Anda di halaman 1dari 122

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Populasi orang berusia lanjut di dunia mengalami pertumbuhan yang cepat

saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang.

Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar

orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang

berkembang (Beers, 2005). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010, di

Indonesia terdapat 23.992.552 penduduk usia lanjut. Diperkirakan pada tahun

2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34% (Baskoro dan Konthen,

2008).

Pertumbuhan populasi ini merupakan hasil bertambah panjangnya rata-rata

harapan hidup manusia dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan atau kedokteran. Namun,

bertambahnya rata-rata usia harapan hidup ini juga menghadirkan masalah-

masalah baru di bidang kesehatan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, yaitu

meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung

koroner, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru dan lain-lain. Banyak

penyakit degeneratif (penyakit akibat penurunan fungsi sruktur jaringan atau

organ tubuh seiring proses penuaan) yang muncul sangat berkaitan dengan gaya

hidup seseorang, salah satunya adalah perilaku merokok.

1
80
2

Merokok merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas prematur paling

penting pada populasi dunia yang seharusnya bisa dicegah. Angka kematian dini

ini diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada

tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan

sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2007).

Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kematian setiap tahunnya pada tahun

2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai

10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Data hasil penelitian

juga menunjukkan bahwa perilaku merokok dapat mengurangi angka harapan

hidup sampai 8,8 tahun (Streppel, et al., 2007) . Di Indonesia, menurut data hasil

laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57

juta orang (Barber et al., 2008). Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu

akan mengalami kematian akibat berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya

dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al.,

2008).

Rokok menyebabkan mortalitas secara tidak langsung dengan meningkatkan

insiden berbagai macam penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu

sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem

muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Burns, 2005; Tyndale dan

Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Kerusakan

pada berbagai macam sistem organ tersebut disebabkan oleh berbagai macam zat

toksik, iritan dan radikal bebas yang ada dalam asap rokok. Berbagai zat dalam

asap rokok ini dapat mempercepat progresivitas proses penuaan intrinsik melalui
3

akumulasi kerusakan seiring berjalannya waktu dan menimbulkan berbagai

macam penyakit atau gangguan terkait proses penuaan, misalnya penyakit jantung

koroner, stroke, osteoporosis, kanker, penyakit paru obstruktif, serta mempercepat

proses skin aging berupa munculnya garis-garis keriput, dan meningkatnya proses

degradasi kolagen. (Burns, 2005; Schroeder et al., 2006; Benowitz dan Fu, 2007)

Dari efek rokok pada berbagai sistem organ tersebut, angka mortalitas

terbesar adalah akibat penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%,

penyakit kanker sebesar 28% dan akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),

yaitu sebesar 26%. Oleh sebab efek destruktif rokok yang sebesar itu, 70-80%

perokok mengungkapkan keinginannya untuk berhenti merokok, namun dari

angka itu hanya 35% orang yang berusaha untuk berhenti merokok, dan akhirnya

hanya 5% yang berhasil (Burns, 2005; Barber et al., 2008). Berbagai kendala juga

dihadapi oleh para dokter dalam membantu para perokok untuk berhenti merokok

mengingat angka relaps yang tinggi (Rutter, 2006).

Peristiwa di atas tidak terlepas dari fakta bahwa perilaku merokok erat

kaitannya dengan faktor ketergantungan. Faktor ketergantungan yang dimaksud

adalah ketergantungan fisik perokok pada nikotin. Dari sini bisa dikatakan bahwa

ketergantungan fisik pada nikotin merupakan faktor determinan seseorang

mempertahankan perilaku merokok. Saat merokok, nikotin yang ada pada daun

tembakau akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian

masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organ hanya dalam

waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; OBrian, 2006). Di dalam otak, nikotin

menginduksi pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter, terutama dopamin di


4

brain reward system pada sistem limbik. Aktivitas nikotin pada brain reward

system ini menimbulkan perilaku apetitif individu terhadap rokok. Namun, seiring

dengan meningkatnya durasi paparan nikotin, motivasi apetitif (motivasi mencari

atau mendekati stimulus yang menyenangkan) berubah menjadi aversif (motivasi

menghindar dari stimulus yang menyakitkan atau tidak menyenangkan) melalui

mekanisme negative reinforcement karena adanya proses toleransi, dan dari sini

muncul ketergantungan fisik (OBrian, 2006). Meskipun mekanisme dasar

ketergantungan fisik ini telah diketahui sejak lama, masih banyak faktor lain yang

berperan dalam patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin belum

diketahui atau belum dapat dijelaskan secara pasti, mengingat sifatnya yang

multifaktorial.

Pada dasarnya, ada dua macam faktor yang mempengaruhi ketergantungan

fisik individu terhadap rokok, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Faktor

lingkungan terdiri dari tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, pergaulan dan

sebagainya. Dahulu diperkirakan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang

jauh lebih penting terhadap munculnya ketergantungan fisik perokok terhadap

nikotin, tetapi menurut hasil penelitian terakhir, faktor genetik memiliki

kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale dan Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung

oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang

menunjukkan bahwa kecenderungan untuk munculnya ketergantungan fisik

terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar

42-80% (Henningfield et al., 2000; Caron et al., 2005; Boardman et al., 2006).
5

Di antara banyak gen kandidat yang berperan atau diduga berperan dalam

ketergantungan fisik terhadap nikotin, terdapat gen CYP2A6, yaitu gen yang

mengkode enzim sitokrom P450 2a6. Enzim ini bertanggung jawab terhadap 70-

90% metabolisme nikotin dalam darah menjadi cotinine, dan dengan demikian

menghilangkan atau menurunkan efek nikotin untuk memberikan stimulus pada

brain reward system (Gullstn 2000; Rao et al., 2000; Hukkanen et al., 2005;

Davies dan Soundy, 2009). Beberapa penelitian terakhir telah mengungkap

adanya polimorfisme pada gen tersebut yang menghasilkan 37 alel (Hukkanen et

al., 2005). Polimorfisme DNA yang dimaksud dapat berupa Single Nucleotide

Polymorphism (SNP), Copy Number Polymorphism (CNP) ataupun Insertion-

deletion Polymorphism (Nussbaum et al., 2007). Polimorfisme ini memiliki efek

berupa menurun, hilang atau justru meningkatkan aktivitas enzim. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen CYP2A6 mempengaruhi aktivitas

enzim sitokrom P450 2A6 yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kadar nikotin

dalam darah (Rao et al., 2000; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005).

Akan tetapi, efek delesi atau inaktivasi gen CYP2A6, yang berarti bahwa tidak

adanya enzim sitokrom P450 2a6, secara in vivo dalam hubungannya dengan

ketergantungan fisik terhadap nikotin masih kontroversial. Pernyataan mengenai

hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dan perilaku merokok seseorang

pertama kali diuraikan oleh Pianezza (1998). Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa sekelompok orang dengan delesi gen CYP2A6 memiliki risiko untuk

menjadi tergantung pada nikotin lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang

mempunyai gen CYP2A6 normal (wild type). Sebaliknya, beberapa penelitian lain
6

menunjukkan bahwa adanya duplikasi pada gen CYP2A6 meningkatkan aktivitas

enzim yang dikodenya sebanyak 1,4 kali normal dan akibatnya, mereka

mengkonsumsi rokok lebih banyak dibandingkan perokok dengan gen normal

(Rao et al., 2000; Fukami et al., 2007). Penelitian tersebut semakin memperkuat

hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dengan perilaku merokok dan

ketergantungan fisik terhadap nikotin. Namun demikian, beberapa penelitian

berikutnya terhadap gen yang sama dalam hubungannya dengan perilaku merokok

menunjukkan hasil yang negatif (Gullstn, 2000). Demikian juga hasil meta-

analisisnya meyimpulkan bahwa masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk

mempelajari peran gen tersebut dalam meningkatkan ketergantungan fisik

perokok terhadap nikotin (Munaf et al., 2003).

Walaupun hasil penelitian terdahulu masih menunjukkan hasil yang

heterogen, secara logis, tidak adanya enzim yang memetabolisme nikotin akan

mempertahankan kadar nikotin dalam darah tetap tinggi. Kadar nikotin yang tetap

tinggi akan menurunkan gejala-gejala ketergantungan fisik perokok terhadap

nikotin (Yoshida et al., 2002). Sebab kadar nikotin yang tinggi dalam darah akan

dapat terus memberikan stimulusnya pada brain reward system, dan menekan

munculnya behavioral reinforcement (Munaf et al., 2003). Akan tetapi, bukti

akan peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap

nikotin ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah terutama di Indonesia, sebab

jumlah perokok di Indonesia yang besar, frekuensi alel delesi pada gen CYP2A6

cukup tinggi di Asia, yaitu mencapai 20% serta hubungannya secara langsung
7

dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang diukur dengan kesioner FTND

belum pernah diteliti sebelumnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang dirumuskan dalam

penelitian ini adalah: Apakah gen CYP2A6 lebih sering ditemukan pada

kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin yang tinggi

dibandingkan perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini dalah untuk mengetahui peran gen CYP2A6 sebagai

faktor risiko ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Ilmiah

Dalam bidang akademik dan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang salah satu mekanisme

patofisiologi ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. Sehingga dapat

bermanfaat sebagai sumber rujukan penelitian berikutnya berkaitan dengan

CYP2A6 dan ketergantungan fisik terhadap nikotin.

1.4.2. Manfaat Aplikatif

Dengan diketahuinya peran faktor genetik, dalam hal ini gen CYP2A6, pada

ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin maka pada gilirannya pengetahuan

ini dapat digunakan sebagai dasar dikembangkannya tata cara penatalaksanaan

baru kepada para perokok. Tata cara yang dimaksud yaitu baik dari segi

penggunaan agen-agen farmakologis baru ataupun dengan penggunaan uji


8

diagnostik baru demi menunjang efektivitas terapi untuk individu dengan

ketergantungan fisik terhadap nikotin. Jika efektifitas terapi untuk membantu para

perokok berhenti merokok dapat ditingkatan, pada gilirannya diharapkan angka

harapan hidupnya akan diharapkan dapat meningkat, dan tentu saja peningkatan

angka harapan hidup ini akan diikuti dengan peningkatan kualitas hidup.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aging dan Definisinya

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan

fungsi biologik seiring usia kronologik, walaupun keduanya tidak tidak selalu

berjalan dengan laju yang sama. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan

dengan kecepatan berbeda bagi tiap orang, tergantung dari susunan genetik orang

tersebut, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau

lambat tergantung kesehatan masing-masing individu.

Sepanjang sejarah, banyak ilmuwan berusaha mendefinisikan dan mengukur

proses aging. Kohn (1997) menyatakan perbedaan antara perkembangan dan

aging. Ia mendefinisikan bahwa perkembangan adalah sejumlah proses yang

terjadi di awal kehidupan organisme yang bertujuan untuk meningkatkan

kapasitas fungsional organisme terkait, sedangkan aging adalah sejumlah proses

yang tidak memiliki efek atau menurunkan kemampuan fungsional (Fowler, 2003;

Arking, 2006).

Pada tahun 1982, Frolkis mengungkapkan bahwa aging adalah proses

biologis yang berkembang secara alamiah dan menurunkan kemampuan adaptasi

organisme berkaitan, meningkatkan risiko kematian, mengurangi rentang hidup

dan menyebabkan munculnya kondisi patologis sehubungan dengan

bertambahnya umur. Pada tahun yang sama, Strehler mencoba memformulasikan

definisi aging dan memberikan karakteristik fundamental yang harus dimiliki oleh

9
10

proses penuaan sebagai berikut: (1) proses penuaan harus merupakan proses yang

merugikan; (2) proses tersebut haruslah progresif, yang berarti bahwa seiring

berjalannya waktu, tahap demi tahap proses penuaan terus terjadi; (3) proses

penuaan merupakan proses intrinsik dan bukan akibat modifikasi lingkungan

semata; (4) proses aging merupakan proses yang universal, yaitu bahwa setiap

organisme di dunia ini mengalami proses tersebut (Arking, 2006).

Dari berbagai macam definisi dan formula fundamental yang telah

disampaikan di atas, dapat diringkas bahwa aging merupakan suatu rentetan

proses tergantung waktu dari perubahan struktur dan fungsi yang kumulatif,

progresif, intrinsik dan merugikan yang mulai muncul sesudah organisme

mencapai usia reproduksi dan terus terjadi hingga mencapai titik kulminasi berupa

kematian (Arking, 2006). Pada tingkat molekuler dan genomik, kerusakan yang

terjadi akibat proses penuaan tidak berbeda dengan kerusakan yang terjadi akibat

proses patologis pada umummnya. Kerusakan yang terjadi akan terakumulasi

sepanjang waktu dan bermanifestasi berupa proses aging pada seluler jauh

sebelum gejala dan tanda penuaan muncul pada organisme bersangkutan

(McCance dan Grey, 2006).

2.2. Teori-teori Penuaan

Teori-teori dalam penuaan mencakup perubahan-perubahan pada tingkat

genetik, biokimiawi dan fisiologi yang terjadi dalam tubuh organisme seiring

bertambahnya waktu. Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga

molekuler secara umum terbagi menjadi dua latar belakang, yaitu aging adalah

program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran


11

bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh

jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori

kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak.

Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari

kehidupan sehari-hari. Dari dua latar belakang tersebut ada empat teori pokok dari

aging (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu:

1) Teori wear and tear

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,

kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena

sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak

terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2) Teori neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,

sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan

hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan

bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang

akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3) Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita

dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
12

mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita

menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

4) Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal

bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak

berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena

kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi

suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada

molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh

radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,

bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal

bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan

bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin

mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang

mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal

bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap

lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat

paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan

lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal

bebas (Goldman dan Klatz, 2007).


13

2.3. Faktor-faktor yang Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik

Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan, yaitu :

1) Faktor lingkungan

a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia

sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga) akan

mempercepat penuaan.

b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian

ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin

dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh.

c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih

akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan

kekebalan.

d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga

menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung

melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism).

e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit

dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit (Wibowo, 2003).

2) Faktor diet. Bukti hasil studi-studi terbaru membuktikan bahwa nutrisi dan

gaya hidup adalah faktor determinan utama dalam lingkungan karena

memiliki peran penting dalam kerusakan genom dan selular yang menjadi

penyebab fundamental berkurangnya fungsi dan meningkatnya kecenderungan

untuk menjadi sakit (frailty) yang menjadi karakteristik penuaan (Stanner,

2009).
14

3) Faktor genetik

Komposisi genetik yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi proses

penuaan yang dialaminya sepanjang hidup orang itu. Hasil studi terbaru

membuktikan bahwa kontribusi genetik terhadap rentang hidup sesorang

adalah sebesar 35%. Selain itu, adanya penyakit-penyakit genetik yang

menyebabkan penderitanya mengalami penuaan yang jauh lebih cepat

daripada orang normal seperti Down Syndrome, Hutchinson-Gilfords

progeria dan Werners syndrome memberikan petunjuk yang kuat adanya

peran faktor genetik yang mendasari proses penuaan (Markides, 2007).

4) Faktor psikis

Faktor stres psikis mampu mempercepat proses penuaan secara tidak langsung

yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, kadar gula darah, lipid (terutama

VLDL dan LDL), meningkatkan kadar oksidan dalam darah dan menurunkan

sistem kekebalan tubuh (McCance et al., 2006). Dalam kondisi yang kronis,

semua efek stress psikis ini dapat menjadi akselerator proses penuaan

2.4. Rokok Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik

Asap rokok di samping banyak sekali mengandung bahan-bahan yang bersifat

toksik, terdapat juga zat-zat radikal bebas, di antaranya adalah peroksinitrit,

hidrogen peroksida, dan superoksid. Radikal bebas dalam asap rokok akan dapat

mempercepat kerusakan seluler akibat stress oksidatif. Produksi radikal bebas dan

kerusakan akibat stress oksidatif umum terjadi tiap saat dalam sistem biologis

sebagai limbah metabolisme energi dalam sel. Oleh sebab itu, tubuh kita memiliki

sistem pertahanan berupa enzim atau substrat yang berfungsi sebagai antioksidan,
15

seperti superoksid dismutase, hidrogen peroksidase, gluthatione, dan lain-lain

(Murray, 2006). Keseimbangan antara produksi radikal bebas dan zat antioksidan

dalam tubuh dapat bergeser ke arah meningkatnya konsentrasi radikal bebas jika

kondisi tubuh kita terpapar oleh berbagai macam substansi dalam lingkungan

yang mengandung banyak sekali radikal bebas, dalam hal ini asap rokok.

Peran radikal pada asap rokok dalam meningkatkan kerusakan sistem biologis

adalah sama dengan peran radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh. Radikal

bebas merupakan molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan pada

orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini membuatnya sangat reaktif. Oleh

karena radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan

lipid, dan oleh karena mereka juga cenderung dapat memperbanyak diri, mereka

dapat menciptakan kerusakan yang signifikan. Radikal bebas dapat dibentuk

dalam berbagai macam reaksi seperti misalnya fragmentasi, substitusi, oksidasi,

addisi, dan reduksi.

Oleh karena sifat reaksinya yang acak (random), beberapa produk kimiawi

radikal bebas benar-benar asing bagi sel untuk dapat diperbaiki atau digunakan

kembali oleh sel melalui proses daur ulang. Contoh dari peristiwa ini adalah

ketika 2 protein menjadi berikatan silang (cross-link), mereka dapat menjadi

resisten oleh enzim proteolitik dan molekul seperti ini dapat terakumulasi secara

progresif dalam sel seperti pigmen penuaan yang dapat meningkat jumlahnya

ketika sel dalam tubuh organisme mengalami penuaan. Pigmen penuaan ini jika

terakumulasi sampai mencapai kadar yang signifikan akan dapat mengganggu

fungsi sel secara umum.


16

Contoh lain kerusakan akibat stress oksidatif adalah oksidasi basa nitrogen

guanosin menjadi 8-oxoguanosine, yang tidak lagi membentuk ikatan hidrogen

dengan cytosine tapi membentuk ikatan hidrogen dengan adenosine, dengan

demikian telah terjadi mutasi dalam DNA. Sama halnya dengan produksi radikal

bebas, mutasi DNA hampir terjadi sepanjang waktu, dan mengingat sebagian

besar mutasi adalah merugikan sebab ia merusak fungsi gen, akumulasi kerusakan

akibat oksidasi seperti ini akan mengarah pada menurunnya fungsi seluler atau

bahkan munculnya sel kanker (Hyde, 2009).

Radikal bebas juga dapat mengoksidasi berbagai macam protein dalam sel

dan mengganggu fungsinya, misalnya ia dapat mengoksidasi apolipoprotein

dalam LDL sehingga LDL yang tertimbun dalam dinding sel akan memulai rantai

proses pembentukan plak atheroma. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

asap rokok mempercepat proses atherosclerosis yang umumnya terjadi sepanjang

proses penuaan.

Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa

nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Hyde, 2009).. Kondisi ini memperburuk

proses mutasi akibat oksidasi yang sudah ada.

Selain melalui radikal bebas, proses penuaan yang dipercepat oleh asap rokok

juga diperantarai oleh penurunan fungsi paru akibat kerusakan yang

ditimbulkannya. Penuaan yang terjadi pada tingkat organ ini dapat memberikan

efek domino terhadap penuaan di organ-organ yang lain, sebab paru merupakan

organ yang vital.


17

2.5. Berbagai Macam Penyakit terkait Kebiasaan Merokok

Angka kematian dini akbiat merokok diperkirakan mencapai 4,8 juta orang

setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di

antaranya terjadi di negara berkembang dan sisanya terjadi di negara-negara maju

(Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2008). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4

juta kemtian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka

tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada

tahun 2030 (Jaya, 2009). Di Indonesia, menurut data hasil laporan lembaga

demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57 juta orang.

Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat

berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya dalam jangka panjang, dengan

rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al., 2008).

Menurut hasil penelitian terdahulu, perokok mengalami peningkatan risiko

terkena penyakit jantung yang fatal sebesar 2 kali lipat dibanding bukan perokok,

10 kali lipat risiko terkena kanker paru, beberapa kali lipat risiko terkena kanker

rongga mulut, oesofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan servik; 2 sampai 3

kali lipat risiko terserang stroke dan ulkus peptikum; 2 sampai 4 kali lipat risiko

fraktur panggul, pergelangan tangan dan vertebra; 4 kali risiko terinfeksi

pneumococcus; 2 kali lipat risiko terkena katarak dan 2,5 kali terkena ARMD

(Age Related Macular Degeneration). Pada umumnya perokok meninggal 5-8

tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Di Amerika Serikat, lebih dari

90% kasus penyakit paru obstruktif kronis terjadi di antara para perokok atau yang

pernah merokok (McPhee dan Pignone, 2008).


18

Baik perokok aktif ataupun perokok pasif akan mengalami destruksi

komponen elastik dari dinding aorta yang menyebabkan peningkatan risiko

terbentuknya aneurisma aorta serta memperparah atherosclerosis pada arteri

karotis. Merokok juga dilaporkan meningkatkan risiko penyakit leukemia, kanker

prostat dan kolon, kanker payudara pada wanita pos menopause dengan aktivitas

enzim N-acetyltransferase yang rendah, osteoporosis dan penyakit Alzheimer.

Kanker yang terjadi disebabkan oleh rusaknya tumor supressor gene, yaitu gen

P53 yang terkait kebiasaan merokok. Indera penciuman dan perasa perokok

umumnya terganggu dan terjadi peningkatan garis kerutan di wajah. Selain

banyak penyakit yang telah disebutkan di atas, anak dari seorang perokok

memiliki berat badan lahir yang rendah, memiliki risiko menderita retardasi

mental, lebih sering terserang infeksi saluran napas dan fungsi paru yang kurang

baik, lebih tinggi risikonya menderita infeksi telinga kronis dibandingkan anak

bukan perokok (McPhee dan Pignone, 2008).

Dengan kenyataan yang demikian, kebiasaan merokok, dapat digolongkan

sebagai behavioral biomarker terhadap proses penuaan. Sebab kebiasaan ini

mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi salah satu biomarker penuaan

itu sendiri. Kebiasaan merokok baik secara langsung maupun tidak langsung

memposisikan perokok dalam kondisi yang lebih sensitif terhadap segala macam

penyakit yang dikaitkan dengan penuaan. Dengan kata lain, penurunan fungsi

berbagai organ yang ditimbulkannya membuat individu memiliki kecenderungan

untuk terserang penyakit lebih mudah (Arking, 2006).


19

Menghentikan kebiasaan merokok dapat menurunkan seluruh peningkatan

risiko terserang berbagai macam penyakit seperti yang disebutkan di atas

walaupun tidak pernah mencapai kondisi yang sama seperti orang yang tidak

pernah merokok. Wanita yang berhenti merokok pada umur 35 tahun, rata-rata

menambah angka harapan hidupnya sebanyak 3 tahun, sedangkan laki-laki 2

tahun. Penambahan angka harapan hidup ini terus terjadi bahkan pada perokok

yang menghentikan kebiasaan merokoknya setelah umur 65 tahun. Penghentian

kebiasaan merokok dapat disebut sebagai salah satu tindakan anti aging yang

paling sederhana, logis namun tidak mudah untuk dilakukan mengingat adanya

faktor ketergantungan (Arking, 2006).

Walaupun merokok merupakan penyumbang berbagai masalah medis yang

paling penting, perhatian kepada kebiasaan merokok masih rendah. Tujuh puluh

sampai delapan puluh persen perokok mengungkapkan keinginannya untuk

berhenti merokok dan mengunjungi dokter, namun dari angka itu hanya 20%

orang yang mendapatkan pengobatan atau nasihat, dan akhirnya hanya 5% yang

berhasil berhenti merokok (Burns, 2005; OBrian, 2006; Barber et al., 2008;

McPhee dan Pignone, 2008).

2.6. Substansi Kimia dalam Rokok

Sebenarnya asap rokok tidaklah sesederhana seperti yang terlihat. Asap ini

merupakan suatu campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan

partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Sampai saat ini, telah berhasil

diisolasikan berbagai macam zat kimia yang jumlahnya mencapai 3000 senyawa

dalam daun tembakaunya sendiri dan mencapai lebih dari 4000 senyawa pada
20

asap rokok (Benowitz dan Fu, 2007). Sebagian besar bahan atau senyawa-

senyawa tersebut (tabel 2.1) pada umumnya bersifat toksik bagi berbagai macam

sel dalam tubuh kita.

Substansi toksik dalam bentuk gas, yaitu berupa karbon monoksida (CO),

hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia yang volatil seperti

nitrosamin, formaldehid banyak terdapat dalam asap rokok. Zat-zat ini dapat

memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau

unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner

dan Blanc, 2007). Di samping dalam bentuk gas, zat toksik lain yang terdapat

dalam rokok bisa berupa partikel-partikel kecil terdispersi dalam asap yang

terutama alkaloid, yaitu nikotin dan tar.

Tar adalah partikel kering berwarna coklat hasil pembakaran rokok dan bisa

memberi warna pada gigi ataupun kuku. Partikel ini terdiri dari campuran

senyawa-senyawa kimia kompleks yang terdiri dari berbagai macam zat-zat kimia

karsinogenik, kokarsinogenik dan tumor promoter dalam asap rokok. Zat yang

dimaksud adalah benzo(a)pyrene, dan hidrokarbon aromatik polinuklear lainnya,

nitrosamin derivat nikotin, -Napthylamine, berbagai metal seperti kadmium,

nikel, arsen, timbal, merkuri dan elemen radioaktif seperti radium-226 dan

polonium-210 (Hoffmann dan Hoffmann, 1999; Benowitz dan Fu Hua, 2007).


21

Tabel 2.1. Komponen Toksik Mayor pada Asap Rokok (Benowitz dan Fu, 2007)
Nikotin Karbon monoksida
Catechols Asetaldehid
N-nitrosonornicotine Oksida Nitrogen
Fenol Hidrogen Sianida
Hidrokarbon Aromatik Polinuklear Acrolein
Benzena Ammonia
-Napthylamine Formaldehid
Nikel (karbonil) Urethane
Kadmium Hydrazine
Arsenik Nitrosamin
Polonium-210 dan radium-226

2.7. Nikotin sebagai Alkaloid Utama dalam Rokok

Literatur paling awal yang menyebutkan adanya kebiasaan menghisap cerutu

atau merokok berasal dari artifak bangsa Maya yang ditemukan di semenanjung

Yucatan, Mexico. Kebiasaan ini merupakan bagian dari ritual religius dan

perkumpulan politik para penduduk asli semenanjung Yucatan. Lima ratus tahun

kemudian, tepatnya pada tahun 1492, ketika Christopher Columbus menemukan

benua Amerika, dia diberi daun tembakau oleh orang-orang Arawak. Jadi,

Columbus dan awak-awak kapalnya adalah orang Eropa pertama yang mengenal

rokok (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).

Nama nikotin berasal dari nama tanaman tembakau yang menghasilkannya,

yaitu Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Kedua species tanaman tersebut

termasuk famili Solanaceae. Nama ilmiah untuk tembakau ini mengacu pada

nama seorang duta besar Prancis di Portugal yaitu Jean Nicot de Villemain. Ia

mengirimkan tembakau dari Brazil ke Paris dan menggunakannya untuk tujuan

pengobatan pada tahun 1560. Nikotin sendiri, zat aktif dalam tembakau baru

berhasil diisolasi sekitar dua setengah abad sesudahnya, tepatnya pada tahun 1828
22

oleh ahli kimia Jerman, yaitu Poselt dan Reimann. Mereka pertama kali

menyatakan bahwa zat ini adalah toksin. Formula empirisnya berhasil

dideskripsikan oleh Melsens di tahun 1843, yaitu C10H14N2, sedangkan

strukturnya ditemukan oleh Garry Pinner pada tahun 1895 dan nama kimianya

yaitu 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).

Nikotin adalah amin tersier yang terdiri dari cincin pyridine dan pyrrolydine

(Gambar 2.1). Produksi nikotin memerlukan asam nikotinat (niacin) dan kation N-

methylpyrrolinium, yang didiversikan dari ornithine. Produksi nikotin dalam daun

tembakau diinduksi oleh sinyal Jasmonic acid sebagai respons terhadap kerusakan

daun. Sintesis nikotin terjadi di akar tanaman kemudian ditranspor melalui xylem

menuju daun dan bagian tanaman lainnya. Dalam keadaan murninya, nikotin

tampak sebagai cairan yang kental, seperti minyak tidak berwarna dan bersifat

sangat alkalis. Jika dipapar dengan udara terbuka, ia menjadi berwarna kuning

kecoklatan dan memberikan bau khas tembakau (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).

Gambar 2.1. Struktur Kimia Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Nama struktur
kimia nikotin adalah 3-(2-(N-methylpyrrolidinyl))pyridine. Nikotin merupakan zat
kimia larut air dan dapat diekstraksi dari daun tembakau dengan merendam
potongan daunnya dalam air selama 12 jam.
23

Gambar 2.2. Struktur Alkaloid Utama dalam Tembakau Selain Nikotin


(Hukkanen et al., 2005). Semua alkaloid di atas merupakan derivat dari nikotin.
Derivat ini muncul akibat proses oksidasi dan degradasi oleh bakteri selama
proses pengolahan rokok dan bukan di sintesis oleh tanaman tembakau itu sendiri,

Sebenarnya nikotin dalam daun tembakau berfungsi sebagai bahan kimia

antiherbivora, terutama serangga. Oleh sebab itu, di masa lalu nikotin banyak

digunakan sebagai insektisida. Kadar nikotin berbeda-beda tergantung jenis

tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun

lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang

ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan

mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang

rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar 1 mg nikotin diabsorbsi ke

dalam peredaran darah sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005).

Sebagian besar nikotin pada daun tembakau berada dalam bentuk levorotary

(S)-isomer, dan hanya sebagian kecil, sekitar 0,1-0,6% dari nikotin total yang

berada dalam bentuk (R)-nikotin. Dalam asap rokok, jumlah (R)-nikotin

meningkat sampai 10%, diperkirakan hal ini terjadi oleh karena proses
24

racemization selama pembakaran. Nikotin mudah menguap pada pembakaran

bersuhu rendah, sekitar 308K (Hukkanen et al., 2005). Oleh karena sifat fisiknya

yang demikian, hampir semua nikotin dalam rokok menguap saat dibakar dan

terinhalasi selama merokok.

Pada sebagian besar strain tembakau, nornikotin dan anatabine adalah

senyawa alkaloid terbanyak kedua setelah nikotin dan disusul dengan anabasine

(Gambar 2.2). Komposisi yang sama berlaku juga pada rokok, cerutu, rokok pipa

dan oral snuff. Alkaloid-alkaloid minor yang lainnya antara lain myosmine, N-

methylmyosmine, cotinine, nicotyrine, nornicotyrine, nicotine N-oxide, 2,3-

bipyridyl dan metanicotine. Alkaloid-alkaloid minor tersebut diduga muncul

akibat adanya aktivitas bakteri dalam tembakau selama pemrosesan rokok

(Hukkanen et al., 2005). Dari sekian banyak alkaloid minor dalam tembakau yang

telah dipelajari, hanya nornicotine, metanicotine, dan anabasine yang memiliki

aktivitas farmakologis mirip nikotin yang cukup bermakna.

2.8. Absorbsi Nikotin ke dalam Sirkulasi Sistemik selama Merokok

Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama

dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati

membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan

pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang

terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi

lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi

dalam paru (Hukkanen et al., 2005). Keasaman dalam droplet partikel (tar) sangat
25

bervariasi dari 6,0 sampai 7,8 tergantung merk dan jenis rokok. Semakin tinggi

pH, semakin banyak nikotin yang diabsorbsi dalam paru (Pankow et al., 2003).

Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru,

nikotin dalam tar yang berdiameter rata-rata 1 m dengan cepat diabsorbsi.

Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai

puncaknya sesaat setelah selesai merokok (Gambar 2.3). Absorbsi yang cepat ini

diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH

paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Rata-rata 1 mg (0,3-2 mg) nikotin diabsorbsi ke

sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005).

Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler

paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk

dipompakan ke seluruh tubuh. Akhirnya, nikotin dapat mencapai otak hanya

dalam waktu 7 detik, lebih cepat dari nikotin IV, dan dengan cepat pula

mengaktivasi neuron-neuron dopaminergik pada brain reward system (OBrian,

2006). Kecepatan peningkatan dan efek yang dihasilkannya inilah yang

menyebabkan para perokok dapat mentitrasi kadar nikotin untuk mencapai efek

stimulasi yang diinginkannya (Henningfield dan Keenan, 1993).

Merokok merupakan suatu proses yang kompleks, dan sesuai dengan yang

telah disebutkan di atas, perokok dapat memanipulasi dosis nikotin dan kadar

nikotin di otak dalam setiap hisapan. Intake nikotin selama merokok tergantung

pada volume hisapan, kedalaman inhalasi, tingkat dilusi dalam udara ruangan,

frekuensi dan intensitas hisapan (Jarvis et al., 2001). Jika perokok yang telah

terbiasa mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi beralih ke rokok


26

dengan kadar nikotin rendah atau pun mengurangi jumlah rokok yang dihisap per

harinya maka ia akan cenderung untuk mengkompensasinya dengan cara merubah

pola hisap agar tercapai kadar nikotin yang tetap tinggi seperti sebelumnya

(Hukkanen et al., 2005).


Konsentrasi nikotin dalam
darahh (ng/ml)

0 30 60 90 120

Waktu (Menit)
Gambar 2.3. Kadar Nikotin dalam Darah Saat Merokok dan Setelahnya
(Hukkanen et al., 2005). Kadar nikotin mencapai puncaknya 10 menit setelah
merokok dan mulai menurun setelahnya.

2.9. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh

Dalam darah dengan pH 7,4, sekitar 69% nikotin terionisasi dan 31% tidak

terionisasi dan hanya 5% nikotin yang terikat pada plasma protein, sedangkan

95% berada dalam bentuk nikotin bebas dalam darah. Nikotin terdistribusi secara

luas dalam jaringan tubuh dengan volume distribusi rata-rata 2,6 liter/kg berat

badan (Hukkanen et al., 2005). Ini artinya nikotin memiliki sifat hidrofobik dan

cenderung untuk terikat dengan jaringan dengan kandungan lipid yang tinggi,

disamping itu pada jaringan-jaringan tersebut, reseptor nikotin memang

ditemukan paling banyak dibandingkan pada jaringan lain.


27

Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi

pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru.

Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi

sebanding dengan peningkatan reseptornya pada perokok (Perry et al., 1999).

Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor

asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Bahkan pernah ada laporan kasus

bunuh diri menggunakan nikotin patches, kadar nikotin dalam otak mencapai 2

kali kadarnya dalam darah perifer (Kemp et al., 1997). Ditambah pula dengan

kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi,

maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia

memasuki aliran darah sistemik. Di samping otak, nikotin juga menunjukkan

afinitas yang tinggi pada kelenjar adrenal dan merangsang kelenjar ini untuk

mensekresikan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Hal ini yang mengakibatkan

perokok menunjukkan peningkatan tekanan darah.

Selain pada organ-organ di atas, akumulasi nikotin yang bermakna ditemukan

juga pada cairan lambung, saliva, air susu ibu, amnion dan bahkan serum fetus

yang dikandung oleh ibu perokok (Dempsey dan Benowitz, 2001).

2.10. Konsentrasi Nikotin dalam Darah selama Merokok

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benowitz pada tahun 1990,

kadar nikotin dalam darah perokok pada saat siang hari umumnya berkisar antara

10-50 ng/ml. Nilai ini berfluktuasi sekitar 10-37 ng/ml sepanjang hari dengan

puncaknya mencapai 19-50 ng/ml (Schneider et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).
28

Kadar nikotin tersebut dalam darah vena dapat meningkat sejauh 5 sampai 30

ng/ml setelah menghisap sebatang rokok, dan tentu saja hal ini tergantung pola

merokok seseorang. Suatu studi ilmiah yang dilakukan akhir-akhir ini

menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan nikotin dalam darah vena ini sebesar

10,9 ng/ml. Dengan catatan, nilai itu didapatkan dari para perokok yang tidak

melakukan puasa pada hari pengukuran (Petterson et al., 2003).

Seperti proses farmakokinetik obat pada umumnya, nikotin juga memiliki

waktu paruh dalam darah. Waktu paruh nikotin di dalam darah sirkulasi rata-rata

sekitar 2 jam. Angka ini didasarkan atas pengukuran konsentrasinya dalam darah.

Jika pengukuran konsentrasi nikotin dilakukan pada urin, waktu paruh akan

memanjang sampai 11 jam, dan konsentrasi yang dihasilkannya juga jauh lebih

kecil. Hal ini disebabkan oleh pelepasan nikotin yang lambat oleh jaringan tubuh

dan metabolisme yang dialaminya. Jadi waktu paruh yang pendek pada awalnya

bukan disebabkan oleh proses metabolisme yang dialaminya tetapi lebih karena

proses distribusinya, dan konsentrasi yang rendah dalam urin merefleksikan

bahwa hanya sedikit kadar nikotin yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, secara logis dapat diprediksikan adanya

akumulasi nikotin selama lebih dari 6-8 jam dalam tubuh (3-4 kali waktu paruh)

pada perokok reguler dan persistensi kadar ini yang signifikan selama waktu yang

sama setelah berhenti merokok. Kadar nikotin mengalami fluktuasi antara puncak

dan lembah (peak and trough) mengikuti aktivitas merokok sepanjang hari, tetapi

mengingat waktu paruh akumulasinya yang panjang, nilai lembah (trough)

meningkat selama waktu berlalu dan akhirnya konsentrasi puncak (peak) menjadi
29

tidak penting lagi. Jadi perokok tidak lagi terpapar dengan kadar nikotin secara

intermiten melainkan terpapar dengan kadar nikotin yang persisten tinggi selama

24 jam penuh setiap harinya (Hukkanen et al., 2005). Fenomena ini lebih jelasya

digambarkan dalam gambar 2.4.


Nikotin
Konsentrasi dalam darah (ng/ml)

Cotinine

Waktu

Gambar 2.4. Konsentrasi Sirkadian Nikotin dan Cotinine dalam Darah (Hukkanen
et al., 2005). Konsentrasi cotinine dalam darah meningkat mengikuti gelombang
peningkatan nikotin yang menandakan adanya proses metabolisme nikotin dalam
tubuh.
30

Cotinine, metabolit nikotin, memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi

daripada konsentrasi nikotin dalam darah, yaitu berkisar antara 250-300 ng/ml

pada para perokok. Pada beberapa perokok konsentrasi ini pernah sampai

mencapai kadar 900 ng/ml. Akan tetapi, angka tersebut akan mengalami

penurunan yang linier jika seseorang berhenti merokok. Selain itu, cotinine

memiliki waktu paruh yang lebih lama dari nikotin. Akibatnya konsentrasinya

hampir tetap sepanjang hari jika dibandingkan dengan kadar nikotin. Oleh karena

sifat-sifat farmakokinetiknya yang demikian, konsentrasi nikotin sering dipakai

sebagai biomarker intake nikotin sehari-harinya, baik pada para perokok aktif

maupun pasif (Benowitz, 1996).

2.11. Metabolisme Nikotin

Kemampuan tubuh manusia untuk memetabolisme dan membersihkan obat

dari dalam tubuh adalah suatu proses alami yang melibatkan jalur-jalur

metabolisme dan sistem transpor yang sama untuk metabolisme nutrisi pada

umumnya. Setiap hari, manusia mangalami kontak dengan sejumlah senyawa

kimia asing atau xenobiotika melalui kontaminan lingkungan dan zat-zat dalam

makanan. Tubuh kita telah mengembangkan suatu cara untuk mengeliminasi

bahan-bahan xenobiotika tersebut secara cepat. Salah satu sumber xenobiotika

paling umum dalam diet kita adalah dari tanaman. Tanaman memiliki berbagai

macam zat xenobiotika yang terkait dengan produksi pigmen dan toksin

(phytoallexins) untuk melindungi diri dari predator. Di dunia modern ini, sebagian

besar paparan xenobiotika pada manusia berasal dari polusi lingkungan, zat aditif

pada makanan, produk kosmetik, bahan kimia dalam pertanian, makanan yang
31

diproses, dan obat-obatan. Berbagai macam bahan-bahan kimia tersebut pada

dasarnya bersifat lipofilik, sehingga sangat sulit untuk dieliminasi dari tubuh jika

tidak ada sistem metabolisme yang sesuai. Jika eliminasi tidak dilakukan, maka

zat kimia bersangkutan akan terakumulasi dalam tubuh dan memunculkan gejala

serta tanda toksisitas (Gonzalez dan Tukey, 2006).

Nikotin termasuk xenobiotika. Sebagian besar atau hampir seluruh nikotin

yang terabsorbsi melalui lapisan mukosa mulut, saluran pernapasan, dan saluran

pencernaan, dimetabolisme di dalam hati. Metabolisme dan pembersihannya ini

banyak melibatkan enzim-enzim dalam sistem metabolisme xenobiotika atau

disebut juga Xenobiotic Metabolizing Enzyme (XME), diantaranya adalah enzim

sitokrom P450, Flavin-Containing Monooxygenase 3 (FMO3), Aldehid oksidase,

amin N-metiltransferase, dan UDP-Glukoronosiltransferase (UGT). Di samping

hati, ginjal juga berperan saat proses eksresinya dalam urin. Proses

metabolismenya secara lebih mendalam akan dibahas dalam uraian di bawah ini.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika definisi nikotin

sebagai xenobiotika dan gambaran mengenai apa itu sitokrom P450 yang

merupakan fokus penelitian dibahas terlebih dahulu.

2.11.1. Enzim-Enzim dalam Sistem Metabolisme Xenobiotika

Sesuai uraian di atas, xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh

(xenos = asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam

hubungannya dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia

karsinogen, dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara

insidental atau tidak disadari, misalnya polychlorinated biphenyls (PCB) dan


32

insektisida. Lebih dari 200.000 bahan kimia pencemar lingkungan merupakan

substrat utama bagi XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) dalam hati. Tetapi,

kadang kala xenobiotika bisa saja dieksresikan dalam bentuk tidak berubah

(Kennelly dan Rodwell, 2006).

Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase. Pada

fase 1, reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim

monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450

banyak terdapat pada permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik

hepatosit (Gambar 2.5).

Hidroksilasi dapat menginaktivasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa

macam obat atau zat kimia tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktivasinya. Di

samping perannya dalam hidroksilasi, enzim tersebut juga mengkatalisis sejumlah

besar reaksi lain, yaitu deaminasi, dehalogenasi, desulfurasi, epoksidasi,

peroxigenasi, dan reduksi. Reaksi yang melibatkan hidrolisis (dikatalisis oleh

esterase) dan beberapa reaksi lain yang dikatalisis oleh enzim non-P450 juga

terjadi di fase 1.

Pada fase 2, senyawa-senyawa terhidroksilasi atau yang telah mengalami

metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar

melalui konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione, atau

beberapa asam amino tertentu, atau dengan metilasi.

Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME adalah

meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan

memudahkan eksresinya keluar tubuh. Sebagai contoh, senyawa-senyawa


33

hidrofobik akan tertahan dan terakumulasi dalam jaringan adiposa dalam waktu

yang lama jika mereka tidak ditingkatkan polaritasnya oleh XME.

Gambar 2.5. Lokasi Enzim Cyp dalam Sel (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Kompleks enzim sitokrom P450 ada pada permukaan sitosol retikulum
endoplasmik. Kompleks enzim ini mengkatalis substrat larut lemak yang ada
dalam lapisan membran lipid ganda retikulum endoplasmik. Enzim sitokrom P450
memiliki struktur cincin heme pada bagian aktifnya yang berfungsi untuk
mengikat molekul oksigen.

Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, reaksi metabolisme fase 1 justru

mengubah senyawa xenobiotika dari inaktif menjadi aktif secara biologis.

Senyawa xenobiotika awal yang demikian disebut sebagai prodrug atau

prokarsinogen.

Istilah detoksifikasi seringkali digunakan dalam berbagai reaksi yang

melibatkan XME seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun demikian

pemberian istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab kadang kala, sesuai
34

pembahasan di atas, reaksi metabolisme yang terjadi malah meningkatkan

aktivitas biologis dan toksisitas suatu zat (Kennelly dan Rodwell, 2006).

2.11.2. Enzim Sitokrom P450 (Cyp)

Cyp berfungsi sebagai enzim utama dalam metabolisme xenobiotika fase 1.

Kini, telah diperkirakan ada sekitar 60 gen Cyp pada genom manusia. Enzim

tersebut banyak terdapat pada membran retikulum endoplasmik halus (Smooth

Reticulum Endoplasmic) yang merupakan bagian dari fraksi mikrosom hepatosit.

Cyp juga bisa ditemukan dalam enterosit dan berbagai macam jaringan lain,

walaupun konsentrasinya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan

konsentrasinya dalam hepatosit. Dalam mikrosom hepatosit, konsentrasi Cyp

mencapai 20% dari total protein. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim ini adalah

sebagai berikut :

RH + O2 + NADPH + H+ R OH + H2O + NADP

RH dalam reaksi kimia di atas mewakili berbagai macam xenobiotika, termasuk

obat, karsinogen, pestisida, minyak, dan polutan. Senyawa-senyawa endogen,

seperti steroid tertentu, asam lemak eikosanoid, dan retinoid juga bisa merupakan

substrat Cyp. Substrat-substrat tersebut pada umunya bersifat lipofilik yang

akhirnya diubah menjadi hidrofilik melalui hidroksilasi (Kennelly dan Rodwell,

2006).

Cyp adalah biokatalisator paling cakap yang pernah diketahui. Sebenarnya

reaksi hidroksilasi oleh Cyp dalam hati merupakan mekanisme yang kompleks,

maka itu ia lebih cocok disebut dengan sistem Cyp, karena untuk dapat

melakukan fungsi yang seutuhnya ia tergantung dari kehadiran enzim lain dalam
35

mikrosom sel-sel hepar, yaitu NADPH-sitokrom P450 reduktase dengan rincian

reaksi seperti yang tampak pada gambar 2.6 di bawah (Mckee dan Mckee, 2003;

Kennelly dan Rodwell, 2006). Kerja sama antar kedua macam enzim inilah yang

membangkitkan sistem Cyp dalam proses hidroksilasi substrat xenobiotik.Pada

gambar tersebut, reaksi hidroksilasi yang terjadi khas pada sel korteks adrenal

untuk pembentukan hormon steroid, sedangkan pada mikrosom hepar, tidak

memerlukan protein besi sulfur, Fe2S2.

Cyp memiliki banyak famili yang berhasil ditemukan hingga kini, yaitu

berjumlah sekitar 150 isoform. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting

untuk menamainya sesuai dengan sistem nomenklatur yang ada. Dalam sistem

nomenklatur, enzim sitokrom P450 disingkat dengan Cyp, yang diikuti dengan

angka yang menunjukkan famili, misal Cyp1, Cyp2 atau Cyp3. Cyp dimasukkan

dalam satu famili jika sedikitnya 40% sekuens asam aminonya sama. Kemudian,

huruf kapital yang tertera setelah angka menunjukkan subfamili. Jika dua enzim

Cyp memiliki tingkat kesamaan sekuens asam amino mencapai 55% atau lebih,

mereka berada dalam satu subfamili. Angka yang tertera setelah huruf subfamili

menunjukkan nomor anggota, sedangkan huruf terakhir setelah bintang mengacu

pada nomor alel atau varian (Gambar 2.7) (Kennelly dan Rodwell, 2006). Dari

contoh di bawah ini Cyp2a6 berarti enzim Cyp tersebut termasuk dalam famili 2,

subfamili a dan merupakan anggota ke 6 dari subfamili tersebut.

2.11.3. Subfamili CYP2A

Gen CYP2A bersama dengan gen CYP2B, dan gen CYP2F terletak pada

lengan pendek kromosom 19, tepatnya pada 19p13.2, yaitu pada daerah seluas
36

350 kilobasepairs. Tiga subfamili telah diperkirakan berasal dari satu ancestral

gene. Mereka diperkirakan berdiferensiasi selama evolusi sehingga akhirnya

bersifat spesifik substrat. Evolusi gen ini dimulai sekitar 400 juta tahun lalu dan

berkembang menjadi lebih dari 50 gen homolog (gambar 2.8) (Gullstn, 2000).

Gambar 2.6. Reaksi Hidroksilasi oleh sistem Cyp dalam Mikrosom (Botham dan
Mayes, 2006). Reaksi hidroksilasi substrat dimlau dengan pembentukan ikatan
antara substrat dengan enzim Cyp yang diikuti dengan reaksi hidroksilasi setelah
enzim ini mendapatkan donor sepasang elektron hasil proses oksidasi ion sulfur
dalam Fe2S2.
Nomor Famili
Nomor Anggota
dalam subfamili

Singkatan dari
sitokrom P450 CYP 2 A 6 *4

Nomor alel
atau varian
Nomor Subfamili

Gambar 2.7. Sistem Nomenklatur Sitokrom P450. Sesuai urutan, CYP adalah
singkatan dari sitokrom P450, angka 2 pertama menunjukkan famili, diikuti
dengan huruf yang menandakan subfamili, angka setelah huruf menunjukkan
nomor anggota dalam subfamili serta angka setelah bintang mengacu pada alel
atau varian dari gen yang bersangkutan.
37

Gambar 2.8. Perkembangan Gen CYP Selama Evolusi (Gullstn, 2000). Gen CYP
mengalami proses duplikasi dan divergensi selama sejarah evolusi menghasilkan
banyak famili. Proses duplikasi dan divergensi yang diiringi fenomena seleksi
alam menjadi kunci utama evolusi gen ini. Divergensi yang terjadi salah satunya
akibat proses mutasi pada duplikat-duplikat gen yang bersangkutan.

. Subfamili gen CYP2A ini terdiri dari tiga gen dan dua pseudogen, yaitu

CYP2A6, CYP2A7, CYP2A13, CYP2A7P(T) dan CYP2A7P(C). Gen CYP2A7

terletak setelah gen CYP2A6. Kedua gen ini memiliki kesamaan sekuens

nukleotida mencapai 96%, sedangkan kesamaan sekuens asam amino dari protein

yang dikodenya mencapai 94%. Gen ini terdiri dari 9 ekson dan 8 intron dengan
38

ukuran sebesar 6 kilobasepairs. Sekuens pseudogen, CYP2A7P(T) dan

CYP2A7P(C), terputus pada ekson 5, dan oleh sebab itu tidak mengkode protein.

Gen CYP2A6 mengkode protein yang aktif dalam metabolisme, sedangkan gen

CYP2A7 menghasilkan protein inaktif. Struktur gen-gen yang telah disebutkan di

atas dideskripsikan pada gambar 2.9 dibawah ini

Sentromer Telomere

Gambar 2.9. Struktur Gen-Gen dalam Subfamili CYP2. Struktur famili gen CYP
ini terletak pada kromosom 19. Tanda panah berwarna biru menandakan segmen
DNA yang mengkode enzim Cyp, arah panah menunjukkan orientasi gen dalam
rantai DNA.

2.11.4. Peran Enzim Sitokrom P450 2A6 dalam Metabolisme Nikotin dan

Cotinine

Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa pada manusia, 70-90%

nikotin dioksidasi oleh sitokrom P450 2a6 (Cyp2a6) menjadi nikotin 1(5)-

iminium ion, suatu metabolit antara yang kembali dioksidasi oleh enzim aldehid

oksidase menjadi cotinine dalam sitoplasma sel hepar. Enzim yang sama juga

mengkatalisasi perubahan cotinine menjadi, 5-hydroxycotinine dan norcotinine

(Murphy et al., 1999; Oscarson, 2001).

Kecepatan oksidasi nikotin menjadi cotinine dan cotinine menjadi trans-3-

hydroxycotinine, menunjukkan korelasi yang tinggi dengan aktivitas 7-


39

hidroksilasi kumarin, karena kedua substrat ini memiliki enzim yang sama yaitu

sitokrom P450 2a6 (Nakajima et al., 1996). Oleh sebab itu, selain menggunakan

nikotin, aktivitas enzim ini sering diukur dengan menggunakan kumarin sebagai

subsrat.

Gambar 2.10. Metablisme Nikotin Oleh Enzim Cyp2a6 (Oscarson, 2001). Tujuh
puluh sampai sembilan puluh persen nikotin dimetabolisme oleh enzim Cyp2a6
mementuk cotinine dengan nicotine iminium ion sebagai metabolit antaranya.

Signifikansi peran Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin secara in vivo

didukung oleh penelitian yang dilakukan Sellers et al pada tahun 2000 dan 2003

dengan menggunakan inhibitor Cyp2a6 yaitu methoxsalen. Methoxsalen

mengurangi first pass metabolism nikotin yang terbukti dengan berkurangnya

kadar trans-3-hydroxycotinine dalam urin perokok


40

Walaupun telah banyak penelitian yang menyebutkan arti pentingnya enzim

Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin seperti yang telah disebutkan di atas,

penelitian-penlitian itu juga mengilustrasikan bahwa ada enzim lain yang berperan

dalam pembentukan cotinine dan trans-3-hydroxycotinine. Enzim yang dimaksud

di sini adalah enzim Cyp2b6, Cyp2e1 dan Cyp2a13.

Cyp2b6 adalah enzim aktif dalam osksidasi nikotin kedua setelah Cyp2a6

pada studi in vitro menggunakan jaringan sel hepar (Yamasaki et al., 1999).

Sedangkan Cyp2e1 dan Cyp2a13 yang banyak terdapat dalam mukosa saluran

napas terutama mukosa nasal menunjukkan aktivitas terhadap nikotin jika

konsentrasi nikotin tinggi (Yamasaki et al., 1999; Ting et al., 2000).

2.11.5. Enzim-Enzim Lain dalam Metabolisme Nikotin dan Cotinine

Terdapat beberapa enzim yang juga ikut berperan dalam metabolisme nikotin

walaupun jumlah reaksi yang dikatalisasi olehnya kadang kala jauh lebih kecil

jika dibandingkan dengan Cyp pada fase 1. Tetapi pada fase 2 kehadiran beberapa

enzim-enzim ini penting artinya, sebab reaksi yang terjadi pada fase 2 merupakan

kelanjutan dari reaksi pada fase 1. Pada fase 2 ini kelarutan metabolit nikotin lebih

ditingkatkn lagi sehingga mudah dieksresikan. Enzim-enzim tersebut antara lain :

1. Aldehid Oksidase. Aldehid oksidase adalah enzim sitoplasma yang

mengkatalisasi konvesi ion nikotin-1(5)-iminium menjadi cotinine

(Hukkanen et al., 2005).

2. Flavin-Containing Monooxygenase 3 (Fmo3). Fmo3 merupakan enzim

utama yang bertanggung jawab terhadap pembentukan nikotin N-oksid

(Hukkanen et al., 2005).


41

3. Amin N-metiltransferase. N-metilasi nikotin dikatalisis oleh enzim Amine

N-metiltransferase (47). Ekspresi enzim ini tertinggi pada organ tiroid,

adrenal, dan paru (Thompson et al., 1999).

4. UDP-glikoronosiltransferase. Enzim ini sangat penting perannya dalam

fase 2 metabolisme xenobiotika. Nikotin dan cotinine mengalami reaksi

metabolisme fase 2 melalui proses N-glukoronidasi, sedangkan sebagian

besar 3-hydroxycotinine melalui proses O-glukoronidasi (Hukkanen et al.,

2005).

2.11.6. Kuantifikasi Metabolit Primer dari Nikotin dan Cotinine

Hingga saat ini aspek kuantitatif pola metabolisme nikotin telah banyak

dipelajari pada manusia (Gambar 2.8). Sekitar 90% dosis sistemik nikotin

akhirnya dapat ditemukan dalam bentuk nikotin dan metabolitnya dalam urin

(Benowitz et al., 1993). Berdasarkan studi dengan infus nikotin dan cotinine

terlabel, dapat ditentukan bahwa 70-80% nikotin dikonversikan menjadi cotinine

(50). Sekitar 4-7% nikotin dieksresikan sebagai nikotin N-oksid dan 3-5%

sebagai nikotin glukoronid (Benowitz et al., 1993).

Hanya fraksi kecil cotinine dieksresikan dalam bentuk yang tetap dalam urin

(10-15% nikotin dan metabolit dalam urin). Sisanya dikonversi menjadi metabolit,

terutama trans-3-hydroxycotinine (33-40%), cotinine glukoronid (12-17%), dan

trans-3-hydroxycotinine glukoronid (7-9%) (Hukkanen et al., 2005). Aspek

kuantifikasi ini dapat lebih jelasnya dilihat pada gambar 2.12.


42

Nicotine Nicotine N Oxide Cotinine


Glucoronide Cotinine Glucoronide
Nicotine
methonium Ion
Isomethonium Ion

3-Pyridilacetic Acid NICOTINE Nicotine-1(5) . COTININE


Iminium Ion Cotinine N Oxide

N-Hydroxymethyl-
norcotinine

4-(3-Pyridil)-butanoic 2-Hydroxycotinine Nornicotine 5-Hydroxycotinine Trans 3-


Acid Hydroxycotinine

Norcotinine

4-Oxo-4-(3-
4-(methylamino)-1-(3- pyridyl)-butanamide Trans3- Hydroxycotinine
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-N-
pyridil)-1-butanone Glucoronide
methylbutanamide

4-(3-Pyridil)-3- 4-Hydroxy-4-(3- 4-Oxo-4-(3-pyridyl)-


butanoic Acid pyridyl)-butanoic Acid butanoic Acid

5-(3-pyridyl)-
Tetrahydrofuran-2-one

Gambar 2.11. Jalur Metabolisme Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Jalur Umum
metabolisme nikotin dalam tubuh menghasilkan berbagai macam metabolit
derivatifnya. Beberapa di antaranya memiliki sifat karsinogenik seperti 4-
(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone sebab ia dapat berikatan dengan bsa
nitrogen dalam DNA.
43

Gambar 2.12. Metabolit Primer Nikotin dan Kuantifikasinya (Hukkanen et alv,


2005). Dalam bagan di atas tampak bahwa mayoritas nikotin diubah menjadi
trans-3-hydroxycotinine untuk kemudian dieksresikan dalam tubuh dalam bentuk
yang sama atau dikonjugasikan dengan glukoronid.

2.11.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin

Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi interindividual pada

metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain

faktor genetik (akan dibahas dalam sub bab tersendiri) :

1. Pengaruh kondisi fisiologis tertentu

a. Diet dan Mentol

Hepar sebagai organ utama dalam metabolisme nikotin membawa implikasi

bahwa metabolisme nikotin ini sangat bergantung kepada aliran darah ke

dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas

ataupun obat-obatan yang mengganggu aliran darah menuju hepar akan


44

mempengaruhi metabolisme nikotin. Gries et al (1996), menemukan bahwa

makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan infus nikotin yang

dipertahankan tetap (steady state) akan menghasilkan penurunan

konsentrasinya yang konsisten dan mencapai maksimal 30-60 menit setelah

makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan

nikotin meningkat sekitar 40% (Hukkanen et al., 2005).

Menthol, zat yang banyak digunakan sebagai perasa dalam makanan,

mouthwash, pasta gigi dan bahkan rokok, telah dilaporkan dapat

menghambat kerja enzim Cyp2a6 (MacDougall et al., 2003). Laporan

mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al (2004) lalu melalui

penelitiannya yang membandingkan aktivitas Cyp2a6 pada perokok sigaret

bermentol dengan non-mentol. Ia menunjukkan bahwa metabolisme nikotin

menjadi cotinine dan glukoronidasi nikotin terhambat (Benowitz et al.,

2004).

b. Umur

Metabolisme dan bersihan nikotin menurun seiring makin meningkatnya

umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal

menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan

dengan umur dewasa muda (Molander et al., 2001). Penurunan ini lebih

disebabkan karena penurunan aliran darah ke hepar dibandingkan dengan

penurunan aktivitas enzimnya sendiri (Messina et al., 1997).


45

c. Kronofarmakokinetik Nikotin

Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan

nikotin. Bersihan nikotin bervariasi sebesar 17% (dari puncak ke ambang)

dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas

bersihan nikotin memiliki irama sirkadian (Gries et al., 1996).

d. Perbedaan Kelamin

Penelitian yang dilakukan oleh Benowitz dan Jacob (1994) menunjukkan

bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada

wanita walaupun hasilnya tidak signifikan. Akan tetapi, penelitian yang

paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin

pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang

menggunakan kontrasepsi oral (Robertson et al., 2000; Hukkanen et al.,

2005).

2. Konsumsi obat-obatan

a. Penginduksi (inducers)

Beberapa macam obat dapat menginduksi aktivitas enzim Cyp2a6 dalam

kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat

tersebut di antaranya adalah rifampicin, dexamethasone, dan Phenobarbital

(Robertson et al., 2000; Rae et al., 2001; Edwards et al., 2003; Madan et al.,

2003).
46

b. Inhibitor

Beberapa obat seperti methoxsalen (8-methoxypsoralen), tranylcypromine,

tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol dapat menghambat aktivitas

Cyp2a6 (Wenjiang et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).

3. Kondisi patologis

Penyakit-penyakit tertentu telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap

aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada

hepar, dan alcoholic liver disease (Hukkanen et al., 2005).


Penyakit tertentu

Faktor Genetik Metabolisme nikotin Penggunaan obat-obatan


tertentu

Kondisi fisiologis
tertentu, misalkan umur,
sex, dan lain lain

Gambar 2.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin. Pada


umunya metabolisme niotin sangat dipengaruhi oleh empat faktor seperti yang
tertera di atas.

2.11.8. Metabolisme Nikotin Ekstra Hepatik

Hasil penelitian pada binatang membuktikan bahwa sebagian kecil

metabolisme nikotin terjadi dalam organ-organ ekstra hepatik seperti misalnya

paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang

dilakukan pada manusia menunjukkan hal yang sama. Di samping liver,

metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa

hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut
47

dibuktikan dengan adanya ekspresi gen CYP2A pada organ-organ terkait

walaupun dalam kadar yang rendah (Ting et al., 2000; Hukkanen et al., 2002).

Akan tetapi, protein Cyp2a yang terlibat dalam metabolisme nikotin

kemungkinan besar adalah Cyp2a13, sebab antibodi yang bereaksi terhadap

Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13.

Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13 pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6 (Ting et al., 2000).

Di samping CYP2A6 dan CYP2A13, masih banyak gen CYP2 yang

memetabolisme sejumlah kecil nikotin diekspresikan di berbagai organ. Sebagai

contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1

dalam paru, otak dan esofagus (Hukkanen et al., 2005).

Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam

konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase

pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan

otak, terutama dalam substansia nigra; Amin N-metiltransferase pada kelenjar

tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDP-

glikoronosiltransferase) diekspresikan juga dalam lambung, jaringan empedu,

ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae (Hukkanen et al.,

2005).

2.12. Definisi dan Aspek Umum Ketergantungan Fisik Individu terhadap

Obat

Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan yang berkembang oleh sebab

adanya toleransi. Proses toleransi terjadi karena adanya pengaturan ulang


48

mekanisme homeostasis sebagai respons penggunaan obat atau zat kimia tertentu

secara berulang (OBrian, 2006). Obat-obatan atau zat kimia tertentu dapat

mempengaruhi banyak sistem pada tubuh kita yang pada awalnya ada dalam

keadaan equilibrium. Sistem ini akan menemukan keseimbangan baru dengan

hadirnya efek inhibisi atau stimulasi dari obat. Seseorang yang berada pada status

adaptasi atau tergantung secara fisik memerlukan asupan obat yang kontinyu

untuk mempertahankan fungsi sistem tubuhnya yang normal. Jika asupan obat

dihentikan dengan tiba-tiba, muncullah ketidakseimbangan lagi, dan sistem yang

berkaitan harus mengatur ulang kembali untuk mencapai kondisi equilibrium

tanpa intervensi obat.

Satu-satunya bukti aktual adanya proses toleransi adalah timbulnya

sekelompok gejala-gejala yang dikenal dengan withdrawal syndrome jika asupan

obat dihentikan. Gejala withdrawal sedikitnya berasal dari 2 sumber, yaitu (1)

proses pengeluaran obat penyebab ketergantungan, (2) bangkitan berlebihan dari

sistem saraf pusat (SSP) sebagai bentuk mekanisme readaptasi hilangnya efek

obat. Variabel farmakokinetik mempunyai peran yang sangat penting dalam

menentukan amplitudo dan durasi withdrawal syndrome. Gejala dan tanda

withdrawal syndrome sangat spesifik untuk jenis obat dan cenderung

menunjukkan efek kebalikan dari efek obat sebelum proses toleransi terjadi.

Misalkan, penghentian tiba-tiba asupan agonis opioid yang memiliki efek miosis

dan bradikardia akan menimbulkan gejala withdrawal syndrome berupa midriasis

dan takikardia.
49

Toleransi, ketergantungan fisik, dan withdrawal syndrome adalah fenomena

biologis. Mereka merupakan konsekuensi alami dari penggunaan obat dan dapat

dibuktikan pada hewan coba atau pada manusia setelah penggunaan obat

berulang. Fenomena ini tidak mengimplikasikan bahwa individu yang

bersangkutan terlibat masalah kecanduan atau penyalahgunaan obat (abuse).

Kecanduan dan penyalahgunaan obat, yang dalam bahasa inggris disebut dengan

addiction dan abuse, merupakan sindroma perilaku yang dikarakteristikkan oleh

pola kompulsif pada penggunaan obat dari dosis minimal sampai dosis yang

adiktif. American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan kecanduan

sebagai sekelompok gejala yang mengindikasikan bahwa individu meneruskan

penggunaan obat walaupun telah muncul berbagai masalah yang secara signifikan

terkait penggunaan obat tersebut (OBrian, 2006).

2.13. Farmakogenetika

Farmakogenetika adalah studi yang menilai variasi respons terhadap obat oleh

karena pengaruh faktor genetik (Relling dan Giacomini, 2006). Pada aspek yang

lebih luas, farmakogenetika mencakup farmakogenomik yang melibatkan studi

keseleruhan genom untuk menilai determinan multigenik terhadap respons obat.

Respons terhadap obat adalah salah satu bentuk fenotip hasil interaksi faktor

genetik dan lingkungan. Jadi, respons individual terhadap obat tergantung pada

interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu,

variasi respons obat antar individu dapat dijelaskan dengan variasi faktor

lingkungan dan/atau faktor genetik. Sejauh mana proporsi variabilitas respons

obat ditentukan oleh faktor genetik? Studi famili klasik dapat memberikan
50

beberapa informasi penting untuk menjawab pertanyaan itu. Studi pada anak

kembar telah memberikan bukti bahwa variasi metabolisme obat memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk diwariskan. Selain itu, perbandingan variabilitas

antara intra-twin vs. inter-pair study juga menunjukkan bahwa sekitar 75-85%

variasi pada farmakokinetik obat dapat diwariskan (Relling dan Giacomini, 2006).

2.14. Polimorfisme pada Gen CYP sebagai Dasar Variasi Farmakokinetik

Nikotin

2.14.1. Konsep Polimorfisme Genetik

Sekuens DNA pada suatu tempat dalam genom antar individu di seluruh

dunia tidaklah tepat sama, tetapi menunjukkan variasi. Perbedaan atau variasi

sekuens dapat muncul tiap 1000 sampai 2500 pasang basa. Perbedaan ini 2,5 kali

lebih tinggi pada tempat-tempat yang tidak mengkode protein (non-protein-coding

region, mencapai 98% genom), yaitu sekitar 1/1000 pasang basa, dibandingkan

dengan tempat yang mengkode protein (protein-coding region) yang hanya

1/2500 pasang basa. Perbedaan ini tampaknya menunjukkan tekanan seleksi alam

yang lebih besar pada tempat-tempat tersebut dalam genom, sehingga frekuensi

mutasinya rendah selama perjalanan evolusi (Nussbaum et al., 2007).

Jika, suatu varian gen sangat sering ditemukan dalam suatu populasi, maka

gen tersebut dikatakan polimorfik. Jadi, polimorfisme didefinisikan sebagai

variasi bentuk dari gen, protein atau kromosom yang menghasilkan dua atau lebih

varian dan masing-masing varian memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Frekuensi

yang demikian tinggi tidak hanya disebabkan proses mutasi genetik berulang saja

(Young, 2005). Suatu gen dikatakan polimorfik jika gen tersebut memiliki varian
51

dengan frekuensi paling sedikit 1% dalam populasi, jika lebih kecil dari 1% maka

disebut sebagai varian langka (rare variants). Dengan kriteria ini, penyakit

genetik termasuk sebagai varian langka, tetapi perlu ditekankan di sini bahwa

frekuensi alel tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan efek gen terhadap

kesehatan individu (Nussbaum et al., 2007).

Tabel 2.2. Jenis-jenis Polimorfisme DNA (Nussbaum et al., 2007)


Mekanisme
Polimorfisme Polimorfisme Jumlah Alel
SNP (Single Nucleotide Substitusi satu basa atau 2
Polymorphism) salah satu dari dua basa
yang lainnya pada satu
lokasi
In-del (insersi-delesi)
Simple In-del Ada atau tidaknya 2
Polymorphism segmen pendek dari DNA

STRP (Short Tandem ~5-25 kopi unit 5 atau lebih


Repeat Polymorphism) pengulangan di-,tri, atau
tetra nukoleotida,
membentuk susunan
VNTR (Variable tandem 5 atau lebih
Number of Tandem
Repeat) Ratusan sampai ribuan
kopi unit pengulangan 10-
100 nukoleotida,
membentuk sususan
tandem

CNP (Copy Number Ada atau tidaknya 2 atau lebih


Polymorphism) segmen DNA sepanjang
200 bp-1,5 Mb, walaupun
duplikasi tandem
sebanyak 2, 3, 4, atau
lebih dapat terjadi
Terdapat banyak jenis-jenis polimorfisme. Beberapa polimorfisme adalah

akibat delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari beberapa ratus hingga juta

pasang basa. Polimorfisme ini tidak selalu terlibat dalam munculnya penyakit
52

genetik, meskipun sejumlah di antaranya dapat menyebabkan penyakit genetik

yang serius. Polimorfisme juga dapat berupa perbedaan hanya dalam satu atau

beberapa pasang basa dalam gen, di antara gen, atau di dalam intron. Variasi

bentuk ini dapat tidak memiliki konsekuensi apapun dan hanya terdeteksi saat

dilakukan analisis DNA. Sementara beberapa di antaranya terutama jika

perubahan terletak dalam protein-coding regions, regulatory regions (promoter,

enhancer, silencer, dan lain-lain), dapat menyebabkan perubahan fenotip melalui

perubahan protein yang dikodenya dengan cara perubahan strukturnya atau

jumlahnya (Nussbaum et al., 2007).

Polimorfisme pada gen telah berkembang selama proses evolusi melalui

berbagai macam mekanisme, seperti point mutation (missesnse, nonsense atau

frame-shift), konversi gen, delesi, dan insersi. Banyak SNP juga telah ditemukan

tersebar dalam genom (Gullstn, 2000).

2.14.2. Polimorfisme Gen CYP2A6

Adanya polimorfisme akan tampak pertama kali pada tingkat fenotip. Variasi

dalam aktivitas enzim atau dalam laju eliminasi suatu bahan yang menjadi

substrat enzim terkait telah dijadikan sebagai dasar pengukuran adanya variasi

fenotip. Hal ini banyak dilakukan pada enzim-enzim mikrosom hati baik secara in

vivo maupun in vitro pada hewan. Pada manusia, polimorfisme tertentu dari

XMEs (Xenobiotic Metabolizing Enzymes) telah banyak ditemukan dengan

melihat adanya kegagalan metabolisme obat-obat tertentu atau bahkan gagalnya

suatu terapi (Gullstn, 2000).


53

Contoh polimorfisme pada XMEs yaitu polimorfisme pada gen CYP1A1 yang

menyebabkannya memiliki 4 varian, yaitu CYP1A1*2A, CYP1A1*2B, CYP1A1*3,

dan CYP1A1*4. Masing-masing varian yang diberi nomor setelah tanda bintang

sesuai dengan urutan ditemukannya memiliki aktivitas enzim yang berbeda-beda

dan bahkan beberapa varian tertentu di antaranya meningkatkan risiko kanker

paru terutama jika bersamaan dengan efek mutasi sinergistik dari gen p53, Ki-ras

atau GSTM1 (Gullstn, 2000). Polimorfisme juga terjadi pada gen CYP2A6 yang

menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Polimorfisme pada gen tersebut

sekarang menghasilkan sekitar 37 varian atau alael dan terus bertambah melalui

penelitian-penelitian yang dilakukan terhadapnya. Variasi yang terjadi tidak hanya

pada tingkat genotip tetapi juga pada tingkat fenotip berupa bertambah atau

berkurangnya dan bahkan pada beberapa varian, hilangnya aktivitas enzim sama

sekali (null mutation) yaitu pada alel CYP2A6*4. Mekanisme yang bertanggung

jawab terhadap hilangnya atau duplikasi gen adalah unequal crossing-over

dimana saat crossing-over, gen CYP2A6 dari kromatid yang homolog berpasangan

tidak sejajar dengan CYP2A7 yang berada di samping gen CYP2A6 (flanking

region). Unequal croosing-over seperti ini bisa saja terjadi mengingat gen

CYP2A7 memiliki sekuens yang hampir persis sama dengan CYP2A6 dengan

tingkat kemiripan sebesar 96% jika dilihat dari sekuens nukleotida dalam

genomnya (Gullstn, 2000).

Pada tabel di bawah ini, tabel 2.3 disajikan 28 alel gen CYP2A6 beserta

dengan variasi sekuens nukleotida, dan efeknya in vivo maupun in vitro. Sebagian

besar varian dari normal atau wild type menghasilkan fenotip enzim dengan
54

aktivitas yang menurun, meskipun ada juga yang menghasilkan peningkatan

aktivitas enzim yang dikodenya akibat duplikasi gen CYP2A6. Hampir semua

varian merupakan SNP (Single Nucleotide Polymorphism). Adanya polimorfisme

ini mengakibatkan missense mutation dan gangguan terhadap efektifitas

regulatory element seperti promoter (TATA box) atau proximal promoter elements

(CCAAT box). Satu varian alel, yaitu CYP2A6*4 merupakan akibat delesi

keseluruhan gen CYP2A6 yang disebabkan oleh adanya unequal crossing over

saat pembelahan meiosis pembentukan sel gamet dengan salah satu sel gamet

mendapatkan 2 gen CYP2A6 (duplikasi) dan sel gamet yang lain mengalami delesi

seperti yang telah dijelaskan di atas.

2.15. Farmakodinamika Nikotin

2.15.1. Efek Nikotin pada Sistem Kardiovaskular, Respirasi, Endokrin dan

Metabolisme Tubuh Secara Umum

Efek Nikotin pada sistem kardiovaskular diperantarai oleh stimulasi simpatik

akibat peningkatan katekolamin dalam sirkulasi. Nikotin menyebabkan stimulasi

simpatis ini melalui mekanisme perifer dan sentral. Mekanisme aktivasi melalui

sistem saraf pusat (SSP), di antaranya adalah aktivasi kemoreseptor perifer,

terutama kemoreseptor karotid, dan efek langsung pada batang otak serta sumsum

tulang belakang..
Tabel 2.3. Beberapa Macam Alel Gen CYP2A6 beserta Fenotipnya In Vivo dan In Vitro (Hukkanen et al., 2005)
55
56

Sedangkan yang termasuk mekanisme perifer di antaranya adalah pelepasan

katekolamin dari kelenjar adrenal dan ujung saraf pada dinding vaskular.

Keseluruhan mekanisme nikotin ini meningkatkan denyut jantung dan tekanan

darah.

Nikotin juga mempengaruhi aliran darah secara diferensial ke organ-organ

yang berbeda, menyebabkan vasokonstriksi pada beberapa jaringan pembuluh

darah (misal kulit) dan vasodilatasi pada jaringan pembuluh darah di tempat lain

(misal jaringan otot). Vasokontriksi pada jaringan kulit akan mengurangi suhu

pada permukaannya. Nikotin juga menginduksi vasokonstriksi pada pembuluh

darah koroner. Vasokonstriksi koroner tersebut tampaknya diperantarai oleh

katekolamin. Selain pada sistem kardiovaskular, nikotin juga memiliki pengaruh

pada sistem respirasi, yaitu berupa konstriksi bronkus dan peningkatan produksi

mukus. Hal ini akan meningkatkan tahanan terhadap aliran udara pernapasan, dan

menurunkan ventilasi paru.

Laju metabolisme tubuh secara umum dipengaruhi juga oleh nikotin. Seorang

perokok rata-rata memiliki berat badan 4 kg lebih rendah dibandingkan dengan

bukan perokok. Berat badan yang lebih rendah ini dipertahankan oleh keadaan

metabolisme yang tinggi dan nafsu makan yang tertekan. Berhentinya kebiasaan

merokok akan kembali meningkatkan nafsu makan dan asupan kalori, akibatnya

terjadi peningkatan berat badan selama 6-12 bulan setelahnya. Pada sistem

endokrin, nikotin menstimulasi pelepasan ACTH dan kortisol serta -endorfin.

Dengan demikian nikotin terbukti memiliki efek analgesik (Britton et al., 2000).
57

2.15.2. Efek Psikoaktif dari Nikotin dan Patofisiologi Ketergantungan Fisik

Individu pada Nikotin

Nikotin termasuk dalam obat-obatan yang memiliki efek adiktif seperti

halnya kokain, heroin, morfin atau amfetamin. Obat-obat adiktif tersebut memiliki

dua karakteristik penting sehubungannya dengan perilaku pemakainya, yaitu (1)

menimbulkan efek dalam otak yang menyenangkan dan mendorong

penggunaannya kembali (self-administration) pada hewan coba ataupun pada

manusia; (2) Seiring penggunaannya secara kronis, penghentian penggunaan obat

akan menghasilkan abstinence syndrome sehingga individu yang kecanduan akan

melanjutkan penggunaan obat terkait untuk menghindari efek tersebut (Britton et

al., 2000).

Studi mengenai mekanisme suatu zat adiktif dalam memberikan dorongan

positifnya (positive reinforcing effects) secara signifikan telah dipengaruhi oleh

percobaan-percobaan pada beberapa macam obat psikostimulan, amfetamin dan

kokain. Eksperimen-eksperimen tersebut membuktikan bahwa kemampuan zat

atau obat terkait untuk memberikan stimulasi lokomotor dan menimbulkan

kecanduan pada hewan coba tergantung pada kemampuannya dalam

meningkatkan neurotrnasmisi di sinaps-sinaps dopamin sistem mesolimbik otak,

yaitu tepatnya pada area ventral tegmental (VTA, Ventral Tegmental Area).

Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa lesi pada area ini menyebabkan

melemahnya efek stimulasi obat tersebut dan kemampuannya untuk menimbulkan

kecanduan. Peningkatan yang tinggi pada aliran dopamin di nukleus akumbens


58

oleh sebab rangsangan kokain dan amfetamin menyebabkan efek euforia yang

cukup untuk mengakibatkan kecanduan pada para penggunanya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, efek stimulan lokomotor nikotin dan

kemampuannya untuk menimbulkan dorongan positif tergantung pada

kemampuanya untuk menstimulasi neuron-neuron yang mensekresikan dopamin

pada sistem mesolimbik, yaitu nukleus akumbens. Efek nikotin terhadap

pelepasan dopamin dari neuron-neuron ini telah dipelajari secara mendalam

menggunakan teknik mikrodialisis in vivo, yaitu suatu metode yang dapat

digunakan untuk mempelajari pelepasan neurotransmiter di area tertentu dalam

otak pada hewan hidup. Studi ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikotin

menstimulasi pelepasan dopamin oleh neuron-neuron di daerah nukleus akumbens

(Britton et al., 2000). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa nikotin dapat terikat

dengan reseptor kolinergik nikotinik (nAChR, nicotinic Acetylcholine Receptor)

yang terdapat pada membran neuron-neuron tersebut. nAChR memiliki banyak

isoform yang terdapat pada banyak membran neuron di area-area berbeda dalam

otak, misalnya pada daerah VTA, hipokampus, dan area-area lain yang tersebar

dalam sistem saraf pusat.

Studi neurobiologi kecanduan obat tidak lepas dari fakta bahwa adiksi atau

kecanduan merupakan konsekuensi dari penggunaan obat secara kronis. Oleh

sebab itu, perlu dimengerti bagaimana mekanisme respon otak yang terpengaruh

oleh paparan kronis obat adiktif. Hasil penelitian pada hewan coba, pemberian

amfetamin atau kokain berulang akan menghasilkan efek sensititasi pelepasan

dopamin di nukleus akumbens. Mekanisme sensititasi ini dipercaya memiliki


59

peran sentral terhadap berkembangnya kecanduan. Dalam hal ini, sensititasi jalur

neuron memfasilitasi suatu cara di mana perilaku mendapatkan obat dipelajari

dan juga memfasilitasi proses menyukai obat menjadi kecanduan obat. Proses

pembelajaran yang terjadi merupakan adanya mekanisme Long Term Potentiation

(LTP) pada hipokampus sama seperti halnya mekanisme LTP saat kita berlatih

atau belajar. Pada dasarnya, sistem mesolimbik itu sendiri berperan dalam

memberikan fungsi afektif terhadap rangsangan sensorik yang masuk, yang

nantinya menjadikannya suatu dasar motivasi individu dalam menentukan

perilakunya. Motivasi ini bisa berupa motivasi apetitif, yaitu motivasi mencari

kesenangan, kenikmatan, atau motivasi aversif, yaitu motivasi untuk menghindar

dari sesuatu yang tidak enak, tidak nyaman atau sakit. Sistem ini dgambarkan

dengan skema di bawah ini.

Motivasi apetitif

(+) Enak, nyaman, nikmat Hipokampus

Input Rangsangan
reseptor Asosiasi proses pembelajaran
(perilaku) sensorik

Tidak enak, sakit Hipokampus


(-)

Motivasi aversif

Gambar 2.14. Skema Berkembangnya Motivasi Apetitif dan Aversif melalui


Proses Pembelajaran. Hipokampus dan mekanisme feedback tentang fungsi afektif
dari stimulus sensorik yang masuk mempunyai peran sentral dalam menentukan
perilaku perokok.
60

Pemberian nikotin berulang dipercaya juga dapat menghasilkan suatu

sensititasi efeknya pada jalur pelepasan dopamin di nukleus akumbens seperti

halnya pada pemberian amfetamin atau kokain. Selain pada nukleus akumbens,

nikotin juga menimbulkan perangsangan pada reseptor NMDA (N-methyl D-

Aspartate) untuk glutamat. Kostimulasi ini tampaknya memiliki peran terhadap

timbulnya mekanisme sensititasi, mengingat pemberian antagonis reseptor

NMDA melemahkan atau bahkan menghilangkan mekanisme ini.

Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak neuron dalam otak

mengekspresikan reseptor nikotinik (nAChR), akibatnya, nikotin juga

menstimulasi jalur-jalur lain yang penting dalam menimbulkan efek adiksi. Jalur-

jalur yang dimaksud di antaranya adalah neuron noradrenergik pada lokus

soeruleus, neuron kolinergik pada hipokampus dan korteks yang juga

mensekresikan asam amino eksitatorik yaitu glutamat, dan asam amino inhbitorik,

yaitu asam -amino butirat (GABA, -amino butiric acid). Perangsangan pada

jalur-jalur ini akan menghasilkan peningkatan kewaspadaan, fokus, dan fungsi

kognitif pada perokok, dan akibat inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa

mereka merokok di samping efek menyenangkan yang diperolehnya.

Namun, dengan berlanjutnya paparan nikotin secara kronis, proses

desensititasi mulai terjadi pada banyak reseptor nikotinik yang memediasi efeknya

dalam otak. Dari hasil penelitian mutakhir telah terbukti bahwa kadar nikotin

darah perokok pada siang hari cukup untuk menimbulkan efek desensititasi

reseptor nikotinik neuron-neuron dopaminergik di sistem mesolimbik. Hasilnya,

asupan nikotin tidak lagi meningkatkan peningkatan pelepasan dopamin di


61

nukleus akumbens. Hal ini memiliki konsekuensi penting untuk hipotesis dopamin

dari kecanduan nikotin. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa perokok

meneruskan perilaku merokoknya walaupun sebenarnya nikotin tidak lagi

menstimulasi neuron dopaminergik di brain reward system, dan besar

kemungkinannya mekanisme lain bertanggung jawab terhadap efek adiksi nikotin.

Mekanisme lain yang dimaksud misalnya desensititasi reseptor nikotinik pada

neuron noradrenergik oleh konsentrasi nikotin yang tinggi dalam plasma perokok

akan menimbulkan efek penenang (tranquillising) yang sering dilaporkan oleh

perokok yang terpapar dengan stresor lingkungan. Perlu ditekankan kembali di

sini bahwa nikotin memberikan efeknya dalam otak dengan berikatan dengan

reseptor nikotinik. Jadi, respon neuronal lainnya yang memiliki reseptor nikotinik

yang sama dapat memiliki peran penting dalam kecanduan nikotin.

Paparan nikotin dalam jangka waktu lama juga telah diketahui menghambat

produksi dan pelepasan 5-Hidroxysitriptamine (5-HT) pada neuron-neuron

hipokampus. Penurunan produkasi dan pelepasan 5-HT pada gilirannya akan

meningkatkan ekspresi reseptor 5-HT1A pos sinaptik di neuron-neuron

hipokampus sebagai langkah antisipasi. Peningkatan ini akan meningkatkan

sensitivitas neuron pos sinaptik. Konsekuensinya, jika kadar nikotin dalam darah

menurun, yaitu perokok berhenti merokok, hambatan produksi 5-HT menurun dan

peningkatan pelepasan 5-HT yang bersamaan dengan meningkatnya sensitivitas

neuron pos sinaptik akan menghasilkan peningkatan stimulasi reseptor 5-HT1A.

Peningkatan stimulasi akan menyebabkan timbulnya gejala kecemasan (Britton et

al., 2000). Mekanisme-meknisme pada jalur neuronal inilah yang menjadi


62

penyebab berubahnya motivasi apetitif individu terhadap nikotin berubah menjadi

motivasi aversif di mana perokok mempertahankan perilaku merokoknya bukan

lagi untuk mencari kenikmatan, tetapi untuk menghindari efek tidak enak atau

tidak nyaman yang timbul jika mereka berhenti merokok.

2.16. Pengukuran Tingkat Ketergantungan Fisik Perokok terhadap Nikotin

Proses toleransi terhadap nikotin terjadi oleh sebab asupannya yang berulang,

dalam jangka waktu yang lama. Toleransi merupakan petunjuk bahwa perokok

sudah mengalami ketergantungan secara fisik terhadap nikotin. Satu-satunya

gejala atau tanda bahwa proses toleransi telah terjadi adalah munculnya

withdarwal syndrome juka konsumsi nikotin dihentikan secara tiba-tiba (OBrian,

2006).

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa target organ nikotin adalah

jaringan otak. Dengan demikian munculnya withdrawal syndrome pada perokok

dapat tampak sebagai gejala-gejala psikis, misalnya hilangnya konsentrasi, fokus,

mudah marah (iritable), perasaan gelisah dan sebagainya. Untuk mengantisipasi

gejala-gejala tersebut, perokok mengubah pola perilakunya yang dapat dideteksi

atau diukur dengan menggunakan kuesioner, yaitu kuesioner FTND (Fagerstrrm

Test for Nicotine Dependence).

Menurut hasil studi Piper et al tahun 2003 yang membandingkan kuesioner

WISDM-68 (Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives, terdiri dari 68

pertanyaan yang terbagi dalam 13 domain motif ketergantungan terhadap nikotin)

dengan FTND, terbukti bahwa FTND memiliki korelasi positif yang kuat

(koefisien korelasi 0,78, p<0,05) dengan domain motif toleransi pada kuesioner
63

WISDM-68. Jadi, dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa kuesioner

FTND sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya proses toleransi yang

menjadi pertanda bahwa perokok telah mengalami ketergantungan fisik. Semakin

tinggi skor pada FTND, semakin tinggi pula ketergantungan fisik terhadap nikotin

yang dialaminya. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa kuesioner FTND hanya

sesuai jika digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan fisik bukan

ketergantungan oleh sebab atau motif lain misalkan motif otomatisasi, motif

kontrol berat badan dan lain-lain.

2.17. Pengukuran Jumlah Paparan Rokok Menggunakan Cigarettes Pack-

Years

Sama halnya dengan sifat proses toleransi dari berbagai macam obat lainnya,

ketergantungan terhadap nikotin juga memiliki sifat yang tergantung waktu dan

dosis, makadari itu, untuk mengukur berapa banyak seorang rokok telah terpapar

dengan nikotin adalah dengan menggunakan indeks rokok-tahun, atau yang sering

disebut dengan istilah Cigarettes pack-years. Indeks ini merupakan produk jumlah

rokok yang dihisap perhari (dalam satuan bungkus, dengan asumsi satu bungkus

rokoksama dengan 20 batang) dengan lamanya kebiasaan merokok tersebut. Jadi,

1 Cigarettes pack-years memiliki arti bahwa seseorang sudah merokok 1 bungkus

rokok (20 batang rokok/hari) selama setahun.

Cigarettes pack-year lebih tepat dan sering digunakan dalam ranah klinis

sebab memiliki arti yang representatif untuk mengukur jumlah paparan nikotin

sehubungannya dengan risiko untuk menderita penyakit yang disebabkan oleh

rokok (Burns, 2005).


64

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan faktor determinan

bagi perokok untuk mempertahankan perilaku merokoknya meskipun mereka tahu

dengan pasti berbagai macam penyakit yang dapat ditimbulkannya. Patofisiologi

ketergantungan fisik ini beserta beberapa faktor risiko terkait telah semakin

banyak diketahui saat ini melalui banyak penelitian dan berbagai macam

pendekatan telah dilakukan untuk mengatasinya. Di antara faktor risiko secara

garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal terdiri dari jenis kelamin, umur, adanya penyakit atau

kondisi fisiologis tertentu (misal kehamilan), kondisi psikologis, konsumsi obat-

obatan, dan tentu saja komposisi genetik individu. Faktor eksternal terdiri dari

sosial-ekonomi, budaya atau pergaulan dan pendidikan

Komposisi genetik yang merupakan salah satu faktor internal ketergantungan

fisik individu terhadap nikotin menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Faktor

genetik ini sebenarnya terdiri dari banyak gen yang memiliki peran masing-

masing dalam patofisiologi ketergantungan fisik, di antaranya terdapat gen-gen

yang mengkode protein-protein reseptor dan trasporter neurotransmiter neuronal

di otak, misalkan reseptor dopamin D2 (DRD2), transporter dopamin (DAT),

transporter serotonin (5HTT), dan gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim

64
65

sitokrom 2a6. Gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim sitokrom 2a6

bertanggung jawab terhadap metabolisme 70-90% nikotin dalam darah perokok.

Banyak penelitian yang menyebutkan terdapatnya polimorfisme pada gen tersebut

dan tentu saja menghasilkan fenotip yang berbeda-beda. Variasi fenotip yang

muncul bisa berupa reaksi biokimiawi metabolisme nikotin, yaitu peningkatan

aktivitas enzim atau penurunannya dan variasi fenotip dalam hal perannya dalam

patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin. Penelitian yang mengkaji

variasi fenotip dalam bentuk perilaku merokok menunjukkan hasil yang

bervariasi, dan oleh sebab itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

3.2. Konsep

Faktor Internal Faktor Eksternal

- Jenis kelamin - Sosial-ekonomi

- Suku - Budaya/pergaulan

- Faktor genetik - pendidikan

- Faktor psikologis

- obat-obatan

- Umur

- Penyakit atau kondisi

fisiologis tertentu

Ketergantungan fisik

terhadap nikotin

Gambar 3.1. Kerangka Konsep


66

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu gen CYP2A6 lebih sering

ditemukan pada kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin

yang tinggi daripada kelompok perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah.
67

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan rancangan studi

kasus kontrol (case-control study). Dalam penelitian ini akan dilihat peran gen

CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin dalam rokok

pada subyek penelitian. Untuk menentukan polimorfisme gen CYP2A6 dilakukan

metode PCR yang akan dijelaskan di bawah.

Subyek penelitian yang terdiri dari 56 orang yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi penelitian secara acak dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok

kontrol atau kelompok tanpa efek (ketergantungan fisik terhadap nikotin rendah)

sebanyak 28 orang dan kelompok dengan dengan efek (ketergantungan fisik

terhadap nikotin tinggi) sebanyak 28 orang berdasarkan skor toleransi hasil

pengukuran menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine

Dependence) yang terdiri dari 6 pertanyaan. Kemudian, pada kedua kelompok

subyek dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi faktor risiko berupa

gen CYP2A6.

.Rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Faktor Risiko (+) Ketergantungan


(Gen CYP2A6 (+)) Fisik tinggi
Sampel Populasi
Faktor Risiko (-) Ketergantungan
(Gen CYP2A6 (-)) fisik rendah

67
68

Keterangan :

P = Populasi

S = Sampel

K1 & K2 = Identifikasi gen CYP2A6 menggunakan PCR

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di unit Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana, Denpasar. Pemeriksaan PCR terhadap DNA leukosit yang

diambil dari sampel darah dilakukan di bagian Biologi Molekuler Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010

sampai dengan bulan April 2011.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi sampel adalah semua perokok (current smoker, yaitu perokok yang

aktif merokok sampai saat ini dan merokok minimal 20 hari dalam sebulan

terakhir) di kota Denpasar yang mengalami ketergantungan fisik terhadap nikotin.

Sampel penelitian adalah para perokok dengan ketergantungan fisik terhadap

nikotin yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan bersedia ikut serta dalam

penelitian ini.

4.4. Kriteria Subyek

4.4.1. Kriteria Inklusi

1. Perokok berjenis kelamin laki-laki, keturunan Bali asli minimal sampai third

degree relatives (Kakek dan nenek orang Bali asli) dan berumur antara 20-50

tahun.
69

2. Mengkonsumsi minimal 5 batang rokok sehari, dengan rokok berjenis kretek

tanpa mentol minimal 20 hari dalam sebulan terakhir dan telah merokok

selama minimal 5 tahun.

3. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian

4.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien sedang menjalani pengobatan atau berusaha untuk berhenti merokok

dalam sebulan terakhir.

2. Pasien menderita penyakit yang mengharuskannya beristirahat total selama

10 hari dalam sebulan terakhir, seperti misalnya sakit jantung, penyakit ginjal,

paru dan lain-lain.

3. Pasien sering mengkonsumsi alkohol dan/atau bahan makanan yang

mengandung mentol seperti permen, dan lain-lain.

4. Pasien memiliki riwayat penyakit liver seperti hepatitis, sirosis hepatis,

alcoholic liver disease atau hepatoma.

5. Pasien mengkonsumsi obat-obatan penginduksi atau inhibitor enzim sitokrom

P450 seperti rifampicin, dexamethasone, phenobarbital, methoxsalen (8-

methoxypsoralen), tranylcypromine, tryptamine, coumarin dan neomenthyl

thiol

4.5. Besar Sampel

Berdasarkan acuan Kirkwood (1988) penentuan jumlah sampel berdasarkan

rumus perhitungan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok seperti

pada studi kasus-kontrol, yaitu :

n1 = n2 = [ Z 2PQ + Z P1Q1 + P2Q2 ]2


( P1 - P2 )2
70

n1 = n2 = [ 1,645 2x0,594x0,406 + 0,842 (0,756x0,244) + (0,432x0,568) ]2


( 0,756 0,432 )2

n1 = n2 = 27,2 28 orang, jadi total sampel = 2 x 28 = 56 orang

n1 = n2 = besar sampel pada masing-masing kelompok subyek

Z = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu, dalam penelitian

ini ditentukan nilai sebesar 5% dan hipotesis satu arah.

Z = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu dalam penelitian

ini ditentukan nilai sebesar 20%.

P2 = proporsi faktor risiko pada kelompok subyek tanpa efek (kontrol)

P1 = perkiraan proporsi faktor risiko pada kelompok subyek dengan efek

(kasus). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minematsu, et al (2003),

didapatkan proporsi faktor risiko pada kelompok kontrol (tanpa efek) sebesar

43,2%. Dengan menggunakan data proporsi faktor risiko pada kelompok subyek

tanpa tanpa efek (kontrol) ini dan clinical judgement sebesar 1,75 maka diperoleh

nilai P1 sebesar = 1,75 x 43,2% = 75,6%

P = x [ P1 + P2 ] = x [ 0,756 + 0,432 ] = 0,594

Q1 = 1 - P1 = 1 - 0,756 = 0,244

Q2 = 1 - P2 = 1 - 0,432 = 0,568

Q = 1- P =1- 0,594 = 0,406

4.6. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara snowballing. Semua

subyek yang teridentifikasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.


71

4.7. Variabel

4.7.1. Klasifikasi Variabel

a) Variabel bebas : gen CYP2A6.

b) Variabel tergantung : tingkat ketergantungan fisik terhadap nikotin berdasarkan

skor FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine Dependence)

c) Variabel kendali : suku, jenis kelamin, umur, konsumsi obat-obatan inducer

atau inhibitor, penyakit pada hati, jenis rokok, jumlah rokok yang dihisap dan

lama merokok.

4.7.2. Definisi Operasional Variabel

1. Teknik pengambilan sampel secara snowballing merupakan suatu teknik

identifikasi subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi secara

berantai. Dari subyek yang telah teridentifikasi dan sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi tersebut didapatkan teman atau rekan yang memiliki

kriteria yang lebih kurang sama dengan subyek.

2. Tingkat Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin

Definisi : Tingkat ketergantungan perokok terhadap nikotin secara fisik,

yang ditunjukkan dengan munculnya gejala dan tanda withdrawal

syndrome apabila perokok tersebut berhenti merokok untuk

beberapa waktu oleh sebab adanya proses toleransi.

Alat ukur : Kuesioner FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine Dependence)

Cara ukur : Mengisi kuesioner berdasarkan wawancara terhadap subyek

Hasil ukur :

0-2 : Ketergantungan fisik sangat rendah


72

3-4 : Ketergantungan fisik rendah

5 : Ketergantungan fisik sedang

6-7 : Ketergantungan fisik tinggi

8-10 : Ketergantungan fisik sangat tinggi

3. Gen CYP2A6

Definisi : Gen pengkode enzim sitokrom P450 famili nomor 2, subfamili a

nomor 6 yang terletak pada kromosom 19p13.2 dan diekspresikan

di hepar.

Alat ukur : Ekstraksi DNA dari darah vena perifer sesuai dengan protokol

ekstraksi DNA dan diamplifikasi menggunakan teknik PCR

kemudian dilakukan restriksi menggunakan enzim Eco81I

Cara ukur : Menilai adanya polimorfisme gen CYP2A6, dalam hal ini

polimorfisme yang terjadi adalah berupa delesi.

Hasil ukur : Dengan melihat pola pemotongan enzim pada elektroforesis gel

agarose dengan ketentuan sebagai berikut (Nakajima et al., 2004):

CYP2A6*1/ CYP2A6*1 : terdiri dari 3 segmen DNA, yaitu:

800 bp, 434 bp, dan 104 bp.

CYP2A6*1/CYP2A6*4 : terdiri dari 5 segmen DNA, yaitu:

800 bp, 759 bp, 434 bp, dan 104 bp

dan 41 bp.

CYP2A6*4/ CYP2A6*4 : terdiri dari 4 segmen DNA, yaitu:

759 bp, 434 bp, dan 104 bp, dan 41

bp.
73

4.8. Pengumpulan Data

4.8.1. Persiapan

1. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan

2. Menyusun status penelitian

3. Meminta ethical approval dari komite etik

4. Menghubungi bagian terkait

4.8.2. Perlengkapan dan Instrumen Penelitian

1. Alat tulis menulis

2. Kuesioner FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine Dependence)

3. Perlengkapan pengambilan sampel darah vena perifer

4. Perlengkapan untuk pemeriksaan PCR

4.8.3. Proses Pengumpulan Data

1. Data mengenai subyek perokok yang teridentifikasi dan sesuai dengan

kriteria inklusi dan eksklusi dilengkapi sesuai dengan tujuan penelitian

2. Pengambilan sampel darah vena

3. Pemeriksaan PCR terhadap gen CYP2A6 dilakukan di unit Biologi

Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

4.9. Prosedur Penelitian

4.9.1. Alokasi Sampel dan Alur Penelitian

Dari seluruh subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan ketergantungan fisik tinggi (skor

kuesioner >4) dan kelompok dengan ketergantungan fisik yang rendah (kuesioner

toleransi 4) menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine


74

Dependence). Alur penelitian lebih jelasnya digambarkan dengan bagan seperti di

bawah ini.. Setelah itu pada masing-masing kelompok, kontrol dan kasus

dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi gen CYP2A6.

Perokok yang memenuhi


kriteria inklusi dan eksklusi

Data indentitas dilengkapi

Pengukuran tingkat
ketergantungan menggunakan
kuesioner FTND

Ketergantungan Ketergantungan
fisik tinggi fisik rendah

Ambil darah vena perifer Ambil darah vena perifer

Identifikasi gen CYP2A6 Identifikasi gen CYP2A6

Gambar 4.1. Alur Penelitian.

4.9.2. Ekstraksi DNA dari Buffy Coat

Isolasi Buffy Coat dari Sampel Darah

1. Ambil 700 l sampel darah menggunakan pipetor, masukkan ke dalam

tabung eppendorf berisi 700 l aquadest, kemudian vortex sampai homogen.

2. Setelah terbentuk cairan yang homogen, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.

3. Buang supernatan.
75

4. Ulangi langkah 1-3 sampai terbentuk pelet berwarna bening di dasar tabung

eppendorf.

5. Setelah terbentuk preipitat yang bening campurkan 200 l NaCl fisiologis.

Isolasi DNA dari Buffy Coat

Persiapan: sebelum langkah isolasi DNA dimulai, inkubasi elution buffer pada

suhu 70oC.

1. Campurkan 200 l larutan mengandung presipitat DNA dengan 200 l

binding buffer serta 40 l proteinase K, vortex sampai homogen kemudian

inkubasi pada suhu 70oC selama 10 menit.

2. Tambahkan 100 l isopropanol, vortex, masukkan ke spin column, kemudian

centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.

3. Ganti collection tube, tambahkan 500 l inhibitor removal buffer, centrifuge

8000 rpm selama 1 menit.

4. Ganti collection tube, tambahkan 500 l wash buffer, centrifuge 8000 rpm

selama 1 menit.

5. Ganti collection tube, tambahkan 400 l wash buffer, centrifuge 8000 rpm

selama 1 menit.

6. Ganti collection tube, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit atai 13000 rpm

selama 10 detik.

7. Ganti eppendeorf tube, tambahkan 100 l elution buffer, lalu centrifuge 8000

rpm selama 1 menit

8. DNA telah terisolasi dalam eppendorf tube, simpan dalam freezer.


76

4.9.3. Teknik PCR Untuk Isolasi Gen CYP2A6

Sebelum dilakukan pemeriksaan PCR, perlu dilakukan ekstraksi DNA dahulu

sebelumnya dari darah vena. Darah vena diambil sebanyak 3-5 ml menggunakan

spuit 5 ml dari vena di area cubiti kemudian dimasukkan dalam tabung sampel

darah yang mengandung EDTA. Ekstraksi DNA dilakukan sesuai dengan protokol

yang telah disebutkan di atas

Setelah ekstraksi DNA dari sampel darah vena berhasil dilakukan,

selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan PCR. PCR dilakukan dengan

menggunakan forward primer dan reverse primer menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nakajima et al (2001), yaitu 5- CAC CGA AGT GTT CCC TAT

GCT G -3 dan 5- AAA ATG GGC ATG AAC GCC C -3. Campurkan DNA

sampel DNA genomik ke dalam campuran PCR (PCR mixture 25l) terdiri dari 1

x PCR buffer, 1,5 mM MgCl2, 0,4 M dari masing-masing primer, 250 M

dNTPs, dan 1 U Taq DNA polimerase. Setelah denaturasi awal pada suhu 94 o C

selama 5 menit, amplifikasi dilakukan dengan denaturasi pada suhu 94 o C selama

1 menit, annealing pada suhu 56o C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 o C

selama 1 menit. Siklus amplifikasi tersebut dilakukan sebanyak 35 kali, kemudian

diikuti dengan ekstensi terakhir pada suhu 72o C selama 5 menit. PCR ini akan

menghasilkan duplikasi segmen DNA sepanjang 1338 pasang basa. Produk PCR

tersebut akan dipotong menggunakan enzim restriksi Eco81 I. Pola pemotongan

akan ditentukan dengan menggunakan gel elektroforesis agarose 2%.


77

Gen CYP2A7 Gen CYP2A6


Exon 1 Exon 9 Exon 1 Exon 9
Telomer Sentromer

5UTR 3UTR 5UTR 3UTR

Delesi

Gen CYP2A7
Exon 1 Exon 9
Telomer Sentromer

5UTR 3UTR

Gambar 4.2. Gambar Skematis Delesi Pada Gen CYP2A6

Gambar 4.3. Gambar Skematis Letak Pemotongan Enzim Restriksi pada Gen

CYP2A6 (Nakajima et al., 2001)


78

4.10. Analisis Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif, dengan jenis

variabel kategorik, dan subyek yang tidak berpasangan, maka jenis analisis yang

digunakan adalah uji Chi-square jika syarat terpenuhi. Jika syarat uji Chi Square

tidak terpenuhi, maka akan digunakan uji Fisher.

Data yang didapatkan pada penelitian ini akan dianalisis sebagai berikut :

1. Analisis deskriptif

Dari data hasil penelitian mengenai karakter subyek disajikan dalam

bentuk narasi dan tabel-tabel. Karakter-karakter yang dimaksudkan adalah

seperti umur, jumlah rokok/hari, lama merokok, tingkat pendidikan dan

lain sebagainya.

2. Uji Normalitas dan homogenitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov

dan Levenes test

3. Analisis Inferensial

Uji Chi-Square untuk analisis komparasi:

a) Hubungan antara lama merokok dengan skor FTND

b) Hubungan antara jumlah rokok per hari yang dihisap dengan skor

FTND

c) Hubungan antara jumlah rokok yang dihisap per Hari dengan lamanya

kebiasaan merokok

d) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan jumlah rokok per hari yang

dihisap

e) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan skor FTND


79

Uji Mann-Whitney U untuk analisis komparasi:

a) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar skor

FTND

b) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar gen

CYP2A6

4.11. Penyusunan dan Penyajian Laporan Penelitian

Laporan penelitian akan dituangkan dalam bentuk tertulis dan disajikan dalam

suatu sidang ilmiah.

4.12. Etika Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu akan diminta persetujuan dari

Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana dengan lembar penjelasan kepada subyek

penelitian seperti pada lampiran 2.


79

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1. Analisis Deskriptif

Jumlah perokok yang berhasil dikumpulkan dan sesuai dengan kriteria inklusi

dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 perokok. Di bawah ini akan

diuraikan analisis deskriptif mengenai subyek tersebut.

5.1.1. Rerata Umur Subyek Penelitian, Lama Kebiasaan Merokok, Jumlah

Rokok per Hari, Cigarettes Pack-Years dan Skor FTND

Rerata umur subyek dalam penelitian ini adalah sebesar 30,9 tahun. Rerata

lama kebiasaan merokok dan jumlah rokok yang dihisap/hari adalah berturut-turut

sebesar 11,7 tahun dan 13,2 batang/hari, sedangkan rerata skor FTND yang telah

diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrm Test For Nicotine

Dependence) adalah sebesar 4,4. Rerata produk indeks rokok-tahun (Cigarettes

Pack-Years) adalah sebesar 7,8.

5.1.2. Deskripsi Perokok Berdasarkan Umur

Data deskripsi 78 orang perokok berdasarkan umur meliputi umur perokok

paling muda yaitu 20 tahun sampai 50 tahun, sesuai dengan kriteria inklusi,

dengan rerata umur 30,9 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah

ini.

80
81

Tabel 5.1. Frekuensi Perokok Berdasarkan Umur


Umur Frekuensi
30,9 tahun 45 (57,7%)
> 30,9 tahun 33 (42,3%)
Total 78 (100%)

5.1.3. Deskripsi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dari data perokok berdasarkan tingkat pendidikannya dapat diketahui bahwa

subyek perokok yang pendidikan SMU atau yang sederajat seperti STM ataupun

SMK adalah yang paling banyak, yaitu sebesar 44,9%. Data dalam tabel 5.2 di

bawah juga memberikan informasi bahwa perokok dengan tingkat pendidikan SD

adalah yang paling sedikit, yaitu hanya 14,1%.

Tabel 5.2. Frekuensi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Pendidikan Frekuensi
SD 11 (14,1%)
SMP 16 (20,5%)
SMU/sederajat 35 (44,9%)
Perguruan Tinggi 16 (20,5%)
Total 78 (100%)

5.1.4. Deskripsi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari

Rata-rata dalam sehari subyek dalam penelitian ini menghisap rokok

sebanyak 13,2 batang. Sebagian besar perokok, yaitu sebesar 51 orang (65,4%)

menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang rokok per harinya.

Tabel 5.3. Frekuensi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap
Jumlah Rokok/hari Frekuensi
13,2 batang 51 (65,4%)
> 13,2 batang 27 (34,6%)
Total 78 (100%)

80
82

5.1.5. Deskripsi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok

Dari tabel 5.4 di bawah ini dapat diketahui bahwa 59% perokok telah

memiliki kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun sedangkan

sisanya sebesar 41% merokok lebih dari 11,7 tahun.

Tabel 5.4. Frekuensi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok


Lama Kebiasaan Merokok Frekuensi
11,7 tahun 46 (59,0%)
> 11,7 tahun 32 (41,0%)
Total 78 (100%)

5.1.6. Deskripsi Perokok Berdasarkan Skor FTND

Lebih dari separuh perokok (66,5%) yang menjadi subyek dalam penelitian

ini memiliki skor FTND (Fagerstrm Test for Nicotine Dependence) kurang dari

atau sama dengan 5. Tabel dibawah ini menyajikan data tersebut secara rinci.

Tabel 5.5. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND


Skor FTND Frekuensi
Sangat ringan (0-2) 19 (24,2%)
Ringan (3-4) 24 (30,8%)
Sedang (5) 9 (11,5%)
Berat (6-7) 14 (17,9%)
Sangat berat (8-10) 12 (15,4%)
Total 78 (100%)

Tabel 5.6. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND dengan Nilai Rata-rata
sebagai Cut-off Point
Skor FTND Frekuensi
4,4 43 (55,1%)
> 4,4 35 (44,9%)
Total 78 (100%)

5.1.7. Deskripsi Perokok Berdasarkan Gen CYP2A6 yang Dimilikinya

Sebagian besar perokok memiliki gen CYP2A6 atau memiliki alel gen

CYP2A6 dalam keadaan homozigot, yaitu sebesar 64,1%, sedangkan sisanya,


83

yaitu sebesar 35,9% perokok memiliki alel delesi. Data selengkapnya mengenai

alel gen tersebut yang dimiliki perokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.7. Frekuensi Perokok Berdasarkan Alel Gen CYP2A6 yang Dimilikinya
Gen CYP2A6 Frekuensi
Positif Homozigot wild type 50 (64,1%)
Negatif Heterozigot wild type/deletion 21 (26,9%)
Homozigot deletion 7 (9,0%)
Total 78 (100%)

Gambar 5.1. Foto Hasil Digesti Sampel

Marker Sampel

Homozigot Heterozigot Homozigot


Wild type wild type/delesi delesi

800 bp
759 bp

434 bp

104 bp

41 bp

Gambar 5.2. Ilustrasi Hasil Digesti Sampel


84

Gambar 5.2 di atas merupakan ilustrasi hasil digesti sampel. Segmen DNA

hasil amplifikasi dengan teknik PCR sepanjang 1338 bp didigesti atau direstriksi

dengan enzim restiksi Eco81I dan menghasilkan banding pattern sesuai dengan

alel yang dimiliki oleh subyek. Jika subyek memiliki alel heterozygot maka

banding pattern nya ada 5 band yang terdiri dari band 800 bp, 759 bp, 434 bp,

104 bp dan 41 bp, sedangkan jika subyek memiliki alel homozygot wild type akan

memiliki pola 3 band yang terdiri dari band 800 bp, 434 bp, dan 104 bp. Alel

homozygot delesi akan memiliki pola 4 band yang terdiri dari band 759 bp, 434

bp, 104 bp dan 41 bp.

5.1.8. Deskripsi Umur Perokok dan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap

Dari data dalam tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar perokok yang

menghisap rokok lebih dari 13,2 batang/hari berumur kurang dari atau sama

dengan 30,9 tahun. Sebaliknya, sebagian besar perokok yeng berumur lebih dari

30,9 tahun menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang.

Tabel 5.8. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Jumlah Rokok per Hari
Jumlah Rokok/hari
Total
Umur Perokok 13,2 > 13,2
30,9 tahun 30 (38,5%) 15 (19,2%) 45 (57,7%)
> 30,9 tahun 21 (26,9%) 12 (15,4%) 33 (42,3%)
Total 51 (65,4%) 27 (34,6%) 78 (100%)

5.1.9. Deskripsi Umur Perokok dan Skor FTND

Tabel 5.9 dibawah menunjukkan bahwa semakin tua umur perokok maka

semakin meningkat kecenderungan untuk menderita ketergantungan fisik terhadap

nikotin yang tercermin dari semakin tingginya skor FTND.


85

Tabel 5.9. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Skor FTND


Skor FTND
Total
Umur Perokok 4,4 > 4,4
30,9 tahun 28 (35,9%) 17 (21,8%) 45 (57,7%)
> 30,9 tahun 15 (19,2%) 18 (23,1%) 33 (42,3%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)

5.2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing kelompok berdasarkan

skor FTND, yaitu kelompok 4,4 dan > 4,4 diuji normalitasnya menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov dan didapatkan hasil bahwa pada kelompok skor FTND

4,4, data tidak berdistribusi normal (p<0,05), sedangkan pada kelompok skor

FTND > 4, data berdistribusi normal (p>0,05).

Hasil uji normalitas data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing

kelompok berdasarkan gen CYP2A6 dengan uji Kolmogorov-Smirnov

menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak berdistribusi normal (p<0,05).

Uji homogenitas varians nilai cigarettes pack-years antar kelompok skor

FTND dengan Levenes test menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak

homogen (p<0,05). Namun jika pembagian kelompok berdasarkan gen CYP2A6

maka varians nilai cigarettes pack-years menunjukkan bahwa kedua kelompok

data tersebut homogen.

5.3. Analisis Inferensial

Karena data bersifat nominal maka jenis uji statistik inferensial yang

digunakan adalah uji non-parametrik yaitu uji Chi-square. Dalam uji ini

didapatkan hasil yang akan dibahas di bawah ini.


86

5.3.1. Hubungan antara Lama Merokok dengan Skor FTND

Analisis data membuktikan bahwa terdapat hubungan antara lamanya

kebiasaan merokok dan tingginya ketergantungan fisik terhadap nikotin. Semakin

lama kebiasaan merokok semakin tinggi ketergantungan fisik yang dideritanya

berdasarkan hasil ukur menggunakan kuesioner FTND (p=0,03, CI=95%).

Tabel 5.10. Hubungan antara Lama Kebiasaan Merokok dengan Skor FTND
Skor FTND
Total
Lama Merokok 4,40 > 4,40
11.7 tahun 30 (65,2%) 16 (34,8%) 46 (100%)
> 11.7 tahun 13 (40,6%) 19 (59,4%) 32 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)

5.3.2. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap dengan Skor

FTND

Data tabel di bawah menyatakan bahwa dari 27 orang yang menghisap rokok

lebih dari 13,2 batang per hari ada 20 orang (74,1%) yang memiliki

ketergantungan fisik tinggi terhadap nikotin. Namun dari 51 orang yang

menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang per hari hanya 15

(29,4%) yang memiliki ketergantungan fisik tinggi yang terukur dari tingginya

skor FTND (>4,40).

Tabel 5.11. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari dengan Skor FTND
Skor FTND
Total
Jumlah rokok/hari 4,40 > 4,40
13,2 batang 36 (70,6%) 15 (29,4%) 51 (100%)
> 13,2 batang 7 (25,9%) 20 (74,1%) 27 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)
87

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap

perharinya akan semakin meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap

nikotin (p=0,000, CI=95%).

5.3.3. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan

Lamanya Kebiasaan Merokok

Jumlah rokok yang dihisap per harinya tidak memiliki hubungan yang

bermakna dengan lamanya kebiasaan merokok (p=0,06, CI=95%). Dengan kata

lain kedua variabel ini tidak saling mempengaruhi dan bebas satu sama lainnya.

Tabel 5.12. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan
Lamanya Kebiasaan Merokok
Lama Merokok (tahun)
Total
Jumlah rokok/hari 11,7 > 11,7
13,2 batang 34 (66,7%) 17 (33,3%) 51 (100%)
> 13,2 batang 12 (44,4%) 15 (55,6%) 27 (100%)
Total 46 (59,0%) 32 (41,0%) 78 (100%)

5.3.4. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari yang

dihisap

Hasil analisis data menunjukkan bahwa gen CYP2A6 pada perokok akan

meningkatkan konsumsi rokok per hari lebih dari 13,2 batang dibandingkan

dengan orang yang memiliki alel delesi. Pernyataan tersebut didukung oleh data

dalam tabel 5.13 di bawah ini dengan nilai p=0,02 (p<0,05) dan CI=95%.

Tabel 5.13. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari
Jumlah Rokok/hari
Total
Gen CYP2A6 13,2 > 13,2
Negatif (delesi) 23 (82,1%) 5 (17,9%) 28 (100%)
Positif (wild type) 28 (56,0%) 22 (44,0%) 50 (100%)
Total 51 (65,4%) 27 (34,6%) 78 (100%)
88

5.3.5. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Skor FTND

Dari data di bawah ini, dapat diketahui bahwa dari 50 orang yang memiliki

alel homozygot wild type ada 29 orang (58,0%) di antaranya yang memiliki angka

ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tinggi, sedangkan dari 28 orang yang

memiliki alel delesi pada gen yang sama hanya ada 6 orang (21,4%) yang

memiliki angka ketergantungan fisik yang tinggi. Hubungan antar variabel ini

telah diuji dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan hasil p=0,002

(p<0,05) dengan CI=95%.

Tabel 5.14. Hubungan antara Ada atau Tidaknya Gen CYP2A6 dan Skor FTND
Skor FTND
Total
Gen CYP2A6 4,40 > 4,40
Negatif (delesi) 22 (78,6%) 6 (21,4%) 28 (100%)
Positif (wild type) 21 (42,0%) 29 (58,0%) 50 (100%)
Total 43 (55,1%) 35 (44,9%) 78 (100%)

Perokok yang memiliki gen CYP2A6 memiliki risiko sebesar 5,1 kali untuk

menderita ketergantungan yang tinggi pada nikotin dibandingkan dengan perokok

yang tidak memiliki gen CYP2A6 (OR=5,1).

5.3.6. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Skor

FTND

Uji statistik yang digunakan untuk melakukan analisis komparasi nilai

cigarettes pack-years adalah dengan uji non-parametris, sebab syarat uji

parametris tidak terpenuhi, yaitu data tidak berditribusi normal dan varians antar

kelompok tidak homogen. Uji non-parametris yang digunakan di sini adalah uji

Mann-Whitney U, dan memberikan hasil bahwa nilai cigarettes pack-years pada

kelompok skor FTND > 4,4 lebih tinggi secara signifikan daripada nilai cigarettes
89

pack-years pada kelompok skor FTND 4,4 dengan nilai p=0,000 (p<0,05, CI =

95%) (Lampiran 10).

5.3.7. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Gen

CYP2A6

Uji non-parametris dengan Mann-Whitney U membuktikan bahwa nilai

cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6 positif lebih tinggi secara

signifikan daripada nilai cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6

negatif dengan nilai p=0,016 (p<0,05, CI = 95%) (Lampiran11).


90

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Subyek dalam Penelitian

Latar belakang pendidikan subyek adalah dari SD sampai S1, dengan jumlah

lulusan SMU/sederajat adalah yang terbanyak, yaitu sebesar 44,9%, sedangkan

yang paling sedikit adalah lulusan SD yaitu hanya sebesar 14,1%.

Dalam penelitian ini didapatkan 78 orang perokok yang menunjukkan gejala

dan tanda ketergantungan fisik terhadap nikotin menurut hasil pengukuran

menggunakan kuesioner FTND. Dari 78 orang tersebut, hampir separuh di

antaranya, yaitu 35 orang (44.9%), adalah perokok dengan ketergantungan fisik

terhadap nikotin yang tergolong berat, yaitu memiliki skor lebih dari 4, sedangkan

sisanya sebanyak 43 orang atau sekitar 55,1% dari 78 orang memiliki

ketergantungan fisik yang rendah. Dari 35 orang yang memiliki skor FTND lebih

dari empat, 20 di antaranya (57,1%) menghisap rokok lebih dari 13 batang per

harinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor FTND maka semakin

tinggi pula jumlah rokok yang dihisap per harinya, demikian juga sebaliknya,

walaupun berdasarkan teori yang ada jumlah rokok yang dihisap per hari saja

tidaklah cukup digunakan sebagai tolak ukur ketergantungan fisik yang diderita

perokok terhadap nikotin. Banyak perokok lain yang menghisap rokok dengan

jumlah besar dalam sehari, namun tidak menunjukkan adanya gejala dan tanda

ketergantungan fisik tinggi yang terukur menggunakan kuesioner FTND, sebab,

toleransi yang merupakan penanda adanya ketergantungan fisik hanyalah salah

90
80
91

satu dari tiga belas motif perokok. Akan tetapi, hal ini tidaklah menyangkal

kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang tinggi

(lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan

ketergantungan fisik terhadap nikotin terlepas dari lamanya kebiasaan merokok

(p<0,05).

Data yang didapatkan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin

tua umur perokok maka semakin tinggi skor FTND nya. Kecenderungan antara

umur dan ketergantungan fisik ini tidaklah berhubungan langsung. Sebab, kriteria

current smoker mengharuskan perokok yang menjadi subyek adalah orang yang

aktif merokok saat penelitian berlangsung, tentu saja orang yang berumur lebih

tua, banyak yang memiliki kebiasan merokoknya sejak dia masih muda, dengan

begitu ia memiliki kebiasaan merokok yang lebih lama dibandingkan dengan

orang yang umurnya masih muda, dengan asumsi mereka memulai merokok pada

umur yang lebih kurang sama. Tentu saja, dengan demikian, orang yang berumur

tua memiliki skor FTND yang relatif lebih tinggi dibandingan perokok umur

muda.

Sebagian besar perokok, yaitu sebanyak 46 orang (59%), telah memiliki

kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun. Analisis data ini

dalam hubungannya dengan skor FTND menyimpulkan bahwa terlepas dari

jumlah rokok per hari yang dihisap, lamanya kebiasaan merokok yang dimiliki

seseorang merupakan faktor risiko untuk meningkatkan ketergantungan fisik

perokok terhadap nikotin. Faktor waktu (time) dan dosis (dose) dapat berdiri

sendiri-sendiri sebagai faktor risiko meningkatkan ketergantungan ataupun dapat


92

saling berinteraksi untuk meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin.

Patofisiologi bagaimana ketergantungan fisik dapat terjadi oleh karena paparan

yang sifatnya time and dose dependent akan dijelaskan pada sub bab di bawah ini.

Sebagian besar sampel, yaitu 50 orang (64,1%), memiliki gen CYP2A6

normal (wild type) dalam keadaan homozigot, sedangkan sisanya, yaitu 21 orang

(26,9%) memiliki genotip heterozigot wild type / delesi dan 7 orang (9,0%)

dengan genotip homozigot delesi. Dari data ini dapat dihitung bahwa frekuensi

alel wild type adalah:

Jumlah alel wild type (2 x 50) + 21 121


Jumlah keseluruhan alel = 2 x 78 =
156 = 77,6%
sedangkan frekuensi alel delesi adalah sebesar: 100% - 77,6% = 22,4%. Besarnya

frekuensi ini lebih kurang sesuai dengan perkiraan frekuensi alel di populasi

menurut hasil-hasil penelitian terhadap gen yang sama di Asia (Hukkanen et al.,

2005).

6.2. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin dan Peran Gen

CYP2A6

6.2.1. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin

Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan sindrom yang

sifatnya poligenik dan multifaktorial yang berarti bahwa ada banyak gen dan

faktor lingkungan ikut terlibat sebagai faktor determinan. Faktor genetik tidak

dapat berdiri sendiri sebagai faktor penyebab, demikian juga halnya faktor

lingkungan tidak akan bisa memberikan pengaruhnya pada fenotip jika tidak

dimediasi oleh komponen genetik yang membentuk genotip individu. Selain itu,

fluktuasi hasil interaksi antar keduanya juga sangat penting dalam menghasilkan
93

fenotip, perbedaan interaksi antar faktor genetik dan lingkungan dapat

memberikan respon atau fenotip yang berbeda pada individu yang sama dalam

waktu yang berbeda (Arking, 2006).

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab tinjauan pustaka, ketergantungan

fisik (dependency) berbeda dengan kecanduan (addiction). Kecanduan lebih

menekankan adanya faktor psikis daripada faktor biologis dalam patofisiologinya,

sedangkan ketergantungan lebih ditandai dengan adanya proses perubahan

biologis oleh sebab adanya paparan berulang dalam jangka waktu tertentu yang

disebut dengan toleransi (OBrian, 2006). Dengan demikian, proses toleransi yang

telah terjadi dapat digunakan sebagai patokan bahwa ketergantungan fisik telah

terjadi. Proses ini dapat diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrm Test

fo Nicotine Dependence) (Piper et al., 2003).

Hasil analisis data pada perokok yang menjadi subyek dalam penelitian ini

didapatkan bahwa ketergantungan fisik terhadap nikotin yang terjadi memang

terbukti bersifat time and dose dependent, artinya bahwa jumlah rokok yang besar

dan lama kebiasaan merokok yang tinggi dapat meningkatkan risiko

ketergantungan, baik secara simultan maupun skuensial. Fakta hasil penelitian ini

sesuai dengan teori yang diberikan oleh OBrian (2006), bahwa sifat nikotin

dalam menimbulkan ketergantungan sebanding dengan waktu dan dosis (time and

dose dependent).

Proses ini dapat diterangkan bahwa dengan adanya paparan yang berulang

akan terjadi akumulasi nikotin dalam darah yang cukup tinggi dan konstan.

Akumulasi nikotin yang cukup tinggi akan memulai proses downregulation pada
94

beberapa macam reseptor dan upregulation pada reseptor-reseptor yang lain

seperti yang dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Akibatnya, terjadi pergeseran

proses fisiologis tubuh.

6.2.2. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Konsumsi Rokok

Penjelasan mengenai fungsi enzim Cyp2a6 pada bab tinjauan pustaka dapat

memberikan gambaran yang sangat jelas tentang arti pentingnya enzim ini dalam

metabolisme nikotin. Sebab hampir 80-90% nikotin dimetabolisme olehnya untuk

kemudian dieksresikan keluar tubuh. Tentu saja, aktivitas enzim ini sangat

tergantung oleh gen yang menyandinya di samping faktor-faktor lain di luar

bahasan penelitian ini (Robertson et al., 2000; Oscarson, 2001; MacDougall et al.,

2003; Benowitz et al., 2004; Hukkanen et al., 2005). Pengaruh dapat berupa

peningkatan aktivitas (gain of function) atau penurunan dan bahkan

menghilangkan sama sekali aktivitas enzim ini (loss of function). Polimorfisme

gen bertanggung jawab terhadap variasi fenotip berupa aktivitas enzim ini.

Data hasil analisis menunjukkan bahwa gen CYP2A6 meningkatkan konsumsi

rokok. Hasil analisis tersebut sesuai dengan teori bahwa dengan adanya aktivitas

enzim Cyp2a6 yang tinggi, maka kadar nikotin dalam darah perokok akan cepat

turun di bawah ambang batas rangsang, sehingga perokok akan cenderung lebih

sering merokok untuk menghindari efek tidak enak yang ditimbulkan akibat

proses toleransi. Perilaku ini disebut dengan negative reinforcement.

Gambar 6.1 di bawah dapat memberikan ilustrasi yang jelas tentang

perbandingan asupan nikotin pada individu yang memiliki gen pengkode enzim

Cyp2a6 aktif dan individu tanpa gen CYP2A6 atau mengalami delesi
95

Perokok dengan gen CYP2A6 (+)

Asupan Nikotin
Konsentrasi Nikotin dalam

Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
darah

Waktu

Perokok dengan gen CYP2A6 (-) atau


mengalami delesi

Asupan Nikotin
Konsentrasi Nikotin dalam

Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
darah

Waktu

Gambar 6.1. Perbandingan Asupan Nikotin antara Perokok dengan Gen CYP2A6
(+) dan Gen CYP2A6 (-) atau Mengalami Delesi. Asupan nikotin pada perokok
yang memiliki gen CYP2A6 secara teoritis lebih sering dibandingkan dengan
perokok tanpa gen CYP2A6 sebab fluktuasi kadar nikotin dalam darah pada
perokok dengan gen CYP2A6 menunjukkan amplitudo yang tinggi.
96

6.2.3. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Ketergantungan Fisik

Kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang

tinggi (lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan

ketergantungan fisik terhadap nikotin dan bahwa adanya gen CYP2A6

meningkatkan konsumsi rokok pada individu memberikan gambaran yang jelas

bagaimana peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko ketergantungan terhadap

nikotin. Gen tersebut berperan dengan cara meningkatkan kecenderungan perokok

untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih besar dibandingkan dengan perokok

dengan gen CYP2A6 yang cacat. Selanjutnya, konsumsi rokok dalam jumlah

besar akan menimbulkan proses toleransi sebagai tanda ketergantungan fisik.

Skema mekanisme peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko yang memicu

ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin dapat dilihat pada gambar 2.17 di

atas. Gen ini meningkatkan risiko perokok sebesar 5,06 kali untuk menderita

ketergantungan fisik berat dibandingkan dengan perokok dengan gen CYP2A6

yang cacat (p=0,002, OR=5,06, CI=95%).

Meskipun penelitian ini tidak di desain umtuk mengetahui peran gen CYP2A6

dalam meningkatkan lama kebiasaan merokok, namun dari data hasil analisis

komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok perokok dengan dan tanpa

gen ini dan antar kelompok perokok dengan skor FTND tinggi (> 4,4) dan rendah

( 4,4) mengindikasikan bahwa gen tersebut memiliki peran dalam meningkatkan

paparan perokok terhadap nikotin, baik dengan cara meningkatkan konsumsi

rokok per harinya, meningkatkan lama kebiasaan merokok atau keduanya secara

simultan (p=0,016, CI = 95%). Memang secara logis, semakin banyak rokok yang
97

dikonsumsi per hari, semakin tinggi pula ketergantungan yang akan diderita, dan

semakin tinggi ketergantungan maka semakin susah orang tersebut untuk berhenti

merokok. Namun, argumen tersebut masih belum dibuktikan secara empiris

dengan desain penelitian ini.

Gen CYP2A (+)

Aktivitas enzim (+)

Metabolisme dan bersihan


nikotin plasma

Stimulus pada sistem


mesolimbik
dan area lain

Asupan nikotin berulang dan Negative Reinforcement


kronis

Desensititasi jalur neuronal


dopaminergik dan jalur lain

Gejala dan tanda


ketergantungan fisik

Gambar 6.2. Bagan Peran Gen CYP2A6 Dalam Patofisiologi Ketergantungan


Fisik. dari bagan di atas tampak bahwa gejala dan tanda ketergantungan fisik
merupakan refleksi dari proses desensititasi. Proses desensititasi inilah dasar
proses toleransi efek nikotin dalam tubuh.

Dari beberapa pembahasan analisis data di atas, dapat juga digambarkan

dengan skema yang ringkas hubungan antar variabel seperti gambar 6.3 di bawah

ini.
98

Konsumsi rokok/hari
Gen CYP2A Skor FTND

Lama kebiasaan merokok

Gambar 6.3. Hubungan antar Variabel dalam Penelitian. Garis putus-putus yang
menghubungkan antara gen CYP2A6 dengan lama kebiasaan merokok
menunjukkan bahwa hubungan tersebut belum dapat dibuktikan dalam penelitian
ini.

Hasil riset ini mengkonfirmasi kesimpulan yang diberikan oleh beberapa

peneliti sebelumnya yaitu Pianezza (1998), Rao et al (2000), dan Fukami et al

(2007) yang menyatakan adanya hubungan antara gen CYP2A6 dengan

ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur berdasarkan jumlah

rokok per hari yang dihisap.


99

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Beberapa simpulan dapat ditarik dari hasil penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara gen CYP2A6 dengan

ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur dengan kuesioner

Fagerstrm Test for Nicotine Dependence. Gen tersebut merupakan faktor

risiko perokok untuk mengalami ketergantungan fisik yang tinggi terhadap

nikotin.

2. Gen CYP2A6 juga telah terbukti meningkatkan kecenderungan perokok untuk

mengkonsumsi rokok per hari lebih banyak dibandingkan dengan perokok

yang tidak memiliki gen ini.

3. Selain konsumsi rokok per hari yang tinggi, lamanya kebiasaan merokok juga

merupakan faktor risiko bagi ketergantungan fisik yang berat terhadap nikotin.

Akan tetapi, apakah gen CYP2A6 juga memiliki hubungan yang positif dengan

lamanya kebiasaan merokok tidak dapat disimpulkan dari penelitian ini, sebab

desain penelitian ini tidak sesuai untuk membuktikan hal tersebut.

99
80
100

7.2. Saran

Adapun beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah

sebagai berikut:

1. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk sekaligus mengikutsertakan

penghitungan aktivitas enzim di samping isolasi dan identifikasi alel gen

CYP2A6, sehingga ekspresi gen yang menentukan fenotip berupa

ketergantungan fisik terhadap nikotin dapat diukur.

2. Desain penelitian lebih disempurnakan dengan menggunakan sample matching

dan mengikutsertakan juga ex-smoker selain current smoker, sehingga hasil

analisis yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui peran gen CYP2A6

lebih jauh.

3. Sebaiknya identifikasi gen yang bersangkutan tidak hanya mengandalkan PCR-

RFLP tetapi juga menggunakan metode sequencing sehingga jenis alel dapat

teridentifikasi lebih jelas.


101

DAFTAR PUSTAKA

Arking, R. 2005. The Biology Of Aging, 3rd Edition. New York: Oxford
University Press. p. 9-11.

Britton, J., Bates, C., Channer, K., Cuthbertson, L., Godfrey, C., Jarvis, M. &
Mcneill, A. 2000. Nicotine Addiction in Britain. London: Royal College of
Physician.

Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., & Setyonaluri, D. 2008. Ekonomi
Tembakau di Indonesia. Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Baskoro, A.; Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah
Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric
Update Symposium. Bali 11-13 April 2008.

Benowitz, N.L. 1996. Cotinine as Biomarker of Environmental Tobacco Smoke


Exposure. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public
Health. Vol. 18, No. 2.

Benowitz, N.L. & Fu, H. 2007. Smoking & Occupational Health. In J. Ladou
(Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p. 710-718).
New York: McGraw-Hill.

Benowitz, N.L., Herrera, B. & Jacob III, P. 2004. Mentholated Cigarette Smoking
Inhibits Nicotine Metabolism. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 310, No. 3

Benowitz, N.L. & Jacob III, P. 1994. Metabolism of nicotine to cotinine studied
by a dual stable isotope method. Clinical Pharmacology and Therapeutics.
Vol. 56, No. 5.

Benowitz, N.L., Jacob III, P., Fong, I. & Gupta, S. 1993. Nicotine Metabolic
Profile in Man: Comparison of Cigarette Smoking and Transdermal
Nicotine. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics.
Vol. 268, No. 1.

Boardman, J.D., Onge, J.M.S., Haberstick, B.C., Timberlake, D.S. & Hewitt, J.K.
2006. Schools and The Heritability of Smoking Behaviors: Theoretical and
Methodological Considerations. Working Paper. Boulder: IBS University
of Colorado.
102

Botham, K.M. & Mayes, P.A. 2006. Bioenergetic: The Role of ATP. In R.K.
Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 88-93). New York: McGraw-Hill.

Burns, D.M. 2005. Nicotine Addiction. In D.L. Kasper, E. Braunwalds, A.S.


Fauci, S.L. Hauser, D.L. Longo, & J.L. Jameson (Eds), Harrisons
Principles of Internal Medicine, 16th Edition, (p. 2573-2577). New York:
McGraw-Hill.

Caron, L., Karkazis, K., Raffin, T.A., Swan, G. & Koenig, B.A. 2005. Nicotine
addiction through a neurogenomic prism: Ethics, public health, and
smoking. Nicotine Tob Res. Vol. 7, No. 2.

Davies, G.E. & Soundy, T.J. 2009. The Genetics of Smoking and Nicotine
Addiction, 2009: South Dakota Medicine. (Online), (Available from:
www.sdsma.org/documents/Davies.pdf, accessed June, 20th 2009).

Dempsey, D.A. & Benowitz, N.L. 2001. Risks and benefits of nicotine to aid
smoking cessation in pregnancy. Drug Safety: An International Journal of
Medical Toxycology and Drug Experience. Vol. 24, No. 4.

Edwards, R.J., Price, R.J., Watts. P.S., Renwick, A.B., Tredger, J.M., Boobis,
A.R. & Lake. B.G. 2003, Induction Of Cytochrome P450 Enzymes in
Cultured Precision-Cut Human Liver Slice. Drug Metabolism and
Disposition. Vol. 31, No. 3.

Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging. In : Klatz, R. 2003.


Anti-Aging Medical Therapeutics volume 5. Chicago : the A4M
Publications. p. 43.

Fukami, T., Nakajima, M., Yamanaka, H., Fukushima, Y., McLeod, H.L. &
Yokoi, T. 2007. A Novel Duplication Type of CYP2A6 Gene in African-
American Population. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 35, No. 4.

Goldman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia:


Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25.

Gonzalez, F.J. & Tukey, R.H. 2006. Drug Metabolism. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 71-91). New York: McGraw-Hill.
103

Gries, J.M., Benowitz, N.L. & Verotta, D. 1996. Chronopharmacokinetics of


nicotine. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 60, No. 4.

Gullstn, H. 2000. Significance of Polymorphism in CYP2A6 Gene. Disertation.


Oulu: Department of Pharmacology and Toxicology University of Oulu.

Heatherton, T.F., Kozlowski, L.T., Frecker, R.C. & Fagerstrom, K.O. 1991. The
Fagerstrm Test for Nictoine Dependence: A revision of the Fagerstrm
Tolerance Questionnaire. British Journal of Addictions. Vol. 86.

Henningfield, J.E., Keenan,R.M. 1993. Nicotine delivery kinetics and abuse


liability. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 61, No. 5.

Henningfield, J.E., Schuh, L.M. & Jarvik, M.E. 2000. Pathophysiology of


Tobacco Dependence, 2000: Psychopharmacology: The Fourth Genertaion
of Progress. (Online), (Available from:
http://www.acnp.org/g4/GN401000167/Default.htm, accessed June, 20th
2009).

Hoffman, D. & Hoffman, I. 1999. Chemistry and Toxicology, 1999: Smoking and
Tobacco Control Monograph. (Online), (Available from: http://
dccps.nci.nih.gov/TCRB/monographs/9/m9_3.PDF, accessed June, 23rd
2009).

Hukkanen, J., Jacob III, P. & Benowitz, N.L. 2005. Metabolism and Disposition
Kinetics of Nicotine. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 57, No. 1.

Hyde, D. 2009. Introduction to Genetics Principles. Boston: McGraw-Hill. p.


764-767.

Jarvis, M.J., Boreham, R., Primatesta, P., Feyerabend, C. & Bryant A. 2001.
Nicotine Yield From Machine-Smoked Cigarettes and Nicotine Intakes in
Smokers: Evidence From a Representative Population Survey. Journal of
the National Cancer Institute. Vol. 93, No. 2.

Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. Sleman: Penerbit


Rizma.
104

Kemp, P.M., Sneed, G.S., George, C.E. & Distefano, R.F. 1997. Postmortem
distribution of nicotine and cotinine from a case involving the simultaneous
administration of multiple nicotine transdermal systems. Journal of
Analytical Toxicology. Vol. 21, No. 4.

Kennely, P.J. & Rodwell, V.W. 2006. Proteins: Myoglobin & Hemoglobin. In
R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 41-48). New York: McGraw-Hill.

Kirkwood, B. 1988. Calculation of Required Sample Size. In B. Kirkwood (Ed),


Essentials of Medical Statistics, 1st Edition, (p. 191-200). New York:
Blackwell Science.

Kuschner, W.G. & Blanc, P.D. 2007. Gases & Other Airborne Toxicants. In J.
Ladou (Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p.
515-531). New York: McGraw-Hill.

Madan, A., Graham, R.A., Carroll. K.M., Mudra, D.R., Burton, L.A., Krueger,
L.A., Downey, A.D., Czerwinski, M., Forster, J., Ribadeneira, M.D., Gan,
L.S., LeCluyse, E.L., Zech, K., Robertson, P.Jr., Koch, P., Antonian,
L., Wagner, G., Yu, L. & Parkinson, A. 2003. Effects of Prototypical
Microsomal Enzyme Inducers on Cytochrome P 450 Expression in
Cultured Human Hepatocytes. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 31,
No.4.

Markides, K.S. 2007. Encyclopedia of Health and Aging. Los Angeles: SAGE
Publications. p. 1-2.

McCance, K.L. & Grey, T.C. 2006. Altered Cellular and Tissue Biology. In K.L.
McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th Edition, (p. 82-86).
Canada: Elsevier Mosby.

McCance, K.L., Forshee, B.A. & Shelby, J. 2006. Altered Cellular and Tissue
Biology. In K.L. McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th
Edition, (p. 314-315). Canada: Elsevier Mosby.

McDougall, J.M., Fandrick, K., Zhanx, X., Seravin, S.V. & Cashman, J.R. 2003.
Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
105

McKee, T. & McKee. J.R. 2003. Aerobic Metabolism II: Electron Transport and
Oxidative Phosphorylation. Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3rd
Edition, (p. 298-330). Philadelphia: McGraw-Hill.

McPhee, S.J & Pignone, M. 2007. Disease Prevention and Health Promotion. In
S.J. McPhee, M.A, Papadakis, & L.M. Tierney Jr (Eds), Current Medical
Diagnosis and Treatment, 47th Edition, (p. 1-16). New York: McGraw-
Hill.

Messina, E.S., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 1997. A Major Role for CYP2A6 in
Nicotine C-Oxidation by Human Liver Microsomes. The Journal Of
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 282, No. 8.

Minematsu, N., Nakamura, H., Iwata, M., Tateno, H., Nakajima, T., Takahashi,
S., Fujishima, S. & Yamaguchi. K. 2003. Association of CYP2A6 Deletion
Polymorphism with Smoking Habit and Development of Pulmonary
Emphysema. Thorax. Vol. 58.

Molander, L., Hansso, A. & Lunell, E. 2001. Pharmacokinetics of nicotine in


healthy elderly people. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 69,
No. 1.

Munaf, M.R., Clark, T.G., Johnstone, E.C.; Murphy, M.F.G. & Walton, R.T.
2003. The Genetic Basis for Smoking Behavior: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Nicotine and Tobaco Research. Vol. 6, No. 4.

Murray, R.K. 2006. Metabolism of Xenobiotics. In R.K. Murray, D.K. Granner, &
V.W. Rodwell (Eds), Harpers Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p.
633-640). New York: McGraw-Hill.

Nakajima, M., Yamamoto, T., Nunoya, K., Yokoi, T., Nagashima, K., Inoue, K.,
Funae, Y., Shimada, N., Kamataki, T. & Kuroiwa, Y. 1996.
Characterization of CYP2A6 Involved in 3-Hydroxylation of Cotinine in
Human Liver Microsomes. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 277, No. 2.

Nakajima, M., Kwon, J.T., Tanaka, N., Zenta, T., Yamamoto, Y., Yamamoto, H.,
Yamazaki, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y. & Yokoi, T. 2001. Relationship
Between Interindividual Differences in Nicotine Metabolism and CYP2A6
Genetic Polymorphism in Humans. Clinical Pharmacology and
Therapeutics. Vol. 69. No. 1.
106

Nussbaum, R.L., McInnes, R.R. & Willard, H.F. 2007. Genetic Variation in
Individuals and Population: Mutation and Polymorphism. In R.L.
Nussbaum, R.R. McInnes & H.F. Willard (Eds), Thompson and Thompson
Genetics in Medicine, 7th Edition, (p. 175-199). Philadelphia: Saunders
Elsevier.

OBrian, C.P. 2006. Drug Addiction and Drug Abuse. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 607-628). New York: McGraw-Hill.

Oscarson, M. 2001. Genetic Polymorphism in The Cytochrome P450 2A6


(CYP2A6) Gene: Implication for Interindividual Differences in Nicotine
Metabolism. The Journal Of Pharmacology and Experimental
Therapeutics. Vol. 29, No. 2.

Pankow, J.F., Tavakoli, A.D., Luo, W. & Isabelle, L.M. 2003. Percent free base
nicotine in the tobacco smoke particulate matter of selected commercial
and reference cigarettes. Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.

Perry, D.C., Davila-Garcia, M,, Stockmeier, C.A. & Kellar, K.J. 1999. Increased
Nicotinic Receptors in Brains from Smokers: Membrane Binding and
Autoradiography Studies. The Journal Of Pharmacology and Experimental
Therapeutics. Vol. 289, No. 3.

Patterson, F., Benowitz, N., Shields, P., Kaufmann, V., Jepson, C., Wileyto, P.,
Kucharski, S. & Lerman, C. 2003. Individual Differences in Nicotine
Intake per Cigarette. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Vol.
12.

Pianezza, M.L., Sellers, E.M. & Tyndale, R.F. 2001. Nicotine metabolism defect
reduces smoking. Nature. Vol. 393, No. 750.

Piper, M.E., Piasecki, T.M., Federman, E.B., Bolt, D.M., Smith, S.S., Fiore, M.C.
& Baker, T.B. 2003. A multiple motives approach to tobacco dependence:
The Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives (WISDM-68).
Journal of Consulting and Clinical Psychology.

Rae, J.M., Johnson, M.D., Lippman, M.E. & Flockhart, D.A. 2001. Rifampin Is a
Selective, Pleiotropic Inducer of Drug Metabolism Genes in Human
Hepatocytes: Studies with cDNA and Oligonucleotide Expression Arrays.
The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 299,
No. 3.
107

Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin, L., Zeman, M., Sellers, E.M. & Tyndale,
R.F. 2000. Duplications and Defects in The CYP2A6 Gene: Identification,
Genotyping, and In Vivo Effects on Smoking. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 58, No. 4.

Relling, M.V. & Giacomini, K.M. 2006. Pharmacogenetics. In L.L. Brunton, J.S.
Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilmans The Pharmacological
Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 93-115). New York: McGraw-Hill.

Robertson, P., Decory, H.H., Madan, A. & Parkinson, A. 2000. InVitro Inhibition
and Induction of Human Hepatic Cytochrome P450 Enzymes by
Modafinil. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 28, No. 6.

Rutter, J.L. 2006. Symbiotic Relationship of Pharmacogenetics and Drugs of


Abuse. The AAPS Journal. Vol. 8, No. 21.

Schneider, N.G., Olmstead, R.F., Franzon, M.A. & Lunell, E. 2001. The nicotine
inhaler: clinical pharmacokinetics and comparison with other nicotine
treatments. Clinical Pharmacokinetics. Vol. 40, No. 9.

Schroeder, P., Schieke, F.M. & Morita, A. 2006. Premature Skin Aging by Infra
Red Radiation, Tobacco Smoke and Ozone. In B.A. Gilchrest & J.
Krutmann (Eds), Skin Aging, 1st Edition, (p. 47-48). Berlin: Springer.

Stanner, S., Thompson, R. & Buttriss, J. 2009. Healthy Aging: The Role of
Nutrition and Life Style. United Kingdom: Wiley-Blackwell. p. 30-34.

Streppel, M.T., Boshuizen, H.C., Ock, M.C., Kok, F.J. & Kromhout D. 2007.
Mortality and life expectancy in relation to long-term cigarette, cigar and
pipe smoking: the Zutphen Study. Tobacco Control. Vol. 16, No. 2.

Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : CV.


Infomedika. p. 31-46

Thompson, M.A., Moon, E., Kim, U.J., Xu, J., Siciliano, M.J. & Weinshilboum,
R.M. 1999. Human indolethylamine N-methyltransferase: cDNA cloning
and expression, gene cloning, and chromosomal localization. Genomics.
Vol. 61, No. 3.
108

Ting, S., Ziping, B., Qing-Yu, Z., Smith, T.J., Jun-Yang, H. & Xinxin, D. 2000.
Human Cytochrome P450 CYP2A13: Predominant Expression in the
Respiratory Tract and Its High Efficiency Metabolic Activation of a
Tobacco-specific Carcinogen, 4-(Methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-
butanone. Cancer Research. Vol. 60.

Tyndale, R.F. & Sellers, E. 2005. Variable CYP2A6-Mediated Nicotine


Metabolism Alters Smoking Behavior and Risk. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 29, No. 4.

Wenjiang, Z., Kilicarslan, T., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 2001. Evaluation of
Methoxalen, Tranylcypromine, and Tryptamine as Specific and Selective
CYP2A6 Inhibitors in Vitro. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 26,
No. 6.

Wibowo, S. 2003. Andropause : Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Dalam :


The Concepts of Anti Aging and How to Make Without Disorder. Jakarta :
FKUI. p. 11-17.

Yamasaki, H., Inoue, K., Hashimoto, M. & Shimada, T. 1999. Roles of CYP2A6
and CYP2B6 in nicotine C-oxidation by human liver microsomes. Archives
of Toxicology. Vol. 73, No. 2.

Yoshida, R., Nakajima, N., Watanabe, Y., Kwon, J. & Yokoi, T. 2002. Genetic
Polymorphisms in Human CYP2A6 Gene Causing Impaired Nicotine
Metabolism. Journal Of Clinical Prahmacology. Vol. 54, p. 511-517.

Young, I.D. 2005. Genes and Population. In I.D. Young (Eds), Medical Genetics,
1st Edition, (p. 136-151). New York: Oxford University Press, Inc.
109

Lampiran 1

Rincian Biaya dan Waktu Penelitian

1. Waktu Penelitian
Bulan
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
Aktivitas
Persiapan
Pengumpulan sampel
Pengolahan sampel
Analisis data
Penyusunan hasil

2. Biaya Penelitian
Pengumpulan sampel: Pengolahan
Honor Asisten : Rp. 4.000.000,- Biaya Isolasi DNA : Rp. 2.567.000,-
Bahan habis pakai Biaya PCR & Digesti : Rp. 937.000,-
Spuit 3 cc : Rp. 150.000 ,- Biaya Elektroforesis : Rp. 570.000,-
Tabung EDTA : Rp. 200,000,- Bahan Habis Pakai : Rp. 5.742.500,-
Alcohol swab : Rp. 50.000,- Biaya Bench Fee : Rp. 2.500.000,-
Plester : Rp. 100.000,- Total : Rp.12.316.500,-
Total : Rp. 4.500.000,- Total Pengeluaran : Rp. 12.316.500,- + Rp 4.500.000,- = Rp. 16.816.500,-

109
80
110

Lampiran 2

Surat Pernyataan Ethical Clearance

80
111

Lampiran 3

Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian

Selamat pagi,

Saya dr. Hendy Wijaya yang sedang menjalani pendidikan S2 Kedokteran

Anti Penuaan di Universitas Udayana. Saya akan mengadakan penelitian dengan

judul Gen CYP2A6 Meningkatkan Ketergantungan Fisik Perokok terhadap

Nikotin. Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk

mengetahui adanya peran faktor keturunan terhadap munculnya gejala kecanduan

merokok.

Dalam penelitian ini anda akan menjalani diminta mengisi kuesioner untuk

mengetahui seberapa jauh anda tergantung secara fisik terhadap rokok dan

selanjutnya akan menjalani pemeriksaan darah yang diambil dari pembuluh darah

di lengan anda untuk memastikan ada atau tidaknya faktor keturunan yang saya

maksudkan sebelumnya. Contoh darah yang saya dapatkan dari anda akan

menjalani pemeriksaan di laboratorium Biologi Molekuler Universitas Udayana.

Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti anda

memiliki faktor keturunan yang diduga memiliki peran meningkatkan

kecenderungan anda tergantung terhadap rokok. Komplikasi yang terjadi pada

tindakan pengambilan darah biasanya berupa munculnya lebam di sekitar daerah

suntikan, ataupun rasa nyeri. Biasanya komplikasi ini tidak menimbulkan dampak

yang serius dan tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Jika terjadi
112

komplikasi lain akibat tindakan yang saya lakukan, maka kompensasi biaya

yang dibutuhkan akan ditanggung oleh peneliti.

Dengan mengikuti penelitian ini, maka akan dapat ditentukan apakah faktor

yang kami periksa memiliki peran dalam meningkatkan kecenderungan untuk

tergantung terhadap nikotin dalam rokok. Dengan demikian, hasil penelitian ini

dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan suatu strategi pengobatan atau obat

baru untuk membantu para perokok menghilangkan gejala kecanduan mereka

terhadap rokok dan akhirnya berhenti merokok.

Saya akan mencatat identitas anda (nama, jenis kelamin, usia, suku, alamat,

nomor telepon yang bisa dihubungi) pada lembar penelitian. Selanjutnya saya

akan mencatat hasil wawancara atau pengisian kuesioner ketergantungan nikotin

dan hasil pemeriksaan darah anda.

Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Sebagai tanda terima

kasih kami akan memberikan biaya pengganti transportasi kepada anda.

Pada penelitian ini identitas anda disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota

peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data

akan dijamin sepenuhnya. Bila data anda dipublikasi kerahasiaan identitas anda

tetap dijaga.

Jika terjadi keluhan setelah pengambilan darah seperti pembengkakan, nyeri

tekan, kesemutan atau untuk mendapat penjelasan lebih lanjut anda dapat

menghubungi saya dr. Hendy Wijaya pada nomor 087861102341, Jl. Teuku Umar

141 Denpasar. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan

anda.

80
113

Lampiran 4

Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

Saya yang namanya tersebut di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Nomor Telp. :

Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan

penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan

bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan

penjelasan lebih lanjut saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.

Dokter Peneliti Denpasar, 20

Peserta penelitian

dr. Hendy Wijaya

Jl. Teuku Umar 141 Denpasar

Telp. 087861102341

Saksi
114

Lampiran 5

Kuesioner FTND (Fagerstrrm Test for Nicotine Dependence)


(Heatherton et al., 1991)

1. Berapa lama jarak waktu antara Anda bangun pagi dan rokok pertama yang
anda hisap?
a) Setelah 60 menit atau satu jam (0)
b) 31-60 menit (1)
c) 6-30 menit (2)
d) Dalam waktu 5 menit (3)
2. Apakah Anda merasa kesulitan untuk tidak merokok di tempat-tempat tertentu
bebas rokok?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)
3. Aktivitas merokok saat apa yang paling susah Anda hilangkan?
a) Rokok pertama di pagi hari (1)
b) Selain pagi hari (0)
4. Berapa batang rokok per hari yang Anda hisap?
a) 10 batang atau kurang (1)
b) 21-30 batang (2)
c) 31 batang atau lebih (3)
5. Apakah Anda lebih sering merokok di saat-saat setelah bangun tidur
dibandingkan saat lain?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)
6. Apakah Anda tetap merokok meskipun sakit dan harus beristirahat sepanjang
hari?
a) Tidak (0)
b) Ya (1)

Interpretasi:
0-2 : Ketergantungan fisik sangat rendah 6-7 : Ketergantungan fisik tinggi
3-4 : Ketergantungan fisik rendah 8-10 : Ketergantungan fisik sangat
5 : Ketergantungan fisik sedang tinggi
115

Lampiran 6

Uji Chi-Square Lama Merokok dan Skor FTND

Klasifikasi lama merokok dan Klasifikasi Skor FTND


Klasifikasi Skor FTND

<= 4,40 > 4,40 Total

klasifikasi lama merokok <=11.7 30 16 46

>11.7 13 19 32

Total 43 35 78

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 4.614 1 .032
b
Continuity Correction 3.673 1 .055

Likelihood Ratio 4.639 1 .031

Fisher's Exact Test .039 .027

N of Valid Cases 78

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 14.36.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for klasifikasi lama merokok 2.740 1.081 6.949


(<=11.7 / >11.7)

For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 1.605 1.004 2.566

For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .586 .359 .955

N of Valid Cases 78
116

Lampiran 7

Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Skor FTND

Klasifikasi jumlah rokok dan Klasifikasi Skor FTND


Klasifikasi Skor FTND

<= 4,40 > 4,40 Total

Klasifikasi jumlah rokok <= 13,2 36 15 51

> 13,2 7 20 27

Total 43 35 78

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 14.236 1 .000
b
Continuity Correction 12.487 1 .000

Likelihood Ratio 14.615 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 78

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 12.12.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Klasifikasi jumlah rokok (<= 6.857 2.398 19.606
13,2 / > 13,2)

For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 2.723 1.405 5.277

For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .397 .246 .642

N of Valid Cases 78
117

Lampiran 8

Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Lama Kebiasaan Merokok

Klasifikasi Jumlah Rokok dan Klasifikasi Lama Merokok


Klasifikasi lama merokok

<=11.7 >11.7 Total

Klasifikasi jumlah rokok <= 13,2 34 17 51

> 13,2 12 15 27

Total 46 32 78

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 3.603 1 .058
b
Continuity Correction 2.743 1 .098

Likelihood Ratio 3.584 1 .058

Fisher's Exact Test .090 .049

N of Valid Cases 78

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 11.08.
b. Computed only for a 2x2 table
118

Lampiran 9

Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Jumlah Rokok per hari

Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Jumlah Rokok


Klasifikasi jumlah rokok

<= 13,2 > 13,2 Total

Interpretasi Hasil Negatif 23 5 28

Positif 28 22 50

Total 51 27 78

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 5.420 1 .020
b
Continuity Correction 4.326 1 .038

Likelihood Ratio 5.756 1 .016

Fisher's Exact Test .026 .017

N of Valid Cases 78

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.69.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif / 3.614 1.183 11.041


Positif)

For cohort Klasifikasi jumlah rokok = <= 1.467 1.086 1.981


13,2

For cohort Klasifikasi jumlah rokok = > .406 .173 .953


13,2

N of Valid Cases 78
119

Lampiran 10

Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Skor FTND

Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Skor FTND


Klasifikasi Skor FTND

<= 4,40 > 4,40 Total

Interpretasi Hasil Negatif 22 6 28

Positif 21 29 50

Total 43 35 78

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 9.704 1 .002
b
Continuity Correction 8.282 1 .004

Likelihood Ratio 10.183 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .002

N of Valid Cases 78

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.56.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif / 5.063 1.749 14.661


Positif)

For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40 1.871 1.281 2.732

For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40 .369 .175 .780

N of Valid Cases 78
120

Lampiran 11

Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Skor

FTND

Ranks
Klasifikasi Skor Mean
FTND N Rank Sum of Ranks

Nilai Rokok x Tahun <=4,4 43 31.34 1347.50

>4,4 35 49.53 1733.50

Total 78

Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun

Mann-Whitney U 401.500

Wilcoxon W 1347.500

Z -3.531

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: Klasifikasi Skor FTND


121

Lampiran 12

Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Gen

CYP2A6

Ranks
Interpretasi
N Mean Rank Sum of Ranks
Hasil

Nilai Rokok x Tahun Negatif 28 31.23 874.50

Positif 50 44.13 2206.50

Total 78

Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun

Mann-Whitney U 468.500

Wilcoxon W 874.500

Z -2.414

Asymp. Sig. (2-tailed) .016

a. Grouping Variable: Interpretasi


Hasil
122

Lampiran 13

Gambar Hasil PCR dan Hasil Restriksi DNA

Hasil Optimasi PCR Ilustrasi Hasil Optimasi PCR

Marker

1338 bp

Ilustrasi Hasil Digesti


dengan Eco81I

Marker

800 bp

434 bp

104 bp

Anda mungkin juga menyukai