Disusun oleh:
Muhammad Nafi
Pembimbing:
Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K), MARS
i
KATA PENGANTAR
Muhammad Nafi
ii
PENGESAHAN
Pembimbing,
iii
DAFTAR ISI
REFERAT.................................................................................................................i
GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA ANAK SAAT PANDEMI
COVID-19.................................................................................................................i
Disusun oleh:............................................................................................................i
Pembimbing:.............................................................................................................i
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA......................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
PENGESAHAN......................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................2
I.1 Latar Belakang..........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
II.1 Gangguan Mental Emosional....................................................................3
II.2 Faktor Resiko............................................................................................3
II.3 Tanda dan Gejala.......................................................................................3
II.4 Gangguan Mental Emosional saat Pandemi COVID-19 Pada anak..........4
II.4.1 DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA ANAK................................5
II.5 GANGGUAN EMOSIONAL dengan ONSET KHAS PADA ANAK.....6
II.5.1 KRITERIA DIAGNOSTIK....................................................................6
II.6 Episode Depresif.......................................................................................7
II.6.1 Klasifikasi...............................................................................................7
II.7 Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Anak................................................9
II.7.1 Kriteria Diagnostik.................................................................................9
BAB III..................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
iv
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Gangguan mental emosional merupakan suatu kondisi dimana
perilaku dan emosional anak berbeda jauh dengan perilaku dan emosional
anak-anak lainnya dengan umur dan latar belakang yang sama, yang mampu
menyebabkan penurunan interaksi dan hubungan sosial, perawatan diri, serta
proses belajar dan tingkah laku dikelas.1
Prevalensi gangguan mental emosional pada anak usia prasekolah
cukup tinggi. Nasional Institute of Mental Health (NIMH) menyebutkan
bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada anak usia prasekolah
sekitar 10-15% di dunia.2 Laporan Riskesdas Indonesia Tahun 2018
menyebutkan bahwa angka gangguan mental emosional di Indonesia sebesar
9,8%. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan hasil tahun 2013
yaitu sebesar 6,0%.3
Pandemi COVID-19 telah memengaruhi kehidupan orang-orang di
seluruh dunia termasuk anak-anak dan remaja. Di seluruh dunia, metode
pencegahan dari infeksi COVID-19 adalah dengan isolasi dan pembatasan
sosial untuk melindungi dari risiko infeksi (Shen et al., 2020). Dengan alasan
ini, sejak Januari 2020, berbagai negara mulai menutup akses masuk maupun
keluar bagi penduduknya atau lockdown. Dalam latar belakang ini, salah satu
tindakan utama yang diambil selama lockdown adalah penutupan sekolah,
lembaga Pendidikan, dan tempat-tempat umum. Keadaan yang tak
terhindarkan ini menyebabkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak berdaya.4
Telah diindikasikan bahwa dibandingkan dengan orang dewasa,
pandemi ini dapat terus meningkatkan konsekuensi merugikan jangka
panjang pada anak-anak dan remaja. Sifat dan luasnya dampak pada
kelompok usia ini bergantung pada banyak faktor kerentanan seperti usia
perkembangan, status pendidikan saat ini, kebutuhan khusus tertentu, kondisi
kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, ekonomi kurang mampu dan
anak / orang tua yang dikarantina karena infeksi atau takut terinfeksi.4
v
BAB II
PEMBAHASAN
vi
kecemasan akan perpisahan ditandai dengan ketakutan yang berhubungan
dengan perpisahan aktual atau yang diantisipasi dari pengasuh. Gangguan
kecemasan sosial (juga disebut social fobia), ditandai dengan ketakutan akan
situasi sosial di mana teman-teman mungkin menilai orang tersebut secara
negatif.6
Gangguan ini seringkali sulit untuk dikenali sejak dini oleh orang tua
karena banyak anak yang belum memiliki pemahaman yang tepat untuk
mengekspresikan emosi mereka secara jelas. Banyak dokter dan perawat juga
merasa sulit untuk membedakan antara emosi perkembangan normal
(ketakutan, menangis) dan tekanan emosional yang parah serta
berkepanjangan yang harus dianggap sebagai gangguan.6
Manifestasi umum dari gangguan kecemasan meliputi gejala fisik
seperti peningkatan detak jantung, sesak napas, berkeringat, gemetar, nyeri
dada, sakit perut dan mual. Gejala lainnya termasuk kekhawatiran berlebihan,
pikiran yang tidak diinginkan (obsesi) atau tindakan (kompulsi), ketakutan
akan rasa malu atau membuat kesalahan, harga diri rendah dan kurangnya
kepercayaan diri.6
Depresi sering terjadi pada anak-anak di bawah tekanan, mengalami
kehilangan, atau mengalami gangguan perhatian, pembelajaran, perilaku atau
kecemasan dan penyakit fisik kronis lainnya. Gejala depresi beragam
termasuk suasana hati yang rendah, sering sedih, menangis, berkurangnya
minat atau kesenangan di hampir semua kegiatan; atau ketidakmampuan
untuk menikmati hobinya, keputusasaan, kebosanan yang terus-menerus;
kehilangan energi, isolasi sosial, komunikasi yang buruk, harga diri rendah
dan rasa bersalah, perasaan tidak berharga, kepekaan ekstrim penolakan atau
kegagalan, peningkatan lekas marah, agitasi, kemarahan, atau permusuhan,
kesulitan dengan hubungan, sering tidak masuk sekolah atau miskin prestasi
di sekolah, konsentrasi buruk, perubahan pola makan dan / atau tidur,
penurunan berat badan, upaya untuk melarikan diri dari rumah, pikiran atau
ekspresi bunuh diri atau perilaku merusak diri.6
vii
II.4 Gangguan Mental Emosional saat Pandemi COVID-19 Pada anak
Lebih dari 2,2 miliar anak di dunia yang merupakan sekitar 28% dari
populasi dunia. Mereka yang berusia antara 10 hingga 19 tahun merupakan
16% dari populasi dunia.7 Penyakit Coronavirus-19 (COVID-19) telah
menginfeksi sekitar 12.750.275 orang dan menyebabkan 566.355 kematian di
seluruh dunia.8 Berdasarkan fakta tersebut, banyak negara di dunia telah
menerapkan pembatasan sosial dan penutupan tempat umum seperti sekolah,
kampus, perkantoran, dan tempat umum lainnya untuk menghentikan
penularan.9
viii
perhatian dan kecemasan terkait perpisahan di masa pandemi ini.12
Pengurungan anak dan remaja di rumah menyebabkan gangguan dalam
pendidikan, aktivitas fisik, dan kesempatan untuk bersosialisasi yang memicu
terjadinya gangguan perkembangan emosional dan sosial, sehingga
menimbulkan gangguan emosional seperti depresi, gangguan cemas,
gangguan stress pasca trauma dan lain-lainnya.13
Anak-anak yang diisolasi karena terinfeksi covid-19, membutuhkan
perhatian khusu karena anak-anak ini mungkin berisiko mengembangkan
masalah kesehatan mental karena kesedihan yang disebabkan oleh pemisahan
orang tua. Seperti selama tahun-tahun pembentukan kehidupan, peran orang
tua sangat penting, gangguan apa pun dalam bentuk isolasi dari orang tua
dapat berdampak jangka panjang terhadap keterikatan yang dirasakan anak.12
Ditemukan bahwa pemisahan dari pengasuh utama dapat membuat
anak lebih rentan dan dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan mental
anak. Anak-anak mungkin mengembangkan perasaan sedih, cemas, takut
mati, takut akan kematian orang tua, dan takut terisolasi di rumah sakit yang
mungkin memiliki efek yang sangat merugikan pada perkembangan
psikologis mereka.12
ix
b. tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa
buruk, seperti misalnya anak akan kesasar, diculik atau
dimasukkan dalam rumah sakit, atau terbunuh, yang akan
memisahkannya dari tokoh yang lekat dengan dirinya.
c. terus menerus enggan atau menolak masuk sekolah, semata-
mata takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti
kekhawatiran tentang peristiwa di sekolah).
d. terus menerus enggan atau menolak untuk tidur tanpa ditemani
atau didampingi oleh tokoh kesayangannya.
e. terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan
seorang diri, atau tanpa ditemani orang yang akrab disiang hari.
f. berulang mimpi buruk tentang perpisahan.
g. sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit
kepala, muntah-muntah, dsb) pada peristiwa perpisahan dari
tokaoh yang akrab dengan dirinya, seperti keluar rumah atau
kesekolah.
h. mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari anxietas,
menangis, mengadat, merana, apati, atau pengunduran sosial),
pada saat sebelum, selama, atau sehabis berlangsungnya
perpisahan dengan tokoh yang akrab dengannya.
3. Diagnosis ini mengisyaratkan tidak adanya gangguan umum pada
perkembangan fungsi kepribadian
x
kurangnya 2 minggu, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
II.6.1 Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahannya episode depresif dibagi menjadi tiga
yaitu ringan, sedang dan berat. Menurut PPDGJ-III ketiga pembagian
berdasarkan tingkat keparahan tersebut memiliki kriteria diagnosis sebagai
berikut:
1. Ringan
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu.
e. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya.
2. Sedang
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
c. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu.
d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
3. Berat
a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
beberapa di antaranya harus berintensitas berat.
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
xi
d. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.
xii
d. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat
terpapar penyebab internal atau eksternal yang melambangkan
atau menyerupai aspek peristiwa traumatis
e. Reaksi fisiologis yang ditandai untuk mengingatkan peristiwa
traumatis.
3. Satu (atau lebih) dari gejala berikut, yang mewakili penghindaran
rangsangan yang terus-menerus terkait dengan peristiwa traumatis atau
perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan
peristiwa traumatis, harus ada, setelah peristiwa tersebut atau
memburuk setelah peristiwa tersebut:
a. Penghindaran atau upaya menghindari aktivitas, tempat, atau
pengingat fisik yang menggugah ingatan tentang peristiwa
traumatis.
b. Menghindari atau upaya untuk menghindari orang, percakapan,
atau situasi interpersonal yang membangkitkan ingatan akan
peristiwa traumatis.
c. Frekuensi keadaan emosional negatif yang meningkat secara
substansial (misalnya, ketakutan, rasa bersalah, kesedihan, rasa
malu, kebingungan)
d. Menurunnya minat atau partisipasi dalam aktivitas penting,
termasuk pembatasan permainan.
e. Perilaku menarik diri secara sosial.
f. Penurunan ekspresi emosi positif yang terus-menerus.
4. Perubahan gairah dan reaktivitas yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis
terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih):
a. Perilaku yang mudah marah dan ledakan amarah (dengan
sedikit atau tanpa provokasi) biasanya diekspresikan sebagai
agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek (termasuk
amukan yang ekstrim).
b. Kewaspadaan berlebihan.
c. Respon terkejut yang berlebihan.
xiii
d. Masalah dengan konsentrasi.
e. Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tertidur namun
gelisah).
5. Durasi gangguan lebih dari 1 bulan.
6. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan yang signifikan secara
klinis dalam hubungan dengan orang tua, saudara kandung, teman
sebaya, atau pengasuh lain atau dengan perilaku sekolah.
7. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya obat atau alkohol) atau kondisi medis lainnya.
xiv
BAB III
KESIMPULAN
xv
DAFTAR PUSTAKA
xvi
https://doi.org/10.1056/NEJMp2008017
[11] Biaggi, A., Conroy, S., Pawlby, S., &Pariante, C.M., 2016. Identifying
the women at risk of antenatal anxiety and depression: a systematic
review. J. Affect. Disord. 191, 62–77
https://doi.org/10.1016/j.jad.2015.11.014
[12] S. Singh, et. al. 2020. Impact of COVID-19 and lockdown on mental
health of children and adolescents: A narrative review with
recommendations. Psychiatry Research. ELSEVIER. 293.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.113429
[13] D. Marques de Miranda., et. al. 2020. How is COVID-19 pandemic
impacting mental health of children and adolescents?. International
Journal of Disaster Risk Reduction. ELSEVIER.
https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2020.101845
xvii