Disusun Oleh:
RENI PURWANTI
1920206040
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Laporan
Pendahuluan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya yang telah banyak membantu dalam penulisan makalah ini.
Saya berharap makalah ini dapat memotivasi para mahasiswa/i lain dalam mata
kuliah ini yaitu Keperawatan Medikal Bedah. Saya menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan
masukan-masukan yang bersifat membangun berupa kritikan dan saran yang
konstruktif demi memperbaiki dan penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Reni Purwanti
LAPORAN PENDAHULUAN
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
A. Definisi
Lupus adalah penyakit dimana sistem imun yang normalnya memerangi
infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut
autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura
K. DeLong, MD 2012). Para penderita lupus sering disebut dengan odapus
(orang dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah derastis sejak sakit
lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola penyakit ini (De
Barros,et.al, 2012).
Antibodi pada Deoxyribose-Nucleid Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid
(RNA) menyebabkan respon peradangan autoimun,mengakibatkan bengkak
dan sakit. Ini paling banyak terjadi pada wanita muda, dan mempunyai faktor
genetik kuat (Digivlio dkk, 2014). Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
merupakan penyakit radang atau imflamasi multisystem yang disebabkan
oleh banyak faktor dan di karakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap Double Stranded
Deoxyribose-Nucleid Acid (dsDNA), berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah fisfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan
melalui mekanisme pengaktifan komplemen ( Hasdianah dkk 2014).
B. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan Lupus yang diindikasi obat :
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakra dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiectasia. Lesi ini timbul
dikulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini
dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan
jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara
menetap (Hasdianah dkk, 2014).
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang
ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen
inti sel, dan menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis pada organ
(Cleanthous, Tyagi, Isenberg, & Newman, 2012).
3. Lupus yang diindikasi obat
Lupus disebakan oleh indikasi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen Human Leukocyte Antigen D Related (HLA
DR-4) menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi ditubuh protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibody antikulear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Hasdianah dkk, 2014).
C. Etiologi
Penyakit lupus terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan auto antibody yang berlebihan. Gangguan
imunorgulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Sampai saat ini penyebab Lupus belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi Lupus.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
tubuh berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.
Pada Lupus dan penyakit autoimun lainya, sistem pertahanan tubuh ini
berbalik menyerang tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri (Judha & Setiawan,2015).
D. Patofiologi
Pada SLE juga terdapat kelainan pada unsur-unsur sistem imun. Dalam
keadaan normal, makrofag yang berupa Antigen Presenting Cell (APC) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Tetapi pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T mengalami perubahan baik pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel
T akan salah mengenali perintah dari sel T. Faktor lingkungan yang dapat
memicu terjadinya lupus antara lain paparan sinar ultraviolet, agen infeksius
seperti virus dan bakteri, serta obat-obatan yang diminum dalam jangka
waktu tertentu diantaranya prokainamid, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
dan penisilamin. Peningkatan hormon dalam tubuh juga dapat memicu
terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan
risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Jadi, estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun
perempuan mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun
(Alexis et al., 2013; Setiati et al., 2014).
E. Pathway
F. Tanda dan Gejala
Tanda penyakit merupakan manifestasi klinis atau data objektif yang bisa
dilihat langsung dengan mata tanpa ada pemeriksaan diagnostik. Empat
penderita menyatakan bahwa ketika terjadi lupus terdapat tanda bintik-bintik
diwajah, gambaran bintik-bintik tersebut menyerupai kupu-kupu. Satu orang
penderita menambahkan tidak hanya bintik di wajah tetapi juga adanya
bengkak-bengkak seluruh tubuh. Gejala merupakan tanda awal yang hanya
bisa dirasakan oleh penderita suatu penyakit atau hanya bisa dibuktikan
dengan pemeriksaan penunjang. Seperti halnya penyakit lain gejala lupus
hanya bisa dirasakan oleh penderita, gejala lupus yang dinyatakan penderita
dapat bermacam-macam, satu orang menyatakan nyeri sendi, dua orang
menyatakan adanya gangguan pada ginjal dan paru, empat orang menyatakan
adanya kelemahan dan rasa cepat lelah setelah menderita lupus, sehingga
menganggu kegiatan sehari-hari (Judha &Setiawan,2015).
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan
ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan
ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C
tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES
biasanya tidak disertai menggigil.
Gambar 2.1 Butterfly Rash
G. Komplikasi
Menurut Djoerban (2009) spesialis penyakit dalam dari departemen
hematologi dan onkologi medik FKUI, kelainan darah bisa ditemukan pada
85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun
arteri, yang menyebabkan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan
tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan darah, yang
bisa menyebabkan perdarahan yang berarti dan seringkali terjadi anemia
akibat penyakit menahun.
Kerusakan ginjal, ganguan pada sistem syaraf atau otak, gangguan pada
darah, gangguan pada paru-paru, gangguan pada jantung, rentan mengalami
infeksi, avaskular nekrosis atau kematian jaringan tulang.
Gambar 2.2 Komplikasi SLE
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti ds-DNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes
ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun, atau keganasan. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang
akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan.Test Anti ds-DNA positif menunjang diagnosis SLE,
namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011).
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien Penaggung Jawab
Nama : Ny. A Nama : Tn.S
Umur : 37 Tahun Umur : 40 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Suku : Jawa Hubungan dengan Klien: Suami
Alamat : Sleman Alamat : Sleman
Tanggal masuk RS : 18 Maret 2021
Tanggal pengkajian : 19 Maret 2021
2. Alasan masuk rumah sakik
Klien mengeluh sesak napas
3. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mnegeluh sesak napas. Klien mengeluh nyeri dada sebelah kiri saat
bernapas, semakin memburuk bila untuk bergerak dan mereda saat
menahan napas. Klien mengatakan mudah lelah. Klien juga mengataka
sering demam dan sakit kepala. Nyeri sendi berubah-ubah dan merasa
terganggu. Berat badan turun 5 kg, tinggi badan saat ini 160 cm dan berat
badan saat ini 55 kg. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada Tekana
darah 146/98 mmHg, Nadi 88 x/menit, Respirasi 22 x/menit, Suhu 37.5oC.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mnegatakan nyeri merasakan nyeri sendi sejak 6 bulan lalu. Nafsu
makan menurun sejak 6 bulan terakhir.
5. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 146/98 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 37.5oC
Antropometri :
TB : 160 cm
BB : 55 kg
IMT : 21,48 (normal)
Kepala : rambut hitam bersih, tidak ada ketombe
Mata : konjungtiva merah muda, reflek cahaya baik, tidak ikterik
Hidung : tidak ada sekret, tidak ada pernapasan cuping hidung
Mulut : membran mukosa lembab, tidak ada stomatitis.
Telingan : tidak keluar cairan dari telinga, fungsi pendengaran baik
Leher : tidak ada nyeri telan, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Ekstremitas : terdapat ruam pada lengan atas dan tungkai
Kekuatan otot :
5 5
5 5
Pemeriksaan paru :
Inspeksi : Respirasi 22x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : ronkhi +/+
6. Pemeriksaan penunjang
EKG : Kardiomegali
X-Ray : silhouette (bayangan hitam)
Laboratorium :
Trombosit : 88.000/mm3
Leukosit : 3500/mm3
Limfosit : 1000/mm3
INR : 1.04
APTT : 59.4 detik
Pemeriksaan cairan serebrospinal : adanya kompleks imun dan kadar
C4 rendah
Pemeriksaan urin:
Protein : 0,7 gr/24jam
7. Terapi
nama obat dosis keterangan
Triamsinolon asetonid Salep Kategori:
Alergi dan sistem imun
Indikasi:
Mengurangi peradangan dan
gatal yang disebabkan oleh
berbagai kelainan kulit yang
responsif terhadap
kortikosteroid (efek anti
inflamasi, anti alergi, dan anti
pruritis (gatal)).
Perhatian : absorpsi sistemik
kortikosteroid topikal.
Efek samping :
Rasa terbakar, gatal, iritasi,
kulit kering, folikulitis,
hypertricosis, acneiform.kulit
maserasi, atropi kulit.
Glukortikoid 15 mg/hari. Indikasi:
Anti inflamasi,
imunosupresif, anti-poliferatif
dan vasokontriksi.
B. ANALISA DATA
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri
2. Nyeri kronis berhubungan dengan ganguan imun
3. Keletihan berhubungan dengan penyakit
4. Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi
5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
keterangan :
1 = Berat
2 = Cukup berat
3 = Sedang
4 = Ringan
5 = Tidak ada
Resiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Kontrol infeksi 6540
imunosupresi diharapkan risk infection tidak terjadi pada klien dengan 1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
kriteria hasil: 2. Mengukur tanda-tanda vital
Keparahan infeksi 0703 3. Anjurkan tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
Indikator : 4. Anjurkan asupan cairan dengan cukup
Skala ukuran Cukup berat Tidak ada 5. Ajarkan keluarga bagaimana cara menghindari infeksi
Demam 2 5 6. Kolaborasi dengan dokter teraapi tambahan
Peningkatan 2 5 7. Lakukan cucitangan 6 langkah 5 moment
jumlah sel darah
putih
tidak ada tanda 2 5
infeksi
setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24jam
diharapkan:
ANALISA JURNAL