Anda di halaman 1dari 8

http://jurnal.fk.unand.ac.

id 1

Case Report

MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNDROME PADA


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS DERAJAT BERAT
Avino Mulana Fikri, Roza Kurniati

Abstrak
Pendahuluan: Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh
adanya autoantibodi terhadap sel yang melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Pada pasien SLE dengan
derajat berat, sangat rentan terjadinya infeksi pada organ, sehingga terjadinya sepsis. Sepsis adalah disfungsi organ
yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh ketidakmampuan respon host terhadap infeksi. Sepsis berat akan
berlanjut menjadi syok sepsis yang ditandai dengan penurunan tekanan darah disertai kegagalan sirkulasi. Syok
sepsis akan berlanjut menjadi multiple organ dysfunction syndrome (MODS) dengan ditandai disfungsi dua atau lebih
organ yang terjadi secara bersamaan. Mortalitas pada pasien MODS sangat tinggi diperkirakan lebih dari 60%.
Laporan kasus: Seorang laki-laki 40 tahun dirawat dibangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan
diagnosis akhir penurunan kesadaran ec neuropsikiatrik SLE, syok sepsis ec Hospital Acquired Pneumonia, Hospital
Acquired Pneumonia dengan hipoksia, hematemesis melena ec stress ulcer, AKI stage II ec renal ec nefritis lupus,
hiponatremia euvolemik hiperosmolar ec nefritis lupus, Systemic Lupus Erythematosus derajat berat dengan nefritis
lupus, anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut, efusi pleura kiri ec pleuritis tuberkulosis, infeksi
saluran kemih komplikata, high risk VTE dengan perdarahan, sequele stroke infark, suspek insufisiensi adrenal.
Pasien dalam rawatan meninggal dunia dengan cause of death (COD) multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Kesimpulan: Penyebab kematian pada pasien ditegakkan berdasarkan kegagalan lebih dari dua organ. Pada pasien
didapatkan kegagalan sirkulasi, kegagalan paru, kegagalan sistem saraf pusat, kegagalan ginjal, kegagalan
gastrointestinal.
Kata kunci: SLE, Sepsis, syok sepsis, multiple organ dysfunction syndrome

Abstract
Introduction: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex autoimmune disease characterized by the
presence of autoantibodies against cells that involve many organ systems in the body. Patients with SLE with a severe
degree are very susceptible to organ infection, resulting in sepsis. Sepsis is a life-threatening organ dysfunction caused
by an inability host to respond infection. Severe sepsis will progress to septic shock which is characterized by a decrease
in blood pressure accompanied by circulatory failure. Septic shock will progress to multiple organ dysfunction syndrome
(MODS) with marked dysfunction of two or more organs occurring simultaneously. Mortality in MODS patients is very
high, estimated at more than 60%. Case report: A 40-year-old man has treated in Internal Medicine Ward at RSUP Dr.
M. Djamil Padang hospital with a final diagnosis are decreased consciousness ec neuropsychiatric SLE, septic shock
ec Hospital Acquired Pneumonia, Hospital Acquired Pneumonia with hypoxia, hematemesis melena ec stress ulcer, AKI
stage II ec renal ec nephritis lupus, hyponatremia euvolemic hyperosmolar ec nephritis lupus, Systemic Lupus
Erythematosus severe degree with lupus nephritis, moderate anemia normocytic normochromic ec acute bleeding, left
pleural effusion ec tuberculous pleuritis, complicated urinary tract infection, high risk VTE with bleeding, sequele of stroke
infarction, suspected adrenal insufficiency. The patient in hospital died with cause of death (COD) multiple organ
dysfunction syndrome (MODS) Conclusion: The cause of death in patients is based on failure of more than two organs.
In patients found circulatory failure, pulmonary failure, central nervous system failure, renal failure, gastrointestinal
failure.
Keywords: SLE, septic, septic shock, multiple organ dysfunction syndrome

Affiliasi penulis : Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, diperkirakan interaksi yang kompleks antara faktor
Universitas Andalas, Padang, Indonesia
Korespondensi : avinofikri@gmail.com [internafkua@gmail.com Telp: genetik dan lingkungan.1,2
(0751) 37771]
Lupus eritematosus sistemik memiliki
karakteristik adanya produksi autoantibodi yang
PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) bereaksi dengan antigen diri (self antigen) yang
merupakan penyakit autoimun yang kompleks ditandai menimbulkan deposit kompleks imun dan inflamasi
oleh adanya autoantibodi terhadap sel yang melibatkan sehingga terjadi kerusakan organ. Penyakit ini
banyak sistem organ dalam tubuh. Pemicu timbulnya merupakan penyakit sistemik sehingga menimbulkan
manifestasi klinis LES belum diketahui secara pasti, kelainan klinis dan laboratorium yang sangat
bervariasi.3,4

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 2

Lupus eritematosus sistemik sering terjadi aktivitas penyakit berat (skor 11-19), dan aktivitas
pada perempuan dengan rasio perempuan penyakit sangat berat (skor >20). SLEDAI juga dapat
dibandingkan dengan laki-laki 15:1 hingga 22:1, digunakan untuk menentukan luaran penyakit yaitu
terdapat pada wanita usia reproduksi dengan angka kekambuhan (peningkatan skor >3), perbaikan
kematian yang cukup tinggi. Penyakit ini dapat ditemui (penurunan skor >3), persisten aktif (perubahan skor 1-
di semua usia, paling sering ditemui pada usia 21-30 3), dan remisi (skor 0). Sementara MEX-SLEDAI lebih
tahun.1,2 Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di mudah diterapkan pada layanan kesehatan yang tidak
Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Setiap memiliki fasilitas laboratorium canggih.
tahun sekitar 16 ribu perkiraan kasus baru LES. Pengelompokan aktivitas penyakit menjadi remisi (skor
Sebagian besar adalah perempuan umur produktif dan 0-1), ringan (skor 2-5), sedang (6-9), berat (10- 13), dan
setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita sangat berat (≥14). Pengelolaan LES dilakukan dengan
baru. berpedoman pada derajat aktivitas penyakit
Di Indonesia, jumlah penderita LES secara berdasarkan SLEDAI atau MEX-SLEDAI.1,2,6
tepat belum diketahui. Data Sistem Informasi Rumah Penatalaksanaan yang diberikan berupa
Sakit (SIRS), pada tahun 2016 terdapat 858 rumah edukasi, program rehabilitasi, dan terapi
sakit yang melaporkan datanya, diketahui terdapat medikamentosa. Pemberian medikamentosa yang
2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis LES, dengan diberikan berupa pemberian terapi kortikosteroid
550 pasien diantaranya meninggal dunia. Lupus merupakan pengobatan lini pertama. Cara
eritematosus sistemik pada pasien rawat inap rumah penggunaan, dosis, dan efek samping pemberian
sakit meningkat sejak tahun 2014-2016. Jumlah kasus kortikosteroid perlu diperhatikan dan dijelaskan kepada
LES tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat sejak pasien. Terapi pendamping dapat digunakan untuk
tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus.2,6 memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid,
Kriteria diagnosis untuk SLE oleh ACR (The mengontrol penyakit dasar, dan mengurangi efek
American College), yaitu dijumpai 4 dari 11 kriteria, samping kortikosteroid.2
yaitu ruam malar, ruam discoid, fotosintesis, ulkus Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)
mulut, artritis, serositis, gangguan renal, gangguan didefinisikan menurut konsensus The American College
neurologi, gangguan hematologi, gangguan imunologi, of Chest Physicians (ACCP) / Society of Critical Care
ANA (antibody antinuclear) positif. Bila dijumpai 4 atau Medicine (SCCM) tahun 1992 sebagai adanya fungsi
lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas organ yang berubah (melibatkan lebih 2 sistem organ)
85% dan spesifisitas 95%. Selain kriteria ACR, SLICC pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis
2012 juga digunakan dalam menegakkan diagnosis, tidak dapat dipertahankan lagi tanpa intervensi. MODS
terdiri dari 17 kriteria. Dikatakan SLE jika memenuhi 4 mengacu pada penyakit kritis yang ditandai dengan
dari 17 kriteria dengan minimal 1 kriteria klinis dan 1 gangguan fisiologis yang reversible kelainan dengan
kriteria imunologi. Kriteria SLICC 2012 memiliki disfungsi dua atau lebih banyak organ yang terjadi
sensitivitas lebih tinggi (97% : 83%) dan spesifisitas secara bersamaan.12,13
lebih rendah (84% : 96%) dibandingkan dengan ACR Mortalitas pada pasien dengan MODS sangat
1,2,4,6
1997. tinggi. Pengobatan dengan Teknik yang baik,
Penilaian aktivitas penyakit LES diperlukan kecanggihan alat bantu di ICU disebutkan juga tidak
untuk menentukan terapi bagi pasien. Instrumen yang mampu sepenuhnya membuat pasien survive. Angka
digunakan adalah Systemic Lupus Erythematosus kematian MODS lebih dari 60%. Mortalitas tergantung
Disease Activity Index (SLEDAI) dan Mexican Systemic jumlah organ dan lamanya organ tersebut mengalami
Lupus Erythematosus Disease Activity Index (MEX- kegagalan fungsi. Dalam laporan Eiseman et al (1977),
SLEDAI). Skor SLEDAI dikelompokkan menjadi tanpa laporan angka mortalitas pasien post pembedahan
aktivitas penyakit (skor 0), aktivitas penyakit ringan dengan MODS mencapai 70%. Sedangkan untuk
(skor 1-5), aktivitas penyakit sedang (skor 6-10), pasien MODS dengan sepsis, dalam beberapa klinikal

2
http://jurnal.fk.unand.ac.id 3

trials menyebutkan memiliki angka mortalitas 40 – ( high risk of VTE). Pada penilaian aktivitas penyakit
75%.10,12 LES MEX-SLEDAI didapatkan skor 20, dengan kesan
SLE derajat berat.
KASUS Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah lengkap
Telah dirawat seorang pasien laki-laki 40 dengan hasil peningkatan retikulosit dan penurunan
tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil albumin. Pasien dilakukan skoring SOFA dengan hasil
Padang mulai tanggal 7 November 2022 pukul 17.00 11 (kesan: sepsis dengan mortality 95.2%). Pasien
WIB dengan keluhan utama penurunan kesadaran dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks dengan kesan
sejak 2 minggu yang lalu. pneumonia kiri, bronkopneumonia, efusi pleura kiri dan
Pada riwayat penyakit sekarang didapatkan pemeriksaan brain ct-scan dengan kesan infark
Penurunan kesadaran sejak 2 minggu yang lalu. serebri lama, atrofi serebri. Pasien dilakukan skoring
Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan. Pada pneumonia berdasarkan PSI (Pneumonia Severity
pasien ditemukan sariawan berulang sejak 1 tahun Index) dengan hasil 190 (kelas risiko V dengan risiko
yang lalu, rambut mudah rontok sejak 6 bulan yang lalu, mortalitas berat).
penurunan nafsu makan sejak 2 bulan yang lalu, Pasien didiagnosis dengan penurunan
penurunan berat badan sekitar 8 kg dalam 2 bulan ini, kesadaran ec neuropsikiatrik SLE, syok sepsis ec
sembab pada kedua tungkai sejak 1 bulan yang lalu, Hospital Acquired Pneumonia, Hospital Acquired
demam sejak 1 minggu yang lalu, sesak napas sejak 1 Pneumonia dengan hipoksia, hematemesis melena ec
minggu yang lalu, batuk sejak 1 minggu yang lalu, stress ulcer, AKI stage II ec renal ec nefritis lupus,
tampak pucat sejak 1 minggu yang lalu, Kejang hiponatremia euvolemik hiperosmolar ec nefritis lupus,
kelonjotan seluruh tubuh 1 minggu yang lalu, buang air Systemic Lupus Erythematosus derajat berat dengan
kecil frekuensi dan jumlah berkurang sejak 1 minggu nefritis lupus, anemia sedang normositik normokrom ec
yang lalu, tampak cairan kehitaman pada selang makan perdarahan akut, efusi pleura kiri ec pleuritis
sejak 2 hari yang lalu, buang air besar berwarna hitam tuberkulosis, infeksi saluran kemih komplikata, high risk
sejak 2 hari yang lalu. Pasien sudah dikenal menderita VTE dengan perdarahan, sequele stroke infark, suspek
lupus sejak 5 tahun yang lalu, dan terdapat riwayat insufisiensi adrenal.
stroke 4 bulan yang lalu dan pasien butuh bantuan Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur darah
untuk berjalan setelahnya. 2 sisi, kultur sputum dan kultur urin. Hasil kultur sputum
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan ditemukan kuman patogen Pseudomonas aeruginosa
umum sakit berat, kesadaran soporous, tekanan darah dan kultur urin ditemukan koloni kuman Escherichia
70/40 mmHg dengan frekuensi nadi 115x/menit regular, coli, sedangkan kultur darah no growth.
nadi halus dan tidak kuat angkat, frekuensi napas Pasien di terapi dengan Istirahat/puasa 8 jam,
28x/menit, suhu 38 oC, saturasi oksigen 90% free air. NGT alir, diet MC 4x300 cc (1900 kkal karbohidrat 1200
Pada pemeriksaan paru didapatkan suara napas kkal, lemak 460 kkal, protein 240 kkal) via NGT, IVFD
bronkovesikular dan ronkhi basah halus nyaring di Nacl 0,9% 30 cc/KgBB/3 jam dilanjutkan IVFD
kedua lapangan paru wheezing tidak ada. pemeriksaan NaCl0,9% 1 kolf/6 jam, Oksigen 15 Lpm via NRM, Drip
anggota gerak CRT> 2 detik. norefpinefrin 4 mg dalam nacl 0,9% 46 cc (via syringe
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada pump) dosis 0,01 mcg/kgBB/menit – 1 mcg/kgBB/menit
pasien ini. Pemeriksaan EKG didapatkan sinus titrasi naik, Bolus lansoprazole 60 mg (IV) dilanjutkan
takikardia. Pada pemeriksaan haematologi rutin drip lansoprazole 0,6 mg/jam, Inj. Cefepime 3x2 gr iv,
didapatkan kesan anemia sedang normositik Inj. Amikasin 1x1,2 gr iv, Inj. Vitamin K 3 x 10 mg iv, Inj.
normokrom, leukositosis, neutrofilia shift to the right, Asam Traneksamat 3 x 500 mg iv, Inf paracetamol 1000
limfopenia, peningkatan LED. Pemeriksaan urinalisa mg iv (extra), Paracetamol 3x500 mg po, Asetilsistein
didapatkan leukosituria, proteinuria dan ditemukan 3x200 mg po, Sucralfate syr 3 x 10 cc po, Transfusi
bakteri. Pasien dilakukan skoring Padua dengan hasil 5 PRC 2 unit per hari, balans cairan positif.

3
http://jurnal.fk.unand.ac.id 4

Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan Dilaporkan kasus seorang laki-laki usia 40


AGD didapatkan kesan alkalosis respiratorik, tahun dengan diagnosis penurunan kesadaran ec
hyponatremia, ureum dan kreatinin meningkat, dan neuropsikiatrik SLE, syok sepsis ec Hospital Acquired
osmolaritas plasma kesan hyperosmolar. Kemudian Pneumonia, Hospital Acquired Pneumonia dengan
ditambahkan terapi IVFD NaCl 3% 500 c/12 jam IV, hipoksia, hematemesis melena ec stress ulcer,
Inj.Metilprednisolone 2x250 mg (pulse dose), osteocal Systemic Lupus Erythematosus derajat berat dengan
3x1000 mg, asam folat 1x5 mg, natrium bikarbonat nefritis lupus, anemia sedang normositik normokrom ec
3x500 mg PO. perdarahan akut, efusi pleura kiri ec pleuritis
Pasien kemudian mengalami perburukan saat tuberkulosis, infeksi saluran kemih komplikata, High risk
rawatan dengan mengalami penurunan tekanan darah VTE dengan perdarahan, dan sequele stroke infark.
dan sesak nafas. Pasien dilakukan pemeriksaan Diagnosis Penurunan kesadaran ec
ulangan AGD didapatkan asidosis metabolik, gagal neuropsikiatrik SLE ditegakkan berdasarkan eksklusi
nafas tipe I, hiponatremi, hipokalsemi. Pasien diterapi dari berbagai kemungkinan penyebab penurunan
dengan terapi tambahan oksigenasi dengan O2 HFNC kesadaran dari pasien. Pada pasien terdapat
flow 60:FiO2 : 90% dan NRM 15 lpm dan diberikan kemungkinan penurunan kesadaran ec sepsis
terapi tambahan Drip natrium bicarbonate 150 meq associated encephalopathy, hipoksia, stroke
dalam 300 cc nacl 0,9% habis dalam 8 jam, Drip 2 gr hemoragik. Dengan dilakukan penapisan melalui
kalsium glukonas dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
1 jam. Setelah itu pasien tetap perburukan dilakukan laboratorium yaitu tidak adanya riwayat diabetes
pemeriksaan AGD ulang didapatkan kesan Gagal nafas mellitus, gangguan faal hepar maupun penyakit hati,
tipe I, peningkatan laktat, anemia sedang, ureum dan riwayat penyakit metabolik lain, kadar gula darah
kreatinin meningkat dan pasien tetap desaturasi. Dari normal serta kadar natrium termasuk derajat ringan
ROX index didapatkan skor 3,07 dengan kesan high maka beberapa penyebab penurunan kesadaran
risk HFNC failure lalu diberikan O2 HFNC, flow 60: FiO2 disebabkan gangguan metabolik dapat disingkirkan.
: 100% dan NRM 15 lpm. Pada pasien diberikan terapi Penurunan kesadaran ec stroke hemoragik dapat
tambahan drip farpressin (syringe pump) kec 0,01 – disingkirkan dengan adanya pemeriksaan radiologi
0,04 unit/menit titrasi naik, drip dobutamin (syringe yaitu CT Scan yaitu terdapat infark serebri lama.
pump) kec 5-15 µg/KgBB/menit, drip natrium Sesuai dengan literatur, tidak ada tes
bicarbonate150 meq dalam 300 cc nacl 0,9% habis konfirmasi khusus mendiagnosis neuropsikiatrik SLE
dalam 8 jam, drip 1 gr kalsium glukonas dalam 500cc yang merupakan diagnosis eksklusi. Pasien sudah
NaCl 0,9% habis dalam 8 jam selama 3 hari. Pada dikenal dengan neuropsikiatrik SLE sejak 1 bulan yang
pasien dianjurkan untuk pindah ke rawatan intensive lalu. Ditemukan dari anamnesis pasien sudah dikenal
care unit (ICU) namun belum ada ketersedian tempat. dengan SLE sejak 5 tahun yang lalu dan ada gejala
Pada tanggal 09 November 2022 pukul 23.00 pasien seperti penurunan kesadaran, kejang dan juga stroke
tidak ada napas spontan, tekanan darah tidak terukur, yang merupakan komplikasi dari neuropsikiatrik SLE.
nati tidak teraba, mata : refleks pupil tidak ada, pupil Pada pasien dikenal SLE sudah sejak 5 tahun yang
midriasis maksimal, refleks kornea -/-, leher : denyut lalu, dimana meningkatkan resiko terjadinya stroke
arteri karotis tidak teraba, jantung : tidak terdapat terutama di usia muda. Stroke dan TIA terjadi 0,5-15%
denyut jantung, paru : napas spontan tidak ada, pada pasien dengan SLE. Terjadinya stroke dapat
ekstremitas: akral dingin, CRT > 2 detik, Ekg: Asistol. terjadi karena beberapa hal, diantaranya Endokarditis
Pasien dinyatakan meninggal dunia dihadapan Libman-Sacks, inflammatory-mediated atherosclerosis,
keluarga dan perawat dengan COD MODS. hiperkoagulasi sekunder pada antibody anticardiolipin
dan vaskulitis.15

PEMBAHASAN Manifestasi klinis SLE pada Central


Nervous System, dari disfungsi kognitif ringan, dimana

4
http://jurnal.fk.unand.ac.id 5

terjadi sebanyak 50% pada pasien SLE, penurunan diberikan antibiotik secara empiris dengan pemberian
kesadaran akut, psikosis, kejang, dan stroke. cefepime dan amikasin serta pemberian vasopressor
Terbentuknya thrombus pada Central Nervous System segera pada awal syok dan ditunjang dengan
lebih rentan daripada jaringan yang lainnya. Beberapa pemberian cairan adekuat dalam mengatasi syok
efektor imun mendasari terjadinya dalam patogenesis sepsis. Sesuai guideline Sepsis Survival Campaign
terjadinya stroke pada pasien NPSLE, termasuk brain- 2018 bahwa pemberian vasopressor tidak lagi harus
reactive autoantibodies, sitokin dan cell-mediated menunggu pemberian cairan secara adekuat dalam jam
inflammation. Tambahan seperti elemen intrinsik otak – jam kritis awal, pemberian vasopressor dapat
seperti mikroglia, blood-brain-barrier, penting sebagai langsung diberikan pada pasien dengan syok sepsis
fasilitator terjadinya NPSLE. Bagaimanapun, tidak ada awal fase kritis dari syok sepsis.20 Pada pasien ini
patogenesis yang jelas mengenai terjadinya NPSLE, diberikan terapi suplementasi Oksigen dan dengan
bisa karena penyakit ini memiliki kontributor multipel kadar SpO2 yang baik, tidak kunjung mengalami
dan mungkin beberapa etiologi yang berbeda.16 perbaikan, maka dipikirkan adanya HAP dengan
Diagnosis Syok Sepsis ec Hospital hipoksia.
Acquired Pneumonia ditegakkan berdasarkan klinis Diagnosis Lupus Eritematosus
pasien telah memenuhi skoring SOFA. Adanya SIRS Sistemik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
disertai bukti infeksi, total skor qSOFA pada awal pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
masuk memenuhi 2 dari 3 kriteria yaitu laju pernafasan anamnesis didapatkan sariawan berulang sejak 1 tahun
lebih dari 22 kali per menit dan perubahan status mental yang lalu. Sariawan tidak disertai nyeri. Rambut mudah
/ kesadaran, yang kemudian berubah menjadi rontok sejak 6 bulan yang lalu, demam sejak 1 minggu
memenuhi 3 dari 3 kriteria dimana pasien terjadi yang lalu, hilang timbul, tidak tinggi, tidak disertai
penurunan tekanan sistolik dibawah 100 mmHg. Selain menggigil dan berkeringat banyak, sembab pada kedua
QSOFA dilakukan perhitungan dan evaluasi total skor tungkai sejak 1 bulan yang lalu, penemuan ruam
SOFA 11 dengan risiko mortalitas > 95% telah kemerahan yang tidak nyeri dan tidak gatal pada wajah,
menunjukkan diagnosis sepsis berat dapat ditegakkan ulkus mulut, gangguan ginjal dan gejala serositis. Pada
pada pasien. Adanya syok yang tidak dipengaruhi oleh pemeriksaan penunjang didapatkan bukti serositis
status volume pasien disertai kondisi sepsis berat telah berupa efusi pleura, pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya syok sepsis pada pasien. menunjukkan gambaran khas nefritis lupus.
Saat ini pada pasien penyebab Menurut American College of
infeksi masih dicurigai Hospital Acquired Pneumonia, Rheumatology (ACR) tahun 1997, diagnosis lupus
hal ini dapat di tunjukkan dari faktor risiko infeksi eritematosus sistemik bisa ditegakkan apabila dijumpai
nosokomial pada pasien seperti riwayat perawatan di minimal 4 dari 11 kriteria, yaitu ruam malar, ruam,
rumah sakit dengan gejala infeksi, kondisi pasien diskoid, fotosensitivitas, artritis, serositis, pleuritis,
termasuk imunokompromais memperberat risiko infeksi perikarditis, gangguan renal, gangguan neurologi,
paru, penemuan gejala klinis demam, sesak nafas dan gangguan hematologi, dan gangguan imunologik. Pada
batuk produktif bersifat akut, pemeriksaan fisik pasien ini terdapat 4 dari 11 kriteria yang terpenuhi yaitu
ditemukan adanya bronkovesikular, ronkhi basah halus ruam malar, serositis, ulkus mulut, dan gangguan renal.
serta efusi pleura kiri yang memperkuat dugaan Namun gambaran serositis yaitu efusi pleura kiri
terjadinya pneumonia pada pasien. Pemeriksaan masih dicurigai adanya kemungkinan penyebab lain,
radiologis menunjukkan pneumonia, pemeriksaan yaitu efusi pleura ec pleuritis TB. Berdasarkan literatur,
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan efusi pleura pada SLE cenderung bersifat bilateral dan
hasil kultur. cairan pleura bersifat eksudat. Adanya penemuan efusi
Pada prinsipnya tatalaksana syok pleura bersifat unilateral masih dapat disebabkan oleh
sepsis dan Hospital Acquired Pneumonia telah sesuai gagal ginjal, emboli paru, infeksi seperti TB/
dengan guideline yang ada. Pada pasien telah pleuropneumonia dan gagal jantung. Pada pasien ini

5
http://jurnal.fk.unand.ac.id 6

seharusnya dilakukan torakosintesis dan dilakukan 2.570 mg/24 jam melebihi nilai rujukan. Pada pasien
pemeriksaan analisa cairan pleura dan ADA pleura. ditemukan proteinuria, hematuria, hipertensi, sindroma
Oleh karena itu gambaran klinis serositis pada pasien nefrotik dan gangguan fungsi ginjal berupa peningkatan
ini masih ambigu sehingga meskipun memenuhi 4 dari ureum kreatinin dan EGFR hanya 5 ml/menit/1,73 m2.
11 kriteria ACR 1997, masih diperlukan bukti Berdasarkan klinis yang ditemukan pada pasien maka
imunologis yaitu pemeriksaan ANA. Menurut pasien dapat di curigai mengalami nefritis lupus kelas
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, bila dijumpai 4 III-IV. Sesuai literatur nefritis lupus kelas III-IV
atau lebih kriteria tersebut, diagnosis SLE memiliki cenderung ditemukan adanya proteinuria lebih dari 2
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.1,4,6 Kriteria klinis gram per 24 jam, hematuria yang menetap secara
dan imunologis yang ditetapkan oleh Systemic Lupus mikroskopik, adanya hipertensi, sindroma nefrotik serta
International Collaborating Clinics (SLICC) untuk peningkatan kreatinin yang lebih dari 25%. Namun
mendiagnosis Sistemik Lupus Eritematosus. Lupus diagnosis nefritis lupus ini belum bisa disingkirkan
eritematosus sistemik ditegakkan bila didapatkan 4 dari maupun ditegakkan secara pasti karena Gold
17 kriteria tersebut. Penilaian kriteria yang akan Standard untuk pemeriksaan nefritis lupus adalah
ditegakkan bersifat kumulatif yaitu tidak harus terjadi biopsi ginjal, tetapi belum dilakukan pada pasien ini
secara bersamaan. Pada pasien ini terdapat kriteria disebabkan keadaan umum yang mengancam nyawa
SLICC yang terpenuhi, yaitu lupus kutaneus akut, sehingga tidak memadai untuk pemeriksaan
ulkus oral, serositis, gangguan ginjal, dan ANA positif. penunjang. Prinsip tatalaksana nefritis lupus adalah
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia, bila menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi
dijumpai 4 atau lebih kriteria tersebut, diagnosis LES ginjal dan mempertahankan fungsi ginjal agar tidak
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. semakin menurun. Pemberian terapi pada pasien
Sistem skor yang paling sering nefritis lupus berdasarkan derajat keparahannya, pada
digunakan untuk menilai aktivitas penyakit SLE adalah pasien ini berdasarkan panduan dari perhimpunan
SLEDAI. MEX-SLEDAI merupakan modifikasi dari Reumatologi Indonesia telah dapat berada pada kriteria
SLEDAI yang dikembangkan untuk mengurangi biaya klinis kelas 2 yaitu pemberian terapi metilprednisolone
uji laboratorium yang termasuk dalam SLEDAI tanpa pulse dose.1,8
mengurangi kualitas informasi yang didapatkan, Diagnosis hematemesis melana
sehingga lebih mudah diterapkan pada pusat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
laboratorium canggih dan lebih murah 30% daripada didapatkan BAB hitam sejak 2 hari yang lalu, dimana
SLEDAI. Pengelompokan aktivitas penyakit menjadi kondisi pasien 2 hari yang lalu sudah dalam kondisi
remisi (skor 0-1), ringan (skor 2-5), sedang (6-9), berat berat yang dapat disebut melena. Penemuan cairan
(10-13), dan sangat berat (≥14). Pada pasien ini berwarna hitam pada selang NGT menunjukkan
didapatkan skor MEX SLEDAI sebesar 20 poin, yang adanya suatu hematemesis. Pada pasien dengan
menunjukkan aktivitas penyakit derajat sagat berat kondisi berat dan kritis yang disertai dengan suatu
yang bersifat life or organ threatening.1,4,6 perdarahan saluran cerna baik dalam bentuk
Diagnosis Nefritis lupus ditegakkan hematemesis maupun melena dapat di curigai telah
berdasarkan panduan perhimpunan Reumatologi terjadi stress ulcer. Stress ulcer adalah gastritis erosif
Indonesia, Nefritis lupus ditandai dengan adanya akut yang merupakan komplikasi umum penyakit kritis
hematuria, hipertensi, proteinuria, sindroma nefrotik dan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna
dan gangguan fungsi ginjal. Nefritis lupus telah dapat bagian atas. Penyebab yang mendasari stress ulcer
ditegakkan dengan adanya proteinuria > 500 mg/24 jam adalah hipoperfusi mukosa di saluran cerna bagian
dengan atau tanpa adanya hematuria dengan atau atas. Hipoperfusi lambung menyebabkan
tanpa penurunan fungsi ginjal. Pada pasien ini ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan
ditemukan proteinuria (+2) dengan protein urin total oksigen yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa.

6
http://jurnal.fk.unand.ac.id 7

Stress ulcer terjadi ketika terganggunya homeostasis MAP belum tercapai dapat dikombinasikan dengan
mukosa lambung seperti mekanisme pertahanan sel vasopressin. Jika 2 vasoactive agents sudah mencapai
yang dimediasi oleh prostaglandin dengan mencegah dosis maksimal dan pasien belum mencapai target
pembentukan ulkus. Serta, perlindungan lambung yang terapi maka dapat diberikan tambahan dopamin atau
tidak bisa memblokir efek merugikan dari ion hidrogen dobutamin. Dopamin tidak bisa diberikan pada pasien
dan radikal oksigen yang lebih lanjut dapat ini karena takikardia, sehingga dipilih dobutamine
menyebabkan stress ulcer. Pada kasus pasien ini dapat dalam terapi pada pasien ini. Pada pasien yang
dicurigai adanya infeksi pneumonia dan sepsis pada mendapatkan terapi norepinefrin dengan dosis > 0,25
pasien telah memperberat stress tubuh yang mcg/kgbb/menit maka diberikan kortikosteroid iv
menyebabkan terjadinya hematemesis melena. dengan pilihan hidrokortison 200mg/hari hal ini sudah
Perburukan keadaan pasien mulai sesuai diberikan pada pasien ini.2,26
diamati semakin meningkat pada rawatan hari pertama. Pada 9 November 2022 pukul 23.00
Pasien semakin memburuk pada hari rawatan hari pasien meninggal dunia dengan COD MODS. Proses
ketiga dengan pasien terpasang HFNC flow 60 dan perburukan yang cepat pada pasien ini dikaitkan
FiO2 100 + NRM 15 lpm. Pasien juga sudah diterapi dengan buruknya kondisi awal masuk dan diperberat
dengan pemberian norepinefrin dosis maksimal, dengan komorbid pada pasien ini. Penegakan
vasopressor dosis maksimal, dobutamin dosis penyebab kematian MODS karena memenuhi
maksimal namun respon pasien masih belum bagus. keterlibatan lebih dari 2 organ. Pada pasien dimana
Pemilihan terapi HFNC pada pasien syok sepsis terdapat penurunan tekanan darah dan terjadinya
dengan gagal napas sesuai dengan prinsip tatalaksana hipoksia. Dari hasil agd didapatkan penurunan kadar
pada surviving sepsis campaign 2021. HFNC terbukti PaO2 < 60 mmhg yang menandakan terjadinya gagal
lebih efektif dibandingkan terapi oksigen seperti non- nafas dan menandakan kegagalan pada paru.
rebreathing bag reservoir face mask dan non invasive Penurunan kesadaran dengan GCS < 8 pada pasien ini
ventilation (NIV). HFNC juga menurunkan resiko memandakan kegagalan pada sistem saraf pusat.
intubasi pada pasien dengan gagal napas ringan- Kegagalan sirkulasi pada pasien ini sehingga di berikan
sedang. Rochwerg et al, menemukan bahwa tingkat norepinefrin, vasopressor dan dobutamine
intubasi pada pasien dengan HFNC adalah 38% lebih menandakan kegagalan dalam sistem kardiovaskular.
baik dibandingan dengan NIV yaitu 50%. HFNC juga Adanya keterlibatan lebih dari 2 organ, pasien ini
terbukti menurunkan laju respirasi pada pasien gagal disimpulkan penyebab kematian dengan multiple organ
napas.2,22 Pada pasien yang menggunakan HFNC dysfunction syndrome.10,12
dilakukan evaluasi untuk keberhasilan penggunaan
HFNC dengan menggunakan ratio respiration rate- KESIMPULAN
oxygen (ROX). Pada pasien setelah 12 jam terapi Pada pasien SLE dengan derajat berat,
didapatkan 3,07 (<3,85) sehingga pasien beresiko sangat rentan terjadinya infeksi pada organ, sehingga
tinggi gagal HFNC. Pasien kemudian disarankan terjadinya sepsis. Sepsis adalah disfungsi organ yang
dilakukan intubasi namun belum tersedianya tempat di mengancam jiwa yang disebabkan oleh
26
ICU menjadi kendala untuk pasien ini. Pemilihan ketidakmampuan respon host terhadap infeksi. Sepsis
HFNC dengan penambahan NRM memang belum ada berat akan berlanjut menjadi syok sepsis yang ditandai
diteliti lebih lanjut. Pemilihan terapi ini didasarkan atas dengan penurunan tekanan darah disertai kegagalan
keputusan klinis pada pasien dengan kondisi desaturasi sirkulasi. Syok sepsis akan berlanjut menjadi multiple
dan menunggu untuk dapat dilakukan intubasi dan organ dysfunction syndrome (MODS) dengan ditandai
pemberian oksigen dengan ventilator mekanis. disfungsi dua atau lebih organ yang terjadi secara
Pemilihan terapi vasoactive agents pada pasien ini juga bersamaan. Mortalitas pada pasien MODS sangat
sudah sesuai dengan surviving sepsis campaign 2021, tinggi, sehingga dibutuhkan penanganan pasien
norepinefrin merupakan pilihan utama, dan jika target dengan cepat dan intensif.

7
http://jurnal.fk.unand.ac.id 8

14. Narum S, Westergren T, Klemp M. Corticosteroids


and risk of gastrointestinal bleeding: a systematic
DAFTAR PUSTAKA review and meta-analysis. BMJ open. 2014 May
1. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK. Rekomendasi 1;4(5):e004587.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk
15. Hernández-Díaz S, Rodríguez LA. Steroids and risk
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
of upper gastrointestinal complications. American
Sistemik. 2011;1-41
journal of epidemiology. 2001 Jun 1;153(11):1089-
2. Rekvig OP. Systemic Lupus Erythematosus: 93.
Definitions, Contexts, Conflicts, Enigmas. Front
Immunol. 2018;9:387. Published 2018 Mar 1. 16. Cochrane P, Masri W, Silver J. The effects of
doi:10.3389/fimmu.2018.00387 steroids on the incidence of gastrointestinal
haemorrhage after spinal cord injury: a case–
3. Fanouriakis A, Kostopoulou M, Alunno A, Aringer M, controlled study. Spinal cord. 2014 Jun;52(6):501-
Bajema I, Boletis JN, Cervera R, DoriaA, Gordon C,
17. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM,
Govoni M, Houssiau F. 2019 update of the EULAR
Antonelli M, Ferrer R, Kumar A, Sevransky JE,
recommendations for the management of systemic
Sprung CL, Nunnally ME, Rochwerg B. Surviving
lupus erythematosus. Annals of the rheumatic
sepsis campaign: international guidelines for
diseases. 2019 Jun 1;78(6):736-45.
management of sepsis and septic shock: 2016.
4. Putterman, Chaim & Caricchio, Roberto & Intensive care medicine. 2017 Mar;43(3):304-77.
Davidson, Anne & Perlman, Harris. (2012).Systemic
18. Du Rand I, Maskell N. Introduction and methods:
Lupus Erythematosus. Clinical & developmental
British Thoracic Society pleural disease guideline
immunology. 2012. 437282. 10.1155/2012/437282.
2010. Thorax. 2010 Aug 1;65(Suppl 2):ii1-3.
5. Tarigan NS. Pengelolaan Eritomatous Sistemik
19. Kriegel MA, Van Beek C, Mostaghimi A, Kyttaris VC.
Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30
Sterile empyematous pleural effusion in a patient
Tahun. Jurnal Medula. 2015 Dec 1;4(2):125-32.
with systemic lupus erythematosus: a diagnostic
6. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic challenge. Lupus. 2009 Jun;18(7):581-5.
lupus erythematosus: pathogenesis and clinical
20. Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis,
features. EULAR textbook on rheumatic diseases.
treatment, and management. Open access
2012 Apr 21;5:476-505.
emergency medicine: OAEM. 2012;4:31.
7. Weening JJ, D'agati VD, Schwartz MM, Seshan SV,
21. Yao X, Abd Hamid M, Sundaralingam A, Evans A,
Alpers CE, Appel GB, Balow JE, Bruijn JA, Cook T,
Karthikappallil R, Dong T, Rahman NM,Kanellakis
Ferrario F, Fogo AB. The classification of
NI. Clinical perspective and practices on pleural
glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus
effusions in chronic systemic inflammatory
revisited. Kidney international. 2004 Feb
diseases. Breathe. 2020 Dec 1;16(4).
1;65(2):521-30.
22. Plummer MP, Blaser AR, Deane AM. Stress
8. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on lupus
ulceration: prevalence, pathology and association
nephritis. Clinical Journal of the American Society of
with adverse outcomes. Critical care. 2014
Nephrology. 2017 May 8;12(5):825-35.
Apr;18(2):1-7.
9. Asim M, Amin F, El-Menyar A. Multiple organ
23. Mendes JJ, Silva MJ, Miguel LS, Gonçalves MA,
dysfunction syndrome: Contemporary insightson the
Oliveira MJ, Oliveira CD, Gouveia J. Sociedade
clinicopathological spectrum. Qatar Medical
Portuguesa de Cuidados Intensivos guidelines for
Journal. 2020 Oct 13;2020(2):22.
stress ulcer prophylaxis in the intensive care unit.
10. Mizock BA. The multiple organ dysfunction Revista Brasileira de terapia intensiva. 2019
syndrome. Disease-a-Month. 2009 Aug Mar;31(1):5-14.
1;55(8):476-526.
24. Hedges SJ, Dehoney SB, Hooper JS, Amanzadeh
11. Herwanto V, Amin Z. Multiple Organ Disfunction J, Busti AJ. Evidence-based treatment
Syndrome: Patophysiology and Diagnosis. Journal recommendations for uremic bleeding. Nature
of the Indonesian Medical Association. 2011 Aug Clinical Practice Nephrology. 2007 Mar;3(3):138-53.
16;59(11). 25. Sahay M, Sahay R. Hyponatremia: A practical
12. Olano CG, Akram SM, Bhatt H. Uremic approach. Indian journal of endocrinology and
Encephalopathy. [Updated 2021 Mar 31]. In: metabolism. 2014 Nov;18(6):760.
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): 26. Schwartz N, Stock AD, Putterman C.
StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available Neuropsychiatric lupus : new mechanistic insights
from:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK5643 and future treatment directions. Nat Rev Rheumatol.
27/
27. Chen X. Intravenous thrombolysis in SLE-related
13. Bandari J, Fuller TW, Turner RM, D’Agostino LA. stroke : a case report and literature review. 2017;1–
Renal biopsy for medical renal disease: indications 5
and contraindications. Can J Urol. 2016 Feb
1;23(1):8121-6.

Anda mungkin juga menyukai