Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session/Referat

SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL

Oleh:
Annisa Amalina 1840312430
Intan Putri Feriza 1840312442
Irfan Ghani Nasution 1740312431

Preseptor:
dr. Taufik Ashal, Sp.KJ

BAGIAN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS / SMF PSIKIATRI
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2019

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Allah SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul
“Ekstrapiramidal Syndrome” yang merupakan salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP
Dr. M. Djamil Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas referat ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Taufik Ashal, Sp.KJ, selaku pembimbing
dalam penyusunan referat ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 21 Januari 2019

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………….
1.4 Manfaat Penulisan…………………………………………………

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Defenisi ............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi..................................................................................... 3
2.3 Etiopatogenesis ................................................................................. 7
2.4 Gambaran Klinis ............................................................................... 11
2.5 Diagnosis .......................................................................................... 16
2.6 Diagnosis Banding ............................................................................ 16
2.7 Tatalaksana ....................................................................................... 16
2.8 Komplikasi........................................................................................ 18
2.9 Prognosis .......................................................................................... 18

BAB 3 KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 19

Daftar Pustaka ................................................................................................. 20

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada

otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak

dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla,

dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan

yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.1

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi

yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi

antipsikotik. Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan,

terutama antipsikotik golongan tipikal yang memiliki potensial tinggi dan

pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping pada pasien

karena memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik.1,2

Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada

neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.

Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala

ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine,

dan dapat pula oleh Chlorpromazine.1,2

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari

neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk

mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin. Gejala

bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-

gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).1,2

1.2 Batasan Masalah

Clinical Science Session ini membahas tentang definisi, epidemiologi,

etiopatogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana,

komplikasi, dan prognosis sindrom ekstrapiramidal.

1.3 Tujuan Penulisan

Clinical Science Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan

pemahaman dokter muda mengenai sindrom ekstrapiramidal.

1.4 Metode Penulisan

Clinical Science Session ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang

merujuk kepada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi

antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi

dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum

yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi

fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.1

2.2 Epidemiologi

Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia,

dan sindrom parkinsonisme umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat

antipsikotik terutama diakibatkan oleh antipsikotik tipikal yang mempunyai

potensi tinggi.1

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada

pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut,

rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka

panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam

kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom

parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering

pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


2.3 Etiopatogenesis

2.3.1 Distonia

Distonia merupakan kondisi kontraksi otot yang berlangsung singkat atau

lama dan menyebabkan terjadi perubahan gerak atau postur. Tidak seperti reaksi

akut distonia / Acute Dystonic Reaction dimana kontraksi otot terjadi secara

transient, kondisi tardive distonia ini bersifat persisten dan biasanya terjadi karena

penggunaan antipsikotik jangka panjang. 3 Faktor risiko terjadinya distonia pada

pasien dengan penggunaan obat anti psikotik adalah usia muda, jenis kelamin

laki-laki, ras kulit hitam, riwayat reaksi distonia sebelumnya, riwayat keluarga

dengan distonia, penggunaan kokain, gangguan mood hipokalsemia,

hipoparatiroid, hipertiroid, dan dehidrasi. Anak-anak dan dewasa muda

merupakan kelompok yang paling rentan dan dapat menyebabkan terjadinya

distonia umum.4,5

Jenis, dosis, potensi, dan tingkat titrasi dari penggunaan obat antipsikotik

berhubungan erat dengan risiko terjadinya distonia. Dosis sedang atau tinggi akan

lebih berisiko untuk terjadinya distonia. Jenis obat dengan efek antikolinergik

yang lebih menonjol (khususnya anti muskarinik) dibandingkan efek antagonis

dopamin-nya akan mengurangi risiko terjadinya distonia, seperti jenis obat dari

golongan anti psikotik generasi kedua. Berdasarkan suatu penelitian didapatkan

bahwa penggunaan obat antipsikotik generasi pertama dengan potensi terapi yang

lebih lemah seperti perphenazine akan memiliki risiko yang sama dengan

antipsikotik generasi kedua untuk terjadinya distonia. Penggunaan terapi

antikolinergik profilaks bersamaan dengan antipsikotik generasi pertama juga

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


akan menurunkan risiko terjadinya distonia. Selain obat antipsikotik, golongan

obat antiemetik dan beberapa antidepresan juga dapat menyebabkan terjadinya

distonia.4,5

Patofisiologi terjadinya distonia yang diinduksi oleh obat antipsikotik masih

belum jelas sepenuhnya. Terdapat beberapa hipotesis untuk terjadinya distonia

yang diinduksi obat antipsikotik. Hipotesis pertama yaitu disebut hipotesis miss-

match, yaitu terjadinya hiperaktivitas dopamin sebagai kompensasi dari blokade

reseptor dopamin oleh obat antipsikotik. Sekresi dopamin di pre sinaps akan

meningkat, bersamaan dengan blokade reseptor dopamin di post sinaps. Hipotesis

lainnya menyebutkan adanya hubungan dengan ketidakseimbangan kadar

neurotransmitter-neurotransmitter lainnya.

2.3.2 Akhatisia

Akatisia merupakan gejala yang sering terjadi dan merupakan efek samping

yang serius terhadap penggunaan obat antipsikotik. Gejala dari akatisia mencakup

gejala subjektif dan objektif. Gejala subjektif berupa perasaan gelisah pasien dan

keinginan untu bergerak yang tidak tertahankan. Secara objektif, terjadi

peningkatan aktivitas motorik yang terdiri dari gerakan yang kompleks, sering

kali berulang.3

Faktor risiko terjadinya akhatisia adalah peningkatan usia, jenis kelamin

perempuan, gejala negatif, disfungsi kognitif, defisiensi besi, riwayat akhatisia

sebelumnya, terjadi bersamaan dengan parkinsonisme, dan adanya gangguan

mood. Akhatisia memiliki faktor kerentanan genetik yang lebih rendah

dibandingkan jenis sindrom ekstrapiramidal lainnya. Penggunaan antipsikotik

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


generasi kedua atau penggunaan antipsikotik generasi pertama dengan efek

antagonis dopamin yang lebih lemah, memiliki risiko kejadian akathisia yang

lebih rendah. Golongan obat antiemetik juga dapat menyebabkan terjadinya

akhatisia.4,5

Patogenesis dari akhatisia masih belum jelas. Akan tetapi diduga mekanisme

dopamine-dependent merupakan dasar terjadinya akhatisia. Bukti yang

menunjang mekanisme ini adalah efek antagonis dopamin dari antipsikotik dan

terapi dari restless leg syndrome menggunakan agonis dopamin. Respon akhatisia

terhadap terapi penghambat beta-adrenergik dan serotonergik menunjukkan

keterlibatan neurotransmitter lainnya dalam kejadian akhatisia.4

2.3.3 Parkinsonisme

Parkinsonisme yang diiunduksi obat merupakan gejala kedua yang

terbanyak terjadi penggunaan antipsikotik ini. Interval penggunaan obat dengan


3
munculnya gejala bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Faktor

risiko terjadinya parkinsonisme yang diinduksi obat adalah peningkatan usia, jenis

kelamin perempuan, abnormalitas struktur otak termasuk demensia, infeksi virus

HIV, riwayat penyakit ekstrapiramidal sebelumnya atau riwayat keluarga dengan

penyakit Parkinson. Penggunaan antipsikotik potensi rendah dengan efek

antikolinergik yang menonjol juga menurunkan kejadian parkinsonisme.

Patogenesis dari parkinsonisme sama dengan mekanisme terjadinya penyakit

Parkinson. Antipsikotik akan menginduksi defisiensi dopamin fungsional pada

korpus striatum karena adanya blokade reseptor dopamin.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


2.3.4 Katatonia

Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya katatonia diinduksi obat

adalah adanya riwayat gejala katatonik sebelumnya atau gejala katatonik yang

masih ada. Katatonia paling sering disebabkan oleh obat antipsikotik dengan

potensi tinggi, walaupun obat antipsikotik generasi kedua juga dapat menginduksi

katatonia. Patogenesis terjadinya katatonia yang diinduksi obat tidak diketahui,

tetapi paling sering melibatkan efek obat pada jaras dopamin di sirkuit ganglia

basalis-thalamokortikal. 4

2.3.5 Tardive Dyskinesia

Faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian tardive dyskinesia (TD) adalah

peningkatan usia, jenis kelamin perempuan, diagnosis psikiatri, durasi terapi

antipsikotik yang lama, dosis obat kumulatif yang lebih besar, terapi beberapa

obat bersamaan, gejala negatif dan gangguan pikiran yang lebih dominan,

demensia, kejadian extrapyramidal symptom akut, penyalahgunaan obat, dan

diabetes. Di antara semua faktor risiko tersebut, yang dianggap paling berperan

untuk terjadinya TD pada pasien skizofrenia adalah kejadian sindrom

ekstrapiramidal dini, ras non kaukasian, usia tua, predisposisi genetik untuk

terjadinya skizofrenia. Tardive dyskinesia dapat terjadi secara spontan pada pasien

psikotik yang tidak diterapi. Diduga TD terkait dengan kerentanan genetik untuk

kejadian skizofrenia.4,5

Patogenesis untuk terjadinya tardive diskinesia disebabkan oleh beberapa

teori. Teori pertama yaitu blokade reseptor dopamin akan meningkatkan produksi

radikal bebas yang akan merusak sel saraf. Teori lainnya menyebutkan bahwa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


terdapatnya efek supresif dari antagonis dopamin pada jaras nigrostriatal.

Hipotesis lainnya adalah terjadinya penurunan aktivitas kolinergik yang

disebabkan oleh kerusakan pada jaringan antar neuron striatal kolinergik.4,5

2.3.6 Sindrom Neuroleptik Maligna

Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya sindrom neuroleptik maligna

(SNM) adalah dehidrasi, kelelahan, agitasi, katatonia, riwayat SNM sebelumnya

dan pemberian obat antipsikotik potensi tinggi dosis tinggi yang diberikan secara

parenteral dengan kecepatan yang cepat. Penggunaan antipsikotik multipel,

lithium, SSRI dan SNRI juga dianggap berisiko untuk terjadinya SNM.

Penggunaan antipsikotik generasi kedua menurunkan risiko terjadi SNM

dibandingkan dengan antipsikotik generasi pertama. Patogenesis SNM didasari

oleh blokade reseptor dopamin, keterlibatan neurotransmitter lainnya, hipotesis

otonomik dan neuromuscular serta pengaruh genetik.4

2.4 Gambaran Klinis

2.4.1 Distonia

Distonia ditandai oleh spasme atau kontraksi sekelompok otot antagonis

yang bersifat terus menerus atau intermiten yang terlihat sebagai gerakan atau

postur tubuh abnormal, seperti twisting, gerakan-gerakan berulang atau postur

tubuh tertentu. Biasanya serangan bersifat fokal, namun juga bisa menyerang

beberapa kelompok otot. Kelompok otot yang biasa dikenai adalah otot kepala,

mata, rahang, mulut dan leher yang akan terlihat sebagai krisis oculogyric,

blefarospasme, trismus, dislokasi rahang, trauma dental, tonjolan lidah, torticollis,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


anterocollis, retrocollis, spasme laring dan faring, disartria, dan disfagia. Kadang-

kadang juga ditemui sesak nafas, sianosis, camptocormia (fleksi anterior tubuh),

pleurothotonus (Pisa syndrome) atau opistotonus. Distonia merupakan

pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pasien dan terkadang

menyakitkan.4,5,6

Berdasarkan onsetnya distonia dapat dibagi menjadi reaksi distonia akut dan

tardive distonia. Setengah kejadian reaksi distonia akut terjadi pada 2 hari pertama

terapi antipsikotik, dan 90% kasus terjadi dalam 4 hari pertama terapi antipsikotik.

Distonia akut biasanya terjadi saat inisiasi obat antipsikotik, peningkatan dosis

antipsikotik, setelah penambahan antipsikotik kedua, beberapa hari setelah injeksi

antipsikotik long acting, saat pemberian obat lain yang menginhibisi metabolisme

obat antipsikotik, atau setelah penghentian agen antiparkinson. Tardive distonia

biasanya muncul setelah beberapa tahun penggunaan antipsikotik.4,5

2.4.2 Akathisia

Akathisia terdiri atas gejala subjektif dan objektif. Secara subjektif pasien

akan mengeluhkan ketegangan, kegelisahan, cemas, dorongan untuk bergerak, dan

tidak bisa duduk tenang. Secara objektif, terjadi peningkatan aktivitas motorik

yang kompleks, gerakan tanpa arti dan gerakan yang berulang-ulang. Kegelisahan

motorik biasanya melibatkan seluruh tubuh, tetapi kadang-kadang hanya tampak

kaki yang disebut sebagai restless legs. Pasien akan menyilangkan dan

meluruskan kakinya, gemetar saat di kursi atau tempat tidur, melompat, berdiri,

dan segera kembali ke posisi semula.3,4,5,6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Berdasarkan onsetnya, akathisia dapat dibagi menjadi akathisia akut, tardive,

dan kronik. Akathisia akut berlangsung segera setelah inisiasi atau setelah

peningkatan dosis antipsikotik dalam rentang waktu 2 minggu. Tardive akathisia

memiliki onset paling kurang 3 bulan terapi. Jika akathisia menetap selama lebih

dari 3 bulan, maka itu digolongkan sebagai akathisia kronik.4,5

2.4.3 Parkinsonisme

Parkinsonisme suatu sindrom menyerupai penyakit Parkinson yang terjadi

secara subakut. Tidak seperti penyakit Parkinson, parkinsonisme biasanya bersifat

simetris dan bilateral dengan trias gejala yaitu bradikinesia, rigiditas otot dan

tremor. Awalnya pasien akan mengeluhkan kelelahan, kelemahan, perlambatan

kognitif, atau depresi. Bradikinesia merupakan gejala yang menonjol diikuti oleh

muka topeng (hipomimia), penurunan jumlah berkedip, Myerson’s sign,

penurunan ayunan lengan, perlambatan inisiasi untuk beraktivitas, dan berbicara

disfonik. Kekakuan yang simetris dan bilateral pada leher, badan dan ekstremitas

dengan tonus berupa cog-wheel dan lead-pipe merupakan temuan yang penting.

Resting, postural, atau action tremor juga dapat ditemukan secara simetris dan

dapat mengenai otot di sekitar mulut (rabbit syndrome). Pasien juga dapat

mengalami disfungsi otonom, sialorrhea terkait disfagia, perubahan postur tubuh

(hiperekstensi trunkus, poker spine) dan gangguan berjalan (shuffling, festinating,

freesing, anteropulsion atau retropulsion).3,4,5,6

Onset dari parkinsonisme biasanya bersifat lambat yang terjadi dalam

hitungan beberapa hari atau minggu walaupun efek blokade reseptor dopamin

oleh antipsikotik sudah terjadi dalam hitungan jam. Sekitar 50-70% kasus terjadi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


dalam 1 bulan dan 90% kasus terjadi dalam 3 bulan setelah inisiasi antipsikotik.

Sebagian besar kasus, gejala dapat sembuh dalam hitungan hari atau minggu,

tetapi kadang-kadang pada orang tua atau pada pasien yang diinduksi oleh

penggunaan antipsikotik injeksi long acting gejala dapat bertahan dalam beberapa

bulan.4

2.4.4 Katatonia

Gejala katatonia yang diinduksi obat adalah akinesia, rigiditas, stupor, dan

mutisme. Gejala yang jarang ditemukan adalah katalepsi dan fleksibilitas cerea.

Perilaku katatonik yang lebih kompleks seperti stereotipik, echophenomenon,

verbigerasi jarang ditemukan pada katatonia yang diinduksi obat. Pada beberapa

pasien dengan gejala katatonik sebelumnya, penggunaan antipsikotik juga dapat

memperparah gejala katatonik menjadi sindrom neuroleptik maligna. Gejala ini

muncul dalam hitungan jam atau hari setelah inisiasi antipsikotik dan dapat segera

sembuh setelah beberapa hari penghentian antipsikotik.4

2.4.5 Tardive Dyskinesia

Tardive dyskinesia (TD) terjadi setelah terapi antipsikotik jangka panjang

yang biasanya memiliki gejala yang ringan dibandingkan dengan sindrom

ekstrapiramidal akut. Tardive dyskinesia ditandai oleh gerakan polimorfik dan

involunter. Gejala subjektif pada pasien biasanya tidak ada atau minimal.

Gambaran motorik dari TD dapat ditemukan berupa gerakan heterogen,

involunter, non-ritmik, repetitif, tanpa tujuan, dan hiperkinetik. Sekitar 60 hingga

80% pasien gejala pertama muncul pada otot orofasial dan lidah

(buccolinguomasticatory syndrome) berupa gerakan mengunyah atau bruxism

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


pada rahang, gerakan protrusion, curling, twisting, atau gerakan vernicular dari

lidah, gerakan lip smacking, puckering, sucking, dan retraksi dari bibir, gerakan

menyeringai atau bridling pada mulut, bulging pada pipi, atau gerakan berkedip

dan blepharospasme.4,5,6

Gerakan lain yang dapat ditemukan adalah gerakan choreoathetoid pada jari,

tangan, ekstremitas atas dan bawah. Gejala aksial pada leher, bahu, tulang

belakang, atau pelvis juga dapat ditemukan. Gejala dyskinesia ini akan meningkat

terkait kondisi yang emosional dan berkurang pada kondisi relaksasi dan tidur.

Terkadang pasien dapat mengurangi sendiri gerakan-gerakan involunter tersebut

walaupun hanya berlangsung sebentar saja.4,5

2.4.6 Sindrom Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna merupakan jenis sindrom ekstrapiramidal yang

jarang dan bersifat letal dengan gambaran berupa parkinsonisme dan katatonia

yang berat. Tanda-tanda klasik pada SNM adalah hipertermia, rigiditas umum dan

tremor, perubahan kesadaran, dan instabilitas autonom. Rigiditas yang terjadi

seperti lead pipe, tremor bersifat umum, dan temuan motorik lain seperti

dyskinesia, mioklonus, disartria, dan disfagia. Pada SNM yang yang sangat berat,

dapat ditemukan krisis hipermetabolik dengan peningkatan enzim otot,

myoglobinuria, leukositosis, asidosis metabolik, hipoksia, peningkatan

katekolamin serum, dan rendahnya kadar besi serum.3

Sindrom neuroleptik maligna dapat terjadi dalam hitungan jam, namun

biasanya terjadi setelah beberapa hari penggunaan antipsikotik. Sekitar dua

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


pertiga kasus terjadi pada 1 hingga 2 minggu inisiasi antipsikotik. Gejala ini dapat

membaik dalam 1 hingga 2 minggu setelah penghentian antipsikotik. Kadang-

kadang pasien mengalami gejala katatonik atau parkinsonisme residual setelah

fase akut SNM yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-

bulan walaupun pasien sudah mendapatkan terapi ECT. Jika terlambat dalam

penatalaksanaan, SNM dapat menyebabkan gagal ginjal, cardiac arrest,

disseminated intravascular coagulation, emboli paru, atau pneumonia aspirasi.4

2.5 Diagnosis

Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan fisik

neurologis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan

rutin elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin darah, glukosa darah dan bikarbonat

bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, dan

termasuk hipoglikemia sebagai penyebab kelainan sensorium. Kontraksi otot yang

terus menerus sering menyebabkan kerusakan otot yang terlibat dalam

peningkatan potassium, asam urat, dan kreatinin kinase. Kerusakan otot juga

menghasilkan mioglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan

disfungsi tubuus ginjal. Pada mioglobinuria, urin menjadi warna coklat dan

gelap.6

2.6 Diagnosis Banding

a. Sindroma putus obat

b. Parkinson’s Disease

c. Tetanus gangguan ekstrapiramidal primer

d. Distonia primer

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


e. Penyakit Hutington

f. Khorea Sindenham 6

2.7 Tatalaksana

 Turunkan dosis obat antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan

antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropin atau antikolinergik

seperti trihexyphenidil (THP) 4-6 mg per hari selama 4-6 minggu.

Setelah itu, dosis diturnkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap

minggu, untuk melihat apakah pasien telah cukup toleransi terhadap efek

samping sindrom ekstrapiramidal ini.

 n-methyl-D-Aspartate Reseptor Inhibitor : amantadine dimulai dari 100

mg. Dosis umum nya 300-400 mg terbagi dalam 3-4 dosis.

 Enzyme inhibitor : monoamine oxidate type B inhibitor MAO-B

contohnya selegos 5 mg sebagai neuroprotektor.

 COMT-1 ( Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors): entacapone,

comtan 200 mg dosis maksimal 1600 mg, talcapone untuk menurunkan

degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.

 Pasien usia>60 tahun dapat diberikan L-dopa, dengan dosiss maksimal

600 mg/hari sebanyak 3-4 kali sehari.

 Pada pasien muda, dapat diberikan obat dopamine antagonis , contohnya

bromocriptin (dosis awal 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40

mg/hari terbagi dalam 3-5 dosis), pergolide mesylate (dimulai 0,05 mg

setiap 4-7 hari kemudian dilanjutkan sampai 2-4 mg sebanyak 3 kalu

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


sehari), cabergoline (0,5 mg setiap 2 hari), ropinirole dimulai dosis 0,25

mg.

 Pemberian epinefrin dan norepinefrin dapat memberikan efek

menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absrobsi

reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dapat

berkurang.

 Apabila terjadi reaksi distonia berat, dapat diberikan injeksi

difendihdramin 50 IM , atau jika tdak ada dapat digunakan benztropin 2

mg IM.

 Sindrom parkinson dapat diatasi dengan pemberian agen antikolinergik. 6

2.8 Komplikasi

 Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu

sehingga dapat menurunkan kualitas hidup penderita, penderita dapat

terjatuh dan terjadi fraktur.

 Distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian

 Efek samping dari obat anti EPS (antikolinergik) dapat berupa mulut

kering, pandangan kabur, gangguan ingatan, konstipsi, dan retensi urin. 6

2.9 Prognosis

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik

jika gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien

dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive

diskinesia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian apabila tidak diatsi

dengan cepat. 6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


BAB III

KESIMPULAN

1. Etiologi dan patogenesis dari sindrom ekstrapiramidal belum sepenuhnya

diketahui. Terdapat beberapa hipotesis, seperti efek antagonis reseptor

dopamin, ketidakseimbangan neurotransmitter-neurotransmitter lain serta

pengaruh genetic.

2. Gambaran klinis sindrom ekstrapiramidal terdiri atas distonia, akathisia,

parkinsonisme, katatonia, tardive dyskinesia, dan sindrom neuroleptik maligna

dengan onset yang bervariasi.

3. Diagnosis sindrom ekstrapiramidal dapat ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik (tampak dari manifestasi khas EPS ini), serta pemeriksaan

penunjang yang mendukung.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


4. Tatalaksana sindrom ekstrapiramidal dilakukan secara bertahap dengan

menangani kondisi gawat daruratnya, setelah itu menurunkan dosis

antipsikotik secara perlahan disertai dengan terapi lainnya

5. Prognosis sindrom ekstrapiramidal tergantung kepada onset dan waktu

penatalaksanaannya. Semakin cepat diketahui dan ditatalaksana, maka

prognosisnya akan semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


1. Kaplan & Saddock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 ed 9. Lippincott Williams &

Wilkins. 1998.

2. Stahl, Stephen M. Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and

Practical Applications. Cambridge University Press. 1996.

3. Jesic Milana, Jesic Aleksandar, Filipovic Jasmina. Extrapiramidal Syndromes

Caused by Antipsychotics.Med.Pregel 2012; LXV (11-12) : 521-526. University

of Novi Sad, Faculty of Medicine, Serbia. 2012

4. Caroff SN, Campbell EC. Drug-induced extrapyramidal syndromes

implications for contemporary practice. Psychiatr Clin N Am 2016;39:391–411.

5. Jesic MP, Jesic A, Filipovic JB, Zivanovic O. Extrapyramidal syndromes

caused by antipsychotics. Med Pregl 2012;LXV (11-12): 521-526.

6. North Metropolitan Health Service. Extrapyramidal side effects (EPSE) –

forgotten but not gone. Mental Health 2014;21 (1):1251-1323.

7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku

Psikiatri Klinis. Tangerang (Indonesia). Binarupa Aksara. 2010

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21

Anda mungkin juga menyukai