Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar

1945 adalah negara hukum (konstitusional) yang memberikan jaminan dan

memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga

negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik.

Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting

bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang

sedang membangun ke arah perkembangan industri dan lain-lain.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum

tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya tanah

adat yang bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan

mengenai tanah yang didasarkan atas Hukum Barat. Setelah berlakunya

UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum

tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah.

Merupakan asas umum dalam perundang-undangan bahwa jika terjadi

perubahan hukum, peraturan-peraturan hukum yang lama tidak berlaku lagi

dalam hukum yang baru. Akan tetapi, biasanya hukum yang baru itu belum

seluruhnya lengkap pada saat mulai berlaku. Maka untuk mencegah apa yang

dinamakan kekosongan hukum, biasanya hukum yang baru tersebut, selama

belum ada peraturan yang menggantinya, masih terus memberlakukan

1
2

peraturan-peraturan yang lama tanpa ada atau disertai pembatasan-pembatasan

tertentu. Peraturan-peraturan yang lama dalam hukum yang baru tersebut

masih dilakukan dengan mengadakan apa yang disebut peraturan-peraturan

peralihan (peraturan-peraturan transitor).1

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan dasar

hukum tanah nasional yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan

tanah beserta sumber daya alam, orang perorangan ataupun badan hukum apat

menguasai hak atas tanah melalui prosedur permohonan hak kepada

pemerintah atau melalui peralihan hak atas tanah.2

Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena peristiwa hukum dan

perbuatan hukum. Peralihan hak atas tanah karena peristiwa hukum dapat

terjadi karena pewarisan tanpa wasiat, sedangkan perbuatan hukum yang

menyebabkan beralihnya hak atas tanah, antara lain jual-beli, tukar menukar,

hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan lainnya. Menurut hukum

tanah nasional, perbuatan huku yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah

hanya dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).3

Awal mula eksistensi jabatan PPAT diatur dalam ketentuan Pasal 1

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah serta

hak dan Kewajibannya yang menegaskan bahwa setiap perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah harus dilakukan para pihak dihadapan Pejabat
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 137.
2
Samsaimun, Peraturan Jabatan PPAT Pengantar Peraturan Jabatan Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Dalam Peralihan Hak Atas Tanah di Indonesia, Pustaka Reka Cipta,
Bandung, 2018, hlm. 1.
3
Ibid.
3

yang ditunjuk oleh Menteri. Selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 11 Tahun 1961 Tentang Penunjukan Pejabat yang

dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1961 bahwa pejabat

yang dimaksud adalah PPAT.

Dalam perkembangannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaraan Tanah. Di dalam PP ini, kedudukan PPAT sebagai pejabat

umum ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 yang menyebutkan bahwa PPAT

adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta

tanah tertentu. Kemudian pada Pasal 7 PP tersebut menyatakan bahwa

peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Sebagai realisasi pernyataan tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta

Tanah dengan Peraturan pelaksanaan yang diatur pada Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 yang kemudian

diubah sebagai pelaksanaannya oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 23 Tahun 2009.

Diundangkannya UUPA memiliki tujuan sebagaimana yang dimuat

dalam Penjelasan Umum, yaitu untuk meletakan dasar-dasar bagi penyusunan

Hukum Agraria Nasional, yang merupakan alat untuk membawakan

kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama

rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.


4

Tujuan lainnya adalah meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan

kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan serta untuk meletakkan dasar-

dasar sehingga memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi rakyat seluruhnya.

Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi

seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan diundangkannya

UUPA dapat terwujud melalui upaya, yaitu tersedianya perangkat hukum yang

tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan

jiwa dan ketentuan-ketentuannya, penyelenggaraan pendaftaraan tanah yang

memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah

membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya, dan bagi pihak yang

berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh

keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek perbuatan

hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan

kebijaksanaan pertanahan.4

Pendaftaraan tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian

hukum dikenal dengan sebutan Rechts Cadaster/Legal Cadaster. Jaminan

kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini,

meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan

kepastian objek hak. Pendaftaraan tanah ini menghasilkan sertipikat sebagai

tanda bukti haknya.5

4
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2015, hlm.
2.
5
Ibid.
5

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

menyebutkan bahwa salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah untuk

memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah satuan rumah susun, dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan

sertipikat hak atas tanah.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 20 dijelaskan mengenai pengertian

sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19

Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,

hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing

sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Meskipun telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, sertipikat belum

menjamin kepastian hukum pemiliknya karena dalam peraturannya sendiri

memberi peluang di mana sepanjang ada pihak lain yang merasa memiliki

tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat secara

keperdataan ke Peradilan Umum, atau menggugat Kepala BPN/Kepala Kantor

Pertanahan yang bersangkutan ke Pengadilan Tata Usahan Negara, atau

gugtan yang menyangkut teknis administrasi penerbitnya.6

Gugatan kepada pengadilan tersebut dikarenakan sertipikat mempunyai

2 (dua) sisi, yakni di satu sisi secara keperdataan sertipikat merupakan alat

6
Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktik, Mandar
Maju, Bandung, 1997, hlm.46.
6

bukti pemilikan, di sisi lain sertipikat merupakan bentuk keputusan yang

bersifat penetapan (beschiking)7 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor

Pertanahan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, yang bersifat beschiking

merupakan bentuk pengakuan milik atas tanah bagi pemiliknya. Sertipikat

yang diterbikan juga bersifat deklaratoir, yakni keputusan untuk mengakui

suatu yang telah ada dan diberikan karena telah memenuhi syarat yang

ditentukan. Pemberian keputusan deklaratoir dilakukan untuk mewujudkan

suatu ketentuan dalam undang-undang yang masih bersifat abstrak ke dalam

bentuk peristiwa konkret, misalnya penerbitan sertipikat.8

Adanya gugatan oleh pihak lain yang merasa memiliki tanah ke

pengadilan dikarenakan pendaftaran tanah dalam UUPA menggunakan sistem

negatif dan negara tidak memberikan jaminan. Adapun dalam sistem

pendaftaran positif kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara. Di

dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang

disajikan. Pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem publikasi negatif

dilatarbelakangi oleh hukum tanah di Indonesia yang memakai dasar hukum

adat, di mana jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak

dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya

dengan itikad baik, maka hilanglah hak untuk menuntut kembali tanah

tersebut.9
7
Menurut Utrech, Beschiking adalah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu
yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan suatu kekuasaan istimewa. Adapun
W.F Prins merumuskan sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan
pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada
pada alat atau organ itu. Lihak atas tanah S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan
Upaya Administrasi Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm 100.
8
Adrian Sutedi, Sertipikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 2.
9
Ibid, hlm. 4.
7

Asas publikasi negatif tersebut telah dijadikan Yurisprudensi, yakni

putusan Mahkamah Agung No. 459/K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975,

byang menyebutkan bahwa:

“Mengingat stelsel negatif tentang/register/pendaftaran tanah yang


berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seorang di dalam register
bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidak
absahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain”10

Ini berarti, apabila sertipikat tanah diperoleh secara tidak sah atau

melanggar hukum, maka tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kelemahan sistem publikasi negatif ternyata diakui oleh Penjelasan

Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997. Kelemahan ini tentunya mengakibatkan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi yang bertanggung jawab

menerbitkan sertipikat tidak berupaya semaksimal mungkin untuk

memperoleh dan menyajikan data yang benar, sehingga kepastian hukum di

dalam pendaftaran tanah belum menjamin pihak yang namanya tercantum

dalam sertipikat sebagai pemegang hak dan sertipikat selalu menghadapi

kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa memiliki tanah, ataupun

gugatan dari pihak yang merasa memiliki hak atas tanah yang timbul akibat

jual-beli dan ingin melakukan peralihan hak serta melalukan proses balik

nama akan tetapi terjadi kelalaian yang dilakukan oleh BPN.

Dalam beberapa kasus tanah, penulis mengangkat sebuah kasus hukum

tanah yang telah diputuskan pada pengadilan tingkat pertama oleh Pengadilan

Negeri Bekasi dalam Putusan Nomor 400/Pdt.G/2017/PN. Bks, dalam kasus

hukum tanah tersebut penggugat mengajukan gugatan dikarenakan penggugat


10
Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993,
hlm. 26.
8

dalam Akta Pengikatan Jual Beli, Pengugat membeli tanah dan bangunan dari

Tergugat I, Penggugat membeli sebidang tanah dan bangunan adalah sebesar

Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), Penggugat melunasi

pembayaran pembelian rumah tersebut kepada Tergugat I melalui Bank Pundi

Indonesia, Tbk. Maka, Penggugat hendak melakukan proses balik nama atas

Sertifikat Guna Bangunan No. 1661/Jatiranggon menjadi sertifikat hak milik.

Namun, pada saat Penggugat mengajukan proses permohonan balik nama

sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Tergugat II) pada tanggal 26

April 2017, maka berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tergugat II

bahwa Sertifikat Guna Bangunan No. 1661/Jatiranggon telah diblokir sejak 14

Maret 2016 yang diajukan oleh Tergugat I. Berdasarkan hal tersebut

Penggugat telah melakukan permohonan pencabutan pemblokiran sertipikat

akan tetapi tidak dihiraukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional, sehingga

Penggugat merasa tidak terpenuhi hak-haknya selaku pemegang hak atas

tanah, oleh karena itu Penggugat mengajukan gugatan secara perdata ke

pengadilan negeri untuk mendapatkan keadilan.

Kemudian sebagai tambahan data yang diteliti dalam penelitian ini

penulis juga mengangkat sebuah kasus terkait pemblokiran tanah dalam

Putusan Pengadilan No. 877/Pdt.G/2013/PN.SBY, Para Penggugat bersama-

sama selaku pembeli telah melakukan transaksi jual beli dua bidang tanah

dengan Tergugat I selaku penjual (pemilik tanah), Tergugat I selaku penjual

menjamin bahwa Pembeli/Para Penggugat akan dapat memiliki tanah dan

bangunan tersebut berdasarkan SHM No. 3521 tertulis nama pemilik Abdul
9

Fatah dan SHM No. 3523 tertulis nama pemilik Abdul Fatah dengan aman,

bebas dari tuntutan pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih

dahulu atau turut mempunyai hak atas tanah dan bangunan tersebut dengan

membebaskan pembeli dari segala tuntutan yang berkenaan dengan hal-hal

tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya dalam ingin melakukan proses balik

nama atas sertipikat, sertipikat telah diblokir berdasarkan permohonan dari

pihak yang merasa memiliki hak atas sertipikat tanah tersebut, Para Penggugat

merasa permohonan yang dilakukan pihak lain untuk membuat permohonan

pemblokiran sertipikat tidaklah kuat karena hanya dengan didasari oleh

Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Akta Kuasa Untuk Menjual.

Mencermati gugatan terkait sertipikat yang diterbitkan dengan cara

melanggar hukum atau bertentangan dengan hukum atau tidak berdasarkan

hukum, serta merugikan pemilik tanah yang sebenarnya, maka pengadilan

adalah jalan terakhir untuk meminta hak atas tanahnya dikembalikan kepada

pemilik tanah hak milik yang sebenarnya. Oleh karena itu, untuk

menyelesaikan sengketa hukum di pengadilan, hakim harus dapat

mendeterminasikan dengan baik berdasarkan gugatan dan jawaban para pihak

yang berperkara. Dalam menyelesaikan sengketa tanah, peran pengadilan

sangat penting untuk menciptakan kepastian hukum dan memberikan rasa adil

bagi para pihak yang berperkara. Pengadilan merupakan penentu siapa pemilik

tanah hak milik yang bersertipikat sesungguhnya dari tanah yang

diperkarakan.11

11
Adrian Sutedi, Op. Cit, Hlm. 29.
10

Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan di atas,

maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dan

menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul “KEPASTIAN HUKUM

PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PROSES BALIK NAMA

SERTIPIKAT YANG DIBLOKIR DI KANTOR PERTANAHAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas sertipikat

tanah yang telah diblokir di Kantor Pertanahan?

2. Bagaimana penerapan kepastian hukum pemegang hak atas tanah dalam

proses balik nama berdasarkan putusan pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka pada hakikatnya penulisan

tesis ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk memahami dan menganalisis perlindungan hukum terhadap

pemegang hak atas sertipikat tanah yang telah diblokir di Kantor

Pertanahan.

2. Untuk memahami dan menganalisis penerapan kepastian hukum

pemegang hak atas tanah dalam proses balik nama berdasarkan putusan

pengadilan.

D. Kegunaan Penelitian
11

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan konsep-konsep dalam bidang

hukum pertanahan, khususnya kepastian hukum terhadap pihak-

pihak yang ingin melakukan proses balik nama sertipikat atas

tanah..

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi

peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian sejenis

melalui pendekatan yang berbeda.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk

menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang hukum

pertanahan dan hukum pendaftaran tanah, agar tercipta suatu

unifikasi hukum di masyarakat dan mempermudah proses

pengurusan sertipikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional.

b. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

kepada masyarakat mengenai kepastian hukum terhadap pemegang

hak atas tanah yang akan melakukan proses balik nama sertipikat

atas tanah.
12

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian pisau analisis yang digunakan adalah teori kepastian

hukum. Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan

yang saling berkaitan berkenaan dengan kerangka konseptual aturan-aturan

hukum dan putusan-putusan hukum, dan hal-hal tersebut untuk sebagian yang

penting dipositifkan. Definisi di atas memiliki makna ganda, yaitu dapat

berarti produk, yakni seluruh pernyataan yang saling berkaitan itu hasil dari

kegiatan teoritik bidang hukum.

Arti proses, yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau dapat

mengandung makna ganda lainnya, yaitu teori tentang hukum dalam arti luas

dan teori hukum dalam arti sempit. Dalam arti luas, berarti menunjuk kepada

pemahaman tentang sifat berbagai bagian (cabang sub-disiplin) teori hukum,

yaitu sosiologi hukum, berbicara tentang keberlakuan sosial masyarakat atau

normatif keberlakuan dari hukum.12

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus di uji dengan mengedepankan

pada fakta-fakta yang di dapat menunjukkan ketidakbenaran.13

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Ia

memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami

masalah yang kita bicarakan serta lebih baik. Hal-hal yang semula tampak

tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukan kaitannya satu sama

12
Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum (Rechts Reflecties, Groundbegrippenuit de
rechstheire),diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 125.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 6.
13

lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan

cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.14

Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu obyek,

akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu

penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan (kerangka),

baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang sangat penting agar tidak

terjebak dalam polemik yang tidak terarah.15 Teori merupakan serangkaian

asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena

sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 16

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau

petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan

dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka

landasan teori diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini

berusaha untuk memahami kepastian hukum terhadap pemegang hak atas

tanah dalam proses balik nama sertipikat atas tanah Diperlukan landasan

teoritis sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan masalah yang telah

dikemukakan sebelumnya. Adapun konsep dan teori-teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum dan teori perlindungan

hukum.

1. Teori Perlindungan Hukum

14
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 253.
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 7.
16
Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 19.
14

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat

agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang

sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan

antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat

secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.17

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan

banyak persepsi.Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna

yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai

sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari

penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa

berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak

ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan

juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap

sesuatu.18

Perlindungan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori interprestasi

hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa

interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan

hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-

undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan

17
Satjipto Raharjo, Op. Cit, hlm. 54.
18
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hlm. 38.
15

peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang

harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat

mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode

interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-

Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan

ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu

sendiri.19

Penggunaan stelsel publisitas negatif (berunsur positif)

menunjukan konsep perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas

tanah terabaikan, hal mana dapat dilihak atas tanah dari tidak adanya

pertanggungjawaban terhadap hasil produk sertipikat hak atas tanah.

Pertanggungjawaban yang terdapat pada stelsel publisitas negatif yaitu

ada pada pejabat ambtenaar. Beralihnya stelsel publisitas negatif

menjadi stelsel publisitas negatif (berunsur positif) menjadikan

pertanggung jawaban tersebut tidak lagi ada pada pejabat ambtenaar,

sehingga dilihak atas tanah dari tinjauan hukum penggunaan stelsel

publisitas negatif (berunsur positif) ini belum memenuhi unsure

penerapan dan pelaksanaan hukum. Konsep perlindungan hukum

terhadap pemegang hak atas tanah tidak dapat dilepaskan dengan

persoalan keadilan dalam pelaksanaan hukum itu sendiri. Gustav

Radburch mengemukakan ada tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan

perlu mendapatkan perhatian serius dari para pelaksana hukum yaitu

nilai keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum,


19
Ibid, hlm. 39.
16

sehingga dengan pilhan stelsel publisitas negatif (berunsur negatif)

tersebut maka tiga nilai dasar itu sendiri tidak mungkin tercapai.

Tujuan kebijakan hukum pertanahan pada pilihan stelsel publisitas

negatif (berunsur positif ) terkait erat dengan tujuan sistem hukum

pertanahan itu sendiri yaitu terciptanya masyarakat adil, makmur, dan

sejahtera, oleh karena itu pilihan penggunaan sistem hukum nilai dasar

hukum yaitu untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian

serta keadilan. Oleh Soedirman Kartohodiprodjo diberikan istilah

pengayoman (perlindungan).20

Dalam hal proses peralihan hak atas tanah yang terjadi kendala

serta menimbulkan kerugian bagi pemegang hak atas tanah, maka teori

perlindungan hukum dapat diterapkan dengan cara melindungi hak-hak

pemegang hak atas tanah yang dirugikan melalui badan peradilan,

sehingga pemegang hak atas tanah memperoleh keadilan terkait hak-

haknya yang dirugikan.

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Theo

Huijbers, Teori Kepastian Hukum adalah hubungan antara keadilan dan

kepastian hukum perlu diperhak atas tanahikan. Oleh sebab kepastian

hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif

selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang

sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni

20
Soedirman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
diktat kuliah PDIH, Bandung, 2009, hlm xix.
17

bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu

besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata

hukum itu boleh dilepaskan.21

Tujuan utama dari hukum itu ialah kepastian hukum, keadilan bagi

sebagian besar masyarakat, dan yang terakhir memberi manfaat bagi

masyarakat itu sendiri. Hukum diciptakan bukan untuk memperburuk

keadaan, melainkan memberikan ketiga poin dari tujuan hukum di atas.

Indonesia merupakan sebuah negara hukum, namun menurut Satjipto

Rahardjo sudah enam puluh tahun lebih bangsa Indonesia bernegara

hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri pada tahun 1945, ternyata masih

banyak hal yang perlu diperjelas dan dimantapkan. Negara hukum

Indonesia tidak statis dan merupakan sebuah bangunan yang selesai

sejak dilahirkan. Risalah ini menjawab dengan mengatakan, kita

bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagia dalam negara

hukum Indonesia.22

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :

a. Hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah

perundang-undangan;

21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982,
hlm. 163.

22
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2009, hlm. 107. (selanjutnya disebut Sajipto Rahardjo II).
18

b. Hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada

kenyataan;

c. Fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah

dilaksanakan;

d. Hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya

bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.

Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari

perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut

Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-

kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun

hukum positif itu kurang adil.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan

M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian

hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :23

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan

mudah diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan

negara;

23
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm. 85.
19

b. Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-

aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya;

c. Mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan

karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan

tersebut;

d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten

sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum;

e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut

menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi

hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang

mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan

mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah

yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal

certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara

dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

Teori kepastian hukum dihubungkan dengan penelitian ini terkait

dengan pendaftaran hak atas tanah. Di Indonesia pendaftaran tanah

masih baru atau bahkan boleh disebutkan tidak tumbuh bersama adanya

hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah pendaftaran

tanah di Indonesia dikenal dengan overscrijvings ordonantie (ordonasi


20

balik nama) mulai diperkenalkan pada tanggal 2 April 1834 (1834 No.

27), dengan ketentuan inillah pendaftaran tanah dengan balik nama

mulai diaktifkan itu pun hanya berlaku atas beralihnya tanah yang

tunduk pada hukum perdata Belanda dengan model cadaster landmeter

kennis. 24

Indonesia yang pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi

hukum adat (milik bersama) sangat berakibat kepada tujuan pendaftaran

tanah yang didapat.25Salah satu contoh dalam hal ini misalnya bahwa

dalam pemberian hak atas tanah tidak dikenal lembaga verjaring (uit

weizing procedure). Pendaftaran tanah ini hanya sekedar

mengadministrasikan tanah tersebut, bukan memberikan hak itu kepada

seseorang. Namun, di tanah itu ada haknya lalu dikukuhkan dengan

adanya pendaftaran untuk memperoleh bukti haknya dari negara.

Sekalipun memang hal ini mengalami perkembangan dalam pendaftaran

tanah, tapi tidak dapat disangkal bahwa pada awalnya tidak ada istilah

memperoleh hak atas tanah dengan uit weizing procedure tersebut, lalu

dalam perkembangannya langsung diakui. 26

Untuk mengenal dan memahami lembaga utuh mengenai

pendaftaran tanah ini, maka baik sistem, asas, tujuan, dan aturan (in

action) sangat mempengaruhi akan kehidupan dan perilaku yang harus

dilaksanakan. Pendaftaran tanah untuk saat ini telah dipusatkan pada


24
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm, 203.
25
Muhammad, Hak Atas Tanah,Hukum Tanah Nasional, dalam Perspektif Negara
Kesatuan, Hukum Tanah: Antara Teori dan Kenyataan Berkaitan Dengan Hak Atas
Tanahan Dan Persatuan Bangsa, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, hlm. 19.
26
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya,
2003, hlm. 93.
21

instansi tertentu yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional Bagian

Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan bagian pengukuran, serta bagian

pemberian hak.

Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak

semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikan nya

dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan

mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal berikut:

a. Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);

b. Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari

pendaftaran tanah tersebut (simplity);

c. Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan

(accuracy);

d. Mudah dilaksanakan (expedition);

e. Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak

mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat

diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).27

Apabila disimak ketentuan yang mengakui bahwa pendaftaran

tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah secara terus-

menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan

data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah

dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
27
S.Rowton Simpson, Land and Regristration, Cambridge, University, 1976;260 dalam
A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm.
10.
22

dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya (Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997). Maka dengan

keluarnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10

Tahun 1961 telah terjadi kesempurnaan atas pelaksanaan pendaftaran

tanah di Indonesia. Dimana menurut A.P. Parlindungan telah

memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena sebagai berikut:

a. Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada

pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.;

b. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan

maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara

yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih

mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.;

c. Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa

depan pertanahan yang terencana.28

Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji lebih jauh mengenai

kepastian hukum pendaftaran hak atas tanah yang dilakukan oleh

pemegang hak atas tanah dikarenakan telah memenuhi kewajibannya

sebagai pembeli dalam jual-beli atas tanah, berdasarkan aturan

pendaftaran yang dikemukakan diatas merupakan petunjuk bagaimana

seharusnya pendaftaran tanah dilakukan. Idealnya, bila ini dilaksanakan

akan memberi dan menciptakan keadilan, kepastian, kemanfaatan

sebagaimana dikenal dalam tujuan hukum.

28
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 208.
23

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu.29

Penelitian merupakan pencerminan secara kongkrit kegiatan ilmu dalam

porses ilmu pengetahuan.30 Penelitian penting dilakukan karena manusia

memerlukan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang

dihadapinya. Untuk itu diperlukan pengetahuan ilmiah yang berlangsung

sesuai prosedur dan langkah-langkah yang dilakukan secar sistemati, kritis,

terkontrol, dan dilakukan menurut hukum dan hasil penelitian bermanfaat

secara teoritis dan praktis.31

Dalam melaksanakan pendekatan permasalahan yang berhubungan

dengan topik penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif

yang didukung dengan data empiris. Yuridis normatif yaitu penelitian

hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukkan hanya

pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang


29
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 42.
30
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.
10.
31
Idem, hlm.9.
24

lain.32 Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis dapat

pula disebut dengan penelitian lapangan, penelitian hukum sosiologis

adalah penelitian yang mengkaji korelasi antara kaidah hukum dengan

lingkungan tempat itu berlaku. Korelasi ini dapat dilihat dalam kaitan

pembuatan atau penerapan hukum.33

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian

deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu

gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 34 Deskriptif analitis berarti

bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam

konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta

secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam

kasus perikatan.

3. Sumber Data

Sumber yang digunakan adalah:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau

membuat orang-orang taat pada hukum. Pada penelitian ini, bahan

hukum primer yang penulis gunakan adalah Putusan Nomor :

400/Pdt.G/2017/PN.Bks dan 877/Pdt.G/2013/PN.Sby, Undang-


32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.
2.
33
Bagir Manan, Penelitian di Bidang Hukum, Jurnal Hukum Puslitbangkum,
Puslitbangkum, Bandung, 1999, hlm. 4.
34
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Prenada Media, Jakarta, 1997,
hlm. 42.
25

Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016.

b. Bahan hukum sekunder (secondary sources) merupakan bahan

hukum yang tidak mengikat tapi menjelaskan bahan hukum primer

yang merupkan hasil olahan pendapat dan pikiran para pakar atau

ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus akan

memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Dalam

penelitian ini, bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah

doktrin-doktrin yang ada dalam buku, jurnal, artikel ilmiah dari

internet, hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi, bahan

seminar, laporan-laporan penelitian dari kalangan hukum.

c. Bahan hukum tersier (tertierary surces) merupakan bahan hukum

yang mendukung bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder

dengan memberikan pemaahan dan pengertian atas bahan hukum

lainnya, dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang penulis


26

gunakan adalah kamus-kamus, bahik kamus Bahasa Indonesia,

Kamus Bahasa Inggris, maupun kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah melalui studi dokumen atau

bahan pustaka yang merupakan penelitian kepustakaan (library

research), yang didukung oleh bahan-bahan lainnya sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang dapat digunakan dalam study kepustakaan

(library research) yaitu dengan mengkaji putusan pengadilan,

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum

Agraria khususnya yang berhubungan dengan pendaftaran tanah

dalam proses balik nama sertipikat atas tanah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum ini pengumpulannya melalui study dokumen yang

dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang bersumber dari buku-

buku mengenai hukum khususnya mengenai hukum agraria atau

pertanahan, kode etik PPAT dan Notaris, nernagai tulisan melalui

makalah, jurnal atau internet lainnya sehubungan dengan

pendaftaran tanah dalm proses baik nama sertipikat atas tanah.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier didapatkan dengan mencari dan meneliti guna

melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

ada, yang digunakan dalam hal ini adalah Kamus Hukum, Kamus
27

Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris – Indonesia yang

membantu dalam memberikan penjelasan lebih mendalam.35

5. Tehnik Analisis Data

Metode analisis data ialah suatu metode yang digunakan untuk

mengolah hasil penelitian guna memperoleh suatu instrumen dan

kesimpulan. Pada dasarnya analisis data juga merupakan proses

menggambarkan data dalam bentuk yang lebih sederhana serta

memudahkan untuk dibaca dan diinterprestasikan.36

Tehnik analisis data yang digunakan adalah menggunakan

pendekatan kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah upaya yang

dilakukan dengan jalan bekerjasama dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dikelola,

mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang

penting dan apa yang di pelajari dan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain.37

6. Lokasi Penelitian

Dalam hal ini kasus yang di angkat terjadi didaerah Kota Bekasi,

Jawa Barat dan studi kepustakaan diambil dari beberapa tempat yaitu

Pengadilan Negeri Bekasi, Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota

35
Hotma Pardoman Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum,
Krakattauw Book, Jakarta, 2009, hlm. 72.
36
Supriyanto, Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, 2009, Hlm. 180.
37
Lecy Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2010,
Hlm. 216-217.
28

Bekasi, Perpustakaan Universitas Jayabaya, dan Perpustakaan

Universitas Indonesia.

7. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara

penelitian sebelumnya (terdahulu) dengan penelitian yang sedang

dilakukan, Tesis ini karya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah disisipkan nama pengarang atau sumber yang telah

dikutip maupun dirujuk oleh saya, penulis. Penelitian in merupakan hasil

dari gagasan dan pemikiran murni penulis pada sudut pandang hukum

kajia mengenai Kepastian Hukum Proses Balik Nama Sertipikat Hak

Atas Tanah Yang Telah Diblokir Oleh Badan Pertanahan Nasional.

Sebelum dilakukannya penulisan tesis ini, penulis terlebih dahulu

melakukan penelitian kepustakaan serta internet untuk menelusuri hasil-

hasil penelitian dibidang hukum untuk mengetahui apakah ada atau

sudah pernah ada penelitian dan penulisan dengan tema yang diangkat

pada tesis ini, penulis sampai pada saat mengajukan judul penelitian ini

menemukan beberapa penelitian proses pendaftaran tanah atau peralihan

hak atas tanah. Adapun keaslian penelitian dalam penelitian ini dapat

dilihat dengan perbandingan dibawah in sebagai berikut:

a. Muhammad Zumron, Fakultas Magister Kenotariatan, Universitas

Jayabaya Fakultas 2018 dengan judul Perlindungan Hukum Bagi

Pemegang Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Yang Dibatalkan


29

Proses Pemisahannya Oleh Kantor Pertanahan Oleh Kantor

Pertanahan Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini merupakan studi

kasus pembatalan permohonan pemisahan sertipikat hak milik atas

tanah oleh kantor pertanahan kabupaten sukabumi, provinsi jawa

barat, kasus ini dipilih dengan pertimbangan karena dalam kasus

ini sangat jarang ditemui di lingkungan masyarakat, khususnya di

Kabupaten Sukabumi. Kantor pertanahan kabupaten sukabumi

membatalkan permohonan pemisahan hak milik atas tanah dengan

pertimbangan karena adanya sengketa kepemilikan secara perdata

dengan pihak lain yang belum diselesaikan. Rumusan masalah

dalam penelitian ini membahas tentang perlindungan hukum bagi

pemegang sertipikat hak milik atas tanah yang dibatalkan

prosesnya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi dan upaya

hukum yang dilakukannya. Metode yang digunakan dalam

penlitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan

sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan

sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk analisis data dilakukan

dengan metode analisis kualitatif. Dari hasil penelitian dapat

diperoleh bahwa kantor bpn kabupaten sukabumi selaku instansi

pemerintah sudah bersikap netral dalam pelayanan terhadap

masyarakat yaitu dengan membatalkan proses permohonan


30

pemisahan sertipikat hak milik atas tanah yang dirasa masih

terdapat sengketa kepemilikan secara perdata dengan pihak lain.38

b. Herma Yunita, Fakultas Magister Kenotariatan Universitas

Jayabaya 2017 dengan judul Kepastian Hukum Proses Balik Nama

Sertipikat Berdasarkan Akta Jual Beli Dengan Mengandung Cacat

Hukum. Dalam penelitian ini permasalahan yang menjadi

pembahasan adalah bagaimanakah tanggungjawab PPAT terhadap

akta jual beli yang mengandung cacat hukum dan bagaimanakah

pengaturan perlindungan hukum kepada pemilik tanah berkaitan

dengan AJB yang mengandung cacat hukum?. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif

yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang

diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang

digunakan adalah data sekunder, bahan kepustakaan berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier

yang diperoleh melalui studi dokumen dan penelitian kepustakaan.

Untuk analisis data digunakan analisis yuridis kualitatif. Dari hasil

penelitian menunjukan bahwa sebagai akibat hukum dari

penyimpangan dalam pembuatan Akta Jual Beli oleh PPAT, maka

PPAT dapat dikenakan sanksi sebagai wujud pertanggung

jawabannya baik secara administratif, perdata maupun pidana.

38
Muhammad Zumron, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas
Tanah Yang Dibatalkan Proses Pemisahannya Oleh Kantor Pertanahan Oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukabumi, Fakultas Magister Kenotariatan, Universitas Jayabaya
Fakultas, 2018.
31

Sedangkan aspek perlindungan hukum terhadap pemilik tanah

sebenarnya adalah mengembalikan kedudukan hak atas tanah

kepada pemilik tanah sebenarnya pada keadaan awal sebagaimana

sebelum adanya proses pembuatan Akta Jual Beli dan balik nama

sertipikat.39

c. Yuni Wahyuni, Fakultas Magister Kenotariatan Universitas

Jayabaya 2017, dengan judul penelitian Kepastian Hukum

Penerbitan Sertipikat Pengganti Sebagai Bukti Setelah

Ditemukannya Sertipikat Yang Asli. Permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan aturan hukum

dalam proses penerbitan sertipikat pengganti? serta bagaimana

hambatan-hambatan penerbitan sertipikat pengganti terhadap

sertipikat yang hilang?. Dalam penelitian ini metode penelitian

yang digunakan adalah yuridis normatif yang didukung data

empiris, menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh karena

sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah. Dari hasil

penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan penerbitan sertipikat

pengganti di Kantor Pertanahan Kabupaten Tanggerang telah

sesuai dengan prosedur dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Penggantian sertipikat hilang harus disertai pernyataan sumpah

oleh pemohon dihadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat

yang ditunjuknya, mengenai hilangnya sertipikat yang


39
Herma Yunita, Kepastian Hukum Proses Balik Nama Sertipikat Berdasarkan Akta Jual
Beli Dengan Mengandung Cacat Hukum, Fakultas Magister Kenotariatan, Universitas
Jayabaya, 2017.
32

bersangkutan, diikuti pengumuman 1 (satu) kali dalam salah satu

surat kabar harian setempat aras biaya pemohon, untuk

memberikan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan

keberatan.40

Dalam penelitian sebelumnya, sebagaimana dikemukakan di atas,

meskipun terdapat beberapa persamaan dalam masalah yang dianalisis

dan metode pengumpulan data, namun pada dasarnya terdapat perbedaan

dalam hal judul penelitian, rumusan masalah, lokasi penelitian dan kasus

yang dianalisis.

40
Yuni Wahyuni, Kepastian Hukum Penerbitan Sertipikat Pengganti Sebagai Bukti
Setelah Ditemukannya Sertipikat Yang Asli, Fakultas Magister Kenotariatan, Universitas
Jayabaya, 2017.

Anda mungkin juga menyukai