Klasifikasi
Berdasarkan DSM-IV-TR klasifikasi gangguan bipolar adalah
sebagai berikut :
a. Gangguan bipolar I.
Ditandai oleh satu atau lebih episode manik atau campuran yang biasanya
disertai oleh episode-episode depresi mayor.
b. Gangguan bipolar II
Gambaran utama ditandai oleh terjadinya satu atau lebih episode depresi
mayor yang disertai oleh paling sedikit satu episode hipomanik.
c. Gangguan siklotimik
Ditandai paling sedikit dua tahun dari sejumlah periode waktu gejala
hipomanik yang tidak memenuhi kriteria episode manik dan sejumlah periode
gejala depresif yang tidak memenuhi kriteria depresif mayor.
d. Gangguan bipolar yang tidak terinci
Gangguan ini mencakup gambaran bipolar yang tidak memenuhi kriteria di
atas (Kaplan, 2014)
Etiologi
A. Faktor neuropatologi
Berdasarkan berbagai penelitian yang berbeda terdapat hubungan yang konsisten
dan resiprokal antara daerah serta ventrolim depresi dan perasaan negatif yang
transien. Variasi kelainan ventromedial termasuk cingulata anterior konsisten pada
gangguan mood depresi. Terdapat pengecilan volume hipokampus pada pasien depresi
dibandingkan dengan yang tidak depresi (Kaplan, 2014).
Terjadi penurunan volume gray matter di daerah kortex prefrontal area orbital
dan medial, ventral striatum dan hipokampus. Terdapat juga pembesaran ventrikel
ketiga pada pasien dengan gangguan mood dibandingkan dengan orang normal.
(Kaplan, 2014).
B. Faktor neurokimiawi
Terdapat peran neurotransmiter serotonin pada gangguan mood. Serotonin
disintesis dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap enzimatis. Plasma
tryptophan masuk blood-brain barrier secara aktif dengan melalui large neutral a acid
transporter protein. Perubahan fungsi serotonergik otak menunjukkan perubahan
fungsi tubuh dan perilaku yang merupakan gejala klinis utama dari depresi, seperti
nafsu makan, tidur, fungsi sexual, sensitivitas nyeri, temperatur tubuh dan irama
sirkadian. Pelepasan serotonin hampir konstan sepanjang hari dan mereda selama tidur
REM (rapid eye movement) Pelepasan serotonin neuron relatif konstan namun
responsif terhadap stress (Kaplan, 2014).
Penemuan penelitian yang paling konsisten adalah korelasi antara penurunan 5-
HIAA (5-Hydroxy-Indole Acetic Acid), metabolit serotonin dengan impulsivitas, agresi
dan suiside dengan kekerasan. Studi post-mortem menemukan pengurangan jumlah
SERT (Serotonin Transporter) di kortex frontalis korban bunuh diri dan di hipokampus
dan kortex occipital pasien depresi. Studi lain melaporkan adanya reduksi 5-HT1A di
dorsal raphe dan median raphe dari korban bunuh diri. Penelitian menemukan
peningkatan reseptor 5-HT2 platelet darah pada pasien depresi atau bunuh diri.
Berdasarkan banyak data dapat disimpulkan bahwa kelainan patologis utama Pada
gangguan mood mungkin berada dalam saraf otak yang m emosi. Neuron ini tidak
dapat mentoleransi penurunan serotonin modulasi norepinefrin serta dopamine
(Kaplan, 2014).
C. Faktor psikoneurologi
Gejala psikiatrik dari hiperkortisolisme seperti anergia, anhedonia, dan mood
depresi berhubungan positif dengan adanya kortisol dalam kadar urine dan membaik
perlahan setelah terapi dengsn antiglukokortikoid walaupun respons penuh dan
respons rate sekitar 70-73%. Pada gangguan depresi mayor banyak studi yang menun
dengan hasil :
1) Pada pasien gangguan plasma, cairan serebrospinal dan urine meningkat
2) Menunjukkan resistensi terhadap supresi sekresi kortisoldan kortikotropin
oleh dexamethasone
3) Menunjukan peningkatan kortikotropin releasing hormone di cairan
serebrospinal
4) Terdapat hipertrofi kelenjar adrenal
Pada axis HPT (Hipotalamus-Pituitari-Tiroid) tidak mengejutkan lagi jika
disregulasi seseorang tiroid pada seseorang dapat menunjukkan gejala psikiatrik.
Hipertiroidisme berhubungan dengan labilitas emosi, iritabilitas, insomnia, anxietas,
kehilangan berat badan dan agitasi psikomotor, namun dapat juga member gejala apati,
kelelahan dan penarikan diri (Kaplan, 2014).
D. Faktor psikoimunologi
Hubungan system imun dengan gangguan mood berdasarkan dua arah :
1) Adanya bukti perilaku sakit (illness behavior) seperti, penurunan nafsu
makan, kelelahan, somnoilensi seperti pada gangguan mood berhubungan
dengan perubahan fungsi imunitas
2) Berbagai gangguan medis dan pengobatan yang meregulasi fungsi imunitas
berhubungan dengan gejala psikiatrik. Beberapa data menunjukkan bahwa
sitokin menginduksi gejala mirip depresi. Sitokin mungkin menginduksi atau
mempercepat depresi melalui beberapa cara mekanisme termasuk
terganggunya sintesis serotonin, penurunan dopamin, aksis HPA dan efek
plastisitasnya serta mengganggu neurogenesis (Kaplan, 2014).
E. Faktor genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan bipolar
dan gangguan depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari
komponen yang dapat diturunkan , dimana gangguan bipolar mempunyai sifat
menurun yang tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang. (Kaplan, 2014).
Berdasarkan berbagai studi tentang gangguan bipolar didapatkan banyak daerah
dari genom yang terlibat seperti 18p11, 18q22, 12q24, 21q21, 13q32, 4p15, 4q32,
6p12, 8q24, 22q11, sedangkan gangguan unipolar hanya beberapa genom dan masih
memerlukan konfirmasi data (Kaplan, 2014).
Manifestasi klinis
Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode depresi dan
episode mania. Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami
mood yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga atau lebih
gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu:
Episode mania
Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi yang
terjadi secara bersamaan. Misalnya, mood tereksitasi (lebih sering mood disforik),
iritabel, marah, serangan panic, pembicaraan cepat, agitasi, menangis, ide bunuh
diri, insomnia derajat berat, grandiositas, hiperseksualitas, waham kejar dan
kadang-kadang bingung. Kadang-kadang gejala cukup berat sehingga memerlukan
perawatan untuk melindungi pasien atau orang lain, dapat disertai gambaran
psikotik, dan mengganggu fungsi personal, sosial dan pekerjaan.
Gangguan Bipolar I
Gangguan Bipolar I adalah suatu perjalanan klinis yang dikarakteristikkan oleh
terdapatnya satu atau lebih episode manik atau campuran, dimana individu tersebut juga
mempunyai satu atau lebih episode depresi mayor. Kekambuhan ditunjukkan oleh
perpindahan polaritas dari episode atau terdapatnya interval diantara episode-episode
paling sedikit 2 bulan tanpa adanya gejala-gejala mania (Kaplan, 2014).
National Comorbidity Survey, berdasarkan kepada DSM-IV (dengan sampel sebanyak
9282 responden), mengestimasi prevalensi seumur hidup untuk Gangguan Bipolar I dan Gangguan
Bipolar II adalah 3,9%. Perempuan dan laki-laki adalah sama-sama berkemungkinan untuk
berkembang menjadi gangguan bipolar I, meskipun perempuan dilaporkan lebih banyak
mengalami episode depresi daripada laki-laki, dan secara bersamaan pula, lebih
berkemungkinan untuk memperoleh gangguan bipolar II. Usia onset Gangguan Bipolar I
terentang dari anak-anak (paling cepat usia 5-6 tahun) sampai usia 50 tahun atau usia yang lebih
tua untuk kasus-kasus yang jarang, dengan usia rata-rata adalah 30 tahun. Gangguan Bipolar I
lebih sering terjadi pada orang yang telah bercerai dan hidup sendirian daripada orang yang
menikah, sosioekonomi tinggi, dan orang yang tidak tamat dari perguruan tinggi (Kaplan, 2014).
Gangguan Bipolar II
Satu atau lebih episode depresi mayor yang disertai dengan paling sedikit satu
episode hipomanik.
A. Paling sedikit selama dua tahun, terdapat beberapa periode dengan gejala-gejala
hipomania dan beberapa periode dengan gejala-gejala depresi yang tidak memenuhi
criteria untuk Gangguan depresi mayor. Untuk anak-anak dan remaja durasinya
paling sedikit satu tahun
B. Selama periode dua tahun di atas penderita tidak pernah bebas dari gejala-gejala
pada kriteria A lebih dari dua bulan pada suatu waktu
C. Tidak ada episode depresi mayor, episode manik, episode campuran, selama dua
tahun Gangguan tersebut
D. Gejala-gejala pada criteria A bukan skizoafektif dan tidak bertumpangtindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik yang
tidak dapat diklasifikasikan
E. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi medic
umum
F. Gejala-gejala di atas menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna
atau menimbulkan hendaya dalam sosial, pekerjaan atau aspek fungsi penting
lainnya (Kaplan, 2014).