Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Definisi Gangguan Mental Organik


Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat

suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit


cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah
gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum
(contohnya skizofrenia dan depresi). Dari sejarahnya, bidang neurologi telah
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan psikiatri
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional.
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan
organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama.
Bagian yang disebut Gangguan Mental Organik dalam DSM III-R sekarang
disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif
lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang tidak dapat
diklasifikasikan di tempat lain.
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan
jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan
adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak
Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang
langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan
penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ
atau sistem tubuh.
PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan
Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom
(gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental
Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang etiologinya (diduga) jelas
Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak
dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak
Organik itu dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya
penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah

kesadaran yang menurun (delirium) dan sesudahnya terdapat amnesia, pada


Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.

B.

Etiologi Gangguan Mental Organik


Etiologi primer berasal dari suatu penyakit di otak dan suatu cedera atau

rudapaksa otak atau dapat dikatakan disfungsi otak. Sedangkan etiologi sekunder
berasal dari penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari
beberapa organ atau sistem tubuh.
Istilah organik merupakan sindrom yang diklasifikasikan dapat berkaitan
dengan gangguan/penyakit sistemik/otak yang secara bebas dapat didiagnosis.
Sedangkan istilah simtomatik untuk gangguan mental organik yang pengaruhnya
terhadap otak merupakan akibat sekunder dari gangguan / penyakit ekstra serebral
sitemik seperti zat toksik berpengaruh pada otak bisa bersifat sesaat/jangka
panjang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Delirium

1.

Definisi Delirium
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan

kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
Delirium merupakan sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf
kesadaran, gangguan kognitif, gangguan persepsi, termasuk halusinasi & ilusi,
khas adalah visual juga di pancaindera lain, dan gangguan perilaku, seperti agitasi.
Gangguan ini berlangsung pendek dan berjam-jam hingga berhari, taraf hebatnya
berfluktuasi, hebat di malam hari, kegelapan membuat halusinasi visual &
gangguan perilaku meningkat. Biasanya reversibel. Penyebabnya termasuk
penyakit fisik, intoxikasi obat (zat). Diagnosis biasanya klinis, dengan
laboratorium

dan

pemeriksaan

pencitraan

(imaging)

untuk

menemukan

penyebabnya. Terapinya ialah memperbaiki penyebabnya dan tindakan suportif.


Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut.
Sedikitnya 10% dari pasien lanjut usia yang dirawat inap menderita delirium; 1550% mengalami delirium sesaat pada masa perawatan rumah sakit. Delirium juga
sering dijumpai pada panti asuhan. Bila delirium terjadi pada orang muda
biasanya karena penggunaan obat atau penyakit yang berbahaya mengancam
jiwanya.
2.

Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai

pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif
pasien. Penyebab utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti (
sebagai contoh epilepsi ), penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat
maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak di luar sistem pusat,
misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah
asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah formasio
retikularis.

Penyebab delirium dibagi menjadi:


a. Penyebab intrakranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2. Trauma otak (terutama gegar otak)
3. Infeksi (meningitis.ensetalitis).
4. Neoplasma.
5. Gangguan vaskular
b. Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus)
Obat antikolinergik, antikonvulsan, obat antihipertensi, obat antiparkinson,
obat antipsikotik, cimetidine, klonidine, disulfiram, insulin, opiat, fensiklidine,
fenitoin, ranitidin, sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik, steroid.
2. Racun
Karbon monoksida, logam berat dan racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis, pankreas, adrenal, paratiroid, dan tiroid.
4. Penyakit organ nonendokrin
Hati (ensefalopati hepatik), ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik),
paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), sistem kardiovaskular (gagal
jantung, aritmia, hipotensi).
5. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain
folat)
6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penvebab apapunKeadaan pasca
operatif
8. Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
9. Karbohidrat: hipoglikemi
3.

Patogenesis Delirium
Walaupun patogenesis delirium belum diketahui secara pasti, beberapa teori

yang

diungkapkan

oleh

beberapa

pakar

tetap

penting

untuk

diperhatikan. Perubahan Electro Encephalo Graphic (EEG) (-8 kali per detik,
lebih lambat dari fungsi sistem saraf pusat normal) sering terjadi pada delirium

yang terkait dengan disfungsi korteks, hal ini disebabkan karena EEG mengukur
aktivitas listrik di korteks. Struktur subkorteks (formasiretikuler, thalamus)
mengendalikan aktivitas listrik di korteks sehingga struktur ini juga erat kaitannya
dengan delirium. Disaritmia korteks mengindikasikan adanya defisiensi substrat
tertentu, umumnya karena paparan abnormal glukosa dan oksigen dalam kada
rtertentu. Sayangnya, tidak semua pasien dengan delirium menunjukkan adanya
perlambatan EEG, dan bukti adanya defisiensi substrat tertentu tidak dapat
ditemukan pada sebagian besar kasus. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
mengganggu kemampuan sel saraf untuk menginisiasi aktivitas listrik.
Menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf akan menyebabkan melambatnya
gelombang EEG.
Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguanstructural dan
fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari padapasien dengan hepatic
encephalopathy dan pada pasien dengan putusalkohol. Patogenesis delirium
terdiri dari beberapa transmitter, yaitu:
a. Asetilkolin
Asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari
patogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat
antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung, pada pasien dengan
transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien
postoperatif delirium serum antikolinergik juga meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik.
Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik, pengobatan
simptomatis muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan
obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin: terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum.

GABA

(Gamma-Aminobutyric

Acid);

pada

pasien

dengan

hepaticencephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan


level ammonia terjadi pada pasien hepaticencephalopati, yang menyebabkan
peningkatan pada asamamino glutamat dan glutamine (kedua asam amino

inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf


pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine
dan alkohol.
4.

5.

Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:

Usia

Kerusakan otak

Riwayatdelirium

Ketergantungan alkohol

Diabetes

Kanker

Gangguan panca indera

Malnutrisi
Diagnosis
Kriteria diagiostik untuk delirium karena kondisi medis umum:

a. Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran terhadap


lingkungan)

dengan

penurunan

kemampuan

untuk

memusatkan,

mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.


b. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (biasanya beberapa
jam sampai hari dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.
c. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan
demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan, atau yang sedang
timbul.
d. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
Iaboratorium bahwa gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis
langsung dan kondisi medis umum.
6.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan standar

a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati, dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis

e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f Urinalisa


f. Elektrokardiogram (EKG)
g. Elektroensefalogram (EEG)
h. Sinar X dada
i. Skrining obat dalam darah dan urin
Ies tambahan jika diindikasikan :
a. Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis
b. Konsentrasi B 12, asam folat
c. Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi
magnetik (MRI)
d. Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis
7.

Gambaran klinis

a. Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan
delirium, satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien
dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai
delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti
kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual, muntah,
dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan
sebagai depresi, katatonik atau mengalami demensia.
b. Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang pasien
dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus
delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali
orang lain (sebagai contohnya, dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu
pada kasus yang berat Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap
dirinya sendiri.
c. Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa.
Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan, atau membingungkan
(inkoheren) dan gangguan kemampuan untuk mengerti pembicaraan Fungsi

kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi
ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan dan
mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh
mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian, pasien mungkin
mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala hipoaktif
delirium yang karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan
kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak
sistematik, kadang kadang paranoid.
d. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidak mampuan umum
untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi
sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi relatif sering pada
pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris walaupun
halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada
delirium.
e. Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak
beralasan. Kelainan suasana perasaan lain adalah apati, depresi, dan euforia.
f. Gejala Penyerta: Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah tergangga Paling
sedikit mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat
tidurnya atau di ruang keluarga. Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien
dengan delirium semata mata terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi
gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis yang dikenal luas sebagai
sundowning.
g. Gejala Neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis,
inkoordinasi, dan inkontinensia urin.

8.

Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan

delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan


fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin
memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia Obat yang
terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik
golongan butirofenon, dosis awal antara 2 10 mg IM, diulang dalam satu jam
jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam
cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral +I,5 kali lebih tinggi
dibandingkan dosis parenteral Dosis harian efektif total haloperidol 5 50 mg
untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu
butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif monitoring
EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnva. hidroksizine (vistaril)
dosis 25 100 mg.
9.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan

ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium
biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun
delirium biasanya berlangsung kurang dari I minggu setelah menghilangnya
faktor penyebab, gejala delirium menghilang dalam periode 3 7 hari, walaupun
beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu untuk menghilang secara
lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami
delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang.
Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada tahun
selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.
10.

Diagnosa Keperawatan

1. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan berespon pada sensori-perseptual (halusinasi dengan dan
lihat).
2. Risiko terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang kurang, status emoosional yang meningkat.

3. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem


penbdukung yang tidak adequat.
4. Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang menurun
5. Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat antipsikotik
berhubungan dengan kurangnya informasi.
11.

Rencana Tindakan

1. Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan berespon pada gangguan sensori-perseptual (halusinasi
dengar dan lihat).
Batasan kriteria :
Sasaran jangka pendek :
Dalam 2 minggu klien dapat mengenal tanda-tanda peningkatan kegelisahan
dan melaprkan pada perwat agasr dapat diberikan intervensi sesuai kebutuhan.
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak akan membahayakan diri, orang lain dan lingkungan selama di
rumah sakit.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Pertahankan agar lingkungan klien 1. Tingkat ansietas atau gelisah akan


pada tingkat stimulaus yang rendah

meningkat dalam lingkungan yang

(penyinaran rendah, sedikit orang,

penuh stimulus.

dekorasi

yang

sederhana

dan

tingakat kebisingan yang rendah)


2. Ciptakan lingkungan psikososial : 2.
sikap

perawat

penuh

yang

perhatian,

hangat).

Bina

bersahabat,

lembuh

hubungan

dan

Lingkungan
terapeutik

psikososial
akan

yang

menstimulasi

kemampuan perasaan kenyataan.

saling

percaya (menyapa klien dengan


rama memanggil nama klien, jujur ,
tepat janji, empati dan menghargai.
Tunjukkan

perwat

yang

bertanggung jawab
3. Observasi secara ketat perilaku klien 3. Observasi ketat merupakan hal yang

10

(setiap 15 menit)

penting, karena dengan demikian


intervensi yang tepat dapat diberikan
segera dan untuk selalu memastikan
bahwa kien berada dalam keadaan
aman

4. Kembangkan orientasi kenyataan : 4.


Bantu

kien

untuk

persepsinya. Beri

mengenal

Klien

perlu

dikembangkan

kemampuannya untuk menilai realita

umpan

balik

secara adequat agar klien dapat

klien

tanpa

beradaptasi dengan lingkungan.Klien

membantah

yang berada dalam keadaan gelisah,

kondisinya. Beri kesempatan untuk

bingung, klien tidak menggunakan

mengungkapkan persepsi an daya

benda-benda

orientasi.

membahayakan diri sendiri maupun

tentang

perilaku

menyokong

atau

tersebut

untuk

orang lain.
5. Lindungi klien dan keluarga dari 5. Klien halusinasi pada faase berat tidak
bahaya halusinasi : Kaji halusinasi

dapat

mengontrol

klien. Lakukan tindakan pengawasan

Lingkungan

yang

ketat, upayakan tidak melakukan

pengawasan

yang

pengikatan.

mencegah cedera.

perilakunya.
aman
tepat

dan
dapat

6. Tingkatkan peran serta keluarga pada 6. Klien yang sudah dapat mengontrol
tiap tahap perawatan dan jelaskan

halusinasinya

prinsip-prinsip

keluarga untuk mempertahnkannya.

tindakan

pada

perlu

sokongan

halusinasi.

7. Berikan obat-obatan antipsikotik 7. Obat neroleptika ini dipakai untuk


sesuai

dengan

program

terapi

Haloporidol (2 x 2 mg) dan (pantau

mengendalikan

psikosis

dan

mengurangi tanda-tanda agitasi.

keefektifan dan efek samping obat).

11

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake


yang kurang, status emosional yang meningkat.
Batasan kriteria :
Penurunan berat badan, konjunctiva dan membran mukosa pucat, turgor
kulit jelek, ketidakseimbangan elktrolit dan kelemahan)
Sasaran jangka pendek :
1. Klien dapat mencapai pertambahan 0,9 kg t hari kemudian
2. Hasil laboratorium elektrolit sserum klien akan kembali dalam batas normal
dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien tidak memperlihatkan tanda-tanda /gejala malnutrisi saat pulang.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Monitor masukan, haluaran dan 1. Informasi ini penting untuk membuat


jumlah kalori sesuai kebutuhan.

pengkajian nutrisi yang akurat dan


mempertahankan keamanan klien.

2. Timbang berat badan setiap pagi 2. Kehilangan berat badan merupakan


sebelum bangun

informasi penting untuk mengethui


perkembangan status nutrisi klien.

3. Jelaskan pentingnya nutrisi yang 3.

Klien

mungkin

tidak

memiliki

cukup bagi kesehatan dan proses

pengetahuan yang cukup atau akurat

penyembuhan.

berkenaan dengan kontribusi nutrisi


yang baik untuk kesehatan.

4. Kolaborasi: Dengan ahli gizi untuk 4.

Kolaborasi

Klien

lebih

suka

menyediakan makanan dalam porsi

menghabiskan makan yang disukai

yang

dengan

oleh klien. Cairan infus diberikan

Pemberian

cairan

pada klien yang tidak, kurang dalam

(IV-line).

Pantau

mengintake

(serum

elektrolit yang normal menunjukkan

cukup

kebutuhan.
perparenteral
hasil

sesuai

laboraotirum

elektrolit)
5. Sertakan keluarga dalam memnuhi 5.

makanan.

Serum

adanya homestasis dalam tubuh.


Perawat

bersama

keluarga

kebutuhan sehari-hari (makan dan

memperhatikan

kebutuhan fisiologis lainnya)

kebutuhan secara adekuat.

harus

pemenuhan

12

3. Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem


pendukung yang tidak adequat.
Batasan kriteria :
Kurang rasa percaya pada orang lain, sukar berinteraksi dengan orang lain,
komnuikasi yang tidak realistik, kontak mata kurang, berpikir tentang sesuatu
menurut pikirannya sendiri, afek emosi yang dangkal.
Sasaran jangka pendek :
Klien siap masuk dalam terapi aktivitas ditemani oleh seorang perawat yang
dipercayai dalam 1 minggu.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat secara sukarela meluangkan waktu bersama klien lainnya dan
perawat dalam aktivitas kelompok di unit rawat inap.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Ciptakan lingkungan terapeutik :


-

bina

hubungan

((menyapa

klien

saling

percaya

dengan

rama

memanggil nama klien, jujur , tepat

1. Lingkungan fisik dan psikososial yang


terapeutik
kemmapuan

akan

menstimulasi

klien

terhadap

kenyataan.

janji, empati dan menghargai).


- tunjukkan perawat yang bertanggung
jawab
- tingkatkan kontak klien dengan
lingkungan sosial secara bertahap

2. Perlihatkan penguatan positif pada 2. hal ini akan membuat klien merasa
klien.

Temani

klien

untuk

menjado orang yang berguna.

memperlihatkan dukungan selama


aktivitas kelompok yang mungkin
mnerupakan hal yang sukar bagi
klien.

3. Orientasikan klien pada waktu, 3. kesadran diri yang meningkat dalam


tempat dan orang.

hubungannya

dengan

lingkungan

13

waktu, tempat dan orang.


4. Berikan obat anti psikotik sesuai 4. Obat ini dipakai untuk mengendalikan
dengan program terapi (Haloperidol

psikosis dan mengurangi tanda-tanda

2x 2 mg)

agitasi

4. Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang menurun


Batasan kriteria :
Kemauan yang kurang untuk membersihkan tubuh, defekasi, be3rkemih dan
kurang minat dalam berpakaian yang rapi.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan keinginan untuk melakukan kegiatan hidup seharihari dalam 1 minggu
Sasaran jangka panjang :
Klien mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri dan
mendemosntrasikan suatu keinginan untuk melakukannya.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Dukung klien untuk melakukan 1.

Keberhasilan

menampilkan

kegiatan hidup sehari-hari sesuai

kemandirian dalam melakukan suatu

dengan tingkat kemampuan kien.

aktivitas akan meningkatkan harga


diri.

2. Dukung kemandirina klien, tetapi 2. Kenyamanan dan keamanan klien


beri bantuan kien saat kurang

merupakan

mampu

keperawatan.

melakukan

beberapa

priotoritas

dalam

kegiatan.

3. Berikan pengakuan dan penghargaan 3. Penguatan positif akan menignkatakan


positif untuk kemampuan mandiri.

harga diri dan mendukung terjadinya


pengulangan

perilaku

yang

diharapkan.
4.

Perlihatkan

secara

konkrit, 4. Karena berlaku pikiran yang konkrit,

bagaimana melakukan kegiatan yang

penjelasan harus diberikan sesuai

14

menurut

kien

sulit

untuk

tingkat pengetian yang nyata.

dilakukaknya.

5. Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat antipsikotik


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Batasan kriteria :
Adanya pertanyaan kurangnya pengetahuan, permintaaan untuk mendaptkan
informasi dan mengastakan adanya permaslah yang dialami kien.
Sasaran jangka pendek :
Klien dapat mengatakan efek terhadap tubuh yang diikuti dengan
implemetasi rencana pengjaran.
Sasaran jangka panjang :
Klien dapat mengatan pentingnya mengetahui dan kerja sama dalam
memantau gejala dan tanda efek samping obat.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Pantau tanda-tanda vital

1. Hipotensi ortostatik mungikn terjadi


pada pemakain obat antipsikotik,
Pemeriksaan tekanan darah dalam
posisi berbaring, dudujk dan berdiri.

2.

Tetaplah

bersama

klien

minum obat antipsikotik

3. Amati klien akan adanya EPS,

ketika 2.

Beberapa

klien

mungkin

menyembusnyikan oabt-obat tersebut.

3. distonia akut (spame lidah, wajah,


leher

dan

punggung),

akatisia

(gelisah, tidak dapat duduk dengan


tenang,

mengetuk-negetukan

kaki,pseudoparkinsonisme

(tremor

otot,

dengan

rifgiditas,

berjalan

menyeret kaki) dan diskinesia tardif


(mengecapkan

bibir,

menjulurkan

lidah dan gerakan mengunyah yang

15

konstan).

4. Beritahu klien bahwa dapat terjadi 4. Wanita dapat mempunyai periode


perubahan

yang

berkaitandengan

fungsi seksual dan menstruasi.

menstruasi yang tidak teratus atau


amenorhea

dan

mengalmi

pria

mungkin

impotens

atau

ginekomastik.

12.

Intervensi Nonfarmakologis yang Dapat Diberikan

a. Hindari penggunaan restrain


b. Selalu ada disaat klien membutuhkan
c. Hindari malnutrisi dan kekurangan vitamin
d. Berikan lingkungan yang nyaman
e. Ajarkan aktivitas untuk mengurangi cemas
f. Ajarkan cara berkomunikasi yang efektif
g. Lakukan orientasi pada klien
h. Gunakan teknik nonfarmakologi untuk membantu klien tidur
i. Mendukung partisipasi klien dalam kehidupan sehari-harinya
j. Mendukung klien melakukan mobilisasi/hindari immobilisasi

B.

Demensia

1.

Definisi Demensia
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya

diakibatkan oleh proses degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai
arus pikir. Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada
demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan
masalah, orientasi, persepsi, perhatian, dan konsentrasi, pertimbangan, dan
kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruh.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif
setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena
gangguan

otak

organik,

diikuti

keruntuhan

perilaku

dan

kepribadian,

16

dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori,


orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini
tidak

reversibel,

sebaliknya

progresif.

Diagnosis

dilaksanakan

dengan

pemeriksaan klinis, laboratorlum dan pemeriksaan pencitraan (imaging),


dimaksudkan untuk mencari penyebab yang bisa diobati. Pengobatan biasanya
hanya suportif. Zat penghambat kolinesterasa (Cholinesterase inhibitors) bisa
memperbaiki fungsi kognitif untuk sementara, dan membuat beberapa obat
antipsikotika lebih efektif daripada hanya dengan satu macam obat saja.
Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut
usia (l.k 5% untuk rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85
tahun). Kebanyakan mereka dirawat dalam panti dan menempati sejumlah 50%
tempat tidur.
2.

Etiologi

a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia Vaskular
c. Infeksi
d. Gangguan nutrisional
e. Gangguan metabolik
f. Gangguan peradangan kronis
g. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
h. Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
i. Anoksia
j. Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))
k. Hidrosefalus tekanan normal
3.
a.

b.

Klasifikasi Demensia
Menurut umur:

Demensia senilis (>65th)

Demensia prasenilis (<65th)

Menurut perjalanan penyakit:

Reversibel

Ireversibel

(Normal

pressure

hydrocephalus,

subdural

hematoma,

Defisiensi vit B, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb.

17

c.

d.

4.

Menurut kerusakan struktur otak

Tipe Alzheimer

Tipe non-Alzheimer

Demensia vaskular

Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)

Demensia Lobus frontal-temporal

Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)

Morbus Parkinson

Morbus Huntington

Morbus Pick

Morbus Jakob-Creutzfeldt

Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker

Prion disease

Palsi Supranuklear progresif

Multiple sklerosis

Neurosifilis

Tipe campuran

Menurut sifat klinis:

Demensia proprius

Pseudo-demensia
Tanda dan gejala

a. Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.


b. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
c. Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
d. Defisit neurologik motor & fokal
e. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
f. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
g. Agnosia, apraxia, afasia
h. ADL (Activities of Daily Living)susah
i. Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
j. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
k. Lupa meletakkan barang penting

18

l. Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting


m. Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
n. Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
o. Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
p. Tak dapat makan dan menelan
q. Koma dan kematian
5.

Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien

demensia, 50 60% menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe


demensia yang paling sering. Kira-kira 5% dari semua orang yang mencapai usia
65 tahun menderita demensia tipe Alzhermer, dibandingkan 15 25% dan semua
orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia yang paling sering kedua
adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan
dengan penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 30% dari semua kasus
demensia, sering pada usia 60 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi
merupakan faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
6.

Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk demensia tipe alzheimer:

a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik


1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi
baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya).
2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut :
Afasia (gangguan bahasa)
Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik
walaupun fungsi motorik adalah utuh)
Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi benda
walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria al dan a2 masing-masing menyebabkan
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.

19

c. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan
menetap

melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat.

d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan


laboratorium bahwa defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap
dari pemakaian zat (misalnya suatu obat yang disalahgunakan).
Kriteria diagnostik untuk demensia vaskular:
a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi
baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
Afasia (gangguan bahasa)
Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motorik
ataupun fungsi motorik adalah utuh)
Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
walaupun fungsi sensorik adalah utuh)
Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
suatu penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
c. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon dalam,
respon ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan,
kelemahan pada satu ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah
indikatif untuk penyakit serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang
mengenai korteks dan substansia putih di bawahnya) yang berhubungan secara
etiologi dengan gangguan.
d. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
7.

Pemeriksaan Lengkap

a. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap


b. Tanda vital
c. Mini mental state exemenation ( MMSE )
d. Pemeriksaan medikasi dan kadar obat

20

e. Skrining darah dan urin untuk alkohol


f. Pemeriksaan fisiologis
Elektrolit, glukosa, Ca , Mg.
Tes fungsi hati, ginjal
SMA -12 atau kimia serum yang ekuivalen
Urinalisa
Hit sel darah lengkap dan sel deferensial
Tes fungsi tiroid
FTA ABS
B12
Kadar folat
Kortikosteroid urine
Laju endap eritrosit
Antibodi antinuklear, C3C4, anti DSDNA
Gas darah Arterial
Skrining H I V
Porpobilinogen Urin.
g. Sinar-X dada
h. Elektrokardiogram (EKG)
i. Pemeriksaan neurologis
a. CT atau MRI kepala
b. SPECT
c. Pungsi lumbal
d. EEG
10. Tes neuropsikologis
8.

Gambaran Klinis

a. Gangguan Daya Ingat


Gangguan ingatan biasanya merupakan ciri yang awal don menonjol pada
demensia, khususnya pada demensia yang mengenai korteks, seperti demensia
tipe Alzheimer. Pada awal perjalanan demensia, gangguan daya ingat adalah
ringan dan paling jelas untuk peristiwa yang baru terjadi.

21

b. Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, waktu dan
tempat, orientasi dapat terganggu secara progresif selama perialanan penyaki
Demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan Demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. tetapi, tidak masalah
bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada
tingkat kesadaran.
c. Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer
dan demensia vaskular, dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien.
Kesulitan berbahasa ditandai oleh cara berkata yang samar-samar, stereotipik
tidak tepat, atau berputar-putar.
d. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi
keluarga pasien yang terkena. Pasien demensia mempunyai waham paranoid.
Gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan keperibadian
yang jelas, mudah marah dan m eledak ledak.
e. Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia tipe Alzheimer, memiliki halusinasi,
dan 30 40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik
dan tidak sistematik.
f. Gangguan Lain
Psikiatrik
Pasien demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis
yaitu, emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis
Disamping afasia, apraksia dan afmosia pada pasien demensia adalah sering.
Tanda neurologis lain adalah kejang pada demensia tipe Alzheimer clan demensia
vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai gejala neurologis tambahan seperti
nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan

22

tidur. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia lebih sering pada demensia
vaskular.
Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit
intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya berusaha
untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk
menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti mengubah
subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara lain.
Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak
disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat
dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap
dosis kecil obat psikoaktif.
9.

Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah untuk memberikan perawatan medis

suportit, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan


farmakologis untuk gejala spesifik (perilaku yang mengganggu). Pengobatan
farmakologis dengan obat yang mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi
harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril), yang mempunyai aktivitas
antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif dalam mengontrol
perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil. Benzodiazepim kerja
singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan sedatif yang lebih
disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat digunakan untuk
tujuan sedatif. TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu pengobatan untuk
penyakit Alzheimer, obat ini merupakan inhibitor aktivitas antikolinesterase
dengan lama kerja yang agak panjang.
10.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Perjalanan klasik dan demensia adalah onset pada pasien usia 50 60 tahun

dengan pemburukan bertahap selama 5 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan


kematian. usia saat onset dan kecepatan pemburukannya adalah bervariasi
diantara tipe demensia yang berbeda dan dalam kategori diagnostik individual.

23

11.

Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuronal dan demensia


progresif.
b. Risiko terhadap cedera berhubungan dengan defisit sensori dan motorik
c. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi, kehilangan
kognitif dan perilaku disfungsi.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perawatan anggota keluarga
yang mengalami disfungsi.
e. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kerusakan kognitif & perilaku
disfungsi.
f. Kerusakan komunikasi berhubungan dengan gangguan pendengaran
g. Konfusi kronis berhubungan dengan degenerasi progresif korteks serebri
sekunder akibat demensia
12.

Intervensi Keperawatan

1. Perubahan proses pikir b/d degenerasi neuronal dan demensia progresif.


Tujuan: Setelah diberi askep 324 jam diharapkan pasien mampu
memelihara fungsi kognitif yang optimal dengan kriteria :
Mempertahankan fungsi ingatan yang optimal.
Memperlihatkan penurunan dalam prilaku yang bingung.
Menunjukkan respons yang sesuai untuk stimuli taktil, visual dan auditori.
Mengungkapkan rasa keamanan dan perlindungan.
Menunjukkan orientasi optimal terhadap waktu, tempat dan orang.
Intervensi Keperawatan :
a. Kurangi konfusi lingkungan.
Dekati pasien dengan cara menyenangkan dan kalem.
Cobalah agar mudah ditebak dalam sikap dan percakapa perawat.
Jaga lingkungan tetap sederhana dan menyenagkan.
Pertahankan jadwal sehari-hari yang teratur.
Alat bantu mengingat sesuai yang diperlukan.
Rasional: Stimuli

yang sederhana dan terbatas akan memfasilitasi

interpretasi dan mengurangi distorsi input; perilaku yang dapat ditebak kurang

24

mengancam disbanding perilaku yang tidak dapat ditebak; alat bantu ingatan akan
membantu pasien untuk mengingat.
b. Tingkatkan isyarat lingkungan
Perkenalkan diri perawat ketika berinteraksi dengan pasien.
Panggil pasien dengan menyebutkan namanya.
Berikan isyarat lingkungan untuk orientasi waktu, tempat dan orang.
Rasional: Isyarat lingkungan akan meningkatkan orientasi terhadap waktu,
tempat dan orang dan individu akan mengisi kesenjangan ingatan dan berfungsi
sebagai pengingat.
2. Risiko terhadap cedera b/d defisit sensori dan motorik.
Tujuan: Setelah diberi askep 324 jam diharapkan pasien mampu
mempertahankan keselamatan fisik dengan kriteria :
Mematuhi prosedur keselamatan.
Dapat bergerak dengan bebas dan mandiri disekitar rumah.
Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindungi.
Intervensi Keperawatan:
a. Kendalikan lingkungan.
Singkirkan bahaya yang tampak jelas.
Kurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur..
Pantau regimen medikasi.
Ijinkan merokok hanya dalam pengawasan.
Pantau suhu makanan.
Awasi semua aktivitas diluar rumah.
Rational: Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi risiko cedera
dan membebaskan keluarga dari kekhawatiran yang konstan.
b. Ijinkan kemandirian dan kebebasan maksimum.
Berikan kebebasan dalam lingkungan yang aman.
Hindari penggunaan restrain.
Kerika pasien melamun, alihkan perhatiannya.
Simpan tag identifikasi pada pasien.
Rational: Hal ini akan memberikan pasien rasa otonomi.Restrain dapat
meningkatkan agitasi.Pengalihan perhatian difasilitasi oleh kehilangan ingatan
25

segera.Nama dan nomor telpon akan memfasilitasi kembalinya dengan aman


pasien yang sedang melamun.
c. Kaji adanya hipotensi ortostatik
Rational: Dapat menyebabkan cedera
d. Ajarkan klien bergerak dari posisi tidur ke berdiri secara bertahap
Rational: Mencegah terjadinya hipotensi ortostatik yang dapat menyebabkan
cedera
e. Ajarkan latihan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
Rational: Dengan meningkatnya kekuatan otot akan mencegah terjadinya
cedera.
13.

Intervensi yang Dapat Diberikan

a. Orientasikan keadaan klien


b. Hindari stimulasi berlebihan ketika berbicara dengan klien
c. Observasi komunikasi verbal dan non verbal klien
d. Kontrol nyeri
e. Tingkatkan pemberian nutrisi dan cairan
f. Kurangi stimulasi lingkungan
g. Tingkatkan memori klien
h. Berikan lingkungan yang nyaman

C.

Gangguan Amnestik
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan

daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda
lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika
mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat
pada delirium.
2.

Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden atau prevalensi gangguan ingatan

pada gangguan spesifik (sebagai contohnya sklerosis multipel). Amnesia paling


sering ditemukan pada gangguan penggunaan alkohol dan cedera kepala.

26

3.

Etiologi

a. Kondisi medis sistemik


Defisiensi tiamin (Sindroma Korsakoff)
Hipoglikemia
b. Kondisi otak primer
Kejang
Trauma kepala (tertutup dan tembus)
Tumor serebrovaskular (terutama thalamik dan lobus temporalis)
Prosedur bedah pada otak
Ensefalitis karena herpes simpleks
Hipoksia (terutama usaha pencekikan yang tidak mematikan dan keracunan
karbonmonoksida)
Amnesia global transien
Terapi elektrokonvulsif
Sklerosis multipel
c. Penyebab berhubungan dengan zat
Gangguan pengguanan alkohol
Neurotoksin
Benzodiazepin (dan sedatif- hipnotik lain)
Banyak preparat yang dijual bebas.
4.

Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk gangguan amnestik karena kondisi medis umum

a. Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh


gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidak
mampuan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Ganguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial
atau pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dan tingkat fungsi
sebelumnya.
c. Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu
delirium atau suatu demensia.

27

d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan


laboratorium bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi
medis umum (termasuk trauma fisik)
5.

Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya

ingat yang ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi
baru (amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan
yang sebelumnya diingat (amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien
terjadi amnesia kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa
saat sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga
hilang. Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja
(recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote post
memory) untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned)
seperti pengalaman maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa
yang kurang lama ( lewat dari 10 tahun) adalah terganggu.
6.

Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan

amnestik Setelah resolusi episode amnestik, suatu jenis psikoterapi (sebagai


contohnya, kognitif, psikodinamika, atau suportif dapat membantu pasien
menerima pangalaman amnestik kedalam kehidupannya.
7.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau menetap

dan hasil akhir dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap.1

D.

Gangguan Mental Organik Lain

1.

Epilepsi

a.

Definisi Epilepsi
Suatu kejang (seizure) adalah suatu gangguan patologis paroksismal

sementara dalam gangguan patologis paroksismal sementara dalam fungsi


cerebral yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang spontan dan luas Pasien
dikatakan menderita epilepsi jika mereka mempunyai keadaan kronis yang
ditandai dengan kejang yang rekuren.

28

Epilepsi merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas elektrik yang


periodik dan eksesif dari neuron serebrum yang dapat menimbulkan hilangnya
kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktifitas
otonom dan berbagai gangguan psikis.
b.

Etiologi
Penyebab epilepsi umumnya dibagi menjadi 2 :

1. Idiopatik ( primer/essensial )
Pada jenis ini, tidak dapat diketemukan adanya suatu lesi organik di otak.
Tidak dimulai dengan serangan fokal. Gangguan bersifat fungsional di daerah
dasar otak yang mempunyai kemampuan mengontrol aktifitas korteks.
2. Simptomatik akibat kelainan otak
Serangan epilepsi merupakan gejala dari suatu penyakit organik otak.
Misalnya karena adanya demam, penyakit otak degeneratif difus, infark,
enchepalitis, abses, tumor serebrum, jaringan parut setelah cedera kepala, anoksia,
toksemia, hipogliklemia, hipokalasemia, atau gejala putus obat.
Timbulnya

serangan

kejang

adalah

kemugkinan

adanya

ketidakseimbangan antara asetilkolin dan GABA ( asam gama amino butirat ),


merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi,
yang

dalam

jumlah

berlebihan

menimbulkan

kejang.

Sedang

GABA

menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas


dan menekan timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme
otak seperti penyakit metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat
menimbulkan pengaruh yang sama.
c.

Gejala Epilepsi

1. Grand mal ( tonik-klonik umum )


Jenis ini bersifat sekunder, yakni berasal dari epilepsi partial kemudian
menjadi serangan (bangkitan) umum.
Fase serangan :
a. Fase tonik
Ditandai dengan kontraksi semua otot, kelopak mata tetap terbuka, lengan
terangkat, abduksi, terputar keluar, sendi siku fleksi, tungkai juga fleksi
(tertekuk). Setelah fleksi segera diikuti ekstensi yang disertai jeritan epilepsi

29

beberapa detik. Leher dan punggung melengkung menjadi posisi opistotonik,


lengan dan tungkai juga ekstensi. Berlangsung antara 10-20 detik.
b. Fase klonik
Berlangsung selama kurang lebih 30 detik. Menunjukkan adanya gerakan
spasmus fleksi berganti-ganti denga relaksasi. Penderita dapat menggigit lidahnya,
sianosis, hipertensi, takhicardi, hiperhodrosis, midriasis, salivasinya bertambah.
c. Fase paska serangan ( koma )
Semua aktifitas otot berhenti. Dalam waktu 15 menit kesadaran akan pulih
lembali. Kesadaran akan pulih secara normal dalam 1-2 jam. Penderita merasa
lesu, otot-otot nyeri dan sakit kepala.
2. Petit mal
Merupakan eilepsi yang tenang. Penderita biasanya anak-anak atau dewasa
muda. Ketika melakukan aktifitas, tiba-tiba berhenti, sering terdapat gerakan kecil
seperti gerakan-gerakan kelopak mata, mengunyah, gerakan-gerakan bibir.
Serangan berakhir dalam 60 detik Kesadaran juga segera normal. Dalam sehari,
serangan dapat 10-20 kali.
3. Partial
a. Sederhana ( tidak terdapat gangguan kesadaran )
b. Kompleks ( terdapat gangguan ksadaran )
d.

Klasifikasi Epilepsi

1. Epilepsi umum
a. Epilepsi umum primer, misalnya epilepsi grand mal, petit mal, epilepsi
juvenil mioklonik
b. Epilepsi umum sekunder, misalnya spasme infantil, epilepsi mioklonik
astatik
2. Epilepsi partial
a. Disertai dengan gejala elementer ( tanpa gangguan kesadaran ), misalnya
dengan gejala motorik, sensorik atau otonomik
b. Disertai dengan gejala komplek ( dengan gangguan kesadaran )
c. Disertai fenomena sekunder ( misalnya menjadi epilepsi umum )

30

e.

Kejang umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai gejala klasik hilangnya kesadaran,

gerakan tonik klonik umum pada tungkai, menggigit lidah, dan inkotinensia.
Walaupun diagnosis peristiwa kilat dari kejang adalah relatif langsung, keadaan
pascaiktal yang ditandai oleh pemulihan kesadaran dan kognisi yang lambat dan
bertahap kadang-kadang memberikan suatu dilema diagnostik bagi dokter
psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode pemulihan dan kejang tonik klonik
umum terentang dari beberapa menit sampai berjam-jam. Gambaran klinis adalah
delirium yang menghilang secara bertahap. Masalah psikiatrik yang paling sering
berhubungan dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan
gangguan neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dan obat
antiepileptik.
f.

Pengkajian

1. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
2. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila
diajak bicara.
3. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
4. Riwayat penyakit dahulu:
o Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
o Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
o Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
o Tumor Otak
o Kelainan pembuluh darah

31

o demam,
o stroke
o gangguan tidur
o penggunaan obat
o hiperventilasi
o stress emosional
5. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat
dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
6. Riwayat psikososial
o Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
o Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di
masyarakat).
7. Pemeriksaan fisik (ROS)
B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
B3 (brain): penurunan kesadaran
B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
8. Analisis Data
c.

Diagnosa Keperawatan

1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan


keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
32

5. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia


6. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
d.

Intervensi dan rasional

1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan


keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh.
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi

Rasional

Observasi:
Identifikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera

membahayakan saat terjadi kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam

Mengidentifikasi perkembangan atau


penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang

terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien

Penjagaan untuk keamanan, untuk


mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar

mencegah terjadinya cedera pada


pasien

Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan


beberapa lama setelah kejang

pasien untuk kemungkinan terjadi


kejang kembali

Menyiapkan

kain

lunak

untuk Lidah berpotensi tergigit saat kejang

mencegah terjadinya tergigitnya lidah karena menjulur keluar

33

saat terjadi kejang


Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi
tidak biasa yang dialami beberapa saat awal sebelum terjadinya kejang pada
sebelum kejang

pasien

Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai Mengurangi aktivitas kejang yang
advice dokter

berkepanjangan,

yang

dapat

mengurangi suplai oksigen ke otak


Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak

biasa

sebagai

permulaan

terjadinya kejang.
Berikan

informasi

pada

keluarga Melibatkan

keluarga

untuk

tentang tindakan yang harus dilakukan mengurangi resiko cedera


selama pasien kejang

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak
ada dispnea
Intervensi

Rasional

Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan menurunkan

resiko

aspirasi

atau

mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, meningkatkan aliran (drainase) sekret,

34

permukaan datar

mencegah lidah jatuh dan menyumbat


jalan nafas

Tanggalkan pakaian pada daerah leher / untuk memfasilitasi usaha bernafas /


dada dan abdomen

ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi

Mengeluarkan mukus yang berlebih,


menurunkan

resiko

aspirasi

atau

asfiksia.

Membantu

Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi

memenuhi

kebutuhan

oksigen agar tetap adekuat, dapat


menurunkan hipoksia serebral sebagai
akibat dari sirkulasi yang menurun
atau

oksigen

sekunder

terhadap

spasme vaskuler selama serangan


kejang.

3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
o adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
o menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi

Rasional

Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- Memberi
factor

yang

berpengaruh

perasaan isolasi sosial pasien

pada tentang

informasi
factor

yang

pada

perawat

menyebabkan

isolasi sosial pasien

Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan
motivasi pada pasien

psikologis

dan

motivasi

dapat membuat pasien lebih percaya diri

35

Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater

Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan

terhadap

kesadaran

diri

sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan

kesempatan

untuk

kelompok penyokong, seperti yayasan mendapatkan informasi, dukungan ideepilepsi dan sebagainya.

ide untuk mengatasi masalah dari orang


lain yang telah mempunyai pengalaman
yang sama.

Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
motivasi kepada pasien

sangat

mempunyai

pengaruh

besar

dalam keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan Menghilangkan stigma buruk terhadap


teman dekat pasien bahwa penyakit penderita epilepsi
epilepsi tidak menular

2.

(bahwa penyakit

epilepsi dapat menular).

Absences (Petit Mal)


Suatu tipe kejang umum yang sulit didiagnosis bagi dokter psikiatrik adalah

absence atau kejang petitmal. Sifat epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa
diketahui, karena manifestasi motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi
tidak ada atau sangat ringan sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter.
Epilepsi petit mal biasanya mulai pada masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun
dan menghilang pada pubertas. Kehilangan kesadaran singkat, selama mana
pasien tiba-tiba kehilangan kontak dengan hngkungan, adalah karakteristik untuk
epilepsi petit mal; tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran atau
gerakan kejang yang sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi ( EEG)
menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave)
tiga kali perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset
dewasa dapat ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan

36

rekuren yang tampak dan menghilane secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan
riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial liziane parsial diklasifikasikan sebagai sederhana (tanpa
perubahan kesadaran) atau kompleks (dengan perubahan kesadaran) sedikit lebih
banyak dari setengah semua pasien dengan kelane parsial mengalami kejang
parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk kejang parsial kompleks
adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan epilepsi limbik tetapi
istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat. Epilepsi
parsial kompleks adalah bentuk epilepsi pada orang dewasa yang paling
senngcang mengenai 3 dan 1.000 orang.
a.

Gejala Absences (Petit Mal)

1.

Gejala praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk

sensasi otonomik (sebagai contohnya rasa penuh di perut, kemerahan, dan


perubahan pada pernafasan), sensasi kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais
vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi). keadaan afektif (sebagai
contohnya, rasa takut, panik, depresi, dan elasi) dan secara klasik. automatisme
(sebagai contohnya, mengecapkan bibir, menggosok, dan mengayah).
2.

Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi, terdisorganisasi, dan singkat menandai

serangan iktal. Walaupun beberapa pengacara pembela mungkin mengklaim yang


sebaliknya, jarang sesorang menunjukkan perilaku kekerasan yang terarah dan
tersusun selama episode epileptik Gejala kognitif adalah termasuk amnesia untuk
waktu selama kejang dan suatu periode delirium yang menghilang setelah kejang.
Pada pasien dengan epilepsi parsial kompleks, suatu fokus kejang dapat
ditemukan pada pemeriksaan EEG pada 25 sampai 50 % dari semua pasien.
Penggunaan elektroda sfenoid atau temporalis anterior dan EEG pada saat tidak
tidur dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya kelainan EEG. EEG
normal multipel seringkali ditemukan dart seorang pasien dengan epilepsi
parsial kompleks; dengan demikian EEG normal tidak dapat digunakan untuk
mneyingkirkan diagnosis epilepsi parsial. kompleks- Penggunaan perekaman EEG
jangka panjang (24 sampai 72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi suatu

37

fokus kejang pada beberapa pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa


penggunaan lead nasofaring tidak menambah banyak kepekaan pada EEG, dan
yang jelas menambahkan ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.
3.

Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan psikiatrik yang paling sering dilaporkan

pada pasien epileptik adalah gangguan kepribadian, dan biasanya kemungkinan


terjadi pada pasien dengan epilepsi dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling
sering adalah perubahan perilaku seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut
viskositas kepribadian, religiositas, dan pengalaman emosi yang melambung.
Sindroma dalam bentuk komplitnya relatif jarang, bahkan pada mereka dengan
kejang parsialkompleks dengan asal lobus temporalis. Banyak pasien tidak
mengalami perubahan kepribadian, yang lainnya mengalami berbagai gangguan
yang jelas berbeda dari sindroma klasik.
Perubahan

pada

perilaku

seksual

dapat

dimanifestasikan

sebagai

hiperseksualitas; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetihisme dan


transfetihisme; dan yang paling sering, hiposeksualitas Hiposeksualitas ditandai
oleh hilangnya minat dalam masalah seksual dan dengan menolak rangsangan
seksual Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas
mungkin tidak dapat mencapai tingkat minat seksual yang normal setelah
pubertas, walaupunkarakteristik tersebut mungkin tidak mengganggu pasien.
Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas. perubahan
dalam minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan.
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling dapat diperhatikan pada
percakapan pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan lamban,
suka menonjolkan keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak penting,
dan seringkali berputar-putar. Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi tidak
mampu menemukan cara yang sopan dan berhasil untuk melepaskan diri dari
percakapan. Kecenderungan pembicaraan seringkali dicerminkan dalam tulisan
pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal sebagai hipergrafia yang
dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi parsial
komplaks.

38

Religiositas mungkin jelas dan dapat dimanifestasikan bukan hanya dengan


meningkatny peran serta pada aktivitas yang sangat religius tetapi juga oleh
permasalahan moral dan etik yang tidak umum, keasyikan dengan benar dan
salah, dan meningkatnya minat pada perlahamasalahan global dan filosofi Ciri
hiperreligius kadang-kadang dapat tampak seperti gejala prodromal skizofrenia
dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada seorang remaja atau dewasa
muda.
4.

Gejala Psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah lebih sering dari psikosis iktal. Episode

interpsikotik yang mirip skizofrenia dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi,
khususnya yang berasal dan lobus temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen
dari semua pasien dengan apilepsi partial kompleks mempunyai gejala psikotik
Faktor risiko untuk gejala tersebut adalah jenis kelamin wanita kidal onset kejang
selama pubertas, dan lesi di sisi kiri.
Onset gelala psikotik pada epilepsi adalah bervariasi. Biasanya, gejala
psikotik tarnpak pada pasien yang telah menderita epilepsi untuk jangka waktu
yang lama, dan onset gejala psikotik di dahului oleh perkembangan perubahan
kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas otak epileptik gejala psikosis
yang paling karakteristik adalah halusinasi dan waham paranoid. Biasanya. pasien
tetap hangat dan sesuai pada afeknya, berbeda dengan kelainan yang sering
ditemukan pada pasien skizofrenik Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi
psikotik paling sering merupakan gejala yang melibatkan konseptualisasi dan
sirkumstansialitas, ketimbang gejala skizofrenik klasik berupa penghambatan
(blocking) dan kekenduran (looseness), kekerasan. kekerasan episodik merupakan
masalah pada beberapa pasien dengan epilepsi khususnya epilepsi lobus
temporalis dan frontalis. Apakah kekerasan merupakan manifestasi dan kejang itu
sendiri atau merupakan psikopatologi interiktal adalah tidak pasti. Sampai
sekarang ini, sebagian besar data menunjukkan sangat jarangnya kekerasan
sebagai suatu fenomena iktal. Hanya pada kasus yang jarang suatu kekerasan
pasien epileptik dapat disebabkan oleh kejang itu sendiri.

39

5.

Gejala Gangguan Perasaan


Gejala gangguan perasaan, seperti depresi dan mania, terlihat lebih jarang

pada epilepsi dibandingkan gejala mirip skizofrenia. Gejala gangguan mood yang
terjadi cenderung bersifat episodik dan terjadi paling sering jika fokus epileptik
mengenai lobus temporalis dan hemisfer serebral non dominan. Kepentingan
gejala gangguan perasaan pada epilepsi mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya
insidensi usaha bunuh diri pada orang dengan epilepsi.
b.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan

interiktaldari epilepsi merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa


adanya perubahan yang bemakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif
Dengan demikian, dokter psikiatrik harus menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi
selama memeriksa seorang pasien baru dan harus mempertimbangkan
kemungkman gangguan epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala klasik.
Diagnosis banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure),
dimana pasien mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip.
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya
gejala psikiatrik yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu
evolusi, timbulnya gejala epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan
mood, perubahan kepribadian, atau gejala kecemasan (sebagai contohnya,
serangan panik) harus menyebabkan klinisi menilai pengendalian epilepsi pasien
dan memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya gangguan mental yang
tersendiri. Pada keadaan tersebut klinisi harus menilai kepatuhan pasien terhadap
regimen obat antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah gejala psikotik
merupakan efek toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik
tampak pada seorang pasien yang pernah mempunyai epilepsi yang telah
didiagnosis atau dipertimbangkan sebagai diagnosis di masa lalu, klinisi harus
mendapatkan satu atau lebih pemeriksaan EEG.
Pada pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis
epilepsi. empat karakteristik hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan
tersebut; onset psikosis yang tiba-tiba pada seseorang yang sebelumnya dianggap
sehat secara psikologis, onset delirium yang tiba-tiba tanpa penyebab yang

40

diketahui, riwayat episode yang serupa dengan onset yang mendadak dan
pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya yang tidak
dapat dijelaskan.
c.

Pengobatan
Karbamazepin (Tegretol) dan asam valproik (Depakene) mungkin

membantu dalam mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena


mereka adalah obat antipsikotik tipikal Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi
kelompok mungkin berguna dalam menjawab masalah psikososial yang
berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu, klinisi haru; menyadari bahwa
banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan kognitif derajat ringan
sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian medikasi harus
dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu masalah pada
pasien tertentu.

41

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat

suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit


cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah
gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum
(contohnya skizofrenia dan depresi). Dari sejarahnya, bidang neurologi telah
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan psikiatri
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional.
Etiologi primer berasal dari suatu penyakit di otak dan suatu cedera atau
rudapaksa otak atau dapat dikatakan disfungsi otak. Sedangkan etiologi sekunder
berasal dari penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari
beberapa organ atau sistem tubuh. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah
kesadaran yang menurun (delirium) dan sesudahnya terdapat amnesia, pada
Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia

42

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku


Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu hal 502-540. Jakarta: Binarupa Aksara,
1997.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M. Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi
keenam, cetakan ke dua hal 28-42. Jakarta: Buku kedokteran, 1995.
3. Anonumous. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1 hal 189-192.
Jakarta: Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993. hal 3
5. Maramis. W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI hal 179-211.
Surabaya: Airlangga University Press, 1992.
6. Balas MC, Rice M, Chaperon C, et al. Management of delirium in critically ill
older adults. Critical Care Nurse 2012; 32 (4): 15-25.
7. Joosse LL, Palmer D, Lang NM. Caring for elderly patients with dementia:
nursing interventions. Nursing: Research and Reviews 2013; 3: 107117.

43

Anda mungkin juga menyukai