Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA ANAK


SAAT PANDEMI COVID-19

Disusun oleh:
Muhammad Nafi

Pembimbing:
Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K), MARS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
PERIODE 08 FEBRUARI – 05 MARET 2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat


Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah referat yang berjudul “Gangguan Mental Emosional Pada
Anak Saat Pandemi COVID-19 ”. Shalawat serta salam tidak lupa saya sampaikan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan
pengikutnya.
Terimakasih kepada Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K), MARS selaku
pembimbing saya yang telah memberikan kesempatan dan waktunya
membimbing saya selama masa studi klinik di Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto
Heerdjan. Tentunya makalah referat ini masih jauh dari kata sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, saya harap adanya kritik dan saran dari
pembaca agar Makala ini dapat menjadi lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya maupun bagi saya, penulis yang sedang menempuh kegiatan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan.

Jakarta, 18 Februari 2021

Muhammad Nafi

ii
PENGESAHAN

Referat diajukan oleh


Nama : Muhammad Nafi
NIM : 1920221126
Program studi : Profesi dokter
Judul referat : Gangguan Mental Emosional pada Anak Saat Pandemi COVID-
19

Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai


syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik Psikiatri Program Studi
Profesi Dokter Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta.

Pembimbing,

Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K), MARS

iii
DAFTAR ISI

REFERAT.................................................................................................................i
GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA ANAK SAAT PANDEMI
COVID-19.................................................................................................................i
Disusun oleh:............................................................................................................i
Pembimbing:.............................................................................................................i
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA......................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
PENGESAHAN......................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................2
I.1 Latar Belakang..........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
II.1 Gangguan Mental Emosional....................................................................3
II.2 Faktor Resiko............................................................................................3
II.3 Tanda dan Gejala.......................................................................................3
II.4 Gangguan Mental Emosional saat Pandemi COVID-19 Pada anak..........4
II.4.1 DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA ANAK................................5
II.5 GANGGUAN EMOSIONAL dengan ONSET KHAS PADA ANAK.....6
II.5.1 KRITERIA DIAGNOSTIK....................................................................6
II.6 Episode Depresif.......................................................................................7
II.6.1 Klasifikasi...............................................................................................7
II.7 Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Anak................................................9
II.7.1 Kriteria Diagnostik.................................................................................9
BAB III..................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

iv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Gangguan mental emosional merupakan suatu kondisi dimana
perilaku dan emosional anak berbeda jauh dengan perilaku dan emosional
anak-anak lainnya dengan umur dan latar belakang yang sama, yang mampu
menyebabkan penurunan interaksi dan hubungan sosial, perawatan diri, serta
proses belajar dan tingkah laku dikelas.1
Prevalensi gangguan mental emosional pada anak usia prasekolah
cukup tinggi. Nasional Institute of Mental Health (NIMH) menyebutkan
bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada anak usia prasekolah
sekitar 10-15% di dunia.2 Laporan Riskesdas Indonesia Tahun 2018
menyebutkan bahwa angka gangguan mental emosional di Indonesia sebesar
9,8%. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan hasil tahun 2013
yaitu sebesar 6,0%.3
Pandemi COVID-19 telah memengaruhi kehidupan orang-orang di
seluruh dunia termasuk anak-anak dan remaja. Di seluruh dunia, metode
pencegahan dari infeksi COVID-19 adalah dengan isolasi dan pembatasan
sosial untuk melindungi dari risiko infeksi (Shen et al., 2020). Dengan alasan
ini, sejak Januari 2020, berbagai negara mulai menutup akses masuk maupun
keluar bagi penduduknya atau lockdown. Dalam latar belakang ini, salah satu
tindakan utama yang diambil selama lockdown adalah penutupan sekolah,
lembaga Pendidikan, dan tempat-tempat umum. Keadaan yang tak
terhindarkan ini menyebabkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak berdaya.4
Telah diindikasikan bahwa dibandingkan dengan orang dewasa,
pandemi ini dapat terus meningkatkan konsekuensi merugikan jangka
panjang pada anak-anak dan remaja. Sifat dan luasnya dampak pada
kelompok usia ini bergantung pada banyak faktor kerentanan seperti usia
perkembangan, status pendidikan saat ini, kebutuhan khusus tertentu, kondisi
kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, ekonomi kurang mampu dan
anak / orang tua yang dikarantina karena infeksi atau takut terinfeksi.4

v
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Gangguan Mental Emosional


Menurut Legal Information Institute, gangguan mental emosional
merupakan penderitaan mental sebagai respons emosional terhadap suatu
pengalaman yang timbul dari efek atau ingatan suatu peristiwa, kejadian, pola
peristiwa atau kondisi tertentu. Gangguan emosional biasanya dapat dilihat
dari gejalanya yang berupa kecemasan, depresi, kehilangan minat, atau
penyakit fisik.
DSM-5 mendefinisikan gangguan mental adalah sindrom yang
ditandai dengan gangguan signifikan secara klinis dalam kognisi, regulasi
emosi, atau perilaku individu yang mencerminkan disfungsi dalam proses
psikologis, biologis, atau perkembangan yang mendasari fungsi mental.5
II.2 Faktor Resiko
Anak-anak dari kelompok tertentu atau terpapar beberapa faktor risiko
lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental selama pandemi.
Kelompok rentan yang teridentifikasi adalah anak-anak dengan kondisi
kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, anak-anak dalam konteks
sosial ekonomi yang rendah, adanya kekerasan dalam rumah tangga atau
penganiayaan anak dan terinfeksi COVID-19.13

II.3 Tanda dan Gejala


Masalah emosional di masa anak-anak termasuk gangguan panik,
gangguan kecemasan umum (GAD), kecemasan perpisahan, fobia sosial,
fobia spesifik, obsessive compulsive disorder (OCD) dan depresi. Kecemasan
ringan hingga sedang adalah respons emosional normal terhadap banyak
situasi kehidupan yang penuh tekanan. Gangguan panik ditandai dengan
serangan panik yang tidak dipicu oleh rangsangan eksternal. GAD ditandai
dengan kekhawatiran umum di berbagai domain kehidupan. Gangguan

vi
kecemasan akan perpisahan ditandai dengan ketakutan yang berhubungan
dengan perpisahan aktual atau yang diantisipasi dari pengasuh. Gangguan
kecemasan sosial (juga disebut social fobia), ditandai dengan ketakutan akan
situasi sosial di mana teman-teman mungkin menilai orang tersebut secara
negatif.6
Gangguan ini seringkali sulit untuk dikenali sejak dini oleh orang tua
karena banyak anak yang belum memiliki pemahaman yang tepat untuk
mengekspresikan emosi mereka secara jelas. Banyak dokter dan perawat juga
merasa sulit untuk membedakan antara emosi perkembangan normal
(ketakutan, menangis) dan tekanan emosional yang parah serta
berkepanjangan yang harus dianggap sebagai gangguan.6
Manifestasi umum dari gangguan kecemasan meliputi gejala fisik
seperti peningkatan detak jantung, sesak napas, berkeringat, gemetar, nyeri
dada, sakit perut dan mual. Gejala lainnya termasuk kekhawatiran berlebihan,
pikiran yang tidak diinginkan (obsesi) atau tindakan (kompulsi), ketakutan
akan rasa malu atau membuat kesalahan, harga diri rendah dan kurangnya
kepercayaan diri.6
Depresi sering terjadi pada anak-anak di bawah tekanan, mengalami
kehilangan, atau mengalami gangguan perhatian, pembelajaran, perilaku atau
kecemasan dan penyakit fisik kronis lainnya. Gejala depresi beragam
termasuk suasana hati yang rendah, sering sedih, menangis, berkurangnya
minat atau kesenangan di hampir semua kegiatan; atau ketidakmampuan
untuk menikmati hobinya, keputusasaan, kebosanan yang terus-menerus;
kehilangan energi, isolasi sosial, komunikasi yang buruk, harga diri rendah
dan rasa bersalah, perasaan tidak berharga, kepekaan ekstrim penolakan atau
kegagalan, peningkatan lekas marah, agitasi, kemarahan, atau permusuhan,
kesulitan dengan hubungan, sering tidak masuk sekolah atau miskin prestasi
di sekolah, konsentrasi buruk, perubahan pola makan dan / atau tidur,
penurunan berat badan, upaya untuk melarikan diri dari rumah, pikiran atau
ekspresi bunuh diri atau perilaku merusak diri.6

vii
II.4 Gangguan Mental Emosional saat Pandemi COVID-19 Pada anak

Lebih dari 2,2 miliar anak di dunia yang merupakan sekitar 28% dari
populasi dunia. Mereka yang berusia antara 10 hingga 19 tahun merupakan
16% dari populasi dunia.7 Penyakit Coronavirus-19 (COVID-19) telah
menginfeksi sekitar 12.750.275 orang dan menyebabkan 566.355 kematian di
seluruh dunia.8 Berdasarkan fakta tersebut, banyak negara di dunia telah
menerapkan pembatasan sosial dan penutupan tempat umum seperti sekolah,
kampus, perkantoran, dan tempat umum lainnya untuk menghentikan
penularan.9

Di sisi lain, hal-hal tersebut telah memengaruhi kesehatan mental,


khusunya bagi para anak-anak dan remaja, di mana kelompok usia tersebut
rentan untuk mengembangkan gangguan kesehatan mental karena mereka
sangat sensitif terhadap transformasi psikologis dan social.9 Selain faktor-
faktor tersebut, kerugian finansial yang meningkat juga berkontribusi pada
tekanan emosional yang meluas dan peningkatan risiko gangguan kejiwaan
dalam waktu dekat.10

II.4.1 Dampak Pandemi COVID-19 Pada Anak


Pada masa stres, orang tua khususnya ibu hamil berada dalam keadaan
rentan secara psikologis untuk mengalami kecemasan dan depresi yang secara
biologis terkait dengan perkembangan janin.11 Dampak perkembangan
emosional dan sosial pada anak kecil dan remaja saat pandemi dan
pembatasan sosial lebih besar pada dibandingkan dengan orang dewasa.
Dalam salah satu studi terdahulu terkait pandemi, ditemukan bahwa
anak-anak lebih muda (3-6 tahun) lebih mungkin untuk menunjukkan gejala
ketakutan anggota keluarga tertular dibandingkan anak yang lebih tua (6-18
tahun). Meskipun, kondisi psikologis yang parah dari peningkatan sifat
mudah marah, penurunan atensi dan kecemasan akan perpisahan ditemukan
pada semua kelompok usia.12
Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa anak-anak mengalami
gangguan tidur, mimpi buruk, penurunan nafsu makan, agitasi, kurangnya

viii
perhatian dan kecemasan terkait perpisahan di masa pandemi ini.12
Pengurungan anak dan remaja di rumah menyebabkan gangguan dalam
pendidikan, aktivitas fisik, dan kesempatan untuk bersosialisasi yang memicu
terjadinya gangguan perkembangan emosional dan sosial, sehingga
menimbulkan gangguan emosional seperti depresi, gangguan cemas,
gangguan stress pasca trauma dan lain-lainnya.13
Anak-anak yang diisolasi karena terinfeksi covid-19, membutuhkan
perhatian khusu karena anak-anak ini mungkin berisiko mengembangkan
masalah kesehatan mental karena kesedihan yang disebabkan oleh pemisahan
orang tua. Seperti selama tahun-tahun pembentukan kehidupan, peran orang
tua sangat penting, gangguan apa pun dalam bentuk isolasi dari orang tua
dapat berdampak jangka panjang terhadap keterikatan yang dirasakan anak.12
Ditemukan bahwa pemisahan dari pengasuh utama dapat membuat
anak lebih rentan dan dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan mental
anak. Anak-anak mungkin mengembangkan perasaan sedih, cemas, takut
mati, takut akan kematian orang tua, dan takut terisolasi di rumah sakit yang
mungkin memiliki efek yang sangat merugikan pada perkembangan
psikologis mereka.12

II.5 Gangguan Emosional dengan Onset Khas Pada Anak


II.5.1 Kriteria Diagnostik
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ-III seorang anak dapat
dikatakan menderita ganguuan anxietas perpisahan masa kanak jika
memenuhi kriteria berikut:
1. Rasa cemas yang berlebihan yang terfokus dan berkaitan dengan
perpisahan dengan tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak
(lazimnya orang tua atau kerabat dekat lainnya), yang bukan hanya
bagian dari anxietas umum berkenan dengan aneka situasi.
2. Anxietas dapat berbentuk sebagai berikut:
a. tidak realistik, kekhawatiran yang mendalam kalau-kalau ada
bencana yang menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran
orang itu akan pergi dan tidak kembali.

ix
b. tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa
buruk, seperti misalnya anak akan kesasar, diculik atau
dimasukkan dalam rumah sakit, atau terbunuh, yang akan
memisahkannya dari tokoh yang lekat dengan dirinya.
c. terus menerus enggan atau menolak masuk sekolah, semata-
mata takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti
kekhawatiran tentang peristiwa di sekolah).
d. terus menerus enggan atau menolak untuk tidur tanpa ditemani
atau didampingi oleh tokoh kesayangannya.
e. terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan
seorang diri, atau tanpa ditemani orang yang akrab disiang hari.
f. berulang mimpi buruk tentang perpisahan.
g. sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit
kepala, muntah-muntah, dsb) pada peristiwa perpisahan dari
tokaoh yang akrab dengan dirinya, seperti keluar rumah atau
kesekolah.
h. mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari anxietas,
menangis, mengadat, merana, apati, atau pengunduran sosial),
pada saat sebelum, selama, atau sehabis berlangsungnya
perpisahan dengan tokoh yang akrab dengannya.
3. Diagnosis ini mengisyaratkan tidak adanya gangguan umum pada
perkembangan fungsi kepribadian

II.6 Episode Depresif


Episode depresif pada seseorang ditandai dengan adanya gejala-gejala
utama berupa afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energi atau mudah Lelah serta terjadinya penurunan aktivitas.
Selain itu, beberapa gejala lainnya juga dapat ditemui pada episode depresif,
seperti penurunan konsentrasi, kepercayaan diri berkurang, rasa bersalah,
tidak berguna, pesimistis, perbuatan membahayakan diri, gangguan tidur dan
penurunan nafsu makan. Gejala gejala tersebut berlangsung sekurang-

x
kurangnya 2 minggu, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
II.6.1 Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahannya episode depresif dibagi menjadi tiga
yaitu ringan, sedang dan berat. Menurut PPDGJ-III ketiga pembagian
berdasarkan tingkat keparahan tersebut memiliki kriteria diagnosis sebagai
berikut:
1. Ringan
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu.
e. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya.
2. Sedang
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
c. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu.
d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
3. Berat
a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
beberapa di antaranya harus berintensitas berat.
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.

xi
d. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.

II.7 Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Anak


II.7.1 Kriteria Diagnostik
Menurut pedoman diagnositik DSM-V seorang anak 6 tahun kebawah
dapat dikatakan mengalami gangguan stress pasca trauma apabila memenuhi
kriteria berikut:
1. terpapar pada kematian aktual atau terancam, cedera serius, atau
kekerasan seksual dengan satu (atau lebih) cara berikut:
a. Secara langsung mengalami peristiwa traumatis.
b. Menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada
orang lain, terutama pengasuh utama.
c. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada orang tua
atau sosok yang mengasuh.
2. Adanya satu (atau lebih) dari gejala gangguan berikut yang terkait
dengan peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
a. Ingatan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu
tentang peristiwa trauma.
b. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan / atau
pengaruhnya dari mimpi itu terkait dengan peristiwa traumatis.
c. Reaksi disosiatif (Kilas balik) di mana anak merasa atau
bertindak seolah-olah peristiwa traumatis berulang. (Reaksi
semacam itu dapat terjadi dalam satu kontinum, dengan
ekspresi yang paling ekstrim adalah hilangnya kesadaran akan
lingkungan sekitar saat ini.) trauma semacam itu dapat terjadi
dalam permainan.

xii
d. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat
terpapar penyebab internal atau eksternal yang melambangkan
atau menyerupai aspek peristiwa traumatis
e. Reaksi fisiologis yang ditandai untuk mengingatkan peristiwa
traumatis.
3. Satu (atau lebih) dari gejala berikut, yang mewakili penghindaran
rangsangan yang terus-menerus terkait dengan peristiwa traumatis atau
perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan
peristiwa traumatis, harus ada, setelah peristiwa tersebut atau
memburuk setelah peristiwa tersebut:
a. Penghindaran atau upaya menghindari aktivitas, tempat, atau
pengingat fisik yang menggugah ingatan tentang peristiwa
traumatis.
b. Menghindari atau upaya untuk menghindari orang, percakapan,
atau situasi interpersonal yang membangkitkan ingatan akan
peristiwa traumatis.
c. Frekuensi keadaan emosional negatif yang meningkat secara
substansial (misalnya, ketakutan, rasa bersalah, kesedihan, rasa
malu, kebingungan)
d. Menurunnya minat atau partisipasi dalam aktivitas penting,
termasuk pembatasan permainan.
e. Perilaku menarik diri secara sosial.
f. Penurunan ekspresi emosi positif yang terus-menerus.
4. Perubahan gairah dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis
terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih):
a. Perilaku yang mudah marah dan ledakan amarah (dengan
sedikit atau tanpa provokasi) biasanya diekspresikan sebagai
agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek (termasuk
amukan yang ekstrim).
b. Kewaspadaan berlebihan.
c. Respon terkejut yang berlebihan.

xiii
d. Masalah dengan konsentrasi.
e. Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tertidur namun
gelisah).
5. Durasi gangguan lebih dari 1 bulan.
6. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan yang signifikan secara
klinis dalam hubungan dengan orang tua, saudara kandung, teman
sebaya, atau pengasuh lain atau dengan perilaku sekolah.
7. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya obat atau alkohol) atau kondisi medis lainnya.

xiv
BAB III
KESIMPULAN

COVID-19 telah terbukti berpengaruh terhadap perubahan kesehatan


mental anak-anak dan remaja, terutama ketakutan akan COVID-19 pada
populasi dengan paparan COVID-19 yang memadai terbukti dapat
menciptakan kondisi kesehatan mental yang merugikan seperti kecemasan
dan depresi. Remaja atau anak-anak yang pernah mengalami trauma
sebelumnya dengan tambahan isolasi sosial / karantina dan kesepian lebih
rentan terhadap kecemasan dan depresi bahkan setelah pembatasan sosial
berakhir.

xv
DAFTAR PUSTAKA

[1] Maria S, P. (2015). Emotional and Behavioural Difficulties in Preschool.


Journal of Child and Family Studies, 24(2), 225–236. Retrieved from
https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-013-9828-9
[2] KMHO, K. M. H. O. (2019, May 8). Childrens Behavioral and Emosional
Disorders. Retrieved from http://www.kidsmentalhealth.org/childrens-
behavioral-and-emotionaldisorders/
[3] BPPK. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018. jakarta. Retrieved from
https://www.litbang.kemkes.go.id/hasil-utama-riskesdas-2018/
[4] Shen, K., Yang, Y., Wang, T., Zhao, D., et. al. 2020. Global Pediatric
Pulmonology Alliance. Diagnosis, Treatment, And Prevention Of 2019
Novel Coronavirus Infection In Children: Experts’ Consensus Statement.
World Journal of Pediatrics : WJP, pp. 1–9
https://doi.org/10.1007/s12519-020-00343-7
[5] Sadock, Benjamin J. & Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock’s Concise
Textbook of Clinical Psychiatry 11th Ed. USA : Lippincott Williams &
Wilkins Inc. 2015
[6] Ogundele MO. 2018. Behavioural and emotional disorders in
childhood: A brief overview for paediatricians. World Journal of
Clinical Pediatrics; 7(1): 9-26.
http://creativecommons.org/ licenses/by-nc/4.0/
[7] UNICEF, 2019. Global population of children 2100. Statista.
https://www.statista.com/statistics/678737/total-number-of-children-
worldwide/
[8] World Health Organization (2020) WHO coronavirus disease
(COVID-19) dashborad Available from: https://covid19.who.int/
[9] Octavius., et. al. 2020. Impact of COVID-19 on adolescents’ mental
health: a systematic review. Middle East Current Psychiatry, 27(72).
https://doi.org/10.1186/s43045-020-00075-4
[10] B. Pfefferbaum, C.S. North. 2020. Mental health and the covid-19
pandemic. N. Engl. J. Med.

xvi
https://doi.org/10.1056/NEJMp2008017
[11] Biaggi, A., Conroy, S., Pawlby, S., &Pariante, C.M., 2016. Identifying
the women at risk of antenatal anxiety and depression: a systematic
review. J. Affect. Disord. 191, 62–77
https://doi.org/10.1016/j.jad.2015.11.014
[12] S. Singh, et. al. 2020. Impact of COVID-19 and lockdown on mental
health of children and adolescents: A narrative review with
recommendations. Psychiatry Research. ELSEVIER. 293.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.113429
[13] D. Marques de Miranda., et. al. 2020. How is COVID-19 pandemic
impacting mental health of children and adolescents?. International
Journal of Disaster Risk Reduction. ELSEVIER.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2020.101845

xvii

Anda mungkin juga menyukai