Anda di halaman 1dari 17

Kepastian dan Perlindungan Hukum Melalui Pendaftaran Tanah

Disusun untuk memenuhi ujian akhir semester mata kuliah Hukum Pertanahan Kelas B

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si.

Disusun Oleh:

Yosephine Ceria Warnanda

18/429850/HK/21813

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar dan tanah merupakan sumber
kehidupan masyarakat Indonesia. Atas dasar hal tersebut maka seluruhnya yang berkaitan di
bidang pertanahan perlu untuk diberikan penjaminan, perlindungan dan kepastian hukum
pengaturan ini telah tercantum pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 D Ayat (1)
disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Ketentuan mengenai kewenangan dalam rangka upaya untuk memberikan kepastian
hukum oleh pemerintah kepada masyarakat di bidang pertanahan diatur melalui Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut juga
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan selanjutnya dapat dilihat peraturan lainnya
termasuk Peraturan peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, dan
peraturan yang diterbitkan oleh pimpinan Instansi teknis di bidang pertanahan.
Kewenangan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal
2 ayat (2) yakni yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai tanah.
Terhadap penyelenggaraan tanah yang dilakukan oleh pemerintah tersebut
dimaksudkan dengan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya maka
Undang-Undang menginstruksikan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah
di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan kepastian hak
kepemilikan atas tanah sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 19 UUPA.
Peraturan dasar penyelenggaraan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Namun substansi dari peraturan
ini dirasa tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam hal pendaftaran tanah maka pemerintah kembali menyempurnakan peraturan ini pada
tanggal tanggal 8 Juli 1997 disempurnakan dan dikeluarkan penyempurnaannya dalam
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Tujuan dan hakekat penyelenggaraan tanah tetap
dipertahankan dengan merujuk UUPA yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan dan penggunaan tanah. Pada
UUPA Bab IV Alinea ke-dua menyebutkan pendaftaran tanah bersifat rechkadaster yang
dapat dijabarkan recht artinya hukum dan kadaster artinya pendaftaran tanah jika artikan
lebih lanjut memiliki arti pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum.

Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh pemerintah yang ada di
Indonesia?
2. Apa tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam kaitannya memberikan kepastian
hukum?
3. Apa saja yang menjadi objek dalam pendaftaran tanah?
4. Bagaimana pelaksanaan dan sistem pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh
pemerintah di Indonesia?

Tujuan
1. Mengetahui dasar hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh pemerintah yang ada di
Indonesia.
2. Mengetahui tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam kaitannya memberikan
kepastian hukum.
3. Mengetahui objek yang ada dalam pendaftaran tanah.
4. Mengetahui pelaksanaan dan sistem pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh
pemerintah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Tinjauan Pustaka
Pengertian pendaftaran tanah tidak terlepas dari pengertian kadaster. Definisi kadaster
menurut Sountendijk/Mulder adalah suatu badan yang dengan peta-peta dan daftar-daftar
yang dibuat berdasarkan pengukuran dan taksiran, memberikan kepada kita suatu gambaran
dan uraian tentang wilayah siatu negara dengan bagian-bagiannya dan bidang bidang tanah.
Kedua, menurut Schermerhorn/Van Steenish adalah kadaster itu sebagai suatu badan
pemerintah yang meregistrasi dan mengadministrasi keadaan hukum dari semua benda tetap
dalam daerah tertentu termasuk semua perubahan yang terjadi dalam keadaan hukum itu.
Selanjutnya pengertian pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran tanah yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pengertian pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah merupakan pengertian yang telah disempurnakan dari Pasal 19 UUPA,
penyempurnaan dapat dilihat dari konsep pendaftaran tanah yang ada di dalam Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang memberikan penjelasan maksud batasan yaitu bidang
tanah yang mana seluruhnya bidang tanah harus dipastikan letaknya, batasnya jenisnya dan
lain-lainnya dan bidang tanah bagian permukaan bumi yg merupakan satuan bidang yg
berbatas. Melihat dari dua pengertian tersebut bahwa pendaftaran tanah merupakan suatu
rangkaian kegiatan yang terdiri dari:
1. Pengumpulan data fisik dan data yuridis
2. Pengadministrasian mengenai bidang-bidang tanah
3. Pemberian surat tanda bukti hak 1
Dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah sebagai kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah terhadap para pihak yang berkepentingan yaitu:
1. Kepentingan Pemegang Hak Atas Tanah

1
Hadi Purnomodan Waskito, Penyelenggaraan Tanah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), hlm. 4.
Memudahkan bagi mereka pemegang hak tas tanah untuk membuktikan bahwa ialah yang
berhak atas tanah yang bersangkutan caranya dengan pendaftaran tanah yang kemudian
diterbitkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat tanah.
2. Kepentingan Pihak Lain
Pihak lain yang dimaksud dalam transaksi jual beli dan pemindahan hak lainnya yaitu calon
pembeli atau calon kreditur dalam rangka memberikan kepercayaan terhadap keduanya atas
kebeneran kepemilikan hak atas tanah caranya melalui administrasi di kantor pertanahan
yang terbuka untuk umum dan pihak yang berkepentingan dapat meminta Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT).
Telah disebutkan sejak awal kegiatan pendaftaran tanah mempunyai tujuan untuk
menjamin kepatian hukum dan kepastian hak atas tanah, kepastian hukum yang dimaksud
dalam kegiatan pendaftaran tanah antara lain:
1. Kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak (subjek hak);
2. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas, serta luas bidang tanah hak (subjek hak); dan
3. Kepastian hukum mengenai haknya. 2

Pembahasan Pendaftaran Tanah di Indonesia


1. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Pasal 19 UUPA mengatur bahwa:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

2
Arie Sukanti Hutagalung, Pentingnya pendaftaran tanah di indonesia (Jakarta: Raih Asa Sukses,2012), hlm.
10.
Pasal 19 tersebut ditujukan bagi pemerintah sedangkan bagi pemegang hak atas tanah
diwajibkan melakukan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 23,32, 38 UUPA yang dijelaskan
sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak
lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32
(1) Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir.
Pasal 38
(1) Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu
hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 19 UUPA mengandung amanah yaitu amanah Undang-Undang yang ditujukan
kepada pemerintah sebagai sebuah instruksi agar di seluruh Indonesia diadakan pendaftaran
bersifat rechkadaster yg bertujuan menjamin kepastian hukum. Dengan demikian pendaftaran
tanah memiliki dua makna yaitu amanah yg dibebankan pada pemerintah dan juga manah yg
dibebankan pada masing-masing tiap orang untuk melakukan pendaftaran tanah. Walaupun
amanah sudah ada tahun 1960 sejak diundangkannya UUPA dan lebih tepatnya tercantum
dalam pasal 19 UUPA tetapi untuk menindaklanjuti implementasi dari Pasal 19 UUPA maka
dikeluarkan Peraturan Pemerintah yg mengatur tentang pendaftaran tanah pelaksanaan 19
UUPA yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang dikeluarkan tanggal 23 maret
1961.
Melalui beberpa kajian teoritis dan empiris, ternyata Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1961 ini harus disempurnakan lagi karena terdapat banyak kekurangan yang
mengganggu kelancaran proses pendaftaran tanah. Kemudian Peraturan Pemerintah No.10
Tahun 1961 disempurnakan sehingga keluar Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 masih
dengan judul yang sama yaitu tentang pendaftaran tanah. Pada bagian menimbang huruf C
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 secara eksplisit dinyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1961 dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung
tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional sehingga perlu
disempurnakan.
Berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 mengatur pelaksanann pendaftaran tanah yang berdasarkan pada asas:
a. Asas sederhana
Asas ini dimaksudkan agar ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah
dipahami oleh pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
b. Asas aman
Menunjukan bahwa tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan ceramat sehingga hasilnya
dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
c. Asas terjangkau
Keterjangkauan yang dimaksud bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan
memerhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang
diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak
yang memerlukan.
d. Asas mutakhir
Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang mamadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan
yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan
yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara
terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan
selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
e. Asas terbuka
Masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data
yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 3

2. Tujuan Pendaftaran Tanah

3
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011),
hlm. 17-18.
Tujuan pendaftaran tanah telah ditetapkan secara jelas dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pasal 4 ayat 1 PP 24/1997 kembali menegaskan tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah
memberikan kepastian dan perlindungan hukum dan ini telah sesuai dan sama dengan Pasal
19 UUPA. Kemudian kepastian Hukum di bidang pertanahan yang dimaksud dalam Pasal 19
UUPA yang berkaitan dengan kepastian hukum ini mencakup 4 hal:
1. Kepastian mengenai obyek haknya
obyek haknya adalah tanah atau hak atas tanah yg ada di Indonesia ini dilihat dari jenisnya
ada tanah pertanian & tanah bangunan, dilihat dari statusnya ada tanah negara yg bebas dan
tidak bebas, kemudian ada tanah hak ada tanah hak yg bersifat tetap dan sementara. Jenis
tanah apapun dan apapun statusnya harus pasti mengenai letaknya, batasnya, luasnya,
dibebani hak-hak lain atau tidak itulah yg disebut kepastian obyek haknya.
2. Kepastian hukum mengenai subyek haknya
Kita mengetahui bahwa tanah negara subyeknya pasti negara tetapi tanah hak kita tahu
subyeknya bisa orang perorangan maupun badan hukum. Subyek nya dapat dikatakan sebagai
pemegang hak atas tanah.
3. Kepastian tentang prosedur mekanisme atau proses untuk mendapatkan kepastian hukum
semisalnya sebidang tanah diperoleh melalui jual beli tanah, ada prosesnya ada syaratnya yg
harus dipenuhi dan diikuti dengan langkah-langkah secara berurutan dan itu harus sudah
pasti. Contoh kepastian hukum dalam proses dalam jual beli tanah, pembebasan tanah atau
pengadaan tanah bisa juga proses itu ada yg disebut proses konversi jadi macam-macam
semuanya itu harus jelas prosesnya dan harus dilalui setahap demi setahap secara berurutan.
4. Kepastian tentang produknya
Setiap kegiatan yg dilakukan oleh subyek manapun tentu pada muaranya ada produknya
misalnya jual beli tanah dianggap sah kalau sudah dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) jadi PPAT membuat akta jual beli tanah dan akta inilah yg
disebut produk mulai dari isinya bentuknya akta harus pasti. Produknya nanti adalah sertifikat
hak atas tanah jadi produk pendaftaran tanah berupa sertifikat tanah.

3. Objek Pendaftaran Tanah


Pendaftaran tanah dilakukan di seluruh wilayah Indonesia termasuk tanah negara
yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 PP 24/1997). Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 menyatakan obyek pendaftaran tanah meliputi:
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah Negara;
d. Tata cara pelaksanaan dan sistem nya
Selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan lebih lanjut terkait tanah negara sebagai obyek
pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan
dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.
Hal ini memberikan suatu titik terang bahwa objek tanah yang didaftarkan meliputi semua
tanah yang ada di wilayah negara Republik Indonesia baik tanah negara maupun tanah hak
dan jenis tanahnya dapat berupa tanah pertanian maupun tanah bangunan.
Namun Pasal 9 PP 24/1997 tidak memasukkan tanah adat sebagai obyek pendaftaran
tanah tetapi di sisi lain terdapat beberapa wilayah yang membuat peraturan khusus
pendaftaran tanah atas tanah adat salah satunya di Provinsi Sumatera Barat, pemerintah
daerah setempat atas inisiatifnya sendiri mengelurkan peraturan daerah soal kebijakan
tersebut.
Terdapat sumber yang mengatakan alasan tanah adat tidak dijadikan sebagai obyek
pendaftaran dan tidak didaftarkan karena ketika PP 24/1997 ini dirancang ada tekanan dari
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang advokasi agraria salah
satunya Konsorsi Pembaruan Agraria (KPA), mereka mengatakan menghentikan usaha untuk
mendaftarkan tanah-tanah hak ulayat dan tidak boleh dilakukan pendaftaran menurut PP
24/1997. Penolakan ini terjadi dengan alasan menurut mereka ditakutkan adanya bahaya dari
komodifikasi tanah.
Dikarenakan tekanan dari beberapa pihak tersebut maka PP 24/ 1997 tidak berbicara
pengaturan mengenai hak ulayat, tetapi kemudian dalam peraturan Menteri Agraria No. 5
Tahun 1999 itu diatur rezim “pendaftaran untuk tanah hak ulayat” bukan pendaftaran
menurut PP 24/1997, karena menurut Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 ketika hak ulayat itu
didaftar tetapi tidak dengan memberikan kepada mereka sertifikat hak atas tanah cukup
dilakukan verifikasi, pengukuran, dan pemetaan lalu penentuan batas-batas dan setelah itu
didaftar dalam register khusus di kantor pertanahan dan tidak diikuti dengan pensertifikatan,
oleh karenanya dengan kebijakan ini maka tanah ulayat dapat terhindar dari adanya bahaya
komodifikasi tanah ulayat.
Berbeda lagi berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.10 Tahun
2016 tentang Hak Komunal mengenai pendaftaran tanah sistematik lengkap, tanah hak ulayat
termasuk obyek pendaftaran tanah dan nanti akan disertifikatkan juga. Seperti kita ketahui
sebelum adanya UUPA terdapat hukum agraria belanda (barat) dan hukum agrarian adat,
dalam perkembangannya kaitannya dengan pendaftaran tanah maka untuk tanah yang
tergolong tanah hak lama yang tunduk pada hukum adat dan tunduk pada hukum barat dan
kesemuanya itu diberi kesempatan untuk didaftarkan dan dengan itu akan dikeluarkan
sertifikat.

3.1 Pendaftaran Tanah Hak Lama berdasarkan Burgerlijk Wetboek


Untuk hak lama dulunya diatur berdasarkan Bugerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undnag
Hukum Perdata) misalnya tanah hak eigendoom, opstal, erfpacht namun setelah berlakunya
UUPA adanya kewajiban tanah hak barat untuk segera dikonversi dan tunduk pada UUPA.
Kewajiban ini diberi tenggang waktu sampai dengan 20 tahun sejak berlakunya UUPA pada
tanggal 24 september 1960 berlakunya dan maksimal keterlambatannya pada tanggal 24
september 1980. Kalau tidak dikonversi akibat hukumnya yaitu tananya menjadi tanah negara
karena hukum, kalau sudah dikonversi maka dapat langsung diikuti dengan pendaftarannya.

3.2 Pendaftaran Tanah Hak Lama berdasarkan Tanah Adat


Terhadap hak-hak lama yg tunduk pada hukum adat juga disarankan untuk segera dikonversi
sehingga dari tanah yang telah tunduk pada hukum adat jikalau kedepannya menginginkan
ada kepastian hukum dan pengakuan secara nasional oleh negara disarankan untuk dikonversi
diikuti dengan pendaftaran. Konversi tanah adat tidak ada batasan waktunya jadi apabila
tanah adat tidak diikuti dengan pendaftaran juga diperbolehkan tetapi akan lebih baik jika
didaftarkan dengan cara dikonversi terlebih dahulu.

4. Sistem dan Kegiatan Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah


Seperti yang telah diketahui pada Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa yang mengadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah pemerintah dan
penyelenggaraannya mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
Maka dari itu penyelenggaraannya didahulukan pada kota-kota dan nantinya lambat laun
akan meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia, ini
dilakukan karena besarnya anggaran yang dibutuhkan sehingga perlu diproritaskan bagai
daerah-daerah yang lalu lintas perdagangannya tinggi.
Pendaftaran tanah sesungguhnya digantungkan pada anggaran negara, petugas
pendaftaran tanah, perlatan yang tersedia dan kesadaran masyarakat sebagai pemegang hak
atas tanah. Kini UUPA melalui ketentuannya yang ada pada Pasal 19 ayat (4) menetapkan
bagi rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya pendaftaran tanah. Pelaksanan yang
sesungguhnya pemerintah tidak menanggung seluruh biaya karena keterbatasan dana tadi
maka pemerintah memberikan subsidi biaya pendaftaran tanah kepada pemohon pendaftaran.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah,
1. Pendaftaran Tanah untuk pertama kali
diselenggarakan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (PP 10/1961) dan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 (PP 24/1997). Kegiatan yang dilakukan untuk pendaftaran tanah pertama kali
diatur dalam Pasal 12 PP 24/1997 yang meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
Data fisik yang dimaksud disini pengaturannya ada pada Pasal 1 angka 6 PP 24/1997
keterangan mengenai batas dan luas bidang tanah dan satu rumah susun yg didaftar.
Kemudian data fisik yang di dalam Pasal 12 pp 24/1997 ketika ada pendaftaran tanah untuk
yg pertama kali itu dikumpulkan, diolah kemudian diperoleh kebenaran materiilnya.
b. Pembuktian hak dan pembukuannya
Setiap pemegang hak harus menyertakan bukti-bukti awal di luar sertifikat karena belum
memiliki sertifikat. Menunjukan bukti-bukti ini seperti keterangan keterangan Kepala Desa
dan Keterangan telah membayar pajak yang diperlukan untuk diolah dan didapatkan keberan
materiil.
c. Penerbitan sertifikat
Sertifikat diterbitkan setelah data fisik dan data yuridis memperoleh kebenaran materiil
sehingga tidak ada keraguan dan jelas telah ditemukan kepastian untuk menerbitkan
sertifikat.
d. Penyajian data fisik dan data yuridis
Penyajian kedua data tersebut dapat dilakukan oleh Kantor Pertanahan setempat. Data yang
disajikan harus sesuai dengan asas penyelenggaraan pendaftaran tanah yaitu asas terbuka dan
transparan.
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Pasal 13 ayat (1) PP 24/1997 mengatur dua Sistem Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali,
yaitu:
a. Sistematik
Pengaturannya ada pada Pasal 13 ayat (2) PP 24/1997 yang menyatakan pendaftaran
tanah didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang
ditetapkan oleh Menteri. Kekhasannya ada pada rencana kerja yang artinya pendaftaran tanah
ini telah diprogramkan oleh pemerintah. Untuk pendaftaran tanah secara sistematik ini yang
bertanggungjawab adalah pemerintah secara eksplisit ditangani panitia ajudikasi yang
dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan tanah secara sistematik.
Panitia ajudikasi yang dibentuk untuk menjalan kegiatan sistematik supaya
kegiatannya dapat berjalan lancar maka dari itu mereka terjun langsung ke desa-desa
membuka kantor dimana tanah-tanah akan didaftarkan secara sistematik. Panitia ajudikasi
dapat meminta bantuan lurah atau kepala desa agar tanah-tanah yang akan didaftarkan ini
segera dikumpulkan data-datanya terkait dokumen berupa KTP pemilik, Kartu Keluarga,
bukti-bukti pajak dan dokumen lainnya yang berkaitan. Semuanya yang dikumpulkan itu
namanya data fisik yang kemudian diolah oleh panitia ajudikasi, setelah diyakini benar
kemudian dilakukan pengukuran dan setelah semua langkah telah dilakukan dan datanya
diyakini benar baru kemudian diterbitkan yang namanya sertifikat untuk masing-masing
bidang dan masing-masing subyek hak atas tanah.
Ciri lainnya yang membedakan pendaftaran tanah sistematik adalah dilakukan
berdasarkan prakarsa pemerintah maka pembiayaan untuk pendaftaran tanah itu ditanggung
oleh negara dan dilakukan secara masal. Biaya administrasi yang dikenakan dalam
pendaftaran sistematik relatif kecil dengan demikian kalaupun dilakukan pendaftaran tanah
secara sporadik maka harus menunggu pendaftaran tanah secara sistematik karena
pendaftaran sistematik ini ini tidak diketahui pasti kapan akan dilaksanakan. Bagi pemilik
tanah yang ingin segera mendaftarakan ia dapat mendaftarkan bidang tanahnya ke kantor
pertanahan dan biaya yang dikenakan akan jauh lebih mahal.
b. Sporadik
Pengaturannya terdapat pada pasal 13 ayat (4) PP 24/1997 yang menyatakan
Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Disinilah letak perbedaannya dengan sistematik jadi pihak yang berkepentingan harus aktif
dan membiayai sendiri seluruhnya untuk dilakukan pendaftaran.
Baik pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik kegiatan penyelenggaraan
pendaftaran tanahnya sama dan diatur dalam pasal 19 UUPA yang meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

2. Pendaftaran tanah untuk pemeliharaan data (maintenance)


a. pendaftaran pemeliharaan dan pembebanan hak;
b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Pendaftaran perubahan data tanah lainnya diperlukan dalam rangka pemeliharaan data atau
maintenance yanag mana untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, seperti yang terjadi karena beralihnya,
dibebaninya, atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar. Contoh peralihan
misalnya adanya peningkatan hak pakai menjadi hak milik, setiap perubahan seperti inilah
yang harus didaftarkan.

4.1 Sistem Pendaftaran Tanah


Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan terkait apa yang didaftar, bentuk
penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya. Terdapat dua
macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan
sistem pendaftaran hak (registration of titles). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun
dalam sistem pendaftaran hak, tiap pemberian atau penciptaan hak baru serta peralihan dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta
tersebut dengan sendirinya dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan yaitu haknya,
pemegang atau penerima haknya, perbuatan hukumnya dan hak apa yang membebaninya.
Dalam sistem sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh Pejabat
Pendaftaran Tanah. Dalam sistem ini, Pejabat Pendaftaran Tanah bersifat pasif. Ia tidak
melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang di daftar. Dalam Sistem
pendaftaran yang digunakan menurut PP 24/1997 adalah sistem pendaftaran hak (registration
of titles) bukan sistem pendaftaran akta. Hukum negara Indonesia jelas menganut sistem
pendaftaran hak jadi apabila dikaitkan dengan implikasi kekuatan pembuktian sertifikat maka
menurut hukum kita sertifikat itu berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat, karena sistem
pendaftaran yang dianut adalah sistem pendaftaran hak lalu sistem publikasinya adalah sistem
publikasi negatif yang bertendensi posistif artinya pada suatu pihak untuk tetap berpegang
pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan
kepastian hukum kepada pihak yang dengan iktikad baik menguasai sebidang tanah dan
didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya,
yang menurut UUPA berlaku sebagi alat pembuktian yang kuat.
Demi tercapainya kepastian hukum dalam tujuan penyelenggaraan tanah, negara
Indonesia tidak menjadikan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak karena negara kita
belum mampu menjamin kepastian hukum yang pasti artinya sertifikat yang sudah berwujud
tadi kebenarannya dapat menjadi gugur karena kesalahan pelaksana pemerintah, maka
sertifikat menjadi cacat yuridis dan administratif dan sertifikat tanah dimungkinkan batal
menjadi alat bukti yang kuat kalau terdapat alat-alat bukti lainnya yang lebih mendukung.
Tetapi kesalahan yang ringan dalam administratif pada sertifikat tidak menjadi masalah
karena dapat langsung dimintakan pembetulan ke Kantor Pertanahan. Mengetahui kekuatan
pembuktian sertifikat maka pemerintah ketika merumuskan PP 24/1997 menambahkan pasal
32 ayat (2) yang dimaksudkan untuk menambah bobot yang lebih kepada sertifikat supaya
lebih kuat kekuatan pembuktiannya.
Konsep rechtverwerking dalam pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
1997 ini bertujuan memberikan kepastian hukum kepada 2 (dua) pihak, yaitu:
(a) Bagi pemilik sertifikat, kalau sudah lewat 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertifikat oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kodya tidak ada yang mengajukan gugatan, maka ia terbebas
dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemilik tanah tersebut.
(b) Bagi tanah yang sebenarnya, ia wajib menguasai tanah secara nyata dan mendaftarkan
tanahnya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat agar terhindar dari kemungkinan
tanahnya didaftarkan atas nama orang lain.4

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

4
Indri Hadisiswati. "Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah." , dalam Ahkam: Jurnal
Hukum Islam 2.1, 118-146,2014.
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan sedemikian rupa dapat disimpulkan bahwa
pertama, pengaturan penyelenggaraan pendafataran tanah oleh pemerintah didasarkan pada
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah yang kini telah
disempurnakan menjadi Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Kedua, tujuan pendaftaran tanah adalah unutk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dan peruntukannya dalam memberikan
kepastian hukum mencakup 4 hal yaitu kepastian hukum mengenai obyek haknya, kepastian
hukum mengenai subyek haknya, kepastian tentang prosedur mekanisme atau proses untuk
mendapatkan kepastian hukum dan kepastian hukum tentang produknya. Ketiga, obyek
pendaftaran tanah telah disebut secara jelas dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah termasuk di dalam obyek terhadap tanah hak lama
yang tunduk pada hukum Burgerlijk Wetboek atau hukum barat dan tanah yang tunduk pada
hukum adat. Keempat, mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah dibagi menjadi dua yaitu
pelaksanaan tanah untuk yang didaftarkan pertama kali dan pendaftaran tanah untuk
pemeliharaan data serta sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasai
negatif yang bertendensi positif. Sistem ini pada dasarnya kurang memberikan kepastian
hukum apalagi perlindungan hukum baik kepada pemegang sertifikat, maupun pihak ketiga
yang memperoleh hak atas tanah. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum sebaiknya
UUPA menganut sistem publikasi positif.

Saran
Dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat
terlebih untuk pemegang hak atas tanah perlu dilakukan perbaikan baik dari pemerintah
maupun dari masyarakat, hal yang dapat dilakukan menurut saran saya sebagai penulis yaitu:
1. Dikarenakan pendaftaran tanah untuk memberi kepastian hukum dan melihat banyaknya
sengketa atas tanah alangkah baiknya baik seluruh masyarakat untuk sadar akan pentingnya
mendaftarkan tanah sehingga upaya pemerintah dalam rangka pemerataan pendaftaran
seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia tercapai dan merata.
2. Pelaksanaan pendaftaran tanah disesuaikan dengan peraturan hukum dan prosedur
pelaksanaan yang telah ditetapkan serta didukung peralatan serta aparat yang memadai
sehingga menunjang terlaksananya pelaksanaan pendaftaran tanah.
3. Pemerintah melalui perangkat dibawahnya hendaknya untuk meningkatkan pengawasan
terhadap kinerja dan tanggung jawab para aparat pelaksana pendaftaran tanah dan selalu
memberikan binaan sosial terhadap pentingnya pendaftaran tanah untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masing-masing individu sebagai pemegang hak atas
tanah.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Hutagalung, Arie Sukanti, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2012.
Hadisiswati, Indri. "Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah." Ahkam:
Jurnal Hukum Islam 2.1 (2014): 118-146.
Purnomo, Hadi dan Waskito, Penyelenggaraan Tanah di Indonesia,Jakarta: Kencana, 2019.
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.

Anda mungkin juga menyukai