Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
I.A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, bunuh diri telah dipandang sebagai salah satu penyelesaian
masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi
sebagian orang, bunuh diri telah menjadi satu-satunya jalan menuju solusi dari
masalah hidup yang menekan.
Bunuh diri telah menjadi suatu masalah global. Data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2006 melaporkan bahwa setiap tahunnya di
dunia terdapat 10-20 juta orang yang berupaya melakukan bunuh diri dan 1 juta
orang diantaranya meninggal karena bunuh diri. WHO memperkirakan angka ini
sama dengan satu orang melakukan bunuh diri setiap menit dan satu orang
mencoba bunuh diri setiap 3 detik. Berdasarkan data dari Direktur WHO Bidan
Kesehatan Mental dan Kekerasan, Benedetto Saraceno (2005) jumlah rata-rata
penduduk Indonesia yang meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari
100 ribu penduduk. Dengan jumlah populasi Indonesia yang sekarang sebanyak
220 juta orang, berarti ada 50 ribu orang yang bunuh diri setiap tahunnya dengan
usia rata-rata korban yang bervariasi dari belasan tahun sampai dengan 65 tahun.
Prevalensi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (Surilena, 2005).
Salah satu faktor untuk memprediksi percobaan bunuh diri baik yang
dilakukan untuk pertama kali maupun yang berulang kali adalah pikiran bunuh
diri (suicidal ideation). Pikiran bunuh diri merupakan antecedent yang selalu
mendahului percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan (Arria,
OGrady, Caldeira, Vincent, Wilcox, & Wish, 2009). Linehan (dalam Maris dkk.,
2000) memperkirakan 24 % dari populasi dunia pernah memikirkan tentang
bunuh diri pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan.

Beberapa penelitian mengenai karakteristik pikiran bunuh diri masih terus


berkembang hingga saat ini. Salah satu penelitian oleh Marzuk, Leon, Hartwell, &
Portera (2005) mendapatkan bahwa pikiran untuk melakukan bunuh diri
merupakan sebuah keputusan eksekutif yang dilakukan oleh area prefrontal cortex
pada otak. Pikiran orang yang bunuh diri diciri-cirikan dengan kekakuan kognisi
(cognitive rigidity) yang meliputi berpikir secara dikotomi (dichotomous thinking)
dan kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving).
Beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan munculnya pikiran bunuh
diri juga telah diteliti. Depresi telah lama dikenal sebagai salah satunya, namun
mayoritas individu yang mempunyai pikiran bunuh diri tidak memenuhi kriteria
simtom depresi yang tinggi (Arria dkk., 2009). Penelitian lain juga mengatakan
bahwa mayoritas orang yang mengalami peraasaan depresi dan putus asa malah
tidak melakukan percobaan bunuh diri (Pirelli & Jeglic, 2009). Kurangnya
dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor resiko pikiran bunuh diri
terutama pada tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan faktor yang
berhubungan dengan keluarga antara lain konflik dengan orang tua, komunikasi
yang buruk, rendahnya dukungan yang dirasakan, dan ketidakberfungsian
keluarga. Pikiran bunuh diri juga diasosiasikan dengan ketidakteraturan afektif
dan gangguan penggunaan alkohol (Arria dkk.,2009). Karakteristik-karakteristik
pikiran bunuh diri saling berinteraksi satu sama lain untuk memperkuat
kemungkinan munculnya pikiran bunuh diri yang akhirnya berujung pada
percobaan bunuh diri. Meskipun demikian, faktor kognitif dalam perilaku bunuh
diri merupakan topik baru yang masih terus berkembang. Berdasarkan pemikiran
tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pikiran bunuh diri pada individu
pelaku percobaan bunuh diri.
Merespon angka kematian yang begitu tinggi, hendaknya bunuh diri tidak
dipandang sebelah mata. Meskipun demikian, bunuh diri juga bukanlah hal yang
mudah untuk dipahami. Perilaku bunuh diri sendiri tidak terbatas hanya pada
perilaku bunuh diri yang berhasil dilakukan, tetapi juga pada percobaan bunuh
diri, pikiran bunuh diri, dan perilaku melukai diri baik dengan intensi mati
ataupun tidak mati (Maris dkk., 2000).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Percobaan Bunuh Diri
1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium, dengan
sui yang berarti sendiri dan cidium yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang
ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan
mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat
bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut
bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian,
intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan
bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam,
mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri
hidup.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri
secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai
penyelesaian atas suatu masalah.
Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh
diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris
dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara
etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri
melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah


upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat
pada kematian.
2. Metode Bunuh Diri
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris
dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan
intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode
memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:
1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
3. senjata api dan peledak
4. menenggelamkan diri
5. melompat
6. memotong (menyayat dan menusuk)
3. Faktor Penyebab Bunuh Diri
Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak
fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri
yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut
bunuh diri sebagai hasil dari psychache. Psychache merupakan rasa sakit dan
derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada
dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,
rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena
menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping
itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak,
akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis
lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada
saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut
beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris
dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

1. Major-depressive illness, affective disorder


2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh
memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan,
seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan
dengan kelompok teman yang suicidal)
9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10. Rendahnya tingkat 5-HIAA
11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,
halusinasi perintah)
12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan
bunuh diri)
13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
14. Penyakit fisik dan komplikasinya
15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas
4. Penjelasan Bunuh Diri
Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya
dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang
kompleks.
1. Penjelasan Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa suicide is murder turned around 180
degrees, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang
atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan
bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia
merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum
atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu

mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan
untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif
diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang
menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif
mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan
tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan
memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu
beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.
Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk
tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
Dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
2. Penjelasan Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh
diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga

yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga


saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung
dengan perilaku bunuh diri.
3. Penjelasan Sosiologis
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan
masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &
Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:
1. Egoistic Suicide
Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan
masyarakatnya,

dimana

individu

mengalami

underinvolvement

dan

underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya


tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku
bunuh diri.
2. Altruistic Suicide
Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada
situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan
masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan
demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan
kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar
dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok
dapat dipandang sebagai suatu tugas.
3. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur
anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat
terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu
mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum
atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan
mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan

melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak
oleh kelompok teman sebayanya.
4. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana
individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika
seseorang dipenjara atau menjadi budak.
B. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)
1. Definisi Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa
melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat
keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau
bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang nonspesifik (Hidup ini tidak berarti), yang spesifik (Saya berharap saya mati),
pikiran dengan intensi (Saya akan membunuh diri saya), sampai pikiran yang
berisi rencana (Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol).
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi
(Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa
antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah
hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan
dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang
paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari
masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris,
dalam Maris dkk., 2000)
2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih
kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan
masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar
juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi

ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.


Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh
diri antara lain:
1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif
dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk,
memilih antara kesedihan atau kematian, dimana individu susah atau tidak
mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang
sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk
membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell,
Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa
cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous
thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black
or white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan
buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit)
diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan
menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan
masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford,
2008)

menambahkan

bahwa

ketidakmampuan

menyelesaikan

masalah

interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi


bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun,
dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory
(Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di
otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi
masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford,
2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri
menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini
lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.

2. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian
negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck
(dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah
antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan
dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat
memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford,
2008).
3. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons for
Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa
variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen,
dalam Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai
faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini
mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis,
diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
5. Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri
adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,
kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann

mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu
mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification)
(dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu
juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua
berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan
dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006).
Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan
bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
6. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara
terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini
terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection)
(Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan
pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan
reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan
untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat
memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection
hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh
diri.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh
diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan
menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William &
Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh

diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum


menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan
menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan
sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak
kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal
tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri
pada individu.

BAB III
KESIMPULAN
Bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang
ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental
individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat
bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan. Richman menyatakan ada dua fungsi
dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai
sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati.
Bunuh diri sebagai hasil dari psychache. Psychache merupakan rasa
sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut
pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa
malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan
karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di
samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada
di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda
biologis lainnya.
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada
saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut
beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya.

DAFTAR PUSTAKA

Arria, A.M.; OGrady, K.E.; Caldeira, K.M.; Vincent, K.B.; Wilcox, H.C.; Wish,
E.D. Suicide Ideation Among College Students: A Multivariate Analysis Vol
13: 230-246. International Academy for Suicide Research: BrunerRoutledge.
Chan, S.; Miranda, R.; Surrence, K. 2009. Subtypes Of Rumination In The
Relationship Between Negative Life Events And Suicidal Ideation Vol 13:
123-135. International Academy for Suicide Research: Bruner-Routledge.
Chioqueta, A.P. & Stiles, T.C. 2007. Cognitive factors, Engagement In Sport, And
Suicide Risk Vol 11: 375-390. International Academy for Suicide Research:
Bruner-Routledge
OConnor, D.B.; OConnor, R.C.; Marshall R. 2009. Perfectionism and
Psychological Distress: Evidence of the Mediating Effects of Rumination
Vol21: 429452. European Journal of Personality : Wiley Interscience

Corr, C.A.; Corr, D.M.; Nabe,C.M. 2009. Death and Dying Live and Living (4

th

ed). USA: Wadsworth.


Ellis,T.E. & Rutherford,B. 2008. Cognition and Suicide: Two Decades od
Progress Vol. 1, pages 47-68. International Journal Of Cognitive Therapy
Freedenthal, S. 2009. Assessing The Wish To Die: A 30-Year Review Of the
Suicide Intent Scale Vol 12: 277-298. International Academy for Suicide
Research: Bruner-Routledge.
Hadi, S. 2010. Metodolodi Research (jilid 1-4). Yogyakarta: Penerbit Andi
Yogyakarta.

Hiramura, H.; Shono,M.; Tanaka, N.; Nagata, T.; Kitamura, T. 2010. Prospective
Study On Suicidal Ideation Among Japanese Undergraduate Students:
Correlation With Stressful Life Events, Depression and Depressogenic
Cognitive Patterns Vol 12: 238-250. International Academy for Suicide
Research: Bruner-Routledge.
Maris,

R.W.; Berman, A.L.; Silverman, M.M.; Bongar, B.M. 2010.

Comprehensive Textbook Of Suicidology. Belmont: Guilford Press.


Marzuk P.M.; Hartwell N.; Leon A.C.; Portera L. 2005. Executive functioning in
depressed patients with suicidal ideation Vol 112: 294301. Acta Psychiatr
Scand: Blackwell Munksgaard
Meichenbaum, D. 2009. 35 Years Of Working With Suicidal Patients: Lessons
Learned. Washington: Apa.org.books
Merwin, R.M.; Ellis, J.B. 2010. Childrens Reasons for Living, Self-esteem, and
Violence Vol 8:251261. International Academy for Suicide Research:
Bruner-Routledge.
Moleong,L.J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Morgan, R. 2009. Suicide terrorist; a self-concept motivated by meaning. UK:
30th Annual Scientific Meeting of the International Society of Political
Psychology
th

Papalia, D.E.; Olds, S.W.;Feldman, R.D.2009. Human Development 10 Edition.


New York : McGraw-Hill.
Pervine, L.A.; Cervone, D.; John, O.P. 2009. Personality: Theory And Research.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Pirelli, G. & Jeglic, E. 2009. The Influence Of Death Exposure On Suicidal

Thoughts And Behaviors Vol 13: 136- 146. International Academy for
Suicide Research: Bruner-Routledge.
Poerwandari, E.K. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas indonesia: Lembaga Pembangunan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Rolf. 2007. Think About Suicide .http://www.experienceproject.com (diakses
tanggal 25 Oktober 2009)
Salkovskis,P.M. 1996. Frontiers Of Cognitive Psychology. Belmont: Guilford
Press
Schultz, D. & Schultz, S.E. 1994. Theories of Personality. California: Wadsworth
Skogman, K.& Ojehagen, A. 2009. Motives For Suicide Attempts- The Views Of
The Patients Vol.7: 193-206. International Academy for Suicide Research:
Bruner-Routledge.
Skogman, K.& Ojehagen, A. 2003. Problems Of Importance For Suicide
Attempts-The Patients Views Vol 7:207-219. International Academy for
Suicide Research: Bruner-Routledge.
Surilena. 2009. Fenomena Bunuh Diri Di Indonesia. Maj.Kedob.Atma Jaya. Vol4.
Jakarta: Perpustakaan Unika Atmajaya.
Weiten, W.; Lloyd, M.A.; Dunn, D.S.; Hammer, E.Y.2009. Psychology Applied To
st

Modern Life: Adjustment In The 21 Century. Belmont:

Anda mungkin juga menyukai