Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C ,dengan metode pengukuran suhu
apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.Kejang demam bukan merupakan
akibat dari infeksi Sistem Saraf Pusat ataupun ketidakseimbangan metabolik apapun, dan
tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.1,2

2.2.Klasifikasi

2.2.1. Kejang Semam Sederhana


Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya berhubungan dengan
demam, berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Tidak ada efek
jangka panjang dari mengalami kejang demam simpleks baik satu kali ataupun lebih.
Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti
sendiri.1,2,3

2.2.2. Kejang demam Kompleks


Merupakan kejang demam dengan salah satu dari ciri berikut: kejang lama (berlangsung
lebih dari 15 menit); kejang fokal atauparsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial; kejang berulang dalam 24 jam.1,2,3

2.3.Epidemiologi
Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan puncak insiden
pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat secara neurologis akan
mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang demam, biasanya merupakan
kejang demam simpleks.1,2 Kejang demam sangat bergantung pada umur, 85% kejang
pertama sebelum usia 4 tahun, terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang demam sederhana
merupakan 80% dari seluruh kejang demam.20-30% kejang demam sederhana berpotensi
menjadi kejang demam kompleks.Di Asia, prevalensi kejang demam meningkat dua kali
lipat dibandingkan di Eropa dan Amerika. Di Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% -
9,9%.4,5,6
2.4.Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui secara pasti. Terjadinya bangkitan
kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi
dan cepat disebabkan infeksi diluar susunan saraf pusat misalnya infeksi virus, tonsilitis,
otitis media akut, ISK, gastroenteritis, ISPA, furunkulosis, post imunisasi, dan lain-lain.3,5
Terdapat kontribusi genetik dalam kejadian kejang demam, dengan adanya riwayat
keluarga positif kejang demam pada kebanyakan pasien. Keluarga yang memiliki riwayat
kejang demam ditemukan pada 25-40% kasus kejang demam. Riwayat saudara kandung
kejang demam juga dapat meningkatkan resiko kejang demam pada anak, adanya riwayat
kejang pada keluarga terdekat meningkatkan kemungkinan resiko kejang demam
sebanyak4,5 kali dibanding tanpa memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam. Pada
beberapa keluarga, kejang demam diwariskan secara autosomal dominan, dan terdapat
banyak gen yang sudah teridentifikasi dalam menyebabkan penyakit tersebut. Gen yang
sudah teridentifikasi adalah gen FEB 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 pada kromosom 8q13-q21,
19p13.3, 2q24, 5q14-q15, 6q22-24,18p11.2, 21q22, serta Generalized epilepsy with febrile
seizures plus (GEFS+).2,4,6,7
Faktor resiko intrauterine juga mempengaruhi kejang demam karena kurangnya berat
lahir dan kehamilan kurang bulan menjadi faktor resiko yang dapat mempermudah
timbulnya kejang demam.Pada penelitian lain didapatkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih
perpotensi mengalami kejang demam dibanding perempuan. Selain itu, kekurangan zat besi
juga dilaporkan dapat menyebabkan kejang demam pada beberapa kasus..4,6

2.5.Manifestasi Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberikan
reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beeberapa menit atau detik terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis
Todd) yang berlangung beberapa jam hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti oleh heiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih
sering pada kejang demam pertama.8

2.6.Diagnosis
Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang lengkap dan
pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam sering terjadi sebagai
akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes Virus, Shigella, ataupun infeksi
lainnya.2,4

a. Anamnesis
1. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
2. Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala ISPA, ISK,
OMA, dll)
3. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
4. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)3
b. Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
2. Suhu tubuh: apakah terdapat demam
3. Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Laseque
4. Pemeriksaan nervus kranial
5. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
6. Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
7. Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patologis3

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia<12 bulan. Kemungkinan
meningitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena kejang merupakan
tanda mayor dari meningitis pada 13-15% anak.Usia 12-18 bulan masih
dianjurkan lumbal pungsi karena gejala klinis meningitis masih belum jelas,
sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan dapat dilakukan pemeriksaan
rangsang meningeal untuk mendiagnosis apakah kejang disertai dengan
meningitis atau tidak. Pertimbangkan lumbal pungsi pada anak yang tidak
diketahui status imunisasi HiB atau Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.1,2,4
2. EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali bila terdapat
kejang fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus kejang di otak yang
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. EEG tidak dapat memprediksi rekurensi dari
kejang demam ataupun epilepsi bahkan jika ditemukan hasil yang abnormal. EEG
dilakukan atau diulangi dua minggu atau lebih setelahkejang demam. EEG
dilakukan pada kasus yang dicurigai adanya epilepsi dan digunakan untuk
menentukan tipe epilepsi, bukan memprediksi rekurensinya.1,2,4

3. Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, dan hitung
darah lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demamkarena bakteri merupakan
penyebab terbanyak yang menimbulkan kejang demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,
elektrolit, dan gula darah Evaluasi gula darah harus dilakukan pada anak dengan
prolonged postictal obtundation atau anak dengan intake per oral yang sedikit.
Pada anak dengan klinis dehidrasi, pemeriksaan seum elektrolit harus
dilakukan.Rendahnya kadar natrium berhubungan dengan tingginya rekurensi
kejang demam dalam 24 jam pertama.1,2,8

4. Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila terdapat indikasi seperti
anak dengan evaluasi neurologi yang abnormal, hemiparesis, atau paresis nervus
kranialis. Sekitar 11% anak dengan status epileptikus febris, biasanya mengalami
edema hipokampus unilateral akut, yang kemudian dapat menjadi atrofi
hipokampus.1,2

2.7.Diagnosis Banding
Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan cairan
serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang menimbulkan hemiparesis
hingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Anak dengan demam
tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam. Malaria juga dijadikan salah satu diagnose banding.8,9

2.8.Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan tidak panik.
Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak sadar, posisikan
anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di
rumah (prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 12 kg. Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan
pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Bila setelah pemberian diazepam rektal
kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit.1,2
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-
0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 10 mg. Algoritma tatalaksana kejang ditunjukkan oleh gambar 2.1.1

b. Tatalaksana saat Demam


1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.1,2
2. Antikonvulsan Intermieten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam
dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia<6 bulan
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat
Gambar 2.1 AlgoritmaTatalaksana Kejang akut dan status epileptikus9

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut
cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.1,2
3. Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka
pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama
1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering
off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.1,2
Terapi tersebut dapat dapat mengurangi, tapi tidak menghilangkan kemungkinan
rekurensi kejang demam. Defisiensi besi berhubungan dengan peningkatan risiko kejang
demam, sehingga skrining keadaan tersebut serta memberikan tatalaksana sebaiknya
dilakukan.1,2
Indikasi rawat3
1. Kejang demam kompleks
2. Hiperpireksia
3. Usia dibawah 6 bulan
4. Kejang demam pertama kali
5. Terdapat kelainan neurologis
2.9.Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama.
Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama.1

Gambar 2.2 Faktor Risiko Rekurensi Kejang Demam2

Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang mengalami episode
pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode kejang demam, dan pada 50%
anak dengan onset kejang demam dibawah usia 1 tahun. Gambar 2.2 menunjukkan faktor
risiko rekurensi kejang demam, dimana jika tidak memiliki faktor risiko sama sekali risiko
berulang sekitar 12%, dengan satu faktor risiko 25-50%, dua faktor risiko 50-59%, tiga atau
lebih faktor risiko 73-100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang demam, hanya
sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi
dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi dikemudian hari ditunjukkan oleh gambar
2.3. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-
49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
pada kejang demam.1,2
Gambar 2.3 Faktor risiko kejadian epilepsi setelah kejang demam2

Hampir setiap tipe epilepsi dapat didahului oleh kejang demam, dan beberapa sindroma
epilepsi secara khas diawali dengan kejang demam, yaitu generalized epilepsy with febrile
seizures plus (GEFS+); Dravet syndrome; dan pada kebanyakan pasien, epilepsi lobus
temporal sekunder akibat sklerosis mesial temporal. 2
GEFS+ merupakan sindroma autosomal dominan dengan fenotip yang sangat bervariasi.
Onset biasanya pada masa kanak-kanak awal dan remisi biasanya pada pertengahan masa
kank-kanak. GEFS+ ditandai dengan kejang demam multipel, dan beberapa kejang
selanjutnya yang merupakan kejang umum tanpa demam, termasuk kejang tonik klonik
umum, kejang absen, kejang myoklonik, kejang atonik, atau kejang mioklonik astatik, dengan
berbagai derajat keparahan.2
Sindroma Dravet merupakan fenotip epilepsi-terkait kejang demam yang paling berat.
Onsetnya dikarakteristikkan dengan kejang klonik unilateral dengan ataupun tanpa demam
berulang setiap 1 atau 2 bulan. Kejang awalnya diinduksi oleh demam, namun berbeda
dengan kejang demam biasanya dimana kejang ini lebih lama, lebih sering, dan juga fokal.
Kejang kemudian mulai terjadi dengan suhu demam yang lebih rendah, dan kemudian terjadi
tanpa demam. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh mutasi de novo, terkadang diwariskan
secara autosomal dominan namun sangat jarang. Gen yang mengalami mutasi sama dengan
gen pada GEFS+. Kebanyakan pasien dengan kejang demam prolonged dan pasien dengan
ensefalopati vaksin kemudian akan mengalami mutasi Sindrom Dravet.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S, penyunting.


Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI 2016.h1-14
2. Mikati MA, Hani AJ. Febrile Seizure. Dalam Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, St
Gemme VW, Schor NF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20.
Philadelphia: Elsevier, 2016. h2829-31.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Indris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
penyunting. Pedoman Pelayanan Medis jilid I. Jakarta: IDAI, 2010. h150-153
4. Seinfeld DOS, John MP. Recent research on febrile seizure: a review. J Neurol
Neurophysiol 4(165). 2014. h1-10
5. Wardhani AK. Kejang demam sederhana pada anak usia satu tahun. Medula 1(1). 2013.
h57-64
6. Fuadi, Tjipta B, Noor W. Faktor resiko bangkitan kejang demam pada anak.Sari Pediatri
vol 12 no 3. 2010. h142-149
7. Bahtera T, Susilo W, Soemantri AGH. Faktor genetic sebagai resiko kejang demam. Sari
Pediatri vol 10 no.6. 2009. h78-384
8. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999. h:244-52
9. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,penyunting
Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI 2016. H4
10. Deliana M. Tatalaksana kejang demam pada anak. Sari Pediatric vol 4 no 2. 2009. h-59-
62
11. Delpisheh A, Veisani Y, Sayehmiri K, Fayyazii A. febrile seizures: etiology, prevalence,
ang geographical variation. Iran J Child Neurol 8(3). 2014. h30-37
12. Naning R, Rina T, Amalia S. Faringitis, tonsillitis, tonsilofaringitis akut. . dalam: Rahajoe
NN, Bambang S, Darmawan BS. Buku ajar respirologi anak ed.1. 2010. h288-295
13. Kasim F, Yulia T. Obat batuk saluran nafas. Dalam: Informasi spesialite obat Indonesia
vol.49. 2014. h461-500.

Anda mungkin juga menyukai