Anda di halaman 1dari 15

OBSESSIVE COMPULSIVE DISORDER (OCD)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Abnormal
Yang dibina oleh : Taufiqurrahman,MA

Disusun oleh
Sufyan Abdillah
16410014
D

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan anugerah-nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Obsessive Compulsive Disorder” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikilogi
Abnormal. Isi dari makalah ini adalah paparan pengetahuan tentang gangguan
Obsessive Compulsive Disorder.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang berperan dalam penyusunan makalah ini

Malang, 04 Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan Obsesif kompulsif disorder ditandai dengan adanya obsesi dan
kompulsif. Obsesi adalah gagasan, khayalan, atau dorongan yang berulang, tidak
diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan.
Gangguan Obsesif kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder,OCD) adalah
kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol pikirannya yang menjadi obsesi
yang sebenarnya tidak diharapkan dan mengulangi beberapa kegiatan tertentu untuk
dapat mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat kecemasannya.
Gangguan Obsesif Kompulsif merupaka gangguan kecemasan dimana dalam
kehidupan individu didominasi oleh obsesif yang ditindak lanjuti dengan perbuatan
secara berulang untuk menurunkan kecemasannya.
Penderita gangguan ini mungkin telah berusaha untuk melawan pikiran yang
mengganggunya tersebut yang timbul secara berulang, akan tetapi tidak mampu
menahan dorongan berulang untuk memastikan segala sesuatunya baik – baik saja.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa konsep dasar Obessive Compulsive Disorder?
2. Bagaimana epidemiologi Obsessive Compulsive Disorder?
3. Bagaimana etiologi Obsessive Compulsive Disorder?
4. Bagaimana diagnosis dan terapi Obsessive Compulsive Disorder?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar Obessive Compulsive Disorder.
2. Untuk memahami epidemiologi Obsessive Compulsive Disorder.
3. Unuk memahami etiologi Obsessive Compulsive Disorder.
4. Untuk mengetahui diagnosis dan penanganan terapi Obsessive Compulsive
Disorder.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Obsessive Compulsive Disorder ( OCD)
Suatu obsesi adalah pikiran, ide, atau dorongan yang inrusif dan berulang dan
berada di luar kemampuan sesorang untuk mengendalikannya. Obsesi dapat
menjadi sangat kuat dan persisten sehingga dapat mengganggu kehidupan sehari –
hari dan menimbulkan distress serta kecemasan signifikan (Nevi dkk.., 2003;
Hoeksema, 2001). Suatu kompulsi adalah perilaku yang berulang (seperti mencuci
tangan atau memeriksa kunci pintu) atau tindakan mental repetitif (seperti
mengulang – ulang kata – kata tertentu, atau menghitung) yang dirasakan seseorang
sebagai keharusan atau doronga yang harus dilakukan (APA, 2000).
Kompulsi seringkali sebagai jawaban terhadap pikiran obsesif dan muncul
dengan cukup sering serta kuat sehingga mengganggu kehidupan sehari – hari atau
menyebabkan disterss yang signifikan. Kebanyakan kompulsi berupa dua kategori
yaitu ritual pengecekan (checking) dan ritual bersih – bersih (celaning). Ritual
pengecekan, seperti memaksa secara berulang apakah pintu – pintu sudah terkunci
sebelum meninggalkan rumah akan menyebabkan keterlambatan dan mengganggu
orang lain. Demikian pula bila memiliki kompulsi bersih – bersih, akan memakan
waktu beberapa jam dalam sehari.
Kompulsi sering menyertai obsesi dan akan menimbulkan perasaan lega karena
kecemasan yang ditimbulkan oleh pikiran – pikiran obsesif. Dengan mencuci
tangan 40 hingga 50 kali berturut-turut setiap kali menyentuh gagang pintu di depan
umum, pencuci tangan yang kompulsif akan merasakan kelegaan dari kecemasan
yang dimunculkan oleh pikiran obsesifnya bahwa kotoran atau kuman – kuman
masih menempel di kulit. Penderita gangguan obsesif kompulsif percaya bahwa
tindakan kompulsifnya akan mencegah terjadinya suatu peristiwa yang
menakutkan, meskipun tidak ada dasar realistik untuk keyakinan ini dan juga
tingkah lakunya jauh dari masuk akal untuk situasi seperti itu. Ritual kompulsif
sepertinya juga mengurangi kecemasan yang akan terjadi seandainya tingkah laku
tersebut dicegah untuk dilakukan (Foa, dalam Nevid dkk.., 2003).
Individu yang mempunyai gangguan obsesif kompulsif menngalami kesulitan
dalam mengehentikan pikiran-pikiran tersebut disebabkan karena (a) mengalami
depresi atau selalu cemas dalam kesehariannya sehingga mudah memunculkan
pikiran-pikiran negatif meski hanya berupa kejadian kecil, (b) memiliki tendensi
berpikir moralitas dan kaku, berpandangan bahwa pikiran-pikiran negatif adalah
sesuatu yang tidak dapat diterima dan membuat mereka akan merasa cemas dan
bersalah bila memiliki pemikiran negatif seperti itu, (c) meyakini bahwa harus
mampu mengontrol semua pikiran-pikiran dan memiliki kesulitan untuk menerima
bahwa setiap orang mempunyai pemikiran yang kadang-kadang memang
menimbulkan perasaan takut atau cemas.

2.2 Epidemiologi Obsessive Compulsive Disorder (OCD)


Gangguan obsesif kompulsif adalah pengyakit jiwa keempat yang paling
umum setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresi berat,
dengan prevalensi ada di sekitar 2 sampai 3 persen. Untuk orang dewasa laki-laki
dan wanita sama-sama memiliki kemungkinan mengidap gangguan obsesif
kompulsif. Teapi, untuk remaja, laki – laki lebih sering terkena gangguan obsesesif
kompulsif dibandingkan perempuan.Usia rata – rata adalah 20 tahun, walaupun laki
-laki memiliki usia agak lebih awal (rata – rata sekitar usia 19 tahun) dibandingkan
wanita (rata – rata sekitar usia 22 tahun). Secara keseluruhan, kira – kira dua pertiga
dari pasien mempunyai gejala sebelum usia 25 tahun. Gangguan obsesif kompulsif
ditemukan lebih jarang di antara golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih.
Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesif kompulsif
kompulsif dibandingkan orang yang sudah menikah, walaupun temuan tersebut
kemungkinan mencerminkan kesulitan yang dimiliki pasien dengan gangguan
obesisif kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan.
Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada
pasien dengan gangguan obsesif kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan untuk
fobia adalah kira – kira 25 persen. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 2-2,4 persen,
dan sebagian besar gangguan dimulai pada saat remaja atau dewasa awal (18-24
tahun). Tetapi bisa juga terjadi pada masa kanak – kanak. Puncak usia dari
permulaan sengan bagi laki – laki adalah 6-15 tahun, dan untuk perempuan adalah
20-29 tahun.
2.3 Etiologi Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
a) Faktor Biologis
Serotonergik
Terdapat hipotesis bahwa ada disregulasi serotonin yang terlibat dalam
formasi gejala gangguan obsesif kompulsif. Data-data yang ada
menunjukkan bahwa obat-obat serotonergik lebih efektif daripada obat
yang mempengaruhi sistem neurotransmitter secara keseluruhan,tetapi
peran serotin sendiri masih belum pasti sebagai penyebab gangguan
obsesif kompulsif.
Neuroimunologik
Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
infeksi streptokokus dan gangguan obsesif kompulsif. Infeksi streptokokus
grup A hemolitikus dapat meyebabkan demam rematik dan 10-30 persen
pasien menimbulkan Sydenham’s Chorea dan menunjukkan gejala
gangguan obsesif kompulsif.
Noradrenergik
Masih terdapat kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa disfungsi sistem
noradrenergik sebagai penyebab gangguan obsesif kompulisf. Tetapi
peran clonidine sebagai obat yang menurunkan jumlah norepinefrin yang
keluar dari nervus presinaptik terminalis, menunjukkan perbaikan
terhadap gejala – gejala gangguan obsesif kompulsif.
Studi Pencitraaan Otak
Berbagai penelitian otak fungsional sebagai contoh , tomografi emisi
positron (PET) telah menemukan peningkatan aktivitas (sebagai contoh,
metabolisme dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis
(khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif. Sedangkan data dari CT-Scan dan MRI menemukan caudatus
yang mengecil dikedua hemisfer.
Genetika
Beberapa pendekatan telah digunakan untuk mengevaluasi peran hereditas
dalam gangguan obsesif kompulsif. Hasilnya, terdapat hubungan dalam
pengekspresian gangguan ini pada orang kembar. Pendekatan kedua
dilakukan investigasi pada anggota keluarga dari pasien gangguan obsesif
kompulsif, dan menemukan hasil bermakna terhadap variasi kondisi
gangguan terkait obsesif kompulsif, seperti gangguan kecemasan
menyeluruh, gangguan pencitraan tubuh, dan gangguan makan.
Data Biologis Lain
Studi elektrofisiologi, sleep electroencephahalogram, dan studi
neuroendokrin menunjukkan adanya hubungan antara depresi dan obsesif
kompulsif. Terdapat peningkatan insidensi keabnormalan EEG yang terjadi
pada pasien dengn gangguan obsesif kompulsif. Sleep EEG menunjukkan
abnormalitas yang sama antara gangguan depresif, seperti penurunan
rapid-eye movement yang laten juga terjadi pada gangguan obsesif
kompulsif.
b) Faktor Perilaku
Menurut teori-teori pembelajaran, obsesi ditandai dengan stimulus yang
terkondisi. Stimulus netral dapat menjadi terhubung dengan ketakutan dan
kecemasan. Sedangkan, kompulsi ditegakkan dengan cara yang berbeda.
Ketika seseorang membuat aksi tertentu untuk menurunkan kecemasan
yang terkait dengan pikiran obsesif, maka orang tersebut membangun
strategi aktif untuk menghindari perilaku tersebut dalam hal ini kompulsi
atau perilaku ritualistik untuk megontrol kecemasan.
c) Faktor Psikososial
Faktor kepribadian
Gangguan obsesif kompulsif berbeda dengan gangguan kepribadian tipe
obsesif kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif kompulsif tidak
memilki gejala kompulsif paranoid, dengan demikian, sifat kepribadian
tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan
obsesif kompulsif. Hanya sekitar 15-35% pasien gangguan obsesif
kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.
Faktor Psikodinamika
Terdapat banyak pasien dengan gangguan obsesif kompulsif menolak
terapi seperti SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) dan terapi
perilaku. Walaupun gejala – gejala gangguan lebih terkait secara biologis,
tetapi fakotr psikodinamika terkait pada hal -hal tersebut. Contoh: pasien
laki – laku yang tinggal satu rumah dengan ibunya mungkin secara tidak
sadar menahan perilaku obsesif kompulsifnya untuk menjaga perhatian
ibunya.
1.4 Diagnosis
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fifth edition
(DSM-V), kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif adalah sebagai
berikut:
1. Adanya obsesi, kompulasi atau keduanya; gejala obsesi ditandai dengan
(1) dan (2):
2. Pikiran, keinginan, dan gambaran yang persisten dan rekuren yang
dialami, dalam waktu tertentu, gangguan ini sangat intrusif dan tidak
diinginkan, dan dapat menyebabkan individu tersebut mengalami
kecemasan dan penderitaan.
3. Individu yang mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran,
keinginan dan gambaran tersebut, atau mentralkannya dengan beberapa
pikiran dan aksi lain (dengan melakukan kompulsi).
Sedangkan, gejala kompulsi ditandai dengan (1) dan (2):
1. Perilaku repetitif (contoh: mencuci tangan, menata sesuatu, mengecek
sesuatu) atau aksi mental (berdoa, menghitung, mengulang kata) yang
membuat individu tersebut harus melakukan obsesinya atau menurut ke
peraturan yang harus dia terapkan.
2. Perilaku atau aksi mental dilakukan bertujuan untuk mencegah atau
menurunkan cemas atau penderitaan, atau mencegah kejadian
menyeramkan; bagaimanapun juga, perilaku dan aksi mental ini
dilakukan tidak dengan cara yang realistis dengan apa yang mereka telah
rencanakan untuk mentralisasikan atau mencegahnya, atau sangat
berlebihan.
3. Gejala obsesi dan kompulasi sangat membuang-buang waktu (contoh:
memakan waktu lebih dari 1 jam/hari) atau menyebabkan distress klinis
atau gangguan ditempat kerjanya, atau area – area lain.
4. Gejala obsesif kompulsif tidak diakibatkan oleh afek fisiologis (contoh:
drugs abuse, obat – obatan) atau kondisi medis lain.
5. Gangguan ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai gangguan mental lain
(contoh: cemas berlebihan seperti pada gangguan cemas menyeluruh;
preokupasi dengan penampilan, seperti pada body dysmorphic disorder;
mencabut rambut seperti pada trikotilomina;skin-picking seperti dalam
ekskoriasi; stereotipik seperti dalam gangguan pergerakan
stereotipik;perilaku makan khusus seperti gangguan makan; preokupasi
akan sesuatu seperti substance-related dan gangguan adiktif; dorongan
da fantasi seks seperti dalam gangguan parafilik; impuls yang disruptif
seperti dalam gangguan depresi berat; thought insertion atau delusi
persepsi dalam skizofrenia dan gangguan psikotik; atau perilaku repetitif
dalan gangguan autisme.
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ-III) yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut.
F42 GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF
 Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala – gejala obsesif atau
tindakan kompulsif, atau kedua-duanya harus ada hampir setiap hari
selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.
 Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas penderita.
 Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
 Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
 Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan
penderita.
 Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan
merupaka hal yang memberi kepuasan atau kesenagan
(sekadar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak
dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas).
 Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
 Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif
dengan depresi. Penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali
juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita
gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran
obsesif selama periode depresifnya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya
gajala depresif umumya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari
gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejala obsesif-kompulsif tersebut timbul. Bila dari
keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai
diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada
gejala yang paling bertahan saat gejala yang lai menghilang.
 Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap
bagian dari gangguan tersebut.

F42.0 Predominan Pikiran Obsesif dan Pengulangan

 Keadaan ini dapat berupa: gagasan, bayangan, pikiran, atau impuls


(dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (egoalien)
 Meskipun isi pikiran tersebut berbeda – beda, umumnya hampir selalu
menyebabkan penderitaab (distress).

F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif (Obsessional Rituals)

 Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan: kebersihan


(khususnya mencuci tangan), memerikas berulang untuk meyakinkan
bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi berbahaya tidak terjadi,
atau masalah kerapihan dan keteraturan.
Hal tersebut dilatar-belakangi perasaan takut terhadap bahaya yang
mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut
merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya
tersebut.
 Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai
berjam-jam dalam sehari dan kadang – kadang berkaitan dengan
ketidakmampuan mengambil keputusan dan keterlambatan.

F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif

 Kebanyakan dari penderita menunjukkan pikiran obsesif serta


tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal
tersebut sama-sama menonjol, dan umumnya memang demikian.
 Apabila salah satu memang lebih jelas dominan, sebaiknya
dinyatakan dalam diagnosis F42.0 atau F42.1. Hal ini berkaitan
denagn respons yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan
kompulsif lebih responsif terhadap perilaku perilaku.
F42.8 Gangguan Obsesif-Kompulsif Lainnya
F42.9 Gangguan Obsesif-Kompulsif YTT

2.5 Terapi
Farmakoterapi
Kemajuan farmakoterapi dalam gangguan obsesif-kompulsif telah dibuktikan
dalam banyak uji coba klinis. Manfaat tersebut ditingkatkan oleh pengamatan
bahwa penelitian menemukan angka respons plasebo adalah kira-kira 5%.
Persentasi tersebut adalah rendah, dibandiakan dengan angka respons plasebo
30-40 persen yang sering ditemukan pada penelitan obat antidepresan dan
ansiolik.
Kebanyakan obat yang dalam gangguan obsesif-kompulsif adalah yang
mempengaruhi sistem serotonergik. Mekanisme kerjanya sebagai serotonin
reuptake blockers atau menghambat reuptake neurotransmitter serotonin,
sehingga hipersensivitas serotonergic receptors tersebut dapat berkurang.
Clomipramine
Clomipramine merupakan obat yang paling efektif dari golongan trisiklik oleh
karena paling bersufat serotonin selective dan masih dianggap sebagai first-line
drug dalam pengobatan gangguan obsesif-kompulsif. Dengan demikian juga
menjadi pilihan utama pada terapi gangguan depresi yang menunjukkan aspek-
aspek obsesif. Mulai dengn dosis rendah untuk penyesuaian efek samping.
Meskipun respons terhadap pengobatan sudah dapat terlihat dalam 1-2 minggu,
untuk dapat hasil yang memadai setidaknya diperlukan waktu 2-3 bulan dengan
dosis pemeliharaan/maintenance.
SSRI: Setralie, Paroxetine, Flouvoxamine, Fluoxetine, dan Citalopram
Bagi pasien yang sensitif terhadap golonga trisiklik dapat berlaih ke golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), dimana efek sampingya relatif
lebih ringan. Efek sampingnya seperti nausea atau sakit kepala. Dosis
Sertraline umumya efektif pada 2000 mg/hari, Flouvoxamine pada 100-250
mg/hari, fluexetine pada 20-80 mg.hari, paroxetine pada 40-60 mg/hari dana
citalopram pada 40-60 mg/hari.
Psikoterapi
Pasien gangguan obsesif-kompulsif yang resisten terhadap usha pengobatan
yang diberikan baik dengan obat maupun terapi perilaku. Walaupun gangguan
obsesif-kompulsif dasarnya adalah biologis, namun gejala obsesfi-kompulsif
mungkin mempunyai makna psikologis penting yang membuat pasien menolak
pengobatan. Jenis psikoterapi yanh diberika dapat berupa psikoterapi suportif,
terapi perilaku, dan terapi kognitif perilaku.
Terapi Perilaku
Terapi perilaku sama efektifnya dengan farmakoterapi pada gangguan obsesif
kompulsif, dan beberapa data menyatakan bahwa efek bermanfaat adalah
berlangsung lama dengan terapi perilaku. Terapi perilaku dapat dilakukan pada
situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan perilaku utama pada
gangguan obsesif kompulsif adalah pemaparan dan pencegahan respons.
Desensitisasi, menghentikan pikiran, pembanjiran, terapi implosi, dan
pembiasaan tegas juga telah digunakan pada pasien gangguan obsesif
kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankannya
untuk mendapatkan perbaikan.
Terapi Lain
Terapi keluarga sering kali berguna dalam mendukung keluarga, membantu
menurunkan percekcokan perkawinan yang disebabkan gangguan, dan
membangun ikatan terapi dengan anggota keluarga untuk kebaikan pasien.
Terapi kelompok adalah berguna sebagai sistem pendukung bagi beberapa
pasien.
Untuk pasien yang sangat kebal terhadap pengobatan, terapi elektrokonvulsif
(ECT) dan bedah psiko (psychosugery) harus dipertimbangkan. ECT adalah
tidak seefektif bedah-psiko tetapi kemungkinan harus dicoba sebelum
pembedahan. Prosedur bedah-psiko yang paling sering dilakuakan untuk
gangguan obsesif-kompulsif adalah singulotomi, yang berhasil dalam
mengobati 25-30 persen yang tidak responsif terhadap pengobatan lain.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu kondisi yang tandai adanya
pengulangan dan obsesi, dimana individu tidak mampu mengontrol pikirannya
yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkan dan mengulangi beberapa
kegiatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan
tingkat kecemasannya dimana membutuhkan waktu yang banyak dan menyebabkan
dsitres. Faktor yang berperan dalam terbentuknya gangguan obsesif kompulsif
yaitu faktor biologis yang diantaranya adalah neurotransmitter pencitraan otak,
genetika, faktor kepribadian dan faktor psikodinamika. Ada beberapa terapi yang
dapat digunakan untuk untuk intervensi gangguan obsesif kompulisif yaitu
farmakoterapi, psikoterapi, dan terapi perilaku.

3.2 Saran
Sebagai penyusun pertama-tama mohon maaf apabila dalam pembuatan
makalah ini masih belum mencapai kesempurnaan. Meskipun demikian, mudah-
mudahan makalah ini dapat memberikan gambaran atau tambahan ilmu bagi para
pembaca. Oleh karena itu, untuk penyempurnaan makalah ini penulis
mengharapkan kritik dan sarannya dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Suryaningrum C. Cognitive Behavior Therapy (CBT) Untuk Mengatasi Gangguan


Obsesif Kompulsif. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 2013.

Grant JE. Obsessive-Compulsive Disorders. The New England Journal of


Medicine 2014.

Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5: Bagian IKJ FK Unika Atmajaya; 2013.

Parmet, Sharon. Obsessive-Compulsive Disorders. The Journal of the American


Medical Association 2011.

Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry ed: Dr. I Made Wiguna S.2010.

Mark Duran V, Barlow David H.Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta.


PUSTAKA BELAJAR.2007.

Anda mungkin juga menyukai