BAB I
PENDAHULUAN
saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang.
Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar
orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang
2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34% (Baskoro dan Konthen,
2008).
masalah baru di bidang kesehatan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, yaitu
koroner, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru dan lain-lain. Banyak
organ tubuh seiring proses penuaan) yang muncul sangat berkaitan dengan gaya
1
80
2
penting pada populasi dunia yang seharusnya bisa dicegah. Angka kematian dini
ini diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada
tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan
sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2007).
Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kematian setiap tahunnya pada tahun
2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai
10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Data hasil penelitian
hidup sampai 8,8 tahun (Streppel, et al., 2007) . Di Indonesia, menurut data hasil
juta orang (Barber et al., 2008). Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu
dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al.,
2008).
insiden berbagai macam penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu
muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Burns, 2005; Tyndale dan
Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Kerusakan
pada berbagai macam sistem organ tersebut disebabkan oleh berbagai macam zat
toksik, iritan dan radikal bebas yang ada dalam asap rokok. Berbagai zat dalam
asap rokok ini dapat mempercepat progresivitas proses penuaan intrinsik melalui
3
macam penyakit atau gangguan terkait proses penuaan, misalnya penyakit jantung
proses skin aging berupa munculnya garis-garis keriput, dan meningkatnya proses
degradasi kolagen. (Burns, 2005; Schroeder et al., 2006; Benowitz dan Fu, 2007)
Dari efek rokok pada berbagai sistem organ tersebut, angka mortalitas
terbesar adalah akibat penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%,
penyakit kanker sebesar 28% dan akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
yaitu sebesar 26%. Oleh sebab efek destruktif rokok yang sebesar itu, 70-80%
angka itu hanya 35% orang yang berusaha untuk berhenti merokok, dan akhirnya
hanya 5% yang berhasil (Burns, 2005; Barber et al., 2008). Berbagai kendala juga
dihadapi oleh para dokter dalam membantu para perokok untuk berhenti merokok
Peristiwa di atas tidak terlepas dari fakta bahwa perilaku merokok erat
adalah ketergantungan fisik perokok pada nikotin. Dari sini bisa dikatakan bahwa
mempertahankan perilaku merokok. Saat merokok, nikotin yang ada pada daun
tembakau akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian
masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organ hanya dalam
waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; OBrian, 2006). Di dalam otak, nikotin
brain reward system pada sistem limbik. Aktivitas nikotin pada brain reward
system ini menimbulkan perilaku apetitif individu terhadap rokok. Namun, seiring
mekanisme negative reinforcement karena adanya proses toleransi, dan dari sini
ketergantungan fisik ini telah diketahui sejak lama, masih banyak faktor lain yang
diketahui atau belum dapat dijelaskan secara pasti, mengingat sifatnya yang
multifaktorial.
fisik individu terhadap rokok, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Faktor
kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale dan Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung
oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang
terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar
42-80% (Henningfield et al., 2000; Caron et al., 2005; Boardman et al., 2006).
5
Di antara banyak gen kandidat yang berperan atau diduga berperan dalam
ketergantungan fisik terhadap nikotin, terdapat gen CYP2A6, yaitu gen yang
mengkode enzim sitokrom P450 2a6. Enzim ini bertanggung jawab terhadap 70-
90% metabolisme nikotin dalam darah menjadi cotinine, dan dengan demikian
brain reward system (Gullstn 2000; Rao et al., 2000; Hukkanen et al., 2005;
al., 2005). Polimorfisme DNA yang dimaksud dapat berupa Single Nucleotide
berupa menurun, hilang atau justru meningkatkan aktivitas enzim. Jadi, dapat
enzim sitokrom P450 2A6 yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kadar nikotin
dalam darah (Rao et al., 2000; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005).
Akan tetapi, efek delesi atau inaktivasi gen CYP2A6, yang berarti bahwa tidak
adanya enzim sitokrom P450 2a6, secara in vivo dalam hubungannya dengan
bahwa sekelompok orang dengan delesi gen CYP2A6 memiliki risiko untuk
menjadi tergantung pada nikotin lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang
mempunyai gen CYP2A6 normal (wild type). Sebaliknya, beberapa penelitian lain
6
enzim yang dikodenya sebanyak 1,4 kali normal dan akibatnya, mereka
(Rao et al., 2000; Fukami et al., 2007). Penelitian tersebut semakin memperkuat
berikutnya terhadap gen yang sama dalam hubungannya dengan perilaku merokok
menunjukkan hasil yang negatif (Gullstn, 2000). Demikian juga hasil meta-
analisisnya meyimpulkan bahwa masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
heterogen, secara logis, tidak adanya enzim yang memetabolisme nikotin akan
mempertahankan kadar nikotin dalam darah tetap tinggi. Kadar nikotin yang tetap
nikotin (Yoshida et al., 2002). Sebab kadar nikotin yang tinggi dalam darah akan
dapat terus memberikan stimulusnya pada brain reward system, dan menekan
nikotin ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah terutama di Indonesia, sebab
jumlah perokok di Indonesia yang besar, frekuensi alel delesi pada gen CYP2A6
cukup tinggi di Asia, yaitu mencapai 20% serta hubungannya secara langsung
7
dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang diukur dengan kesioner FTND
penelitian ini adalah: Apakah gen CYP2A6 lebih sering ditemukan pada
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini dalah untuk mengetahui peran gen CYP2A6 sebagai
1.4.Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya peran faktor genetik, dalam hal ini gen CYP2A6, pada
baru kepada para perokok. Tata cara yang dimaksud yaitu baik dari segi
ketergantungan fisik terhadap nikotin. Jika efektifitas terapi untuk membantu para
harapan hidupnya akan diharapkan dapat meningkat, dan tentu saja peningkatan
angka harapan hidup ini akan diikuti dengan peningkatan kualitas hidup.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan
fungsi biologik seiring usia kronologik, walaupun keduanya tidak tidak selalu
berjalan dengan laju yang sama. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan
dengan kecepatan berbeda bagi tiap orang, tergantung dari susunan genetik orang
tersebut, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau
yang tidak memiliki efek atau menurunkan kemampuan fungsional (Fowler, 2003;
Arking, 2006).
definisi aging dan memberikan karakteristik fundamental yang harus dimiliki oleh
9
10
proses penuaan sebagai berikut: (1) proses penuaan harus merupakan proses yang
merugikan; (2) proses tersebut haruslah progresif, yang berarti bahwa seiring
berjalannya waktu, tahap demi tahap proses penuaan terus terjadi; (3) proses
semata; (4) proses aging merupakan proses yang universal, yaitu bahwa setiap
proses tergantung waktu dari perubahan struktur dan fungsi yang kumulatif,
mencapai usia reproduksi dan terus terjadi hingga mencapai titik kulminasi berupa
kematian (Arking, 2006). Pada tingkat molekuler dan genomik, kerusakan yang
terjadi akibat proses penuaan tidak berbeda dengan kerusakan yang terjadi akibat
sepanjang waktu dan bermanifestasi berupa proses aging pada seluler jauh
genetik, biokimiawi dan fisiologi yang terjadi dalam tubuh organisme seiring
bertambahnya waktu. Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga
molekuler secara umum terbagi menjadi dua latar belakang, yaitu aging adalah
jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori
Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari
kehidupan sehari-hari. Dari dua latar belakang tersebut ada empat teori pokok dari
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,
kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan
lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena
sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak
2) Teori neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
12
mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada
molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh
radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,
bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal
bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin
mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal
bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap
lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat
lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal
1) Faktor lingkungan
mempercepat penuaan.
kekebalan.
2) Faktor diet. Bukti hasil studi-studi terbaru membuktikan bahwa nutrisi dan
memiliki peran penting dalam kerusakan genom dan selular yang menjadi
2009).
14
3) Faktor genetik
penuaan yang dialaminya sepanjang hidup orang itu. Hasil studi terbaru
4) Faktor psikis
Faktor stres psikis mampu mempercepat proses penuaan secara tidak langsung
yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, kadar gula darah, lipid (terutama
VLDL dan LDL), meningkatkan kadar oksidan dalam darah dan menurunkan
sistem kekebalan tubuh (McCance et al., 2006). Dalam kondisi yang kronis,
semua efek stress psikis ini dapat menjadi akselerator proses penuaan
hidrogen peroksida, dan superoksid. Radikal bebas dalam asap rokok akan dapat
mempercepat kerusakan seluler akibat stress oksidatif. Produksi radikal bebas dan
kerusakan akibat stress oksidatif umum terjadi tiap saat dalam sistem biologis
sebagai limbah metabolisme energi dalam sel. Oleh sebab itu, tubuh kita memiliki
sistem pertahanan berupa enzim atau substrat yang berfungsi sebagai antioksidan,
15
(Murray, 2006). Keseimbangan antara produksi radikal bebas dan zat antioksidan
dalam tubuh dapat bergeser ke arah meningkatnya konsentrasi radikal bebas jika
kondisi tubuh kita terpapar oleh berbagai macam substansi dalam lingkungan
yang mengandung banyak sekali radikal bebas, dalam hal ini asap rokok.
Peran radikal pada asap rokok dalam meningkatkan kerusakan sistem biologis
adalah sama dengan peran radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh. Radikal
orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini membuatnya sangat reaktif. Oleh
karena radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan
lipid, dan oleh karena mereka juga cenderung dapat memperbanyak diri, mereka
Oleh karena sifat reaksinya yang acak (random), beberapa produk kimiawi
radikal bebas benar-benar asing bagi sel untuk dapat diperbaiki atau digunakan
kembali oleh sel melalui proses daur ulang. Contoh dari peristiwa ini adalah
resisten oleh enzim proteolitik dan molekul seperti ini dapat terakumulasi secara
progresif dalam sel seperti pigmen penuaan yang dapat meningkat jumlahnya
ketika sel dalam tubuh organisme mengalami penuaan. Pigmen penuaan ini jika
Contoh lain kerusakan akibat stress oksidatif adalah oksidasi basa nitrogen
demikian telah terjadi mutasi dalam DNA. Sama halnya dengan produksi radikal
bebas, mutasi DNA hampir terjadi sepanjang waktu, dan mengingat sebagian
besar mutasi adalah merugikan sebab ia merusak fungsi gen, akumulasi kerusakan
akibat oksidasi seperti ini akan mengarah pada menurunnya fungsi seluler atau
Radikal bebas juga dapat mengoksidasi berbagai macam protein dalam sel
dalam LDL sehingga LDL yang tertimbun dalam dinding sel akan memulai rantai
proses penuaan.
Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa
nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Hyde, 2009).. Kondisi ini memperburuk
Selain melalui radikal bebas, proses penuaan yang dipercepat oleh asap rokok
ditimbulkannya. Penuaan yang terjadi pada tingkat organ ini dapat memberikan
efek domino terhadap penuaan di organ-organ yang lain, sebab paru merupakan
Angka kematian dini akbiat merokok diperkirakan mencapai 4,8 juta orang
setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di
(Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2008). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4
juta kemtian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka
tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada
tahun 2030 (Jaya, 2009). Di Indonesia, menurut data hasil laporan lembaga
Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat
terkena penyakit jantung yang fatal sebesar 2 kali lipat dibanding bukan perokok,
10 kali lipat risiko terkena kanker paru, beberapa kali lipat risiko terkena kanker
rongga mulut, oesofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan servik; 2 sampai 3
kali lipat risiko terserang stroke dan ulkus peptikum; 2 sampai 4 kali lipat risiko
pneumococcus; 2 kali lipat risiko terkena katarak dan 2,5 kali terkena ARMD
tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Di Amerika Serikat, lebih dari
90% kasus penyakit paru obstruktif kronis terjadi di antara para perokok atau yang
prostat dan kolon, kanker payudara pada wanita pos menopause dengan aktivitas
Kanker yang terjadi disebabkan oleh rusaknya tumor supressor gene, yaitu gen
P53 yang terkait kebiasaan merokok. Indera penciuman dan perasa perokok
banyak penyakit yang telah disebutkan di atas, anak dari seorang perokok
memiliki berat badan lahir yang rendah, memiliki risiko menderita retardasi
mental, lebih sering terserang infeksi saluran napas dan fungsi paru yang kurang
baik, lebih tinggi risikonya menderita infeksi telinga kronis dibandingkan anak
mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi salah satu biomarker penuaan
itu sendiri. Kebiasaan merokok baik secara langsung maupun tidak langsung
memposisikan perokok dalam kondisi yang lebih sensitif terhadap segala macam
penyakit yang dikaitkan dengan penuaan. Dengan kata lain, penurunan fungsi
walaupun tidak pernah mencapai kondisi yang sama seperti orang yang tidak
pernah merokok. Wanita yang berhenti merokok pada umur 35 tahun, rata-rata
tahun. Penambahan angka harapan hidup ini terus terjadi bahkan pada perokok
kebiasaan merokok dapat disebut sebagai salah satu tindakan anti aging yang
paling sederhana, logis namun tidak mudah untuk dilakukan mengingat adanya
paling penting, perhatian kepada kebiasaan merokok masih rendah. Tujuh puluh
berhenti merokok dan mengunjungi dokter, namun dari angka itu hanya 20%
orang yang mendapatkan pengobatan atau nasihat, dan akhirnya hanya 5% yang
berhasil berhenti merokok (Burns, 2005; OBrian, 2006; Barber et al., 2008;
Sebenarnya asap rokok tidaklah sesederhana seperti yang terlihat. Asap ini
diisolasikan berbagai macam zat kimia yang jumlahnya mencapai 3000 senyawa
dalam daun tembakaunya sendiri dan mencapai lebih dari 4000 senyawa pada
20
asap rokok (Benowitz dan Fu, 2007). Sebagian besar bahan atau senyawa-
senyawa tersebut (tabel 2.1) pada umumnya bersifat toksik bagi berbagai macam
Substansi toksik dalam bentuk gas, yaitu berupa karbon monoksida (CO),
hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia yang volatil seperti
nitrosamin, formaldehid banyak terdapat dalam asap rokok. Zat-zat ini dapat
memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau
dan Blanc, 2007). Di samping dalam bentuk gas, zat toksik lain yang terdapat
dalam rokok bisa berupa partikel-partikel kecil terdispersi dalam asap yang
Tar adalah partikel kering berwarna coklat hasil pembakaran rokok dan bisa
memberi warna pada gigi ataupun kuku. Partikel ini terdiri dari campuran
senyawa-senyawa kimia kompleks yang terdiri dari berbagai macam zat-zat kimia
karsinogenik, kokarsinogenik dan tumor promoter dalam asap rokok. Zat yang
nikel, arsen, timbal, merkuri dan elemen radioaktif seperti radium-226 dan
Tabel 2.1. Komponen Toksik Mayor pada Asap Rokok (Benowitz dan Fu, 2007)
Nikotin Karbon monoksida
Catechols Asetaldehid
N-nitrosonornicotine Oksida Nitrogen
Fenol Hidrogen Sianida
Hidrokarbon Aromatik Polinuklear Acrolein
Benzena Ammonia
-Napthylamine Formaldehid
Nikel (karbonil) Urethane
Kadmium Hydrazine
Arsenik Nitrosamin
Polonium-210 dan radium-226
atau merokok berasal dari artifak bangsa Maya yang ditemukan di semenanjung
Yucatan, Mexico. Kebiasaan ini merupakan bagian dari ritual religius dan
perkumpulan politik para penduduk asli semenanjung Yucatan. Lima ratus tahun
benua Amerika, dia diberi daun tembakau oleh orang-orang Arawak. Jadi,
Columbus dan awak-awak kapalnya adalah orang Eropa pertama yang mengenal
yaitu Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Kedua species tanaman tersebut
termasuk famili Solanaceae. Nama ilmiah untuk tembakau ini mengacu pada
nama seorang duta besar Prancis di Portugal yaitu Jean Nicot de Villemain. Ia
pengobatan pada tahun 1560. Nikotin sendiri, zat aktif dalam tembakau baru
berhasil diisolasi sekitar dua setengah abad sesudahnya, tepatnya pada tahun 1828
22
oleh ahli kimia Jerman, yaitu Poselt dan Reimann. Mereka pertama kali
strukturnya ditemukan oleh Garry Pinner pada tahun 1895 dan nama kimianya
Nikotin adalah amin tersier yang terdiri dari cincin pyridine dan pyrrolydine
(Gambar 2.1). Produksi nikotin memerlukan asam nikotinat (niacin) dan kation N-
tembakau diinduksi oleh sinyal Jasmonic acid sebagai respons terhadap kerusakan
daun. Sintesis nikotin terjadi di akar tanaman kemudian ditranspor melalui xylem
menuju daun dan bagian tanaman lainnya. Dalam keadaan murninya, nikotin
tampak sebagai cairan yang kental, seperti minyak tidak berwarna dan bersifat
sangat alkalis. Jika dipapar dengan udara terbuka, ia menjadi berwarna kuning
kecoklatan dan memberikan bau khas tembakau (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Gambar 2.1. Struktur Kimia Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Nama struktur
kimia nikotin adalah 3-(2-(N-methylpyrrolidinyl))pyridine. Nikotin merupakan zat
kimia larut air dan dapat diekstraksi dari daun tembakau dengan merendam
potongan daunnya dalam air selama 12 jam.
23
antiherbivora, terutama serangga. Oleh sebab itu, di masa lalu nikotin banyak
tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun
lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang
ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan
mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang
Sebagian besar nikotin pada daun tembakau berada dalam bentuk levorotary
(S)-isomer, dan hanya sebagian kecil, sekitar 0,1-0,6% dari nikotin total yang
meningkat sampai 10%, diperkirakan hal ini terjadi oleh karena proses
24
bersuhu rendah, sekitar 308K (Hukkanen et al., 2005). Oleh karena sifat fisiknya
yang demikian, hampir semua nikotin dalam rokok menguap saat dibakar dan
senyawa alkaloid terbanyak kedua setelah nikotin dan disusul dengan anabasine
(Gambar 2.2). Komposisi yang sama berlaku juga pada rokok, cerutu, rokok pipa
dan oral snuff. Alkaloid-alkaloid minor yang lainnya antara lain myosmine, N-
(Hukkanen et al., 2005). Dari sekian banyak alkaloid minor dalam tembakau yang
Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama
dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati
membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan
pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang
terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi
lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi
dalam paru (Hukkanen et al., 2005). Keasaman dalam droplet partikel (tar) sangat
25
bervariasi dari 6,0 sampai 7,8 tergantung merk dan jenis rokok. Semakin tinggi
pH, semakin banyak nikotin yang diabsorbsi dalam paru (Pankow et al., 2003).
Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru,
Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai
puncaknya sesaat setelah selesai merokok (Gambar 2.3). Absorbsi yang cepat ini
diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH
paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Rata-rata 1 mg (0,3-2 mg) nikotin diabsorbsi ke
Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler
paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk
dalam waktu 7 detik, lebih cepat dari nikotin IV, dan dengan cepat pula
menyebabkan para perokok dapat mentitrasi kadar nikotin untuk mencapai efek
Merokok merupakan suatu proses yang kompleks, dan sesuai dengan yang
telah disebutkan di atas, perokok dapat memanipulasi dosis nikotin dan kadar
nikotin di otak dalam setiap hisapan. Intake nikotin selama merokok tergantung
pada volume hisapan, kedalaman inhalasi, tingkat dilusi dalam udara ruangan,
frekuensi dan intensitas hisapan (Jarvis et al., 2001). Jika perokok yang telah
dengan kadar nikotin rendah atau pun mengurangi jumlah rokok yang dihisap per
pola hisap agar tercapai kadar nikotin yang tetap tinggi seperti sebelumnya
0 30 60 90 120
Waktu (Menit)
Gambar 2.3. Kadar Nikotin dalam Darah Saat Merokok dan Setelahnya
(Hukkanen et al., 2005). Kadar nikotin mencapai puncaknya 10 menit setelah
merokok dan mulai menurun setelahnya.
Dalam darah dengan pH 7,4, sekitar 69% nikotin terionisasi dan 31% tidak
terionisasi dan hanya 5% nikotin yang terikat pada plasma protein, sedangkan
95% berada dalam bentuk nikotin bebas dalam darah. Nikotin terdistribusi secara
luas dalam jaringan tubuh dengan volume distribusi rata-rata 2,6 liter/kg berat
badan (Hukkanen et al., 2005). Ini artinya nikotin memiliki sifat hidrofobik dan
cenderung untuk terikat dengan jaringan dengan kandungan lipid yang tinggi,
Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi
pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru.
Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi
Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor
asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Bahkan pernah ada laporan kasus
bunuh diri menggunakan nikotin patches, kadar nikotin dalam otak mencapai 2
kali kadarnya dalam darah perifer (Kemp et al., 1997). Ditambah pula dengan
kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi,
maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia
afinitas yang tinggi pada kelenjar adrenal dan merangsang kelenjar ini untuk
juga pada cairan lambung, saliva, air susu ibu, amnion dan bahkan serum fetus
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benowitz pada tahun 1990,
kadar nikotin dalam darah perokok pada saat siang hari umumnya berkisar antara
10-50 ng/ml. Nilai ini berfluktuasi sekitar 10-37 ng/ml sepanjang hari dengan
puncaknya mencapai 19-50 ng/ml (Schneider et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).
28
Kadar nikotin tersebut dalam darah vena dapat meningkat sejauh 5 sampai 30
ng/ml setelah menghisap sebatang rokok, dan tentu saja hal ini tergantung pola
menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan nikotin dalam darah vena ini sebesar
10,9 ng/ml. Dengan catatan, nilai itu didapatkan dari para perokok yang tidak
waktu paruh dalam darah. Waktu paruh nikotin di dalam darah sirkulasi rata-rata
sekitar 2 jam. Angka ini didasarkan atas pengukuran konsentrasinya dalam darah.
Jika pengukuran konsentrasi nikotin dilakukan pada urin, waktu paruh akan
memanjang sampai 11 jam, dan konsentrasi yang dihasilkannya juga jauh lebih
kecil. Hal ini disebabkan oleh pelepasan nikotin yang lambat oleh jaringan tubuh
dan metabolisme yang dialaminya. Jadi waktu paruh yang pendek pada awalnya
bukan disebabkan oleh proses metabolisme yang dialaminya tetapi lebih karena
bahwa hanya sedikit kadar nikotin yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah.
akumulasi nikotin selama lebih dari 6-8 jam dalam tubuh (3-4 kali waktu paruh)
pada perokok reguler dan persistensi kadar ini yang signifikan selama waktu yang
sama setelah berhenti merokok. Kadar nikotin mengalami fluktuasi antara puncak
dan lembah (peak and trough) mengikuti aktivitas merokok sepanjang hari, tetapi
meningkat selama waktu berlalu dan akhirnya konsentrasi puncak (peak) menjadi
29
tidak penting lagi. Jadi perokok tidak lagi terpapar dengan kadar nikotin secara
intermiten melainkan terpapar dengan kadar nikotin yang persisten tinggi selama
24 jam penuh setiap harinya (Hukkanen et al., 2005). Fenomena ini lebih jelasya
Cotinine
Waktu
Gambar 2.4. Konsentrasi Sirkadian Nikotin dan Cotinine dalam Darah (Hukkanen
et al., 2005). Konsentrasi cotinine dalam darah meningkat mengikuti gelombang
peningkatan nikotin yang menandakan adanya proses metabolisme nikotin dalam
tubuh.
30
daripada konsentrasi nikotin dalam darah, yaitu berkisar antara 250-300 ng/ml
pada para perokok. Pada beberapa perokok konsentrasi ini pernah sampai
mencapai kadar 900 ng/ml. Akan tetapi, angka tersebut akan mengalami
penurunan yang linier jika seseorang berhenti merokok. Selain itu, cotinine
memiliki waktu paruh yang lebih lama dari nikotin. Akibatnya konsentrasinya
hampir tetap sepanjang hari jika dibandingkan dengan kadar nikotin. Oleh karena
sebagai biomarker intake nikotin sehari-harinya, baik pada para perokok aktif
dari dalam tubuh adalah suatu proses alami yang melibatkan jalur-jalur
metabolisme dan sistem transpor yang sama untuk metabolisme nutrisi pada
kimia asing atau xenobiotika melalui kontaminan lingkungan dan zat-zat dalam
paling umum dalam diet kita adalah dari tanaman. Tanaman memiliki berbagai
macam zat xenobiotika yang terkait dengan produksi pigmen dan toksin
(phytoallexins) untuk melindungi diri dari predator. Di dunia modern ini, sebagian
besar paparan xenobiotika pada manusia berasal dari polusi lingkungan, zat aditif
pada makanan, produk kosmetik, bahan kimia dalam pertanian, makanan yang
31
dasarnya bersifat lipofilik, sehingga sangat sulit untuk dieliminasi dari tubuh jika
tidak ada sistem metabolisme yang sesuai. Jika eliminasi tidak dilakukan, maka
zat kimia bersangkutan akan terakumulasi dalam tubuh dan memunculkan gejala
yang terabsorbsi melalui lapisan mukosa mulut, saluran pernapasan, dan saluran
hati, ginjal juga berperan saat proses eksresinya dalam urin. Proses
metabolismenya secara lebih mendalam akan dibahas dalam uraian di bawah ini.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika definisi nikotin
sebagai xenobiotika dan gambaran mengenai apa itu sitokrom P450 yang
Sesuai uraian di atas, xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh
karsinogen, dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara
substrat utama bagi XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) dalam hati. Tetapi,
kadang kala xenobiotika bisa saja dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
fase 1, reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim
monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450
macam obat atau zat kimia tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktivasinya. Di
esterase) dan beberapa reaksi lain yang dikatalisis oleh enzim non-P450 juga
terjadi di fase 1.
metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar
meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan
hidrofobik akan tertahan dan terakumulasi dalam jaringan adiposa dalam waktu
Gambar 2.5. Lokasi Enzim Cyp dalam Sel (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Kompleks enzim sitokrom P450 ada pada permukaan sitosol retikulum
endoplasmik. Kompleks enzim ini mengkatalis substrat larut lemak yang ada
dalam lapisan membran lipid ganda retikulum endoplasmik. Enzim sitokrom P450
memiliki struktur cincin heme pada bagian aktifnya yang berfungsi untuk
mengikat molekul oksigen.
prokarsinogen.
pemberian istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab kadang kala, sesuai
34
aktivitas biologis dan toksisitas suatu zat (Kennelly dan Rodwell, 2006).
Kini, telah diperkirakan ada sekitar 60 gen Cyp pada genom manusia. Enzim
Cyp juga bisa ditemukan dalam enterosit dan berbagai macam jaringan lain,
mencapai 20% dari total protein. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim ini adalah
sebagai berikut :
seperti steroid tertentu, asam lemak eikosanoid, dan retinoid juga bisa merupakan
2006).
reaksi hidroksilasi oleh Cyp dalam hati merupakan mekanisme yang kompleks,
maka itu ia lebih cocok disebut dengan sistem Cyp, karena untuk dapat
melakukan fungsi yang seutuhnya ia tergantung dari kehadiran enzim lain dalam
35
reaksi seperti yang tampak pada gambar 2.6 di bawah (Mckee dan Mckee, 2003;
Kennelly dan Rodwell, 2006). Kerja sama antar kedua macam enzim inilah yang
gambar tersebut, reaksi hidroksilasi yang terjadi khas pada sel korteks adrenal
Cyp memiliki banyak famili yang berhasil ditemukan hingga kini, yaitu
berjumlah sekitar 150 isoform. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting
untuk menamainya sesuai dengan sistem nomenklatur yang ada. Dalam sistem
nomenklatur, enzim sitokrom P450 disingkat dengan Cyp, yang diikuti dengan
angka yang menunjukkan famili, misal Cyp1, Cyp2 atau Cyp3. Cyp dimasukkan
dalam satu famili jika sedikitnya 40% sekuens asam aminonya sama. Kemudian,
huruf kapital yang tertera setelah angka menunjukkan subfamili. Jika dua enzim
Cyp memiliki tingkat kesamaan sekuens asam amino mencapai 55% atau lebih,
mereka berada dalam satu subfamili. Angka yang tertera setelah huruf subfamili
pada nomor alel atau varian (Gambar 2.7) (Kennelly dan Rodwell, 2006). Dari
contoh di bawah ini Cyp2a6 berarti enzim Cyp tersebut termasuk dalam famili 2,
Gen CYP2A bersama dengan gen CYP2B, dan gen CYP2F terletak pada
lengan pendek kromosom 19, tepatnya pada 19p13.2, yaitu pada daerah seluas
36
350 kilobasepairs. Tiga subfamili telah diperkirakan berasal dari satu ancestral
bersifat spesifik substrat. Evolusi gen ini dimulai sekitar 400 juta tahun lalu dan
berkembang menjadi lebih dari 50 gen homolog (gambar 2.8) (Gullstn, 2000).
Gambar 2.6. Reaksi Hidroksilasi oleh sistem Cyp dalam Mikrosom (Botham dan
Mayes, 2006). Reaksi hidroksilasi substrat dimlau dengan pembentukan ikatan
antara substrat dengan enzim Cyp yang diikuti dengan reaksi hidroksilasi setelah
enzim ini mendapatkan donor sepasang elektron hasil proses oksidasi ion sulfur
dalam Fe2S2.
Nomor Famili
Nomor Anggota
dalam subfamili
Singkatan dari
sitokrom P450 CYP 2 A 6 *4
Nomor alel
atau varian
Nomor Subfamili
Gambar 2.7. Sistem Nomenklatur Sitokrom P450. Sesuai urutan, CYP adalah
singkatan dari sitokrom P450, angka 2 pertama menunjukkan famili, diikuti
dengan huruf yang menandakan subfamili, angka setelah huruf menunjukkan
nomor anggota dalam subfamili serta angka setelah bintang mengacu pada alel
atau varian dari gen yang bersangkutan.
37
Gambar 2.8. Perkembangan Gen CYP Selama Evolusi (Gullstn, 2000). Gen CYP
mengalami proses duplikasi dan divergensi selama sejarah evolusi menghasilkan
banyak famili. Proses duplikasi dan divergensi yang diiringi fenomena seleksi
alam menjadi kunci utama evolusi gen ini. Divergensi yang terjadi salah satunya
akibat proses mutasi pada duplikat-duplikat gen yang bersangkutan.
. Subfamili gen CYP2A ini terdiri dari tiga gen dan dua pseudogen, yaitu
terletak setelah gen CYP2A6. Kedua gen ini memiliki kesamaan sekuens
nukleotida mencapai 96%, sedangkan kesamaan sekuens asam amino dari protein
yang dikodenya mencapai 94%. Gen ini terdiri dari 9 ekson dan 8 intron dengan
38
CYP2A7P(C), terputus pada ekson 5, dan oleh sebab itu tidak mengkode protein.
Gen CYP2A6 mengkode protein yang aktif dalam metabolisme, sedangkan gen
Sentromer Telomere
Gambar 2.9. Struktur Gen-Gen dalam Subfamili CYP2. Struktur famili gen CYP
ini terletak pada kromosom 19. Tanda panah berwarna biru menandakan segmen
DNA yang mengkode enzim Cyp, arah panah menunjukkan orientasi gen dalam
rantai DNA.
2.11.4. Peran Enzim Sitokrom P450 2A6 dalam Metabolisme Nikotin dan
Cotinine
Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa pada manusia, 70-90%
nikotin dioksidasi oleh sitokrom P450 2a6 (Cyp2a6) menjadi nikotin 1(5)-
iminium ion, suatu metabolit antara yang kembali dioksidasi oleh enzim aldehid
oksidase menjadi cotinine dalam sitoplasma sel hepar. Enzim yang sama juga
hidroksilasi kumarin, karena kedua substrat ini memiliki enzim yang sama yaitu
sitokrom P450 2a6 (Nakajima et al., 1996). Oleh sebab itu, selain menggunakan
nikotin, aktivitas enzim ini sering diukur dengan menggunakan kumarin sebagai
subsrat.
Gambar 2.10. Metablisme Nikotin Oleh Enzim Cyp2a6 (Oscarson, 2001). Tujuh
puluh sampai sembilan puluh persen nikotin dimetabolisme oleh enzim Cyp2a6
mementuk cotinine dengan nicotine iminium ion sebagai metabolit antaranya.
didukung oleh penelitian yang dilakukan Sellers et al pada tahun 2000 dan 2003
penelitian-penlitian itu juga mengilustrasikan bahwa ada enzim lain yang berperan
Cyp2b6 adalah enzim aktif dalam osksidasi nikotin kedua setelah Cyp2a6
pada studi in vitro menggunakan jaringan sel hepar (Yamasaki et al., 1999).
Sedangkan Cyp2e1 dan Cyp2a13 yang banyak terdapat dalam mukosa saluran
Terdapat beberapa enzim yang juga ikut berperan dalam metabolisme nikotin
walaupun jumlah reaksi yang dikatalisasi olehnya kadang kala jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan Cyp pada fase 1. Tetapi pada fase 2 kehadiran beberapa
enzim-enzim ini penting artinya, sebab reaksi yang terjadi pada fase 2 merupakan
kelanjutan dari reaksi pada fase 1. Pada fase 2 ini kelarutan metabolit nikotin lebih
2005).
Hingga saat ini aspek kuantitatif pola metabolisme nikotin telah banyak
dipelajari pada manusia (Gambar 2.8). Sekitar 90% dosis sistemik nikotin
akhirnya dapat ditemukan dalam bentuk nikotin dan metabolitnya dalam urin
(Benowitz et al., 1993). Berdasarkan studi dengan infus nikotin dan cotinine
(50). Sekitar 4-7% nikotin dieksresikan sebagai nikotin N-oksid dan 3-5%
Hanya fraksi kecil cotinine dieksresikan dalam bentuk yang tetap dalam urin
(10-15% nikotin dan metabolit dalam urin). Sisanya dikonversi menjadi metabolit,
N-Hydroxymethyl-
norcotinine
Norcotinine
4-Oxo-4-(3-
4-(methylamino)-1-(3- pyridyl)-butanamide Trans3- Hydroxycotinine
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-N-
pyridil)-1-butanone Glucoronide
methylbutanamide
5-(3-pyridyl)-
Tetrahydrofuran-2-one
Gambar 2.11. Jalur Metabolisme Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Jalur Umum
metabolisme nikotin dalam tubuh menghasilkan berbagai macam metabolit
derivatifnya. Beberapa di antaranya memiliki sifat karsinogenik seperti 4-
(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone sebab ia dapat berikatan dengan bsa
nitrogen dalam DNA.
43
metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain
dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas
makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan
mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al (2004) lalu melalui
2004).
b. Umur
umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal
menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan
dengan umur dewasa muda (Molander et al., 2001). Penurunan ini lebih
c. Kronofarmakokinetik Nikotin
Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan
dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas
d. Perbedaan Kelamin
bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada
paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin
pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang
2005).
2. Konsumsi obat-obatan
a. Penginduksi (inducers)
kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat
(Robertson et al., 2000; Rae et al., 2001; Edwards et al., 2003; Madan et al.,
2003).
46
b. Inhibitor
3. Kondisi patologis
aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada
Kondisi fisiologis
tertentu, misalkan umur,
sex, dan lain lain
paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang
metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa
hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut
47
walaupun dalam kadar yang rendah (Ting et al., 2000; Hukkanen et al., 2002).
Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13.
Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13 pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6 (Ting et al., 2000).
contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1
konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase
pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan
tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDP-
ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae (Hukkanen et al.,
2005).
Obat
mekanisme homeostasis sebagai respons penggunaan obat atau zat kimia tertentu
secara berulang (OBrian, 2006). Obat-obatan atau zat kimia tertentu dapat
mempengaruhi banyak sistem pada tubuh kita yang pada awalnya ada dalam
hadirnya efek inhibisi atau stimulasi dari obat. Seseorang yang berada pada status
adaptasi atau tergantung secara fisik memerlukan asupan obat yang kontinyu
untuk mempertahankan fungsi sistem tubuhnya yang normal. Jika asupan obat
obat dihentikan. Gejala withdrawal sedikitnya berasal dari 2 sumber, yaitu (1)
sistem saraf pusat (SSP) sebagai bentuk mekanisme readaptasi hilangnya efek
menunjukkan efek kebalikan dari efek obat sebelum proses toleransi terjadi.
Misalkan, penghentian tiba-tiba asupan agonis opioid yang memiliki efek miosis
dan takikardia.
49
biologis. Mereka merupakan konsekuensi alami dari penggunaan obat dan dapat
dibuktikan pada hewan coba atau pada manusia setelah penggunaan obat
Kecanduan dan penyalahgunaan obat, yang dalam bahasa inggris disebut dengan
pola kompulsif pada penggunaan obat dari dosis minimal sampai dosis yang
penggunaan obat walaupun telah muncul berbagai masalah yang secara signifikan
2.13. Farmakogenetika
Farmakogenetika adalah studi yang menilai variasi respons terhadap obat oleh
karena pengaruh faktor genetik (Relling dan Giacomini, 2006). Pada aspek yang
Respons terhadap obat adalah salah satu bentuk fenotip hasil interaksi faktor
genetik dan lingkungan. Jadi, respons individual terhadap obat tergantung pada
interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu,
variasi respons obat antar individu dapat dijelaskan dengan variasi faktor
obat ditentukan oleh faktor genetik? Studi famili klasik dapat memberikan
50
beberapa informasi penting untuk menjawab pertanyaan itu. Studi pada anak
antara intra-twin vs. inter-pair study juga menunjukkan bahwa sekitar 75-85%
variasi pada farmakokinetik obat dapat diwariskan (Relling dan Giacomini, 2006).
Nikotin
Sekuens DNA pada suatu tempat dalam genom antar individu di seluruh
dunia tidaklah tepat sama, tetapi menunjukkan variasi. Perbedaan atau variasi
sekuens dapat muncul tiap 1000 sampai 2500 pasang basa. Perbedaan ini 2,5 kali
region, mencapai 98% genom), yaitu sekitar 1/1000 pasang basa, dibandingkan
1/2500 pasang basa. Perbedaan ini tampaknya menunjukkan tekanan seleksi alam
yang lebih besar pada tempat-tempat tersebut dalam genom, sehingga frekuensi
Jika, suatu varian gen sangat sering ditemukan dalam suatu populasi, maka
variasi bentuk dari gen, protein atau kromosom yang menghasilkan dua atau lebih
varian dan masing-masing varian memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Frekuensi
yang demikian tinggi tidak hanya disebabkan proses mutasi genetik berulang saja
(Young, 2005). Suatu gen dikatakan polimorfik jika gen tersebut memiliki varian
51
dengan frekuensi paling sedikit 1% dalam populasi, jika lebih kecil dari 1% maka
disebut sebagai varian langka (rare variants). Dengan kriteria ini, penyakit
genetik termasuk sebagai varian langka, tetapi perlu ditekankan di sini bahwa
frekuensi alel tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan efek gen terhadap
akibat delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari beberapa ratus hingga juta
pasang basa. Polimorfisme ini tidak selalu terlibat dalam munculnya penyakit
52
yang serius. Polimorfisme juga dapat berupa perbedaan hanya dalam satu atau
beberapa pasang basa dalam gen, di antara gen, atau di dalam intron. Variasi
bentuk ini dapat tidak memiliki konsekuensi apapun dan hanya terdeteksi saat
frame-shift), konversi gen, delesi, dan insersi. Banyak SNP juga telah ditemukan
Adanya polimorfisme akan tampak pertama kali pada tingkat fenotip. Variasi
dalam aktivitas enzim atau dalam laju eliminasi suatu bahan yang menjadi
substrat enzim terkait telah dijadikan sebagai dasar pengukuran adanya variasi
fenotip. Hal ini banyak dilakukan pada enzim-enzim mikrosom hati baik secara in
vivo maupun in vitro pada hewan. Pada manusia, polimorfisme tertentu dari
Contoh polimorfisme pada XMEs yaitu polimorfisme pada gen CYP1A1 yang
dan CYP1A1*4. Masing-masing varian yang diberi nomor setelah tanda bintang
paru terutama jika bersamaan dengan efek mutasi sinergistik dari gen p53, Ki-ras
atau GSTM1 (Gullstn, 2000). Polimorfisme juga terjadi pada gen CYP2A6 yang
menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Polimorfisme pada gen tersebut
sekarang menghasilkan sekitar 37 varian atau alael dan terus bertambah melalui
pada tingkat genotip tetapi juga pada tingkat fenotip berupa bertambah atau
berkurangnya dan bahkan pada beberapa varian, hilangnya aktivitas enzim sama
sekali (null mutation) yaitu pada alel CYP2A6*4. Mekanisme yang bertanggung
dimana saat crossing-over, gen CYP2A6 dari kromatid yang homolog berpasangan
tidak sejajar dengan CYP2A7 yang berada di samping gen CYP2A6 (flanking
region). Unequal croosing-over seperti ini bisa saja terjadi mengingat gen
CYP2A7 memiliki sekuens yang hampir persis sama dengan CYP2A6 dengan
tingkat kemiripan sebesar 96% jika dilihat dari sekuens nukleotida dalam
Pada tabel di bawah ini, tabel 2.3 disajikan 28 alel gen CYP2A6 beserta
dengan variasi sekuens nukleotida, dan efeknya in vivo maupun in vitro. Sebagian
besar varian dari normal atau wild type menghasilkan fenotip enzim dengan
54
aktivitas enzim yang dikodenya akibat duplikasi gen CYP2A6. Hampir semua
regulatory element seperti promoter (TATA box) atau proximal promoter elements
(CCAAT box). Satu varian alel, yaitu CYP2A6*4 merupakan akibat delesi
keseluruhan gen CYP2A6 yang disebabkan oleh adanya unequal crossing over
saat pembelahan meiosis pembentukan sel gamet dengan salah satu sel gamet
mendapatkan 2 gen CYP2A6 (duplikasi) dan sel gamet yang lain mengalami delesi
simpatis ini melalui mekanisme perifer dan sentral. Mekanisme aktivasi melalui
terutama kemoreseptor karotid, dan efek langsung pada batang otak serta sumsum
tulang belakang..
Tabel 2.3. Beberapa Macam Alel Gen CYP2A6 beserta Fenotipnya In Vivo dan In Vitro (Hukkanen et al., 2005)
55
56
katekolamin dari kelenjar adrenal dan ujung saraf pada dinding vaskular.
darah.
darah (misal kulit) dan vasodilatasi pada jaringan pembuluh darah di tempat lain
(misal jaringan otot). Vasokontriksi pada jaringan kulit akan mengurangi suhu
pada sistem respirasi, yaitu berupa konstriksi bronkus dan peningkatan produksi
mukus. Hal ini akan meningkatkan tahanan terhadap aliran udara pernapasan, dan
Laju metabolisme tubuh secara umum dipengaruhi juga oleh nikotin. Seorang
bukan perokok. Berat badan yang lebih rendah ini dipertahankan oleh keadaan
metabolisme yang tinggi dan nafsu makan yang tertekan. Berhentinya kebiasaan
merokok akan kembali meningkatkan nafsu makan dan asupan kalori, akibatnya
terjadi peningkatan berat badan selama 6-12 bulan setelahnya. Pada sistem
Dengan demikian nikotin terbukti memiliki efek analgesik (Britton et al., 2000).
57
halnya kokain, heroin, morfin atau amfetamin. Obat-obat adiktif tersebut memiliki
al., 2000).
yaitu tepatnya pada area ventral tegmental (VTA, Ventral Tegmental Area).
Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa lesi pada area ini menyebabkan
oleh sebab rangsangan kokain dan amfetamin menyebabkan efek euforia yang
Seperti yang telah disebutkan di atas, efek stimulan lokomotor nikotin dan
otak pada hewan hidup. Studi ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikotin
(Britton et al., 2000). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa nikotin dapat terikat
isoform yang terdapat pada banyak membran neuron di area-area berbeda dalam
otak, misalnya pada daerah VTA, hipokampus, dan area-area lain yang tersebar
Studi neurobiologi kecanduan obat tidak lepas dari fakta bahwa adiksi atau
sebab itu, perlu dimengerti bagaimana mekanisme respon otak yang terpengaruh
oleh paparan kronis obat adiktif. Hasil penelitian pada hewan coba, pemberian
peran sentral terhadap berkembangnya kecanduan. Dalam hal ini, sensititasi jalur
dan juga memfasilitasi proses menyukai obat menjadi kecanduan obat. Proses
(LTP) pada hipokampus sama seperti halnya mekanisme LTP saat kita berlatih
atau belajar. Pada dasarnya, sistem mesolimbik itu sendiri berperan dalam
perilakunya. Motivasi ini bisa berupa motivasi apetitif, yaitu motivasi mencari
dari sesuatu yang tidak enak, tidak nyaman atau sakit. Sistem ini dgambarkan
Motivasi apetitif
Input Rangsangan
reseptor Asosiasi proses pembelajaran
(perilaku) sensorik
Motivasi aversif
halnya pada pemberian amfetamin atau kokain. Selain pada nukleus akumbens,
menstimulasi jalur-jalur lain yang penting dalam menimbulkan efek adiksi. Jalur-
mensekresikan asam amino eksitatorik yaitu glutamat, dan asam amino inhbitorik,
yaitu asam -amino butirat (GABA, -amino butiric acid). Perangsangan pada
kognitif pada perokok, dan akibat inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa
desensititasi mulai terjadi pada banyak reseptor nikotinik yang memediasi efeknya
dalam otak. Dari hasil penelitian mutakhir telah terbukti bahwa kadar nikotin
darah perokok pada siang hari cukup untuk menimbulkan efek desensititasi
nukleus akumbens. Hal ini memiliki konsekuensi penting untuk hipotesis dopamin
neuron noradrenergik oleh konsentrasi nikotin yang tinggi dalam plasma perokok
sini bahwa nikotin memberikan efeknya dalam otak dengan berikatan dengan
reseptor nikotinik. Jadi, respon neuronal lainnya yang memiliki reseptor nikotinik
Paparan nikotin dalam jangka waktu lama juga telah diketahui menghambat
sensitivitas neuron pos sinaptik. Konsekuensinya, jika kadar nikotin dalam darah
menurun, yaitu perokok berhenti merokok, hambatan produksi 5-HT menurun dan
lagi untuk mencari kenikmatan, tetapi untuk menghindari efek tidak enak atau
Proses toleransi terhadap nikotin terjadi oleh sebab asupannya yang berulang,
dalam jangka waktu yang lama. Toleransi merupakan petunjuk bahwa perokok
gejala atau tanda bahwa proses toleransi telah terjadi adalah munculnya
2006).
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa target organ nikotin adalah
dengan FTND, terbukti bahwa FTND memiliki korelasi positif yang kuat
(koefisien korelasi 0,78, p<0,05) dengan domain motif toleransi pada kuesioner
63
FTND sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya proses toleransi yang
tinggi skor pada FTND, semakin tinggi pula ketergantungan fisik terhadap nikotin
yang dialaminya. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa kuesioner FTND hanya
ketergantungan oleh sebab atau motif lain misalkan motif otomatisasi, motif
Years
Sama halnya dengan sifat proses toleransi dari berbagai macam obat lainnya,
ketergantungan terhadap nikotin juga memiliki sifat yang tergantung waktu dan
dosis, makadari itu, untuk mengukur berapa banyak seorang rokok telah terpapar
dengan nikotin adalah dengan menggunakan indeks rokok-tahun, atau yang sering
disebut dengan istilah Cigarettes pack-years. Indeks ini merupakan produk jumlah
rokok yang dihisap perhari (dalam satuan bungkus, dengan asumsi satu bungkus
Cigarettes pack-year lebih tepat dan sering digunakan dalam ranah klinis
sebab memiliki arti yang representatif untuk mengukur jumlah paparan nikotin
BAB III
ketergantungan fisik ini beserta beberapa faktor risiko terkait telah semakin
banyak diketahui saat ini melalui banyak penelitian dan berbagai macam
garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal terdiri dari jenis kelamin, umur, adanya penyakit atau
obatan, dan tentu saja komposisi genetik individu. Faktor eksternal terdiri dari
fisik individu terhadap nikotin menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Faktor
genetik ini sebenarnya terdiri dari banyak gen yang memiliki peran masing-
transporter serotonin (5HTT), dan gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim
64
65
sitokrom 2a6. Gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim sitokrom 2a6
dan tentu saja menghasilkan fenotip yang berbeda-beda. Variasi fenotip yang
aktivitas enzim atau penurunannya dan variasi fenotip dalam hal perannya dalam
bervariasi, dan oleh sebab itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3.2. Konsep
- Suku - Budaya/pergaulan
- Faktor psikologis
- obat-obatan
- Umur
fisiologis tertentu
Ketergantungan fisik
terhadap nikotin
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu gen CYP2A6 lebih sering
yang tinggi daripada kelompok perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah.
67
BAB IV
METODE PENELITIAN
kasus kontrol (case-control study). Dalam penelitian ini akan dilihat peran gen
Subyek penelitian yang terdiri dari 56 orang yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi penelitian secara acak dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok
kontrol atau kelompok tanpa efek (ketergantungan fisik terhadap nikotin rendah)
gen CYP2A6.
67
68
Keterangan :
P = Populasi
S = Sampel
Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010
Populasi sampel adalah semua perokok (current smoker, yaitu perokok yang
aktif merokok sampai saat ini dan merokok minimal 20 hari dalam sebulan
nikotin yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan bersedia ikut serta dalam
penelitian ini.
1. Perokok berjenis kelamin laki-laki, keturunan Bali asli minimal sampai third
degree relatives (Kakek dan nenek orang Bali asli) dan berumur antara 20-50
tahun.
69
tanpa mentol minimal 20 hari dalam sebulan terakhir dan telah merokok
10 hari dalam sebulan terakhir, seperti misalnya sakit jantung, penyakit ginjal,
thiol
didapatkan proporsi faktor risiko pada kelompok kontrol (tanpa efek) sebesar
43,2%. Dengan menggunakan data proporsi faktor risiko pada kelompok subyek
tanpa tanpa efek (kontrol) ini dan clinical judgement sebesar 1,75 maka diperoleh
Q1 = 1 - P1 = 1 - 0,756 = 0,244
Q2 = 1 - P2 = 1 - 0,432 = 0,568
4.7. Variabel
atau inhibitor, penyakit pada hati, jenis rokok, jumlah rokok yang dihisap dan
lama merokok.
identifikasi subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi secara
berantai. Dari subyek yang telah teridentifikasi dan sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi tersebut didapatkan teman atau rekan yang memiliki
Hasil ukur :
3. Gen CYP2A6
di hepar.
Alat ukur : Ekstraksi DNA dari darah vena perifer sesuai dengan protokol
Cara ukur : Menilai adanya polimorfisme gen CYP2A6, dalam hal ini
Hasil ukur : Dengan melihat pola pemotongan enzim pada elektroforesis gel
dan 41 bp.
bp.
73
4.8.1. Persiapan
Dari seluruh subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan ketergantungan fisik tinggi (skor
kuesioner >4) dan kelompok dengan ketergantungan fisik yang rendah (kuesioner
bawah ini.. Setelah itu pada masing-masing kelompok, kontrol dan kasus
Pengukuran tingkat
ketergantungan menggunakan
kuesioner FTND
Ketergantungan Ketergantungan
fisik tinggi fisik rendah
2. Setelah terbentuk cairan yang homogen, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
3. Buang supernatan.
75
4. Ulangi langkah 1-3 sampai terbentuk pelet berwarna bening di dasar tabung
eppendorf.
Persiapan: sebelum langkah isolasi DNA dimulai, inkubasi elution buffer pada
suhu 70oC.
4. Ganti collection tube, tambahkan 500 l wash buffer, centrifuge 8000 rpm
selama 1 menit.
5. Ganti collection tube, tambahkan 400 l wash buffer, centrifuge 8000 rpm
selama 1 menit.
6. Ganti collection tube, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit atai 13000 rpm
selama 10 detik.
7. Ganti eppendeorf tube, tambahkan 100 l elution buffer, lalu centrifuge 8000
sebelumnya dari darah vena. Darah vena diambil sebanyak 3-5 ml menggunakan
spuit 5 ml dari vena di area cubiti kemudian dimasukkan dalam tabung sampel
darah yang mengandung EDTA. Ekstraksi DNA dilakukan sesuai dengan protokol
menggunakan forward primer dan reverse primer menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nakajima et al (2001), yaitu 5- CAC CGA AGT GTT CCC TAT
GCT G -3 dan 5- AAA ATG GGC ATG AAC GCC C -3. Campurkan DNA
sampel DNA genomik ke dalam campuran PCR (PCR mixture 25l) terdiri dari 1
dNTPs, dan 1 U Taq DNA polimerase. Setelah denaturasi awal pada suhu 94 o C
1 menit, annealing pada suhu 56o C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 o C
diikuti dengan ekstensi terakhir pada suhu 72o C selama 5 menit. PCR ini akan
menghasilkan duplikasi segmen DNA sepanjang 1338 pasang basa. Produk PCR
Delesi
Gen CYP2A7
Exon 1 Exon 9
Telomer Sentromer
5UTR 3UTR
Gambar 4.3. Gambar Skematis Letak Pemotongan Enzim Restriksi pada Gen
variabel kategorik, dan subyek yang tidak berpasangan, maka jenis analisis yang
digunakan adalah uji Chi-square jika syarat terpenuhi. Jika syarat uji Chi Square
Data yang didapatkan pada penelitian ini akan dianalisis sebagai berikut :
1. Analisis deskriptif
lain sebagainya.
3. Analisis Inferensial
b) Hubungan antara jumlah rokok per hari yang dihisap dengan skor
FTND
c) Hubungan antara jumlah rokok yang dihisap per Hari dengan lamanya
kebiasaan merokok
d) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan jumlah rokok per hari yang
dihisap
FTND
CYP2A6
Laporan penelitian akan dituangkan dalam bentuk tertulis dan disajikan dalam
BAB V
Jumlah perokok yang berhasil dikumpulkan dan sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 perokok. Di bawah ini akan
Rerata umur subyek dalam penelitian ini adalah sebesar 30,9 tahun. Rerata
lama kebiasaan merokok dan jumlah rokok yang dihisap/hari adalah berturut-turut
sebesar 11,7 tahun dan 13,2 batang/hari, sedangkan rerata skor FTND yang telah
paling muda yaitu 20 tahun sampai 50 tahun, sesuai dengan kriteria inklusi,
dengan rerata umur 30,9 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah
ini.
80
81
subyek perokok yang pendidikan SMU atau yang sederajat seperti STM ataupun
SMK adalah yang paling banyak, yaitu sebesar 44,9%. Data dalam tabel 5.2 di
5.1.4. Deskripsi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari
sebanyak 13,2 batang. Sebagian besar perokok, yaitu sebesar 51 orang (65,4%)
menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang rokok per harinya.
Tabel 5.3. Frekuensi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap
Jumlah Rokok/hari Frekuensi
13,2 batang 51 (65,4%)
> 13,2 batang 27 (34,6%)
Total 78 (100%)
80
82
Dari tabel 5.4 di bawah ini dapat diketahui bahwa 59% perokok telah
memiliki kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun sedangkan
Lebih dari separuh perokok (66,5%) yang menjadi subyek dalam penelitian
ini memiliki skor FTND (Fagerstrm Test for Nicotine Dependence) kurang dari
atau sama dengan 5. Tabel dibawah ini menyajikan data tersebut secara rinci.
Tabel 5.6. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND dengan Nilai Rata-rata
sebagai Cut-off Point
Skor FTND Frekuensi
4,4 43 (55,1%)
> 4,4 35 (44,9%)
Total 78 (100%)
Sebagian besar perokok memiliki gen CYP2A6 atau memiliki alel gen
yaitu sebesar 35,9% perokok memiliki alel delesi. Data selengkapnya mengenai
alel gen tersebut yang dimiliki perokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.7. Frekuensi Perokok Berdasarkan Alel Gen CYP2A6 yang Dimilikinya
Gen CYP2A6 Frekuensi
Positif Homozigot wild type 50 (64,1%)
Negatif Heterozigot wild type/deletion 21 (26,9%)
Homozigot deletion 7 (9,0%)
Total 78 (100%)
Marker Sampel
800 bp
759 bp
434 bp
104 bp
41 bp
Gambar 5.2 di atas merupakan ilustrasi hasil digesti sampel. Segmen DNA
hasil amplifikasi dengan teknik PCR sepanjang 1338 bp didigesti atau direstriksi
dengan enzim restiksi Eco81I dan menghasilkan banding pattern sesuai dengan
alel yang dimiliki oleh subyek. Jika subyek memiliki alel heterozygot maka
banding pattern nya ada 5 band yang terdiri dari band 800 bp, 759 bp, 434 bp,
104 bp dan 41 bp, sedangkan jika subyek memiliki alel homozygot wild type akan
memiliki pola 3 band yang terdiri dari band 800 bp, 434 bp, dan 104 bp. Alel
homozygot delesi akan memiliki pola 4 band yang terdiri dari band 759 bp, 434
5.1.8. Deskripsi Umur Perokok dan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap
Dari data dalam tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar perokok yang
menghisap rokok lebih dari 13,2 batang/hari berumur kurang dari atau sama
dengan 30,9 tahun. Sebaliknya, sebagian besar perokok yeng berumur lebih dari
30,9 tahun menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang.
Tabel 5.8. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Jumlah Rokok per Hari
Jumlah Rokok/hari
Total
Umur Perokok 13,2 > 13,2
30,9 tahun 30 (38,5%) 15 (19,2%) 45 (57,7%)
> 30,9 tahun 21 (26,9%) 12 (15,4%) 33 (42,3%)
Total 51 (65,4%) 27 (34,6%) 78 (100%)
Tabel 5.9 dibawah menunjukkan bahwa semakin tua umur perokok maka
skor FTND, yaitu kelompok 4,4 dan > 4,4 diuji normalitasnya menggunakan uji
4,4, data tidak berdistribusi normal (p<0,05), sedangkan pada kelompok skor
FTND dengan Levenes test menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak
Karena data bersifat nominal maka jenis uji statistik inferensial yang
digunakan adalah uji non-parametrik yaitu uji Chi-square. Dalam uji ini
Tabel 5.10. Hubungan antara Lama Kebiasaan Merokok dengan Skor FTND
Skor FTND
Total
Lama Merokok 4,40 > 4,40
11.7 tahun 30 (65,2%) 16 (34,8%) 46 (100%)
> 11.7 tahun 13 (40,6%) 19 (59,4%) 32 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)
5.3.2. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap dengan Skor
FTND
Data tabel di bawah menyatakan bahwa dari 27 orang yang menghisap rokok
lebih dari 13,2 batang per hari ada 20 orang (74,1%) yang memiliki
menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang per hari hanya 15
(29,4%) yang memiliki ketergantungan fisik tinggi yang terukur dari tingginya
Tabel 5.11. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari dengan Skor FTND
Skor FTND
Total
Jumlah rokok/hari 4,40 > 4,40
13,2 batang 36 (70,6%) 15 (29,4%) 51 (100%)
> 13,2 batang 7 (25,9%) 20 (74,1%) 27 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)
87
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap
5.3.3. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan
Jumlah rokok yang dihisap per harinya tidak memiliki hubungan yang
lain kedua variabel ini tidak saling mempengaruhi dan bebas satu sama lainnya.
Tabel 5.12. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan
Lamanya Kebiasaan Merokok
Lama Merokok (tahun)
Total
Jumlah rokok/hari 11,7 > 11,7
13,2 batang 34 (66,7%) 17 (33,3%) 51 (100%)
> 13,2 batang 12 (44,4%) 15 (55,6%) 27 (100%)
Total 46 (59,0%) 32 (41,0%) 78 (100%)
5.3.4. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari yang
dihisap
Hasil analisis data menunjukkan bahwa gen CYP2A6 pada perokok akan
meningkatkan konsumsi rokok per hari lebih dari 13,2 batang dibandingkan
dengan orang yang memiliki alel delesi. Pernyataan tersebut didukung oleh data
dalam tabel 5.13 di bawah ini dengan nilai p=0,02 (p<0,05) dan CI=95%.
Tabel 5.13. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari
Jumlah Rokok/hari
Total
Gen CYP2A6 13,2 > 13,2
Negatif (delesi) 23 (82,1%) 5 (17,9%) 28 (100%)
Positif (wild type) 28 (56,0%) 22 (44,0%) 50 (100%)
Total 51 (65,4%) 27 (34,6%) 78 (100%)
88
Dari data di bawah ini, dapat diketahui bahwa dari 50 orang yang memiliki
alel homozygot wild type ada 29 orang (58,0%) di antaranya yang memiliki angka
ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tinggi, sedangkan dari 28 orang yang
memiliki alel delesi pada gen yang sama hanya ada 6 orang (21,4%) yang
memiliki angka ketergantungan fisik yang tinggi. Hubungan antar variabel ini
telah diuji dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan hasil p=0,002
Tabel 5.14. Hubungan antara Ada atau Tidaknya Gen CYP2A6 dan Skor FTND
Skor FTND
Total
Gen CYP2A6 4,40 > 4,40
Negatif (delesi) 22 (78,6%) 6 (21,4%) 28 (100%)
Positif (wild type) 21 (42,0%) 29 (58,0%) 50 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)
Perokok yang memiliki gen CYP2A6 memiliki risiko sebesar 5,1 kali untuk
FTND
parametris tidak terpenuhi, yaitu data tidak berditribusi normal dan varians antar
kelompok tidak homogen. Uji non-parametris yang digunakan di sini adalah uji
kelompok skor FTND > 4,4 lebih tinggi secara signifikan daripada nilai cigarettes
89
pack-years pada kelompok skor FTND 4,4 dengan nilai p=0,000 (p<0,05, CI =
CYP2A6
cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6 positif lebih tinggi secara
BAB VI
PEMBAHASAN
Latar belakang pendidikan subyek adalah dari SD sampai S1, dengan jumlah
terhadap nikotin yang tergolong berat, yaitu memiliki skor lebih dari 4, sedangkan
ketergantungan fisik yang rendah. Dari 35 orang yang memiliki skor FTND lebih
dari empat, 20 di antaranya (57,1%) menghisap rokok lebih dari 13 batang per
harinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor FTND maka semakin
tinggi pula jumlah rokok yang dihisap per harinya, demikian juga sebaliknya,
walaupun berdasarkan teori yang ada jumlah rokok yang dihisap per hari saja
tidaklah cukup digunakan sebagai tolak ukur ketergantungan fisik yang diderita
perokok terhadap nikotin. Banyak perokok lain yang menghisap rokok dengan
jumlah besar dalam sehari, namun tidak menunjukkan adanya gejala dan tanda
90
80
91
satu dari tiga belas motif perokok. Akan tetapi, hal ini tidaklah menyangkal
kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang tinggi
(p<0,05).
tua umur perokok maka semakin tinggi skor FTND nya. Kecenderungan antara
umur dan ketergantungan fisik ini tidaklah berhubungan langsung. Sebab, kriteria
current smoker mengharuskan perokok yang menjadi subyek adalah orang yang
aktif merokok saat penelitian berlangsung, tentu saja orang yang berumur lebih
tua, banyak yang memiliki kebiasan merokoknya sejak dia masih muda, dengan
orang yang umurnya masih muda, dengan asumsi mereka memulai merokok pada
umur yang lebih kurang sama. Tentu saja, dengan demikian, orang yang berumur
tua memiliki skor FTND yang relatif lebih tinggi dibandingan perokok umur
muda.
kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun. Analisis data ini
jumlah rokok per hari yang dihisap, lamanya kebiasaan merokok yang dimiliki
perokok terhadap nikotin. Faktor waktu (time) dan dosis (dose) dapat berdiri
yang sifatnya time and dose dependent akan dijelaskan pada sub bab di bawah ini.
normal (wild type) dalam keadaan homozigot, sedangkan sisanya, yaitu 21 orang
(26,9%) memiliki genotip heterozigot wild type / delesi dan 7 orang (9,0%)
dengan genotip homozigot delesi. Dari data ini dapat dihitung bahwa frekuensi
frekuensi ini lebih kurang sesuai dengan perkiraan frekuensi alel di populasi
menurut hasil-hasil penelitian terhadap gen yang sama di Asia (Hukkanen et al.,
2005).
CYP2A6
sifatnya poligenik dan multifaktorial yang berarti bahwa ada banyak gen dan
faktor lingkungan ikut terlibat sebagai faktor determinan. Faktor genetik tidak
dapat berdiri sendiri sebagai faktor penyebab, demikian juga halnya faktor
lingkungan tidak akan bisa memberikan pengaruhnya pada fenotip jika tidak
dimediasi oleh komponen genetik yang membentuk genotip individu. Selain itu,
fluktuasi hasil interaksi antar keduanya juga sangat penting dalam menghasilkan
93
memberikan respon atau fenotip yang berbeda pada individu yang sama dalam
biologis oleh sebab adanya paparan berulang dalam jangka waktu tertentu yang
disebut dengan toleransi (OBrian, 2006). Dengan demikian, proses toleransi yang
telah terjadi dapat digunakan sebagai patokan bahwa ketergantungan fisik telah
terjadi. Proses ini dapat diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrm Test
Hasil analisis data pada perokok yang menjadi subyek dalam penelitian ini
terbukti bersifat time and dose dependent, artinya bahwa jumlah rokok yang besar
ketergantungan, baik secara simultan maupun skuensial. Fakta hasil penelitian ini
sesuai dengan teori yang diberikan oleh OBrian (2006), bahwa sifat nikotin
dalam menimbulkan ketergantungan sebanding dengan waktu dan dosis (time and
dose dependent).
Proses ini dapat diterangkan bahwa dengan adanya paparan yang berulang
akan terjadi akumulasi nikotin dalam darah yang cukup tinggi dan konstan.
Akumulasi nikotin yang cukup tinggi akan memulai proses downregulation pada
94
seperti yang dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Akibatnya, terjadi pergeseran
Penjelasan mengenai fungsi enzim Cyp2a6 pada bab tinjauan pustaka dapat
memberikan gambaran yang sangat jelas tentang arti pentingnya enzim ini dalam
kemudian dieksresikan keluar tubuh. Tentu saja, aktivitas enzim ini sangat
bahasan penelitian ini (Robertson et al., 2000; Oscarson, 2001; MacDougall et al.,
2003; Benowitz et al., 2004; Hukkanen et al., 2005). Pengaruh dapat berupa
gen bertanggung jawab terhadap variasi fenotip berupa aktivitas enzim ini.
rokok. Hasil analisis tersebut sesuai dengan teori bahwa dengan adanya aktivitas
enzim Cyp2a6 yang tinggi, maka kadar nikotin dalam darah perokok akan cepat
turun di bawah ambang batas rangsang, sehingga perokok akan cenderung lebih
sering merokok untuk menghindari efek tidak enak yang ditimbulkan akibat
perbandingan asupan nikotin pada individu yang memiliki gen pengkode enzim
Cyp2a6 aktif dan individu tanpa gen CYP2A6 atau mengalami delesi
95
Asupan Nikotin
Konsentrasi Nikotin dalam
Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
darah
Waktu
Asupan Nikotin
Konsentrasi Nikotin dalam
Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
darah
Waktu
Gambar 6.1. Perbandingan Asupan Nikotin antara Perokok dengan Gen CYP2A6
(+) dan Gen CYP2A6 (-) atau Mengalami Delesi. Asupan nikotin pada perokok
yang memiliki gen CYP2A6 secara teoritis lebih sering dibandingkan dengan
perokok tanpa gen CYP2A6 sebab fluktuasi kadar nikotin dalam darah pada
perokok dengan gen CYP2A6 menunjukkan amplitudo yang tinggi.
96
Kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang
untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih besar dibandingkan dengan perokok
dengan gen CYP2A6 yang cacat. Selanjutnya, konsumsi rokok dalam jumlah
Skema mekanisme peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko yang memicu
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin dapat dilihat pada gambar 2.17 di
atas. Gen ini meningkatkan risiko perokok sebesar 5,06 kali untuk menderita
Meskipun penelitian ini tidak di desain umtuk mengetahui peran gen CYP2A6
dalam meningkatkan lama kebiasaan merokok, namun dari data hasil analisis
komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok perokok dengan dan tanpa
gen ini dan antar kelompok perokok dengan skor FTND tinggi (> 4,4) dan rendah
rokok per harinya, meningkatkan lama kebiasaan merokok atau keduanya secara
simultan (p=0,016, CI = 95%). Memang secara logis, semakin banyak rokok yang
97
dikonsumsi per hari, semakin tinggi pula ketergantungan yang akan diderita, dan
semakin tinggi ketergantungan maka semakin susah orang tersebut untuk berhenti
dengan skema yang ringkas hubungan antar variabel seperti gambar 6.3 di bawah
ini.
98
Konsumsi rokok/hari
Gen CYP2A Skor FTND
Lama kebiasaan merokok
Gambar 6.3. Hubungan antar Variabel dalam Penelitian. Garis putus-putus yang
menghubungkan antara gen CYP2A6 dengan lama kebiasaan merokok
menunjukkan bahwa hubungan tersebut belum dapat dibuktikan dalam penelitian
ini.
BAB VII
7.1. Simpulan
1. Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara gen CYP2A6 dengan
nikotin.
3. Selain konsumsi rokok per hari yang tinggi, lamanya kebiasaan merokok juga
merupakan faktor risiko bagi ketergantungan fisik yang berat terhadap nikotin.
Akan tetapi, apakah gen CYP2A6 juga memiliki hubungan yang positif dengan
lamanya kebiasaan merokok tidak dapat disimpulkan dari penelitian ini, sebab
99
80
100
7.2. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah
sebagai berikut:
analisis yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui peran gen CYP2A6
lebih jauh.
RFLP tetapi juga menggunakan metode sequencing sehingga jenis alel dapat
DAFTAR PUSTAKA
Arking, R. 2005. The Biology Of Aging, 3rd Edition. New York: Oxford
University Press. p. 9-11.
Britton, J., Bates, C., Channer, K., Cuthbertson, L., Godfrey, C., Jarvis, M. &
Mcneill, A. 2000. Nicotine Addiction in Britain. London: Royal College of
Physician.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., & Setyonaluri, D. 2008. Ekonomi
Tembakau di Indonesia. Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Baskoro, A.; Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah
Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric
Update Symposium. Bali 11-13 April 2008.
Benowitz, N.L. & Fu, H. 2007. Smoking & Occupational Health. In J. Ladou
(Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p. 710-718).
New York: McGraw-Hill.
Benowitz, N.L., Herrera, B. & Jacob III, P. 2004. Mentholated Cigarette Smoking
Inhibits Nicotine Metabolism. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 310, No. 3
Benowitz, N.L. & Jacob III, P. 1994. Metabolism of nicotine to cotinine studied
by a dual stable isotope method. Clinical Pharmacology and Therapeutics.
Vol. 56, No. 5.
Benowitz, N.L., Jacob III, P., Fong, I. & Gupta, S. 1993. Nicotine Metabolic
Profile in Man: Comparison of Cigarette Smoking and Transdermal
Nicotine. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics.
Vol. 268, No. 1.
Boardman, J.D., Onge, J.M.S., Haberstick, B.C., Timberlake, D.S. & Hewitt, J.K.
2006. Schools and The Heritability of Smoking Behaviors: Theoretical and
Methodological Considerations. Working Paper. Boulder: IBS University
of Colorado.
102
Botham, K.M. & Mayes, P.A. 2006. Bioenergetic: The Role of ATP. In R.K.
Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 88-93). New York: McGraw-Hill.
Caron, L., Karkazis, K., Raffin, T.A., Swan, G. & Koenig, B.A. 2005. Nicotine
addiction through a neurogenomic prism: Ethics, public health, and
smoking. Nicotine Tob Res. Vol. 7, No. 2.
Davies, G.E. & Soundy, T.J. 2009. The Genetics of Smoking and Nicotine
Addiction, 2009: South Dakota Medicine. (Online), (Available from:
www.sdsma.org/documents/Davies.pdf, accessed June, 20th 2009).
Dempsey, D.A. & Benowitz, N.L. 2001. Risks and benefits of nicotine to aid
smoking cessation in pregnancy. Drug Safety: An International Journal of
Medical Toxycology and Drug Experience. Vol. 24, No. 4.
Edwards, R.J., Price, R.J., Watts. P.S., Renwick, A.B., Tredger, J.M., Boobis,
A.R. & Lake. B.G. 2003, Induction Of Cytochrome P450 Enzymes in
Cultured Precision-Cut Human Liver Slice. Drug Metabolism and
Disposition. Vol. 31, No. 3.
Fukami, T., Nakajima, M., Yamanaka, H., Fukushima, Y., McLeod, H.L. &
Yokoi, T. 2007. A Novel Duplication Type of CYP2A6 Gene in African-
American Population. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 35, No. 4.
Gonzalez, F.J. & Tukey, R.H. 2006. Drug Metabolism. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 71-91). New York: McGraw-Hill.
103
Heatherton, T.F., Kozlowski, L.T., Frecker, R.C. & Fagerstrom, K.O. 1991. The
Fagerstrm Test for Nictoine Dependence: A revision of the Fagerstrm
Tolerance Questionnaire. British Journal of Addictions. Vol. 86.
Hoffman, D. & Hoffman, I. 1999. Chemistry and Toxicology, 1999: Smoking and
Tobacco Control Monograph. (Online), (Available from: http://
dccps.nci.nih.gov/TCRB/monographs/9/m9_3.PDF, accessed June, 23rd
2009).
Hukkanen, J., Jacob III, P. & Benowitz, N.L. 2005. Metabolism and Disposition
Kinetics of Nicotine. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 57, No. 1.
Jarvis, M.J., Boreham, R., Primatesta, P., Feyerabend, C. & Bryant A. 2001.
Nicotine Yield From Machine-Smoked Cigarettes and Nicotine Intakes in
Smokers: Evidence From a Representative Population Survey. Journal of
the National Cancer Institute. Vol. 93, No. 2.
Kemp, P.M., Sneed, G.S., George, C.E. & Distefano, R.F. 1997. Postmortem
distribution of nicotine and cotinine from a case involving the simultaneous
administration of multiple nicotine transdermal systems. Journal of
Analytical Toxicology. Vol. 21, No. 4.
Kennely, P.J. & Rodwell, V.W. 2006. Proteins: Myoglobin & Hemoglobin. In
R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 41-48). New York: McGraw-Hill.
Kuschner, W.G. & Blanc, P.D. 2007. Gases & Other Airborne Toxicants. In J.
Ladou (Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p.
515-531). New York: McGraw-Hill.
Madan, A., Graham, R.A., Carroll. K.M., Mudra, D.R., Burton, L.A., Krueger,
L.A., Downey, A.D., Czerwinski, M., Forster, J., Ribadeneira, M.D., Gan,
L.S., LeCluyse, E.L., Zech, K., Robertson, P.Jr., Koch, P., Antonian,
L., Wagner, G., Yu, L. & Parkinson, A. 2003. Effects of Prototypical
Microsomal Enzyme Inducers on Cytochrome P 450 Expression in
Cultured Human Hepatocytes. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 31,
No.4.
Markides, K.S. 2007. Encyclopedia of Health and Aging. Los Angeles: SAGE
Publications. p. 1-2.
McCance, K.L. & Grey, T.C. 2006. Altered Cellular and Tissue Biology. In K.L.
McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th Edition, (p. 82-86).
Canada: Elsevier Mosby.
McCance, K.L., Forshee, B.A. & Shelby, J. 2006. Altered Cellular and Tissue
Biology. In K.L. McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th
Edition, (p. 314-315). Canada: Elsevier Mosby.
McDougall, J.M., Fandrick, K., Zhanx, X., Seravin, S.V. & Cashman, J.R. 2003.
Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
105
McKee, T. & McKee. J.R. 2003. Aerobic Metabolism II: Electron Transport and
Oxidative Phosphorylation. Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3rd
Edition, (p. 298-330). Philadelphia: McGraw-Hill.
McPhee, S.J & Pignone, M. 2007. Disease Prevention and Health Promotion. In
S.J. McPhee, M.A, Papadakis, & L.M. Tierney Jr (Eds), Current Medical
Diagnosis and Treatment, 47th Edition, (p. 1-16). New York: McGraw-
Hill.
Messina, E.S., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 1997. A Major Role for CYP2A6 in
Nicotine C-Oxidation by Human Liver Microsomes. The Journal Of
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 282, No. 8.
Minematsu, N., Nakamura, H., Iwata, M., Tateno, H., Nakajima, T., Takahashi,
S., Fujishima, S. & Yamaguchi. K. 2003. Association of CYP2A6 Deletion
Polymorphism with Smoking Habit and Development of Pulmonary
Emphysema. Thorax. Vol. 58.
Munaf, M.R., Clark, T.G., Johnstone, E.C.; Murphy, M.F.G. & Walton, R.T.
2003. The Genetic Basis for Smoking Behavior: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Nicotine and Tobaco Research. Vol. 6, No. 4.
Murray, R.K. 2006. Metabolism of Xenobiotics. In R.K. Murray, D.K. Granner, &
V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p.
633-640). New York: McGraw-Hill.
Nakajima, M., Yamamoto, T., Nunoya, K., Yokoi, T., Nagashima, K., Inoue, K.,
Funae, Y., Shimada, N., Kamataki, T. & Kuroiwa, Y. 1996.
Characterization of CYP2A6 Involved in 3-Hydroxylation of Cotinine in
Human Liver Microsomes. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 277, No. 2.
Nakajima, M., Kwon, J.T., Tanaka, N., Zenta, T., Yamamoto, Y., Yamamoto, H.,
Yamazaki, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y. & Yokoi, T. 2001. Relationship
Between Interindividual Differences in Nicotine Metabolism and CYP2A6
Genetic Polymorphism in Humans. Clinical Pharmacology and
Therapeutics. Vol. 69. No. 1.
106
Nussbaum, R.L., McInnes, R.R. & Willard, H.F. 2007. Genetic Variation in
Individuals and Population: Mutation and Polymorphism. In R.L.
Nussbaum, R.R. McInnes & H.F. Willard (Eds), Thompson and Thompson
Genetics in Medicine, 7th Edition, (p. 175-199). Philadelphia: Saunders
Elsevier.
OBrian, C.P. 2006. Drug Addiction and Drug Abuse. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 607-628). New York: McGraw-Hill.
Pankow, J.F., Tavakoli, A.D., Luo, W. & Isabelle, L.M. 2003. Percent free base
nicotine in the tobacco smoke particulate matter of selected commercial
and reference cigarettes. Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
Perry, D.C., Davila-Garcia, M,, Stockmeier, C.A. & Kellar, K.J. 1999. Increased
Nicotinic Receptors in Brains from Smokers: Membrane Binding and
Autoradiography Studies. The Journal Of Pharmacology and Experimental
Therapeutics. Vol. 289, No. 3.
Patterson, F., Benowitz, N., Shields, P., Kaufmann, V., Jepson, C., Wileyto, P.,
Kucharski, S. & Lerman, C. 2003. Individual Differences in Nicotine
Intake per Cigarette. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Vol.
12.
Pianezza, M.L., Sellers, E.M. & Tyndale, R.F. 2001. Nicotine metabolism defect
reduces smoking. Nature. Vol. 393, No. 750.
Piper, M.E., Piasecki, T.M., Federman, E.B., Bolt, D.M., Smith, S.S., Fiore, M.C.
& Baker, T.B. 2003. A multiple motives approach to tobacco dependence:
The Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives (WISDM-68).
Journal of Consulting and Clinical Psychology.
Rae, J.M., Johnson, M.D., Lippman, M.E. & Flockhart, D.A. 2001. Rifampin Is a
Selective, Pleiotropic Inducer of Drug Metabolism Genes in Human
Hepatocytes: Studies with cDNA and Oligonucleotide Expression Arrays.
The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 299,
No. 3.
107
Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin, L., Zeman, M., Sellers, E.M. & Tyndale,
R.F. 2000. Duplications and Defects in The CYP2A6 Gene: Identification,
Genotyping, and In Vivo Effects on Smoking. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 58, No. 4.
Relling, M.V. & Giacomini, K.M. 2006. Pharmacogenetics. In L.L. Brunton, J.S.
Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological
Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 93-115). New York: McGraw-Hill.
Robertson, P., Decory, H.H., Madan, A. & Parkinson, A. 2000. InVitro Inhibition
and Induction of Human Hepatic Cytochrome P450 Enzymes by
Modafinil. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 28, No. 6.
Schneider, N.G., Olmstead, R.F., Franzon, M.A. & Lunell, E. 2001. The nicotine
inhaler: clinical pharmacokinetics and comparison with other nicotine
treatments. Clinical Pharmacokinetics. Vol. 40, No. 9.
Schroeder, P., Schieke, F.M. & Morita, A. 2006. Premature Skin Aging by Infra
Red Radiation, Tobacco Smoke and Ozone. In B.A. Gilchrest & J.
Krutmann (Eds), Skin Aging, 1st Edition, (p. 47-48). Berlin: Springer.
Stanner, S., Thompson, R. & Buttriss, J. 2009. Healthy Aging: The Role of
Nutrition and Life Style. United Kingdom: Wiley-Blackwell. p. 30-34.
Streppel, M.T., Boshuizen, H.C., Ock, M.C., Kok, F.J. & Kromhout D. 2007.
Mortality and life expectancy in relation to long-term cigarette, cigar and
pipe smoking: the Zutphen Study. Tobacco Control. Vol. 16, No. 2.
Thompson, M.A., Moon, E., Kim, U.J., Xu, J., Siciliano, M.J. & Weinshilboum,
R.M. 1999. Human indolethylamine N-methyltransferase: cDNA cloning
and expression, gene cloning, and chromosomal localization. Genomics.
Vol. 61, No. 3.
108
Ting, S., Ziping, B., Qing-Yu, Z., Smith, T.J., Jun-Yang, H. & Xinxin, D. 2000.
Human Cytochrome P450 CYP2A13: Predominant Expression in the
Respiratory Tract and Its High Efficiency Metabolic Activation of a
Tobacco-specific Carcinogen, 4-(Methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-
butanone. Cancer Research. Vol. 60.
Wenjiang, Z., Kilicarslan, T., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 2001. Evaluation of
Methoxalen, Tranylcypromine, and Tryptamine as Specific and Selective
CYP2A6 Inhibitors in Vitro. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 26,
No. 6.
Yamasaki, H., Inoue, K., Hashimoto, M. & Shimada, T. 1999. Roles of CYP2A6
and CYP2B6 in nicotine C-oxidation by human liver microsomes. Archives
of Toxicology. Vol. 73, No. 2.
Yoshida, R., Nakajima, N., Watanabe, Y., Kwon, J. & Yokoi, T. 2002. Genetic
Polymorphisms in Human CYP2A6 Gene Causing Impaired Nicotine
Metabolism. Journal Of Clinical Prahmacology. Vol. 54, p. 511-517.
Young, I.D. 2005. Genes and Population. In I.D. Young (Eds), Medical Genetics,
1st Edition, (p. 136-151). New York: Oxford University Press, Inc.
109
Lampiran 1
1. Waktu Penelitian
Bulan
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
Aktivitas
Persiapan
Pengumpulan sampel
Pengolahan sampel
Analisis data
Penyusunan hasil
2. Biaya Penelitian
Pengumpulan sampel: Pengolahan
Honor Asisten : Rp. 4.000.000,- Biaya Isolasi DNA : Rp. 2.567.000,-
Bahan habis pakai Biaya PCR & Digesti : Rp. 937.000,-
Spuit 3 cc : Rp. 150.000 ,- Biaya Elektroforesis : Rp. 570.000,-
Tabung EDTA : Rp. 200,000,- Bahan Habis Pakai : Rp. 5.742.500,-
Alcohol swab : Rp. 50.000,- Biaya Bench Fee : Rp. 2.500.000,-
Plester : Rp. 100.000,- Total : Rp.12.316.500,-
Total : Rp. 4.500.000,- Total Pengeluaran : Rp. 12.316.500,- + Rp 4.500.000,- = Rp. 16.816.500,-
109
80
110
Lampiran 2
80
111
Lampiran 3
Selamat pagi,
Nikotin. Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk
merokok.
Dalam penelitian ini anda akan menjalani diminta mengisi kuesioner untuk
mengetahui seberapa jauh anda tergantung secara fisik terhadap rokok dan
selanjutnya akan menjalani pemeriksaan darah yang diambil dari pembuluh darah
di lengan anda untuk memastikan ada atau tidaknya faktor keturunan yang saya
maksudkan sebelumnya. Contoh darah yang saya dapatkan dari anda akan
Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti anda
suntikan, ataupun rasa nyeri. Biasanya komplikasi ini tidak menimbulkan dampak
yang serius dan tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Jika terjadi
112
komplikasi lain akibat tindakan yang saya lakukan, maka kompensasi biaya
Dengan mengikuti penelitian ini, maka akan dapat ditentukan apakah faktor
tergantung terhadap nikotin dalam rokok. Dengan demikian, hasil penelitian ini
dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan suatu strategi pengobatan atau obat
Saya akan mencatat identitas anda (nama, jenis kelamin, usia, suku, alamat,
nomor telepon yang bisa dihubungi) pada lembar penelitian. Selanjutnya saya
Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Sebagai tanda terima
Pada penelitian ini identitas anda disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota
peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data
akan dijamin sepenuhnya. Bila data anda dipublikasi kerahasiaan identitas anda
tetap dijaga.
tekan, kesemutan atau untuk mendapat penjelasan lebih lanjut anda dapat
menghubungi saya dr. Hendy Wijaya pada nomor 087861102341, Jl. Teuku Umar
141 Denpasar. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan
anda.
80
113
Lampiran 4
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Nomor Telp. :
Peserta penelitian
Telp. 087861102341
Saksi
114
Lampiran 5
1. Berapa lama jarak waktu antara Anda bangun pagi dan rokok pertama yang
anda hisap?
a) Setelah 60 menit atau satu jam (0)
b) 31-60 menit (1)
c) 6-30 menit (2)
d) Dalam waktu 5 menit (3)
2. Apakah Anda merasa kesulitan untuk tidak merokok di tempat-tempat tertentu
bebas rokok?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)
3. Aktivitas merokok saat apa yang paling susah Anda hilangkan?
a) Rokok pertama di pagi hari (1)
b) Selain pagi hari (0)
4. Berapa batang rokok per hari yang Anda hisap?
a) 10 batang atau kurang (1)
b) 21-30 batang (2)
c) 31 batang atau lebih (3)
5. Apakah Anda lebih sering merokok di saat-saat setelah bangun tidur
dibandingkan saat lain?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)
6. Apakah Anda tetap merokok meskipun sakit dan harus beristirahat sepanjang
hari?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)
Interpretasi:
0-2 : Ketergantungan fisik sangat rendah 6-7 : Ketergantungan fisik tinggi
3-4 : Ketergantungan fisik rendah 8-10 : Ketergantungan fisik sangat
5 : Ketergantungan fisik sedang tinggi
115
Lampiran 6
>11.7 13 19 32
Total 43 35 78
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 4.614 1 .032
b
Continuity Correction 3.673 1 .055
N of Valid Cases 78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 14.36.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 1.605 1.004 2.566
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .586 .359 .955
N of Valid Cases 78
116
Lampiran 7
> 13,2 7 20 27
Total 43 35 78
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 14.236 1 .000
b
Continuity Correction 12.487 1 .000
N of Valid Cases 78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 12.12.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Odds Ratio for Klasifikasi jumlah rokok (<= 6.857 2.398 19.606
13,2 / > 13,2)
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 2.723 1.405 5.277
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .397 .246 .642
N of Valid Cases 78
117
Lampiran 8
Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Lama Kebiasaan Merokok
> 13,2 12 15 27
Total 46 32 78
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.603 1 .058
b
Continuity Correction 2.743 1 .098
N of Valid Cases 78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 11.08.
b. Computed only for a 2x2 table
118
Lampiran 9
Positif 28 22 50
Total 51 27 78
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 5.420 1 .020
b
Continuity Correction 4.326 1 .038
N of Valid Cases 78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.69.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
N of Valid Cases 78
119
Lampiran 10
Positif 21 29 50
Total 43 35 78
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 9.704 1 .002
b
Continuity Correction 8.282 1 .004
N of Valid Cases 78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.56.
Risk Estimate
95% Confidence Interval
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 1.871 1.281 2.732
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .369 .175 .780
N of Valid Cases 78
120
Lampiran 11
FTND
Ranks
Klasifikasi Skor Mean
FTND N Rank Sum of Ranks
Total 78
Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun
Mann-Whitney U 401.500
Wilcoxon W 1347.500
Z -3.531
Lampiran 12
CYP2A6
Ranks
Interpretasi
N Mean Rank Sum of Ranks
Hasil
Total 78
Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun
Mann-Whitney U 468.500
Wilcoxon W 874.500
Z -2.414
Lampiran 13
Marker
1338 bp
Marker
800 bp
434 bp
104 bp