Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN STUDI KASUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI BANGSAL GERIATRIRSUP Dr. KARIADI SEMARANG


CA-COLON DENGAN PENYAKIT PENYERTA
CHF NYHA III, DM, HT, IHD

Periode 29 Maret – 07 Mei 2019

Pembimbing :

Bu Winda Dwi Puspitasari, M.Clin.Pharm., Apt

Disusun oleh :

Suci Rahayu (18405021016)


Sukini (1820364071)

PRAKTEK KERJAPROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini
akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan.
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada
lanjut usia yang menyangkut aspek Promotof, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif serta
Psikososial yang menyertai kehidupan lanjut usia. Ilmu yang mempelajari pengelolaan pasien
berusia lanjut dengan beberapa karakteristik (multipatologi, daya cadangan faali menurun,
tampilan tak khas, penurunan status fungsional dan gangguan nutrisi).
Hal- hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga
membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama
aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dan sebagainya.
Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya
kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan
penegak hukum, atau trauma psikis.
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi
kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya yang baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan
dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit pada
lanjut usia yang sering dijumpai. Sindrom geriatri antara lain:
- “The O Complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders, impaired
homeostasis
- “The Big Three”: Intelectual failure, instability, incontinence
- “The 14 I” : Immobility, impaction, Instability, iatrogenic, intelectual
Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodeffciency, Infection,
Inanition, Impairment of Vision, Smelling, Hearing, Impecunity.
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih,
diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Gangguan keseimbangan (Instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan
dapat mengalami patah tulang.
Inkontinesia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinesia urin seringkali tidak dilaporkan
oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak
dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses
menua. Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut.
Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan
meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi dan faktor lingkungan
memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa
akibat proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu
senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan
pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan disabiltas fisik,
ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul dan mobilitas.
Seiring peningkatan usia, insiden penyakit gastrointestinal juga meningkat, salah
satunya adalah kanker kolorektal yang merupakan penyebab kematian dan peningkatan
jumlah angka kesakitan penyakit kronik degeneratif seperti hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular.
Congestive Heart Failure(CHF) atau gagal jantung merupakan salah satu diagnosis
kardiovaskular yang paling cepat meningkat jumlahnya (Schilling, 2014).Di dunia, 17,5 juta
jiwa (31%) dari 58 jutaangka kematian di duniadisebabkan oleh penyakit jantung(WHO,
2016). Dari seluruh angka tersebut, benua Asia menduduki tempat tertinggi akibat kematian
penyakit jantung dengan jumlah 712,1 ribu jiwa. Sedangkan di Asia Tenggara yaitu Filipina
menduduki peringkat pertama akibat kematian penyakit jantung dengan jumlah penderita
376,9 ribu jiwa. Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia Tenggara dengan jumlah
371,0 ribu jiwa (WHO, 2014).Berdasarkan seluruh data yang telah dikumpulkan dari WHO,
pada tahun 2015 diperkirakankematian akibat penyakit jantungmeningkat menjadi 20 juta
jiwa. Kemudian akan tetap meningkat sampai tahun 2030, diperkirakan 23,6 juta jiwa
penduduk akan meninggal akibat penyakit jantung(WHO, 2015).
Ischemik heart disease merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh suplai darah
dan oksigen ke miokard yang tidak adekuat terjadi ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai
darah. Penyebab utama pada kasus ini adalah sumbatan plak atrium pada arteri
koroner.Ischemik heart disease (IHD) merupakan permasalahan yang dihadapi
oleh seluruh dunia namun prevalensi penyakit ini lebih tinggi terjadi pada negara
berkembang. WHO dan World Heart Federation telah memprediksi penyakit penyakit
jantung akan menjadi penyebab utama kematian di Negara-negara Asia pada tahun
2010. Di Negara yang masih berkembang dari tahun 1990 sampai 2020 angka kematian
akibat penyakit jantung koroner akan meningkat 137% pada laki-laki dan 120 pada
perempuan sedangkan pada negara maju peningkatannya lebih rendah yaitu 48 % laki-laki
dan 29% pada perempuan.
Diabetes mellitus masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Penyakit Diabetes
Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
berhubungan dengan defisiensi relatif atau absolut sekresi insulin yang ditandai dengan
hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan. DM merupakan
kondisi meningkatnya kadar gula darah yang berisiko menimbulkan komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular.
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai
saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90%
hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi
esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya
(hipertensi sekunder).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ca Colon
Kanker kolorektal (CRC) adalah neoplasma ganas yang melibatkan usus besar,
rektum dan saluran anal (Dipiro, 2015). Penyakit ini diawali dengan pengembangan
neoplasma yang merupakan proses perubahan genetik dan fenotipik struktur epitel usus
normal dan fungsinya yang mengarah kepertumbuhan sel yang tidak teratur, proliferasi dan
perkembangan tumor. Ketidakstabilan genom, aktivasi jalur onkogen, penutupan gen
penekan tumor serta aktivasi jalur faktor pertumbuhan merupakan ciri-ciri dari penyakit ini.
Sebagian besar tumor ini terjadi pada jaringan organ dalam usus besar hingga 90%.
Pencegahan primer dilakukan untuk orang-orang yang beresiko terkena penyakit
ini, namun kurang efektif dalam jangka panjang, sedangkan pencegahan sekunder seperti
pengangkatan polip prekanker secara kolonoskopi ditujukan untuk individu yang beresiko
tinggi.
Tanda dan gejalanya tidak diketahui secara pasti, namun ada gejala umum seperti :
darah dalam tinja, perubahan frekuensi buang air besar, mual, muntah, anemia parah dan
kelelahan dan terjadi penyebaran penyakit ke hati, paru-paru dan tulang.
Pemeriksaan fisik diri dan keluarga dan evaluasi seluruh usus besar dengan
kolonoskopi, pemeriksaan laboratorium sebagai diagnosa untuk memantau perkembangan
penyakit ini.

2.2 Diabetes Melitus


a. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hperglikemia dan kelainan pada karbohidrat, lemak, dan metabolisme protein (Dipiro,
2015)
b. Patofisiologi
• DM tipe 1 (5% -10% dari kasus) biasanya berkembang di masa kanak-kanak
atau dewasa karena kerusakan autoimun yang dimediasi sel-ß-pankreas yang
mengakibatkan defisiensi insulin. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan
limfosit T dengan autoantibodi untukbeta-sel antigen (misalnya, antibodi sel islet,
antibodi insulin).
• DM tipe 2 (90% dari kasus) ditandai dengan kombinasi beberapa tingkat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. resistensi insulin dimanifestasikan
dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan
produksi glukosa hepatik-tion, dan penurunan serapan otot rangka glukosa.
• Penyebab jarang dari diabetes (1% -2% dari kasus) termasuk gangguan
endokrin (misalnya : acromegaly, cushing syndrome), gestational diabetes mellitus
(GDM), penyakit pankreas eksokrin (misalnya, pankreatitis), dan obat-obatan
(misalnya, glukokortikoid, terpendam-amidine, niasin, α-interferon).
• Komplikasi mikrovaskuler termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati.
Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke, dan
penyakit pembuluh darah perifer(Dipiro, 2015).
c. Presentasi Klinis Diabetes
• Diabetes Tipe I
- Gejala awal yang paling umum adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan
berat badan, dan kelesuan disertai dengan hiperglikemia.
- Individu sering tipis dan rentan untuk mengembangkan ketoasidosis diabetes jika
insulin ditahan atau di bawah kondisi stres berat.
- Antara 20% dan 40% dari pasien datang dengan ketoasidosis diabetikum setelah
beberapa hari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.
• Diabetes Tipe II
- Pasien sering tanpa gejala dan dapat didiagnosis sekunder untuk tes darah
- Kelesuan, poliuria, nokturia, dan polidipsia bisa terjadi, penurunan berat badan
yang signifikan kurang umum; lebih sering, pasien kelebihan berat badan atau
obesitas(Dipiro, 2015)
d. Diagnosa Diabetes
• Kriteria untuk diagnosis DM termasuk salah satu dari berikut:
- Kadar A1C 6,5% atau lebih
- Puasa (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam) glukosa plasma dari 126
mg /dL (7.0 mmol / L) atau lebih
- Dua jam glukosa plasma dari 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih selama tes
toleransi glukosa oral (OGTT) menggunakan beban glukosa berisi setara dengan
75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air konsentrasi glukosa
- Plasma acak dari 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih dengan gejala klasik
hiperglikemia atau krisis hiperglikemia(Dipiro, 2015)
e. Tujuan Pengobatan Diabetes
Memperbaiki gejala, mengurangi risiko mikrovaskuler dan komplikasi, mengurangi
kematian, dan meningkatkan kualitas hidup. tingkat yang diinginkan glukosa plasma
dan A1C
f. Terapi Pengobatan
• Non-Farmakologis
1. Pengaturan diet
2. Olahraga
• Farmakologis
1. Terapi Insulin
2. Terapi Obat dengan Antidiabetik Oral
a. Sulfonilurea
Dikenal dua generasi sulfonilurea, generai 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebih besar
antara lain gliburid (glibenklamid, glipizid, glikazid, dan glimepirid). Mekanisme
kerjanya : sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin pada pankreas sehingga
hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat berproduksi.
b. Meglitinid
Meglitinide menurunkan glukosa dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tapi
pelepasan insulin adalah tergantung glukosa dan akan hilang pada konsentrasi
glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk hipoglisemi parah. Agen
in menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat
menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea durasi
panjang. Rerata pengurangan HbA1C adalah 0,6-1 %. Obat-obat ini sebaiknya
diberikan sebelum makan. Jika ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini
juga tidak diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk
lansia
c. Biguanide
Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia. Metformin mengurangi
produksi glukosa dan meningkatkan penggunaan glukosa di perifer. Metformin juga
bisa menyebabkan anoreksia ringan yang membantu kontrol glisemi dengan
memperkecil bertambahnya berat atau merangsang pengurangan berat. Insulin harus
ada agar metformin bisa bekerja. Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea
dalam mengontrol glukosa darah. Metformin umumnya lebih mempengaruhi lipid,
mengurangi trigliserida puasa sekitar 16% dan low density lipoprotein cholesterol
(LDL-C) sekitar 8%, dan meningkatkan HDL-C sekitar 2%. Metformin tidak
menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian
d. Thiazolidinediones (Glitazone)
Agen-agen ini mengaktifkan PPARγ, suatu faktor transkripsi nuklear yang penting
pada diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak. Agonis PPARγ
mengurangi resistensi insulin pada perifer (membuat otot dan lemak sensitif
terhadap insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang
signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi. Agen-agen ini umumnya menurunkan
trigliserida dan meningkatkan HDL-C, tapi LDL-C juga meningkat
e. Inhibitor α Glukonidase
Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di intestinal
kecil, sehingga memperlama absorpsi karbohidrat. Ini berefek langsung pada
berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial sementara glukosa puasa relatif
tidak berubah. Efek pada kontrol glisemi cukup moderat, dengan rerata
pengurangan HbA1C 0,3-1%
3. Alogaritma DM Tipe-2 menurut Perkeni tahun 2015
4. Keuntungan dan Kerugian menggunakan terapi obat antidiabetes
5. Profil obat antidiabetes di Indonesia

2.3 Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi didefinsikan sebagai kenaikan tekanan darah arterial yang menetap. The Sixth
Joint Natinal Comitte on the Detection, Evaluation, dan Treatment of High Blood Presure
(JNC-VI). Hipertensi adalah : Pengukuran tekanan darah diatas skala normal
(120/80mmHg) (JNC VII, 2003).
b. Patofisiologi
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul dari penyebab spesifk (hipertensi
sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya
(hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus,
dan kebanyakan disebabkan oleh renoparenchymal kronik atau penyakit renovascular.
Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder termasuk pheochromacytoma,
sindroma Cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme primer, kehamilan,
peningkatan tekanan intercranial, dan koarktasi (penyempitan) aorta. Beberapa obat yang
bisa menaikkan tekanan darah termasuk kortikosteroid, estrogen, amfetamin/anorexians,
MAO inhibitor, dekongestan oral, venlafaxine, siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid.
c. Presentasi Klinis
Pasien dengan hipertensi sekunder mungkin memiliki gejala disorder mendasari. Pasien
dengan pheochromocytoma mungkin memiliki sakit kepala, berkeringat, takikardia,
palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Dalam aldosteronisme primer, gejala hipokalemia
kram otot dan kelemahan dapat hadir. Pasien dengan sindrom Cushing mungkin memiliki
berat badan, poliuria, edema, ketidakteraturan menstruasi, jerawat berulang, atau
kelemahan otot di samping fitur klasik (moon face, punuk kerbau, dan hirsutisme).
d. Diagnose Hipertensi
Peningkatan tekanan darahadalah tanda terjadinya hipertensi primer pada pemeriksaan
fisik. Diagnosis harus didasarkan pada rata-rata dari dua atau lebih pembacaan diambil di
masing-masing dua atau lebih pertemuan klinis.Tanda-tanda kerusakan kerusakan organ
terjadi terutama di pembuluh mata, otak, jantung, ginjal, dan darah perifer.
e. Klasifikasi Tekanan Darah

f. Terapi Pengobatan
1. Terapi Non-Farmakologi
Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah
sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-
kurangnya ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat anti hipertensi diperlukan,
pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan
efek pengobatan yang lebih baik.
Pengobatan non farmakologis diantaranya :
Pengurangan berat jika berlebih, membatasi asupan alkohol sampai <1 ounce per hari,
meningkatkan aktivitas fisik aerobic, mengurangi asupan natrium sampai <2,4 g/hari
(6 g/hari natrium klorida), menjaga asupan yang cukup dari makanan untuk kalium,
kalsium, dan magnesium, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolsterol dari
makanan dan menghentikan merokok.
2. Terapi Farmakologi
2.4 CHF (Congestive Heart Failure)
a. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah keadaan dimana
jantung tidak mampu lagi memompakan darah yang cukup dalam memenuhi kebutuhan
sirkulasi badan untuk keperluan jaringan tubuh pada keadaan tertentu, sedangkan tekanan
pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi.
Gagal jantung kongestif merupakan kondisi terminal pada banyak jenis penyakit
jantung, keadaan ini merupakan kondisi patologik ketika fungsi jantung yang terganggu
itu membuat jantung tidak mampu mempertahankan curah jantung yang cukup untuk
memenui kebutuhan metabolik tubuh. Gagal jantung kongestif ditandai oleh
berkurangnya curah jantung (forward failure), penumpukan darah dalam sistem vena
(backward failure) atau keduanya (Mitchell, 2009).
b. Patofisiologi
Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom dengan banyak penyebab yang
melibatkan ventrikel kanan, kiri atau keduanya.Curah jantung pada gagal jantung
kongestif biasanya di bawah batas normal.Kelainan biokimia instrinsik menyebabkan
kontraktilitas jantung berkurang, yang biasanya berhasil baik dengan obat ionotropik
positif.Hal ini khas untuk gagal jantung kronis akibat penyakit pembuluh koroner,
hiprtensi atau gagal yang disebabkan oleh infark otot jantung.
Tanda dan gejala utama semua bentuk gagal jantung meliputi takikardi, penurunan
toleransi gerakan badan dan sesak napas, edema perifer dan paru-paru, serta
kardiomegali.Penurunan toleransi gerak badan dengan cepat menimbulkan kelemahan
otot terutama akibat langsung penurunan curah jantung.
c. Presentase klinis
d. Diagnosa
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (< 10%).
2. Foto Toraks
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan
fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.
4. Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart failure with
preserved ejection fraction)
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi >
45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal/kekakuan
diastolik)
e. Klasifikasi

f. Terapi pengobatan
1. Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri :
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan
mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Manajemen perawatan diri
meliputi :
1. Ketaatan pasien berobat
2. Pemantauan berat badan mandiri
3. Asupan cairan
4. Pengurangan berat badan
5. Kehilangan berat badan tanpa rencana
6. Latihan fisik
2. Tata laksana farmakologi
Tujuan tata laksana gagal jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas (Tabel 8). Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung
tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Gambar 2
menyajikan strategi pengobatan mengunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung
simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non
kardiovaskular yang sering dijumpai.
1) ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsunganhidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema
(jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI :
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/Dl
 Stenosis aorta berat
Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi ACEI
Naikan dosis secara titrasi.
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis
titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target
atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
2) PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat β
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudahdiberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi, cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit(tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
Inisiasi pemberian penyekat β
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakitpada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat
Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau bradikardi
(nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia
3) ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosterone mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan
dosis Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara
4) ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel 11
Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target
atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
 Sama sepertiACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
5) HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN
digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan
ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg dan
ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot

6) DIGOXIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapatmengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angkakelangsungan hidup.
Inisiasi pemberian digoksin
 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien
usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625
mg, 1 x/hari
 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron, diltiazem,
verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat warna

7) DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena
efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten
 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi
cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah
mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretik
sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis
dari retensi cairan

2.5 IHD (Ischemic Heart Disease)


a. Definisi
IHD (Ischemic Heart Disease) / penyakit jantung iskemik dikenal juga dengan
penyakit arteri coroner (PAK) adalah kekurangan oksigen dan penurunan/ tidak adanya
aliran darah ke miokardium yang disebabkan oleh penyempitan atau terhalangnya arteri
koroner. Penyakit jantung iskemik dapat terjadi pada gejala coroner akut yang
melibatkan angina pectoris tidak stabil pada ST (STEMI) atau peningkatan bagian
NSTEMI dapat muncul juga sebagai miokardial infark (MI). Didiagnosa hanya dengan
penanda biokimia angina eksersecional stabil kronis, iskemik tanpa gejala/ iskemi
disebabkan vasospasmor arteri koroner (angina primetal atau varian).
b. Patofisiologi
Faktor utama miokardial tergantung oksigen (MVo2) adalah jenis jantung
kontraktilitas dan tekanan darah pada dinding intramiokardial selama sistol. Karena
akibat dari PIJ adalah terjadi peningkatan kebutuhan oksigen yang disuplai, perubahan
dalam MVo2 berperan pada terjadinya iskemia dan gangguan yang terjadi tersebut
bermaksud untuk mengurangi perubahan tersebut. Perubahan MVo2 tidak langsung
berguna secara klinik yaitu hasil ganda (HG), dimana denyut jantung (DJ) dikalikan
oleh tekanan darah sistol (TDS) (HG = DJ x TDS). HG tidak memeprtimbangkan
perubahan dalam kontraktilitas (variable independen), dank arena hanya perubahan
dalam tekanan yang dipertimbangkan, volume yang masuk di ventrikel kiri dan
peningkatan MVo2 yang berhubungan dengan dilatasi ventrikuler tidak dihiraukan.
Abnormalitas ventrikuler dapat terjadi dan kehilangan kontraktilitas pada daerah tertentu
dapat membebani sisa jaringan miokardial, mengakibatkan terjadinya gagal jantung,
peningkatan MVo2 dan pengosongan cepat aliran darah cadangan. Daerah jaringan
dengan aliran darah kecil yang dapat terbentuk adalah risiko untuk kerusakan yang lebih
parah jika kejadian iskemia tetap ada atau menjadi lebih parah. Daerah jantung non-
iskemik dapat mengganti kerugian untuk iskemia parah dan batas daerah iskemia dengan
membangun tekanan lebih dari biasanya dalam usaha untuk menjaga curah jantung.
Disfungsi ventrikel kiri atau kanan yang terjadi dapat berhubungan dengan temuan klinis
S3 gallop, dyspnea, ortopnea, takikardi tekanan darah fluktuatif, murmur sementara, dan
pengeluaran dari mitral atau trikuspida. Rusaknya fungsi sistol mengarah pada
peningkatan tekanan yang masuk pada ventrikel kiri.
c. Presentasi klinis
Banyak kejadian iskemia tidak menyebabkan gejala angina (ischemia silent).
Pasien sering mendapat keterulangan pola sakit atau gejala lain yang muncul setelah
penggunaan energy dengan jumlah yang spesifik. Peningkatan frekuensi, keparahan,
durasi, dan gejala pada istirahat menunjukkan terjadinya pola tak-stabil yang
membutuhkan evaluasi medis secepatnya. Faktor yang mempercepat reaksi termasuk
olahraga, lingkungan yang dingin, berjalan setelah makan, perasaan kesal, takut, marah,
dan khoirus. Pengurangan rasa sakit dengan istirahat dan dalam 45 detik hingga 5 menit
setelah konsumsi nitrogliserin. Kejadian iskemia kadang tidak menunjukkan rasa nyeri
atau diam, setidaknya 60% pasien, kemungkinan disebabkan oleh nilai ambang dan
toleransi untuk nyeri yang lebih tinggi daripada pasien dengan gejala nyeri yang lebih
sering.
d. Faktor resiko
Faktor yang tidak dapat dirubah termasuk kelamin, usia, riwayat keluarga, genetik
pengaruh lingkungan dan untuk tingkatan tertentu, diabetes mellitus. Faktor resiko yang
dapat dirubah termasuk merokok, hipertensi, hyperlipidemia, obesitas, gaya hidup yang
tidak berubah, hiperurisemia, faktor pskikologi seperti stress. Penggunaan obat yang
mungkin dapat merugikan (contoh : progestin, kortikosteroid, siklosporin). Walaupun
diuretic thiazide dan beta blocker dapat meningkatkan baik kolesterol maupun
trigliserida hingga 10-20% dan efek ini dapat memperburuk keadaan.
e. Diagnosa
• Mengidentifikasi adanya nyeri dada, faktor, durasi, radiasi nyeri, dan respon
terhadap nitrogliserin atau istirahat pencetus dari riwayat medis. Nyeri dada
iskemik mungkin menyerupai nyeri dari sumber-sumber non-kardiak, dan
diagnosis nyeri angina mungkin sulit berdasarkan sejarah saja.
• Tanyakan pada pasien tentang faktor risiko pribadi untuk penyakit jantung
koroner (PJK), seperti merokok includ-ing, hipertensi, dan diabetes mellitus.
• Riwayat keluarga mencakup informasi tentang PJK prematur, hipertensi,
gangguan lipid, dan diabetes mellitus.
• Temuan pada pemeriksaan jantung yang abnormal adanya tonjolan sistolik
prekordial, penurunan intensitas S1, Membelah paradoks S2, Kehadiran S3 atau
S4, Apikal sistolik murmur, dan murmur diastolik.
• Tes laboratorium: hemoglobin, glukosa puasa (diabetes), dan lipid puasa.
Sensitivitas tinggi C-reactive protein (hsCRP); tingkat homosisteine; bakteri
infeksi Chlamydia; dan elevasi di lipoprotein (a), fibrinogen, dan plasminogen
activator inhibitor mungkin dapat membantu. Enzim jantung yang normal pada
angina stabil. Troponin T atau I, mioglobin, dan kreatinin kinase Band miokard
(CK-MB) dapat meningkat pada angina tidak stabil.
• Pada saat istirahat EKG normal di sekitar setengah dari pasien dengan angina
iskemia akut. Perubahan khas ST-T-gelombang termasuk depresi, T-inversi
gelombang, dan elevasi segmen ST. Angina varian dikaitkan dengan elevasi ST-
segmen, sedangkan silent ischemia dapat menghasilkan elevasi atau depresi.
iskemia signifikan dikaitkan dengan depresi segmen ST lebih besar dari 2 mm,
hipotensi saat aktivitas, dan penurunan toleransi latihan.
• Toleransi latihan (stres) testing (ETT), talium perfusi miokard skintigrafi,
angiocardiography radionuklida, computed tomography ultrarapid, dan angiografi
koroner dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Mendapatkan rontgen dada jika
pasien memiliki gejala HF.
f. Algoritma terapi

g. Terapi
1. Tujuan terapi
Tujuan jangka pendek dari terapi untuk PJP adalah untuk mengurangi atau
mencegah gejala angina yang membatasi kemampuan aktivitas fisik dan
memperburuk kualitas hidup. Tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah PJK
seperti IM, aritmia, dan gagal jantung dan untuk memperpanjang hidup pasien.
2. Terapi farmakologi
 Senyawa pemblok β-adrenergik
Penurunan HR, kontraktilitas, dan tekanan darah mengurangi MVH2dan
kebutuhan oksigen pada pasien dengan upaya-induced angina. Betablocker tidak
meningkatkan suplai oksigen, dan alam kasus tertentu, stimulasi α-adrenergik
dilawan dapat menyebabkan vasokonstriksi koroner. β-Blocker memperbaiki gejala
pada sekitar 80% pasien dengan angina stabil saat aktivitas kronis, dan ukuran
objektif dari khasiat menunjukkan peningkatan latihan durasi dan keterlambatan
dalam waktu di mana perubahan ST-segmen dan membatasi terjadinya gejala awal.
β-Blokade memungkinkan pasien angina sebelumnya dibatasi oleh gejala untuk
melakukan lebih banyak latihan dan meningkatkan kinerja kardiovaskular melalui
efek pelatihan. β-blocker dapat digunakan dengan aman di angina dan HF. Beta-
blokade efektif dalam angina saat aktivitas kronis sebagai monoterapi dan combinasi
dengan nitrat dan / atau calcium channel blockers (CCBs). Beta-blocker yang baris
pertama dalam angina kronis yang membutuhkan terapi pemeliharaan sehari-hari
karena mereka lebih efektif dalam mengurangi episode silent ischemia dan puncak
pagi aktivitas iskemik dan meningkatkan angka kematian setelah Q-wave MI dari
nitrat atau CCBs. Jika β-blocker tidak efektif atau tidak ditoleransi, monoterapi
dengan CCB atau combinasi terapi dapat digunakan. Refleks takikardia dari nitrat
dapat tumpul dengan terapi β-blocker, membuat ini kombinasi yang berguna. Dosis
awal dari β-blocker harus di ujung bawah dari kisaran dosis yang biasa dan dititrasi
untuk respon. Tujuan pengobatan termasuk menurunkan HR istirahat untuk 50
sampai 60 denyut / menit dan membatasi maksimal HR latihan untuk sekitar 100
denyut / menit atau kurang. HR dengan latihan sederhana harus tidak lebih dari
sekitar 20 denyut / menit di atas istirahat HR (atau kenaikan 10% lebih peristirahatan
HR). Ada sedikit bukti yang menunjukkan superioritas setiap tertentu β-blocker.
Propranololdapat diberikan dua kali sehari pada kebanyakan pasien. Membran-
menstabilkan aktivitas tidak relevan dalam angina. Aktivitas simpatomimetik
intrinsik tampaknya merugikan pada pasien dengan istirahat atau angina parah
karena penurunan HR bisa diperkecil, membatasi penurunan MVH2. Kardioselektif
β-blocker dapat meminimalkan efek samping seperti broncho-kejang, klaudikasio
intermiten, dan disfungsi seksual. Dikombinasikan β- nonselektif dan α-blokade
denganlabetalol mungkin berguna pada pasien dengan cadangan marginal ventrikel
kiri (LV). Efek samping dari β-blokade termasuk hipotensi, HF dekompensasi,
bradikardia, blok jantung, bronkospasme, metabolisme glukosa diubah, kelelahan,
malaise, dan depresi.
 Nitrat
Nitrat mengurangi MVH2 sekunder untuk venodilasi dan arteri-arteriol dilatasi,
yang mengarah ke pengurangan stres dinding dari volume ventrikel berkurang dan
tekanan.

Tindakan langsung pada sirkulasi koroner meliputi pelebaran arteri koroner besar
dan kecil intramural, pelebaran angina, koroner stenosis arteri pelebaran,
penghapusan nada normal pada pembuluh menyempit, dan bantuan dari kejang.
Karakteristik farmakokinetik umum untuk nitrat termasuk pertama-pass metabolisme
hati yang besar, pendek (kecuali untuk isosorbid mononitrat[ISMN]), volume
distribusi yang besar, tingkat izin yang tinggi, dan variasi antarindividu besar dalam
konsentrasi plasma. Waktu paruhnitrogliserin adalah 1 sampai 5 menit terlepas dari
rute, maka keuntungan potensi berkelanjutan-release dan produk transdermal.
Isosorbid dinitrat(ISDN) dimetabolisme untuk ISMN. ISMN memiliki waktu paruh
sekitar 5 jam dan dapat diberikan sekali atau dua kali sehari, tergantung pada produk
yang dipilih.Terapi nitrat dapat digunakan untuk mengatasi serangan angina akut,
untuk mencegah upayaatau serangan stres diinduksi, atau untuk profilaksis jangka
panjang, biasanya dalam kombinasi dengan β-blocker atau CCBs. Sublingual, bukal,
atau produk semprot nitrogliserin lebih disukai untuk pengatasan serangan angina
karena penyerapan yang cepat (tabel 11-1). Gejala dapat dicegah dengan profilaksis
produk lisan atau transdermal (biasanya dalam kombinasi dengan β-bloker atau
CCBs), Nitrogliserin sublingual, 0,3-0,4 mg, mengurangi rasa sakit di sekitar 75%
dari pasien dalam waktu 3 menit, dengan 15% yang lain menjadi sakit gratis dalam 5
sampai 15 menit. Nyeri bertahan di luar 20 sampai 30 menit setelah penggunaan dua
atau tiga tablet nitrogliserin menunjukkan ACS, dan pasien harus diinstruksikan
untuk mencari bantuan darurat. Sublingual, oral dan produk transdermal yang dapat
diterima untuk profilaksis jangka panjang. Dosis persiapan jangka panjang harus
disesuaikan untuk memberikan respon hemodinamik. Ini mungkin membutuhkan
dosis ISDN oral 10 sampai 60 mg sesering setiap 3 sampai 4 jam karena toleransi
atau metabolisme lintas pertama. Intermiten (10-12 jam pada, 12-14 jam off)
transdermal terapi nitrogliserin dapat menghasilkan perbaikan moderat tapi signifi-
kan dalam waktu latihan di angina stabil kronis. Efek samping termasuk hipotensi
postural dengan (CNS) gejala yang berhubungan sistem saraf pusat, refleks
takikardia, sakit kepala dan pembilasan, dan mual sesekali. Hipotensi yang
berlebihan dapat mengakibatkan MI atau stroke. Efek samping non kardiovaskuler
termasuk ruam (terutama dengan transdermal nitrogliserin), methemoglobinemia
dengan dosis tinggi diberikan untuk waktu yang lama, dan terukur etanol dan
propilen glikol konsentrasi dengan nitrogliserin IV.
Nitrat dapat dikombinasikan dengan obat lain dengan mekanisme yang saling
melengkapi tindakan untuk profilaksis kronis. Terapi kombinasi umumnya
digunakan pada pasien dengan gejala lebih sering atau gejala yang tidak menanggapi
beta-blocker sendiri (nitrat ditambah β-blocker atau CCBs), pada pasien toleran
terhadap β-blocker atau CCBs, dan pada pasien dengan vasospasme yang
menyebabkan penurunan suplai oksigen (nitrat ditambah CCBs).
 Antagonis kanal kalsium
Tindakan langsung termasuk vasodilatasi arteri sistemik dan arteri koroner, waktu
untuk mengurangi tekanan arteri dan resistensi pembuluh darah koroner, serta
depresi kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi dari sinoatrial (SA) dan
atrioventrikular (AV) node. Stimulasi β-adrenergik refleks mengatasi banyak efek
inotropik negatif, dan depresi kontraktilitas menjadi jelas secara klinis hanya di
hadapan disfungsi LV dan ketika obat inotropik negatif lainnya yang digunakan
secara bersamaan. Verapamil dan diltiazem menyebabkan vasodilatasi kurang perifer
dari dihydropyridin seperti nifedipinenamun penurunan lebih besar dalam nodus AV
konduksi. Mereka harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan yang sudah
ada sebelumnya kelainan konduksi dan mereka yang memakai obat lain dengan sifat
kronotropik negatif. MVH2berkurang dengan semua CCBs terutama karena
berkurangnya ketegangan dinding kedua ary berkurang tekanan arteri. Secara
keseluruhan, manfaat yang diberikan oleh CCBs berhubungan dengan berkurang
MVH2 daripada pasokan oksigen yang sudah ditingkatkan. Berbeda dengan beta-
blocker, CCBs dapat meningkatkan aliran darah koroner melalui daerah obstruksi
koroner tetap dengan menghambat vasomotion arteri koroner dan vasospasme.
Pilihan yang baik untuk CCBs termasuk pasien dengan kontraindikasi atau
intoleransi terhadap beta-blocker, komplikasi penyakit sistem konduksi (kecuali
untuk verapamil dan diltiazem), Prinmetal angina, penyakit arteri perifer, disfungsi
ventrikel berat, dan hipertensi bersamaan. amlodipin mungkin adalah pilihan CCB
pada disfungsi ventrikel yang parah, dan yang lainnya harus digunakan dengan hati-
hati jika EF kurang dari 40%.
• Ranolazine
Ranolazine mengurangi kalsium yang berlebihan di miosit iskemik melalui
penghambatan natrium saat akhir. Ini tidak mempengaruhi HR, inotropik atau negara
hemodinamik, atau meningkatkan aliran darah koroner. Ranolazine diindikasikan
untuk pengobatan angina kronis. Dalam uji coba terkontrol, itu sederhana
ditingkatkan waktu latihan oleh 15 sampai sekitar 45 detik dibandingkan dengan
plasebo. Dalam uji coba ACS besar, Ranolazine mengurangi iskemia berulang tetapi
tidak memperbaiki titik utama kematian kardiovaskular, MI, atau iskemia berulang.
Karena memperpanjang interval QT, cadangan Ranolazine untuk pasien yang belum
mencapai respon yang memadai terhadap obat antiangina lain. Ini harus digunakan
dalam kombinasi dengan amlodipine, β-blocker, atau nitrat. Mulai Ranolazine pada
500 mg dua kali sehari dan meningkat menjadi 1000 mg dua kali sehari jika
diperlukan berdasarkan gejala. Mendapatkan awal dan tindak lanjut EKG untuk
mengevaluasi efek pada interval QT. Efek samping yang paling umum termasuk
pusing, sakit kepala, konstipasi, dan mual.
PENGOBATAN STABIL PENYAKIT JANTUNG ISKEMIK
Tabel 11-2 daftar pilih rekomendasi terapi obat berbasis bukti American College of
Cardiology Foundation dan American Heart Association. Algoritma pengobatan
ditunjukkan pada Gambar. 11-1. Pedoman ditujukan terapi medis (GDMT)
menempatkan penekanan kuat pada pendidikan pasien. Modifikasi gaya hidup
termasuk aktivitas sehari-hari fisik, menjaga berat badan, terapi diet, berhenti
merokok, intervensi psikologis, keterbatasan asupan alkohol, dan monitoring tekanan
darah dan diabetes.
2.6 Pneumonia
Pneumonia merupakan infeksi pada ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat
disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit (Depkes RI,
2005). Pneumonia bakteri umumnya lebih lazim terjadi, lebih parah dan kebanyakan
lebih mematikan di daerah tropis (Syamsudin and Keban, 2013).
1. Pneumonia dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia)
a. Definisi
Pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagaai suatu penyakit yang
dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa 48 jam setelah masuk rumah sakit pada
pasien yang tidak tinggal dalam perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih
sebelum onset gejala (Tierney. et al., 2002).
b. Faktor resiko

2. Hospital acquired pneumonia (HAP)


a. Definisi
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48
jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk
rumah sakit
b. Etiologi
Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance
(MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus
aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan
jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi. Angka kejadian sebenarnya dari
pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional
tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan
pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr.
Soetomo (lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang
rawat intensif. Data ini belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu
diagnosis dibuat tidak dilakukan foto toraks pada saat pasien masuk ruang rawat
intensif.
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari
dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi
transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea
c. Faktor risiko pneumonia
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi
berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis
2. Faktor eksogen adalah :
- Pembedahan : Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi
abdomen bawah (5%).
- Penggunaan antibiotik : Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi,
terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri
anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan
penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring
melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif.
Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif
dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
- Peralatan terapi pernapasan Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
- Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam
lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan.
Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan
peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan
larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
- Lingkungan rumah sakit
• Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
• Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti
alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
• Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
d. Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
- Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah
sakit 2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
a. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
b. Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
- suhu tubuh > 38C
- sekret purulen
- leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS:
- Dirawat di ruang rawat intensif
- Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
- Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti
dari infiltrat paru
- Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :
• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
• Memerlukan vasopresor > 4 jam
• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
e. Terapi Pengobatan
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
- Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
- Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
- Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
- Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
- Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
- Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortalit apabila
terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
STUDI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 63 tahun, 4 bulan, 27 hari
BB/TB : 65 kg/170 cm
Riwayat Masuk RS : masuk RSDK pada tanggal 27 april 2019 jam 02.00, pasien
mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, memberat dengan aktivitas, sedikit
berkurang dengan istirahat. Batuk (-), bengkak pada tangan dan kaki. Mual (-), muntah
(-), demam (-), nyeri dada (-), BAK sedikit, BAB tidak ada keluhan.
Diagnosis : CHF NYHA III, DM tipe 2, HT stage-2, IHD (Ischemic Heart disease)
Riwayat penyakit keluarga : -
Riwayat penyakit dahulu :Ca colon sejak Des 2018 sudah kemo 5 x, HT dan DM
Riwayat penyakit lain : Operasi laparotomi
Riwayat pengobatan :Amlodipin 1 x 10 mg, candesartan 1 x 16 mg, novorapid 8-8-8 unit
Riwayat alergi : -
Tanda Vital Tn. S selama di rumah sakit :

Monitorin April-Mei 2019


g
26/4 27/4 28/4 29/4 30/4 1/5 2/5 3/5 4/5 5/5 6/5

TD 130/9 160/90 150/100 140/9 180/100 170/80 160/100 180/90 160/90 180/90 170/80
(120/80 0 ↑ ↓ 0 ↑ ↓ ↓ ↑ ↓ ↑ ↓
mmHg)

Suhu 36 36 37 - - - - - - - - -
(°C)

Nadi 80- 72 90 - 88 90 86 90 80
90
(x/menit)

RR 20 24 22 - - 20 20 20 22 - 20 20
(x/menit)
Nyeri - 3-3-2 2-2-2 2-3-3 3-0-0 0 0 0 0 0 0

Urin (ml) - 1300 900 1600 1300 800 1200 1200 1200 1100 400

Riwayat pengobatan saat ini :

Bulan : April - Mei 2019


Tanggal
Nama obat
April – Mei 2019
27 28 29 30 1 2 3 4 5 6
Infuse RL 10 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √
Infus D 40% 2 Flash √
Infus D 10% 20 tpm √
Furosemid 20 mg/12 jam
√ √ Stop
IV
Furosemid (Pg-Sore) 40
√ Stop
mg- 20 mg I.v
Furosemid 40 mg/24 jam √

po
Furosemid 1 amp/ekstra

iv
Amlodipin 10 mg/24 jam
√ √ √ √ √ √ Stop
P.o
Candesartan 16 mg/24 P.o √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ISDN 5 mg/8 jam P.o √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Digoxin 0,25 mg/24 jam
√ √ √ √ √ √ Stop
P.o
N-asetilsistein 200 mg/8 √ √
√ √ √ √ √ √ √ √
jam P.o
Novorapid 8-8-8 unit Sc √ √ √ √ √ √ √ √ √
Spironolacton 100 mg/24
√ √ √ Stop
jam P.o
Spironolacton 25 mg/24

jam P.o
Lantus 14 unit Sc √ √ √ √ Stop
Metformin (malam) 500 √ √
√ √ √ √ √ √
mg/24 jam P.o
Bicnat 500 mg/8 jam P.o √ √ √ √ √ √ √ √
Asam Folat 1 mg/24 jam √ √
√ √ √ √
P.o
Atorvastatin 40 mg/24 √ √
√ √ √ √
jam P.o
Clopidogrel 75 mg/24 jam √ √
√ √ √ √ √
P.o
New diatab 600 mg/8 jam √ Stop
√ √ √ √
po
Paracetamol k/p 500 mg/8 √ √
√ √
jam po
Concor 2,5 mg/24 jam po √ √
Adalat oros 30 mg/24 jam √
po
Azytromycin 500 mg/24 √
jam po
Ampicillin sulbactam 1,5 √ √
gr/8 jam iv

HASIL LABORATORIUM

HEMATOLOGI

Parameter Normal Tanggal


Pemeriksaan
26/4
Hb 13-16 g/dl 11.2 ↓
Hematokrit 40-54 % 32.1 ↓
Eritrosit 4.4-5.9 10^6µL 3.57 ↓
MCH 27-32 PG 31.4
MCV 76-96 Fl 89.9
MCHC 29-36 g/dL 34.9
Leukosit 3.8-10.6 10^3 µL 6.3
Trombosit 150-400 10^3 µL 272
RDW 4.6-14.8 % 15.1 ↑
MPV 4-11 Fl 9.2

KIMIA KLINIK
Parameter Normal Tanggal Pemeriksaan
26/4 28/4 29/4 30/4 1/5 2/5 3/5 4/5 5/5 6/5
GDS 80-160 mg/dl 139 46 ↓ 299↑ 179↑ 151 117↓ 153 - 150 130
↓ ↑ ↓ ↓
SGOT 15-34 U/L 34
SGPT 15-60 U/L 17
Albumin 3.4-5 g/dl 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓ 2.7↓
Ureum 15-39 mg/dl 43 ↑ 31
Kreatinin 0.6-1.3 mg/dl 1.8 ↑ 2.09

Mg 0.74-0.99 0.86
mmol/l
Ca 2.12 – 2.52 2.0
mmol/l
Elektrolit
Na 136-145 mmol/l 144
K 3.5-5.1 mmol/l 3.3 ↓
Cl 98-107 mmol/l 111 ↑
KIMIA KLINIK
GLUKOSA DARAH + REDUKSI
Parameter Normal Tanggal
Pemeriksaan
28/4/19
GDP 99
80-109 mg/dL (baik), 110-125 mg/dL (sedang), >126
mg/dL (buruk)
G2PP 80-140 mg/dL (baik), 145-179 mg/dL (sedang), >180 178
mg/dL (buruk) (sedang)
HbA1c 6.0-8.0 % 7.4
Kolesterol <200 mg/dL 300 ↑
TG <150 mg/dL 121
HDL 40-60 mg/dL 60
LDL 0-100 mg/dL 201 ↑
Asam urat 3.5-7.2 mg/dL 6.8

Urin lengkap + Analyzer


Parameter Normal Tanggal Pemeriksaan
28/4
Warna Kekuningan
Kejernihan Jernih
Bj 1.003-1.025 1.008
Protein NEG (mg/dl) 100 ↑
Ph 4.8-7.4 5.5
Reduksi NEG (mg/dl) NEG
Urobilinogen NEG (mg/dl) Normal
Aseton NEG (mg/dl) NEG
Nitrit NEG NEG
Lekosit esterase : 25 /uL
Blood : 50 /uL
Sedimen
Epitel 0.0 – 40.0 /uL 3.6
Epitel tubulus 0.0-6.0 /uL 2.6
Eritrosit 0.0-25 /uL 54.3 ↑
Lekosit 0.0-20 /uL 52.1 ↑
Sekresi-ekskresi 0.0-0.5 /uL 1.26 ↑
Silinder-patologi NEG /LPK NEG
Granula halus NEG /LPK 0.1
Silinder hialin 0.00-1.20 /uL 0.84
Silinder epitel NEG /LPK NEG
Silinder eritrosit NEG /LPK NEG
Silinder leukosit NEG /LPK NEG
Mukus 0.0-0.5 /uL 0.14
Yeast cell 0-25 /uL 0.5
Bakteri 0-100 /uL 70.7
Sperma 0-3.0 /uL 0.0
Kepekatan 3-27 ms/cm 14.4
FORM DATA BASE PASIEN

Nama : Tn. S
TTL/Usia : 63 tahun, 4 bulan, 27 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
BB/TB : 65 kg /170 cm
BMI : 22,49 kg/m2
Alamat : Ngresep barat IV/25A RT 08/RW 09 Kel. Srondol kulon Kec. Banyumanik Kab.
Kodia Semarang, Jawa Tengah
Ras/suku : Jawa
Pekerjaan : Pegawai negeri
Riwayat masuk Klinik/RS : Pasien mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, memberat
dengan aktivitas, sedikit berkurang dengan istirahat. Batuk (-), bengkak pada tangan dan kaki.
Mual (-), muntah (-), demam (-), nyeri dada (-), BAK sedikit, BAB tidak ada keluhan.
Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat penyakit : Ca colon sejak Des 2018, sudah kemo 5 x, Hipertensi, DM
Riwayat penyakit lain : Operasi laparotomi
Riwayat pengobatan : Amlodipin 1 x 10 mg, candesartan 1 x 16 mg, novorapid 8-8-8 unit
PENGOBATAN SAAT INI
Nama Obat Indikasi Obat Dosis Rute Mekanisme ESO Interaksi obat
Bekerja sebagai sumber air dan
Ketidakseimbangan elektrolit tubuh serta untuk Ruam kulit, sakit
Infuse RL 10 tpm Iv
elektrolit meningkatkan diuresis (penambah kepala, turunannya TD
cairan kencing).
Infus D 40% 2 flash Peningkatan BAK,
Infus D 10% Hipoglikemia Iv - nyeri/ bengkak
20 tpm
ditempat suntikan
Furosemid 20
(Diuretik Loop) mg/12
jam Iv Menghambat reabsorpsi ion natrium
Furosemid (Pg- Pasien dengan 40 mg- dan klorida pada tubulus ginjal Hipotensi, hipokalemia, Pemberian
Sore) retensi cairan yang 20 mg proksimal dan distal dengan hiperurisemia, digoxin
berat (edema), mengganggu sistem cotransport yang meningkatkan LDL bersamaan
Furosemid gagal 40 mg/ mengikat klorida, menyebabkan kolesterol dan dengan bicnat
Po
jantung kongestif 24 jam peningkatan pengeluaran air, natrium menurunkan HDL dapat
Furosemid 1 dan klorida. menyebabkan
amp/eks Iv peningkatan
tra kadar digoksin
Amlodipin Terapi hipertensi, 10 Menghambat masuknya ion kalsium Sakit kepala, hipotensi, dalam darah.
(CCB) gagal mg/24 Po melalui membran kedalam otot tremor, mual, nyeri Hal ini
jantung kongestif jam polos, pembuluh darah dan jantung perut, takikardi. dikarenakan
Candesartan Menghambat pengikatan angiotensin bicnat dapat
(ARB) II terhadap AT1 dibanyak jaringan meningkatkan
Terapi hipertensi, 16
termasuk otot polos pembuluh darah Pusing, sakit kepala, pH lambung
gagal mg/24 Po
dan kelenjar adrenal. Sehingga diare, penurunan hb.
jantung kongestif jam
menghambat vasokonstriksi dan efek
sekresi aldosteron dari angiotensin II
ISDN (Nitrat) Terapi dan Nitrat organik menurunkan
Sakit kepala berdenyut,
profilaksis pada 5 mg/8 kebutuhan dan meningkatkan suplai
Po muka merah, pusing,
gagal jam oksigen dengan cara mempengaruhi
hipotensi, takikardi
jantung kongestif tonus vaskular
Digoxin Mengobati penyakit 0,25 Mempendekkan periode refrakter Anoreksia, mual
(glikosida jantung (gagal mg/24 Po sel-sel miokard atrium dan ventrikel, muntah, diare, nyeri
jantung) jantung) jam memanjangkan periode reftrakter abdomen, gangguan
efektif dan mengurangi kecepatan penglihatn, sakit
kondusksi serabut purkinye. kepala, pusing.
Bronkokontriksi,
bronkospasme,
memecah asam mukopolisakarida
terapi hipersekresi mengantuk, demam,
200 yang bertujuan mengencerkan dahak
N-asetilsistein mukus kental dan hipokalemi,
mg/8 Po selain itu bekerja menurunkan
(Mukolitik) tebal pada saluran peningkatan vol sekresi
jam viskositas lendir sekresi paru
pernapasan. bronchial, iritasi trakea
atau bronchial, mual,
hipokalemi, stomatitis
Novorapid Menurunkan glukosa darah dengan
(aspart) menstimulasi pengambilan glukosa
Menurunkan kadar 8-8-8
Sc perifer, terutama oleh otot rangka Hipoglikemi
gula darah unit
dan lemak, dan menghambat
produksi glukosa hati.
Spironolacton Gagal jantung 100 Bersifat sebagai antagonis
(Diuretik hemat congestive, mg/24 aldosterone. Aldosteron merupakan
kalium) penggunaan jam 53ypokal yang dihasilkan oleh Gangguan saluran
bersama diuretik Po kelenjar adrenal, fungsi 53ypokal ini cerna, sakit kepala,
lain (HCT/ 25 untuk mengatur keseimbangan cairan hiperkalemi,
furosemide untuk mg/24 dengan cara mempertahankan hepatotoksik.
mencegah jam natrium, air, namun membuang
hipokalemia kalium melalui urin.
Lantus Menurunkan glukosa darah dengan
(glargine) menstimulasi pengambilan glukosa
Menurunkan kadar
14 unit Sc perifer, terutama oleh otot rangka Hipoglikemi
gula darah
dan lemak, dan menghambat
produksi glukosa hati.
Metformin Anoreksia, mual
500 Mengurangi produksi glukosa hati
(malam) muntah, diare, nyeri
DM tipe 2 mg/24 Po (gluconeogenesis) dan memperbaiki
(Biguanida) perut, rasa logam,
jam ambilan glukosa dijaringan perifer
asidosis laktat
Bicnat Mengurangi Bereaksi dengan ion H+ untuk
500 Hipernatremia,
progesifitas membentuk air dan karbondioksida.
mg/8 Po hipokalsemia,
penyakit ginjal Ini bertindak sebagai penyangga
jam 53ypokalemia, edema
kronis, asidosis terhadap asidosis dengan
metabolik meningkatkan pH darah.
Asam Folat Pencegahan dan 1 mg/24 Bekerja dengan menormalkan Gangguan pencernaan,
Po
defisiensi folat jam kembali homosistein yang tinggi. mual, dan kembung
Atorvastatin Selain untuk
(Statin) menurunkan LDL
juda dapat 40
Menghambat secara kompetetif Miosisitis, sakit kepala,
mengurangi mg/24 Po
koenzim HMG CoA reduktase hipersensitivitas
serangan penyakit jam
kardiovaskuler
(serangan iskemik)
Clopidogrel Anti penggumpalan
75 Dispepsia, nyeri perut,
darah untuk Menghambat reseptor P2Y12 di
mg/24 Po diare, pendarahan, mual
mencegah jantung platelet secara irreversible
jam muntah, konstipasi
iskemik.
New diatab 600 Memperbaiki konsistensi feses dan
Konstipasi, ruam, gatal-
Mengobati diare mg/8 Po mengikat serta menyerap racun,
gatal.
jam bakteri pada saluran pencernaan.
Paracetamol k/p Menghambat sintesis prostaglandin Reaksi alergi, ruam
Nyeri ringan sampai 500 mg/
Po sehingga dapat mengurangi nyeri kulit, hipotensi,
sedang 8 jam
ringan-sedang kerusakan hati.
Concor Menghambat adrenoreseptor beta
2,5 Rasa dingin, mual,
(bisoprolol) Hipertensi, gagal dijantung dan pembuluh darah
mg/24 Po muntah, diare, pusing,
jantung perifer sehingga efek vasodilatasi
jam sakit kepala.
tercapai.
Ampicillin Menghambat pembentukan
Mengobati infeksi 1,5 g/8 Mual, muntah, diare,
sulbactam Iv mukopeptida yang diperlukan untuk
bakteri jam ruam
sintesis dinding sel mikroba.
Adalat oros 30 Memblok kanal kalsium pada Takikardi, pusing, sakit
(Nifedipin) Hipertensi mg/24 Po membran sehingga menghambat kepala, udem kaki,
jam kalsium masuk ke dalam sel. ruam kaki.
Azytromycin 500 Menghambat sintesis protein kuman Mual, rasa tidak enak
Infeksi saluran
(makrolida) mg/24 Po dengan cara berikatan secara perut, sakit kepala,
pernafasan
jam reversible dan bersifat bakteriostatik. diare.

PROBLEM MEDIK
Problem medik : Diabetes Melitus (Tipe 2)
Subyektif Obyektif Terapi Analisis /Assesment DRP Plan Monitoring
Riwayat  GDS : 139  Novorapid 8-8-8  Metformin tidak boleh digunakan Terapi Terapi tetap Monitoring kadar gula
hipoglike mg/dL unit sc pada pasien yang mengalami tepat dilanjutkan darah dan hipoglikemik
mia (26/4/19)  Lantus 14 unit gangguan ginjal dengan Clcr < 30 indikasi
 GDP : 99 sc(dihentikan ml/menit.
mg/dL pada tanggal  Pada pasien ini didapatkan nilai
(28/4/19) Clcr = 38,618 ml/menit
4/5/19)
 G2PP : 178
mg/dL  Metformin 500
(sedang) mg/ 24 jam po
 HbA1c :
7.4 %
(28/4/19)

Problem medik : CHF (Congestive Heart Failure) NYHA III, Hipertensi stage II, IHD (Ischemic Heart Disease)
Subyektif Obyektif Terapi Analisis /Assesment DRP Plan Monitoring
Sesak nafas  TD awal :  Spironolacton  Pemberian digoxin bersamaan Terapi Terapi tetap  Monitoring TD,
130/90 25 mg/24 jam dengan bicnat dapat tepat dilanjutkan natrium dan kalium.
mmHg P.o menyebabkan peningkatan indikasi kecuali  Monitoring kadar
 TD akhir :  ISDN 5 mg/8 kadar digoksin dalam darah. digoxin kolesterol total, TG,
170/80 jam po Hal ini dikarenakan bicnat LDL dan HDL.
mmHg dapat meningkatkan pH
 Clopidogrel 75
 Natrium : lambung bisa dihindari
144 mmol/ mg/ 24 jam po dengan pemberian jeda waktu
L  Furosemid 40 minum (pasien meminum
 Kalium : mg/24 jam po digoxin sehari 1 x pada jam
3.3 mmol/L  Furosemid 1 12 siang sedangkan bicnat
(26/4/19) amp/ekstra iv diminum 3 x sehari pada jam
 Kolesterol  Bisoprolol 2,5 6 pagi, 2 siang dan 10
total : 300 mg/24 jam po malam).
mg/dL  Candesartan 16  Pada tanggal 3/5/19
(tinggi) mg/24 jam po pemberian digoxin dihentikan,
 TG : 121 digoxin memiliki indeks
mg/dL  Digoxin 0,25 terapi sempit pada pasien
 LDL 201 mg/24 jam po dengan PGK seharusnya perlu
mg/dL (dihentikan tgl dengan penyesuaian dosis
(tinggi) 3/5/19) agar tidak menimbulkan
 HDL 60  Concor toksisitas.
mg/dL  Atorvastatin digunakan untuk
(bisoprolol) 2,5
menurunkan kolesterol dan
mg/24 jam po LDL tanpa mempertimbangan
 Adalat oros 30 DM untuk mencegah
mg/24 jam po pembentukan plak.
 Bicnat 500
mg/8 jam po
 Atorvastatin 40
mg/24 jam P.o

Problem medik : Infiltrat paru Ass Pneumonia


Subyektif Obyektif Terapi Analisis /Assesment DRP Plan Monitoring

batuk (+), leukosit 6.3  N-asetil sistein Penggunaan antibiotik Terapi Terapi tetap Monitoring batuk,
dahak putih (normal 3.8- 200 mg /8 jam ampicillin sulbactam dan tepat dilanjutkan, di sputum, jamur.
10.6 10^3 po azytromicin sudah tepat indikasi rekomendasikan
µL  Ampicillin sesuai pedoman terapi (dipiro pasien untuk
sulbactam 1,5 edisi 9) mengecek BTA, dan
) 26/4/19
gr/8 jam iv kultur sputum untuk
 Azytromycin memastikan
500 mg/24 antibiotic yang sesuai
jam po dengan bakteri yang
menginfeksi
Problem medik : Anemia
Subyektif Obyektif Terapi Analisis /Assesment DRP Plan Monitoring

-  Hb 11,2 Asam folat 1 mg/24 Digunakan untuk mengatasi Terapi Terapitetap monitoring kadar Hb
g/dL jam po anemia dan keadaan sudah dilanjutkan dan RDW
(turun) hiperhomostein pada penyakit tepat
 RDW 15,1 ginjal kronis.
% (tinggi)
 Eritrosit
(3,57
10^6µL)
(turun)

Problem medik : -
Subyektif Obyektif Terapi Analisis /Assesment DRP Plan Monitoring

Nyeri telinga, - Paracetamol k/p Digunakan untuk mengatasi nyeri Terapi Terapi tetap Monitoring nyeri
tidak ada 500 mg/8 jam po telinga sudah dilanjutkan
keluar cairan tepat
Planning :
1. Monitoring batuk, terapi N-asetilsistein 200 mg/jam p.o dapat dihentikan
2. Monitoring kadar Hb dan RDW dan eritrosit, terapi asam folat 1 mg/24 jam p.o dapat
dihentikan.
3. Monitoring nyeri, terapi Paracetamol k/p 500 mg/8 jam po dapat dihentikan
4. Pasien disarankan untuk melakukan tes uji BTA, kultur sputum.
5. Melakukan cek ulang elektolit (Na, K, Cl)
6. Monitoring TD, RR dan HR
7. Monitoring kadar ureum, kreatinin, albumin
8. Monitoring kadar glukosa darah
9. Monitoring efek samping obat

Konseling dan edukasi :


 Menjaga tekanan darah
 Olahraga ringan (berjalan)
 Kelola stress, istirahat yang cukup dan mengurangi aktivitas yang berat
 Membatasi asupan kolesterol
 Albumin rendah dapat dibantu dengan makanan (pisang, kurma, apel, alpukat, brokoli,
jagung manis, jamur)
 Edukasi ke pasien jika terjadi hipoglikemia : mengenali tanda-tanda hipoglikemik (tremor,
keringat dingin, penglihatan kabur) dan pengatasannya (minum larutan gula, makan
permen).
 Edukasi ke pasien jika terjadi dehidrasi untuk diarenya (tanda-tanda dehidrasi : mulut
kering, mata cekung, turgor kulit).
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA) (2015). Diagnosis and classification of diabetes


mellitus. American Diabetes Care, Vol.38, pp: 43-44.

American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults with


Diabetes. Diabetes Care.

Central for Disease Control and Prevention. 2014. Current Cigarette Smoking Among
Adults in the United States.

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

James, P. A. (2013). 2014 Evidence-Based Guidelinr for the Management of High Blood
Presure in Adults : Report From thr Panel Members Appointed to the Eight Joint
National Committee (JNC 8). American Medical Assocition : JAMA.

JNC VII. 2003. Hypertension., The seventh report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure.

Perkeni (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di


Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni.

Perki (2017), Panduan Tata Laksana Dislipidemia., Perhimpunan Dokter Spesialis


Kardiovaskuler, Indonesia.
LAMPIRAN

1. Lampiran skoring statin


Dihitung skoring statin dilihat dari data lab kolesterol total, LDL dan umur, dan factor
perokok atau tidak kemudian didapatkan skornya. Pada pasien ini didapatkan skoring
sebesar 8 (resiko tinggi)
Pasien termasuk beresiko tinggi

Target kolesterol pasien yang harus dicapai


Dosis yang direkomendasikan untuk atorvastatin (statin) beresiko tinggi dengan dosis
40-80 mg

2. Lampiran perhitungan dosis digoxin


Clcr pria = (140- usia) x BB/ 72 x SCr
= (140-63) x 65/ 72 x 2,09
= 38,618 ml/menit (Stage 3)

IBW pria = 50 kg + (0,9 kg x (170 cm -150 cm))

= 68 kg

Dosis digoxin = 0,125 setiap hari (Clinical Pharmacy second edition)

3. Lampiran data obat dari riwayat kemoterapi


Protocol de grammont-avastin
Nama : Tn. S Umur : 62 th Diagnosis : Ca Colorectal
BB : 64 TB : 164 cm LPT : 1,7 m2
OBAT untuk 2 hari :
Rescuvolin : 200 mg/ m2 hari = 340 mg = 340 mg x 2 = 680 mg
5-FU : 400 mg/m2/hr bolus = 680 mg 1700 mg x 2 = 3400 mg
2
600 mg/m /hr drip = 1020 mg
Avastin 5 mg/kg BB = 5 mg x 64 kg = 320 mg
Pelaksanaan : H1 + 2

1. Avastin 2 mg p.o
2. Hidrasi Nacl 0,9% 500 cc  1 jam
3. Ondancentron 8 mg i.v/ 8 jam
4. Rescuvolin 340 mg i.v dalam 2 jam
5. 5-FU 680 mg i.v bolus
6. 5-FU 1020 mg i.v dalam 22 jam
7. Avastin 320 mg dilarutkan dalam Nacl hingga total volume 100 ml, diberikan
dalam 90 menit (1 hari saja)
8. Rehidrasi dengan Nacl 0,9 % 2 liter dalam 12 jam
Dirumah : ondancentron 8 mg tab/ 8 jam selama 5 hari setelah kemoterapi
No Nama obat Dosis Bulan I Bulan II
I II III IV V(22/ I II III IV V
(22/2/19 8/3/19 /3/19) (5/4/19) (20/4/19)
1. Rescuvolin 325 ≠ ≠ ≠ 340 mg ≠ ≠
mg
2. 5-FU 648 ≠ ≠ ≠ 680 mg ≠ ≠
mg
3. 5-FU 927 ≠ ≠ ≠ 1020 mg ≠ ≠
mg
4. Avastin 285 ≠ ≠ ≠ 320 mg ≠ ≠
mg

Analisa laboratorium patologi anatomi


Keterangan klinik :
Sediaan operasi colon descendens, laki-laki usia 63 tahun
Waktu fiksasi 6 jam.
Makroskopik :

1 potong jaringan usus dengan ukuran panjang 9,5 cm. diameter ujung I 2,5 cm,
diameter ujung 2, 5 cm. pemotongan tampak massa eksofitik ke dalam lumen, batas
tidak tegas ukuran cm, jarak ke ujung I 6 cm, jarak ke ujung II 9,5 cm. dan area menebal
ukuran 6 cm, batas tidak tegas ukuran 6 cm, jarak ke ujung I 9 cm, jarak ke ujung II 4,5
cm.
A. Massa 6 kaset
B. Ujung I 1 kaset
C. Ujung II 1 kaset
D. Nodul 3 kaset
Mikroskopik :

a. Massa
Sediaan massa menunjukkan potongan jaringan dilapisi epitel kolumnar selaois
bergoblet. Lamina propia mengandung kelenjar-kelenjar berbentuk tubular dilapisi epitel
kolumnar selapis diantaranya tampak sel-sel dengan inti bulat, oval pleomorfik,
hiperkromatik, kromatin kasar nukleoli prominen, mudah ditemukan, membentuk
struktur kelenjar kurang lebih 80% disertai musin ekstraseluler menginfiltrasi lapisan
mukosa, submukosa sampai dengan serosa dalam stroma jaringan ikat fibrous sembab
hiperemis disertai area nekrotik bersebukan leukosit PMN, limfosit, histiosit.
b. Ujung 1
Sediaan ujung 1 menunjukkan potongan jaringan dilapisi epitel kolumnar selapis
bergoblet. Lamina propia mengandung folikel limfoid dan kelenjar-kelenjar berbentuk
tubular dilapisi epitel kolumnar selapis dalam stroma jaringan ikat fibrous sembab
bersebukan leukosit PMN, limfosit, histiosit. Tak tampak tanda ganas.
c. Ujung 2
Sediaan ujung 2 menunjukkan potongan jaringan dilapisi epitel kolumnar selapis
bergoblet. Lamina propia mengandung folikel limfoid dan kelenjar-kelenjar berbentuk
tubular dilapisi epitel kolumnar selapis dalam stroma jaringan ikat fibrous sembab
bersebukan leukosit PMN, limfosit, histiosit. Tak tampak tanda ganas.
d. Nodul
Ditemukan 3 kelenjar getah bening yang seluruhnya menunjukkan proliferasi folikel-
folikel limfosit disertai centrum germinativum dan pelebaran sinus histiosit. Tak tampak
tanda ganas.
Kesimpulan :

Moderately differentiated adenocarcinoma pada colon descenden disertai komponen


musin yang menginfiltrasi sampai lapisan serosa.

- Reactive hyperplasia lymphoid pada 3 kelenjar getah bening yang ditemukan


dengan kemungkinan metastatis pada kelenjar getah bening yang dapat disingkirkan.
- Batas ujung 1 dan ujung 2 : bebas tumor.
ICD – O : 8140/3

Anda mungkin juga menyukai