PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya.
Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk
didalamnya Badan Narkotika Nasional), jaksa, hakim dan petugas Pemasyarakatan. Selain
narkoba, sebutan lain yang menunjuk pada ketiga zat tersebut adalah Napza yaitu Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif. Istilah napza biasanya lebih banyak dipakai oleh para praktisi
kesehatan dan rehabilitasi. Akan tetapi pada intinya pemaknaan dari kedua istilah tersebut tetap
merujuk pada tiga jenis zat yang sama.
Menurut UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika
adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Bahan adiktif lainnya adalah zat atau
bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Sekitar 4,2% penduduk usia 15-64 tahun pengguna narkoba, 88% laki-laki dan 12%
perempuan. Data BNN dan UI, sebanyak 1,5% (3,2 juta) dari 200 juta penduduk indonesia
menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba pada tahun 2005 Sekitar 30 hingga 40 orang meninggal
setiap hari akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia, dari perkiraan pengguna narkoba sekitar
3,2 juta jiwa.
BAB II
1
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Withdrawal syndrome, atau dikenal juga dengan discontinuation syndrome, dapat terjadi
pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau mengurangi
penggunaan obat pilihan mereka. Proses menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh dikenal
sebagai detoksifikasi. Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah
hanya beberapa dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang mungkin
terjadi selama detoksifikasi. Withdrawal syndrome terutama berfokus pada withdrawal dari
etanol, sedative-hipnotik, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB).(1)
2.2
obatan lainnya, sehingga manifestasi klinis yang ditampilkan juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan kaitannya dengan penggunakan obat-obatan tadi.
a. Alcohol withdrawal
Biasanya pasien telah menyalahgunakan alcohol setiap hari selama 3 bulan, atau
dapat pula telah mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar yang biasanya dalam waktu 1
minggu (seperti pada pesta minuman keras). Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 612 jam setelah individu berhenti atau mengurangi konsumsi alkohol, namun akan segera
menghilang jika mengkonsumsi alkohol kembali.
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor (DT).
Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan tanda dapat tumpang
tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan didefinisikan dulu mulai dari yang ringan
sampai yang berat.(4)
1. Penarikan atau penolakan ringan terjadi dalam waktu 24 jam setelah penghentian
konsumsi alkohol dan ditandai dengan tremor, insomnia, kecemasan,
2
hiperrefleksia,
diaphoresis,
hiperaktif
otonom
ringan,
serta
gangguan
gastrointestinal.
2. Penarikan atau penolakan sedang terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan kecemasan intens, tremor,
insomnia, dan gejala peningkatan adrenergic.
3. Penarikan atau penolakan berat terjadi dalam waktu lebih dari 48 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan perubahan sensorium yang
mendalam seperti disorientasi, agitasi, dan halusinasi, serta bersamaan dengan
hiperaktifitas otonom yang berat seperti tremor, takikardi, takipnea, hipertermia,
dan diaphoresis.
Pada 25 % pasien dengan riwayat penggunaan alcohol dalam jangka panjang timbul
manifestasi klinis berupa alkoholik halusinosis. Ini dapat terjadi 24 jam setelah penghentian
konsumsi alcohol dan akan berlanjut selama sekitar 24 jam. Gejala biasanya berupa
persekutori, auditori, atau yang paling sering adalah halusinasi visual dan taktil, namun
sensorium pasien kadang tidak begitu tampak. Namun pada tahap lanjut, halusinasi akan
dianggap nyata dan dapat menimbulkan rasa takut yang ekstrim serta timbul kecemasan.
Pasien akan merasa dapat melihat objek yang imajiner, seperti pakaian ataupun lembaranlembaran. Dan pada halusinosis ini tidak selalu diikuti oleh DT.
Pada 23-33 % pasien juga dilaporkan dapat mengalami kejang, yang biasanya
berlangsung singkat, berupa kejang umum, tonik-klonik, dan tanpa aura. Dan pada sekitar
30-50% pasein, kejang ini dapat berkembang menjadi DT. Puncak kejadian ini biasanya
setelah 24 jam setelah konsumsi alcohol terbaru, dan sekitar 3 % dari pasien yang
bermanifestasi kejang ini dapat mengalami status epileptikus. Kejang ini biasanya dapat
berhenti secara spontan atau dapat dikontrol dengan pemberian benzodiazepine.
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi setelah 4872 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa disorientasi, agitasi, dan
halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis, takikardia, takipnea, dan hipertermia.
DT ini dapat muncul meski tidak didahului oleh kejang.
Penghentian efek alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan
mengkonsumsi alkohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk memperoleh
minuman alkohol, biasanya pasien juga dapat mengkonsumsi zat lain yang juga mengandung
3
alkohol, seperti isopropyl alkohol, sirup batuk, pembersih tangan, obat kumur, methanol, dan
juga etilena glikol.(2)
d. Opioid withdrawal
Opioid tidak secara langsung menyebabkan gejala yang mengancam jiwa, kejang,
maupun delirium. Gejala yang ditampilkan justru dapat menyerupai penyakit seperti flu
berat, yang ditandai dengan rhinorrhea, bersin, lakrimasi, menguap, kram perut, kram kaki,
piloereksi atau merinding, mual, muntah, diare, dan pupil melebar. Serta perubahan status
mental, disorientasi, halusinasi, dan kejang yang merupakan karakteristik DT, tidak tampak
pada Opioid withdrawal ini.
Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini dapat menentukan onset dan durasi gejala
yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala penarikan pada penggunaan heroin dan metadon
akan memuncak pada 36-72 jam dan 72-96 jam, masing-masing, dan dapat berlangsung
selama 7-10 hari dan setidaknya masing-masing 14 hari.
2.3
Patofisiologi
Tubuh, ketika terpapar oleh bermacam-macam tipe zat akan mencoba untuk
mempertahankan homeostasisnya. Ketika terpapar, tubuh memproduksi mekanisme counterregulatory dan proses tersebut mencoba untuk mempertahankan tubuh dalam keadaan seimbang.
Saat zat tersebut telah dihilangkan, sisa dari mekanisme counter-regulatory akan menghasilkan
efek yang hebat dan juga withdrawal symptoms.
Toleransi terjadi ketika penggunaan suatu zat yang berkepanjangan menghasilkan suatu
perubahan yang disesuaikan sehingga hal tersebut meningkatkan jumlah zat yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu efek. Toleransi bergantung pada dosis, durasi, dan frekuensi
penggunaan dan hal ini merupakan hasil dari adaptasi farmakokinetik (metabolic) dan
farmakodinamik (seluler atau fungsional).
Mekanisme dari intoksikasi dan penghentian penggunaan ethanol adalah sesuatu hal yang
kompleks. Kebanyakan dari efek klinis dapat dijelaskan oleh interaksi dari ethanol dengan
berbagai macam neurotransmitter dan neuroreceptor di otak, termasuk interaksi dengan gammaaminobutyric acid (GABA), glutamate (NMDA), dan opiates. Menghasilkan perubahan pada
neurotransmitter inhibisi dan eksitatori sehingga mengganggu keseimbangan neurochemical di
otak sehingga dapat menyebabkan gejala dari putus obat. Ethanol berikatan dengan reseptor
postsynaptic GABAA (neuron inhibisi). Aktivasi dari reseptor ini meningkatkan efek dari GABA
tersebut. Sebagai responnya, terbukanya kanal ion klorida, sehingga menyebabkan influx dari ion
klorida. Hiperpolarisasi dari sel tersebut, akan menurunkan dari firing rate dari berbagai neuron,
yang pada akhirnya mengakibatkan sedasi. Penggunaan jangka panjang dari ethanol setelah itu
5
menghasilkan
downregulation
dari
reseptor
GABAA.
Dengan
adanya
supresi
yang
2.4 Diagnosis
Gambaran umum dari keadaan putus zat (withdrawal state) adalah berupa gangguan
psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk gejala fisik bervariasi
sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah pasien ini akan melaporkan bahwa gejala
6
putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat. Keadaan putus zat ini merupakan
salah satu indikator dari sindrom ketergantungan sehingga diagnosis ketergantungan zat harus
turut dipertimbangkan
Berikut adalah kriteria diagnostik beberapa jenis withdrawal syndrome :
ganguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang terjadi ketika atau sesaat setelah penggunaan
cocaine.
C. Dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul ketika atau sesaat setelah penggunaan
cocaine :
1) Takikardi atau bradikardi
2) Dilatasi pupil
3) Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau kedinginan
5) Nausea atau vomiting
6) Berat badan menurun
7) Agitasi psikomotor atau retardasi
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia
9) Bingung, kejang, dyskinesia, dystonia atau koma
D. Gejala gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
2.5 Terapi
Pengatasan penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang
melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Kondisi yang perlu diatasi secara
9
farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian
munculnya gejala putus obat (sakaw). Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi
tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh,
menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya
tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program
penghentian obat
Tabel 1. Ringkasan Tentang Terapi Intoksikasi
Kelas obat
Benzodiazepin
Alkohol, barbiturat,
Terapi obat
Komentar
Flumazenil 0,2
obat
Support
fungsi vital
penggunaan TCA
sampai max 3 mg
Tidak ada
sedatif hipnotik
non-benzodiazepin
Opiat
Terapi non-
resiko kejang
Support
fungsi vital
Naloxone 0,4-2,0 mg
Support
IV setiap 3 min
fungsi vital
Kokain dan
stimulan CNS lain
Lorazepam 2-4 mg
-Support
IM setiap 30 min
fungsi vital
- Monitor
perlu
fungsi jantung
Haloperidol 2-5 mg
Halusinogen,
selain opiat
- digunakan jika pasien
agitasi
- digunakan jika pasien
psikotik
- komplikasi
(atau antipsikotik
kardiovaskuler diatasi
scr simptomatis
sampai 6 jam
Sama dgn di atas
Support
10
marijuana
fungsi vital,
talk-down
therapy
Terapi obat
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau
(short acting)
Opiat
tappering
Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan
metadon maintanance
program
berikutnya
Barbiturat
Komentar
- Klonidin menyebabkan
hipotensi pantau BP
Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi
abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis opioida (metadon),
antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis opioida (buprenorfin). Buprenorfin adalah
salah satu semi-sintetik opioida yang telah diketemukan sejak tahun 1965 dengan melalui
berbagai penelitian telah diapproved oleh FDA pada tahun 2002 dan mendapat izin edar di
Indonesia pada akhir tahun yang sama.(3)
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida , berikatan dengan
reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga memiliki afinitas tinggi
dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k, sehingga pada keadaan tertentu buprenorfin dosis
11
tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan
gejala dan tanda yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan
akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Buprenorfin memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis antagonis yang digunakan dalam terapi
ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain indeks keamanan yang lebih besar terhadap
terjadinya depresi pernafasan, tanda otonom dari putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek
psikomimetik atau disforik yang lebih ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika
menghambat efek penggunaan heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan. (2)
2.6
Perkembangan Terapi
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya pemakaian
NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi. Banyak
penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan baru sebagai terapi penyakit ini untuk hasil
yang lebih baik. Pada salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 dilakukan
perbandingan efikasi dan tingkat keamanan pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi
withdrawal syndrome yaitu methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang terjadi daripada
methadone dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol gejala withdrawal syndrome
sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai pengganti methadone yang potensial.(2)
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian berupa ikan
zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya untuk terapi withdrawal
syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat ditemukan pada daun tanaman Mytragina
sp. yang kemudian digunakan secara luas untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya
gejala-gejala withdrawal syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien dengan gejala withdrawal
syndrome dapat menurunkan kadar produksi kortikotropin dan prodynorphin pada otak sehingga
dapat menekan stress dan kecemasan yang dipengaruhi oleh hormon-hormon tersebut.
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan untuk
mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek menekan kemampuan alami
pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
12
mengatasinya. Pada penelitian yang dilakukan di Perancis tahun 2011 dilakukan pengamatan
pada corticotrophin releasing factor (CRF) yang berhubungan dengan terjadinya stress. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan reseptor-defisiensi CRF(2) dapat meringankan
distress pada masa withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek kerusakan pada otak dan organ
neuroendokrin serta tidak mempengaruhi mekanisme stress coping sebagai respons alami
terhadap sindrom ini. (3)
2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan narkoba jangka
panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan menimbulkan dampak serius pada
gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat atau zat stimulan lain. Berikut komplikasi yang
dapat ditemukan pada sindrom putus alkohol
Komplikasi metabolik
a. Ketoasidosis alkoholik (AKA)
b. Gangguan elektrolit ( contoh: hipomagnesemia, hipokalemia, hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin, asam folat)
13
Komplikasi GI
a. Pankreatitis
b. Perdarahan gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum, varises esofageal, gastritis)
c. Sirosis hepatis
Komplikasi infeksi
a. Pneumonia
b. Meningitis
c. Selulitis
Komplikasi neurologi
a. Sindroma Wernicke-Korsakoff
b. Atrofi serebral
c. Degenerasi serebelar
d. Subdural atau epidural hemoragia.
e. Neuropati perifer. (1)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Withdrawal syndrome merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada individu yang
kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau mengurangi penggunaan obat pilihan
mereka. Gambaran umum dari withdrawal syndrome adalah berupa gangguan psikologis seperti
anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat
yang digunakan. Terapi yang dibutuhkan untuk mengatasi withdrawal syndrome yaitu
bergantung pada zat yang mengakibatkan withdrawal syndrome tersebut.
14