Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

“Delirium Tremens”

Disusun Oleh:

Rosdian Tomalima (1102015207)

Dosen Pembimbing:

dr. Nasruddin Noor, Sp.KJH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

PERIODE 1 FEBUARI – 14 FEBUARI 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................1
DAFTAR ISI .......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................4
2. 1 Definisi .......................................................................................................4
2. 2 Epidemiologi...............................................................................................4
2. 3 Etiopatogenesis ..........................................................................................5
2. 4 Manifestasi Klinis ......................................................................................9
2. 5 Diagnosis ....................................................................................................10
2. 6 Diagnosis Banding .....................................................................................13
2. 7 Tatalaksana ................................................................................................14
2. 8 Komplikasi..................................................................................................16
2. 9 Pencegahan ................................................................................................16
2. 10 Prognosis ....................................................................................................16
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................18

BAB I

2
PENDAHULUAN

Penyalahgunaan alkohol adalah kondisi umum yang dikaitkan dengan gangguan


parah pada fungsi sosial dan masalah medis. Sebanyak 20% populasi dari seluruh
negara telah dilaporkan menunjukkan penyalahgunaan alkohol. Lebih dari 50%
memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol dapat menunjukkan gejala penarikan
alkohol saat menghentikan atau mengurangi penggunaan alkohol. Namun, hanya
sedikit (3% sampai 5%) yang menunjukkan gejala putus alkohol parah dengan
perubahan status mental (delirium), hiperaktif otonom, dan kolaps kardiovaskular.
Gejala ini didefinisikan sebagai delirium akibat putus alkohol atau lebih dikenal
sebagai delirium tremens (DTs). DTs yang tidak diobati berisiko menyebabkan
kematian sebanyak 37%. Risiko kematian DTs cukup tinggi tapi dengan deteksi
dini serta pengobatan yang tepat, maka angka kematian diharapkan berada pada
kisaran 1% atau 0%.1

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Delirium tremens, umumnya dikenal sebagai 'DTs' atau 'the shakes' adalah
bentuk manifestasi paling parah akibat putus alkohol secara absolut atau
relatif pada pengguna yang ketergantungan berat dengan riwayat
penggunaan yang lama.2,3 Ditandai dengan perubahan status mental
(menjadi sangat kebingungan) dan perubahan cara otak mengatur sirkulasi
darah serta pernapasan (hiperaktif). Delirium tremens pertama kali
dijelaskan pada tahun 1813 sebagai ‘brain fever’ yang disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol yang berlebihan. Nama withdrawal syndrome ini
berasal dari istilah latin yaitu 'trembling delirium' yang secara istilah
menggambarkan gejala utama yaitu delirium, tremor parah (gemetar) dan
kecemasan. Delirium sendiri dapat diartikan sebagai kondisi mental yang
bingung dan sering kali disertai halusinasi. Delirium tremens menggunakan
kriteria diagnostik untuk gangguan penggunaan alkohol (AUD) yang
tercantum dalam DSM-5 dengan subklasifikasi ringan, sedang, dan berat. 3,4

2. 2 Epidemiologi
Alkohol sebagai penyebab kematian ketiga yang dapat dicegah di Amerika
Serikat. menurut National Institutes on Alcohol Abuse and Alcoholism.
Setiap tahun 95.000 orang di Amerika Serikat meninggal karena penyebab
terkait alcohol.8 Prevalensi alcohol use disorder (AUD) menurut WHO
berkisar antara 0% - 16% tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi
terbesar di negara-negara Eropa Timur dimana 85% laki-laki dewasa
mengkonsumsi alkohol. Alcohol withdrawal syndrome (AWS) atau
Sindrom putus alkohol terjadi pada sekitar 8% pasien rawat inap AUD yang
dirawat di rumah sakit. AWS yang emergensi seperti delirium tremens,
risiko untuk menjadi delirium tremens di antara individu dengan
kecanduan alkohol kronis diperkirakan 5-10%. Hanya 5% pasien dengan
penghentian alkohol yang berkembang menjadi delirium tremens. Kurang

4
dari 50% orang yang bergantung pada alkohol mengalami gejala putus
alkohol yang signifikan dan memerlukan pengobatan farmakologis setelah
penghentian asupan alkohol. 3,5

Di Indonesia, berdasarkan Global status report on alcohol and health 2018,


Prevalensi gangguan karena penggunaan alkohol adalah 0,8% dan
prevalensi ketergantungan alkohol adalah 0,7% pada pria maupun wanita.
Berdasarkan laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2016,
sebesar 8% penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi alkohol sepanjang
hidupnya dan sebanyak 5% penduduk Indonesia aktif mengkonsumsi
alkohol dalam setahun terakhir. 6.7

2. 3 Etiopatogenesis 1,3,4,5,6,7

Faktor risiko untuk delirium tremens meliputi:

 Kejang karena putus alkohol sebelumnya


 Riwayat delirium tremens sebelumnya
 Penyakit penyerta medis lainnya (kormobid)
 Konsumsi alkohol harian yang berat dan berkepanjangan
 Detoksifikasi sebelumnya
 Keinginan besar akan alkohol
 Usia yang lebih tua
 Hipokalemia
 Trombositopenia
 Peningkatan kadar homosistein dalam darah
 Adanya lesi struktural otak

5
Gambar. Mekanisme perubahas sistem kerja otak akibat alkohol

Alkohol (zat etanol) bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat. Etanol
berinteraksi terutama dengan reseptor GABA yang merupakan
neurotransmitter penghambat yang menginduksi perasaan rileks dan sedasi.
Aktivasi reseptor ini meningkatkan efek GABA dengan mengubah cara
neurotransmitter dikelola di otak dengan meningkatkan reseptor GABA
sambil beraksi pada reseptor glutamat presinaps (mGluRs) dan kanal
kalsium presinaps (VSCCs) untuk menghambat pelepasan glutamat.
Sebagai tanggapan, saluran klorida terbuka, menyebabkan masuknya
klorida. Ini membuat sel menjadi hiperpolarisasi, menurunkan laju
pengaktifan neuron, yang pada akhirnya menghasilkan sedasi. Hambatan
pelepasan glutamat juga akan menyebabkan fenomena disinhibisi, yaitu
penurunan inhibisi oleh GABA karena menurunnya excitatory drive dari
glutamat. Akibat penurunan inhibisi ini, maka akan terjadi peningkatan
pelepasan dopamine oleh neuron dopaminergik di VTA. Aksi ini penting

6
untuk memperkuat aspek adiktif alkohol. Alkohol juga beraksi pada
reseptor µ dan menyebabkan pelepasan opioid endogen seperti enkephalin.
Hal ini berkontribusi pada timbulnya adiksi alkohol.

Penggunaan etanol dalam jangka panjang selanjutnya menghasilkan


regulasi turun reseptor GABA-A. Karena penekanan kronis neurotransmisi
rangsang, otak meningkatkan sintesis neurotransmiter rangsang, seperti
norepinefrin, serotonin, dan dopamine. Penghentian alkohol secara tiba-tiba
menyebabkan penurunan aksi penghambatan neurotransmitter GABA yang
mengakibatkan aktivitas sistem saraf pusat yang berlebihan. Jika Terlalu
banyak GABA dampaknya mabuk. Namun, jika terlalu sedikit GABA
akibatnya timbul kecemasan, serangan panik dan bahkan dapat
berkembang menjadi kejang. Meskipun etiologinya masih belum jelas, ada
korelasi antara durasi paparan alkohol dan gejala putus zat

Asupan alkohol kronis memengaruhi beberapa sistem neurotransmitter di


otak, antara lain: (1) peningkatan pelepasan opiat endogen, (2) aktivasi
reseptor asam gamma-aminobutirat-A (GABA-A) penghambat yang
menghasilkan peningkatan penghambatan GABA, akibat masuknya ion
klorida, (3) peningkatan regulasi dari reseptor glutamat tipe postsynaptic N-
methyl-D-aspartate (NMDA), yang memediasi efek rangsang postsinaptis
dari glutamat dan (4) interaksi dengan reseptor serotonin dan dopamin.
Selama penarikan dari alkohol, hilangnya stimulasi reseptor GABA-A
menyebabkan penurunan fluks klorida dan dikaitkan dengan tremor,
diaforesis, takikardia, kecemasan, dan kejang. Selain itu, Alkohol juga
menghambat kerja reseptor NMDA dengan bertindak sebagai antagonis
reseptor. Ini menghambat aksi glutamat, yang merupakan asam amino
rangsang. Penggunaan jangka panjang menghasilkan peningkatan regulasi
reseptor NMDA, kurangnya penghambatan reseptor NMDA dapat
menyebabkan kejang dan delirium.

7
Konsumsi alkohol yang berlebihan akan meningkatkan level toleransi
peminum alkohol melalui proses yang disebut neuroadaptations: secara
bertahap reseptor di otak beradaptasi dengan efek dari alkohol untuk
mengimbangi rangsangan dan sedasi yang terjadi sehingga efek dari
alkohol dalam jumlah yang sama menjadi berkurang dari waktu ke waktu.
Hal ini menyebabkan seseorang yang mengonsumsi alkohol akan
menambah jumlah alkohol yang diminumnya untuk mendapatkan sensasi
yang dia inginkan karena jumlah yang sama tidak lagi memberikan efek
atau sensasi yang sama baginya. Proses toleransi ini sangat dipengaruhi
oleh reseptor GABA dan glutamat. Konsumsi alkohol akan menyebabkan
ketidakseimbangan aktivitas antara GABA dan NMDA.
Ketidakseimbangan fungsi ini semakin menjadi tak terkendali (overactive)
di otak apabila seseorang memutuskan untuk berhenti minum alkohol.

Selanjutnya gejala-gejala putus alkohol akan muncul berupa kecemasan,


tubuh berkeringat, kejang, halusinasi dan timbul keinginan yang tak
tertahankan untuk mengonsumi alkohol. Hal ini harus segera ditangani
secara medis karena dapat membahayakan nyawa pecandu alkohol. Fase
putus alkohol yang berulang-ulang ini dianggap membawa efek toksik
(racun) pada neuron dan menyebabkan gangguan kognitif serta kerusakan
otak.

Delirium tremens terjadi pada pengguna alkohol kronis yang secara tiba-
tiba menghentikan penggunaan alkohol, Ketika alkohol dihentikan secara
tiba-tiba, terjadi penurunan fungsional dalam neurotransmitter GABA. Hal
ini menyebabkan hilangnya kontrol atau ketidakseimbangan terhadap
hambatan neurotransmitter peka rangsang seperti norepinefrin, glutamat,
dan dopamin.

8
2. 4 Manifestasi Klinis 1,3,6

 Tremor
 Sakit kepala
Gejala Minor  Palpitasi (jantung berdebar)
(Awitan dini 6 jam-24 jam setelah  Kecemasan
putus asupan alkohol terakhir)  Mual
 Muntah
 Insomnia
 Halusinasi visual
 Halusinasi auditorik
Gejala Mayor  Tremor pada seluruh tubuh
(Awitan dini 10 jam – 72 jam  Muntah
setelah putus asupan alkohol  Diaforesis
terakhir)  Hipertensi

 Kejang bersifat umum dan


Withdrawal seizures
singkat
(Awitan dini 6 jam – 48 jam
 Kejang putus alkohol biasanya
setelah putus asupan alkohol
terjadi hanya sekali atau
terakhir)
kambuh hanya sekali atau dua
kali, dan umumnya sembuh
secara spontan
 Kejang putus alkohol
seringkali merupakan tanda
pertama dari penarikan
alkohol, dan tidak ada tanda-
tanda penarikan lainnya yang
mungkin muncul setelah
kejang mereda. Sekitar 30-40%
pasien dengan kejang putus

9
alkohol berkembang menjadi
DTs
 Kejang bisa kambuh tapi hanya
3% yang menjadi status
epileptikus
 Kejang pada pasien
ketergantungan alkohol dapat
disebabkan oleh penggunaan
obat perangsang secara
bersamaan, seperti kokain atau
amfetamin, atau dari obat
penenang, seperti
benzodiazepin atau barbiturat
 Kebingungan global yang
mendalam (ciri khas DTs)
 Agitasi, gaduh gelisah
Delirium Tremens (DTs)
 Disorientasi
(Awitan dini 48 – 72 jam atau 3 –
 Diaforesis
10 hari setelah putus asupan
 Halusinasi
alkohol terakhir)
 Demam
 Hiperaktivitas otonom
(takikardia dan hipertensi)
 Hipertermia

2. 5 Diagnosis 1,4,7
A. Anamnesis
 Riwayat awal serta informasi terkait riwayat medis mencakup
penggunaan alkohol antara lain: riwayat dan pola penggunaan
alkohol (jumlah, durasi, pola penggunaan harian), adanya
ketergantungan, perhitungan jumlah alkohol yang dikonsumsi
perhari atau perminggu, riwayat komplikasi alkohol dan durasi

10
minum terakhir menjadi penting dalam mengenali tingkat keparahan
gejala.
 Masalah kesehatan fisik.
 Informasi tambahan harus diidentifikasi mengenai penyakit
penyerta (kormobid) seperti gagal jantung, penyakit jantung
koroner, penyakit hati kronis, dan lain-lain.
 Penggunaan zat lainnya, termasuk obat-obat yang dijual bebas.
 Masalah psikologis dan sosial.

B. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada temuan khusus pada pemeriksaan fisik yang dapat
mendiagnosis delirium tremens (DTs). Namun, DTs sering muncul
dengan penyakit yang menyertai, jadi pemeriksaan fisik yang cermat
harus dilakukan untuk mengungkap penyakit yang berpotensi serius
yang mungkin ada. Pencarian tanda-tanda trauma juga harus disertakan.

C. Pemeriksaan Penunjang
Tujuan  Menilai tingkat kerusakan tubuh akibat penggunaan alkohol.
 Hitung darah lengkap
 Pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal
 CT-Scan kepala
Indikasi 
- Kejang baru
- Kejang terjadi selama lebih dari 6 jam
- Kejang fokal
- Bukti trauma kepala
 Pungsi Lumbal
Pasien dengan sindrom putus alkohol yang mengalami kejang terus
menerus harus menjalani pungsi lumbal jika tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Beberapa pasien mungkin tidak
memiliki tanda klasik meningitis, seperti kaku kuduk, dan cairan

11
serebrospinal (CSF) dari pasien ini harus diperiksa untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pleositosis CSF sering
muncul setelah kejang penarikan, bahkan tanpa adanya infeksi atau
perdarahan intrakranial. Namun, pleositosis CSF setelah kejang
tidak boleh hanya dikaitkan dengan kejang tanpa mencari penyebab
infeksi yang dapat diobati.

Meskipun tidak ada kejang, lakukan pungsi lumbal jika ada


kecurigaan meningitis (demam, lesu, kebingungan, atau sakit
kepala). Tidak adanya kekakuan nuchal tidak dapat diandalkan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis pada pasien ini.
 Pemeriksaan GDS
 Elektrofisiologi (didapatkan peningkatan aktifitas gelombang cepat
pada pencatatan)
 EKG

D. Pedoman Diagnosis
 Kriteria diagnosis untuk sindrom putus zat alkohol (alcohol
withdrawal) berdasarkan DSM 5 dan ICD-11 untuk keadaan putus
zat dengan delirium.
 Dokter perlu mengevaluasi tingkat keparahan penghentian alkohol
berdasarkan riwayat dan manifestasi klinis. Alat terbaik divalidasi
untuk menilai tingkat keparahan penarikan alkohol adalah Clinical
Institute Withdrawal Assessment for Alcohol, Revised (CIWA-Ar)
merupakan alat kuesioner 10 item dengan maksimum skor 67 yang
digunakan untuk mengevaluasi, memantau, dan mengobati
penarikan alkohol.

10 item tersebut antara lain mual, muntah, kecemasan, tremor,


berkeringat, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan,

12
gangguan sentuhan, sakit kepala, agitasi, dan pengaburan
sensorium.
Dengan penilaian kesimpulan hasil skor :
- Skor 8 poin atau lebih rendah menunjukan gejala ringan
- Skor 9 hingga 15 menunjukkan gejala sedang
- Skor 15 atau lebih sesuai dengan gejala berat  Berisiko
mengalami kejang dan DTs  Harus segera diobati

CIWA-Ar mungkin tidak dapat diterapkan pada pasien yang sakit


kritis, terutama pada pasien dengan ventilator, karena CIWA-Ar
bergantung pada komunikasi pasien untuk informasi mengenai
mual, muntah, kecemasan, gangguan sentuhan, pendengaran dan
sakit kepala. Pemantauan secara berkala dengan CIWA-Ar sangat
membantu pada pasien yang menerima pengobatan dengan terapi
obat yang dipicu gejala dan dapat membantu menghindari
komplikasi pengobatan.
 RASS (Richmond Agitation Sedation Scale) dan Riker SAS
(Sedation Agitation Scale) adalah skala agitasi / sedasi yang
digunakan di ICU dan memiliki kemanjuran yang sama dalam
penilaian delirium. Direkomendasikan untuk digunakan untuk
memantau terapi obat pada pasien ICU dengan sindrom putus
alkohol berat tetapi belum divalidasi pada pasien ICU.

2. 6 Diagnosis Banding 6,8


Tanda-tanda penghentian alkohol pada pasien yang sakit kritis, terutama
jika disertai dengan delirium, dapat menyerupai gejala gangguan serius
lainnya. Gangguan ini mungkin perlu disingkirkan sebelum diagnosis pasti
sindrom putus alkohol dibuat. Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding sindrom putus alkohol antara lain: sepsis, stroke,
pendarahan intrakranial, hipoksia, hipokalsemia, hipomagnesmia, status
epileptikus, peningkatan tekanan intrakranial, keracunan (penarikan zat),

13
Diagnosis banding :
 Gagal hati akut
 Ketoasidosis alkoholik
 Abses otak
 Penyakit ginjal kronis
 Ketoasidosis diabetik
 Trauma kepala
 Ensefalopati hepatik
 Ensefalopati Hipertensi
 Hipoglikemia
 Ensefalopati Uremik

2. 7 Tatalaksana 5,6,7
Tujuan pengobatan untuk penghentian alkohol adalah untuk mengontrol
agitasi, menurunkan risiko kejang, dan menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
A. Farmakologi
 Tiami: Tiamin dapat bermanfaat untuk mencegah kebingungan,
ataksia, opthalmoplegia (Ensefalopati Wernicke), gangguan akut
dan kronis yang disebabkan oleh defisiensi tiamin, dan gangguan
memori dan amnesia ( sindrom wernicke-korsakoff).
 Magnesium: Defisiensi magnesium karena status gizi yang buruk
dan malabsorpsi. Magnesium menstabilkan membran, membantu
dalam pemeliharaan homeostasis kalium dan kalsium serta dapat
mengatasi tremor, kejang dan aritma.
 Benzodiazepin (Pilihan utama DTs): Jenis obatnya seperti
Chlordiazepoxide (librium), diazepam (valium), dan lorazepam
(ativan) untuk perawatan DTs. Benzodiazepin dianggap sebagai
obat pilihan untuk pengelolaan semua tahap sindrom penarikan
alkohol, termasuk DT. Mekanisme kerja pada kompleks reseptor

14
benzodiazepine-GABA-klorida, memiliki efek potensiasi GABA
yang sama seperti alkohol. Pasien yang putus dari alkohol yang
menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus
mendapatkan terapi benzodiazepin, seperti chlordiazepoxide 25-50
mg tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari bahaya. Tetapi jika tanda
delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam
peroral atau lorazepam intravena jika medikasi oral tidak
memungkinkan.
 Fenobarbital: Dalam hubungannya dengan benzodiazepin dapat
menjadi efektif. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi
pembukaan saluran klorida yang disebabkan oleh aktivasi reseptor
GABA-A yang membutuhkan kehadiran GABA presinaptik,
fenobarbital meningkatkan arus klorida GABA-A dengan
meningkatkan durasi pembukaan saluran klorida. Oleh karena itu,
fenobarbital dan benzodiazepin dapat memiliki efek klinis yang
sinergis, mendukung penggunaan fenobarbital sebagai tambahan
untuk benzodiazepin.

B. Nonfarmakologi / Terapi suportif


 Lingkungan yang tenang
 Pemberian cairan oral maupun intraena untuk defisit cairan dan
elektrolit, karena sebagian besar pasien datang dengan dehidrasi
berat dan kelainan elektrolit (hipoglikemia, hipomagnesemia,
hipofosfatemia)
 Diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat dan tambahan multivitamin
 Perawatan pasca detox dan rehabilitasi
- Terapi perilaku kognitif
- Terapi kelompok (Alcoholics Anonymous)

15
2. 8 Komplikasi 4,6
 Oversedation
 Kegagalan pernafasan
 Aritmia jantung
 Pneumonitis aspirasi
 Hipertermia
 Kematian

2. 9 Pencegahan 6
 Bagi yang telah kecanduan alkohol, melakukan konseling ke psikiater
atau psikolog dapat membantu untuk mengurangi ketergantungan
terhadap alkohol.
 Bagi yang tidak kecanduan alkohol, dapat mengurangi asupan alkohol. 
 Pencegahan dengan skrining rutin: AUDIT (Alcohol Use Disorders
Identification Test) atau CAGE (cut-hate-guilty-eye) sangat membantu
dalam penyaringan.

2. 10 Prognosis
Pengobatan dini dapat menurunkan angka kematian hingga kurang dari
5%. Kondisi paling umum yang menyebabkan kematian pada pasien DTs
adalah gagal napas dan aritmia jantung. Faktor risiko seperti pneumonia,
pankreatitis, usia lanjut, riwayat masalah kesehatan lainnya dapat
menyebabkan peningkatan mortalitas. 6

16
BAB III
KESIMPULAN

DTs merupakan manifestasi klinis dari sindrom putus alkohol yang bersifat
emergensi ditandai dengan perubahan status mental (kebingungan global) dan
hiperaktivitas otonom (takikardia dan hipertensi). Diagnosis dini dan skrining
dapat mengurangi angka kejadian DTs serta dengan terapi yang tepat dapat
mengurangi angka mortalitas bervariasi dari 5 hingga 15%. Kegagalan mengobati
atau keterlambatan diagnosis dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahman A. Paul M. (2020) Delirium tremens. In: StatPearls. StatPearls
Publishing. Dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482134/
(Diakses 6 Febuari 2021).
2. Muslim R. (2019) Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III, DSM-5, ICL-11. Cetakan ke – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta : PT Nuh Jaya.
3. Lavole S. (2013) What Is Delirium Tremens? - Symptoms, Treatment &
Definition. Dalam https://study.com/academy/lesson/what-is-delirium-
tremens-symptoms-treatment-definition.html. (Diakses 4 Febuari 2021).
4. Schuckit MA. (2014) Recognition and management of withdrawal
delirium (delirium tremens). New England Journal of Medicine, Vol. 371,
No 22. p. 2109-2013. DOI: https://doi.org/10.1056/nejmra1407298
5. Jesse S. et al. (2017) Alcohol withdrawal syndrome: mechanisms,
manifestations, and management. Acta Neurologica Scandinavica, Vol.
135, No 1. p. 4-16. DOI: https://doi.org/10.1111/ane.12671
6. Burns M J. (2020) Delirium Tremens (DTs). Dalam Medscape.com :
https://emedicine.medscape.com/article/166032-overview (6 Febuari
2021).
7. Supriyanto I. (2020) Alcohol Use Disorder. Dalam Alomedika:
https://www.alomedika.com/penyakit/psikiatri/alcohol-use-disorder (6
Febuari 2021).
8. Kattimani S, Bharadwaj B. (2013) Clinical management of alcohol
withdrawal: A systematic review. Ind Psychiatry J. Vol. 22, No 2, p. 100-
108. DOI: 10.4103/0972-6748.132914.

18

Anda mungkin juga menyukai