:"Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, adapun  rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1. Apa dasar hukum pendaftaran tanah di Indonesia?
2. Bagaimana tatacara pendaftaran tanah di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah di Indonesia


Sesuai pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Pendaftaran Tanah adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk
peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

2
Data fisik yang dimaksud adalah, mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan di atasnya. Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun.
Menurut Pasal 19 (1)  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria  (UUPA) menyebutkan bahwa ;
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik  Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a) pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Disamping kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat


juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal
38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
1. Pasal 23 UUPA  Ayat 1 : Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2
merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya
peralihan dan pembebanan hak tersebut.
2. Pasal 32 UUPA, Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan

3
serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir.
3. Pasal 38 UUPA  Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.    Ayat 2 : Pendaftaran
termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhirnya.

Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka


diterbitkanlah  beberapa peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan akan kepastian hukum Hak Atas Tanah, sehingga
diperbaharui dengan ;  Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan NAsional No. 3  Tahun 1997.
Walaupun  Peraturan Pemerintah  No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi,
namun peraturan pelaksanaan yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku
sepanjangtidak bertentangan, diubah atau diganti dalam PP 24 Tahun 1997.
Tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ada 3
(tiga) :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
suatu bidang tanah, rumah susun atau hak lain yg terdaftar. Agar mudah membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat dari


pendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu :
1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.

4
2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk
memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.
3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.

Asas pendaftaran tanah dapat dilihat dalam pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997
meliputi ;
1. Sederhana, yaitu asas dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok dan tatacaranya
mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.
2. Aman, yaitu suatu asas yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran
tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Terjangkau, asas yg dimaksudkan bahwa keterjangkauan bagi pihak-pihak yg
memerlukan, dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.
4. Mutakhir, adanya kelengkapan data yg memadai dalam pelaksanaannya dan
keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, sehingga data pendaftaran tanah harus
dipelihara. Data disimpan dalam bentuk buku tanah di kantor pertanahan dan harus
selalu diperbaharui jika ada perubahan.
5. Terbuka, masyarakat  dapat memperoleh keterangan tentang data yang benar setiap
saat.

Objek pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi :
1. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai;
2. tanah hak pengelolaan;
3. tanah wakaf;
4. hak milik atas satuan rumah susun;
5. hak tanggungan;
6. tanah Negara.

B. Tata Cara Pendaftaran Tanah di Indonesia


Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah yaitu ;
1. Sistem pendaftaran akta atau registration of deeds.
2. Sistem pendaftaran hak atau registration of titles, titles dalam arti hak yang lebih
dikenal dengan sistem Torrens.

5
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran
tanah berupa sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan
dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tanah meliputi:
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b. Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak atau
registration of title  , hal ini tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang
memuat data yuridis dan data fisik yang terhimpun dan disajikan serta diterbitkannya
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang di daftar.
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah
susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data juridis dan
data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula
pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat
ukur secara hukum telah didaftar menurut PP 24 Tahun 1997.  Sertifikat diterbitkan
sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar
dalam buku tanah untuk kepentingan pemegang hak.
Menurut Boedi Harsono, menyatakan bahwa sistem publikasi dalam pendaftaran
tanah digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu ;
1.  Sistem Positif. 
Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku
sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan
bentuk satu-satunya tanda bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem
publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka meski ada register
atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikasi
sebagai surat tanda bukti hak. Pencatatan dan pendaftaran nama seseorang dalam
register sebagai pemegang haklah yang menjadi pemegang hak atas tanah  yang
bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan (title by
registration, the register is everything). Apa yang tercantum dalam buku pendaftaran
6
tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang
mutlak. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Perolehan tanah dengan
etikad baik melalui cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan
kepada pihak yang memperolehnya suatu hak yang “indefeasible” yang tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun, juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.

2.  Sistem Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan
hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli.
Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak
berhak, menjadi pemegang haknya yang baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan
ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat tanah adalah dianggap benar sampai
dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka
pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang
berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai
kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar,
sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.

Sistem publikasi menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah sistem publikasi


negatif  bertendensi positif. Artinya sistem  negatif  yang  mengandung unsur positif
karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seprti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23
ayat 2, pasal 32 ayat2 dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Sistem Publikasi yang dianut adalah
bukan sistem negatif murni, karena pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan
data bersikap passif dan pada umumnya menggunakan sistem pendaftaran akta yang
memuat data itulah yang didaftar. Dalam akta tersebut oleh pejabat pendaftaran
dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan pendaftarannya. Akta itulah yang merupakan
tanda bukti hak.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA,
menghasilkan alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat
pendaftaran tanah dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin
berusaha memperoleh data yang benar.  Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik,
kegiatan pengumpulan data fisik meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan
tanah yang bersangkutan (diatur dalam pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan

7
data yuridis diatur dalam pasal 23,24 dan 25 PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan
hak lama. 
Pendaftaran tanah secara sistimatik menurut Boedi Harsono adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua
objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan, untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan
kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi :
1. Pembuatan peta dasar pendaftaran
2. Penetapan batas bidang-bidang tanah
3. Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan peta pembuatan
4. Pembuatan daftar tanah
5. Pembuatan surat ukur.
Pendaftaran tanah secara sistimatik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah
berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan
dalam wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal
suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara
sistimatik, pendaftarannya dilakukan dengan cara “sporadik”.
Menurut pasal 1 poin 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah surat tanda bukti
hak yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar untuk hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-
masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian
sertifikat meliputi 2 hal yaitu :
1. Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan
sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima
sebagai data yang benar sepanjang sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang
tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
2. Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang
atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut,
yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di Pengadilan,
sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan
itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau oleh orang badan hukum lain yang
mendapat persetujuannya(pasal 32(2) PP No. 24 Tahun 1997).

8
Kepala Desa mempunyai tugas-tugas strategis dalam membantu pelaksanaan
penylenggaraan pendaftaran Tanah yaitu ;
1. Sebagai anggota panitia ajudikasi yaitu pembantu pelaksana pendaftaran tanah.
2. Berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai bukti hak.
3. Untuk daerah kecamatan di luar kota tempat kedudukankantor pertanahan, surat
keterangan Kepala Kantor Pertanahan dapat diganti oleh surat pernyataan Kepala
Desa.
4. Didalam pendaftaran tanah, karena pewarisan, Kepala Desa berhak membuat surat
keterangan yang membenarkan surat bukti hak sebagai ahli waris.
5. Untuk desa terpencil, Menteri Negara Pertanahan (BPN) dapat menunjuk Kepala
Desa sebagai PPAT Sementara.

PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
tanah tertentu sebagai diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah
susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja, sejak ditandatanganinya aktai atau sejak dilakukannya perbuatan
hukum terhadap tanah, PPAT wajib menyampaikan akta dan dokumen-dokumen yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu  untuk memberikan kepastian
hukum hak milik atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, namun seutuhnya belum terlaksana dengan baik sebagai bukti
bahwa peringkat pertama di setiap pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh
konflik-konflik sengketa pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24
Tahun 1997 bahwa pihak yang merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas
tanah yang didaftarkan oleh seseorang, dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertifikat tanah, dapat melakukan gugatan dalam rangka
mempertahankan haknya, kecuali dapat dibuktikan tidak adanya itikad baik dalam
perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan pasal ini secara jelas dan tegas pembentuk
UU bersifat mendua. Disatu sisi mempunyai keinginan untuk memberikan kepastian
hukum bagi pemilik tanah yang sudah bersertipikat, tetapi di sisi lain juga tidak
mempunyai keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data yuridis yang digunakan
untuk melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertipikat. Oleh karena itu sampai
saat ini janji untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah belum dirasakan
oleh masyarakat.  Sertipikat berlaku hanya sebagai alat pembuktian yang kuat,
artinya selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar baik dalam
perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.

B. Saran
1. Pelaksanaan pendaftaran tanah hendaknya memanfaatkan teknologi tinggi,
komputerisasidi bidang pengukuran dan pemetaan yang akurat dan cepat, dan
ditunjung oleh sumber daya manusia yang berkwalitas dan handal dibidangnya.
2. Melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan koridor hukum dan prosedur yang
telah ditetapkan disetiap unit kerja dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja dan tanggung jawab aparat pelaksana
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, serta selalu memberikan binaan moral
dan etika secara kontinyu, sehingga kolusi yang terjadi dapat diminimalisir.
10
DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.   Jakarta : Djambatan
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah.   Jakarta : Djambatan

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

11

Anda mungkin juga menyukai