Anda di halaman 1dari 29

Clinical Science Session

Ekstrapiramidal Syndrome

Oleh

Sri Shinta Agustin P. 2681 A


Agung Fadhlurrahman Zulfi P. 2689 A

Pembimbing :

Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.KJ (K)

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL

PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Ekstrapiramidal
Syndome” Referat ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.
KJ (K) selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan Referat ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa Referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem atau susunan ekstrapiramidalis adalah satuan sistem fungsional


interkoneksitas yang terdiri dari bangunan-bangunan inti ekstrapiramidal (area 4S, 6, 8,
ganglia basalis, inti-inti diensefalon, serebelum, inti-inti batang otak), lintasan-lintasan
sirkuit, dan lintasan-lintasan subkortiko-spinal (traktus rubrospinalis, traktus
tektospinalis, traktus olivospinalis, traktus vestibulospinalis, traktus retikulospinalis) yang
berjauhan satu sama lain dan sebagian besar melewati ganglia basalis.1

Sindrom ektrapiramidal merupakan efek samping yang sering terjadi pada


pemberian obat antipsikotik. Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati
kelainan psikotik seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif. Sindrom ekstrapiramidal
terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan adanya gangguan
keseimbanganantara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat.2

Sindrom ekstrapiramidal yang terjadi pada pemakai obat-obat antipsikotik lebih


sering pada obat golongan tipikal atau APG I (antipsikotik generasi pertama)/FGAs (first-
generation anti psychotics) dan lebih jarang pada golongan atipikal atau APG II (anti
psikotik golongan kedua)/ SGAs (second-generation anti psychotics). Sindrom
ekstrapiramidal adalah gejala atau gangguan susunan ekstrapiramidalis yang dapat berupa
bermacam-macam gerakan involunter seperti parkinsonism, distonia, akatisia dan tardive
dyskinesia. 1

Angka kejadian dari sindrom ekstrapiramidal tergantung dari jenis obat yang
diberikan, pemberian obat antipsikotik generasi pertama diperkirakan menyebabkan
sekitar 61,6% pasien yang menderita skizofrenia. Angka kejadian tersebut berlawanan
dengan pemberian obat antipsikotik atipikal dengan angka kejadian paling rendah dengan
pemberian clozapin dan tertinggi dengan pemberian risperidon. Pemberian
metoclopramide dengan angka kejadian 4%-25% dan pemberian prochlorperazine
berkisar antara 25%-67%. Pada wanita tua gejala paling sering muncul berupa
parkinsonism dan diskinesia tarda, sedangkan pada usia. 3

1.2 Batasan Masalah

Clinical Science Session ini membahas tentang sindroma ektrapiramidal akibat


penggunaan obat anti psikotik
1.3 Tujuan Penulisan

Clinical Science Session ini bertujuan untuk mengetahui sindroma


ekstrapiramidal akibat penggunaan obat antipsikotik

1.4 Metodologi Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk pada


berbagai literatur
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ekstrapiramidal Sindrom

Ekstrapiramidal sindrom merupakan suatu gangguan pergerakan yang diinduksi


obat, hal ini merupakan suatu efek samping obat yang umum ditemukan pada pasien
dengan pemberian agen penghambat reseptor dopamin. Hal ini pertama kali di
deskripsikan pada tahun 1952 ditemukan bahwa setelah pemberian klorpromazin terdapat
gejala-gejala yang menyerupai penyakit parkinson. 3

Berbagai gejala yang ditunjukkan pada ekstrapiramidal sindrome ini diantaranya


distonia,, akatisia, dan parkinsonisme yang mana terjadi lebih akut, sedangkan gejala
kronis dapat berupa akathisa tardive dan tardive diskinesia. Gejala ekstrapiramidal
sindrom diantaranya menyebabkan kelemahan dan gangguan pada fungsi sosial dan
komunikasi, pada aktifitas gerakdan kehidupan sehari-hari. Ekstrapiramidal sindrom juga
dapat menyebabkan penurunan kognitif terutama dalam bberkonsentrasi dan memproses
atau mengolah informasi. 3, 4

2.2 Epidemiologi Ekstrapiramidal Sindrom

Angka kejadian dari sindrom ekstrapiramidal tergantung dari jenis obat yang
diberikan, pemberian obat antipsikotik generasi pertama diperkirakan menyebabkan
sekitar 61,6% pasien yang menderita skizofrenia. Angka kejadian tersebut berlawanan
dengan pemberian obat antipsikotik atipikal dengan angka kejadian paling rendah dengan
pemberian clozapin dan tertinggi dengan pemberian risperidon. Pemberian
metoclopramide dengan angka kejadian 4%-25% dan pemberian prochlorperazine
berkisar antara 25%-67%. Pada wanita tua gejala paling sering muncul berupa
parkinsonism dan diskinesia tarda, sedangkan pada 3

2.3 Etiologi Ekstrapiramidal Sindrom

Sindrom ekstrapiramidal yang terjadi pada pemakai obat-obat antipsikotik lebih


sering pada obat golongan tipikal atau APG I (antipsikotik generasi pertama)/FGAs (first-
generation anti psychotics) dan lebih jarang pada golongan atipikal atau APG II (anti
psikotik golongan kedua)/ SGAs (second-generation anti psychotics). 1
Tabel 1. Dosis dan efek samping/ efek sekunder ( sedasi, ekstrapiramidal ) obat
antipsikotik.

2.4 Patofisiologi

Obat antipsikotik bekerja pada reseptor dopamin. Pada jaringan otak,


dopamin mempunyai 4 jalur utama, yaitu jalur nigrostriatal, mesolimbik,
mesokortikal dan tuberoinfundibular. Jalur nigrostriatal mengirimkan dopamin
dari substansia nigra menuju striatum atau ganglia basalis. Jalur ini merupakan
bagian dari sistem ekstra-piramidal dan berperan pada regulasi motorik. Defisiensi
dopamin pada jalur ini dapat menimbulkan gangguan gerak seperti parkinsonism
yang ditandai dengan tremor, rigiditas dan akinesia. Jalur mesolimbik
mengirimkan dopamin dari area ventral tegmental (AVT) ke nukleus akumbens
dan berperan pada motivasi, emosi, interaksi social, dan gejala positif pada
skizofrenia. Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan kehilangan
motivasi, perasaan tidak puas, dan anhedonia. Jalur mesokortikal mengirim-kan
dopamin dari AVT ke korteks prefrontal, dan terbagi menjadi dua, yaitu: jalur
yang mengirimkan dopamin dari AVT ke dorsolateral korteks prefrontal (DLPFC)
dan jalur lainnya mengirimkan dopamin dari AVT ke ventromedial korteks
prefrontal (VMPFC). Jalur mesokortikal berperan pada kognisi, fungsi eksekusi,
emosi dan afek. Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan penurunan
kognisi, afek dan menimbulkan gejala negatif. Jalur tuberoinfundibular
mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke hipofise anterior dan memengaruhi
hormon prolaktin. Gangguan pada jalur ini dapat mengakibatkan peningkatan
sekresi prolaktin yang akan menyebabkan galaktorea, amenorea, dan disfungsi
seksual.5

2.5 Ekstrapiramidal Sindrom


2.5.1 Tardive Dyskinesia
Tardive dyskinesia atau diskinesia tarda, atau sering juga disebut sindrom
tardif sebagai akibat penggunaan obat golongan neuroleptik jangka panjang dan
atau dosis tinggi adalah gerakan abnormal tidak disadari atau involunter yang
lambat dan kadang cepat, biasanya gejala yang klasik bermanifestasi sebagai
sindrom oro-buccal-lingual-facial (OBLF)1

2.5.1.1.Etiologi
Meskipun gejala tardive dyskinesia sudah lama sekali diketahui, namun
etiologinya masih belum jelas sekali, multifaktor mulai dari polimorfik genetik
sampai jenis obat, dosis dan lama pemberian yang menyebabkan kelainan proses
pada transmisi dopamin terutama pada reseptor D2, meningkatnya aktivitas pada
reseptor D2 yang berakibat meningkatnya rasio aktivitas D1/D2 reseptor,
supersensitivitas reseptor dopamin pasca sinaps akibat blokade kronik,
menurunnya aktivitas atau insufisiensi GABA, dan efek neurotoksik radikal bebas
dari metabolisme katekolamin yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan
membran sel. 1
Obat neuroleptik yang sering menimbulkan tardive dyskinesia adalah obat
neuroleptik golongan tipikal atau APG I (dopamin D2 receptor antagonist)
misalnya haloperidol, perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine, dan lebih
jarang pada chlorpromazine, thioridazine, pimozid. Golongan yang atipikal atau
APG II (serotonin 5HT2-dopamin D2 receptor antagonist) lebih jarang misalnya
olanzapine, risperidone, aripiprazole, quetiapine lebih jarang lagi, dan hanya
clozapine yang sangat jarang serta dapat menurunkan risiko terjadi tardive
dyskinesia dibandingkan obat-obat yang lain, namun terkadang mempunyai efek
samping dapat menyebabkan diskrasia darah. 1

2.5.1.2 Manifestasi Klinis


seperti gerakan mengunyah-ngunyah, menghisap-hisap bibir, mengecap-
ngecap bibir, protusi lidah, kedip-kedip cepat kelopak mata, facial grimacing;
sindrom limb-truncal (LT) seperti choreiform/ choreoathetosis ringan jari-jari
tangan, jempol dan jari-jari kaki dan kadang-kadang pada tungkai serta badan,
kadang-kadang terjadi gerakan-gerakan peregangan pada batang tubuh atau
campuran. 1
Gejala ini biasanya timbul setelah pemakaian obat golongan neuroleptik
atau anti psikotik > 3 bulan dan jarang <3 bulan. Tardive dyskinesia juga bisa
timbul 4 minggu setelah pemberian obat anti-psikotik oral atau 8 minggu setelah
pemberian injeksi anti-psikotik depot dihentikan. Pasien perempuan, usia tua,
kencing manis, peminum alkohol, dan perokok lebih sering menderita tardive
dyskinesia. 1

2.5.1.3 Penatalaksanaan
Pencegahan primer terjadinya sindrom ekstrapiramidal pada penggunaan
obat golongan neuroleptik atau anti-psikotik termasuk tardive dyskinesia adalah
dengan penggunaan obat anti-psikotik dosis rendah namun efektif dan durasi
penggunaan bila memungkinkan dalam waktu tidak lama. Bila timbul gejala
ekstrapiramidal ringan-sedang, turunkan dosis obat anti-psikotik mencapai dosis
minimal namun efektif, dan bila menggunakan obat anti-psikotik
konvensional/tipikal/APG I misalnya haloperidol dapat diganti dengan yang
atipikal/APG II misalnya risperidone, olanzapine, quetiapine, atau clozapine.
Hanya clozapine yang dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan
ekstrapiramidal termasuk tardive dyskinesia. Bila timbul gejala gangguan
ekstrapiramidal berat, obat anti-psikotik segera dihentikan dan diberi terapi untuk
menghilangkan efek samping ekstrapiramidal tersebut. 1
Bila pemakaian anti-psikotik dari golongan neuroleptik poten dosis tinggi
yang diduga nantinya akan dapat timbul efek samping ekstrapiramidal, banyak
juga yang menyertakan terapi profilaksis dengan bersamaan pemberian
antikolinergik seperti misalnya trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine 4-6
mg/hari untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebihan karena penghambatan
dopamin. Pemakaian antikolinergik juga mempunyai efek samping seperti mulut
kering, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, atau penglihatan kabur. Juga
pemberian lecithin 3-9 gr/hari, vitamin B6 1.200 mg/hari, vitamin E 400-1.600
IU/hari, branched chain amino acid (valine, isoleucine, leucine), dan N-acetyl
cysteine bermanfaat dalam pencegahan dan terapi gangguan eksrapiramidal
khususnya tardive dyskinesia karena pemakaian obat golongan neuroleptik. 1

2.5.2 Parkinson Disease


Penyakit parkinson merupakan proses degeneratif yang melibatkan neuron
dopaminergik dalam substansia nigra (daerah ganglia basalis yang memproduksi
dan menyimpan neurotransmitter dopamin). Daerah ini memainkan peran yang
penting dalam sistem ekstrapiramidal yang mengendalikan postur tubuh dan
koordinasi gerakan motorik volunter, sehingga penyakit ini karakteristiknya
adalah gejala yang terdiri dari bradikinesia, rigiditas, tremor dan ketidakstabilan
postur tubuh (kehilangan keseimbangan). 6
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu
istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan
kadar dopamin dengan berbagai macam sebab. 6
Etiologi penyakit parkinson belum diketahui, atau idiopatik. Terdapat
beberapa dugaan, di antaranya ialah: infeksi oleh virus yang non-konvensional
(belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan
terhadap zat toksik yang belum diketahui, serta terjadinya penuaan yang prematur
atau dipercepat. 7

2.5.2.1 Gejala Klinis

 Gejala Motorik
a. Tremor/bergetar
Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika
sedang beristirahat. Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran
tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga
sewaktu tidur. 7
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau
memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-
supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut
membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. 7
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada
kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang
menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan
kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas
(tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya
tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa
terjadi pada kedua belah sisi. 7

b. Rigiditas/kekakuan
Pada stadium dini, rigiditas otot terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Biasanya lebih jelas bila pergelangan difleksi dan
ekstensi pasif dan pronasi serta supinasi lengan bawah secara pasif. Pada stadium
lanjut rigiditas menjadi menyeluruh dan berat sehingga memberikan tahanan bila
persendian-persendian digerakkan secara pasif. 6, 7
Rigiditas merupakan peningkatan terhadap regangan otot pada otot
antagonis dan agonis. Salah satu gejala dini dari rigiditas ialah hilangnya gerak
asosiasi lengan bila berjalan. Peningkatan tonus otot pada sindrom prakinson
disebabkan oleh meningkatnya aktifitas neuron motorik alfa. Kombinasi dengan
resting tremor mengakibatkan bunyi seperti gigi roda yang disebut dengan
cogwheel phenomenon muncul jika pada gerakan pasif. 7

c. Akinesia/bradikinesia
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls optik,
labirin, propioseptif dan impuls sensoris di ganglia basalis. Hal ini mengakibatkan
berubahan aktivitas refleks yang mempengaruhi motorneuron gamma dan alfa. 7
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga
tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang
semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret.
Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres)
karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata
berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar
air liur.7
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif,
misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil
suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia
mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan
yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang,
berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut. 7

d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah


Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai melangkah,
sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu ragu-ragu untuk
mulai melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan sembelit. Penderita
menjadi lambat berpikir dan depresi. Keadaan tersebut juga berimplikasi pada
hilangnya refleks postural disebabkan kegagalan integrasi dari saraf proprioseptif
dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia
basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh. 7

e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini. 6

f. Langkah dan Gaya Jalan (sikap Parkinson)


Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a
petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan,
punggung melengkung bila berjalan.6
g. Bicara Monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring,
sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan
volume suara halus ( suara bisikan) yang lambat. 7

h. Demensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit
kognitif 6

 Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut,
sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat
(bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi
waktu yang cukup. 7

 Gejala lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal
hidungnya (tanda Myerson positif). 7

 Gejala Non-Motorik 7
a. Disfungsi otonom
- Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
- Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
- Pengeluaran urin yang banyak
- Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat
seksual, perilaku orgasme.

b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi

c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat

d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)

e. Gangguan sensasi
- Kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna.
- Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan system saraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan.
- Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau
anosmia).

Gambar 1. Tanda dan gejala penyakit parkinson

2.5.2.2 Diagnosis7
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada setiap kunjungan penderita :

a. Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk
mendeteksi hipotensi ortostatik.

b. Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan


diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan
rigiditas yang sangat, berarti belum berespon terhadap medikasi.

c. Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh


menulis kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris
dengan tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk
perbandingan waktu follow up berikutnya.

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan yang progresif dengan
memburuknya penyakit. CT-scan otak menunjukkan atrofi kortikal difus dengan
melebarnya sulsi dan hidrosefalus eks vakuo pada kasus lanjut.
Selain dengan metode tersebut, untuk mendiagnosis penyakit parkinson, dapat
dilakukan berdasar pada beberapa kriteria, yakni:
1. Secara klinis
Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas,
bradikinesia, atau
3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan
postural.
Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif, terdiri
dari:
a. Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
b. Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun pertama
c. Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun
pertama
d. Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.

Kriteria diagnosis yang dipakai di indonesia adalah kriteria Hughes(1992):


 Diagnosis “possible”: terdapat paling sedikit 2 dari gejala kelompok A
dimana salah satu diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak
terdapat gejala kelompok B, lama gejala kurang dari 3 tahun disertai
respon jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.
 Diagnosis “probable”: terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok A,
dan tidak terdapat gejala dari kelompok B, lama penyakit paling sedikit 3
tahun dan respon jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.
 Diagnosis “pasti”: memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan
histopatologis yang positif.
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya penyakit
dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr (1967) yaitu:
Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat
gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor
pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman)
Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu
Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu
berdiri dan berjalan walaupun dibantu.

2.5.2.3 Pemeriksaan Penunjang 7


a. EEG (Elektroensefalografi)
Melalui pemeriksaan EEG, diharapkan akan didapatkan perlambatan dari
gelombang listrik otak yang bersifat progresif.

b. CT Scan Kepala
Melalui pemeriksaan CT Scan kepala, diharapkan akan didapatkan gambaran
terjadinya atropi kortikal difus, dengan sulki melebar, dan hidrosefalus eks vakuo.

2.5.2.4 Tatalaksana
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang progresif
dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi penatalaksanaannya
adalah :
o Terapi simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien,
o Neuroproteksi
o Neurorestorasi
Neuroproteksi dan neurorestorasi keduanya untuk menghambat progresivitas
penyakit Parkinson. Strategi ini ditujukan untuk mempertahankan kualitas hidup
penderitanya. 7
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan
penanganan secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi
untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi
gejala yang timbul. Pengobatan penyakit parkinson bersifat individual dan
simtomatik, obat-obatan yang biasa diberikan adalah untuk pengobatan penyakit
atau menggantikan atau meniru dopamin yang akan memperbaiki tremor,
rigiditas, dan slowness. 7
Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk
memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini
dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan,
terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.
Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan ,sebagai berikut : 6, 7

Terapi farmakologik
A. Bekerja pada sistem dopaminergic

a. Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)


Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam otak
levodopa dirubah menjadi dopamine. L-dopa akan diubah menjadi dopamine pada
neuron dopaminergic oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase
(dopadekarboksilase). Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki
neuron dopaminergik, sisanya dimetabolisme di sembarang tempat,
mengakibatkan efek samping yang luas. Karena mekanisme feedback, akan terjadi
inhibisi pembentukan L-Dopa endogen.
Carbidopa dan benserazide adalah dopa dekarboksilase inhibitor,
membantu mencegah metabolisme L-Dopa sebelum mencapai neuron
dopaminergik. Levodopa mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki
gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya
secara normal. Obat ini diberikan bersama carbidopa untuk meningkatkan
efektivitasnya & mengurangi efek sampingnya. Banyak dokter menunda
pengobatan simtomatis dengan levodopa sampai memang dibutuhkan. Bila gejala
pasien masih ringan dan tidak mengganggu, sebaiknya terapi dengan levodopa
jangan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa efektifitas levodopa berkaitan dengan
lama waktu pemakaiannya. Levodopa melintasi sawar-darah-otak dan memasuki
susunan saraf pusat dan mengalami perubahan enzimatik menjadi dopamin.
Dopamin menghambat aktifitas neuron di ganglia basal.
Efek samping levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia
yaitu gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun tubuh. Respon
penderita yang mengkonsumsi levodopa juga semakin lama semakin berkurang.
Untuk menghilangkan efek samping levodopa, jadwal pemberian diatur dan
ditingkatkan dosisnya, juga dengan memberikan tambahan obat-obat yang
memiliki mekanisme kerja berbeda seperti dopamin agonis, COMT inhibitor atau
MAO-B inhibitor.

b. Agonis dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax), Pramipexol
(Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid dianggap cukup efektif
untuk mengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor
dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin
secara progresif yang selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala
Parkinson.
Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah mengalami
serangan yang berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis
tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan
setiap hari dapat mengurangi fluktuasi gejala motorik. Efek samping obat ini
adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual dan muntah.

c. Penghambat Monoamine Oxidase (MAO Inhibitor)


Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga berguna pada
penyakit Parkinson karena neurotransmisi dopamine dapat ditingkatkan dengan
mencegah perusakannya. Selegiline dapat pula memperlambat memburuknya
sindrom Parkinson, dengan demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan selama
beberapa waktu. Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit Parkinson
yaitu untuk mengaluskan pergerakan.
Selegilin dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan menginhibisi
monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga menghambat perusakan dopamine
yang dikeluarkan oleh neuron dopaminergik. Metabolitnya mengandung L-
amphetamin and L-methamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan
gabungan levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai
antidepresan ringan. Efek sampingnya adalah insomnia, penurunan tekanan darah
dan aritmia.

B. Bekerja pada sistem kolinergik

a. Antikolinergik

Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi
neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu
mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat
mengurangi gejala tremor. Ada dua preparat antikolinergik yang banyak
digunakan untuk penyakit parkinson , yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan
benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah
biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin). Efek
samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis
ini tidak diberikan pada penderita penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena
dapat menyebabkan penurunan daya ingat.

C. Bekerja pada Glutamatergik

a. Amantadin
Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat ini
dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat menghilangkan
gejala penyakit Parkinson yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan
fatigue pada awal penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik
(fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita Parkinson lanjut. Dapat dipakai
sendirian atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek
sampingnya dapat mengakibatkan mengantuk.

D. Bekerja sebagai pelindung neuron


Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap ancaman degenerasi
akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Neurotropik faktor, yaitu dapat bertindak sebagai pelindung neuron terhadap
kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan dan fungsi neuron. Termasuk dalam
kelompok ini adalah BDNF (brain derived neurotrophic factor), NT 4/5
(Neurotrophin 4/5) , GDNT (glia cell line-derived neurotrophic factorm artemin),
dan sebagainya . Semua belum dipasarkan.

b. Anti-exitoxin, yang melindungi neuron dari kerusakan akibat paparan bahan


neurotoksis (MPTP , Glutamate) . Termasuk disini antagonis reseptor NMDA,
MK 801, CPP remacemide dan obat antikonvulsan riluzole.

c. Anti oksidan, yang melindungi neuron terhadap proses oxidative stress akibat
serangan radikal bebas. Deprenyl (selegiline), 7-nitroindazole, nitroarginine
methyl-ester, methylthiocitrulline, 101033E dan 104067F, termasuk didalamnya.
Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim yang memproduksi radikal bebas.
Dalam penelitian ditunjukkan vitamin E (tocopherol) tidak menunjukkan efek anti
oksidan.

d. Bioenergetic suplements, yang bekerja memperbaiki proses metabolisme energi


di mitokondria . Coenzym Q10 ( Co Q10 ), nikotinamide termasuk dalam
golongan ini dan menunjukkan efektifitasnya sebagai neuroprotektant pada hewan
model dari penyakit parkinson.

e. Rotigotine, rotigotine transdermal yang disampaikan adalah tambahan yang


secara klinis inovatif dan berguna untuk kelas agonis dopamin reseptor.
Rotigotine transdermal patch mewakili pilihan efektif dan aman untuk pengobatan
pasien dengan awal untuk maju penyakit Parkinson. Kemungkinan non-invasif
dan mudah digunakan formulasi yang memberikan stimulasi terus-menerus
dopaminergik mungkin langkah menuju meminimalkan komplikasi yang timbul
dari stimulasi pulsatil dopaminergik. Karena pasien penyakit Parkinson biasanya
harus mengambil banyak dosis obat setiap hari, patch ini diharapkan akan
membantu banyak penderita

Terapi Pembedahan 7
a. Deep-Brain Stimulation (DBS)
b. Transplantasi

Non Farmakologik 7
a. Edukasi
b. Terapi rehabilitasi

2.5.3 Distonia
Dystonia (dari bahasa Yunani, yang berarti perubahan tonus otot)
mengacu pada suatu sindrom kontraksi otot berkelanjutan atau spasmodik.
Gerakan biasanya lambat dan berkelanjutan, dan mereka sering terjadi secara
berulang dan terpola; Namun, mereka bisa tidak dapat diprediksi dan berfluktuasi.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus,
gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir),
seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).8
Postur dan puntiran yang tidak normal dan sering dapat terasa
menyakitkan, dan dampak fungsional dari distonia dapat bervariasi dari yang
hampir tidak terlihat hingga sangat melumpuhkan. Akibatnya, distonia dapat
memiliki efek mendalam pada kehidupan pribadi, kejuruan, dan emosional pasien
dan dapat memengaruhi kemampuannya untuk hidup mandiri.8
Reaksi distonik adalah efek ekstrapiramidal reversibel yang dapat terjadi
setelah pemberian obat neuroleptik. Gejala dapat dimulai segera atau dapat
ditunda berjam-jam. Meskipun berbagai macam obat dapat menimbulkan gejala,
antipsikotik khas paling sering bertanggung jawab.8
Reaksi distonik (mis., Diskinesia) ditandai dengan spasmodik intermiten
atau kontraksi otot yang tak berkesinambungan pada wajah, leher, badan, panggul,
ekstremitas, dan bahkan laring. Meskipun reaksi distonik jarang mengancam jiwa,
efek sampingnya sering menyebabkan kesulitan bagi pasien dan keluarga.
Perawatan medis biasanya efektif untuk meredakan gejala akut. Dengan
perawatan, gangguan motorik sembuh dalam beberapa menit, tetapi mereka dapat
terulang kembali pada hari-hari berikutnya. 8
Insiden reaksi distonik akut bervariasi sesuai dengan kerentanan
individu, identitas obat, dosis, dan durasi terapi. Dalam kasus yang jarang terjadi,
seperti dengan keterlibatan laring, manajemen jalan nafas mungkin diperlukan.8
2.5.3.1 Etiologi8
Neuroleptik (antipsikotik), antiemetik, dan antidepresan adalah penyebab paling
umum dari reaksi distonik yang diinduksi oleh obat. Penggunaan alkohol dan
kokain meningkatkan risiko. Kasus-kasus yang melibatkan obat lain telah
dilaporkan, termasuk methylphenidate dan carbamazepine.
Reaksi distonik paling sering terjadi segera setelah memulai pengobatan
atau peningkatan dosis obat; 50% terjadi dalam waktu 48 jam sejak dimulainya
pengobatan, dan 90% terjadi dalam 5 hari. Sebuah tinjauan literatur oleh
Hawthorne dan Caley menemukan di antara laporan yang diterbitkan tentang
reaksi ekstrapiramidal bahwa reaksi biasanya berkembang dalam 30 hari sejak
dimulainya pengobatan. atau peningkatan dosis.

Faktor predisposisi termasuk riwayat keluarga dystonia dan infeksi virus

2.5.3.2 Manifestasi Klinis8


Gejalanya yaitu Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota
gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai
atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi
yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia
juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga
sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..Reaksi distonia akut sering terjadi
dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai.

2.5.3.3 Tatalaksana8
a. Perawatan Gawat Darurat

b. Farmakologis, biasanya dengan agen antikolinergik, menyelesaikan reaksi.


Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. Agen antikolinergik dan benzodiazepin paling sering digunakan

- Agen antikolinergik
Agen yang paling umum digunakan adalah benztropine dan diphenhydramine.
Keduanya adalah perawatan yang efektif, dan data tidak mendukung satu sama
lain.

- Benzodiazepin
Keseimbangan normal antara dopamin dan asetilkolin di ganglia basal melibatkan
modulasi dari neuron striatonigral yang mengandung GABA. Neuron GABA-
ergic adalah penghambat dan memusuhi neuron dopaminergik rangsang. Agonis
GABA (misalnya, benzodiazepin) dapat membantu untuk reaksi distonik akut
ketika agen anti-muskarinik tidak sesuai.

2.5.4. Akathisia
Akatisia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk tetap tenang akibat
adanya rasa gelisah. Secara harfiah, akatisia berarti “tak duduk” atau hilangnya
kemampuan untuk duduk atau mempertahankan diri dalam posisi duduk. 9

2.5.4.1 Etiologi
Zaat ini akatisia paling sering disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik
Semua obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine dapat mengakibatkan
akatisia. Karena semua obat antipsikotik bekerja terhadap reseptor dopamine,
maka untuk saat ini akatisia paling banyak disebabkan oleh obat antipsikosis.
Antipsikosis tipikal yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
reseptor Dopamin D2 lebih sering mengakibatkan terjadinya akatisia jika
dibandingkan dengan obat antipsikosis atipikal. Selain itu penggunaan selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRI), calcium channel antagonist, anti konvulsan,
obat-obat yang mengikat reseptor 5-HT, dan litium karbonat diduga dapat
menyebabkan akatisia. Seperti gangguan gerak lainnya, timbulnya akatisia
berkaitan dengan neuroleptik potensi tinggi ataupun dosis yang besar.

2.5.4.2 Klasifikasi
Akatisia biasanya merupakan gejala akut yang muncul beberapa jam atau hari
setelah terapi antipsikotik. Dosis awal yang tinggi dan peningkatan dosis obat
yang cepat merupakan faktor predisposisi akatisia akut. Akatisia dibagi atas
beberapa subtype berdasarkan onset terjadinya.
a. Akatisia akut
Akatisia akut merupakan jenis akatisia yang paling sering ditemukan.
Akatisia jenis ini dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah inisiasi atau
peningkatan atau perubahan dosis terapi. Adanya paparan tunggal terhadap obat
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Biasanya akatisia jenis ini mulai
terjadi dalam waktu 2 minggu pertama pengobatan dan hampir selalu terjadi
dalam 6 minggu pengobatan.

b. Akatisia tardive
Akatisia subtype ini merupakan akatisia yang terjadi pada penggunaan
obat neuroleptik jangka panjang meskipun tidak ditemukan adanya perubahan
dosis atau jenis obat, ataupun pemutusan obat golongan anti akatisia. Awitan
akatisia tardive adalah 3 bulan setelah pemberian obat yang stabil.

c. Akatisia pada withdrawal


Akatisia ini muncul setelah penghentian atau penurunan signifikan dari
dosis obat neuroleptik. Akatisia jenis ini terjadi dalam beberapa hari atau minggu
sesudahnya namun secara rata-rata biasanya dalam jangka waktu enam minggu
setelahnya. Bila akatisia menetap setelah jangka waktu tiga bulan setelah
pemberian obat, maka akatisia tardive dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis.

d. Akatisia kronik
Akatisia kronik dapat digolongkan berdasarkan lama berlangsungnya dan
bukan berdasarkan awitan terjadinya. Akatisia yang tetap berlangsung setelah tiga
bulan lamanya dari awitan akatisia dapat digolongkan dalam akatisia kronik.
Akatisia ini dapat berawitan akut, tardive ataupun disebabkan withdrawal. Saat
seseorang sudah sampai pada tahap akatisia kronik, gejala subjektif akan
berkurang dan pola pergerakan akan lebih menyerupai stereotipik, atau tardive
dyskinesia.

2.5.4.3 Gejala Klinis


Seorang pasien akatisia tidak bisa duduk dengan tenang dalam jangka waktu yang
lama. Pada situasi yang ekstrim, pasien akan langsung berdiri segera setelah dia
duduk dan akan terus menerus berdiri kemudian duduk kembali. Ketika pasien
dipaksa untuk berada dalam suatu tempat, mereka akan gelisah. Ketika duduk,
mereka akan mengganti posisinya terus menerus, menggosok lengannya,
menyilangkan dan meluruskan kembali kakinya atau bergerak maju mundur.
Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengurangi desakan yang kuat untuk
bergerak. Ketika berdiri, pasien akan terus menerus bergerak di tempatnya.
Akatisia merupakan kumpulan gejala psikomotor yang kompleks yang terdiri atas
komponen subjektif (emosional) dan objektif (motorik).

Gejala subjektif dari akatisia dapat berupa:


a. Perasaan gelisah (inner restlessness)
b. Desakan untuk terus bergerak (tasikinesia)
c. Ketidakmampuan untuk tenang
d. Rasa tidak nyaman
e. Ketidakmampuan untuk relax
f. Konsentrasi yang rendah
g. Dysphoria
h. Anxietas
i. Rasa takut
j. Rasa marah
k. Keinginan untuk bunuh diri 6
l. Pikiran-pikiran agresif

Gejala objektif dari akatisia dapat kita amati pada pasien, berupa:
a. Tangan dan kaki yang gemetar
b. Menggosok wajah
c. Menggosok, mengusap, ataupun menggerak-gerakkan tangan
d. Menggosok ataupun memijat kaki
e. Menepuk-nepuk atau menarik-narik pakaian yang sedang dipakainya
f. Menyilangkan tangan dan kaki kemudian meluruskannya kembali secara
berulang-ulang
g. Duduk membungkuk kemudian meluruskan badannya secara berulang-
ulang b. Pada posisi berdiri
h. Berjalan di tempat
i. Merubah posisi berdirinya terus menerus
j. Memflexi dan extensikan kaki
k. Berjalan mengitari suatu area terus menerus

Secara subjektif, perasaan gelisah dan gerakan-gerakan berulang pada kaki


merupakan gejala yang paling sering, utamanya muncul pada pasien yang sedang
duduk atau berdiri, dan berkurang saat pasien berbaring. Namun, tidak ada
satupun dari gejala di atas yang patognomonik sehingga sulit untuk membedakan
akatisia dari bentuk kegelisahan ataupun gangguan gerak lainnya.

2.5.4.4 Tatalaksana9

Sebagai langkah pencegahan, memilih dosis efektif terendah dan meningkatkan


dosis obat secara perlahan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Selain
itu, pemeriksaan rutin untuk mengecek efek samping ekstrapiramidal dan
observasi perilaku dapat juga dilakukan. Jika akatisia timbul, menghentikan obat
penyebabnya atau mengurangi dosis obat merupakan pilihan yang terbaik.
Selain itu juga dapat dilakukan intervensi psikososial, seperti memberikan
edukasi kepada pasien tentang efek samping dari terapi antipsikosis yang
diterimanya. Walaupun demikian, pada pasien yang sangat gelisah, menunggu
sampai efek obat berkurang, tidaklah terlalu efektif.
Obat-obat antikolinergik, antagonist reseptor, dan benzodiazepine efektif
untuk terapi pada fase akut, namun respon terapinya berbeda-beda. Jika onsetnya
tidak terlalu akut, dianjurkan untuk mengganti kelas obat antipsikosis. Terapi pada
akatisia kronik ataupun tardive akathisia tidaklah terlalu efektif.
Saat ini, terapi akatisia yang bisa digunakan adalah beta-adrenergic
blockers, agen antikolinergik, benzodiazepine, dan sebagainya.

a. Beta-adrenergic blocker
Kegelisahan motorik pada akatisia diduga sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara central dopaminergic dan β2-adrenergic system.
Perbaikan gejala akatisia yang diterapi dengan propanolol diduga akibat kerja
propanolol yang memblok β2.
Propanolol, antagonis beta adrenergic non selective, sudah digunakan
sebagai agen anti akatisia lini pertama selama beberapa decade, dengan dosis
penggunaan 20-40mg, diberikan dua kali sehari untuk mengurangi gejala6 .
Namun, penggunaan obat ini tidak didukung oleh penelitian terkontrol dalam
jumlah yang besar. Toleransi terhadap propanolol sangat rendah, dimana 20%
pasien mengalami hipotensi ortostatik dan bradikardi akibat penghentian obat
dengan cepat. Propanolol dikontraindikasikan dengan diabetes mellitus,
gangguan konduksi jantung dan asma bronchial.

b. Anti-kolinergik
Walaupun anti kolinergik (benztropine, biperiden, diphenhydramine,
trihexyphenidyl) sudah terbukti efikasinya untuk mencegah dan mengobati
efek samping ekstrapiramidal, penggunaan klinisnya pada terapi akatisia
masih belum terlalu jelas. Namun, ada beberapa penelitian yang menyatakan
bahwa akatisia dapat diobati dengan antikolinergik. Antikolinergik
mempunyai efek samping pada fungsi kognitif sehingga perlu hati-hati pada
penggunaannya

c. Benzodiazepine
Benzodiazepine mempunyai beberapa nilai terapi untuk akatisia akibat
penggunaan anti psikotik. Hal ini diakibatkan oleh efek anti-anxietas dan efek
sedasinya.10 Pengurangan gejala akatisia akibat terapi benzodiazepine diduga
berhubungan dengan mekanisme GABA.Walaupun demikian, beberapa
pengalaman di klinik menunjukkan bahwa efek tersebut tidak cukup untuk
menghentikan akatisia.

d. Mirtazapine dosis rendah


Dalam sebuah placebo controlled study, ditemukan bahwa Mirtazapine dosis
rendah (15 mg/d) mempunyai efektifitas yang sama dengan propanolol 80
mg/dl dan lebih efektif daripada beta bloker dalam terapi akatisia yang
disebabkan oleh antipsikosis generasi pertama. Mirtazapine memblok α-
adrenergik reseptor, sehingga menghambat reseptor 5-HT2 dan 5HT3.
e. Terapi lainnya 5HT2A antagonis reseptor (mianserin, cyproheptadine)
juga bisa digunakan sebagai terapi akatisia karena memiliki kemampuan
untuk menetralkan efek anti psychotic-induced dopamine D2 receptor
blockade dengan cara meningkatkan neurotransmitter dopamine. Beberapa
penelitian telah menunjukkan efek anti akatisia, keamanan penggunaan
dan toleransi mianserin dan cyproheptadine pada pasien akatisia. Efek
samping yang dapat ditimbulkan yaitu sedasi ringan dan hipotensi
ortostatik.
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat


diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat
transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum
menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka
panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom
parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat
menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom
ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian
pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil
(THP) dan difenhidrami.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat


memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan
komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nuartha AA. Tardive dyskinesia and other neuroleptic-induced movement


disorders. Denpasar: Udayana Press;2017
2. Berawi KN, Umar FS. Sindrom ekstra piramidal pada laki-laki 29 tahun
dengan skizofrenia paranoid. J agromedUnila.2017;4(1):109-13
3. Souza RS, Hooten WM. Extrapyramidal symptoms (EPS). NCBI
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534115/ diakses 19 Maret 2019
4. Handayani DS, Cahaya N, Srikartika VM. Pengaruh pemberiann
kombinasi antipsikotik terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal
pada pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Sambang
lihum.Farmaka.2018:15(3);86-95
5. Kembuan MAHN. Sindroma neuroleptik maligna patofisiologi, diagnosis
dan terapi.JBM.2016:8(2);125-133
6. Silitonga R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
Penderita penyakit parkinson di poliklinik saraf rs dr kariadi. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2007.
7. UNHAS. Bahan ajar Parkinson. Makassar. Universitas Hassanudin.
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar-3_Pakinson.pdf diakses 19 Maret 2019
8. Kowalski JM. Medication-induced dystonic reaction. Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/814632-overview diakses 19
Maret 2019
9. Poyurovsky M. Acute antipsychotic-induced akathisia revisited. The
British Journal of Psychiatry 2010;196:89-91.

Anda mungkin juga menyukai