PENDAHULUAN
Kira-kira 64 persen orang dewasa muda dan 62 persen orang dewasa yang
berusia 26 sampai 34 tahun pernah menggunakan alkohol dalam bulan terakhir,
suatu persentasi yang lebih besar secara bermakna dibandingkan 20 persen
pemuda dan 50 persen orang dewasa yang berusia 35 tahun dan lebih (Kaplan,
2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Withdrawl Sindrom terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang
menghentikan atau mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Proses
menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh dikenal sebagai detoksifikasi .
Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah hanya beberapa
dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang mungkin terjadi
selama detoksifikasi. Withdrawl syndrome terutama berfokus pada Withdrawl dari
etanol, sedatif hipnotik-, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB) (Goldstein,
2009).
1. agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin
terjadi pada penghentian
2. pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat,
benzodiazepin dan alkohol,
3. krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
4. hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian
terapi klonidin,
5. gejala putus obat karena narkotika (Goldstein, 2009).
Alcohol withdrawal
Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 6-12 jam setelah individu
berhenti atau mengurangi konsumsi alcohol, namun akan segera menghilang jika
mengkonsumsi alcohol kembali (Monte, 2010).
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor
(DT). Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan tanda
dapat tumpang tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan didefinisikan dulu
mulai dari yang ringan sampai yang berat (Bayard, 2004).
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi
setelah 48-72 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa
disorientasi, agitasi, dan halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis,
takikardia, takipnea, dan hipertermia. DT ini dapat muncul meski tidak didahului
oleh kejang (Hayner, 2009).
Opioid withdrawal
Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini dapat menentukan onset dan
durasi gejala yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala penarikan pada
penggunaan heroin dan metadon akan memuncak pada 36-72 jam dan 72-96 jam,
masing-masing, dan dapat berlangsung selama 7-10 hari dan setidaknya masing-
masing 14 hari (Olmedo, 2000).
C. Penegakan Diagnosis
Gambaran umum dari keadaan putus zat (withdrawal state) adalah berupa
gangguan psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan
untuk gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah
pasien ini akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan
meneruskan penggunaan zat. Keadaan putus zat ini merupakan salah satu
indikator dari sindrom ketergantungan sehingga diagnosis ketergantungan zat
harus turut dipertimbangkan (Maslim, 2001).
E. Terapi Baru
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya
pemakaian NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Banyak penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan
baru sebagai terapi penyakit ini untuk hasil yang lebih baik. Pada salah satu
penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 dilakukan perbandingan efikasi dan
tingkat keamanan pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi withdrawal
syndrome yaitu methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang
terjadi daripada methadone dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol
gejala withdrawal syndrome sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti methadone yang potensial (Zarghami et al., 2012).
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian berupa
ikan zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya
untuk terapi withdrawal syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat
ditemukan pada daun tanaman Mytragina sp. yang kemudian digunakan secara
luas untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya gejala-gejala
withdrawal syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien
dengan gejala withdrawal syndrome dapat menurunkan kadar produksi
kortikotropin dan prodynorphin pada otak sehingga dapat menekan stress dan
kecemasan yang dipengaruhi oleh hormon-hormon tersebut (Khor et al., 2011).
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan
untuk mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek
menekan kemampuan alami pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengatasinya. Pada penelitian yang
dilakukan di Perancis tahun 2011 dilakukan pengamatan pada corticotrophin
releasing factor (CRF) yang berhubungan dengan terjadinya stress. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan reseptor-defisiensi CRF(2) dapat
meringankan distress pada masa withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek
kerusakan pada otak dan organ neuroendokrin serta tidak mempengaruhi
mekanisme stress coping sebagai respons alami terhadap sindrom ini (Ingallinesi
et al., 2011).
F. Diagnosis Diferensial
1. Sindroma koroner akut
2. Penyakit addison
3. Status epileptikus
4. Krisis adrenal
5. Ketoasidosis alkoholik
6. Kecemasan
7. Gangguan SSP
8. Delirium Tremens
9. Depresi dan Bunuh diri
10. Ketoasidosis diabetikum
11. Hipertiroidisme, Grave Disease
12. Hipoglisemia
13. Hipomagnesemia
14. Hipopospatemia
15. Pankreatitis
16. Keracunan zat
G. Komplikasi
Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan narkoba
jangka panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan menimbulkan
dampak serius pada gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat atau zat
stimulan lain. Berikut komplikasi yang dapat ditemukan pada sindrom putus
alkohol
1. Komplikasi metabolik
a. Ketoasidosis alkoholik (AKA)
b. Gangguan elektrolit ( contoh: hipomagnesemia, hipokalemia,
hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin,
asam folat)
2. Komplikasi GI
a. Pankreatitis
b. Perdarahan gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum, varises esofageal,
gastritis)
c. Sirosis hepatis
3. Komplikasi infeksi
a. Pneumonia
b. Meningitis
c. Selulitis
4. Komplikasi neurologi
a. Sindroma Wernicke-Korsakoff
b. Atrofi serebral
c. Degenerasi serebelar
d. Subdural atau epidural hemoragia
e. Neuropati perifer
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, Harold I.; Sadock, Benjamin J.; Grebb, Jack A. 2010. Kaplan-Sadock
Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Goldstein D. 2009. Relationship of alcohol dose to intensity of withdrawal signs in
mice. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. 180(2):203-15.
Hayner CE, Wuestefeld NL, Bolton PJ. Phenobarbital treatment in a patient with
resistant alcohol withdrawal syndrome. Pharmacotherapy. Jul
2009;29(7):875-8.
Olmedo R, Hoffman RS. Withdrawal syndromes. Emerg Med Clin North Am.
May 2000;18(2):273-88