Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL

DISUSUN OLEH :

Elis Saada 1102012073

Faisal Zakiri 1102012080

Halima Tusadia Tahari 1102012103

Harvien Bhayangkara 1102013124

Junita Putri Anwar 1102013142

PEMBIMBING :

Dr. Eri Achmad Achdiar, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

RSUD ARJAWINANGUN

JUNI 2017
A. Pengertian
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari
medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi
transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi
dikorpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal.
Gejala ekstrapiramidal sindrom akut terjadi dalam hitungan jam atau minggu
setelah inisiasi atau penambahan dosis antipsikotik dan termasuk di dalamnya
adalah distonia, akathisia, dan parkinsonisme. Dyskinesia tardive merupakan
gejala ekstrapiramidal dengan onset telambat dan biasanya terjadi setelah
penggunaan antipiskotik jangka panjang (Jesic M.P.,et al., 2012).
a. Distonia Akut
Merupakan keadaan otot yang tidak normal atau sering disebut dengan
kejang otot. Istilah yang lebih akurat adalah kontraksi otot yang
diperpanjang dengan onset yang cepat biasanya 24 – 96 jam setelah
pemberian atau peningkatan dosis. Distonia ini merupakan salah satu
penyebab pasien menjadi tidak patuh dalam pengobatan. Distonia yang
diinduksi antipsikotik biasanya terjadi di sekitar tangan, meskipun
terkadang terjadi di beberapa otot. Tanda-tanda yang tampak seperti
kekakuan rahang, tonjolan lidah, kejang faring, disfagia, dan terkadang
sulit bernafas (Jesic, et al., 2012).
b. Akathisia
Akathisia merupakan efek samping antipsikotik yang serius dan paling
banyak terjadi. Akathisia dianggap sebagai gangguan gerakan yang
diinduksi penghambatan reseptor dopamin oleh neuroleptik dan
antiemetilk. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh agen serotonergik,
inhibitor reuptake serotonin, dan kokain (Jesic M.P.,et al., 2012).

2
c. Drug Induced Parkinsonisme
Parkinson yang diinduksi oleh antipsikotik merupakan bentuk parkinson
kedua yang paling banyak diderita oleh pasien berusia lanjut selain
idiopatik parkinson. Interval antara pemberian antipsikotik dan onset
parkinsonisme bervariasi mulai dari hitungan hari hingga beberapa bulan.
Tidak seperti penyakit parkinson, gejala biasanya bilateral dan simetrikal.
Terdapat tiga gejala, yaitu bradikinesia, kekakuan otot, dan tremor
(Thanvi and Treadwell, 2009).
d. Dyskinesia tardive
Adanya pergerakan choreoathetoid bagian wajah, kaki dan tangan,
bagasi, dan otot pernafasan. Gerakan ditandai dengan adanya
kegembiraan yang menghilang selama tidur. Beberapa pasien tidak sadar
dengan adanya gerakan yang tidak disadari (Haddad and Dursum, 2008).

B. Hasil Anamnesis
a. Distonia akut
Pasien mungkin datang dengan keluhan :
1. Posisi abnormal dari kepala atau leher (seperti: retrocollis)
2. Spasme otot rahang (seperti : trismus)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernapas (spasme laring-
faring, disfonia)
4. Penebalan lidah atau bicara cadel karena lidah membesar (disartria,
makroglosia)
5. Penonjolan lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, kearah samping
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau tubuh.
b. Akathisia
Pasien mungkin datang dengan keluhan :
1. Menggerakkan kaki atau mengayunkan kaki secara gelisah
2. Menggoyangkan kaki saat berdiri
3. Berjalan-jalan untuk menghilangkan kegelisahan

3
4. Tidak dapat duduk atau berdiri selama sekurangnya beberapa menit.
c. Parkinsonisme
Pasien mungkin datang dengan keluhan :
1. Tremor parkinsonisme (yaitu tremor, ritmik, dan saat istirahat, yang
mengenai anggota gerak, kepala, mulut, atau lidah)
2. Rigiditas otot parkinsonisme
3. Akinesia (yaitu penurunan ekspresi wajah, gerak-gerik, bicara, atau
gerakkan tubuh spontan)
d. Dyskinesia Tardive
Pasien mungkin datang dengan keluhan :
1. Gerakan involunter dari lidah, radang, ekstremitas dan tubuh karena
penggunaan obat-obatan neuroleptic.
2. Perioral movements (seperti gerakan memutar lidah, mengunyah,
mengerutkan bibir, meringis) (Pringsheim, 2011).

C. Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik
pada umumnya yaitu tanda-tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat
ditambah pemeriksaan neurologis. Periksa fungsi dan kekuatan kelompok
otot ekstensor, fleksor, abduktor, dan adduktor dari tiap sendi utama.
Perhatikanlah kekuatan dan tonus otot. Minta pasien menggerakkan tiap
kelompok otot dengan melawan tahanan anda. Tentukan kekuatannya
berdasarkan 5 skala kekuatan:
 0 = tidak ada kontraksi sama sekali
 1 = gerakan kontraksi yang sangat lemah
 2 = kemampuan untuk bergerak tetapi tidak kuat melawan tahanan
atau gravitasi
 3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi
 4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh
 5 = kekuatan kontraksi penuh

4
Periksalah tonus postural tiap kelompok otot dengan melakukan ekstensi dan
fleksi secara bergantian pada tiap sendi ekstremitas tanpa tahanan pasien.
Peganglah ekstremitas pasien. Mungkin perlu berkali-kali menganjurkan
kepada pasien untuk lebih santai. Biasanya akan teraba tonus yang halus.
Penyakit ekstrapiramidal, misalnya Parkinsonisme, menyebabkan rigiditas.
Tahanannya lebih konstan dan kadang-kadang disebut “rigiditas plastik.”
Tremor ekstrapiramidal yang mengiringinya memberikan kualitas hentakan
pada rigiditas tersebut – roda bergigi (cogwheeling). Ciri-ciri lain penyakit
ekstrapiramidal mencakup kemampuan untuk mempertahankan posisi yang
kaku, tidak adanya gerakan tubuh yang berkaitan, mengedip, ayunan lengan,
dan sedikit gerakan wajah – “wajah seperti topeng.”
(Burnside dan McGlynn, 1995).
A. Extrapyramidal Symptom Rating Scale (ESRS)
Ekstrapyramidal Syndrome Rating Scale (ESRS) diperkenalkan oleh
Chouinard dkk pada tahun 1980. Instrumen ini digunakan untuk
penilaian menyeluruh empat tipe drug-induced movement disorder yaitu
parkinsonisme, akatisia, distonia, dan dyskinesia tardive. Instrumen ini
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan divalidasi oleh dr.
Gitayanti Hadisukanto, Sp.KJ(K) pada tahun 1997.
ESRS terdiri dari empat subskala dan empat CGIS skala:
a. (I) Kuesioner EPS
b. (II) Pemeriksaan Parkinsonisme dan Akathisia
c. (III) Pemeriksaan dystonia
d. (IV) Pemeriksaan terhadap dyskinesia

Ringkasan prosedur pemeriksaan ESRS:


1. Pasien diminta melepas sepatu mereka (dihilangkan jika dinilai tidak
sesuai secara klinis atau saat pasien ragu-ragu, atau tertunda setelah
pasien berjalan. Pasien diminta mengeluarkan apapun dari mulut
mereka (kecuali gigi palsu). Pasien diminta duduk menghadap
pemeriksa pada kursi tanpa sandaran tangan

5
2. Lengkapi kuesioner sesuai dengan yang dirasakan oleh pasien sejak
sebelum pemeriksaan dimulai.
3. Amati ekspresi wajah, ucapan dan dyskinesia saat mengisi kuesioner
dan saat melengkapi poin 4, 5, dan 6 di bawah ini. Penilaian secara
objektif selama menjalani pemeriksaan standar untuk neurologis.
4. Pasien diminta untuk memperpanjang kedua lengan ke depan,
dengan telapak tangan menghadap ke bawah dan mata tertutup.
Penilaian tremor mencakup istirahat, postur dan aksinya. Mata
tertutup agar pasien tidak dapat mengoreksi jika ada lesi neurologis
lateral.
5. Pasien diminta untuk melakukan pronasi dan supinasi kedua tangan
secepat mungkin, dan untuk melakukan gerakan alternatif yang cepat
dari keduanya pergelangan tangan. Ulangi seperlunya.
6. Sementara pasien duduk menghadap pemeriksa di atas kursi tanpa
sandaran lengan sekitar 1 kaki (sekitar 30 cm) dari meja dengan
tubuh bagian atasnya berpaling, pasien diminta untuk menyalin
spiral dengan masing-masing tangan dan untuk menuliskan nama
kotanya, provinsi / negara bagian dan negara.
7. Pasien diminta berjalan kaki sejauh 12-15 kaki (4-5 m) dari, lalu
kembali ke arah pemeriksa. Ulangi seperlunya.
8. Pasien diminta berdiri tegak dengan mata terbuka dengan kaki agak
terpisah (1-2 cm). Penguji mendorong pasien pada setiap bahu,
punggung dan mendorong dada atau menarik dari belakang sambil
meminta pasien untuk menjaga keseimbangannya.
9. Lakukan pemeriksaan tonus otot dari keempat tungkai.

INSTRUKSI PENILAIAN ESRS:


A. Kuesioner
Untuk penilaian subyektif (subskala I dari ESRS) adalah pada skala
4 poin (0 = Absen; 1 = Ringan, 2 = Sedang, 3 = Parah). Penilai
memperhitungkan laporan lisan dari pasien pada:

6
1) Frekuensi dan durasi gejala di siang hari;
2) Jumlah hari gejala hadir pada minggu terakhir; Dan,
3) Evaluasi subyektif terhadap intensitas gejala oleh pasien.
Saat menentukan peringkat EPS subjektif, tingkat keparahan dinilai
selama 7 hari terakhir. Perlu ditanyakan bagaimana gejala persisten
terjadi pada hari yang paling umum dalam 7 hari terakhir.
B. Pemeriksaan: Parkinsonisme dan akathisia
Kedua tremor dan kekakuan (item 1 dan 4) dinilai pada item skala 7
poin (0 = none-6 = parah) untuk setiap bagian tubuh, yang dinilai
sebagai item terpisah. ESRS dan Unified Parkinson's Disease Rating
Scale (UPDRS) (Fahn dan Elton, 1987) menilai setiap bagian tubuh
secara terpisah untuk tremor dan kekakuan, karena, pada kedua
Parkinsonisme dan IPD yang diinduksi obat, gejalanya dapat dilihat
pada awalnya dalam satu Anggota badan dan saat berkembang
mungkin melibatkan beberapa anggota badan, sehingga
meningkatkan jumlah item dalam setiap skala, namun
memungkinkan penilaian tingkat keparahan di setiap bagian tubuh
yang terlibat.
Rating untuk tremor dibuat dengan mempertimbangkan dua sumbu:
amplitudo gerakan dan berapa kali waktu pengamatan selama
penilaian tremor termasuk istirahat, postur dan aksi. Peringkat
Parkinsonisme dan akathisia lainnya dicatat pada item skala 7 poin
(0 = absen-6 = paling parah).
Salah satu kesulitan dalam pemeringkatan gerakan abnormal adalah
memasukkan amplitudo gerakan abnormal (semakin tinggi
amplitudo, semakin parah kelainannya) dan frekuensi pergerakan
abnormal diamati (semakin sering, semakin besar tingkat
keparahannya). Dengan demikian, perlu untuk menilai gangguan
hyperkinetic, tremor dan dyskinesia, pada dimensi dua sumbu untuk
memperhitungkan bahwa getaran kecil yang terlihat sering sama

7
patologisnya dengan getaran amplitudo yang lebih besar yang
terlihat lebih jarang.
C. Pemeriksaan: Distonia
Kedua gerakan dystonic akut dan kronis dinilai pada skala item 7
poin (0 = absen-6 = paling parah). Masing-masing bagian tubuh
diberi nilai secara terpisah termasuk ekstremitas kanan atas,
ekstremitas kiri atas, ekstremitas kanan bawah, ekstremitas bawah
kiri, kepala, rahang, lidah, bibir, wajah, batang dan lainnya (area
lainnya).
D. Pemeriksaan: Dyskinesia
Gerakan di masing-masing lokasi (lidah, rahang, bucco-labial, trunk,
upper dan lower extremities, dan lainnya {area lain termasuk
wajah}) dievaluasi terpisah. Semua dinilai sama dengan tremor.
Gerakan diskinetik tidak disengaja bersifat berulang, meski tidak
berirama dan tidak berosilasi sepanjang sumbu, dan amplitudonya
biasanya lebih besar dengan siklus frekuensi rendah. Akibatnya, kita
menerapkan logika yang sama dengan skala dua sumbu amplitudo
dan frekuensi seperti pada rating tremor.
PENILAIAN
A. Parkinson
Parkinsonisme untuk memulai pengobatan antiParkinson, skor 3 atau
lebih diperlukan pada setidaknya satu dari item yang tercantum di
atas termasuk 8 item tremor atau 4 item kekakuan. Saat membangun
ada atau tidak adanya Parkinson, skor 2 banding 2 item atau skor 3
atau lebih pada satu item diperlukan untuk menetapkan adanya
Parkinson.
Subscores : Dua subscores dibentuk dengan menggunakan
pemeriksaan obyektif Parkinsonisme: faktor hipokinesia, berkisar
antara 0 sampai 42, dihitung sebagai jumlah item: gaya berjalan dan
postur (0-6), kekakuan (0-24), gerakan otomatis ekspresif ( 0-6), dan

8
bradikinesia (0-6); Dan faktor hyperkinesia, berkisar antara 0 sampai
54, dihitung sebagai jumlah item: tremor (0-48) dan akathisia (0-6).
B. Akatisia
Skor Parkinson, berkisar antara 0 sampai 96 (16 item), dan 2 faktor
(hipokinesia (0-42) dan hiperkinesia (0-49) yang digunakan sekarang
serupa dengan yang sebelumnya dikurangi satu item: Akathisia (0-
6). Skor untuk akathisia dipisahkan dari skor Parkinson dan
didasarkan pada gabungan skor subyektif (item 6 dari kuesioner) dan
obyektif (butir 7 dari pemeriksaan objektif Parkinson / Akathisia).
Antara ada atau tidak adanya akathisia, skor total 3 atau lebih besar
pada 2 item diperlukan untuk menilai ada.
C. Distonia
Skor untuk distonia berkisar antara 0 sampai 60 (10 item), dan
dibentuk dengan memasukkan dystonia akut dan kronis, berdasarkan
pemeriksaan dystonia (Subskala III). Saat menentukan ada tidak
adanya distonia, skor 3 atau lebih besar pada setidaknya satu item,
atau skor 2 banding 2 item diperlukan untuk menunjukkan adanya
distonia.
D. Dyskinesia
Skor untuk Tardif Diskinesia, berkisar antara 0 sampai 42,
didasarkan pada jumlah dari tujuh item dalam pemeriksaan objektif
TD. Saat mencetak kehadiran versus tidak adanya TD, skor 3 atau
lebih besar pada setidaknya satu item atau skor 2 pada 2 item
diperlukan untuk menunjukkan adanya TD. Untuk tardive
dyskinesia, skor untuk setiap item dapat dianalisis secara terpisah.
Sublimit bukccal-lingual-masticatory (BLM), berkisar antara 0
sampai 18, diperoleh dari jumlah item 1, 2 dan 3, dan subtotal
ekstremitas, berkisar antara 0 sampai 12, dengan menambahkan skor
untuk item 5 dan 6.

9
D. Kriteria Diagnosis
Di lampiran

E. Diagnosis Banding
a. Sindroma putus obat
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi
sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang
persisten digunakan sebelumnya. Di kalangan pemakai biasa dinamakan
“sakau”, dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan obat
walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan
kriminal.
Gejala–gejala Putus Obat:
Nyeri otot dan tulang, nyeri kepala, sulit tidur (insomnia). Bila
pemakaian dosis sangat banyak (Overdosis) dapat terjadi kejang dan
koma, keluar airmata terus menerus (lakrimasi), keluar air dari hidung
(rhinorhea), berkeringat banyak, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi,
nadi bertambah cepat, suhu tubuh naik tinggi, gelisah dan cemas,
gemetar, kadang-kadang muncul gangguan mental.
b. Parkinson Disease
Penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf secara bertahap pada otak
bagian tengah yang berfungsi mengatur pergerakan tubuh. Gejala yang
banyak diketahui orang dari penyakit ini adalah terjadinya tremor atau
gemetaran. Sedangkan gejala awalnya biasanya sulit dikenali.
Penyakit Parkinson memengaruhi bagian kecil dari otak tengah yang
bernama susbstantia nigra. Fungsi dari substantia nigra adalah mengirim
pesan ke berbagai saraf di tulang belakang yang berfungsi
mengendalikan otot-otot pada tubuh. Pesan akan dikirimkan dari sel otak
ke saraf dan otot dengan memanfaatkan senyawa kimia yang disebut
neurotransmiter. Salah satu neurotransmiter utama yang dihasilkan oleh
sel otak di substantia nigra adalah dopamine.

10
c. Distonia primer
Dystonia adalah sebuah kondisi medis yang ditandai oleh adanya
gangguan pada pergerakan otot, sehingga otot akan berkontraksi secara
berulang-ulang tanpa sadar. Gerakan berulang-ulang ini menyebabkan
penderita dystonia seringkali memiliki postur tubuh yang tidak biasa dan
terkadang mengalami gemetar (tremor). Dystonia dapat menyerang
hanya satu anggota tubuh (dystonia fokal), dua atau lebih bagian tubuh
yang berkaitan (dystonia segmental), atau seluruh tubuh (dystonia
general).
Berdasarkan penyebabnya, dystonia dibagi menjadi dua kategori, yaitu
dystonia primer dan dystonia sekunder. Dystonia primer adalah dystonia
yang penyebabnya belum diketahui dengan jelas, namun beberapa dari
kasusnya diketahui disebabkan oleh mutasi genetik atau keturunan, dan
biasanya terjadi dalam usia belia.
d. Tetanus
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan seringkali fatal yang
disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin
(racun). Racun ini yang kemudian menghasilkan gangguan saraf yang
ditandai dengan meningkatnya tegangan dan kekejangan otot (Sadock
and Sadock. 2010).

F. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung tampilan klinis, pada kelainan spasme otot secara terus menerus
dapat dilakukan pemeriksaan, kreatinin darah, asam urat bermanfaat dalam
menilai kerusakan otot, karena terjadi kontraksi otot yang menetap (Owens.
2004).

11
G. Terapi

Terapi gejala ekstrapiramidal secara profilaksis dilakukan jika sudah


dilakukan penilaian terhadap kondisi pasien. Tiga hal yang perlu dilakukan
sebelum memulai memutuskan untuk memberikan terapi gejala
ekstrapiramidal adalah mengetahui riwayat gejala ekstrapiramidal
sebelumnya, adanya kemungkinan untuk terjadi gejala ekstrapiramidal jika
dilihat dari jenis terapinya, dan adanya sisa gejala ekstrapiramidal jika
sebelumnya sudah terjadi gejala ekstrapiramidal. Distonia dapat diterapi
dengan pemberian antihistamin (difenhidramin) secara intramuskular atau

12
antikolinergik (sulfa atropine) secara parenteral (intramuscular). Selain itu
juga dapat diberikan diazepam injeksi. Obat antikolinergik dapat menghambat
asetilkolin yang dapat memberikan perasaan tenang kepada pasien. Pada saat
kejadian akut, difenhidramin dapat diberikan, meskipun antihistamin tetapi
yang digunakan adalah peran antikolinergiknya. Antikolinergik yang sering
digunakan adalah triheksifenidil.
Triheksifenidil merupakan antagonis reseptor asetilkolin muskarinik. Dosis
triheksifenidil saat awal digunakan adalah 1 mg/hari dan ditingkatkan 1 mg
setiap 3 – 5 hari dalam periode satu bulan hingga tercapai 6 mg/hari (Cloud
dan Jinnah, 2010). Strategi pertama dalam penanganan parkinsonisme yang
diinduksi antipsikotik adalah penurunan dosis antipsikotik yang digunakan.
Namun banyak didapati pasien yang penyakitnya justru menjadi semakin
parah ketika dosis antipsikotik diturunkan, sehingga penambahan obat untuk
mengatasi gejala ekstrapiramidal menjadi alternatif selanjutnya.
Parkinsonisme ini dapat diterapi dengan antihistamin (difenhidramin) dan
antikolinergik (triheksifenidil). 27 Seperti pada distonia, dosis triheksifenidil
pada saat awal digunakan adalah 1 mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga 6
mg/hari.
Akathisia merupakan gejala ekstrapiramidal yang sulit diterapi. Sebagaimana
parkinsonisme, strategi pertama adalah penurunan dosis antipsikotik, tetapi
cara ini bukanlah yang paling efektif. Strategi berikutnya adalah penambahan
obat untuk mengurangi akatisia, dengan cara pemberian β-blocker merupakan
yang paling efektif. Propranolol dosis 30 – 120 mg/hari dalam dosis terbagi
merupakan terapi yang direkomendasikan. Strategi selanjutnya jika tidak
berhasil adalah dengan golongan benzodiazepine, tetapi perlu diperhatikan
pada adanya penyalahgunaan dari obat ini. Alternatif terakhir adalah dengan
mengganti antipsikotik. Aspek utama pada pengendalian diskinesia tardif
adalah penghentian atau penggantian antipsikotik, tetapi dengan penurunan
dosis terlebih dahulu. Antipsikotik diganti dengan atipikal generasi baru
seperti quetiapin dan klozapin. Namun obat-obat tersebut tidak bagus jika
digunakan untuk pengobatan tardif diskinesia jangka panjang. Kemungkinan

13
besar antipsikotik atipikal dapat menghambat reseptor D2 dan menyebabkan
tardif diskinesia. Evaluasi perlu dilakukan pada pengobatan gejala
ekstrapiramidal. Evaluasi dilakukan dua minggu setelah penggunaan pada
terapi profilaktik. Obat dapat diturunkan dosisnya jika sudah tidak tampak
adanya gejala ekstrapiramidal.

H. Edukasi
Pasien, seperti dokter, harus menyadari tanda peringatan EPS. Deteksi dini
merupakan strategi penting untuk mengurangi komplikasi yang berat.
Perhatian ekstra harus dilakukan saat menasihati klien tentang tindakan yang
harus dilakukan jika pasien mulai menunjukkan gejala yang dicurigai sebagai
EPS, karena beberapa pasien mungkin memilih untuk menghentikan
pengobatan sepenuhnya. Penghentian tiba-tiba APM tidak disarankan secara
terapeutik dan dapat memperburuk rangkaian masalah kesehatan mental
psikiatrik kritis. Diskusi menyeluruh yang berkaitan dengan faktor risiko
yang terkait dengan APM harus ditinjau ulang dengan setiap klien, termasuk
mereka yang memiliki dosis yang disesuaikan.
Dokter harus mengenali manifestasi klinis EPS, menyelesaikan penilaian
cepat yang mencakup penggunaan instrumen skrining, dan menerapkan
teknik manajemen yang efektif untuk meminimalkan komplikasi serius.
Selain itu, menyadari masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan,
ide bunuh diri, atau penyalahgunaan zat merupakan aspek penting perawatan.
Karena EPS secara fisiologis dan menantang secara psikologis bagi klien,
kepatuhan terhadap pengobatan mungkin bergantung pada pendidikan klien
yang akurat, deteksi dini, manajemen agresif, dan pendekatan suportif dan
nonstigmatisasi oleh dokter (Medscape)

I. Prognosis
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut masih baik bila
gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada EPS
yang kronik lebih buruk. Pasien dengan tardive distonia sangat buruk. Sekali

14
terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan
neuroleptik selama lebih dari 10 tahun (Elvira, and Hadisukanto. 2014).

15
DAFTAR PUSTAKA

Burnside, J.W., dan McGlynn, T.J.; alih bahasa, Lukmanto H., 1995. Diagnosis
Fisik. Edisi 17. Jakarta: EGC.
Chouinard G., and Margolese H.C., 2005. Manual for The Extrapyramidal
Symptom Rating Scale (ESRS). Schizophrenia Research 76(2005): 247-265
Elvira S.D., Hadisukanto G. 2014. Buku Ajar PSIKIATRI Edisi Kedua. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Haddad P.M. and Dursum S.M. 2008. Neurological Complications of Psychiatric
Drugs: Clinical Feature and Management. Hum Psycopharmacol, 23(1): 15-
26.
Hadisukanto, G., 1997. Penentuan Validitas Skala Penilaian Gejala
Ekstrapiramidal. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jesic M.P., Jesic A., Filivovic J.B., Zivanovic O. 2012. Extrapyramidal
Syndromes Caused by Antipsychotics. Med Pregl, 55(11-12): 521 – 526
Owens DGC. A guide to the extrapyramidal side-effects of antipsychotic drugs.
England: Cambridge University Press; 2004.
Pringsheim T., Doja A., Belanger S., Patten S., 2011. Treatment
Recommendations for Extrapyramidal Side Effect Associated with Second-
generation Antipsychotic Use in Children and Youth. Paediatr Child Health,
16 (9): 590-598
Sadock B.J., and Sadock V.A. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta:
EGC
Thanvi S., and Treadwell. 2009. Drug Induced Parkinsonisme : A Common Cause
of Parkinsonism in Older People. Postgrad Med J, 85(1004): 322 – 326.
http://www.medscape.com/viewarticle/561665_2

16
LAMPIRAN

1. SKALA PENILAIAN GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL


(EXTRAPYRAMIDAL SYMPTOM RATING SCALE)

17
18
19
20
2. KRITERIA DIAGNOSIS

21
a. Adanya kegelisahan
b. Terlihat gejala-gejala sebagai berikut:
1. Menggerakkan kaki atau mengayunkan kaki secara gelisah
2. Menggoyangkan kaki saat berdiri
Akathisia
3. Berjalan-jalan untuk menghilangkan kegelisahan
4. Tidak dapat duduk atau berdiri selama sekurangnya beberapa menit.
c. Gejala dalam kriteria A dan B terjadi dalam 4 minggu setelah memulai,
menaikan atau menurunkan dosis.

Jangka
pendek a. Satu atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Posisi abnormal dari kepala atau leher (seperti: retrocollis)
2. Spasme otot rahang (seperti : trismus)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernapas (spasme laring-
faring, disfonia)
4. Penebalan lidah atau bicara cadel karena lidah membesar (disartria,
Dystonia makroglosia)
Akut 5. Penonjolan lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, kearah samping
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah
memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah)
gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)

Pengunaan
obat-obatan a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut ini timbul berhubungan dengan
neuroleptik pemakaian medikasi neuroleptik: Perkembangan keluhan subjektif
kegelisahan.
1. Tremor parkinsonisme (yaitu tremor kasar, ritmik, dan saat istirahat
dengan frekuensi antara 3 dan 6 siklus per detik, yang mengenai
anggota gerak, kepala, mulut, atau lidah)
Parkinsonism 2. Rigiditas otot parkinsonisme (yaitu rigiditas gigi gergaji atau rigiditas
e “pipa besi” kontinu)
3. Akinesia (yaitu penurunan ekspresi wajah, gerak-gerik, bicara, atau
gerakkan tubuh spontan)
b. Gejala dalam kriteria A berkembang dalam beberapa minggu setelah
memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan
medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala
ekstrapiramidalis (misalnya, obat antikolinergik)

A. Gerakan involunter dari lidah, rahang, ekstremitas dan tubuh karena penggunaan
Jangka
panjang obat-obatan neuroleptic.
B. Gerakan involunter terjadi dalam periode 4 minggu dan diikuti dengan:
1. Choreiform movements (cepat, tersentak-sentak dan tidak berulang)
2. Athetoid movements (lambat, sinus dan terus-menerus)
3. Rhythmic movements (stereotype)
Tardive C. Tanda dan gejala di kriteria A daan B muncul saat penggunaan obat-obatan
Diskinesia neuroleptic atau dalam empat minggu dalam penggunaan oral.
D. Terdapat penggunaan obat-obatan neuroleptic setidaknya 3 bulan (satu bulan untuk
usia 60 tahun atau lebih).
Gejalanya bukan karena kondisi medis neurologis atau umum (Hutington’s
disease, Chorea Sydenham’s, spontaneous dyskinesia, hyperthyroidism
22 or
Wilson’s disease) atau obat lain yang menabkan dyskinesia reversible akut (L-
(Pringsheim T., et al. 2011) dopa dan bromokriptin).

Anda mungkin juga menyukai