Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

Penanganan Covid-19 dengan Gangguan Panik Afek Depresi


pada Pasien COVID-19

Disusun Oleh:
dr. Elisabeth Janice RusliJeremia Andryanto

Pembimbing:
1. dr. Rivo Mario Warouw LintuuranSylvanna Evawani, SpKJ
2. dr. Putro SRiste. Muhammad
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
RUMAH SAKIT DARURAT PENANGANAN COVID-19 WISMA ATLET
PERIODE FEBUARIMEI – MEIAGUSTUS 2020

BAB I
PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 2019, beberapa kasus pneumonia dengan etiologi yang tidak
diketahui muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, China [1]. Pneumonia menyebar dengan
cepat ke provinsi lain di China dan luar negeri. Pada tahap awal, dilaporkan bahwa
sebagian besar pasien memiliki riwayat kontak dengan pasar makanan laut Huanan [1].
Setelah itu, pasien semakin banyak yang mengalami gejala demam dan batuk. Pada 7
Januari 2020, sebuah virus korona baru diidentifikasi dalam sampel usap tenggorokan
dari satu pasien oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China, dan
kemudian dinamai sebagai 2019nCoV oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) [2] .
Ketika situasi semakin memburuk, WHO menyatakan wabah tersebut sebagai darurat
kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC) [3]. Pada 11
Februari 2020, Komite Internasional Taksonomi Virus mengganti nama virus tersebut
menjadi sindrom pernapasan akut parah coronaviruse-2 (SARS-CoV-2). WHO
mengumumkan wabah penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 sebagai penyakit
coronavirus 2019 (COVID-19). (2)Pada Desember 2019, kasus pneumonia misterius
pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Sejak 31 Desember 2019 hingga 3
Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44
kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di
China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO
memberi nama penyakit ini dengan Coronavirus disease 2019 (COVID-19), yang
disebabkan oleh virus Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-
2). Kemudian pada tanggal 12 Maret 2020, WHO terpaksa mendeklarasikan kejadian ini
sebagai suatu pandemik.1

2
Manifestasi klinis pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 berkisar dari gejala non-
spesifik ringan hingga pneumonia berat dengan kerusakan fungsi organ. Gejala yang
umum adalah demam (77,4%), batuk (71,4%), kelelahan (54,8%), dispnea (27,3%),
mialgia (22,6%), dan sakit kepala (19,7%) [4]. Sakit tenggorokan, rinorea, nyeri dada,
hemoptisis, kongesti konjungtiva, diare, mual, dan muntah lebih jarang [1]. Tetapi satu
penelitian menunjukkan 39,6% dari 140 pasien COVID-19 yang dikonfirmasi memiliki
gejala gastrointestinal, dan 10,1% pasien mengalami ketidaknyamanan gastrointestinal
saat onset dalam penelitian Wang.[3] Pasien tidak selalu demam saat onset, beberapa
pasien berkembang setelah dirawat di rumah sakit, dan beberapa pasien parah bahkan
tidak mengalami demam. Infeksi SARS-CoV-2, SARS-CoV, dan MERS-CoV memiliki
banyak gejala klinis yang serupa, termasuk demam, batuk, mialgia, dan dispnea.
Namun, pasien dengan SARS dan MERS memiliki lebih banyak keterlibatan
gastrointestinal (sekitar sepertiga) dibandingkan pasien COVID-19. Dan MERS
memiliki insiden gagal ginjal yang tinggi, yang merupakan ciri khas yang tidak sering
ditemukan pada infeksi virus corona manusia lainnya. [5]
COVID-19 telah menjadi pandemik di Indonesia sejak ditemukannya kasus
pertama pada tanggal 2 Maret 2020 di Depok. Peningkatan kasus perhari semakin tinggi
sejak akhir Agustus 2020 yang mencapai lebih dari 2000 kasus per hari. Sistem
kesehatan di Indonesia perlu ditingkatkan dalam hal kapasitas, termasuk rehabilitasi
medik yang harus dilibatkan dari fase akut hingga jangka panjang dalam penanganan
pasien COVID-19. Penyakit ini selain mempengaruhi gejala klinis, COVID juga
mempengaruhi kondisi kesehatan mental dan jiwa. Banyak masalah psikologis dan
konsekuensi penting dalam hal kesehatan mental termasuk stres, kecemasan, depresi,
frustrasi, ketidakpastian selama wabah COVID-19 bermunculan secara progresif. Begitu
juga dengan reaksi psikologis umum terkait karantina massal yang mempengaruhi
gangguan penyesuaian pasien- pasien. [6]. Menurut buku pedoman PPDGJ-III
gangguan penyesuaian adalah kondisi jiwa diakibat kejadian atau situasi “stressful” dan
krisis kehidupan dengan bukti yang jelas bahwa gangguan tidak akan terjadi bila tidak
mengalami hal tersebut. Manisfestasi klinis yang bervariasi seperti depresi, anxietas,
campuran, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin
sehari-hari. Di Cina sendiri terdapat sekitar 80.9% pasien dengan gejala ringan hingga

3
sedang dengan prognosis yang lebih baik. Angka kematian kasar yang terjadi sekitar
2.3%. Pada pasien dengan gejala berat atau dalam tingkat yang kritis, angka
kematiannya meningkat secara signifikan mencapai 49%. Dari sekitar 1000 pasien yang
dianalisis di Wuhan, sekitar 15% terkonfirmasi mengalami perburukan menjadi gejala
berat. Di Indonesia sendiri, per tanggal 4 Juni 2020, Pemerintah Indonesia telah
melaporkan 28.818 pasien yang terkonfirmasi COVID-19. Terdapat 1.721 jumlah
kematian yang terjadi akibat COVID-19 dan 8.892 pasien yang telah dinyatakan
sembuh dari COVID-19 di Indonesia.1-4
Indonesia sedang menghadapi penyakit pandemi COVID-19, dimana memberikan
rintangan baru untuk para pakar kejiwaan. COVID-19 akan memproduksi morbiditas
baru dan mungkin membuat presitipasi atau mempertajam penyakit psikiatri yang sudah
ada. Stress yang disebabkan oleh pandemi dapat menimbulkan ketakutan dan
kecemasan mengenai kesehatan seseorang dan keluarga, gangguan panik yang
disebabkan oleh berita COVID-19, pergantian pola tidur dan makan, mengalami sulit
konsentrasi, memperburuk keadaan masalah kesehatan yang kronis, dan meningkatkan
penggunaan alkohol, rokok atau obat-obatan. Pengurungan (keterbasan) terukur seperti
karantina wilayah, isolasi dan karantina dapat menyebabkan pengendapan morbiditas
psikiatri, terutama depresi, kecemasan dan kecenderungan untuk bunuh diri.5
Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang ditandai
oleh serangan panik parah yang berulang dan tak terduga. Frekuensi serangannya
bervariasi mulai dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga beberapa serangan
dalam sehari. Pada gangguan panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat faktor
presipitasi yang jelas. Serangan panik dapat terjadi mendadak tanpa disebabkan oleh
obat atau kondisi medis, dan selama serangan penderita mungkin mengalami sensasi
seperti detak jantung meningkat atau tidak teratur, sesak napas, pusing, atau takut
kehilangan kontrol atau “gila”.6
Gangguan panik sering ditemukan pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun.
Selain itu penderita gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita, terutama
mereka yang belum menikah serta wanita post-partum, namun jarang pada wanita
hamil.6

4
BAB II
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R F.I.M.
Umur : 2945 tahun.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Agama : Islam.
Pendidikan : SMA.
Status : Belum Menikah.
Pekerjaan : Projek Eksekutif Karyawan swasta.
Alamat : Jl. Jembatan Besi RT 004/001, Jakarta.
Tanggal MRS : 1825 FebruariMei 20210.
Pemeriksaan : 18 Februari 25 Mei 20210, Tower 6 lantai 7, , IGD RSDC
Wisma Atlet Kemayoran.

ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis.
Rawat inap tanggal : 25 Mei11 Februari 20210.
Keluhan utama : Berdebar, keringat dingin, menggigil, mual, dan perut terasa
tidak enakTidak ada keluhan .Merasa sangat kesepian sejak 5 hari
Keluhan tambahan : Berdebar, keringat dingin, menggigil, mual, dan perut terasa
tidak enak.Tidak ada.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki usia 2945 tahun datang ke RDSC Wisma Atlet Kemayoran dirujuk
dari PKM Tambora karena hasil swab (+) tanggal 19 Mei7 Febuari 20210. Pada saat
datang keluhan yang dirasakan adalah batuk. Keluhan seperti demam, batuk, pilek, dan
sesak napas disangkal. BAK dan BAB pasien juga normal. Pasien juga menyangkal
keluhan sakit kepala, kelemahan bagian tubuh, pengelihatan buram, dan nyeri dada.

5
Pasien mengaku tidak tahu kapan pernah kontak dengan pasien terkonfirmasi COVID-
19.
Pada saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan, pasien mengaku merasa berdebar,
keringat dingin, menggigil, mual, dan perut terasa tidak enak. sedih dan tidak bergairah.
Keluhan tersebut hanya dirasakan setiap pasien bertemu dengan tenaga kesehatan untuk
memeriksan dirinyasaat sejak hari kedua dirawat di RSDC Wisma Atlet. pasien
mengeluhkan merasa sangat kesepian sejak 5 hari ini. Pasien merasa tidak punya teman
mengobrol selama dirawat disini. Keluhan berawal sekitar 5 hari yang lalu ketika teman
pasien sudah dinyatakan swab negatif. Pasien sudah berusaha menelpon keluarga dan
teman, namun pasien tetap merasa sendirian. Pasien sudah melakukan banyak aktivitas
seperti nonton film dan olahraga, serta ngobrol dengan pasien-pasien di Wisma atlet,
namun pasien tetap merasa sangat kesepian dan menderita sampai akhirnya pasien
menemui perawat dan dokter karena kesepian dan takut ke kamarnya. Pasien adalah
seorang project executive di Jakarta dan telah merantau selama 7 tahun, pulang
kampung 1 tahun sekali. Pasien mengaku sempat mengkonsumsi myilanta sebelum
datang ke PKM Tambora untuk mengurangi rasa tidak enak di perutnya, namun tidak
membaik. Pasien merasa keluhan membaik jika saat datang , tenaga kesehatan
mengajak ngobrol dirinya terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan dan jika tidak
bertemu dengan tenaga medis. Keluhan seperti ini sudah dialami pasien sejak kecil.
Riwayat memiliki kenangan buruk dengan tenaga atau tindakan medis disangkal.
Riwayat sulit tidurr, asa cemas diakui pasien. Rasa sulit tidur dan memikirkan masa
depan yang berlebihan disangkal. Kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol, serta
obat-obatan terlarang juga disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi, DM, penyakit jantung, sakit saluran pernapasan
lainnya disangkal. Riwayat trauma pada kepala disangkal. Riwayat alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi, DM, penyakit jantung, sakit saluran pernapasan
lainnya disangkal. Pada keluarga tidak ada riwayat penyakit psikiatri.

6
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 1825 FebruariMei 20210
Pemeriksaan Fisik Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan.
 Kesadaran : Compos mentis, GCS (E4 V5 M6).
 Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 12147/892 mmHg.
- Frekuensi nadi : 88126 kali/menit.
- Frekuensi nafas : 1820 kali/menit.
- Suhu tubuh : 36,5 oC.
- SpO2 : 99%.
 Berat badan : 6470 kg.
 Tinggi badan : 165 cm.

 Kepala: : Normocephali, deformitas (-).
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor
3mm/3mm.
 Telinga : Deformitas -/-.
 Hidung : Deformitas -/-.
 Mulut : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Paru
- Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Jantung
- Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.

7
- Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Abdomen
- Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
- Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Ekstremitas : Tidak ada deformitas.
 Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan.

Alam Perasaan (Emosi)


 Suasana perasaan (mood): Sesuai
 Proses pikir : SesuaiEutim.
 Afek ekspresi: afektifSesuai
- Arus : Cepat.
- Stabilisasi : Stabil.
- Kedalaman : Dalam.
- Skala diferensisasi: Luas.
- Keserasian : Serasi.
- Pengendalian impuls : Baik.
- Ekspresi : Sesuai mood.
- Dramatisasi : Tidak ada.
- Empati : Belum dapat dinilai.

Penampilan
 Penampilan : Rapih
 Sikap : Kooperatif

- Arus : Cepat.

8
- Stabilisasi : Stabil.
- Kedalaman : Dalam.
- Skala diferensisasi : Luas.
- Keserasian : Serasi.
- Pengendalian impuls : Baik.
- Ekspresi : Sesuai mood.
- Dramatisasi : Tidak ada.
- Empati : Belum dapat dinilai.

Proses Pikir
 Arus pikir:
- Produktifitas : Cukup ide.
- Kontinuitas : Koheren.
- Hendaya bahasa : Tidak ada.
 Isi pikir:
- Preokupasi dalam pikiran : Tidak ada.
- Waham : Tidak ada.
- Obsesi : Tidak ada.
- Fobia : Tidak ada.
- Gagasan rujukan : Tidak ada.
- Gagasan pengaruh : Tidak ada.
- Idea of suicide : Tidak ada.

pHQ 8 skor
- Kurang berminat atau bergairah dalam melakukan apapun (1)
- Merasa murung, sedih, atau putus asa (3)
- Sulit tidur/mudah terbangun, atau terlalu banyak tidur (0)
- Merasa lelah atau kurang bertenaga (0)
- Kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan (0)

9
- Kurang percaya diri atau merasa bahwa Anda adalah orang yang gagal atau telah
mengecewakan diri sendiri atau keluarga (0)
- Sulit berkonsentrasi pada sesuatu, misalnya membaca koran atau menonton televisi (2)
- Bergerak atau berbicara sangat lambat sehingga orang lain memperhatikannya. Atau
sebaliknya; merasa resah atau gelisah sehingga Anda lebih sering bergerak dari
biasanya
(2)
- Merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun (0)

Pengendalian Implus
Baik, emosi stabil, sikap baik, dan tidak impulsive.

Tilikan
Tilikan 5 (pasien menyadari bahwa dirinya sakit dan tahu faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakitnya, namun tidak menerapkan dalam praktisnya)

Reliabilitas
Dapat dipercaya

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

10
Tidak dilakukan

Gambar 1. EKG, Tanggal 25 Mei 2020.


Expertise EKG Tn. R (45 tahun):
 Kalibrasi : 10 mm/mV.
 Kecepatan kertas : 25 mm/sec.
 Rhythm (Irama) : Sinus Takikardi.
 Rate : 112 kali/menit.
 Axis : Normoaxis.
 Gelombang P : Normal.
 PR Interval : 0.12 ms.
 QRS complex : 0.08 ms.
 QTc : 383 msec.

11
Rontgen Thorax

Gambar 2. Rontgen Thorax PA, Tanggal 25 Mei 20209 Februari 2021.


Expertise:

12
 COR:
- CTR < 50%.
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
- Trachea ditengah.
 Pulmo:
- Hilus tidak melebar.
- Corakan bronkovaskuler dalam batas normal.
- Tidak tampak infiltrat pada kedua lapang paru.
- Kedua sinus costofrenikus tajam.
 Difragma baik.
 Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.
Kesan:
 Tidak tampak kardiomegali.
 Tidak tampak pneumonia / proses spesifik.

Laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium, Tanggal 25 Mei 20209 Februari 2021.
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 13.15.1 13 – 18 g/dL
Hematokrit 37.643 47 – 48 %
MCV 84.13.0 82 – 92 fL
MCH 29.80 27 – 31 pg
MCHC 35.40 32 – 36 g/dL
Leukosit 632010.200 4.000 – 10.000/uL
Eritrosit 4.475.2 4.5 – 6.5 juta/uL
Trombosit 235163 150 – 450 ribu/uL
Eosinofil 0.0 1–3%
Basofil 0.0 0–1%
Neutrofil 59.070 50 – 70 %
Limfosit 33.019 20 – 40 %
Monosit 8.011 2–8%

13
SGOT 2743 1 – 35 U/L
SGPT 3025 0 – 45 U/L
Gula Darah Sewaktu 110125 60 – 200 mg/dL

RESUME

Pasien laki-laki usia 29 tahun datang ke RDSC Wisma Atlet Kemayoran dirujuk dari
PKM Tambora karena hasil swab (+) tanggal 7 Febuari 2021. Pada saat datang keluhan
yang dirasakan adalah batuk. Pasien mengaku tidak tahu kapan pernah kontak dengan
pasien terkonfirmasi COVID-19. Pada saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan,
pasien mengaku merasa sedih dan tidak bergairah. Keluhan tersebut dirasakan setiap
saat sejak hari kedua dirawat di RSDC Wisma Atlet. pasien mengeluhkan merasa sangat
kesepian sejak 5 hari ini. Pasien merasa tidak punya teman mengobrol selama dirawat
disini. Keluhan berawal sekitar 5 hari yang lalu ketika teman pasien sudah dinyatakan
swab negatif. Pasien sudah berusaha menelpon keluarga dan teman, namun pasien tetap
merasa sendirian. Pasien sudah melakukan banyak aktivitas seperti nonton film dan
olahraga, serta ngobrol dengan pasien-pasien di Wisma atlet, namun pasien tetap merasa
sangat kesepian dan menderita sampai akhirnya pasien menemui perawat dan dokter
karena kesepian dan takut ke kamarnya. Pasien adalah seorang project executive di
Jakarta dan telah merantau selama 7 tahun, pulang kampung 1 tahun sekali. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 121/82 mmHg, nadi 88x/menit, nafas
18x/menit, suhu 36,5, saturasi oksigen 99%.
Pasien laki-laki usia 45 tahun datang ke RDSC Wisma Atlet Kemayoran dirujuk dari
PKM Tambora karena hasil swab (+) tanggal 19 Mei 2020. Pada saat datang pasien
tidak ada keluhan dan mengaku tidak tahu kapan pernah kontak dengan pasien
terkonfirmasi COVID-19. Pada saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan, pasien
mengaku merasa berdebar, keringat dingin, menggigil, mual, dan perut terasa tidak
enak. Keluhan tersebut hanya dirasakan setiap pasien bertemu dengan tenaga kesehatan
untuk memeriksan dirinya. Pasien mengaku sempat mengkonsumsi myilanta sebelum
datang ke PKM Tambora untuk mengurangi rasa tidak enak di perutnya, namun tidak
membaik. Pasien merasa keluhan membaik, jika saat datang , tenaga kesehatan

14
mengajak ngobrol dirinya terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan dan jika tidak
bertemu dengan tenaga medis. Keluhan seperti ini sudah dialami pasien sejak kecil.
Pada pemeriksaan fFisik didapatkan pasien compos mentis dengan TD :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Compos mentis, GCS (E4 V5 M6).
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 147/92 mmHg dan HR .
Frekuensi nadi : 126 kali/menit. Untuk pemeriksaan status mental, didapatkan
mood eutim dan sesuai dengan afek, proses pikir cukup ide dan koheren. Tilikan derajat
5. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, didapatkan sinus takikardi pada EKG dan
leukositosis ringan.
- Frekuensi nafas : 20 kali/menit.
- Suhu tubuh : 36,5 oC
- SpO2 : 99%.
Pemeriksaan Penunjang:
 EKG : Sinus Takikardi.
 Rontgent Thorax : Dalam batas normal.
 Laboratorium : Leukositosis (10.200 /uL).

DIAGNOSIS KERJA
Confirmed covid-19 + Hipertensi grade I + Gangguan penyesuaian afek
depresipanik.
Diagnosis multiaksial

FORMULASI DIAGNOSTIK
 Aksis I: Gangguan dan Kondisi Klinis yang Menjadi Fokus Perhatian Khusus
Berdasarkan resume, pasien pada kasus ini dapat dinyatakan mengalami:
1. Gangguan jiwa, atas dasar adanya distress/penderitaan, seperti berdebar, keringat
dingin, menggigil, mual, dan perut terasa tidak enak.merasa sedih, kesepian, dan
takut untuk kekamar seorang diri.

15
2. Gangguan jiwa ini termasuk gangguan mental non-organik/GMNO karena
- Kesadaran pasien compos mentis
- Tidak ada gangguan fungsi intelektual
- Dari anamnesis pada riwayat penyakit medis, pasien mengaku tidak pernah
mengalami trauma kepala yang dapat menimbulkan disfungsi.
- Tidak ada penggunaan NAPZA atau konsumsi alkohol.
3. Pasien mengalami gangguan F.431.20 sesuai dengan kriteria diagnosis PPDGJ-III,
dengan alasan:
- Pasien mengalami keluhan diatas (gangguan panikpenyesuaian) 2-3 kali dalam 1
bulansetelah merasa sendirian dan kurang perhatian serta dukungan.
- Pasien mengalami suatu kejadian nyata yang baru dan memberatkankeluhan
pada keadaan yang secara objektif tidak ada bahaya, seperti pasien dirawat
untuk pertama kali dalam pandemia ini dan saat pasien ditinggal oleh teman
sekamarnya yang telah dinyatakan sembuh sehingga pasien selalu perlu ditemani
oleh perawat untuk kekamarnya dan butuh dukungan dari keluarga melalui
telfon.dilakukan wawancara atau pemeriksaan standard dari tenaga medis.
-

DD: F.40.232.00 Gangguan Anxietas Fobia Khas (Terisolasi)Episode depresif


ringan tanpa gejala somatik
Dengan alasan:
- Gejala utama seperti berdebar, keringat dingin, menggigil, mual, dan perut
terasa tidak enak jika pasien akan bertemu dengan tenaga
kesehatan kehilangan minat, gembiraan, dan berkurangannya energi sehingga
keadaannya menjadi mudah lelah .
- Gejala lain seperti penurunan konsentrasi saat menonton filmKeluhan hanya
dialami oleh pasien saat bertemu dengan tenaga kesehatan.
- Namun, pasien masih ingin memeriksakan diri fasilitas kesehatan dan tidak
menghindari tenaga kesehatan.

16
 Aksis II: Gangguan Kepribadian Retardasi Mental
Tidak terdapat gangguan kepribadian dan retardasi mental.

 Aksis III: Kondisi Medis Umum


Hasil swab pasien (+) tanggal 197 FebuariMei 20210 dengan TD 12417/8292
mmHg dan HR 126 88 kali/menit. Pada pemeriksaan rontgen dan lab darah tidak
didapatkan kelainan., serta didapatkan sinus takikardi pada EKG dan leukositosis
ringan.

 Aksis IV: Masalah Psikososial dan Lingkungan


Keluhan terjadi saat teman sekamar pasien telah dinyatakan sembuh dan pasien
berada sendirian dikamar perawatan.pasien bertemu dengan tenaga kesehatan dan
berkurang saat diajak berbincang terlebih dahulu.

 Aksis V: Skala GAF 70-61


Beberapa gejala ringan atau beberapa kesulitan dalam fungsi sosial, okupasional,
namun secara umum dapat berfungsi cukup baik, memiliki sejumlah hubungan
interpersonal yang berarti.

EVALUASI MULTIAKSIAL
 Aksis I: F 4341.20 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)Gangguan
penysuaian afek depresi
F.32.00 Episode depresif ringan tanpa gejala somatik
DD: F.40.2 Gangguan Anxietas Fobia Khas (Terisolasi)
 Aksis II: Tidak ada
 Aksis III: Confirmed Covid-19 gejala ringan, Hipertensi grade I, Sinus Takikardi
 Aksis IV: Masalah berkaitan dengan psikososial
 Aksis V: GAF current 70-61

17
Tatalaksana biopsikosial berdasarkan multiaksial
TATALAKSANA IGD
 Hidroxyklorokuin 1x400 mg.
 Oseltamivir 2x75 mg.
 Azithromycin 1x500 mg.
 Vit C 2x500 mg.
 EKG 4 jam post regimen.
 EKG serial per 3 hari.
 Diit rendah garam.
 Rencana swab tgl 31/5/2020.
 Konsul Sp.JP dan observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah).
Konsul Sp.KJ.
 Confirmed Covid-19:
- Hidroxyklorokuin 1x400 mg. Methisoprinol 4x500mg (7 hari)
- Oseltamivir 2x75 mg.
- Azithromycin 1x500 mg. (5 hari)
-
- Becom C 2x1
- Zinc 1x20mg
- D3 1x1000 IU
- Vit C 2x500 mg.
- EKG 4 jam post regimen.
- EKG serial per 3 hari.
- Diit rendah garam.
- Rencana swab tgl 1931/25/20210.
- Konsul Sp.JP dan observasi tanda-tanda vital (tTekanan darah).
- Konsul Sp.KJ.
- Konsul psikolog jika pasien berkenan
 Psikofarmaka:

18
- Sertralin 1x50mg (bila perlu)
 Psikoedukasi:
- Memberi kesempatan pasien untuk menceritakan masalahnya.
- Mengedukasi pasien untuk berpikir positif.
 Psikoterapi:
- Mendengarkan keluhan pasien.
- Mengajak pasien berbicara terlebih dahulu.
 Sosioterapi:
 Edukasi pasien untuk bersosialisasi

FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning
H-1 Tidak ada KU/Kes:  Confirmed  Hidroxyklorokuin
1125/25/210 keluhan Batuk TSR/CM Covid-19 1x400 mg
sedikit TD: 11838/90  HT grade I  Oseltamivir 2x75
berdahak mmHg  Gangguan panik mgMethisoprinol
HR: 96 x/min 4x500mg
Penerimaan RR: 20 x/min  Azithromycin 1x500

19
pasien di T: 36,5 oC mg
lantai SpO2: 99%  Becom C 2x1
23Penerimaan  NAC 3x200mg
pasien di  Zinc 1x20mg
Tower 6  D3 1x1000 IU
lantai 7
 Vit C 2x500
mgParacetamol
3x500mg (K/P)
 EKG 4 jam post
regimen
 EKG serial per 3 hari
 Diit rendah garam
 Rencana swab tgl
1931/25/20210
Konsul Sp.JP:
Concor 1x5 mg
Observasi TD
Konsul Sp.KJ:
Coba terapi SpJP 
Tidak membaik, konsul
ulang
Dikunjungi tim
psikologi
H-2 Berdebar, KU/Kes:  Confirmed  Methisoprinol
1226/25/210 keringat TSR/CM Covid-19 4x500mg
dingin, TD: 120/85 0 Gangguan panik  Azithromycin 1x500
menggigil, mmHg mg
mual terutama HR: 8896  Becom C 2x1
saat dipanggil x/min  NAC 3x200mg
perawat untuk RR: 20 x/min  Zinc 1x20mg
o
tensiBatuk T: 36,5 C

20
berkurang, SpO2: 99%  D3 1x1000 IU
Pasien merasa  Paracetamol
kesepian EKG 4 jam: 3x500mg (K/P)
NSR  Rencana swab tgl
QTc: 413 19/2/2021
msec Hidroxyklorokuin 1x400
mg
Oseltamivir 2x75 mg
Azithromycin 1x500 mg
Vit C 2x500 mg
Concor 1x5 mg
Omeprazole 2x20 mg
EKG serial per 3 hari
Diit rendah garam
Rencana swab tgl
31/5/2020

Konsul Sp.KJ:
Sertaline 1x50 mg (k/p)
H-65 Tidak ada KU/Kes:  Confirmed  Methisoprinol
1629/25/210 keluhan Pasien TSR/CM Covid-19 4x500mg
merasakan TD: 1258/875  Gangguan  Becom C 2x1
kesepian 0 mmHg penyesuaian  NAC 3x200mg
sejak 5 hari HR: 86 x/min dengan afek  Zinc 1x20mg
yang lalu, RR: 20 x/min depresiGangguan  D3 1x1000 IU
o
pasien T: 36,3 C panik  Paracetamol
merasakan SpO2: 99%
3x500mg (K/P)
sedih setiap
 Setraline 1x25mg
saat EKG 3 hari:
 Rencana swab tgl
NSR
19/2/2021
QTc: 358
 Hidroxyklorokuin
msec
1x400 mg
 Oseltamivir 2x75 mg
 Azithromycin 1x500
mg (selesai)

21
 Vit C 2x500 mg
 Concor 1x5 mg
 Omeprazole 2x20 mg
 Sertaline 1x50 mg
(k/p)
 Diit rendah garam
 Rencana swab tgl
31/5/2020Konsul Sp.J
, acc diagnosa
gangguan
penyesuaian dengan
afek depresi
H-910 Tidak ada KU/Kes:  Confirmed  Becom C 2x1
193/26/210 keluhan Tidak TSR/CM Covid-19  Zinc 1x20mg
ada keluhan TD: 11530/85  Gangguan  D3 1x1000 IU
mmHg penyesuaian  Setraline 1x25mg
HR: 90 x/min dengan afek  Rencana swab tgl
RR: 20 x/min depresiGangguan 19/2/2021
o
T: 36,3 C panik  Regimen covid
SpO2: 99%
selesai
Vit C 2x500 mg
Swab tgl Concor 1x5 mg
Sertaline 1x50 mg
31/5/2020: (k/p)
Negatif Diit rendah garam
Rencana swab tgl
4/6/2020
H-103 Tidak ada KU/Kes:  Confirmed  Regimen covid
206/26/210 keluhan TSR/CM Covid-19 selesai
TD: 126/86  Gangguan  Becom C 2x1
mmHg penyesuaian  Zinc 1x20mg
HR: 92 x/min dengan afek  D3 1x1000 IU
RR: 20 x/min depresiGangguan  Vit C 2x500 mg

22
T: 36,4 oC panik  Concor 1x5 mg
SpO2: 99%  Sertaline 1x50 mg
(k/p)
Swab tgl  Diit rendah garam
194/26/20210:  Rencana pulang
Negatif

LAMPIRAN

Gambar 3. EKG 4 Jam, Tanggal 26 Mei 2020.


Expertise EKG Tn. R (45 tahun):
Kalibrasi : 10 mm/mV.
Kecepatan kertas : 25 mm/sec.
Rhythm (Irama) : Sinus rhythm.
Rate : 100 kali/menit.
Axis : Normoaxis.
Gelombang P : Normal.
PR Interval : 0.12 ms.
QRS complex : 0.08 ms.
QTc : 413 msec.

23
Gambar 4. EKG Per 3 hari, Tanggal 29 Mei 2020.
Expertise EKG Tn. R (45 tahun):
Kalibrasi : 10 mm/mV.
Kecepatan kertas : 25 mm/sec.
Rhythm (Irama) : Sinus rhythm.
Rate : 98 kali/menit.
Axis : Normoaxis.
Gelombang P : Normal.
PR Interval : 0.12 ms.
QRS complex : 0.08 ms.
QTc : 358 msec.

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Covid-19
3.1.1. Definisi

25
Berdasarkan definisi operasional, pengertian Covid-19 terbagi menjadi:7
 Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yaitu:
- Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38°C)
atau riwayat demam, disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, pilek, pneumonia ringan hingga
berat, dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan, dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
perjalanan atau tinggal di negara atau wilayah yang melaporkan transmisi
lokal.
- Orang dengan demam (≥38°C) atau riwayat demam atau ISPA dan pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
- Orang dengan ISPA berat atau pneumonia berat yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
 Orang Dalam Pemantauan (ODP)
- Orang yang mengalami demam (≥38°C) atau riwayat demam atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek, sakit tenggorokan, batuk dan tidak
ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan dan pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara atau wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
- Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek, sakit
tenggorokan, batuk dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
 Orang Tanpa Gejala (OTG), dimana seseorang tidak bergejala dan memiliki risiko
tertular dari orang konfirmasi COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan
kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19.
 Kasus Konfirmasi, dimana pasien terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan
tes positif melalui pemeriksaan PCR.
Berdasarkan definisi kasus, COVID-19 dapat terbagi menjadi:8
 Tanpa Gejala: Kondisi teringan dimana pasien tidak ditemukan gejala.

26
 Ringan/tidak berkomplikasi.
Pasien dengan saluran napas tidak berkomplikasi dengan gejala tidak spesifik
seperti demam, lemah, batuk (dengan atau tanpa produksi sputum), anoreksia, malaise,
nyeri otot, sakit tenggorokan, sesak ringan, kongesti hidung, sakit kepala. Meskipun
jarang, pasien dapat dengan keluhan diare, mual atau muntah. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal.
 Sedang/moderate.
Pasien remaja atau dewasa dengan pneumonia tetapi tidak ada tanda pneumonia
berat dan tidak membutuhkan suplementasi oksigen atau anak-anak dengan pneumonia
tidak berat dengan keluhan batuk atau sulit bernapas disertai napas cepat.
 Berat/pneumonia berat.
Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas/pneumonia, ditambah satu dari frekuensi napas ≥30x/menit, distress pernapasan
berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <93% pada udara kamar atau rasio PaO2/FiO2<300.
Atau pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari
berikut ini:
- Sianosis sentral atau SpO2 <90%.
- Distress pernapasan berat (mendengkur, tarikan dinding dada yang berat).
- Tanda pneumonia berat ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
- Tanda lain dari pneumonia yaitu tarikan dinding dada dan takipnea: usia <2
bulan: ≥60x/menit; usia 2-11 bulan: ≥50x/menit; usia 1-5 tahun: ≥40x/menit;
usia >5 tahun: ≥30x/menit.
 Kritis: Pasien dengan gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
syok sepsis dan/atau multiple organ failure.

3.2.2. Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan penunjang untuk COVID-19, adalah:9
 Pemeriksaan radiologi, seperti foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks.

27
Pada pencitraan dapat menunjukkan gambaran opasitas bilateral, konsolidasi
subsegmental, lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada fase awal,
terlihat bayangan multiple plak kecil dengan perubahan intertisial yang jelas di perifer
paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan multiple ground-glass dan infiltrate
di kedua paru. Pada kasus berat, dapat ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-lung”
dan efusi pleura (jarang).
 Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah:
- Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
- Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan
endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal)
Ketika mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral (Dacron
steril atau rayon) dan media transport virus. Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-
19 terutama pneumonia atau sakit berat, sampel tunggal saluran napas atas tidak cukup
untuk eksklusi diagnosis. Klinisi dapat hanya mengambil sampel saluran napas bawah
jika langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi.
Pada kasus terkonfirmasi infeksi COVID-19, ulangi pengambilan sampel dari
saluran napas atas dan bawah untuk petunjuk klirens dari virus. Frekuensi pemeriksaan
2-4 hari sampai 2 kali hasil negative dari kedua sampel serta secara klinis perbaikan,
setidaknya 24 jam. Jika sampel diperlukan untuk keperluan pencegahan infeksi dan
transmisi, spesimen dapat diambil sesering mungkin yaitu harian.
 Bronkoskopi
 Pungsi pleura sesuai kondisi
 Pemeriksaan kimia darah
 Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum, bilasan
bronkus, cairan pleura) dan darah. Kultur darah untuk bakteri dilakukan idealnya
sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi antibiotik dengan
menunggu hasil kultur darah)
 Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).
3.2.3. Tatalaksana COVID-19
Penatalaksanaan pada pasien COVID-19, terbagi menjadi:10
 Pasien Terkonfirmasi (+) COVID-19:

28
- Tanpa Gejala:
o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
o Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
o Vitamin C 3x1 tablet (14 hari)
o Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari
o Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas FKTP
o Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis
- Gejala Ringan:
o Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai pasien rawat jalan
o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
o Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
o Vitamin C, 3x1 tablet (14 hari)
o Klorokuin fosfat 2x500 mg (5 hari) atau Hidroksiklorokuin 1x400 mg (5
hari)
o Azitromisin, 1x500 mg (3 hari)
o Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
o Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus: Oseltamivir 2x75 mg atau
Favipiravir (Avigan) 2x600 mg (5 hari).
o Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis.
- Gejala Sedang:
o Rujuk ke Rumah Sakit / Rumah Sakit Darurat, seperti Wisma Atlet
o Isolasi di Rumah Sakit / Rumah Sakit Darurat, seperti Wisma Atlet selama
14 hari
o Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama perawatan
o Klorokuin fosfat 2x500 mg (5 hari) atau Hidroksiklorokuin dosis 1x400 mg
(5 hari)
o Azitromisin 1x500 mg (3 hari)
o Antivirus: Oseltamivir 2x75 mg atau Favipiravir (Avigan) loading dose 2x
1600 mg hari ke-1 dan selanjutnya 2x600 mg (hari ke 2-5)

29
o Simtomatis (Parasetmol dan lain-lain)
- Gejala Berat:
o Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan
o Diberikan obat-obatan rejimen COVID-19:
 Klorokuin fosfat 2x500 mg perhari (hari ke 1-3) dilanjutkan 2x250 mg
(hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 1x400 mg (5 hari)
 Azitromisisn 1x500 mg (3 hari)
 Antivirus: Oseltamivir 2x75 mg atau Favipiravir (Avigan) loading dose
2x1600 mg hari ke-1 dan selanjutnya 2x600 mg (hari ke 2-5)
 Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama perawatan
o Diberikan obat suportif lainnya
o Pengobatan komorbid yang ada
o Monitor yang ketat agar tidak jatuh ke gagal napas yang memerlukan
ventilator mekanik
 Pasien Belum/Tidak Terkonfirmasi COVID-19:
- Tanpa Gejala:
o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
o Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
o Vitamin C 3x1 tablet
- Gejala Ringan:
o Pemeriksaan Hematologi lengkap di FKTP, contohnya Puskesmas
 Pemeriksaan yang disarankan terdiri dari hematologi rutin, hitung jenis
leukosit, dan laju endap darah
o Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
o Vitamin C 3x1 tablet, serta obat-obat simtomatis
- Gejala Sedang-Berat:
o Pemeriksaan Hematologi lengkap di FKTP, contohnya Puskesmas
o Pemeriksaan foto toraks
o Rujuk ke Rumah Sakit Rujukan
o Pikirkan kemungkinan diagnosis lain

30
 Tatalaksana COVID-19 dengan komorbid hipertensi:8
Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti apakah hipertensi merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya COVID-19. Secara patogenesis SARS-Cov-2 akan
berikatan dengan ACE2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel, oleh karena itu
dipertanyakan apakah ACE inhibitor dan ARB sebagai obat untuk mengontrol tekanan
darah dapat memberikan manfaat atau kerugian pada pasien COVID-19 dengan
hipertensi. ACE inhibitor dan ARB bekerja dengan meningkatkan ACE2, sehingga
secara teoritis dengan penggunaan kedua golongan obat tersebut dapat meningkatkan
ikatan SARS-CoV-2 ke paru-paru. Namun pada studi eksperimental menunjukkan
bahwa ACE2 memiliki efek proteksi dari kerusakan paru. ACE2 membentuk
angiotensin 1-7 dari angiotensin II, sehingga dapat mengurangi efek inflamasi dari
angiotensin II dan meningkatkan potensi efek antiinflamasi dari angiotensin 1-7. Hal ini
mungkin dapat berkontribusi dalam mengurangi inflamasi secara sistemik terutama di
paru, jantung, ginjal dan dapat menghilangkan kemungkinan perburukan menjadi
ARDS, miokarditis, atau AKI. Peningkatan ACE2 terlarut dalam sirkulasi mungkin
dapat mengikat SARS-CoV-2 di sirkulasi sehingga mengurangi potensi ikatan ke ACE2
di jaringan.

31
3.2. Gangguan Panik
3.2.1. Definisi
Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang
ditandai oleh serangan panik parah yang berulang dan tak terduga. Frekuensi
serangannya bervariasi mulai dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga
beberapa serangan dalam sehari. Serangan panik dapat terjadi pada gangguan cemas
yang lain, namun hanya pada gangguan panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat
faktor presipitasi yang jelas. Serangan panik terjadi mendadak tanpa disebabkan oleh
obat (seperti kafein) atau kondisi medis (seperti tekanan darah tinggi), dan selama
serangan penderita mungkin mengalami sensasi seperti detak jantung meningkat atau
tidak teratur, sesak napas, pusing, atau takut kehilangan kontrol atau “gila”.6

3.2.2. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk
gangguan panik adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik adalah 3-5.6
%. Sebagai contoh, satu penelitian terakhir pada lebih dari 1.600 orang dewasa
yang dipilih secara acak di Texas menemukan bahwa angka prevalensi seumur
hidup adalah 3,8% untuk gangguan panik, 5,6 % untuk serangan panik, dan
2,2 % untuk serangan panik dengan gejala yang terbatas yang tidak memenuhi
kriteria diagnostik lengkap.11,12
Gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada pada usia produktif
yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita gangguan panik lebih umum ditemukan
pada wanita, terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-partum, namun
jarang pada wanita hamil.6

3.2.3. Etiologi dan Patogenesis


 Faktor Biologis

32
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan
berbagai temuan, salah satunya adalah bahwa gejala gangguan panik dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi
otak. Sehingga telah menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem
saraf perifer dan pusat dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonomik
pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang
berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang. Sistem
neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-
aminobutyric acid (GABA).11-13

 Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas, dimana angka
prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik.
Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik
sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan
gangguan panik dibandingkan dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian
juga pada kembar monozigot.11-13

 Faktor Psikososial
Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon
yang dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses
pembiasan klasik. Sedangkan teori psikoanalitik memandang serangan panik
sebagai akibat dari pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang
menyebabkan kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal
kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap
dengan gejala somatik.11-13
Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panik kemungkinan
melibatkan alam bawah sadar dari peristiwa yang menegangkan dan bahwa
patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor neurofisiologis
yang dipicu oleh reaksi psikologis.11-13

33
3.2.4. Gambaran Klinis
Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda akan terjadi
serangan panik, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan
kegembiraan, kelelahan fisik, aktivitas seksual atau trauma emosional. Serangan
sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10
menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat, suatu perasaan ancaman
kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber
ketakutannya. Pasien mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan
dalam memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak
nafas dan berkeringat. Pasien seringkali mencoba untuk mencari bantuan.
Serangan biasanya berlangsung 20-30 menit dan jarang lebih dari 1 jam.12
Gangguan panik dapat disertai dengan gejala penyerta, seperti gejala depresi
yang seringkali ditemukan dan agorafobia.  Penelitian telah menemukan bahwa
resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan gangguan panik adalah lebih
tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental. 12
Disamping agorafobia, fobia lain dan gangguan obsesi kompulsif dapat terjadi
bersama dengan gangguan panik. Akibat psikologis dari gangguan panik dan
agoraphobia, selain pertengkaran pada perkawinan, dapat berupa waktu
terbuang ditempat kerja, kesulitan finansial yang berhubungan dengan hilangnya
pekerjaan dan penyalahgunaan alkohol dan zat lain.12

3.2.5. Diagnosis
Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus dibuktikan
dengan adanya serangan panik yang berkaitan dengan kecemasan persisten
berdurasi lebih dari 1 bulan terhadap: (1) serangan panik baru, (2) konsekuensi
serangan, atau (3) terjadi perubahan perilaku yang signifikan berhubungan
dengan serangan. Selain itu untuk mendiagnosis serangan panik, kita harus
menemukan minimal 4 dari 13 gejala berikut:12
 Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
 Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila

34
 Takut mati
 Leher serasa dicekik
 Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
 Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
 Merasa sesak, bernapas pendek
 Mual atau distress abdominal
 Gemetaran
 Berkeringat
 Rasa panas dikulit, menggigil
 Mati rasa, kesemutan
 Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)
Selama serangan panik, pasien senantiasa berkeinginan untuk kabur dan
merasa ajalnya hampir menjelang akibat perasaan terkecekik dan berdebar-
debar. Gejala lain yang dapat timbul pada serangan panik adalah sakit kepala,
tangan terasa dingin, timbulnya pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan
merenung.12
Menurut PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik.14
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat dalam masa kira-kira satu bulan:14
1. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situation)
3. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode
diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat
terjadi juga “anxietas antipsikotik” yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.

3.2.6. Diagnosis Banding

35
Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan
buatan, hiponkondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia social dan spesifik, gangguan
stress pascatraumatik, gangguan depresif, dan skizofrenia.12
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah sejumlah
gangguan medis dan juga gangguan mental.12 Pada pasien ini dapat di diagnosis banding
dengan yang fobia khas (terisolasi), dimana untuk menegakkan diagnosis tersebut harus
memenuhi semua kriteria dibawah ini:14
 Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain,
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif.
 Anxietas harus terbatas pada objek atau situasi fobik tertentu (highly specific
situations).
 Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini, umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya
agorafobia dan fobia sosial.14 Diagnosis banding organik untuk gangguan panik dDapat
dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 2. Diagnosis Banding Organik untuk Gangguan Panik.12


Etiologi Contoh
Penyakit kardiovaskuler Anemia, angina, gagal jantung kongesif,
keadaan adrenergik beta hiperaktif,
hiertensi, prolapsus katup mitral, infark

36
miokardium, takikardi atrium paradoksal.
Penyakit pulmonal Asma, hiperventilasi, embolus paru-paru
Penakit neuroloigs Penyakit serebrovaskuler, epilepsy, penyakit
Huntington, infeksi, penyakit meniere,
sklerosis multiple, serangan iskemik
transien, tumor, penyakit Wilson.
Penyakit endokrin Penyakit Addison, sindrom karsinoid,
sindrom chusing, diabetes, hipertiroidisme,
hipoglikemia, hipopaatiroidismer, ganguan
menopause, feokromasitoma, sindrom
prementruasi
Intoksikasi obat Amfetamin, amyl ntrite, antikolinergik,
kokain
Halusinogen Marijuana, nikotin, theophyline.
Putus obat Alcohol, antihipertensi, opiate dan opioid,
sedative-ipnotik,

Kondisi lain Anafilaksis, defisiensi B12, gangguan


elektrolit, keracunan logam berat, infeksi
sistemik, Lupus, eritemtous sistemik,
arteritis temporalis, uremia.

Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan buatan,
hiponkondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia social dan spesifik, gangguan stress
pascatraumatik, gangguan depresif, dan skizofrenia.12

3.2.7. Tatalaksana Gangguan Panik


3.2.7.1. Psikoterapi

37
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
CBT dengan atau tanpa farmakoterapi merupakan terapi pilihan untuk
gangguan panik dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT memiliki
efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih
murah. Selain itu tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah dibandingkan
dengan terapi farmakologi. Namun, hasil yang lebih superior dapat dihasilkan
dari kombinasi CBT dan famakoterapi.15,16
Inti terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja
pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon
emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik. Terdapat beberapa
metode CBT, diantaranya metode restrukturisasi, terapi relaksasi dan bernapas,
serta terapi interoceptive.15,16
Melalui metode restrukturisasi, pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya
dengan cara mengganti semua pikiran negatif yang dapat mengakibatkan
perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan
pemikiran positif.15
Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien
mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocapnia ketika serangan panik
terjadi. Semua jenis CBT seperti diatas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa
melibatkan dokter.15
Namun pada interoceptive therapy, setiap pasien akan diberikan paparan yang
dapat menstimulus serangan panik dengan cara meningkatkannya sedikit demi
sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut, sehingga
terapi ini harus dilakukan dengan bantuan dokter dan dalam lingkungan yang
terkontrol. Latihan seperti ini berlangsung selama satu menit. Interoceptive
theraphy terbukti berhasil pada 87%. Beberapa teknik yang dapat dilakukan
untuk mendesensitasi gangguan panik yaitu:16
 Hiperventilasi disengaja – mengakibatkan kepala pusing, derealisasi, dan
pandangan menjadi kabur.
 Melakukan putaran pada kursi ergonomis – mengakibatkan rasa pusing dan
disorientasi.

38
 Bernapas melalui pipet – mengakibatkan sesak napas dan konstriksi saluran
napas.
 Menahan napas – menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang ajal.
 Menegangkan badan – menciptakan perasaan tegang dan waspada.
Semua tindakan diatas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit. Kunci dari
teknik diatas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai serangan
panik. Latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien tidak lagi
merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh waktu hingga
beberapa minggu untuk dapat mencapai tersebut.15
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar
melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak
napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti.
Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus
dan amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai
hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut
berkurang.15

3.2.7.2. Farmakoterapi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan
panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor).
Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial
dalam terapi gangguan panik.13 Algoritme tatalaksana gangguan panik dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Algoritme Penatalaksanaan Gangguan Panik.13
What are the first-line treatments? SSRIs and the SNRI venlafaxine
Cognitive-behavorial therapy
When should treatment be After 4-6 weeks
stopped because the lack of
efficacy?
What if partial response occurs Treat another 4-6 weeks with increased dose before changing
after 4-6 weeks? the treatment strategy
What are the treatment options for - Switching from one SSRI to another

39
treatment-resistant cases? - Switching from venlafixine to an SSRI or vice verca
- Switching to tricyclic antidepressants
- Switching to benzodiazepines, reboxetine,
phenelzine, or moclobeminde.
- Switching to drugs that have been effective in
preliminary open studies or case reports: mirtazapine,
valproate, inositol, ondansetron, gabapentin,
tiagabine, vigabatrin
- Switching to drugs that were effective in other
anxiety disorders in double-blind, placebo-controlled
studies: duloxetine, quetiapine, buspirone.
Can antipanic drugs be Usually, monotherapy is the better option. Combinations of
combined? drug may be used in treatment-resistant cases. These
combination are supported by studies:
- Benzodiazepines may be used in combination in the
first weeks, before onset of efficacy of the
antidepressants.
- Augmentation of fluoxetine with pindodol
- Augmentation of clomipramine with lithium
- Augmentation with olanzapine

Golongan SSRI (Serotonin-Selective Reuptake Inhibitors)


SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan cara
menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik, sehingga ada
lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-
sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter
monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI
memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek
sampingnya lebih sedikit.15-16
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain obat
rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi tertentu dan

40
memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara
luas dihampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik.15-16
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu dan dosisnya dapat ditingkatkan
secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Penggunaan SSRI dan follow up
keberhasilan sebaiknya dimulai dalam rentang 2 minggu sejak serangan panik
terjadi, karena dapat memicu serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena
itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan.12
Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini memiliki efektifitas yang baik dalam
menangani gangguan panik. Salah satunya, Fluoxetine dalam tablet salut memiliki masa
paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh
minum obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl
yang dapat terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.12
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh mulai
mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul pada fase
akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai
mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara
lain anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apatis, retensi urin, perubahan pada
perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah
keinginan bunuh diri dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.16
Contoh obat golongan SSRI:12
 Fluoxetine
SFluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan efek
minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine atau dopamine.
 Paroxetine
Merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya merupakan
inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki efek yang lemah
terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
 Sertraline
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada
reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.

41
 Fluvoxamine
Merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake serotonin neuronal
serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor
kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.
 Citalopram
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake
serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih sedikit.
 Escitalopram
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip dengan
citalopram.

Golongan Tricyclic / Trisiklik


Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau
panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik
tidak menyebabkan ketergantungan karena dosisnya cukup 1x/hari, sehingga
dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan
ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga sekitar
35% pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek
terapinya belum tercapai.12 Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang
tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan
antidepresan lain yang terbaru.16
Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari
amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik
membutuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.12
Mekanisme kerja trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (Serotonin-Norepinephrine
Reuptake Inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan norepinephrine,
sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam
proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter dopamin
sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat
berkurang.16

42
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga bereaksi
sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and ),
5-HT2C 5-HT6, 5-HT7, α1-adrenergic,
and NMDA receptors, dan sebagai agonis pada sigma receptor (σ1 and σ2), yang
memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal
sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan reseptor
histamine dan asetilkolin muskarinik.16
Trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehingga dapat
bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan kalsium channel blocker.
Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.15

Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang berkaitan
dengan antimuskariniknya. Beberapa diantaranya adalah mulut kering, hidung kering,
pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan peningkatan
temperatur tubuh. Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung,
sulit tidur, akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang
rhabdomiolisis.15
Contoh obat Trisiklik:12
 Imipramine
Dapat menghambat reuptake norepinephrine dan serotonin pada neuron presinaptik.
 Desipramine
Dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah sinaptik SSP dengan
cara menghambat reuptakenya di membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek
desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta-adrenergik, dan
regulasi reseptor serotonin.
 Clomipramine
Bekerja langsung pada uptake serotonin, sedangkan pada efeknya, terjadi uptake
norepinephrine ketika obat diubah menjadi metabolitnya, desmethylclomipramine.

MAO (Monoamine Oxidase) Inhibitor


MAOIs merupakan salah satu jenis antidepresi yang dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini digunakan untuk

43
mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah resisten terhadap golongan
trisiklik.15
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai agoraphobia.
Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan penyakit parkinson
karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala
dan gejala parkinson.15
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan efek
antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik, serta laporan
anekdotal menyatakan bahwa pasien yang tidak berespon terhadap trisiklik
kemungkinan berespon terhadap MAOI.15
MAOI bekerja dengan menghambat aktivitas monoamine oxidase, sehingga dapat
mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters dan meningkatkan avaibilitasnya.
Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan
deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and norepinephrine. Sedangkan MAO-B
mendeaminasi phenylethylamine and trace amines. Dopamine dideaminasi oleh
keduanya.15
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine. Sehingga
ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis
hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal ini dapat
menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan hingga
menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.15
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis hipertensi
pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin menggantikan
norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh
tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat
menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi
katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.15
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang
difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan.
Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.15
Contoh obat MAOI:12

44
 Phenelzine
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam
mengatasi gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon
terhadap obat golongan trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
 Tranylcypromine
Obat ini efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara ireversibel pada
MAO, sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan meningkatkan avaibilitas
sinaptik.

Golongan Benzodiazepin
Pemakaian benzodizepin untuk gangguan panik terbatas, karena permasalahan
ketergantungan, gangguan kognitif dan penyalahgunaan. Tetapi benzodiazepin efektif
dalam gangguan panik dan memiliki onset yang lebih cepat (onset mencapai 1-2
minggu, mencapai puncak setelah 4-8 minggu) dibandingkan farmakoterapi lainnya).15
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA
(gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat
menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan dapat
mengakibatkan amnesia.16
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni short acting, intermediate acting, dan long acting.
Benzodiazepin short dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi insomnia,
sedangkan golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik.16
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya berkaitan
dengan efek sedasi dan relaksan otot. Beberapa diantaranya adalah mengantuk, pusing,
dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa
mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari
benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada
tingginya angka kecelakaan. Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan
pusat pernapasan terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain

45
yang dapat timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan
selera makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk.
Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.16
Contoh obat Benzodiazepin:12
 Lorazepam
Merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki onset singkat dan paruh waktunya
tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor
utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan
formasi retikuler.
 Clonazepam
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya. Selain
itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.
 Alprazolam
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik. Obat ini
dapat terikat pada beberapa reseptor bagian otak, termasuk sistem limbik dan RES.
Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam
waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.
 Diazepam
Diazepam merupakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah.
Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.

Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist


Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun diketahui obat ini dapat
mengatasi gangguan panik dengan cara kerja yang berbeda dari MAOI, serta tidak
seperti obat jenis amphetamine, obat ini tidak menstimulasi CNS.15
Salah satu contoh obat ini adalah Trazodone, yang sangat berguna dalam terapi
gangguan panik yang disertai agorafobia. Pada hewan, obat ini secara selektif mampu
menghambat uptake serotonin melalui sinaptosom otak dan mepotensiasi perubahan
perilaku melalui induksi prekursor serotonin, 5-hidroksitriptofan.12

Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors

46
Merupakan golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah mencegah
reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi kepanikan.15
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat ini. Selain itu cara kerja obat ini
adalah menurunkan regulasi reseptor beta.12

Tabel 4. Nama Generik, Golongan, Sediaan, dan Dosis Anjuran Anti Panik.11
No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis Anjuran
1. Imipramine Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
Trisiklik
2. Clomipramine Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
3. Alprazolam Benzodiazepin Tab. 0,25-0,5-1 mg 3x 0,25-0,5 mg/hari
Peroral 10-30
mg/hari, 2-3x/hari;
4. Diazepam Tab. 25 mg Parental IV/IM 2-
10 mg/kali, setiap
3-4 jam
5. Klordiazepoksoid Tab. 5 mg 15-30 mg/hari

47
Caps. 5 mg 2-3 x/hari
6. Lorazepam Tab. 0,5-2 mg 2-3x 1 mg/hari
7. Clobazam Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
8. Brumazepin Tab. 1,5-3-6 mg 3x 1,5 mg/hari
9. Oksazolom Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
10
Klorazepat Caps. 5-10 mg 2-3x 5 mg/hari
.
11
Prazepam Tab. 5 mg 2-3x 5 mg/hari
.
12 RIMA (Reversible Inhibitor
Moclobemide Tab. 150 mg 300-600 mg/hari
. of Monoamine Oxydase-A)
13 SSRI (Selective Serotonine
Sertraline Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
. Reuptake Inhibitor)
14
Fluoxetine Caps. 10-20 mg 20-40 mg/hari
.
15
Parocetine Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
.
16
Fluvoxamine Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
.
17
Citalopram Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
.
18
Buspiron Obat lain Tab. 10 mg 15-30 mg/hari
.

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan laporan kasus diatas, pasien laki-laki atas nama Tn. R usia 45 tahun
dapat diagnosa dengan confirmed covid-19 dan gangguan panik. Untuk diagnosa
confirmed covid-19, didasari dengan hasil swab yang positif pada tanggal 19 Mei 2020
di PKM Tambora. Sedangkan untuk gangguan panik, dapat didasari berdasarkan
keluhan pasien yang menyatakan mengaku merasa berdebar, keringat dingin, menggigil,
mual, dan perut terasa tidak enak saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan. Selain itu

48
pasien mengaku sempat mengkonsumsi myilanta sebelum datang ke PKM Tambora
untuk mengurangi rasa tidak enak di perutnya, namun tidak membaik. Pasien merasa
keluhan membaik jika, saat datang , tenaga kesehatan mengajak ngobrol dirinya terlebih
dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan dan saat tidak bertemu tenaga kesehatan.
Keluhan seperti ini sudah dialami pasien sejak kecil.
Selain itu ditemukan pemeriksaan yang mendukung seperti tekanan darah 147/92
mmHg dan frekuensi nadi 126 kali/menit, serta ditemukan sinus takikardi pada EKG.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah memberikan regimen terapi
covid-19 selama 5 hari, concor 5 mg untuk membantu mengontrol tekanan darah
pasien, omeprazole 20 mg untuk mengatasi rasa mual pasien, serta sertraline 50 mg
untuk membantu pasien mengatasi gangguan paniknya. Selain farmakoterapi, pada
pasien juga direncanakan EKG 4 jam setelah regimen terapi covid-19 masuk, EKG
serial per 3 hari, rencana swab setelah regimen covid selesai, diit rendah garam,
serta mendaftarkan pasien dengan tim psikologi.
Untuk rencana pemulangan pasien, dibutuhkan hasil swab 2 kali negatif. Pada
pasien kedua swab tersebut dilakukan pada tanggal 31 Mei 2020 dan 4 Juni 2020,
dan didapatkan hasil yang negative, sehingga pasien dapat diberikan surat kesehatan
swab negatif dan dipulangkan, namun pasien tetap disarankan untuk melakukan
isolasi mandiri selama 14 hari. Untuk gangguan panik pada pasien disarankan pasien
melakukan pemeriksaan ke psikiater atau melakukan terapi dengan tim psikologi.
Pelajaran yang dapat diambil dari laporan kasus diatas adalah selain dari
penyakit fisik yang dialami oleh pasien, perlu juga diperhatikan psikologi pasien,
sehingga pengobatan dapat bersifat secara holistik. Salah satu caranya adalah dengan
melakukan anamnesis yang lebih mendalam.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus
disease (COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020; published online March 3.
DOI: 10.1016/j.jaut.2020.102433.
2. Ren LL, Wang YM, Wu ZQ, Xiang ZC, Guo L, Xu T, et al. Identification of a
novel coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study. Chin

49
Med J. 2020; published online February 11. DOI:
10.1097/CM9.0000000000000722.
3. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients
infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020; 395(10223):
497-506.
4. WHO. Novel Coronavirus (2019-nCoV) situation report-1. Januari 21, 2020.
5. Bhatia MS, Goyal S, Singh A, Daral A. COVID-19 pandemic-induced panic
disorder. Prim Care Companion CNS Disord. 2020; 22(3):20l02626.
6. McLean PD, Woody SR. Panic disorder and agoraphobia. In: Anxiety Disorders
in Adults. Vancouver: Oxford University Press; 2001. Cp.5.
7. Isbaniah F, Kusumowardhani D, Sitompul PA, Susilo A, Wihastuti R, Setyawaty V,
et al. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19).
Kemenkes; Jakarta: 2020. H. 13-4.
8. Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo CW, Susilo A, et al.
Protokol Tatalaksana COVID-19. PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI;
Jakarta: 2020.
9. Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD, Aditama TY, Soedarsono, Sartono TR, et al.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia COVID-19. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; Jakarta: 2020. H.20-3.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tatalakasana Pasien COVID-19. PDPI;
Jakarta: 2020.
11. Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. FKUI; Jakarta: 2013. H. 258-63.
12. Sadock J Bejamin, Sadock A Virginia. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi kedua.
ECG; Jakarta: 2010. H. 230-3.

50
13. Stein DJ, Hollander E, et al. Textbook of anxiety disorders. American Psychiatric
Publishing. 2009. P. 399-435.
14. Departeman Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III. Cetakan pertama. H. 177-9.
15. Lydiard RB, Johnson RH. Assessment and management of treatment-resistance in
panic disorder. Focus psychiatry guideline. June 1, 2011. Vol IX; No. 3.
16. Stein MB. Practice guideline for the treatment of patients with panic disorder.
Second Edition. American Psychiatric Association guideline. 2009.

Daftar Pustaka baru


1. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients infected
with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet (London, England) 2020;395:497–506.
doi: 10.1016/S0140-6736(20)30183-5. [PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google
Scholar]
2. Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y, et al. Epidemiological and clinical
characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive
study. Lancet. 2020;395:507–513. doi: 10.1016/S0140-6736(20)30211-7. [PMC free
article] [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
3. Wang D, Hu B, Hu C, Zhu F, Liu X, Zhang J et al (2020) Clinical characteristics of 138
hospitalized patients with 2019 novel coronavirus-infected pneumonia in Wuhan, China.
JAMA. 10.1001/jama.2020.1585
4. Omari AA, Rabaan AA, Salih S, Al-Tawfiq JA, Memish ZA. MERS coronavirus outbreak:
implications for emerging viral infections. Diagn Microbiol Infect Dis. 2019;93:265–285. doi:
10.1016/j.diagmicrobio.2018.10.011
5.  Xu XW, Wu XX, Jiang XG, Xu KJ, Ying LJ, Ma CL, et al. Clinical findings in a group of
patients infected with the 2019 novel coronavirus (SARS-Cov-2) outside of Wuhan, China:
retrospective case series. BMJ (Clin Res Ed) 2020;368
6. Duan L, Zhu G.. Psychological interventions for people affected by the COVID-19
epidemic. Lancet Psychiatry 2020; 7:300–2

51

Anda mungkin juga menyukai