Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

PERCOBAAN BUNUH DIRI

Disusun oleh :
dr. Kendry Savira, S.ked
Pembimbing :
dr. Putu Yoni Utami

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSIP


DOKTER INDONESIA
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PPSDM KESEHATAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama
kematian di seluruh dunia.1 Gagasan bunuh diri mungkin juga muncul pada
orang yang tidak mengalami gangguan mental saat mereka berada dalam
keadaan depresi atau mengalami penyakit fisik. Secara global, sekitar satu
juta kematian akibat bunuh diri dicatat setiap tahun, dan jumlah usaha
bunuh diri diperkirakan akan 10-20 kali lebih tinggi dari ini. 2 3 Organisasi
Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa salah satu upaya bunuh diri terjadi
kira-kira setiap tiga detik, dan terdapat satu orang setiap menit yang
meninggal karena bunuh diri. Penyebab bunuh diri merupakan hal yang
kompleks. Beberapa orang tampak sangat rentan untuk bunuh diri ketika
menghadapi peristiwa kehidupan yang sulit atau kombinasi stressor. Faktorfaktor ini termasuk adanya gangguan mental sebelumnya atau
penyalahgunaan zat, riwayat bunuh diri dalam keluarga dekat, kekerasan
keluarga jenis apa pun, dan adanya perpisahan atau perceraian. 4,5 Pada
sebuah studi epidemiologi di Amerika Serikat yang dilakukan Kessler dan
kawan kawan, memperkirakan tingkat keinginan bunuh diri sebesar 2,8% 3,3% dari populasi umum, dan Weissman dkk, melaporkan. antara 2 dan 18%
pada sembilan negara. 6 Universitas Sumatera Utara Pasien dengan
gangguan depresif mayor memiliki risiko yang besar terjadinya bunuh diri.7,8
Pada sejumlah studi psikologis otopsi dari sampel bunuh diri menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil terjadi bunuh diri tanpa bersamaan dengan
diagnosis psikiatri yaitu sekitar 5% hingga 7%.9 Dari laporan studi klinis
menunjukkan sebesar 78 89 % pasien gangguan depresif mayor berat
memiliki keinginan dan percobaan bunuh diri.3 Dan adanya data yang
menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang melakukan bunuh diri
sebelumnya tidak melakukan percobaan bunuh diri dan setidaknya ada satu
studi tentang percobaan bunuh diri yang menemukan sekitar 10% akhirnya
mati dengan bunuh diri. Dengan demikian gagasan dan perencanaan bunuh
diri merupakan hal yang serius dibandingkan dengan percobaan bunuh
diri.10 Risiko untuk terjadinya bunuh diri bagi seorang individu yang dirawat
di rumah sakit pada episode gangguan depresif mayor berat diperkirakan
15%. Pada penelitian yang dilakukan Beck, dan kawan - kawan terhadap 207
pasien rawat inap yang memiliki gagasan bunuh diri 7 % selama periode 5 10 tahun, terdapat 14 pasien yang melakukan bunuh diri. Beck mengamati
secara klinis bahwa ketika pasien depresi yakin tidak ada solusi untuk
masalah kehidupan yang serius, mereka memandang bunuh diri sebagai
jalan keluar dari situasi yang tak tertahankan. Menurut formulasi Beck's,

putus asa merupakan karakteristik inti dari depresi dan berfungsi sebagai
penghubung antara depresi dan bunuh diri.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran tingkat gagasan bunuh diri pada pasien gangguan
depresif mayor?
2. Berapakah proporsi gagasan bunuh diri pada pasien gangguan depresif mayor
berdasarkan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, perkawinan,
pekerjaan, pendidikan)?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perilaku Percobaan Bunuh Diri


1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium, dengan sui yang berarti sendiri dan
cidium yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku
pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang
bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental
individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan
frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian
untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk.,
2000).
Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang
mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup
subjek (dalam Maris dkk., 2000).
Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus
disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan,
karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian,
membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri
hidup.
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara
lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan
tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta
api.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku
membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah.
Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan
memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan
komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri
melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam
Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah
melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi
menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada kematian.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri
sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian.
2. Metode Bunuh Diri
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi
pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang
kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:
1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
3. senjata api dan peledak
4. menenggelamkan diri
5. melompat
6. memotong (menyayat dan menusuk)
3. Faktor Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih.
Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris
dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari psychache. Psychache merupakan
rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya
berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan,
kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam
Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri
berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis
lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun
demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua
karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus
bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris
dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):
1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol
dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi
keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)
9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10. Rendahnya tingkat 5-HIAA
11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah)
12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri)
13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
14. Penyakit fisik dan komplikasinya
15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

4. Penjelasan Bunuh Diri


Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu
kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks.

1. Penjelasan Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis
mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa
suicide is murder turned around 180 degrees, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan
kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko
melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah
terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang
hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan
marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif
diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada
pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan
dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh
suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini,
pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah
kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsidistorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menenkankan bahwa
seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model
ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya
tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan
memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini
diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa
sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah
keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu,
sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif,
karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum
mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati.
Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi
adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan
suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan
penyalahgunaan obat-obatan.
2. Penjelasan Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku
bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana
serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa
perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang
juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor
biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.

3. Penjelasan Sosiologis
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai
hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi
dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr,
Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:
1. Egoistic Suicide
Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana
individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber
daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan
perilaku bunuh diri.
2. Altruistic Suicide
Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan
yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga
mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari
identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar
dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang
sebagai suatu tugas.
3. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu
individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika
masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa
hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan
mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh
diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
4. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan
yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.
B. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)
1. Definisi Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara
eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk
bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara
eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik
(Hidup ini tidak berarti), yang spesifik (Saya berharap saya mati), pikiran dengan intensi (Saya
akan membunuh diri saya), sampai pikiran yang berisi rencana (Saya akan membunuh diri saya
sendiri dengan pistol).
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). De
Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri
bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang

berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling
sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari
masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk.,
2000)
Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep
dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah
mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah
pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati,
hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).
2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian
menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah (Weishaar,
dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif
mengubah persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain:
1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai
baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin
dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang
memiliki
pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk,
Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity
merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white) thinking, dimana
individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua
karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan
berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson &
Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford,
2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan
penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit
belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral
autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang
terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah
yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa
pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang
besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.
2. Hopelessness

Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa
depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan,
Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan
penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan
perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang &
Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
3. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan baik
secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran
bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL
(Reasons for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal
dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya
intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai faktor resiko melakukan
bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme
dapat dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis
untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially prescribed
(mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme
ini, jenis socially prescribed dan self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
5. Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan
seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan
dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa
orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu mencari informasi yang mengkonfirmasi
skema negatif tersebut(self-verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan
harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan penilaian keseluruhan seseorang terhadap
keberhargaan dirinya sebagai seorang manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang
dirinya secara positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu juga
sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua berperan dalam pembentukan
harga diri, dimana pola asuh authoritative diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh
neglected diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd,
2006).
Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa
variabel karakteristik kognitif lainnya.
6. Ruminative Response Style

Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan prediktor yang kuat
dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style
adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya
berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection) (Chan,
Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang
dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang
berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi.
Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection hingga
saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah dialami dalam
kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan
bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat
autobiographical memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum
(William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh diri
dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum
menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan
masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi
mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa
depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan
bunuh diri pada individu.

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Waktu Pemeriksaan

: Tn. D
: 35 tahun
: Laki-laki
:: bd munduk Buleleng
: 12 januari 2016

II. ANAMNESIS
Seorang laki-laki, Ny. M, 35 tahun diantar oleh istrinya datang ke IGD Puskesmas Banjar 1 dengan
keluhan tidak sadarkan diri. Istri pasien menyadari perubahan pada suaminya sejak 2 bulan yang lalu, sejak
anaknya lahir. suaminya menjadi jauh lebih pendiam, kadang-kadang menangis sendiri, atau kadangkadang diam saja. Pasien mengatakan dengan yakin bahwa perasaan bersalah itu selalu ada di dalam
dirinya, pasien juga tidak mengerti mengapa rasa bersalah itu ada dan terus-terusan membuat pasien sedih
dan merasa berdosa, sehingga pasien terus-terusan diam dan merenung. Pasien sempat merasa konsentrasi
dan perhatiannya berkurang terhadap sesuatu, Pasien juga sempat merasa tidurnya terganggu, kadang
menjadi tidak nyenyak dan sering terbangun.
Pemeriksaan tanda-tanda vital sign dalam batas normal : Tekanan Darah : 120/80 mmHg, Nadi : 88x/menit,
Laju Respirasi : 22x/menit, Suhu : 36,5. Pemeriksaan fisik didapatkan semua dalam batas normal :
Status Psikiatri :
Laki-laki berumur 35 tahun, tampak berpakaian wajar dan sesuai dengan usianya dan jenis kelaminnya,
pasien tampak murung, sedih, dan tatapannya kosong.
Status Psikiatri
Kesadaran
: Compos mentis
Orientasi
: Orang, Waktu, Tempat, Situasi : Baik
Sikap
: Apatis Hipoaktif
Perilaku motorik
: Cara berjalan normal, normo aktivitas
Penampilan/rawat diri : Cukup, Sesuai umur, sesuai gender
Mood
: Depresif/disforik
Afek
: Terbatas atau menyempit
Bentuk pikiran
: Non realistic
Progresi piker
Kuantitatif
: Remming
Kualitatif
: Relevan dan koheren
Isi Pikir
: Miskin Isi Pikir
Waham
: Waham bersalah, waham berdosa
Hubungan Jiwa
: Sulit dibina
Perhatian
: Mudah ditarik, sulit dicantum
Persepsi
: Halusinasi (-)
Insight
: Derajat 1

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalis Kepala-Leher
Kulit

: Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)

Kepala

: Bentuk normal, tidak teraba benjolan, rambut

berwarna hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut


Mata

Leher
Thorax

Abdomen

: Bentuk normal, Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, palpebral superior et


inferior tidak edema, pupil bulat miosis, reflek
cahaya (+/+), mata cekung (-/-)
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
: Inspeksi
: Datar dan simetris
Palpasi
: Vocal : fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor kanan = kiri
Auskultasi
: Suara napas vesikular, rhonki -/-, wheezing : -/-, BJ I/II normal,
Gallop (-), murmur (-)
: Inspeksi
: Datar dan simetris
Auskultasi
: Bising usus normal
Palpasi
: Defans muscular (-) lemas (+), nyeri tekan (-) ballotement -/Nyeri ketok CVA -/- nyeri tekan simfisis (-)
Perkusi
: Timpani, pekak hepar (+)
Extremitas
: Akral dingin, edema -/-, kekuatan motorik normal
Genitalia
: Tidak diperiksa

IV. DIAGNOSIS SEMENTARA


AKSIS I (Gangguan jiwa, kondisi yang menjadi fokus perhatian)
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
AKSIS II (Gangguan kepribadian, retardasi mental)
Tidak ada
AKSIS III (Kondisi Medik Umum)
Tidak ada
AKSIS IV (Stressor Psikososial)
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
AKSIS V (Fungsi Sosial)
50-41 : gejala berat (serius), disabilitas berat

VI. PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi
- Anti Depresant
Amitryptiline 2 x 25 mg
Diberikan kepada pasien usia muda (young healthy) yang lebih besar toleransi terhadap efek samping
sedatif, otonomik, dan kardiologik relative besar, bermanfaat untuk meredakan agitated depression.

- Anti Psikotik (Serotonin Dopamin Antagonis)


Risperidone 2 x 2mg
Diberikan kepada pasien dengan gejala psikotik dimana gejala negatif yang lebih dominan seperti
adanya gangguanperasaan, gangguan hubungan social (menarik diri), gangguan proses piker.

Psikoterapi
Terapi interpersonal
Berfokus pada konteks sosial depresi dan hubungan pasien dengan orang lain. Memberikan ventilasi
yakni memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati dan keinginannya supaya
pasien merasa lega.
Terapi kognitif-behavioral
Berfokus pada mengoreksi pikiran-pikiran negatif, perasaaan bersalah yang tidak rasional dan rasa
pesimis pasien. Dapat juga dengan memberikan nasehat dan pengertian kepada pasien mengenai
penyakitnya dan cara menghadapinya agar pasien mengetahui kondisi dirinya.
Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien dan orang sekitar agar memberi dukungan kepada
pasien. Dukungan moral dan suasana kondusif sehingga membantu proses penyembuhan.

VII. PROGNOSIS
dubia ad bonam

BAB III
PENUTUP
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy adalah gejala utama
dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan,
dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka
cita atau kesedihan yang normal.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala
lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative
(termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain :
, yang mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri dari
kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada
atau pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
1. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan membaik di siang
hari.
2. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit diduga sebelumnya,
tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena
dia merasa harus menyelamatkan keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
3. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam pembicaraan serta
pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi
mungkin menjadi gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
4. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya penilaian diri.
Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman
untuk dosanya di masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang
benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh
bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham hipokondria.
Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
5. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
6. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia kehilangan
perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat
tidak nyata.
7. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri mungkin ditemukan.
8. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari, kemudian semakin
lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi insomnia total.

9. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan kehilangan
libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10-15%
melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide
bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien
depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood
meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi
dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka
mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari karena memikirkan
masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan,
demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari
yang biasa.

Anda mungkin juga menyukai