Ekstrapiramidal Syndrome
Oleh
Pembimbing :
BAGIAN PSIKIATRI
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2019
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Ekstrapiramidal
Syndome” Referat ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. Yaslinda Yaunin, Sp.
KJ (K) selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan Referat ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa Referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Referat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian dari sindrom ekstrapiramidal tergantung dari jenis obat yang
diberikan, pemberian obat antipsikotik generasi pertama diperkirakan menyebabkan
sekitar 61,6% pasien yang menderita skizofrenia. Angka kejadian tersebut berlawanan
dengan pemberian obat antipsikotik atipikal dengan angka kejadian paling rendah dengan
pemberian clozapin dan tertinggi dengan pemberian risperidon. Pemberian
metoclopramide dengan angka kejadian 4%-25% dan pemberian prochlorperazine
berkisar antara 25%-67%. Pada wanita tua gejala paling sering muncul berupa
parkinsonism dan diskinesia tarda, sedangkan pada usia. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Angka kejadian dari sindrom ekstrapiramidal tergantung dari jenis obat yang
diberikan, pemberian obat antipsikotik generasi pertama diperkirakan menyebabkan
sekitar 61,6% pasien yang menderita skizofrenia. Angka kejadian tersebut berlawanan
dengan pemberian obat antipsikotik atipikal dengan angka kejadian paling rendah dengan
pemberian clozapin dan tertinggi dengan pemberian risperidon. Pemberian
metoclopramide dengan angka kejadian 4%-25% dan pemberian prochlorperazine
berkisar antara 25%-67%. Pada wanita tua gejala paling sering muncul berupa
parkinsonism dan diskinesia tarda, sedangkan pada 3
2.4 Patofisiologi
2.5.1.1.Etiologi
Meskipun gejala tardive dyskinesia sudah lama sekali diketahui, namun
etiologinya masih belum jelas sekali, multifaktor mulai dari polimorfik genetik
sampai jenis obat, dosis dan lama pemberian yang menyebabkan kelainan proses
pada transmisi dopamin terutama pada reseptor D2, meningkatnya aktivitas pada
reseptor D2 yang berakibat meningkatnya rasio aktivitas D1/D2 reseptor,
supersensitivitas reseptor dopamin pasca sinaps akibat blokade kronik,
menurunnya aktivitas atau insufisiensi GABA, dan efek neurotoksik radikal bebas
dari metabolisme katekolamin yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan
membran sel. 1
Obat neuroleptik yang sering menimbulkan tardive dyskinesia adalah obat
neuroleptik golongan tipikal atau APG I (dopamin D2 receptor antagonist)
misalnya haloperidol, perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine, dan lebih
jarang pada chlorpromazine, thioridazine, pimozid. Golongan yang atipikal atau
APG II (serotonin 5HT2-dopamin D2 receptor antagonist) lebih jarang misalnya
olanzapine, risperidone, aripiprazole, quetiapine lebih jarang lagi, dan hanya
clozapine yang sangat jarang serta dapat menurunkan risiko terjadi tardive
dyskinesia dibandingkan obat-obat yang lain, namun terkadang mempunyai efek
samping dapat menyebabkan diskrasia darah. 1
2.5.1.3 Penatalaksanaan
Pencegahan primer terjadinya sindrom ekstrapiramidal pada penggunaan
obat golongan neuroleptik atau anti-psikotik termasuk tardive dyskinesia adalah
dengan penggunaan obat anti-psikotik dosis rendah namun efektif dan durasi
penggunaan bila memungkinkan dalam waktu tidak lama. Bila timbul gejala
ekstrapiramidal ringan-sedang, turunkan dosis obat anti-psikotik mencapai dosis
minimal namun efektif, dan bila menggunakan obat anti-psikotik
konvensional/tipikal/APG I misalnya haloperidol dapat diganti dengan yang
atipikal/APG II misalnya risperidone, olanzapine, quetiapine, atau clozapine.
Hanya clozapine yang dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan
ekstrapiramidal termasuk tardive dyskinesia. Bila timbul gejala gangguan
ekstrapiramidal berat, obat anti-psikotik segera dihentikan dan diberi terapi untuk
menghilangkan efek samping ekstrapiramidal tersebut. 1
Bila pemakaian anti-psikotik dari golongan neuroleptik poten dosis tinggi
yang diduga nantinya akan dapat timbul efek samping ekstrapiramidal, banyak
juga yang menyertakan terapi profilaksis dengan bersamaan pemberian
antikolinergik seperti misalnya trihexyphenidyl 4-15 mg/hari atau benztropine 4-6
mg/hari untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebihan karena penghambatan
dopamin. Pemakaian antikolinergik juga mempunyai efek samping seperti mulut
kering, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, atau penglihatan kabur. Juga
pemberian lecithin 3-9 gr/hari, vitamin B6 1.200 mg/hari, vitamin E 400-1.600
IU/hari, branched chain amino acid (valine, isoleucine, leucine), dan N-acetyl
cysteine bermanfaat dalam pencegahan dan terapi gangguan eksrapiramidal
khususnya tardive dyskinesia karena pemakaian obat golongan neuroleptik. 1
Gejala Motorik
a. Tremor/bergetar
Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika
sedang beristirahat. Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran
tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga
sewaktu tidur. 7
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau
memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-
supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut
membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. 7
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada
kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang
menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan
kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas
(tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya
tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa
terjadi pada kedua belah sisi. 7
b. Rigiditas/kekakuan
Pada stadium dini, rigiditas otot terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Biasanya lebih jelas bila pergelangan difleksi dan
ekstensi pasif dan pronasi serta supinasi lengan bawah secara pasif. Pada stadium
lanjut rigiditas menjadi menyeluruh dan berat sehingga memberikan tahanan bila
persendian-persendian digerakkan secara pasif. 6, 7
Rigiditas merupakan peningkatan terhadap regangan otot pada otot
antagonis dan agonis. Salah satu gejala dini dari rigiditas ialah hilangnya gerak
asosiasi lengan bila berjalan. Peningkatan tonus otot pada sindrom prakinson
disebabkan oleh meningkatnya aktifitas neuron motorik alfa. Kombinasi dengan
resting tremor mengakibatkan bunyi seperti gigi roda yang disebut dengan
cogwheel phenomenon muncul jika pada gerakan pasif. 7
c. Akinesia/bradikinesia
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls optik,
labirin, propioseptif dan impuls sensoris di ganglia basalis. Hal ini mengakibatkan
berubahan aktivitas refleks yang mempengaruhi motorneuron gamma dan alfa. 7
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga
tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang
semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret.
Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres)
karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata
berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar
air liur.7
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif,
misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil
suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia
mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan
yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang,
berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut. 7
e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini. 6
h. Demensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit
kognitif 6
Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut,
sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat
(bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi
waktu yang cukup. 7
Gejala lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal
hidungnya (tanda Myerson positif). 7
Gejala Non-Motorik 7
a. Disfungsi otonom
- Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
- Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
- Pengeluaran urin yang banyak
- Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat
seksual, perilaku orgasme.
e. Gangguan sensasi
- Kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna.
- Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan system saraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan.
- Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau
anosmia).
2.5.2.2 Diagnosis7
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada setiap kunjungan penderita :
a. Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk
mendeteksi hipotensi ortostatik.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan yang progresif dengan
memburuknya penyakit. CT-scan otak menunjukkan atrofi kortikal difus dengan
melebarnya sulsi dan hidrosefalus eks vakuo pada kasus lanjut.
Selain dengan metode tersebut, untuk mendiagnosis penyakit parkinson, dapat
dilakukan berdasar pada beberapa kriteria, yakni:
1. Secara klinis
Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas,
bradikinesia, atau
3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan
postural.
Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif, terdiri
dari:
a. Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
b. Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun pertama
c. Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun
pertama
d. Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.
b. CT Scan Kepala
Melalui pemeriksaan CT Scan kepala, diharapkan akan didapatkan gambaran
terjadinya atropi kortikal difus, dengan sulki melebar, dan hidrosefalus eks vakuo.
2.5.2.4 Tatalaksana
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang progresif
dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi penatalaksanaannya
adalah :
o Terapi simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien,
o Neuroproteksi
o Neurorestorasi
Neuroproteksi dan neurorestorasi keduanya untuk menghambat progresivitas
penyakit Parkinson. Strategi ini ditujukan untuk mempertahankan kualitas hidup
penderitanya. 7
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan
penanganan secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi
untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi
gejala yang timbul. Pengobatan penyakit parkinson bersifat individual dan
simtomatik, obat-obatan yang biasa diberikan adalah untuk pengobatan penyakit
atau menggantikan atau meniru dopamin yang akan memperbaiki tremor,
rigiditas, dan slowness. 7
Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk
memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini
dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan,
terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.
Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan ,sebagai berikut : 6, 7
Terapi farmakologik
A. Bekerja pada sistem dopaminergic
b. Agonis dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax), Pramipexol
(Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid dianggap cukup efektif
untuk mengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor
dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin
secara progresif yang selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala
Parkinson.
Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah mengalami
serangan yang berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis
tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan
setiap hari dapat mengurangi fluktuasi gejala motorik. Efek samping obat ini
adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual dan muntah.
a. Antikolinergik
Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi
neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu
mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat
mengurangi gejala tremor. Ada dua preparat antikolinergik yang banyak
digunakan untuk penyakit parkinson , yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan
benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah
biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin). Efek
samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis
ini tidak diberikan pada penderita penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena
dapat menyebabkan penurunan daya ingat.
a. Amantadin
Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat ini
dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat menghilangkan
gejala penyakit Parkinson yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan
fatigue pada awal penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik
(fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita Parkinson lanjut. Dapat dipakai
sendirian atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek
sampingnya dapat mengakibatkan mengantuk.
c. Anti oksidan, yang melindungi neuron terhadap proses oxidative stress akibat
serangan radikal bebas. Deprenyl (selegiline), 7-nitroindazole, nitroarginine
methyl-ester, methylthiocitrulline, 101033E dan 104067F, termasuk didalamnya.
Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim yang memproduksi radikal bebas.
Dalam penelitian ditunjukkan vitamin E (tocopherol) tidak menunjukkan efek anti
oksidan.
Terapi Pembedahan 7
a. Deep-Brain Stimulation (DBS)
b. Transplantasi
Non Farmakologik 7
a. Edukasi
b. Terapi rehabilitasi
2.5.3 Distonia
Dystonia (dari bahasa Yunani, yang berarti perubahan tonus otot)
mengacu pada suatu sindrom kontraksi otot berkelanjutan atau spasmodik.
Gerakan biasanya lambat dan berkelanjutan, dan mereka sering terjadi secara
berulang dan terpola; Namun, mereka bisa tidak dapat diprediksi dan berfluktuasi.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus,
gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir),
seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).8
Postur dan puntiran yang tidak normal dan sering dapat terasa
menyakitkan, dan dampak fungsional dari distonia dapat bervariasi dari yang
hampir tidak terlihat hingga sangat melumpuhkan. Akibatnya, distonia dapat
memiliki efek mendalam pada kehidupan pribadi, kejuruan, dan emosional pasien
dan dapat memengaruhi kemampuannya untuk hidup mandiri.8
Reaksi distonik adalah efek ekstrapiramidal reversibel yang dapat terjadi
setelah pemberian obat neuroleptik. Gejala dapat dimulai segera atau dapat
ditunda berjam-jam. Meskipun berbagai macam obat dapat menimbulkan gejala,
antipsikotik khas paling sering bertanggung jawab.8
Reaksi distonik (mis., Diskinesia) ditandai dengan spasmodik intermiten
atau kontraksi otot yang tak berkesinambungan pada wajah, leher, badan, panggul,
ekstremitas, dan bahkan laring. Meskipun reaksi distonik jarang mengancam jiwa,
efek sampingnya sering menyebabkan kesulitan bagi pasien dan keluarga.
Perawatan medis biasanya efektif untuk meredakan gejala akut. Dengan
perawatan, gangguan motorik sembuh dalam beberapa menit, tetapi mereka dapat
terulang kembali pada hari-hari berikutnya. 8
Insiden reaksi distonik akut bervariasi sesuai dengan kerentanan
individu, identitas obat, dosis, dan durasi terapi. Dalam kasus yang jarang terjadi,
seperti dengan keterlibatan laring, manajemen jalan nafas mungkin diperlukan.8
2.5.3.1 Etiologi8
Neuroleptik (antipsikotik), antiemetik, dan antidepresan adalah penyebab paling
umum dari reaksi distonik yang diinduksi oleh obat. Penggunaan alkohol dan
kokain meningkatkan risiko. Kasus-kasus yang melibatkan obat lain telah
dilaporkan, termasuk methylphenidate dan carbamazepine.
Reaksi distonik paling sering terjadi segera setelah memulai pengobatan
atau peningkatan dosis obat; 50% terjadi dalam waktu 48 jam sejak dimulainya
pengobatan, dan 90% terjadi dalam 5 hari. Sebuah tinjauan literatur oleh
Hawthorne dan Caley menemukan di antara laporan yang diterbitkan tentang
reaksi ekstrapiramidal bahwa reaksi biasanya berkembang dalam 30 hari sejak
dimulainya pengobatan. atau peningkatan dosis.
2.5.3.3 Tatalaksana8
a. Perawatan Gawat Darurat
- Agen antikolinergik
Agen yang paling umum digunakan adalah benztropine dan diphenhydramine.
Keduanya adalah perawatan yang efektif, dan data tidak mendukung satu sama
lain.
- Benzodiazepin
Keseimbangan normal antara dopamin dan asetilkolin di ganglia basal melibatkan
modulasi dari neuron striatonigral yang mengandung GABA. Neuron GABA-
ergic adalah penghambat dan memusuhi neuron dopaminergik rangsang. Agonis
GABA (misalnya, benzodiazepin) dapat membantu untuk reaksi distonik akut
ketika agen anti-muskarinik tidak sesuai.
2.5.4. Akathisia
Akatisia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk tetap tenang akibat
adanya rasa gelisah. Secara harfiah, akatisia berarti “tak duduk” atau hilangnya
kemampuan untuk duduk atau mempertahankan diri dalam posisi duduk. 9
2.5.4.1 Etiologi
Zaat ini akatisia paling sering disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik
Semua obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine dapat mengakibatkan
akatisia. Karena semua obat antipsikotik bekerja terhadap reseptor dopamine,
maka untuk saat ini akatisia paling banyak disebabkan oleh obat antipsikosis.
Antipsikosis tipikal yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
reseptor Dopamin D2 lebih sering mengakibatkan terjadinya akatisia jika
dibandingkan dengan obat antipsikosis atipikal. Selain itu penggunaan selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRI), calcium channel antagonist, anti konvulsan,
obat-obat yang mengikat reseptor 5-HT, dan litium karbonat diduga dapat
menyebabkan akatisia. Seperti gangguan gerak lainnya, timbulnya akatisia
berkaitan dengan neuroleptik potensi tinggi ataupun dosis yang besar.
2.5.4.2 Klasifikasi
Akatisia biasanya merupakan gejala akut yang muncul beberapa jam atau hari
setelah terapi antipsikotik. Dosis awal yang tinggi dan peningkatan dosis obat
yang cepat merupakan faktor predisposisi akatisia akut. Akatisia dibagi atas
beberapa subtype berdasarkan onset terjadinya.
a. Akatisia akut
Akatisia akut merupakan jenis akatisia yang paling sering ditemukan.
Akatisia jenis ini dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah inisiasi atau
peningkatan atau perubahan dosis terapi. Adanya paparan tunggal terhadap obat
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Biasanya akatisia jenis ini mulai
terjadi dalam waktu 2 minggu pertama pengobatan dan hampir selalu terjadi
dalam 6 minggu pengobatan.
b. Akatisia tardive
Akatisia subtype ini merupakan akatisia yang terjadi pada penggunaan
obat neuroleptik jangka panjang meskipun tidak ditemukan adanya perubahan
dosis atau jenis obat, ataupun pemutusan obat golongan anti akatisia. Awitan
akatisia tardive adalah 3 bulan setelah pemberian obat yang stabil.
d. Akatisia kronik
Akatisia kronik dapat digolongkan berdasarkan lama berlangsungnya dan
bukan berdasarkan awitan terjadinya. Akatisia yang tetap berlangsung setelah tiga
bulan lamanya dari awitan akatisia dapat digolongkan dalam akatisia kronik.
Akatisia ini dapat berawitan akut, tardive ataupun disebabkan withdrawal. Saat
seseorang sudah sampai pada tahap akatisia kronik, gejala subjektif akan
berkurang dan pola pergerakan akan lebih menyerupai stereotipik, atau tardive
dyskinesia.
Gejala objektif dari akatisia dapat kita amati pada pasien, berupa:
a. Tangan dan kaki yang gemetar
b. Menggosok wajah
c. Menggosok, mengusap, ataupun menggerak-gerakkan tangan
d. Menggosok ataupun memijat kaki
e. Menepuk-nepuk atau menarik-narik pakaian yang sedang dipakainya
f. Menyilangkan tangan dan kaki kemudian meluruskannya kembali secara
berulang-ulang
g. Duduk membungkuk kemudian meluruskan badannya secara berulang-
ulang b. Pada posisi berdiri
h. Berjalan di tempat
i. Merubah posisi berdirinya terus menerus
j. Memflexi dan extensikan kaki
k. Berjalan mengitari suatu area terus menerus
2.5.4.4 Tatalaksana9
a. Beta-adrenergic blocker
Kegelisahan motorik pada akatisia diduga sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara central dopaminergic dan β2-adrenergic system.
Perbaikan gejala akatisia yang diterapi dengan propanolol diduga akibat kerja
propanolol yang memblok β2.
Propanolol, antagonis beta adrenergic non selective, sudah digunakan
sebagai agen anti akatisia lini pertama selama beberapa decade, dengan dosis
penggunaan 20-40mg, diberikan dua kali sehari untuk mengurangi gejala6 .
Namun, penggunaan obat ini tidak didukung oleh penelitian terkontrol dalam
jumlah yang besar. Toleransi terhadap propanolol sangat rendah, dimana 20%
pasien mengalami hipotensi ortostatik dan bradikardi akibat penghentian obat
dengan cepat. Propanolol dikontraindikasikan dengan diabetes mellitus,
gangguan konduksi jantung dan asma bronchial.
b. Anti-kolinergik
Walaupun anti kolinergik (benztropine, biperiden, diphenhydramine,
trihexyphenidyl) sudah terbukti efikasinya untuk mencegah dan mengobati
efek samping ekstrapiramidal, penggunaan klinisnya pada terapi akatisia
masih belum terlalu jelas. Namun, ada beberapa penelitian yang menyatakan
bahwa akatisia dapat diobati dengan antikolinergik. Antikolinergik
mempunyai efek samping pada fungsi kognitif sehingga perlu hati-hati pada
penggunaannya
c. Benzodiazepine
Benzodiazepine mempunyai beberapa nilai terapi untuk akatisia akibat
penggunaan anti psikotik. Hal ini diakibatkan oleh efek anti-anxietas dan efek
sedasinya.10 Pengurangan gejala akatisia akibat terapi benzodiazepine diduga
berhubungan dengan mekanisme GABA.Walaupun demikian, beberapa
pengalaman di klinik menunjukkan bahwa efek tersebut tidak cukup untuk
menghentikan akatisia.
KESIMPULAN