Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya.

Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk
didalamnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim dan petugas Pemasyarakatan. Selain
narkoba, sebutan lain yang menunjuk pada ketiga zat tersebut adalah Napza yaitu Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif. Istilah napza biasanya lebih banyak dipakai oleh para praktisi
kesehatan dan rehabilitasi. Akan tetapi pada intinya pemaknaan dari kedua istilah tersebut tetap
merujuk pada tiga jenis zat yang sama.
Menurut UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika
adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Bahan adiktif lainnya adalah zat atau
bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Sekitar 4,2% penduduk usia 15-64 tahun pengguna narkoba, 88% laki-laki dan 12%
perempuan. Data BNN dan UI, sebanyak 1,5% (3,2 juta) dari 200 juta penduduk indonesia
menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba pada tahun 2005 Sekitar 30 hingga 40 orang meninggal
setiap hari akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia, dari perkiraan pengguna narkoba sekitar
3,2 juta jiwa.

BAB II
1

PEMBAHASAN

2.1

Definisi
Withdrawal syndrome, atau dikenal juga dengan discontinuation syndrome, dapat terjadi

pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau mengurangi
penggunaan obat pilihan mereka. Proses menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh dikenal
sebagai detoksifikasi. Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah
hanya beberapa dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang mungkin
terjadi selama detoksifikasi. Withdrawal syndrome terutama berfokus pada withdrawal dari
etanol, sedative-hipnotik, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB).(1)

2.2

Tanda dan Gejala Klinis Berdasarkan Klasifikasi


Sindroma withdrawal sangat terkait erat dengan penggunaan alkohol, narkoba, serta obat-

obatan lainnya, sehingga manifestasi klinis yang ditampilkan juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan kaitannya dengan penggunakan obat-obatan tadi.
a. Alcohol withdrawal
Biasanya pasien telah menyalahgunakan alcohol setiap hari selama 3 bulan, atau
dapat pula telah mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar yang biasanya dalam waktu 1
minggu (seperti pada pesta minuman keras). Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 612 jam setelah individu berhenti atau mengurangi konsumsi alkohol, namun akan segera
menghilang jika mengkonsumsi alkohol kembali.
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor (DT).
Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan tanda dapat tumpang
tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan didefinisikan dulu mulai dari yang ringan
sampai yang berat.(4)
1. Penarikan atau penolakan ringan terjadi dalam waktu 24 jam setelah penghentian
konsumsi alkohol dan ditandai dengan tremor, insomnia, kecemasan,
2

hiperrefleksia,

diaphoresis,

hiperaktif

otonom

ringan,

serta

gangguan

gastrointestinal.
2. Penarikan atau penolakan sedang terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan kecemasan intens, tremor,
insomnia, dan gejala peningkatan adrenergic.
3. Penarikan atau penolakan berat terjadi dalam waktu lebih dari 48 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan perubahan sensorium yang
mendalam seperti disorientasi, agitasi, dan halusinasi, serta bersamaan dengan
hiperaktifitas otonom yang berat seperti tremor, takikardi, takipnea, hipertermia,
dan diaphoresis.
Pada 25 % pasien dengan riwayat penggunaan alcohol dalam jangka panjang timbul
manifestasi klinis berupa alkoholik halusinosis. Ini dapat terjadi 24 jam setelah penghentian
konsumsi alcohol dan akan berlanjut selama sekitar 24 jam. Gejala biasanya berupa
persekutori, auditori, atau yang paling sering adalah halusinasi visual dan taktil, namun
sensorium pasien kadang tidak begitu tampak. Namun pada tahap lanjut, halusinasi akan
dianggap nyata dan dapat menimbulkan rasa takut yang ekstrim serta timbul kecemasan.
Pasien akan merasa dapat melihat objek yang imajiner, seperti pakaian ataupun lembaranlembaran. Dan pada halusinosis ini tidak selalu diikuti oleh DT.
Pada 23-33 % pasien juga dilaporkan dapat mengalami kejang, yang biasanya
berlangsung singkat, berupa kejang umum, tonik-klonik, dan tanpa aura. Dan pada sekitar
30-50% pasein, kejang ini dapat berkembang menjadi DT. Puncak kejadian ini biasanya
setelah 24 jam setelah konsumsi alcohol terbaru, dan sekitar 3 % dari pasien yang
bermanifestasi kejang ini dapat mengalami status epileptikus. Kejang ini biasanya dapat
berhenti secara spontan atau dapat dikontrol dengan pemberian benzodiazepine.
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi setelah 4872 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa disorientasi, agitasi, dan
halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis, takikardia, takipnea, dan hipertermia.
DT ini dapat muncul meski tidak didahului oleh kejang.
Penghentian efek alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan
mengkonsumsi alkohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk memperoleh
minuman alkohol, biasanya pasien juga dapat mengkonsumsi zat lain yang juga mengandung
3

alkohol, seperti isopropyl alkohol, sirup batuk, pembersih tangan, obat kumur, methanol, dan
juga etilena glikol.(2)

b. Sedative-hypnotic withdrawal syndrome


Withdrawal syndrome yang ditimbulkan akibat konsumsi benzodiazepine, bariturat,
dan obat penenang lain atau hipnotik dalam jangka panjang. Ditandai dengan pronounced
psikomotor dan disfungsi otonom. Gejala biasanya muncul 2-10 hari setelah penghentian
secara mendadak dari obat-obat penenang yang digunakan, serta akan bergantung pula dari
masing-masing waktu paruh obat-obatan tersebut.
c. GHB withdrawal syndrome
GHB dan prekursornya (gamma-butyrolactone, 1,4-butanadiol) dilaporkan dapat
menimbulkan induksi toleransi dan ketergantungan. Gejalanya mirip dengan withdrawal
syndrome pada sedative-hipnotik, ditandai dengan ketidakstabilan otonom ringan dan
singkat, dengan gejala psikotik yang berkepanjangan.

d. Opioid withdrawal
Opioid tidak secara langsung menyebabkan gejala yang mengancam jiwa, kejang,
maupun delirium. Gejala yang ditampilkan justru dapat menyerupai penyakit seperti flu
berat, yang ditandai dengan rhinorrhea, bersin, lakrimasi, menguap, kram perut, kram kaki,
piloereksi atau merinding, mual, muntah, diare, dan pupil melebar. Serta perubahan status
mental, disorientasi, halusinasi, dan kejang yang merupakan karakteristik DT, tidak tampak
pada Opioid withdrawal ini.
Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini dapat menentukan onset dan durasi gejala
yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala penarikan pada penggunaan heroin dan metadon
akan memuncak pada 36-72 jam dan 72-96 jam, masing-masing, dan dapat berlangsung
selama 7-10 hari dan setidaknya masing-masing 14 hari.

e. Stimulant (cocaine and amphetamine) withdrawal, atau wash-out syndrome


Sindrom ini menyerupai gangguan depresi berat, tampak disforia, tidur berlebihan,
kelaparan, dan keterbelakangan psikomotor yang parah, sedangkan fungsi vitalnya terjaga
dengan baik. Gejala ini dapat berlangsung hingga 2 hari, meskipun pada yang ringan dapat
bertahan hingga 2 minggu.(2)

2.3

Patofisiologi
Tubuh, ketika terpapar oleh bermacam-macam tipe zat akan mencoba untuk

mempertahankan homeostasisnya. Ketika terpapar, tubuh memproduksi mekanisme counterregulatory dan proses tersebut mencoba untuk mempertahankan tubuh dalam keadaan seimbang.
Saat zat tersebut telah dihilangkan, sisa dari mekanisme counter-regulatory akan menghasilkan
efek yang hebat dan juga withdrawal symptoms.
Toleransi terjadi ketika penggunaan suatu zat yang berkepanjangan menghasilkan suatu
perubahan yang disesuaikan sehingga hal tersebut meningkatkan jumlah zat yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu efek. Toleransi bergantung pada dosis, durasi, dan frekuensi
penggunaan dan hal ini merupakan hasil dari adaptasi farmakokinetik (metabolic) dan
farmakodinamik (seluler atau fungsional).
Mekanisme dari intoksikasi dan penghentian penggunaan ethanol adalah sesuatu hal yang
kompleks. Kebanyakan dari efek klinis dapat dijelaskan oleh interaksi dari ethanol dengan
berbagai macam neurotransmitter dan neuroreceptor di otak, termasuk interaksi dengan gammaaminobutyric acid (GABA), glutamate (NMDA), dan opiates. Menghasilkan perubahan pada
neurotransmitter inhibisi dan eksitatori sehingga mengganggu keseimbangan neurochemical di
otak sehingga dapat menyebabkan gejala dari putus obat. Ethanol berikatan dengan reseptor
postsynaptic GABAA (neuron inhibisi). Aktivasi dari reseptor ini meningkatkan efek dari GABA
tersebut. Sebagai responnya, terbukanya kanal ion klorida, sehingga menyebabkan influx dari ion
klorida. Hiperpolarisasi dari sel tersebut, akan menurunkan dari firing rate dari berbagai neuron,
yang pada akhirnya mengakibatkan sedasi. Penggunaan jangka panjang dari ethanol setelah itu
5

menghasilkan

downregulation

dari

reseptor

GABAA.

Dengan

adanya

supresi

yang

berkepanjangan dari neurotransmitter eksitatori, otak meningkatkan dari sintesis neurotransmitter


eksitatori, seperti norepinephrine, serotonin, dan dopamine, sehingga menyebabkan gejala putus
obat.
Ethanol menghambat neuron eksitatori dengan cara menurunkan dari aktifitas reseptor NMethyl-D-aspartate (NMDA, glutamate subtype). Penggunaan jangka panjang menghasilkan
upregulation dari reseptor NMDA, sebuah adaptasi yang menyebabkan terjadinya toleransi.
Peningkatan dari neuroeksitatori yang tak dapat dikontrol berkontribusi dalam terjadinya
serangan withdrawal dan gejala lain ketika intake alkohol diturunkan atau dihentikan.
Pada penggunaan jangka pendek, ethanol menghambat dari penempelan opioid pada
resptor p-opioid, dan pada penggunaan jangka panjang menghasilkan upregulation dari reseptor
opioid. Reseptor opioid di nucleus accumbens dan pada area tegmental anterior dari otak
memodulasi pelepasan ethanol-induced dopamine, yang mana menghasilkan kecanduan alkohol
dan dapat menjelaskan bahwa penggunaan antagonis opioid dapat menjaga dari ketergantungan
tersebut.
Pada ketergantungan opioid atau benzodiazepine, stimulasi kronik dari reseptor spesifik
untuk obat ini menekan dari produksi endogen neurotransmitter (masing-masing endorphins atau
GABA). Penghentian obat yang dikonsumsi dari luar memberikan efek counter-regulatory yang
hebat untuk menjadi gejala klinis yang nyata. Ketika obat luar dihentikan secara mendadak,
produksi yang tidak adekuat dari transmitter endogen dan stimulasi hebat dari counter-regulatory
transmitter menghasilkan karakteristik gambaran klinis dari withdrawal. Sifat dasar dari counterregulatory transmitter yang berlebih menghasilkan karakteristik withdrawal. Waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan homeostasis dengan sintesis dari transmitter endogen
menentukan waktu yang dibutuhkan untuk withdrawal.(2)

2.4 Diagnosis
Gambaran umum dari keadaan putus zat (withdrawal state) adalah berupa gangguan
psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk gejala fisik bervariasi
sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah pasien ini akan melaporkan bahwa gejala
6

putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat. Keadaan putus zat ini merupakan
salah satu indikator dari sindrom ketergantungan sehingga diagnosis ketergantungan zat harus
turut dipertimbangkan
Berikut adalah kriteria diagnostik beberapa jenis withdrawal syndrome :

Kriteria Diagnostik Alcohol Withdrawal Syndrome :


A. Penghentian atau pengurangan penggunaan alkohol yang telah berat dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari setelah
kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.

Kriteria Diagnostik Amphetamine Withdrawal Syndrome :


A. Penghentian atau pengurangan penggunaan amphetamine (atau substansi sejenis) yang
telah berat dan berkepanjangan.
B. Mood dysphoric dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut ini beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A :
1) Fatigue
2) Mimpi buruk
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Nafsu makan meningkat
5) Retardasi psikomotor atau agitasi
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.

Kriteria Diagnostik Cocaine Withdrawal Syndrome :


A. Menggunakan cocaine terakhir.
B. Perilaku maladaptif yang signifikan secara klinis atau perubahan psikologis (seperti euforia
atau penumpulan afektif, perubahan dalam sosialisasi, hipervigilance, sensitifitas
interpersonal, anxietas, tegang atau marah, perilaku stereotip, gangguan penilaian, atau
7

ganguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang terjadi ketika atau sesaat setelah penggunaan
cocaine.
C. Dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul ketika atau sesaat setelah penggunaan
cocaine :
1) Takikardi atau bradikardi
2) Dilatasi pupil
3) Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau kedinginan
5) Nausea atau vomiting
6) Berat badan menurun
7) Agitasi psikomotor atau retardasi
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia
9) Bingung, kejang, dyskinesia, dystonia atau koma
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.

Kriteria Diagnostik Nicotine Withdrawal Syndrome :


A. Menggunakan nicotine setiap hari setidaknya dalam beberapa minggu.
B. Penghentian tiba-tiba penggunaan nicotine, atau pengurangan penggunaan nicotine diikuti
empat (atau lebih) gejala berikut ini :
1) Dysphoric atau mood depresi
2) Insomnia
3) Iritabilitas, frustasi, marah
4) Anxietas
5) Sulit berkonsentrasi
6) Gelisah
7) Penurunan denyut nadi
8) Peningkatan nafsu makan atau berat badan
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.

Kriteria Diagnostik Sedative, Hypnotic, Anxiolytic Withdrawal Syndrome :


A. Penghentian atau pengurangan penggunaan sedative, hipnostic, anxiolytic yang telah berat
dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari setelah
kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
8

5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik


6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Spesifik jika terdapat gangguan perseptual.

Kriteria Diagnostik Opioid Withdrawal Syndrome :


A. Terdapat salah satu gejala berikut ini :
1) Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid yang telah berat dan berkepanjangan
(beberapa minggu atau lebih).
2) Pemberian antagonis opioid setelah masa penggunaan opioid.
B. Terdapat tiga atau lebih gejala berikut ini beberapa menit sampai beberapa hari setelah
kriteria A :
1) Mood dysphoric
2) Nausea atau vomitting
3) Nyeri otot
4) Lakrimasi atau rinorrhea
5) Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6) Diare
7) Menguap
8) Demam
9) Insomnia
C. Gejala gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi fungsi lain yang penting.
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
(5)

2.5 Terapi
Pengatasan penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang
melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Kondisi yang perlu diatasi secara
9

farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian
munculnya gejala putus obat (sakaw). Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi
tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh,
menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya
tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat
Tabel 1. Ringkasan Tentang Terapi Intoksikasi
Kelas obat
Benzodiazepin

Alkohol, barbiturat,

Terapi obat

Komentar

Flumazenil 0,2

obat
Support

Kontraindikasi jika ada

mg/min IV, ulangi

fungsi vital

penggunaan TCA

sampai max 3 mg
Tidak ada

sedatif hipnotik
non-benzodiazepin
Opiat

Terapi non-

resiko kejang
Support
fungsi vital

Naloxone 0,4-2,0 mg

Support

Jika pasien tidak

IV setiap 3 min

fungsi vital

responsif sampai dosis 10


mg mungkin ada OD

Kokain dan
stimulan CNS lain

Lorazepam 2-4 mg

-Support

IM setiap 30 min

fungsi vital

sampai 6 jam jika

- Monitor

perlu

fungsi jantung

Haloperidol 2-5 mg

Halusinogen,

selain opiat
- digunakan jika pasien
agitasi
- digunakan jika pasien
psikotik
- komplikasi

(atau antipsikotik

kardiovaskuler diatasi

lain) setiap 30 min

scr simptomatis

sampai 6 jam
Sama dgn di atas

Support
10

marijuana

fungsi vital,
talk-down
therapy

Tabel 2. Ringkasan Tentang Terapi Untuk Mengatasi Withdrawal Syndrome


Obat
Benzodiazepin

Terapi obat
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau

(short acting)

lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis

Long acting BZD

utk 5 hari, kmd tappering


Sama, tapi tambah 5-7 hari utk

Alprazolam paling sulit dan

Opiat

tappering
Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan

butuh wkt lebih lama


- jika metadon gagal

5-10 mg sehari, atau klonidin 2 mg/kg

metadon maintanance

tid x 7 hari, taper untuk 3 hari

program

berikutnya
Barbiturat

Test toleransi pentobarbital, gunakan

Komentar

- Klonidin menyebabkan
hipotensi pantau BP

dosis pada batas atas test, turunkan


Mixed-substance
Stimulan CNS

dosis 100 mg setiap 2-3 hari


Lakukan spt pada long acting BZD
Terapi supportif saja, bisa gunakan
bromokriptin 2,5 mg jika pasien
benar-benar kecanduan, terutama pada
kokain

Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi
abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis opioida (metadon),
antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis opioida (buprenorfin). Buprenorfin adalah
salah satu semi-sintetik opioida yang telah diketemukan sejak tahun 1965 dengan melalui
berbagai penelitian telah diapproved oleh FDA pada tahun 2002 dan mendapat izin edar di
Indonesia pada akhir tahun yang sama.(3)
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida , berikatan dengan
reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga memiliki afinitas tinggi
dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k, sehingga pada keadaan tertentu buprenorfin dosis
11

tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan
gejala dan tanda yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan
akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Buprenorfin memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis antagonis yang digunakan dalam terapi
ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain indeks keamanan yang lebih besar terhadap
terjadinya depresi pernafasan, tanda otonom dari putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek
psikomimetik atau disforik yang lebih ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika
menghambat efek penggunaan heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan. (2)

2.6

Perkembangan Terapi
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya pemakaian

NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi. Banyak
penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan baru sebagai terapi penyakit ini untuk hasil
yang lebih baik. Pada salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 dilakukan
perbandingan efikasi dan tingkat keamanan pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi
withdrawal syndrome yaitu methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang terjadi daripada
methadone dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol gejala withdrawal syndrome
sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai pengganti methadone yang potensial.(2)
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian berupa ikan
zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya untuk terapi withdrawal
syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat ditemukan pada daun tanaman Mytragina
sp. yang kemudian digunakan secara luas untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya
gejala-gejala withdrawal syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien dengan gejala withdrawal
syndrome dapat menurunkan kadar produksi kortikotropin dan prodynorphin pada otak sehingga
dapat menekan stress dan kecemasan yang dipengaruhi oleh hormon-hormon tersebut.
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan untuk
mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek menekan kemampuan alami
pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk

12

mengatasinya. Pada penelitian yang dilakukan di Perancis tahun 2011 dilakukan pengamatan
pada corticotrophin releasing factor (CRF) yang berhubungan dengan terjadinya stress. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan reseptor-defisiensi CRF(2) dapat meringankan
distress pada masa withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek kerusakan pada otak dan organ
neuroendokrin serta tidak mempengaruhi mekanisme stress coping sebagai respons alami
terhadap sindrom ini. (3)

2.7 Diagnosis Diferensial


Sindroma koroner akut
Penyakit addison
Status epileptikus
Krisis adrenal
Ketoasidosis alkoholik
Kecemasan
Gangguan SSP
Delirium Tremens
Depresi dan Bunuh diri
Ketoasidosis diabetikum
Hipertiroidisme, Grave Disease
Hipoglisemia
Hipomagnesemia
Hipopospatemia
Pankreatitis
Keracunan zat.(1)

2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan narkoba jangka
panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan menimbulkan dampak serius pada
gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat atau zat stimulan lain. Berikut komplikasi yang
dapat ditemukan pada sindrom putus alkohol

Komplikasi metabolik
a. Ketoasidosis alkoholik (AKA)
b. Gangguan elektrolit ( contoh: hipomagnesemia, hipokalemia, hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin, asam folat)
13

Komplikasi GI
a. Pankreatitis
b. Perdarahan gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum, varises esofageal, gastritis)
c. Sirosis hepatis
Komplikasi infeksi
a. Pneumonia
b. Meningitis
c. Selulitis
Komplikasi neurologi
a. Sindroma Wernicke-Korsakoff
b. Atrofi serebral
c. Degenerasi serebelar
d. Subdural atau epidural hemoragia.
e. Neuropati perifer. (1)
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Withdrawal syndrome merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada individu yang
kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau mengurangi penggunaan obat pilihan
mereka. Gambaran umum dari withdrawal syndrome adalah berupa gangguan psikologis seperti
anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat
yang digunakan. Terapi yang dibutuhkan untuk mengatasi withdrawal syndrome yaitu
bergantung pada zat yang mengakibatkan withdrawal syndrome tersebut.

14

Anda mungkin juga menyukai