Anda di halaman 1dari 15

SINDROM METABOLIK KARENA

PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL

Disusun oleh:
Jesika Wulandari
030.10.142

Pembimbing:
Dr. Desmiarti, SpKJ

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 14 SEPTEMBER 10 OKTOBER 2015
JAKARTA

PENDAHULUAN
Antipsikotik generasi kedua (Atipikal) saat ini telah luas digunakan sebagai
pengobatan Skizofrenia dan gangguan mental lainnya. Antipsikotik atipikal ini dihubungkan
dengan rendahnya insiden sindrom ekstrapiramidal. Antipsikotik generasi ini lebih efektif
dibandingkan generasi pertama (Tipikal) untuk simptom negatif, simptom mood, dan
gangguan kognitif. Selain itu, efikasinya lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama. 1
Meski demikian, pemberiannya tidak terlepas dari risiko diabetes, weight gain, dan
dislipidemia.2 Pada 2005, The Clinical Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness
(CATIE) mengindikasikan bahwa efektivitas penggunaan antipsikotik generasi kedua ini
berkontribusi pula pada peningkatan prevalensi sindrom metabolik. 1,2 Awalnya hanya terlihat
jelas hubungannya dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Namun, penelitian saat ini
menyatakan bahwa risiko dislipidemia, diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan kematian
mendadak dihubungkan dengan penggunaan antipsikotik ini. Seseorang dengan gangguan
mental mengalami peningkatan kesakitan dan kematian, terutama dikaitkan dengan penyakit
kardiovaskuler. Hasil penelitian meta-analisis pada pasien dengan skizofrenia
memperlihatkan risiko kematian dini akibat kondisi medis lebih besar 2 kali lipat
dibandingkan populasi umum. Di Amerika Serikat, penyakit kardiovaskuler merupakan
penyebab kematian utama seseorang dengan penyakit mental.

ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi kedua,
adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi jiwa.
Beberapa antipsikotik atipikal disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan skizofrenia,
mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi lainnya.
Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur dopamin otak, tetapi
antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal, dimana antipsikotik tipikal cenderung
dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan
Parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang
abnormal bisa menjadi permanen bahkan setelah obat antipsikotik dihentikan.3
Jenis-jenis obat atipikal
Berikut ini adalah antipsikotik atipikal yang disetujui dan dipasarkan diberbagai bagian
dunia:
Amisulpride (Solian)
Aripiprazole (Abilify)
Asenapine (Saphris)
Blonanserin (Lonasen)
Clotiapine (Entumine)
Clozapine (Clozaril)
Iloperidone (Fanapt)
Mosapramine (Cremin)
Olanzapine (Zyprexa)
Paliperidone (Invega)
Perospirone (Lullan)
Quepin (Specifar)
Quetiapine (Seroquel)
Remoxipride (Roxiam)
Risperidone (Risperdal)
Sertindole (Serdolect)
Sulpiride (Sulpirid, Eglonyl)
Ziprasidone (Geodon, Zeldox)
3

Zotepine (Nipolept)
Mekanisme kerja Antipsikotik Atipikal
Mekanisme kerja antipsikotik ini adalah berafinitas terhadap Reseptor Dopamine
(D2) dan Reseptor Serotonin 5 HT2 yang dapat menurukan kejadian Extra Piramidal
Sindrome dan efektif mengatasi gejala negatif. APG II tidak hanya bekerja pada antagonis
reseptor 5HT2A dan D2, tetapi juga beberapa subtipe: 5HT1A, 5HT1D, 5HT2C, 5HT3,
5HT6, 5HT7, dan D1, D3, D4 juga muskarinik (M1); histamin (AH1); a1 dan a2 yang dapat
memperbaiki mood dan menurunkan kejadian bunuh diri (suicide). Tidak hanya pada
skizofrenia, tapi juga pada penderita bipolar. Termasuk dalam kelompok ini adalah
risperidone, olanzapine, quetiapine, clozapine dan ziprazidone, dan aripripazole (partial).4
Metabolisme Antipsikotik Atipikal
Baru-baru ini, kekhawatiran metabolik telah menjadi perhatian besar bagi dokter,
pasien dan FDA. Pada tahun 2003, Food and Drug Administration (FDA) mengharuskan
semua produsen antipsikotik atipikal untuk mengubah label mereka untuk menyertakan
peringatan tentang risiko hiperglikemia dan diabetes pada antipsikotik atipikal. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa antipsikotik atipikal tidak sama dalam efeknya terhadap berat
badan dan sensitivitas insulin. Konsensus umum menyatakan bahwa clozapine dan
olanzapine berkaitan dengan dampak terbesar pada penurunan berat badan dan sensitivitas
insulin, diikuti oleh risperidone dan quetiapine. Ziprasidone dan aripiprazole diperkirakan
memiliki efek terkecil pada berat badan dan resistensi insulin, tetapi pengalaman klinis belum
cukup jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Sebuah studi oleh Sernyak dan rekanrekan menemukan bahwa prevalensi diabetes dalam terapi antipsikotik atipikal secara
statistik signifikan lebih tinggi dibanding pengobatan konvensional.5

SINDROMA METABOLIK AKIBAT ANTIPSIKOTIK


ATIPIKAL
Istilah sindrom metabolik pertama kali dikenalkan pada 1970 oleh peneliti Jerman
yang menghubungkannya dengan aterosklerosis. Istilah lain yaitu resistansi insulin, mulai
dikenal tahun 1980-an. Sindrom metabolik dikenal juga sebagai Sindrom Resintansi Insulin
atau Sindrom X.4 Sindrom metabolik adalah gangguan multi-sistem di mana terdapat
kelompok gangguan (ketidaknormalan) disertai peningkatan risiko penyakit kardiovaskular
dan obesitas. Termasuk di dalamnya gangguan keseimbangan metabolisme glukosa, obesitas,
hiperlipidemia, dan hipertensi.1,4 Secara umum, kecenderungan sindrom metabolik dapat
terjadi apabila seseorang memiliki faktor risiko berikut: usia > 65 tahun, pasca-menopause,
Body Mass Index (BMI=IMT) tinggi, merokok, intake karbohidrat tinggi, dan aktivitas fisik
rendah.4,6
Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila terdapat 3 atau lebih dari 5 faktor
risiko sebagai berikut: obesitas abdominal, kadar trigliserida tinggi, kadar kolesterol High
Density Low rendah, hipertensi, dan peningkatan kadar glukosa puasa. Berikut adalah tabel
kriteria klinis sindrom metabolik.
Komponen
Obesitas abdominal/ sentral

Hipertrigliserida
HDL Kolesterol

Hipertensi
Kadar Glukosa darah tinggi

Mikroalbuminuri

Kriteria diagnosis WHO


Resistensi insulin plus :
Waist to hip ratio :
Laki2 : > 0.90;
Wanita : > 0.85, atau
IMB > 30 kg/m2
> 150 mg/dl (> 1.7 mmol/L)
Laki-laki : < 35 mg/dl (< 0.9
mmol/L)
Wanita : < 39 mg/dl (< 1.0
mmol/L
TD > 140/90 mmHg atau
riwayat terapi anti hipertensi
Toleransi glukosa terganggu,
glukosa puasa terganggu,
resistensi insulin atau DM
Ratio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
ekskresi
albumin
20
mcg/menit

Kriteria diagnosis ATP III


3 komponen dibawah ini
Lingkar pinggang :
Laki2 : > 102 cm (40 inchi)
Wanita : > 88 cm (35 inchi)
> 150 mg/dl (>1.7 mmol/L)
Laki-Laki : < 40 mg/dl (<
1.036 mmol/L)
Wanita : < 50 mg/dl (< 1.295
mmol/L)
TD > 130/85 mmHg atau
riwayat terapi anti hipertensi
>110
mg/dl
atau > 6.1
mmol/L

Menurut data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III,
pasien dengan skizofrenia, terutama wanita, memiliki BMI lebih tinggi dibandingkan wanita
tidak dengan skizofrenia.7

Dalam

populasi dengan

morbiditas lebih

tinggi dibandingkan

dengan

populasi umum, ada kekhawatiran mengenai kontribusi obat antipsikotik dengan prevalensi
sindrom metabolik

dan komponen-komponennya,

terutama

sejak diperkenalkannya obat

antipsikotik atipikal. Studi terbaru menunjukkan bahwa prevalensi berat badan, intoleransi
glukosa, dan hiperlipidemia, dan dalam beberapa kasus seperti hipertensi menyertai
penggunaan antipsikotik, dimana antispikotik atipikal relatif lebih berpengaruh dibandingkan
antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal memiliki pola ikatan reseptor neurotranmitter yang kompleks.
Reseptor Antagonis serotonin (5HT) 2A dan Reseptor D2 berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamine dan serotonin, termasuk transpoter 5HT1, 5HT2, 5HT3, 5HT4, 5HT5, 5HT6,
5HT7, serta D1, D3, dan D4. Antipsikotik atipikal mempunyai efek pada neurotransmitter
lain dengan menghambat transporter norepinefrin dan juga reseptor muskarinik 1, muskarinik
2, histamin 1, alpha 1 adrenergik, dan alpha-2 adrenergik. Antipsikotik ini juga mempunyai
aksi yang menyebabkan gangguan resintansi insulin seluler dan meningkatkan kadar
trigliserida melalui aksinya pada reseptor yang kemudian dikenal sebagai reseptor X.8
Reseptor serotonin -2C (5HT-2C), muskarinik-3 (M3), dan histamin-1 (H1) serta
suatu reseptor yang dikenal dengan reseptor X adalah reseptor yang secara hipotesis
dihubungkan dengan risiko kardiometabolik. Antagonis reseptor 5HT2C dan H1 dihubungkan dengan peningkatan berat badan. Menurut penelitian, hal ini karena antipsikotik tersebut

memiliki potensi aksi simultan pada reseptor H1 dan 5HT2C paling tinggi. Jika kedua
reseptor ini diblokade oleh histamine (H1) antagonis dengan serotonin-2C (5HT2C)
antagonis pada saat bersamaan maka pusat makan di hipotalamus akan dipengaruhi sehingga
terjadi peningkatan nafsu makan.8
Sementara itu, antagonis M3 dapat menyebabkan gangguan pada regulasi insulin.
Reseptor X ini yang diduga mempercepat terjadinya resintansi insulin dan peningkatan kadar
trigliserida puasa. Terjadinya dislipidemi dan resintansi insulin ini memudahkan terjadinya
diabetes melitus dan penyakit kardivaskular. Mekanisme farmakologisnya belum diketahui
jelas, namun diduga karena adanya ikatan antipsikotik dengan reseptor X di jaringan lemak,
hati, dan otot.8
Selanjutnya, peningkatan berat badan akan mempermudah terjadinya obesitas dan
diabetes melitus serta penyakit kardiovaskuler dan inilah yang disebut metabolic highway.8
Metabolic highway dimulai dari peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, dan
berlanjut pada obesitas, resintansi insulin, serta dislipidemia dengan peningkatan kadar
trigliserida puasa. Keadaan hiperinsulinemia mengakibatkan kegagalan sel beta pankreas,
prediabetes, dan diabetes. Bila telah terdapat diabetes melitus maka risiko penyakit
kardiovaskuler akan meningkat dan berisiko terjadi kematian dini.8,9 Faktor genetik dan lingkungan juga berperan pada penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Faktor gaya hidup seperti
diet yang buruk, ketiadaan latihan/ olah raga, adanya stres, serta merokok akan berinteraksi
dengan faktor risiko genetik . Adanya riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dan
diabetes dihubungkan dengan kode genetik yang rentan secara molekular.8
Mekanisme lain adalah blokade reseptor kolinergik M3. Mekanisme ini kejadian yang
tiba-tiba Diabetic Ketoacidosis (DKA). Meskipun jarang, namun mekanisme ini merupakan
risiko kardiometabolik yang mengancam hidup. Kondisi ini juga dihubungkan dengan
hyperglycemic hyperosmolar syndrome (HHS). Mekanisme ini kompleks dan multifaktorial
dan saat ini masih terus diteliti. Diduga terdapat resintansi insulin, prediabetes, dan diabetes
yang tidak terdiagnosis dalam keadaan hiperinsulinemia yang terkompensasi, namun
kemudian menjadi dekompesasi pada pemberian antipsikotik atipikal akibat mekanisme
farmakologi yang terjadi.10
Neuron kolinergik parasimpatetik yang menginervasi pankreas bekerja pada reseptor
M3 paska sinaps yang terletak di sel Beta pankreas untuk pengaturan sekresi insulin. Sel
Beta inilah yang mensekresi insulin. Obat yang memblokade resptor kolinergik M3 di tempat
ini, seperti olanzapin dan clozapin yang merupakan antagonis muskarinik kolinergik (M3)
reseptor, akan menurunkan pengeluaran insulin.8 Bila hal ini terjadi pada pasien yang
7

tergantung pengaturan kolinergiknya pada pengeluaran insulin, dapat menjadi faktor yang
menyebabkan defisiensi insulin dan mempermudah terjadinya DKA/HHS. Sebetulnya, hal
ini masih spekulasi mengingat banyak pasien dengan blokade M3 reseptor tidak mengalami
gangguan pada sekresi insulinnya.8
Antipsikotik dan Diabetes Melitus
Didapatkan laporan peningkatan prevalensi diabetes mellitus pada pasien yang
menggunakan antipsikotik. Kohen (2004) meneliti literatur tentang diabetes mellitus dan
skizofrenia baik sebelum dan setelah era neuroleptik. Tinjauan ini menjelaskan data dari
periode sebelum pengenalan antipsikotik fenotiazin, yang secara konsisten dijelaskan
mengganggu metabolisme gula darah, sehingga kurva hyperglikemianya abnormal dan
toleransi glukosanya abnormal setelah pemberian asupan glukosa. Setelah pengenalan
fenotiazin pada tahun 1952, ada laporan mengenai hubungan pengobatan fenotiazin dengan
toleransi glukosa yang abnormal. Bahkan, terdapat kecenderungan untuk berkembang
menjadi diabetes. Bushe & Holt (2004) melaporkan bahwa orang dengan skizofrenia dan
gangguan mental yang berat memiliki risiko lebih besar terkena diabetes atau memiliki
gangguan toleransi glukosa. Lebih lanjut, mereka memperkirakan bahwa 15% pasien dengan
skizofrenia mungkin memiliki diabetes sementara 15% mungkin memiliki gangguan toleransi
glukosa. Ia telah mengemukakan bahwa, selain faktor risiko lingkungan, skizofrenia, dan tipe
2 diabetes mellitus dapat juga terjadi karena adanya hubungan genetik (Gough & O'Donovan
2005). Mereka mengutip contoh apolipoprotein epsilon 4 alel, yang katanya meningkatkan
risiko penyakit Alzheimer, penyakit jantung, multiple sclerosis dan perdarahan subarachnoid.1
Ryan dkk (2003) meneliti prevalensi glukosa puasa terganggu pada 26 pasien dengan
skizofrenia serangan pertama, yang menggunakan antipsikotik, dibandingkan dengan kontrol.
Dalam studi cross-sectional, lebih dari 15% dari pasien menunjukkan glukosa puasa
terganggu dan resistensi insulin, selain itu, glukosa darah puasa, insulin dan kortisol lebih
tinggi. Telah diamati bahwa rasio pinggang-pinggul berkorelasi positif dengan tingkat
trigliserida plasma dan berkorelasi negatif dengan tingkat kolesterol HDL.1
Antipsikotik atipikal dianggap terobosan signifikan dalam pengobatan gangguan
psikotik, dengan frekuensi rendah atau tidak adanya efek samping ekstrapiramidal. Secara
bertahap muncul laporan kasus yang menunjuk ke peningkatan kadar hiperglikemia dan
diabetes melitus terkait dengan penggunaan atypicals. Pada tahun 1999, Lindenmayer & Patel
melaporkan kasus olanzapine-induced ketoasidosis diabetika (KAD), yang memutuskan
penghentian pengobatan dengan olanzapine.
8

Penelitian Preklinis telah menunjukkan perbedaan antara antipsikotik dalam respon


terhadap pelepasan insulin. Best et al (2005) mempelajari efek clozapine dan haloperidol
pada sel pankreas tikus in-vitro. Para penulis menunjukkan efek kontras clozapine dan
haloperidol pada fungsi sel pankreas. Clozapine tidak berpengaruh pada membran potensial
sel saat kadar glukosa darah puasa baik, tapi potensial membran terhiperpolarisasi ketika
konsentrasi glukosa tinggi. Sebaliknya membran terdepolarisasi haloperidol pada keadaan
puasa dan saat kadar glukosa terstimulasi. Efek dari dua obat pada aktivitas listrik hanya
sebagian menjelaskan efeknya pada pelepasan insulin. Clozapine menghambat sekresi insulin
dalam respon terhadap glukosa, yang dapat menjelaskan hiperglikemia dan diabetes yang
terkait dengannya. Namun tidak mempengaruhi 'pelepasan insulin basal'. Menariknya,
haloperidol tidak berpengaruh pada pelepasan insulin.11 Tovey et al (2005) membahas dua
pasien yang dirawat dengan clozapine, yang kemudian menderita diabetes melitus, saat tes
darah rutin. Tingkat gula darah kembali ke dalam kisaran normal setelah penghentian
clozapine di salah satu pasien, tapi tidak di yang lain.
Antipsikotik dan Penambahan Berat Badan
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kriteria berat badan normal berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index -BMI) adalah antara 18,5 25 kg/m2. Seseorang
dengan BMI 25-30 kg/m2 dikatakan overweight dan seseorang dengan BMI > 30 kg/m2
dikatakan obese.4 Obesitas abdominal dan peningkatan kadar glukosa puasa membentuk 2
komponen sindrom metabolik, yaitu peningkatan faktor risiko kardiovaskular, gangguan
metabolisme yang dihubungkan dengan resintansi insulin dan/atau hiperinsulinemia. Pada
pasien dengan sindrom metabolik, risiko relatif untuk diabetes dan penyakit jantung koroner
berkisar antara 1,5 sampai 5 kali.12
Pada pemakaian antipsikotik jangka panjang, peningkatan berat badan merupakan
masalah potensial pada banyak pasien. Secara klinis, hal tersebut bermakna bila terdapat
peningkatan sebesar > 7% dari berat badan sebelumnya. Di AS, insiden peningkatan berat
badan dengan menggunakan antipsikotik generasi kedua sebagai berikut: olanzapin 29%,
quetiapin 23%, risperidone 18%, ziprazidone 10%, dan aripripazole 8%.7 Suatu penelitian lain
di AS dengan menggunakan clinical trial selama 52 minggu menyatakan bahwa olanzapin
yang tertinggi dalam peningkatan berat badan di antara antipsikotik generasi kedua lainnya.
9

Menurut penelitian ini, dalam waktu 52 minggu peningkatan berat badan pada penggunaan
quetiapine rata-rata 3,6 kg; risperidone 2,2 kg; sedangkan aripripazole dan ziprasidone ratarata 1 kg.7 Penelitian Tandon dan Halbriech berhasil mengurutkan berdasarkan risiko
tertinggi yang menyebabkan peningkatan berat badan, yaitu clozapine > olanzapine >
risperidone = quetiapine > ziprazidone = aripripazole.12

Antipsikotik dan Trigliserida


Dislipidaemia merupakan komponen penting dari sindrom metabolik, yang terjadi
bersama dengan disregulasi glukosa dan peningkatan berat badan pada pasien yang diobati
dengan antipsikotik atipikal. Sheitman dkk (1999) memeriksa profil lipid dari 9 pasien
dengan skizofrenia, setelah memulai pengobatan dengan olanzapine. Meskipun mereka tidak
melihat perubahan pada kadar kolesterol atau lipoprotein, tingkat trigliserida meningkat dari
rata-rata 170 mg/dl menjadi 240 mg/dl. Namun, dalam studi oleh Mackin dkk (2005),
kolesterol puasa meningkat pada 26% pasien, bersamaan dengan trigliserida puasa meningkat
pada 55% pasien yang diobati dengan antipsikotik. Sesuai dengan risiko PJK, Menzies (2004)
memperkirakan bahwa 67% pasiennya memiliki risiko dua kali lipat atau lebih terhadap
gangguan kardiovaskular, pada pengujian biokimia rutin.1 Peneliti berpendapat bahwa
patogenesis hiperlipidemia berhubungan dengan berat badan, dengan akumulasi lemak perut
meningkatkan pelepasan asam lemak bebas dalam hati dan mempercepat sintesis trigliserida
hati (VLDL). Mereka lebih lanjut menunjukkan bahwa lipid yang meningkat mengganggu
metabolisme glukosa, menyebabkan hiperglikemia dan DM tipe 2.1
Serangkaian studi kasus retrospektif oleh Meyer (2001) , studi yang terdiri dari 14
pasien jiwa, yang ditangani dengan olanzapine atau quetiapine, dirujuk untuk pengobatan
hipertrigliseridemia yang parah (didefinisikan/ disepakati sebagai trigliserida puasa > 600
mg/dL). Rata-rata, butuh waktu 9 bulan untuk mencapai tingkat puncak trigliserida.

10

Baptista dan rekan-rekannya (2002) menunjukkan bahwa resistensi insulin


memainkan peran penting dalam perkembangan DM tipe 2. Mereka menyimpulkan bahwa
kelebihan

berat

badan

mengakibatkan

resistensi

insulin,

yang

menghasilkan

ketidakteresediaan glukosa pada jaringan perifer. Lipid dimobilisasi dari depo tubuh untuk
memenuhi permintaan energi dan mengakibatkan hiperlipidemia. Para penulis menekankan
bahwa penyebab hiperlipidemia adalah multi-faktorial, dengan resistensi insulin menjadi
penyebab utama. Mereka merancang 'rasio terdiri', termasuk afinitas mutlak antipsikotik
untuk reseptor neurotransmitter yang terlibat dalam pengaturan asupan makanan.
Efek antipsikotik pada dislipidemia dilaporkan oleh Koro. Berdasarkan penelitiannya
diketahui olanzapine dihubungkan dengan peningkatan 5 kali lipat risiko terjadinya
hiperlipidemia apabila dibandingkan tanpa antipsikotik. Sedangkan bila dibandingkan dengan
antipsikotik generasi pertama, peningkatannya 3 kali lipat. Hasil percobaan tersebut sejalan
menurut CATIE, yaitu risiko tertinggi dislipidemia pada pemakaian olanzapine.12
Pengaruh antipsikotik atipikal pada profil metabolisme pasien jiwa dipelajari di
sebuah pusat kesehatan jiwa masyarakat di Italia. Dalam sebuah survei cross sectional dari 76
pasien yang diobati dengan antipsikotik atipikal dibandingkan dengan 36 kontrol
nonpsihiatric,

Tarricone

dkk

(2006)

membandingkan

prevalensi

hiperglikemia,

hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia. Studi ini menemukan bahwa pasien yang


diobati dengan antipsikotik atipikal memiliki prevalensi hiperglikemia (p = 0,02) dan
hipertrigliseridemia (p = 0,007) yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok
perlakuan memiliki 8 kali kemungkinan lebih tinggi dari yang didiagnosis dengan
hiperglikemia dan 4 kali kemungkinan lebih tinggi dari yang didiagnosis dengan
hipertrigliseridemia. Penelitian ini menarik karena tidak menemukan perbedaan antar
antipsikotik atypicals yang berbeda, dengan semua antipsikotik atipikal dikaitkan dengan
efek metabolik yang merugikan. Dalam review grafik retrospektif terhadap 208 pasien yang
menderita gangguan skizofrenia, skizoafektif, atau gangguan mood diobati dengan
antipsikotik (tipikal atau atipikal), Gupta dkk (2003) menemukan peningkatan prevalensi
diabetes (17%), hipertensi (29%), dan hipertrigliseridemia (44%). Namun, studi ini tidak
menemukan perbedaan yang signifikan antara antipsikotik. Meskipun studi ini melibatkan
pasien nyata, faktor perancu seperti riwayat keluarga diabetes tidak dipertimbangkan dalam
studi cross-sectional. Pasien yang diobati dengan ziprasidone tidak dimasukkan dalam
penelitian ini.1

11

12

MONITORING DAN TATALAKSANA


Penting untuk memonitor dan mengatur respons metabolik pada pasien yang
diberikan antipsikotik atipikal. Pasien yang diberikan terapi antipsikotik generasi kedua
sebaiknya diukur berat badan serta indeks massa tubuhnya untuk mendeteksi berat badan dan
memeriksa kemungkinan diabetes dengan memeriksa kadar glukosa puasa terlebih dahulu,
kadar trigliserida puasa (baseline) , serta riwayat keluarga. Setelah itu, dimonitor secara
periodik selama pemakaian terapi.
Monitoring selanjutnya adalah dengan mengukur kadar trigliserida puasa sebelum
dan sesudah pemberian antipsikotik atipikal, sekaligus menilai apakah antipsikotik tersebut
menyebabkan dislipidemia dan peningkatan resintansi insulin. Jika terdapat peningkatan
bermakna BMI dan kadar trigliserida puasa maka perlu dipikirkan pemakaian antipsikotik
lain. Pada pasien dengan obesitas, dislipidemia, prediabetes dan diabetes, penting untuk
memonitor tekanan darah, kadar glukosa puasa, serta ukuran lingkar pinggar sebelum dan
sesudah pemberian antipsikotik atipikal. Untuk memberikan gambaran akurat tentang pasien
sebaiknya dibuat dokumentasi dalam tabel sederhana yang memuat 4 parameter utama yaitu:
berat badan dan BMI, kadar trigliserida puasa, kadar glukosa puasa, dan tekanan darah.
Pencatatan dilakukan secara berkala pada setiap pertemuan. Sebagai contoh,
seseorang yang diberikan antipsikotik sebaiknya diberikan jadwal untuk menilai berat
badannya pada minggu ke-4, ke-8, dan ke-12, dan seterusnya. Pemeriksaan tekanan darah,
kadar gula darah puasa, dan pengukuran profil lipid sebaiknya diulang minimal 12 minggu
sesudah pemberian antipsikotik pertama kali. Apabila ditemukan gejala seperti poliuria atau
polidipsi yang merupakan indikator hiperglikiemia ataupun didapatkan tanda-tanda
ketoasidosis diabetik seperti nausea, mual atau gangguan kesadaran, butuh evaluasi lebih
lanjut serta bekerjasama spesialis medis lain terkait.12
Penting mempertimbangkan compliance pasien pada pemberian antipsikotik atipikal
ini mengingat risiko kardiometabolik yang dapat timbul. Pasien sebaiknya diberi informasi
mengenai risiko ini pada awal pemberian terapi. Selain itu, pasien dianjurkan juga melakukan
latihan/olah raga serta konseling mengenai dietnya. Jika telah terjadi peningkatan berat
badan, mengganti antipsikotik yang digunakan dengan ziprazidone atau aripiprazole dapat
dipertimbangkan.8,9
Pada penggunaan clozapine bila telah diabetes, sebaiknya dievalusi ulang apakah
keuntungannya dibandingkan risiko yang timbul. Jika telah timbul diabetes dengan ketoa13

sidosis, sebaiknya clozapine dihentikan. Pada penggunaan risperidone, peningkatan berat


badan, peningkatan plasma lipid atau resintansi insulin relatif rendah. Meski demikian, tetap
dilakukan monitoring. Hal yang sama juga dilakukan pada penggunaan quetiapin. Sementara
itu, pada penggunaan olanzapine penting untuk melakukan monitoring secara teliti. Bila telah
terjadi peningkatan berat badan, menurut penelitian pemberian topiramat 100-200 mg per hari
dapat menurunkan berat badan. Pemberian H2 bloker seperti nizatidine dan famotidine dapat
membantu penurunan berat badan pula. Metformin dapat diberikan bila telah terjadi
gangguan metabolik. Untuk penggunaan ziprazidone dan aripriprazole, monitoring tetap
penting dilakukan.8,9

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Kannabiran M, Singh V (2008). Metabolic Syndrome and Atypical Antipsychotics: A

Selective Literature Review. German J Psychiatry 2008; 11: 111-122.


2. German Journal of Psychiatry diakses dari http://www.gjpsy.uni-goettingen.de ISSN
1433-1055. 27 September 2015
3. Culpepper, L. (2007) A Roadmap to Key Pharmacologic Principles in Using
Antipsychotics, Primary Care Companion To The Journal of Association of Medicine
and

Psychiatry

9(6)

444-454

Retrieved

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2139919/.
4. Osby U, Correia N, Brandt L, et al. Mortality and causes of death in schizophrenia in
Stockholm Country, Sweden. Schizophr Res 2000;45:21-28.
5. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An Introduction to
Behavioral Pharmacology (pp.241260). Upper Saddle River, NJ.: Pearson Prentice
Hall.
6. Harris EC, Barraclough B. Excess mortality of mental disorder. Br J Psychiatry 1998;
173:11-53.
7. John WN. Antipsychotic medication:Metabolic and Cardivaskular Risk. 2007 J
ClinPsychiatry; 68:8-13.
8. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch SM & Haffner SM. NCEP-defined metabolic
syndrome, diabetes, and prevalence of coronary heart disease among NHANES III
participants age 50 years and older. Diabetes 2003;52: 1210-1214.
9. Stahl, SM. Stahls Esensial psychopharmacology: Neuroscientific Basis and Practical
Applications. 3rd ed. Cambridge NewYork. 2008.
10. Sadock, Benyamin J. Eating Disorder dalam Kaplan& Sadocks Synopsis of
Psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. 10ed. Virginia Alcott Sadock. 2007.
11. Best L, Yates AP, Reynolds G (2005) Actions of antipsychotic drugs on pancreatic bcell function: contrasting effects of clozapine and haloperidol. J Psychopharmacology
19(6):597-601.
12. World Health Organization. Body Mass Index (BMI). Diakses dari www.
who.int/nutrition20030507_1. Diakses pada 27 September 2015.

15

Anda mungkin juga menyukai