Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN

SLE (SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS)

OLEH:

KELOMPOK IV

1. SETRIANA SONBAI
2. PUSPITA WULANDARI
3. MARIA F. MISSA
4. JULNIANA DILAK
5. ISAK DIMU LULU
6. YULIANA LAY
7. JETRIANA ASBANU

PRODI S-I KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA
KUPANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Laporan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus” dengan
sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mengalami berbagai hal baik suka
maupun duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya makalah ini, maka dengan tulus
kami sampaikan terimakasi kepada pihak-pihak yang turut membantu.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
baik padaa teknik penulisan penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.

Kupang, 13 Juni 2023

Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
2.4 Manifestasi Klinis
2.5 Klasifikasi
2.6 Penatalaksanaan
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.8 Komplikasi
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa Keperawatan
3.3 Intervensi
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

System Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah
lupus merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi
kronik. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat system kekebalan tubuh salah
menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi system
dimana banyak manifestasi klinik yang didapat penderita, sehingga setiap
penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya
tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri.
Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan
lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah
neurologi, anemia, dan trobositopenia.

SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana
perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 10:1. SLE menyerang
perempuan pada usia produksi, puncak insidennya usia antara 15-40. Di
Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000
orang (Yayasan lupus Indonesia).

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan


induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada
perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi
maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-
masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis
penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory) selain itu
terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormone, immunoglobulin
intravena, UV A-1 fototerapi, monoclonal antibody, dan transpalasi sumsum
tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi SLE?

2. Bagaimana etiologi SLE?

3. Bagaimana patofisiologi dari SLE?

4. Apa saja manifestasi klinik dari SLE?

5. Apa klasifikasi dari SLE?

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE?

7. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?

8. Bagaimana komplikasi dari SLE?

9. Bagaimana Asuhan Keperawatan dari SLE?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu sebagai calon perawat yang professional diharapkan


mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, serta mampu
memberikan asuhan keperawatan yang tepat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu mengetahui difinisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi


klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria
dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
(Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu
penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap
organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya.
Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi, ginjal, paru-paru
seta jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang
bercirikan nyeri sendi (arthralgia), demam, malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung
antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-
antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang
pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE
juga merupakan penyakit auroimun, tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui, penanganannya
dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain
200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul
(tan&kirana,2007).
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput serosa
permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya.
Peradangan kronis ini mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita
penyakit SLE adalah prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi
yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.
2.2 Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit
atau blok jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai
kerabatdekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
peningkatan komplomen yaitu: Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen
yang mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen
(alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi
respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente
2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan
antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang
sedikit lebih tinggi padaa wanita pascamenoupause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya
stabil.
2.3 Patofisiologi

Faktor Lingkungan
Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium


Xerostomin

Lesi Ulserasi
Arthritis Butterfly Gangguan
rash Lesi Diskoid darah
Serositis
Discoid Lesi Mirip Gangguan
Ganggua lichen imun
rash
n ginjal plamus
Fotosensi Antibody
Ganggua kandidiasis antinuklir
tivitas
n saraf (ANA)
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon
imun didalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain:
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang
membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama
usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-
alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pathway SLE

System regulasi terganggu

fungsi supresi sel T terganggu

Produksi anti bodi meningkat

Penumpukan komplek imun

Kerusakan jaringan

Sendi SSP Jantung Ginjal

Degradasi jar Lesi jar. Otak pada arteri Mengendap pada Antibody
komplek DNA membentuk

Terbentuk endapan Gangguan impuls


Inflamasi arteriole Degradasi jar
pada sendi mielin
terminalis

Atralgia artritis Kejang Mengendap di


pericarditis membrane basal
glomerolus
Pembengkakan sendi POLA NAFAS
TIDAK EFEKTIF
CO menurun
Filtrasi terganggu
Nyeri tekan sendi

Neuropati Protein uri hematuri


PENURUNAN
GANGGUAN RASA
CURAH
NYAMAN
kelumpuhan JANTUNG
GANGGUAN
Kaku pagi hari Gangguan sensori ELIMINASI URIN
motor

GANGGUAN
GANGGUAN CITRA TUBUH
MOBILISASI
2.4 Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada
suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut.
Sebagai tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat
bervariasi dari ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan membahayakan
hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi kliniksnya, lupus telah
menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang
dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara
terhadap atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan
peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang
sangat jarang, pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan
remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walapun SLE
dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala
pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat
menyerupai SLE. Kedua, efek samping pengobatan, khususnya penggunaan
glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun
penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan
terapi imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,
dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien yang diterapi dengan
glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap selanjutnya.
Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti
gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan,
gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam
timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam
namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia.
Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien. Sesuai dengan teori
yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang
paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut ditemukan kasus
ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam
yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exaggerated sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah
terpajan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering
ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walapun
belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk
kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan
persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal
sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-
25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan
selams berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa
jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis
umumnya terdapat diwajah, leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar
ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit
yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V
dileher) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya
termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris,
nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi
pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia
bersifat reversible, kecuali jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan
nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakab dari infers virus maupun
jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh
inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering
merupakan efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi
mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas,
yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini
juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash)
pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien
ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas jaccoud yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang
dan tidak terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan
tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid
atau antimalaris, namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang
ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah tindih.
Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan
komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat
disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya
terjadi pada kaput femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus.
Artralgia dan myalgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabakanoleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid
withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor psikogenik. Pada kasus ini,
ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan
manifetasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non
erosive dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi
atau dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade
atau hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh
karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada
pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat
mengakibatkan kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri.
Endokarditid trombotik nonifeksi (Libman-sacks) jarang dan seringkali
tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup
mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis premature dengan
angina pektrois dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan
morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri,
hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik, menopause premature, serta
faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan arterosklerosis. Fenomena
Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin pada jari, sering ditemukan
pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki sering tumpang
tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada
pasien SLE dimediasi oleh antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada
sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan thrombosis arteri dan
vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi
lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi
faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena
dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan
efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun
sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi
parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan batuk,
hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan
hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa pneumonitis akut
dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik
dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik,
dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru
restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang,
miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan
neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody
antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak
dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum
keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama
sekali tidak menimbulkan gejala sampai glumerulonefritis
membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran
klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat,
hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi
atau sindrom nefritik dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal
eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus
progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan kelainan
ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria 25,00mg/dL dan
leucocyte pada urin 25,00 leu/πL.
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan
terkadang merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien
dapat memiliki manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau
meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa.
Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal
pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI,
dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan
pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis
lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini
cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan diagnosis
banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit
untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian
ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit
kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive
terhadap glikokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial
dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh
darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek lupus serbri karena
penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas
untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan
komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas
berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau gastropati terkait
glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,
vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang
pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek
pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang dihubungkan dengan
hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis
autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan
perlemakan hati dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang
sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas,
dapat disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar
haptoglobin rendah dan kadar laktat dehydrogenase tinggi atau dengan
mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis
eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini
dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan
asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun
jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia
dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE. Leukositosis
dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid. Trombisitopenia ringan (100000-
150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody antifosfolipid. Trombositopenia
autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh antibody
antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya
mungkindidiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus
ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran
yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala
anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan
temuan nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat
ditemukan pada penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang
tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat
disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena retina.
2.5 Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America
rheumatism association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun
1982 merevisi kreteria untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi:
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria
diagnosis SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease (penyakit ginjal),
ANA serositis, Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers (ulkus
dimulut) immunological disorder, neurologic disorder, Malar rash, Discoid
rash Ann Rheum Dis 2001.
2.6 Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik:
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan
dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis
oral tinggil tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-
obat antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius
2.7 Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang
menujukan berbagai manifestasi, paling sering berupa artitis. Dapat juga
timbul manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai dengan
adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas dasar
gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody (ANA,
terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita
SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody
(anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro,
anti-La dan antibody antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan
resiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara
multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa.
Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia, tetapi
temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat
komplemen membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko
keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium:
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif
dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi, spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri,
vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan
trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus
meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA),
anti-AND, SLE, CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan
diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.
2.8 Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam
sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yang menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita
perlu mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis,
maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan
darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan
yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan
tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada
jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada
tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah
tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan:
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis:
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchi), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung (s1, s2, s3),
bunyi systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur.
Friction rup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak: compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus).
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa.
3.2 DIOGNOSA KEPERWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi (D.0054)
2. Gangguan rasa nyaman b.d nyeri tekan sendi (D.0074)
3. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis (D.0005)
4. Penurunan curah jantung b.d co menurun (D. 0008)
5. Gangguan eliminasi urin b.d efek Tindakan medis dan diagnostic (D.0149)
6. Gangguan citra tubuh b.d perubahan struktur/bentuk tubuh (D.0083)

3.3 Intervensi Keperawatan


NO SDKI SLKI SIKI
1 (D.0054) (L.05042) (I.05173)
Gangguan Setelah dilakukan Observasi:
mobilitas fisik tindakan keperawatan  Identifikasi adanya
b.d kekakuan maka diharapkan nyeri atau keluhan
sendi mobilitas fisik fisik lainnya
membaik dengan  Identifikasi toleransi
kriteria hasil: fisik melakukan
 Kaku sendi (5) pergerakan
 Peningkatan  Monitor frekuensi
ekstremitas (5) jantung dan tekanan
 Kekuatan otot darah sebelum
(5) memulai mobilisasi
Terapeutik:
 Fasilitas aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu
 Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
 Ajarkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
2. (D.0074) (L.08066) (I.08238)
Gangguan rasa Setelah dilakukan Observasi:
nyaman b.d Tindakan keperawatan  Identifikasi lokasi,
nyeri tekan sendi diharapkan tingkat karakteristik, durasi,
nyeri menurun dengan frekuensi, kualitas,
kriteria hasil: intensitas nyeri
 Keluhan nyeri  Identifikasi skala
(5) nyeri
 Meringis (5) Terapeutik:
 Gelisah (5)  Berikan Teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat
dan tidur
Edukasi:
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan Teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi:
 Kolaborasi
pemberian anlgetik,
jika perlu
3 (D.0005) (L.06053) (I.06197)
Pola nafas tidak Setelah dilakukan Observasi:
efektif b.d Tindakan keperawatan  Monitor tingkat
gangguan diharapkan status kesadaran
neurologi neurologi membaik  Monitor tanda-tanda
dengan kriteria hasil: vital
 Tingkat  Monitor irama otot,
kesadaran (5) Gerakan motor,
 Frekuensi gaya berjalan dan
kejang (5) propriosepsi
Terapeutik:
 Tingkatkan
frekuensi
pemantauan
neurologis, jika
perlu
 Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
4 (D.0008) (L.02008) (I.06197)
Penurunan curah Setelah dilakukan Observasi:
jantung b.d co tindakan keperawatan  Monitor tingkat
menurun diharapkan status kesadaran
neurologis membaik  Monitor tanda-tanda
dengan kriteria hasil: vital
 Tingkat  Monitor irama otot,
Gerakan motor,
kesadaran (5) gaya berjalan dan
 Frekuensi propriosepsi
kejang (5) Terapeutik:
 Tingkatkan
frekuensi
pemantauan
neurologis, jika
perlu
 Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
5 (D.0149) L.04034) (I.04152)
Gangguan Setelah dilakukan Observasi
keperawatan maka
eliminasi urin  Identifikasi tanda dan
diharapkan eliminasi
b.d efek urin membaik dengan gejala retensi atau
Tindakan medis kriteria hasil: inkontinensia urin
 Desakan
dan diagnostik  Identifikasi factor yang
berkemih (5)
menyebabkan retensi
 Berkemih tidak
urin
tuntas (5)
 Monitor eliminasi urin
Terapeutik

 Catat waktu-waktu
Haluan berkemih
Edukasi

 Ajarkan tanda dan


gejala infeksi saluran
berkemih
 Ajarkan mengenali
tanda berkemih dan
waktu yang tepat untuk
berkemih
 Anjurkan mengurangi
minum menjelang
tidur
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
obat supositoria uretra,
jika perlu
6 (D.0083) (L.09067) (I.09305)
Gangguan citra Setelah dilakukan Observasi:
tubuh b.d tindakan keperawatan  Identifikasi harapan
perubahan diharapkan citra tubuh citra tubuh
struktur/bentuk meningkat dengan berdasarkan tahap
tubuh kriteria hasil: perkembangan
 Melihat bagian  Monitor apakah
tubuh (5) pasien bisa melihat
 Menyentuh bagian tubuh yang
bagian tubuh berubah
(5) Terapeutik:
 Verbalisasi  Diskusikan
kecatatan perubahan tubuh
bagian tubuh dan fungsinya
(5)  Diskusikan
perbedaan
penampilan fisik
terhadap harga diri
Edukasi:
 Jelaskan kepada
keluarga perawatan
perubahan citra
tubuh
 Latih fungsi tubuh
yang dimiliki

3.4 Implementasi
Tindakan keperawatan adalah pelaksaan asuhan keperawatan yang
merupakan realisasi rencana tindakan yang telah ditentukan dalam tahap
perencanaan dengan maksud agar kebutuhan pasein terpenuhi secara optimal.
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langka akhir dari proses keperawatan yaitu prose
penilaian tujuan dalam rencana perawatan, tercapai atau tidak serta untuk
pengkajian ulang rencana keperawatan. Evaluasi dilakukan secara terus
menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan petugas kesehatan yang lain.
Dalam menentukan tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan pada bayi
dengan post asfiksia sedang, disesuaikan dengan criteria evaluasi yang telah
ditentukan. Tujuan asuhan keperawatan dikatakan berhasil bila diagnosa
keperawatan didapatkan hasil sesuai dengan criteria evaluasi.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria
dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
(Elizabeth 2009). Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler
kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan
antibody terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut
dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,
ginjal, paru-paru seta jantung (Glade,1999). SLE (systemic lupus
erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri sendi
(arthralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk
kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap
IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang
dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan
radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit auroimun,
tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan. Sebabnya
tidak diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative
dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg)
2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007).
Peyakit ini disebabkan oleh faktor genetic, faktor imunologi, faktor
hormonal dan faktor lingkungan. Manifestasi klinik dari penyakit ini dapat
berupa konstitusional, integument, musculoskeletal, paru-paru, kardivaskuler,
ginjal, gastrointestinal, hemopoetik dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan
diagnostic dari penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium pemeriksaan
laboratorium lainnya dan pemeriksaan penunjang.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama
usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-
alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
4.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa keperawatn agar mampu menegakkan diagnose
untuk masalah SLE dan melakukan intervensi serta penatalaksanaan yang
tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing


Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care: A Handbook for


Nurse Practitioner. USA: Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:


modern strategies for management – a moving target. Best Practice
& Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987,
2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of


Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone &
Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC
1

Anda mungkin juga menyukai