Anda di halaman 1dari 31

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Baru Anti-Aging Medicine (AAM)

Ada 3 pokok penting dalam paradigma baru AAM yang memberi

harapan baru bagi umat manusia. Pertama, penuaan dapat dianggap dan

diperlakukan seperti suatu penyakit yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati,

serta bahkan dengan perkembangan sains dan teknologi, antara lain:

biomolekuler dan genetika, aplikasi cell therapy, stem cell therapy, dan kloning

organ tubuh, serta organ buatan, memungkinkan kondisi dan fungsi organ tubuh

yang mengalami proses penuaan dikembalikan ke kondisi dan fungsi semula.

Kedua, manusia bukanlah semacam orang hukuman yang terperangkap dalam

takdir genetiknya sehingga ada upaya yang seharusnya dapat dilakukan agar

walaupun usia terus bertambah tetapi fungsi tubuh tetap dapat dipertahankan

sehingga kualitas hidup tetap baik, misalnya dengan menerapkan gaya hidup

sehat. Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena level

hormonnya menurun dan bukan level hormon menurun karena manusia menjadi

tua (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011; Pangkahila dan Wong, 2015;

Pangkahila, 2017a, 2017b).

Paradigma baru AAM inilah yang membedakannya dengan kedokteran

konvensional yang kini masih mendominasi dunia kedokteran. Fishman et al.

(2008) menyatakan bahwa AAM berupaya untuk mengatasi proses penuaan

melalui “measures taken in order to slow, stop or even reverse phenomena related
13

to aging, as well as to increase life span.” AAM secara progresif berupaya

mengatasi proses penuaan agar keluhan, disfungsi, atau penyakit tidak muncul

sedangkan kedokteran konvensional mengatasi keluhan, disfungsi, atau penyakit

yang muncul karena proses penuaan (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011;

Pangkahila dan Wong, 2015; Pangkahila, 2017a, 2017b).

Model teori AAM ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat

dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu menghambat proses

penuaan dan bahkan mengembalikan ke kondisi dan fungsi semula yang normal.

Mekanismenya adalah dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan

perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel. Pada akhirnya, usia harapan

hidup menjadi lebih panjang dan dalam keadaan sehat dengan kualitas hidup yang

baik. Ini berarti tetap dapat berkarya dengan baik pada lanjut usia (lansia). Pada

dasarnya, inilah tujuan akhir AAM (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011;

Pangkahila dan Wong, 2015; Pangkahila, 2017a, 2017b).

Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui

proses penuaan yang kemudian menyebabkan sakit dan akhirnya membawa

kepada kematian. Pada dasarnya, berbagai faktor itu dapat dikelompokkan

menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal

bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem

kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor-faktor eksternal yang utama ialah gaya

hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan,

stres, dan kemiskinan. Apabila faktor-faktor penyebab itu dapat dihindari,

dihambat, dan diatasi maka proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat,
14

bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Hasilnya,

berbagai organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal

usia sebenarnya telah bertambah. Dengan konsep AAM, usia fisiologis atau

biologis dapat menjadi lebih muda daripada usia kronologis. Ini berarti usia

harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik

(Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011; Pangkahila dan Wong, 2015; Pangkahila,

2017a, 2017b).

Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan

perubahan fisik dan psikis namun berlangsung secara bertahap melalui 3 tahap,

yaitu tahap subklinik, tahap transisi, dan tahap klinik. Proses penuaan tidak selalu

harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang

tidak mengalami gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan sehingga untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai

muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011;

Pangkahila dan Wong, 2015; Pangkahila, 2017a, 2017b).

2.2 Menopause

Salah satu indikator proses penuaan pada perempuan adalah

menopause. Penurunan kadar hormon estrogen, progesteron, dan testosteron

akibat kegagalan fungsi ovarium menyebabkan berhentinya siklus menstruasi

untuk selamanya. Perubahan tersebut disertai berbagai tanda, gejala, dan keluhan

lain yang sangat mengganggu serta dapat menimbulkan kualitas hidup yang
15

menurun tajam (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011; Pangkahila dan Wong,

2015; Pangkahila, 2017a, 2017b).

Berbagai tanda, gejala, dan keluhan menopause dikelompokkan

menjadi 3, sebagai berikut. Pertama, gejala fisik meliputi gejolak panas (hot

flash), berkeringat malam hari, gangguan tidur, lelah, gatal, nyeri tulang karena

osteoporosis, sakit kepala, palpitasi, tidak dapat menahan kencing, gemuk dengan

timbunan lemak di pinggang dan perut (visceral obesity), rambut rontok, dan kulit

keriput. Kedua, gejala psikis meliputi cemas, gelisah, labil, mudah tersinggung,

konsentrasi menurun, dan mudah lupa. Ketiga, gejala disfungsi seksual meliputi

dorongan seksual menurun dan gangguan bangkitan seksual karena klitoris tidak

berereksi dan berkurangnya lubrikasi vagina saat terangsang sehingga terjadi

dispareunia bila memaksakan hubungan seksual (Pangkahila, 2007; Pangkahila,

2011; Pangkahila dan Wong, 2015; Pangkahila, 2017a, 2017b).

Karena berbagai tanda, gejala, dan keluhan yang timbul disebabkan

oleh hormon yang berkurang maka pengobatan hormon perlu diberikan pada PM

dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hidup. Keputusan pemberian

pengobatan hormon pada PM harus mempertimbangkan risk-benefit ratio

berdasarkan riwayat kesehatan sebelumnya sehingga diperlukan konsultasi dan

pemeriksaan yang benar sebelum dan selama pengobatan. Tanpa pengobatan

hormon, kondisi PM tidak mungkin kembali ke kondisi seperti sebelumnya.

Pengobatan dengan hormon tersebut tidak hanya memberikan perbaikan pada

fungsi seksual saja tetapi juga perbaikan bagi fungsi organ tubuh lain. Pada

akhirnya tanda, gejala, dan keluhan menopause lainnya juga berkurang, bahkan
16

hilang (Pangkahila, 2007; Pangkahila, 2011; Pangkahila dan Wong, 2015;

Pangkahila, 2017a, 2017b).

2.3 Fisiologi DHEA

Kelenjar adrenalis manusia dewasa menyekresikan prehormon

androgen lebih dari 20 mg/hari, yang terdiri dari DHEA 4 mg/hari, DHEAS 7-15

mg/hari, androstenedion 1,5 mg/hari, dan testosteron 0,05 mg/hari (Stewart dan

Newell-Price, 2016). DHEA (prasteron) dan bentuk sulfat esternya, DHEAS,

adalah prekursor hormon steroid seks yang melimpah di sirkulasi darah, 90-95%

disekresikan oleh zona retikularis korteks kelenjar adrenalis, dan sisanya

diproduksi de novo oleh ovarium, testis, dan otak. Level prehormon ini mencapai

maksimal pada dekade usia ke-2 dan ke-3 yang kadarnya bisa mencapai 20 kali

lebih besar dari kortisol. Prehormon ini kemudian mengalami penurunan 2-5% per

tahun sehingga hanya tersisa 5-20%, dari level produksi puncak, pada dekade

usia yang ke-7 dan ke-8. Dengan demikian, seorang lansia normal dapat dianggap

mengalami defisiensi DHEA/DHEAS (Gambar 2.1) (Labrie, 2010; Bancos et al.,

2014). Sebaliknya, level sekresi glukokortikoid dan mineralokortikoid hanya

mengalami perubahan yang minimal sepanjang hayat manusia. Proses ini disebut

sebagai adrenopause (Stewart dan Newell-Price, 2016).


17

Gambar 2.1
Bioavailabilitas DHEA menurun seiring bertambahnya usia
Prasterone intravaginal mengembalikan level DHEA di vagina (Labrie,
2016)

Penurunan level DHEA dan DHEAS yang berkaitan dengan

bertambahnya usia menimbulkan konsekuensi meningkatnya rasio

kortisol/DHEA. Peningkatan rasio kortisol/DHEA diduga menjadi basis

patofisiologi penyakit-penyakit yang disebut “cortisol-potentiated.” Penyakit-

penyakit tersebut misalnya penyakit autoimun (Konttinen et al., 2012), disfungsi

seksual pascamenopause (DSPM) (Wierman et al., 2010; Brotto et al., 2010,

2011; Bloch et al., 2013), sindrom menopause (SM) (Pluchino et al., 2014; Labrie

et al., 2015), penyakit kardiovaskular (Jacob et al., 2010; Traish et al., 2011;

Huerta-Garcia et al., 2012; Auro et al., 2014), kanker (Hakkak et al., 2010; Preuss

et al., 2012; Perry et al., 2015), dislipidemia (Jankowski et al., 2011), diabetes

melitus tipe 2 (DMT2) (Weiss et al., 2011; Auro et al., 2014), obesitas (Traish et

al., 2011; Cao et al., 2013; Perry et al., 2015; Hakkak et al., 2017), sarkopenia

(Labrie, 2010), skin aging (Nouveau et al., 2008; Slominski et al., 2015),
18

osteoporosis (Weiss et al., 2009), glaukoma, katarak, penyakit infeksi, gangguan

mood dan kognitif, depresi, dan neurodegeneratif (Johansson et al., 2011; Sorwell

dan Urbanski, 2013; Fokidis et al., 2014; Pluchino et al., 2014).

Banyak peneliti yang tertarik untuk menguji klinis DHEA. Mereka

ingin mengetahui apakah merestorasi level DHEA lansia untuk

mengembalikannya menjadi konsentrasi seperti di usia muda dapat memperbaiki

kesehatan, memperpanjang umur, dan meningkatkan kualitas hidup secara

signifikan. Salah satu peneliti dari Perancis, Dr. Etienne-Emile Baulieu,

menyatakan,”A number of biological indices confirmed the lack of harmful

consequences of DHEA administration, also indicating that this kind of

replacement therapy normalized some effects of aging, but does not create

“supermen/women” (doping) (Genazzani et al., 2007; Labrie et al., 2007; Chang

et al., 2008; Pluchino et al., 2008, 2014; Hahner dan Allolio, 2010; Labrie, 2010;

Corona et al., 2013; Samaras et al., 2013, 2014: Urbanski et al., 2014; Keane et

al., 2015; Pangkahila dan Wong, 2015; Riera dan Dillin, 2015; Shohat-Tal et al.,

2015).

Penelitian metaanalisis yang dikerjakan oleh Zhai et al. (2011) dengan

menggunakan data genome-wide association studies (GWAS) membuktikan

bahwa terdapat 8 single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang dihubungkan

dengan konsentrasi DHEAS serum. Gen-gen tersebut antara lain BCL2L11,

ARPC1A, ZKSCAN5, TRIM4, HHEX, CYP2C9, BMF, dan SULT2A1. Gen-gen

tersebut berhubungan dengan metabolisme hormon steroid, komorbiditas antara

aging dan DMT2, aging dan limfoma, aging dan pemasangan filamen aktin, aging
19

dan metabolisme obat dan xenobiotic, serta aging dan protein zinc fingers. Hasil

penelitian tersebut memberi kesan bahwa regulasi DHEAS mendasari mekanisme

molekuler yang terlibat dalam aging dan longevity.

Berbagai efek fisiologis dari DHEA terjadi melalui mekanisme

langsung dan tidak langsung (Traish et al., 2011; Lang et al., 2015). Aksi DHEA

secara langsung terjadi via berikatan dengan membran sel, reseptor membran sel

yang spesifik, atau berinteraksi dengan protein, seperti contoh-contoh berikut. 1)

DHEA sebagai neurosteroid berikatan dengan reseptor γ-amino butyric acid

(GABA), Sigma-1, dan N-methyl D-aspartate (NMDA) (Traish et al., 2011;

Pluchino et al., 2014). 2) DHEA sebagai vasodilator berinteraksi dengan nitric

oxide synthase sel endotel (eNOS) untuk release nitric oxide (NO) (Traish et al.,

2011; Huerta-Garcia et al., 2012). 3) DHEA bertindak sebagai antiglukokortikoid

dengan mencegah aktivitas transkripsi reseptor glukokortikoid di inti sel

(Saponaro et al., 2007; Buoso et al., 2017). 4) DHEA bertindak sebagai

imunomodulator dengan mengaktivasi sel T-helper1 (Th1) dan Th2 (Hazeldine et

al., 2010; Pratschke, 2014). 5) DHEA bertindak sebagai antikanker dan

antiatherosklerosis dengan menghambat glucose-6-phosphate dehydrogenase

(G6PDH) (Mousa et al., 2009; Hakkak et al., 2010; Preuss et al., 2012). 6) DHEA

bertindak protektif terhadap infeksi dengan meregulasi fungsi makrofag (Corsini

et al., 2016). 7) DHEA meredakan inflamasi dengan menghambat induksi tumor

necrosis factor alpha (TNF-α). 8) DHEA bertindak sebagai antioksidan beradhesi

dengan reactive oxygen species (ROS) (Jacob et al., 2010; Traish et al., 2011;

Weiss et al., 2011; Yin et al., 2015).


20

2.4 Mekanisme Endokrinologi dan Intrakrinologi DHEA

Gambar 2.2
Biosintesis hormon steroid (Achermann dan Hughes, 2016)

Ada 2 mekanisme aksi DHEA yang terjadi secara tidak langsung, yaitu

sebagai berikut. 1) DHEA berkonversi menjadi hormon steroid seks yang aktif,

androgen atau estrogen, yang disintesis di kelenjar adrenalis, testis, dan ovarium
21

kemudian disekresi ke sirkulasi darah sehingga meningkatkan kadar serum

hormon tersebut (global exposure), hal ini sesuai dengan mekanisme

endokrinologi (Gambar 2.2). 2) DHEA berkonversi menjadi hormon steroid seks

aktif yang disintesis in situ di sel-sel target jaringan perifer dengan melibatkan

enzim-enzim steroidogenik, yaitu isozim β-Hydroxysteroid dehydrogenase (β-

HSD) dan aromatase, dan mengalami inaktivasi metabolik intrasel oleh uridine

glucoronosyl transferase (UGT) dan sulfotransferase (Sult) sehingga tidak

mengubah kadar serum hormon tersebut (cell-specific exposure), hal ini sesuai

dengan mekanisme intrakrinologi (Tabel 2.1, Gambar 2.3, dan Gambar 2.4) (Luu-

The dan Labrie, 2010; Mostaghel et al., 2012; Mauvais-Jarvis, 2012; Labrie dan

Labrie, 2013; Li et al., 2014; Mostaghel, 2014; Labrie et al., 2015; Gibson et al.,

2016; Hanamura et al., 2016; Stewart dan Newell-Price, 2016).


22

Tabel 2.1
Beda endokrinologi estradiol (E2) dan intrakrinologi DHEA (Labrie et al., 2017)

E2 DHEA

E2 adalah estrogen yang paling poten DHEA adalah prehormon inaktif

E2 melalui sirkulasi darah menstimulasi DHEA dikonversi menjadi estrogen


estrogenik seluruh jaringan terpapar intraseluler sesuai dengan enzim
steroidogenik jaringan

Setelah mencapai sel, E2 langsung DHEA berinteraksi dengan 30 enzim


mengaktifkan reseptor estrogen cell-specific meregulasi jumlah
estrogen berikatan reseptor

Pada PM terjadi kekurangan estrogen DHEA menyediakan estrogen dan


dan androgen, HRT dengan E2 saja androgen yang diperlukan secara
tidak cukup fisiologis oleh setiap jaringan

E2 aktif dan metabolitnya di sirkulasi Metabolit E2 inaktif di sirkulasi


23

Gambar 2.3
Gambaran skematik perbedaan endokrinologi dan intrakrinologi (Labrie, 2015)

Mekanisme endokrinologi adalah suatu mekanisme dimana hormon

dihasilkan oleh kelenjar endokrin dilepaskan ke sirkulasi darah menuju target

organ. Mekanisme intrakrinologi dari DHEA merupakan mekanisme yang

fisiologis untuk menghilangkan risiko efek sistemik estrogen pascamenopause

(Gambar 2.3, Gambar 2.4, dan Gambar 2.6) (Labrie et al., 2013). Selain itu,

mekanisme tersebut juga dapat memenuhi kebutuhan hormon androgen di

jaringan target yang sangat penting untuk terapi. Jadi, DHEA memenuhi

kebutuhan terhadap estrogen dan androgen yang aktivasi dan inaktivasinya in situ

di jaringan target melalui proses intrakrinologi (Gambar 2.6) (Labrie, 2015a,

2015b; Labrie et al., 2017).


24

Gambar 2.4
Skema perbandingan endokrinologi dan intrakrinologi (Labrie, 2016).
25

Gambar 2.5
Mekanisme intrakrinologi pada PM (Labrie, 2016)

DHEA menjadi sumber yang unik dan eksklusif dari hormon steroid

seks pada perempuan pascamenopause. Sekresi DHEA diperkirakan sekitar 82%

oleh kelenjar adrenalis dan 18% oleh ovarium pada saat berusia 42-74 tahun

dengan variasi level berbeda masing-masing 7,89 kali lipat dan 9,2 kali lipat

antara yang memiliki DHEA serum dan DHEAS serum berlevel rendah dan tinggi

(Labrie, 2011; Labrie et al., 2011a; Labrie et al., 2011b). Namun, sekresi DHEA

menurun secara nyata sejak usia 30 tahun dan mencapai penurunan rerata sebesar

60% pada saat menopause bila dibandingkan dengan nilai maksimal pada saat

berusia 30 tahun (Labrie, 2010). Selain itu, DHEA endogen perempuan


26

menunjukkan kadar serum yang sangat bervariasi, yaitu pada 25% perempuan

yang terhindar dari sindrom menopause (SM) yang nyata mempunyai kadar

DHEA yang tinggi sedangkan pada 75% perempuan memiliki kadar DHEA yang

rendah dan mengalami SM yang nyata (Labrie, 2015a, 2015b). Sekresi DHEA

tidak memiliki mekanisme umpan balik untuk meningkatkan sekresi bila kadar

serumnya rendah sehingga perempuan dengan laju sekresi DHEA yang rendah

akan tetap mengalami defisiensi hormon steroid seks dengan segala

konsekuensinya bila tidak diterapi dengan DHEA eksogen (Labrie dan Labrie,

2013).

Berhentinya fungsi ovarium pada saat menopause mendapatkan

kompensasi fisiologis berupa mekanisme intrakrinologi (Labrie dan Labrie, 2013).

Mekanisme tersebut menyediakan estrogen dan androgen sesuai kebutuhan setiap

sel untuk berfungsi normal, jumlahnya bergantung pada level enzim steroidogenik

yang diekspresikan secara spesifik di masing-masing jaringan (Gambar 2.5 dan

Gambar 2.6) (Luu-The dan Labrie, 2010; Labrie, 2010). Mekanisme

intrakrinologi tidak menimbulkan peningkatan signifikan kadar serum hormon

steroid seks tersebut secara biologis sehingga terhindar dari efek sistemik yang

tidak diinginkan, khususnya stimulasi uterus dan payudara (Labrie et al., 2013;

Labrie dan Labrie, 2013; Labrie, 2015a, 2015b; Labrie et al., 2017).

Hanya PM yang mempunyai level DHEA endogen cukup tidak

mengalami atrofi vagina dan sindrom disfungsi seksual yang berkaitan dengan

atrofi vagina. Suplementasi DHEA eksogen, melalui sintesis androgen dan

estrogen lokal, menyebabkan pembalikan atrofi vagina dengan tidak disertai


27

perubahan atau disertai perubahan yang minimal kadar hormon steroid seks serum

pasca menopause (Gambar 2.6) (Labrie et al., 2013; Labrie dan Labrie, 2013;

Labrie, 2015a, 2015b). Pendekatan ini menghindarkan dari efek sistemik yang

menakutkan yang sering ditemukan terkait dengan formulasi estrogen yang

tersedia saat ini (Mungenast dan Thalhammer, 2014; McNamara et al., 2016).

Selain itu, pendekatan ini juga memenuhi kebutuhan terhadap komponen

androgenik secara fisiologis yang penting untuk terapi SM (Labrie et al., 2017)

Gambar 2.6
Enzim steroidogenik dan enzim inaktivasi steroid di jaringan intrakrin perifer
pada manusia (Labrie, 2016)
28

2.5 DHEA Sebagai HRT yang Fisiologis, Tissue-Specific, dan Aman

2.5.1 Penelitian DHEA pada Manusia

Von Mühlen et al. (2007) melaksanakan RCT the

Dehydroepiandrosterone And WellNess (DAWN) dengan partisipan 110 laki dan

115 perempuan berusia 55-85 tahun yang diberi DHEA per oral dosis 50 mg

sekali sehari selama 1 tahun. Para peneliti ini menemukan adanya biotransformasi

DHEA menjadi hormon steroid seks aktif dan metabolitnya. Selain itu, terjadi

peningkatan bioavailabilitas insulin-like growth factor 1 (IGF-1), dan inhibisi

produksi interleukin 6 (IL-6).

Pluchino et al. (2008) meneliti 32 perempuan pascamenopause yang

diberi DHEA per oral 10 mg/hari dibandingkan yang diberi HRT kombinasi

estradiol 50 μg transdermal dan progesteron micronized per oral selama setahun.

Para peneliti ini menemukan bahwa dosis 10 mg DHEA memadai untuk

merestorasi milieu androgenik dengan meningkatkan level androgen secara

signifikan sedangkan HRT tidak. Selain itu, DHEA menurunkan level kortisol

lebih banyak bila dibandingkan HRT. Dalam penelitian ini didapatkan juga efek

progestogenik DHEA.

Panjari et al. (2009) melaksanakan RCT prospektif pada 93 perempuan

pascamenopause dengan libido rendah yang diberi DHEA 50 mg per oral sekali

sehari selama 52 minggu. Para peneliti ini menemukan bahwa DHEA tidak

menimbulkan efek yang merugikan pada uterus. Efek tersebut sama dengan efek

yang terdapat pada kelompok yang diberi plasebo.


29

Labrie et al. (2010) melaksanakan RCT multisenter, prospektif, fase III

pada 216 perempuan pascamenopause yang diberi ovula DHEA 0,25% (3,25 mg),

0,5% (6,5 mg), atau 1% (13 mg) sekali sehari sebelum tidur malam hari selama

12 minggu. Para peneliti ini menemukan bahwa DHEA 0,5% berefek konsisten

dan sangat signifikan secara klinis dan statistik pada semua parameter pengobatan

atrofi vagina yang terdiri dari menurunnya pH vagina dan persentase sel

parabasal, meningkatnya persentase sel superfisial dibandingkan plasebo. Selain

itu, terjadi berkurangnya nyeri vagina dibandingkan baseline, namun tidak

mengubah level serum estrogen secara signifikan.

Bloch et al. (2012) meneliti 27 PM dan 21 laki-laki dengan HSDD

yang diberi DHEA 100 mg/hari per oral atau plasebo selama 6 minggu, RCT,

double blind study, kemudian diukur dengan kuesener fungsi seksual, kadar

DHEAS dan kadar bioavailable testosteron dan testosteron total , kadar estradiol,

kadar DHEA urin, dan androsteron. Hanya pada perempuan saja, terdapat efek

interaksi yang signifikan yang didapatkan pada bangkitan seksual, kepuasan

seksual dan persepsi seksual. Untuk bangkitan seksual, perbaikan yang

signifikan didapatkan setelah perlakuan selama 6 minggu, sedangkan pada pria

tidak. Hal ini mengindikasikan perbedaan jenis kelamin yang nyata. Hasil positif

ini menyarankan DHEA neurosteroid efektif pada wanita dengan HSDD bila

diberikan pada dosis sedikitnya 100 mg/ hari.

Labrie et al. (2013) meneliti 40 perempuan pascamenopause yang

diberi ovula DHEA 6,5 mg sekali sehari sebelum tidur malam selama 7 hari.

Kemudian, para peneliti mengukur kadar steroid seks serum, meliputi estradiol
30

(E2), estrone (E1), estrone sulphate (E1-S), testosterone, dihydrotestosterone

(DHT), androsterone glucoronide (ADT-G), DHEA, DHEAS, baselinenya dan

pada jam ke-0, 0,5, 1, 2, 4, 6, 8, 12, 18, 24 pascapemberian ovula pada hari ke-1

dan ke-7. Selanjutnya, para peneliti menemukan bahwa tidak ada perubahan kadar

steroid seks serum yang signifikan bila dibandingkan baseline, selain itu kadar

metabolit estrogen dan androgen serum tetap dalam rentang nilai yang normal

pada pascamenopause.

Portman et al. (2015) melaksanakan RCT multisenter, prospektif, fase

III selama 52 minggu pada 422 perempuan pascamenopause yang diberi ovula

DHEA 6,5 mg sekali sehari sebelum tidur malam hari. Para partisipan tersebut

dibiopsi endometriumnya di awal dan akhir study. Selanjutnya, para peneliti

menemukan atrofi endometrium pada seluruh perempuan tersebut sebagaimana

ditemukan pada 119 perempuan yang diberi plasebo.

Labrie et al. (2015a, 2015b) melaksanakan RCT prospektif pada 325

perempuan pascamenopause menderita atrofi vulva-vagina (AVV). Para

perempuan tersebut diberi ovula DHEA 0,5% (6,5 mg) sekali sehari sebelum tidur

malam hari selama 12 minggu. Para peneliti menemukan peningkatan skor the

Female Sexual Function Index (FSFI) yang sangat signifikan pada 6 domain,

antara lain desire, arousal, lubrication, orgasm, satisfaction, dan pain at sexual

activity bila dibandingkan dengan 157 perempuan yang diberi plasebo.

Ke et al. (2015) melaksanakan prospektif, multisenter, open-label study

fase III pada 435 perempuan pascamenopause non-hysterectomized yang diberi

ovula DHEA 0,5% (6,5 mg) sekali sehari sebelum tidur malam hari selama 52
31

minggu. Kemudian. Para perempuan tersebut diperiksa level steroid seks

serumnya dengan validated liquid chromatography-tandem mass spectrometry,

pada hari ke-1 dan minggu ke-12, 26, 52. Para peneliti menemukan bahwa seluruh

level steroid seks berada pada nilai pascamenopause yang normal tanpa adanya

perbedaan yang signifikan antara lamanya pengobatan.

Archer et al. (2015) melaksanakan RCT prospektif, multisenter, open-

label study fase III pada 255 perempuan pascamenopause non-hysterectomized

dengan dyspareunia yang diberi ovula DHEA 0,5% (6,5 mg) sekali sehari

sebelum tidur malam hari selama 12 minggu. Para peneliti menemukan DHEA

meredakan dyspareunia sebesar 46%, vaginal dryness sebesar 42%, bila

dibandingkan plasebo. Selain itu, terjadi perbaikan 14,4%-21,1% pada lubrikasi

vagina, integritas epitelial, ketebalan epitel permukaan, dan warna bila

dibandingkan plasebo.

Bouchard et al. (2016) melaksanakan RCT prospektif, multisenter,

open-label study fase III pada 154 perempuan pascamenopause non-

hysterectomized dengan AVV yang diberi ovula DHEA 0,5% (6,5 mg) sekali

sehari sebelum tidur malam hari selama 52 minggu. Para peneliti menemukan

peningkatan skor FSFI pada domain desire, arousal, lubrication, orgasm,

satisfaction, dan pain at sexual activity masing-masing sebesar 28%, 49%, 115%,

51%, 41%, dan 108% dibandingkan baseline. Selain itu, terjadi peningkatan skor

total FSFI sebesar ˃ 60% dibandingkan baseline.

Voelker (2017) mengabarkan bahwa The Food and Drug

Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan produk ovula bermerek


32

dagang Intrarosa® yang berisi DHEA sebagai suplemen untuk meredakan

dyspareunia akibat AVPM. Produk tersebut mempunyai aturan pakai sekali

sehari. Adverse reactions produk tersebut pada 4 safety trials selama 12 minggu

adalah vaginal discharge akibat lelehan ovula dan Pap smear yang abnormal.

2.5.2 Penelitian DHEA pada Hewan Coba

Pelletier et al. (2008) meneliti tikus Sprague-Dawley betina intact

berumur 6-7 minggu yang diberi DHEA dosis 100 mg/kg per oral sekali sehari

selama 175 hari. Para peneliti menemukan DHEA meningkatkan kadar serum

testosteron secara signifikan. Selain itu, pemberian DHEA tersebut tidak

menimbulkan perubahan yang signifikan pada histomorfologi glandula mammae

dan kadar serum estradiol.

Berger et al. (2008) meneliti tikus Sprague-Dawley berumur 10-12

minggu pascaovarektomi yang diberi ovula DHEA dosis 0,33 mg sekali sehari

selama 14 hari dan menemukan ovula DHEA dosis terkecil tersebut masih dapat

menginduksi efek lokal epitelial mucification vagina tanpa menstimulasi

proliferasi sel uterus, glandula mammae, dan kulit.

Pelletier et al. (2012) meneliti tikus Sprague-Dawley berumur 10-12

minggu. Setelah diovarektomi, tikus-tikus tersebut diberi DHEA 80 mg/kg topikal

sekali sehari selama 36 minggu. Para peneliti menemukan DHEA meningkatkan

densitas serabut saraf protein gene product (PGP) 9.5 di lamina propria dinding

vagina.

Pelletier et al. (2013) meneliti tikus Sprague-Dawley berumur 10-12

minggu pascaovarektomi yang diberi DHEA 80 mg/kg topikal sekali sehari


33

selama 36 minggu. Para peneliti menemukan DHEA meningkatkan densitas

serabut saraf PGP 9.5 sebesar 60% bila dibandingkan tikus pascaovarektomi yang

diberi plasebo. Selain itu, kombinasi DHEA dan acolbifene meningkatkan

densitas serabut saraf sebesar 87%, namun premarin tidak berefek terhadap

densitas serabut saraf PGP 9.5.

Dos Santos et al. (2017) berhasil mengidentifikasi lokasi enzim-enzim

steroidogenik binatang pengerat. Enzim-enzim tersebut meliputi 17α-hydroxylase

cytochrome P450 (P450c17), aromatase cytochrome P450 (P450arom), dan

NADPH-cytochrome P450 oxidoreductase (CPR). Enzim-enzim steroidogenik

tersebut yang memungkinkan terjadinya sintesis hormon steroid seks lokal di

mukosa vagina hewan coba pengerat Galea spixii.

2.6 Struktur dan Fungsi Vagina dan Vulva Tikus Putih

2.6.1 Gambaran Makroskopis Sistem Reproduksi Tikus Putih Betina

Lőw et al. (2016) menyatakan vagina adalah struktur berbentuk tabung

yang berdinding tipis, distensible, yang memanjang dari serviks sampai vulva.

Vagina berbatasan dengan rektum di bagian dorsal dan urehra pada bagian

ventral. Ukuran vagina pada tikus dewasa sekitar 15-20 mm panjangnya, dan

ketika mengembang diameternya mencapai 3-5 mm. Area dorsoventral diratakan

oleh sejumlah lipatan longitudinal yang meningkatkan lebar area posterior yang

berlanjut berbentuk cincin sampai dengan mulut vagina. Gambaran mukosa

vagina bervariasi tergantung pada fase siklus estrous. Selama fase proestrous dan

estrous vagina kering dan kusam. Selama fase metestrous dan diestrous vagina

menjadi lebih lembab dan kemerahan. Vulva adalah bagian luar genetalia yang
34

mengelilingi mulut vagina. Vulva tersusun dari jaringan yang lebarnya kurang

dari 1 mm dan ditutupi oleh rambut yang jarang. Vulva menjadi sedikit sembab

selama fase estrous.

Gambar 2.7
Sistem reproduksi tikus putih betina (Lőw et al., 2016)

Fungsi vagina sebagai liang senggama yang distensible dan sebagai

jalan lahir. Di samping itu, konten vagina selama estrous mengandung feromon,

yang bermaksud menarik dan menggairahkan pejantan. Feromon diduga

memproduksi bakteri intravagina yang terdapat di atas substansi mukoid seluler

yang ada di rongga vagina selama masa proestrous. Vagina yang membengkak

selama estrous berfungsi untuk membantu proses senggama dengan mencegah

penis selip. Menebalnya mukosa vagina dengan epitel bertanduk yang padat tapi

halus mempunyai fungsi proteksi dan membantu mencegah cedera selama

senggama, mirip seperti pada primata yang lebih rendah.


35

2.6.2 Gambaran Histologis Vagina Tikus Putih Pascamenopause

Pada penelitian ini, tikus putih dewasa dibuat menjadi menopause

iatrogenik dengan tindakan ovarektomi bilateral. Ovarektomi bilateral adalah

tindakan mengamputasi, mengeluarkan, dan menghilangkan seluruh ovarium dari

rongga abdomen. Hilangnya ovarium akan menyebabkan penurunan kadar

hormon steroid seks, yaitu hormon estrogen, progesteron, dan testosteron (Zanni

et al., 2014).

Gambaran histologis vagina tikus putih pascamenopause adalah

terdapat penurunan ketebalan epitel vagina, hilangnya rugae epitelial vagina,

eritema dan pteki serta epitelium menjadi lebih tipis (Gambar 2.8, Gambar 2.9,

dan Gambar 2.10). Istilah atrofi vagina menggambarkan dinding vagina yang

tipis, pucat, kering, dan seringkali meradang, yaitu atrophic vaginitis. Selama

masa perimenopause atau pada induced menopause dimana level estrogen di

sirkulasi masih normal, vagina memendek dan menyempit. Dinding vagina

memperlihatkan bintik-bintik merah petechiae, bintik-bintik ungu merah yang

disebabkan perdarahan intradermal atau submukosa, dan menjadi lebih tipis

(hanya beberapa lapis sel), kurang elastis, serta semakin lama semakin halus

akibat berkurangnya rugae. Aliran darah ke vagina berkurang. Meskipun kelenjar

sebasea tetap menonjol, sekresinya berkurang. Pada vagina pascamenopause,

stroma menunjukkan tanda-tanda degeneratif dan menjadi rata. Selain itu,

penurunan jumlah sel PMN, penurunan keratinisasi, penurunan ketebalan dinding

vagina (Lalithamma et al., 2016).


36

A B

Gambar 2.8
Gambaran histologis vagina tikus putih A. intact, B. pascaovarektomi,
E. epitel, L. lamina propria, M. muscularis
(Berger et al., 2008)

Gambar 2.9
Mukosa vagina tikus putih pascaovarektomi
A. Inflamasi sedang, infiltrasi lekosit, mikroabses intraepitelial (MI)
B. E: erosi, U: ulserasi (Berger et al., 2008)
37

Gambar 2.10
A. Tikus intact fase estrus, ketebalan epitelnya 10-15 lapis, bertanduk
B. Tikus pascaovarektomi, ketebalannya 4 sampai 6 lapis , tidak bertanduk
(Berger et al., 2008)

2.7 Hewan Coba Tikus Putih Betina Galur Wistar

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tikus putih galur wistar betina. Tikus putih adalah hewan yang paling sering

digunakan sebagai model dalam penelitian biomedis. Salah satunya adalah galur

Wistar yang mulai dikembangbiakkan di Wistar Institute sejak tahun 1906

(Gambar 2.11) (Sengupta, 2013). Klasifikasi taksonomi dari tikus putih sebagai

berikut (Estina, 2010).

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Subkelas : Placentalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Rattus
38

Spesies : Rattus norvegicus

Gambar 2.11
Tikus putih (Estina, 2010)

Tikus putih digunakan untuk penelitian karena memiliki banyak

kesamaan dengan manusia dalam hal fisiologi, anatomi, nutrisi, patologi, dan

metabolismenya. Tikus putih memenuhi kriteria sebagai hewan percobaan karena

beberapa sifatnya, antara lain mudah dipelihara dan ukurannya cukup besar

sehingga mudah untuk diamati. Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif

resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Terdapat dua sifat yang membedakan

tikus putih dengan hewan percobaan yang lain, yaitu pertama, tikus putih

memiliki struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam

lambung, sehingga tikus putih tidak dapat muntah. Sifat kedua, tikus putih tidak

mempunyai kandung empedu. Tikus berusia 3-4 bulan memiliki persamaan

dengan manusia berusia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan

intrinsik (Koolhaas, 2010).

Penelitian ini menggunakan tikus putih betina dewasa sebagai hewan

percobaan karena tikus putih betina dapat memberikan hasil penelitian yang lebih

stabil dan dapat dikontrol secara ketat. Tikus putih berukuran lebih besar
39

dibandingkan dengan mencit sehingga untuk percobaan laboratorium tikus putih

lebih menguntungkan daripada mencit. Berbeda dengan mencit, tikus putih tidak

bersifat photophobia. Aktivitas tikus putih tidak terganggu oleh adanya manusia

di sekitarnya. Tikus putih tidak memiliki kecenderungan untuk berkumpul dengan

sesamanya. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang asal dapat melihat

dan mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini

tenang dan mudah ditangani di laboratorium (Estina, 2010).

Galur tikus yang paling popular digunakan sebagai standar penelitian

terhadap nutrisi, penuaan, dan kelainan metabolik adalah Wistar dan Sprague-

Dawley. Sebuah studi yang membandingkan tikus Wistar dan tikus Sprague-

Dawley menunjukkan bahwa tikus Wistar lebih rentan terhadap obesitas,

resistensi insulin dan kelainan terkait lainnya, yang dibuktikan dengan

penambahan berat badan yang lebih nyata pada pemberian diet tinggi lemak

(Koolhaas., 2010).

Pemilihan umur hewan coba sangat penting karena menentukan arah

penelitian. Umur hewan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Penentuan

umur biologis tikus sebagai model untuk dikorelasikan dengan manusia masih

menjadi perdebatan. Berat badan jelas tidak dapat digunakan sebagai patokan.

Sejumlah penelitian telah dilakukan antara lain dengan membandingkan berat

lensa mata, pertumbuhan gigi geraham, penghitungan lapisan endosteal tibia,

pertumbuhan muskuloskeletal dan penutupan epifisis, dan lain-lain, namun belum

diperoleh hasil yang memuaskan (Sengupta, 2013).

Koolhaas (2010) menyatakan bahwa makanan dan air minum untuk


40

tikus laboratorium sebaiknya diberikan secara ad libitum. Pencahayaan ruangan

diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat

sensitif terhadap cahaya maka intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak

melebihi 50 lux. Kondisi optimal tikus di laboratorium sebagai berikut.

a. Kandang tikus harus tampak jelas dari luar serta tahan gigitan sehingga

hewan tidak mudah lepas. Kandang harus cukup kuat dan tidak mudah

rusak. Kandang mudah dibersihkan dan mudah dipasang lagi,. Kandang

dibersihkan seminggu sekali. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air,

pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan

fisiologis tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang

ekstrim harus dihindari). Suhu ruangan adalah suhu kamar.

c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus

adalah 600 cm2, tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus dalam satu kandang

maksimal sebanyak 3 ekor.

d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan

distress pada tikus.

Jika kondisi diatas tidak terpenuhi, maka tikus menjadi sakit. Berikut adalah

tanda-tanda tikus sakit.

a. Penampilan umum pada tikus yang sakit dapat terlihat piloereksi, bulu

rontok, kulit kendur, berat badan menurun, kelopak mata tertutup.

b. Feses lembek dan diare menunjukkan adanya gangguan pada saluran

pencernaannya.
41

c. Tingkah laku tikus yang sakit yang sebelumnya agresif tetapi lambat

laun menjadi pasif.

d. Postur tikus yang sakit akan sering tiduran di lantai kandang, dengan

posisi kepala menyentuh abdomen.

e. Pergerakan pada tikus yang sakit sangat berkurang.

f. Suara tikus yang sakit akan lebih banyak mencicit ketika dipegang.

g. Dapat ditemukan bersin, hipotermia, dan penampilan yang pucat.

Tabel 2.2
Data fisiologis dan reproduktif tikus putih
(Hubrecht dan Kirkwood, 2010)

Data Biologis Tikus Wistar Nilai Normal

Karakteristik

Berat badan lahir 4,5-6 gram

Berat badan dewasa jantan 250-300 gram

Berat badan dewasa betina 180-220 gram

Usia maksimum 2-4 tahun

Usia reproduksi 8-20 minggu

Konsumsi makanan 15-30 g/hari

Konsumsi air minum 20-45 g/hari

Defekasi 9-13 g/hari

Produksi urin 10-15 ml/hari


42

2.8 Penelitian Dosis DHEA


Belum pernah ada laporan dari penelitian-penelitian berjangka pendek
tentang efek merugikan yang serius pada safety yang berkaitan dengan
penggunaan DHEA (Baulieu et al., 2000). Telah dilakukan uji klinis pemberian
DHEA dengan rentang dosis antara 50 mg/hari dan 2.250 mg/hari. Efek samping
yang timbul umumnya ringan, yaitu jerawat, kulit berminyak, dan hirsutism
(Panjari dan Davis, 2010, 2011; Traish et al., 2011; Pluchino et al., 2014;
Wierman et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai